You are on page 1of 57

Fisiologi Hewan Air

OSMOREGULASI
1. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Osmosis. Pada hakekatnya osmosis adalah suatu prose difusi. Para ahli kimia mengatakan bahwa osmosis adalah difusi dari tiap pelarut melalui suatu selaput yang permeabel secara diferensial. Membran sel yang meloloskan molekul tertentu, tetapi menghalangi molekul lain dikatakan permeabel secara diferensial.. Seperti dikatakan di atas : pelarut universal adalah air. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa osmosis adalah difusi air melalui selaput yang permeabel secara diferensial dari suatu tempat berkonsentrasi tinggi ke tempat berkonsentrasi rendah. Perlu ditekankan bahwa konsentrasi disini, adalah konsentrasi pelarutnya, yaitu air dan bukan konsentrasi dari zat yang larut (molekul, ion) dalam air itu. Pertukaran air antara sel dan lingkungannya adalah suatu faktor yang begitu penting sehingga memerlukan suatu penamaan khusus yaitu osmosis (Kimball,1983). Osmoregulasi merupakan upaya yang dilakukan oleh ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion antara tubuh ikan dengan lingkungannya (Taufik dan Eni, 2006). Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi yaitu proses pengaturan antara tekanan osmotik dalam tubuh agar sesuai dengan tekanan osmotik medianya (Rusdi dan Muhammad, 2006). Jika akhirnya tercapai keadaan yang seimbang, maka volume itu menyatakan berapa besarnya nilai osmosis dari larutan gula. Kelebihan volume itu mempunyai berat yang menekan ke segala jurusan dan tekanan itu kita sebut tekanan osmosis. Tekanan osmosis itu sebenarnya tak lain hanyalah pernyataan lain dari nilai osmosis (Dwijoseputro, 1992). Osmosis adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah pergerakan air dari larutan gula 5% menuju larutan gula 15% (Isnaeni, 2006). 1.2 Pengertian Osmoregulasi. Osmoregulasi adalah proses untuk menjaga keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan (Isnaeni, 2006). Kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal disebut dengan osmoregulasi (Nybakken, 1992). Osmoregulasi adalah proses organisme yang mampu mempertahankan perbedaan keseimbangan garam internal dari medium eksternal (Afrianto, 1996). 1.3 Pengertian Difusi. Difusi dapat diberi batasan (definisi) sebagai gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah lain dengan konsentrasi lebih rendah yang disebabkan oleh energi kinetik molekul-molekul tersebut (Villee, dkk, 1988). Jika beberapa subtansi terlarut mempunyai konsentrasi yang lebih kuat pada suatu larutan, substansi ini akan mengalir secara berangsur-angsur sampai molekul (atau ion) terdistribusi merata ke seluruh larutan. Proses ini disebut difusi (Marsland, 1964). Difusi dapat terjadi karena gerakan acak kontinyu yang menjadi ciri khas semua molekul yang tidak terikat dalam suatu zat padat. Kecepatan difusi zat melalui membran sel tidak hanya tergantung pada gradien konsentrasi, tetapi juga pada besar, muatan dan daya larut

dalam lipid dari partikel-partikel tersebut (Kimball, 1983). 1.4 Transpor Aktif. Gerakan ion dan molekul melawan suatu gradien konsentrasi ini disebut transpor aktif (active transport). Disebut aktif karena sel-sel itu harus mempergunakan energi untuk transportasi melawan daya difusi yang pasif (Kimball, 1983). Menurut Gordon et. al (1977), transpor aktif adalah gerakan substansi melawan gradien aktivitas elektrokimia, sering kali melalui kombinasi reversible dengan beberapa tipe intramembran pembawa molekul. Energi diperoleh dari metabolisme. Menurut Prosser and Frank (1961), transpor aktif adalah transpor pengontrol metabolisme yang dapat dibawa oleh pembawa enzim atau membran perantara moleku-molekul khusus. Metabolisme alami dengan pembawa atau perantara enzimatik. Sedangkan ekuilibrium elektrik, elektrolis khusus yang diabsorbsi sebagai molekul netral atau seperti ion ditukar dengan ion lain yang tandanya sama. 1.5 Organ Osmoregulasi. Hampir semua hewan akuatik, organ yang sering digunakan dalam pertukaran air dengan lingkungannya adalah insang, usus dan ginjal. Dalam bentuk lain, kelompok air tawar seperti amfibi, kulit juga merupakan bagian penting dalam gerakan air (Gordon et. al , 1977). Adapun organ-organ tubuh yang berperan sebagai tempat berlangsungnya osmoregulasi adalah : insang, saluran pencernaan, intergumen (kulit) dan organ ekskresi pada kelenjar antena (Mantel dan Farmer, 1983 dalam Kordi dan Andi, 2007). Garam yang berakumulasi baik melalui makanan yang masuk maupun melalui difusi ke dalam melewati permukaan-permukaan seperti insang, dikeluarkan oleh ginjal dan oleh suatu linear khusus yang mengekskresikan garam yang terdapat dibagian caudal usus hiu (Villee, dkk , 1988). 1.6 Pola Regulasi Air dan Ion pada Ikan. Apapun komposisi kimianya, dua larutan yang mempunyai konsentrasi osmotik sama dikatakan isoosmotik. Jika dua larutan berbeda konsentrasi, yang berkonsentrasi lebih disebut hiperosmotik dan yang lebih rendah disebut hipoosmotik (Gordon et. al, 1977). Menurut Musida (2008), pola regulasi pada ikan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : 1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh hewan yang lebih tinggi dari konsentrasi media. 2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media. 3. Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu bila kerja osmotik dilakukan pada keadaan konsentrasi media. Cairan tubuh dan sel dari kebanyakan organisme laut serupa sifat osmosisnya dengan air laut dengan salinitas 33 . Pada organisme-organisme daratan dan air tawar ini agak lebih rendah. Bila dibedakan kepada lingkungan hipotonis cairan dengan salinitas lebih rendah dari pada salinitas cairan berlebihan. Dalam situasi hipertonis (dimana cairan sekitarnya lebih tinggi salinitasnya) ia kehilangan cairan ke lingkungannya. Kedua macam situasi dapat membahayakan (Mc Connoughey dan Zottoli, 2000). 1.7 Proses Osmoregulasi. 1.7.1 Ikan Elasmobranchi. Menurut Bond (1979) dalam jatilaksono (2007), osmoregulasi pada ikan-ikan elasmobranchi menyokong teori bahwa tekanan osmosis yang disebabkan oleh garam-garam dalam darah disebabkan oleh penahan urea dan sedikit bahan nitrogen lainnya. Urea merupakan hasil

akhir metabolisme nitrogen yang dikeluarkan air kencing hiu dan pari. Sewaktu penyaringan glumerulus melalui sepasang tubuh ginjal. Segmen-segmen khusus menyerap kembali urea (70-90%) sehingga darah mengandung lebih kurang 350 mmol/L urea elasmobranchi umum. Menurut Affandi dan Usman (2002) dalam Jatilaksono (2007), secara umum dikatakan bahwa cairan tubuh golongan ikan elasmobranchi mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar dari lingkungannya. Tekanan osmotik tubuhnya sebagian besar tidak disebabkan oleh garam-garam melainkan oleh tingginya kadar urea dan Tri Meilamin Oksida (TMAO) dari tubuh. Karena cairan tubuh yang hiperosmotik terhadap lingkungannya, golongan ikan ini cenderung menerima air lewat difusi, terutama lewat insang. Untuk mempertahankan tekanan osmotiknya kelebihan air untuk difusi ini dikeluarkan melalui air seni. Cairan tubuh golongan Elasmobranchi umumnya mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar daripada lingkungannya. Tekanan osmotik tubuhnya sebagian besar tidak disebabkan oleh garam-garam melainkan oleh tingginya kadar urea dan TMAO dalam tubuh. Karena cairan tubuhnya yang hyperosmotik terhadap lingkungannya, golongan ikan ini cenderung menerima air lewat difusi, terutama lewat insang. Untuk mempertahankan tekanan osmotiknya, kelebihan air untuk difusi ini dikeluarkan sebagai air seni. Penyerapan kembali terhadap urea di dalam tubuli ginjal merupakan upaya pula dalam mempertahankan tekanan osmotik tubuhnya. Permukaan tubuhnya yang bersifat impermeabel mencegah masuknya air dari lingkungan ke dalam tubuhnya (Rachman, 2003). 1.7.2 Ikan Teleostei. Teleostei laut, yang mempunyai cairan tubuh hipoosmotik terhadap air laut, mempunyai mekanisme adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari tubuhnya. Pada hewan ini, kehilangan air dari tubuh terutama terjadi melalui insang. Sebagai penggantinya, hewan ini akan minum air laut dalam jumlah banyak. Namun, cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh menjadi banyak pula. Kelebihan garam ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengeluaran dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena insang ikan mengandung sel khusus yang disebut sel klorid. Sel klorid ialah sel yang berfungsi untuk mengeluarkan NaCl dari plasma ke air laut secara aktif (Isnaeni, 2006). Pada golongan ikan teleostei terdapat gelembung air seni (urinary bladder) untuk menampung air seni. Di sini dilakukan penyerapan kembali terhadap ion-ion, dindingnya impermeabel terhadap air seni (Rachman, 2003). Insang teleostei terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi-sisi jaring. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel yang mengekskresikan amonia dan kelebihan garam (Irianto, 2005). 1.8 Pengaruh Salinitas dan pH Terhadap Ikan. Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas, akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Biota yang hidup di air asin harus mampu menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari lingkungannya. Penyesuaian ini memerlukan banyak energi yang diperoleh dari makanan dan digunakan untuk keperluan tersebut (Kordi dan Andi, 2007). Menurut Irianto (2005), pada kondisi pH rendah yang bersifat kronik, dapat terjadi gangguan kesehatan berupa terhambatnya pertumbuhan. Adapun pada kondisi pH rendah akut, ikan menjadi hiperaktif, nervous dan produksi mukus insang yang berlebihan dan pada akhirnya menyebabkan gangguan pernapasan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 78,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi

akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003). 5.2 SARAN Diharapkan pada praktikum selanjutnya, praktikan lebih teliti lgi dalam pengamati perubahan perubahan yang terjadi pada ikan sehingga data yang diperoleh lebih valid lagi.

RESPIRASI
1. PENDAHULUAN

1.1 Respirasi Pernafasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernafasan. Proses pengikatan oksigen tersebut selain dipengaruhi struktur alat pernafasan, juga dipengaruhi perbedaan tekanan parsial O2 antara perairan dengan darah. Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi ke dalam darah atau keluar melalui alat pernafasan (Fujaya, 2004). Menurut Dwijoseputro (1992) pernafasan adalah suatu proses pembongkaran dimana energy yang tersimpan ditimbulkan kembali untuk menyelenggarakan proses-proses kehidupan. Menurut Batu (1983) respirasi berarti suatu proses yang menghasilkan energy dari oksidasi biotic. Reaksinya adalah sebagai berikut : Gas Oksigen + Gula Air + Zat asam arang + Energi Pernafasan adalah menghisap udara ke dalam paru-paru dan mengeluarkannya dari paru-paru. Udara yang dihisap tidak seluruhnya oleh paru-paru dipakai, seperti kita ketahui bahwa di dalam udara terdapat berbagai gas yang banyaknya berbeda (Iskandar, 1974). Sistem pernafasan bertugas mengambil oksigen dari udara. Setelah sampai pada paru-paru, oksigen dipindahkan ke darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Di dalam pembuluh darah, oksigen ditukar dengan karbondioksida. Karbondioksida sebagai hasil oksidasi respirasi sel dan dibawa ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh (Ayiseti, 2008). 1.2 Jenis-jenis Respirasi Menurut Batu (1983) proses oksidasi dapat dibedakan atas beberapa tipe, yaitu : a.Respirasi aerobic : dimana gas-gas atau molekul oksigen berfungsi sebagai penerima hydrogen (oxidant) b.Respirasi anaerobic: tidak memerlukan oksigen tetapi yang berfungsi sebagai penerima electron (oxidant) adalah persenyawaan anorganik c. Fermentasi : termasuk respirasi anaerobic, persenyawaan organic berfungsi sebagai oxidant (menerima electron) Pada dasarnya pengertian respirasi eksternal sama dengan bernafas, sedangkan respirasi internal atau respirasi seluler ialah proses penggunaan oksigen oleh sel tubuh dan pembuangan zat sisa metabolism sel yang berupa CO2. Oksigen yang diperoleh hewan dari lingkungannya digunakan dalam proses fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP. Sebenarnya, hewan dapat menghasilkan ATP tanpa oksigen.Proses semacam itu disebut respirasi anaerob. Akan tetapi, proses tersebut tidak dapat menghasilkan ATP dalam jumlah banyak. Respirasi yang dapat menghasilkan ATP dalam jumlah banyak ialah respirasi aerob (Isnaeni, 2006). 1.3 Faktor yang Mempengaruhi Respirasi

Rata-rata konsumsi oksigen dipengaruhi oleh aktivitas, suhu, ukuran tubuh, tingkat pada siklus hidup, musim dan waktu dalam hari sesuai persediaan. Persediaan oksigen dan latar belakang genetic. Meskipun merupakan subjek dengan kualifikasi khusus, hanya sedikit nilai rata-rata konsumsi oksigen yang diukur dibawah kondisi fisiologis yang digunakan sebagai dasar diskusi. Selanjutnya tentang faktor modifikasi (Prosser and Brown, 1961). Konsumsi oksigen bervariasi tergantung pada spesies, ukuran, aktivitas, musim dan suhu.Hewan yang berenang cepat menggunakan lebih banyak oksigen selama periode aktivitasnya daripada hewan yang istirahat. Hewan yang lebih besar menggunakan lebih sedikit oksigen daripada hewan yang kecil. Konsumsi oksigen meningkat sampai beberapa tingkat kritis kemudian menurun, tetapi banyak hewan yang dapat menyesuaikan untuk perubahan musim dingin daripada selama tahun istirahat (Royce, 1972). 1.4 Sumber O2 dalam Air Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem, 1994). Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun (Effendi, 2003). Menurut Kordi dan Tancung (2007) oksigen dalam air tambak dihasilkan melalui proses difusi dari udara yang mengandung 20,95% oksigen. Proses ini terjadi secara cepat pada selaput pemukaan air, namun berjalan sangat lambat ke lapisan yang lebih dalam. Sumber oksigen lainnya adalah fytoplankton dan adanya aliran air baru yang masuk ke dalam tambak/kolam, oksigen di dalam air dapat berkurang karena proses difusi, respirasi dan reaksi kimia (oksidasi dan reduksi). 1.5 DO (Dissolved oksigen) Apabila oksigen di dalam air terdapat dalam bentuk terlarut disebut keadaan aerob, apabila terdapat bentuk tidak terlarut tetapi berikatan lain dengan unsur seperti NO4 dan NO3 disebut keadaan anoksik, sedangkan apabila tidak terdapat sama sekali oksigen dalam air, baik yang terlarut maupun yang membentuk ikatan dengan unsur lain disebut anaerobik (Barus, 2002). Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling penting pada budidaya. Ikan konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom selalu mengalami perubahan dalam sehari semalam. Oleh karerna itu pengelola kolam ikan harus mengetahui atau memantau perubahan konsentrasi oksigen terlarut didalam kolamnya (Ana, 2009). Oksigen terlarut dibutihkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin, 2008) Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat vital bagi kehidupan organisme perairan, konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah lebih sesuai dengan keadaan atmosfer (Ahmad dan Edward, 2004). Oksigen (O2) merupakan unsur fatal dan sangat diperlukan dalam proses respirasi dan metabolisme semua organisme perairan termasuk fitoplankton atau algae, oksigen yang diperlukan bakteri pengurai untuk proses dekomposisi bagian organik (Herawati, 2000). 1.6 Mekanisme Masuknya O2 Dalam Perairan Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air terjadi secara langsung pada kondisi air dalam (stagnatif) difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan masa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun (Effendi, 2003). Mekanisme pertukaran arus yang berlawanan sangat berguna dan 90% dari oksigen yang terlarut dalam air dapat diambil, ini lebih dari ppada 25% oksigen yang dapat diambil oleh

mamalia dari udara dengan paru-parunya (Rachman, 2003). Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terlarut di atmosfer (selular 38%) dan aktifasi fotosintesis oleh pertumbuhan air dan fitoplankton (Norotry dan Olem, 1994). 1.7 Konsumsi Oksigen Dalam Perairan Oksigen sebagai gas penting dalam kimia dan biokimiawi. Secara kontinyu dekomposisi oleh hewan dan tumbuhan saat diserap untuk proses dekomposisi bahan organik (Arfiati, 2001) Selain akibat prises respirasi tumbuhan dan hewan hilangnya oksigen diperairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikriba untuk mengoksidasi bahan organik. Oksidasi bahan organik diperairan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan organik dan rasio karbon dan nitrogen (Bold, 1988 dalam Efendi, 2003). 1.8 Fase Respirasi Menurut Rachman (2003) fase-fase pernafasan pada ikan dibagi 3 yaitu : 1. Urat daging corochroticod dan coroocobranchi berkontruksi menyebabkan rongga uropharyngel bertambah lebar. Pada serat itu air masuk kedalam mulut bersamaan dengan penutup bagian luar menutup tekanan air yang datang dari luar. 2. Urat daging abdutor pada rahang bawah dan lengkungan insang atas dan bawahnya berkontraksi, katup mulut tertutup dan insang bagian luar masih tertutup. 3. Ruang insang dipersempit oksigen kontraksi urat daging dan bersamaan dengan itu insang terbuka secara pasif. Pada mamalia fase respirasi merupakan proses aktif yang terjadi karena adanya kontraksi otot inepratori (otot diantaranya tulang-tulang iga dan diafragma). Kontruksi otot tersebut akan meningkatkan volume rongga dada dan menyebabkan atmosfer pun segera masuk paru-paru. Berbeda dengan fase inpirasi yang bersifat aktif, fase elpirasi merupakan proses pasif. Ekspirasi terjdi karena adanya relaktiogi otot resblima dan pengerutan dinding alveoli (Isnaeni, 2006). 1.9 Hubungan Suhu dan Respirasi Aktivitas mikroorganisme memelikan suhu optimum yang berbeda-beda tetapi proses dekomposisi biasanya terjadi pada kondisi udara yang hangat. Kecepatan dekomposisi meningkat pada kisaran 5oC 35oC. Pada kisaran suhu ini setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2 kali lipat (Effendi, 2003). Peningkatan temperatur mengurangi kelarutan gas dalam air tawar perubahan dari 50oC ke 55oC mengurangi jumlah oksigen dari 9 ml ke 5 ml (Gordon et. al, 1977).

1.10 Perbedaan Organ Respirasi Ikan Demersal Dan Ikan Pelagis Beberapa ikan laut (pelagis) membiarkan mulutnya terbuka dan menggunakan gerakangerakan majunya untuk mengalirkan air melalui insang. Proses ini disebut velisikasi dorong. Jika gerakan mackerei melebbihi 0,4 m perdetik maka gerakan ini berhenti dan ikan tergantung pada ventilasi dorong (Rachman, 2003). Beberapa ikan laut (pelagis) membiarkan mulutnya terbuka dan menggunakan gerakangerakan majunya untuk mengalirkan air melalui insang, proses ini disebut vertilasi dorong. Jika gerakan mackarel melebihi 0,4 m/detik maka gerakan memompa operculum menjadi lambat dan kalau melebihi 0,6 m/detik gerakan ini berhenti dan ikan tergantung pada vertilasi dorong (Villee, dkk, 1988)

4. PEMBAHASAN 4.2 Analisa Hasil Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa kelompok yang memiliki bukaan mulut terbanyak yaitu kelompok 5 dengan 1637 kali dengan rata-rata 327,4 dengan suhu yang digunakan 34oC dan terendah kelompok 3 sebanyak 8 kali dengan suu 5oC. Kelompok yang memiliki bukaan mulut sedikit bahkan tidak ada pada menit-menit terakhir yaitu kelompok 1 dan 3 dengan suhu 5oC dengan jumlah 47 dan 8 kali bukaan mulut Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pada sutu perairan maka oksigen akan berkurang. Hal ini sesuai denga pendapat Brown (1987) dalam Effendi (2003), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Kapasitas panas yang besar dari air merupakan mekanisme penyangga yang baik apabila terjadi perubahan temperatur di udara secara tiba-tiba. Akibatnya ikan menjadi hewan yang elatif mempunyai sifat stenothermal (toleransinya terhadap suhu sangat sempit). Fenomena ini bersama dengan sifat poikilotermik atau ektotermik (suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu masa air sekitarnya) ikan menunjukkan kenyataan bahwa peranan temperatur lingkungan tempat hidupnya merupakan hal yang penting ( Kordi dan Tancung, 2007). Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyeabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme aquatik sekitar 2-3 kali lipat. Menurut Irianto (2005), suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stess yang di tandai dengan tubuh lemah, kurus dan tigkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang di timbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan sterss pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen. Ikan akan mengalami sterss manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat di toleransi. 4.3 Faktor Koreksi Kurangnya ketelitian praktikan pada saat perhitungan bukaan mulut menggunakan Hand Tally Counter sehingga dapat mempengaruhi hasil ketepatan data. Hal lain yang menjadi faktor koreksi adalah kesalahan prosedur percobaan pada perlakuan yang tidak berurutan yang dapat menyebabkan percobaan terganggu. 4.4 Manfaat Di Bidang Perikanan Dengan mempelajari respirasi maka kita dapat tahu dan mengatur suplay oksigen yang tepat bagi kehidupan biota air misalnya di areal pertambakan. Karena oksigen merupakan salah satufaktor pembatas, sehingga bila ketersediannya didalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Menurut Kordi dan Tancung (2007), jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan batas minimumnyaadalah 3 ppm atau 3 mg/l. Kandungan oksigen didalam air yang dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4 10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas kelarutan oksigen 3-4 ppm pada suhu 20-30oC. Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu menyebabkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volotilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan

kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Respirasi adalah pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, sedangkan pernapasan ikan dalam air itu adalah pengambilan oksigen dari air dan pelepasan CO2 kedalam air. Pertukaran gas (O2 dan CO2 ) berlangsung dalam insang dan pada beberapa ikan menggunakan kulit untuk bernapas. 2. Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting yang digunakan pada proses respirasi dalam air. 3. Sumber O2 dalam air dapat berasal dari atmosphere dengan cara difusi dan juga fotosintesis. 4. Semakin tingi suhu perairan maka konsumsi oksigen semakin meningkat. 5. Semakin tinggi suhu perairan maka jumlah bukaan mulut semakin banyak. 6. Faktor yang mempengaruhi respirasi antara lain besar tubuh ikan, kharakteristik air, suhu dan metabolisme makanan. 7. Kelompok yang memiliki bukaan mulut terbanyak yaitu kelompok 5 dengan 1637 kali dengan rata-rata 327,4 dengan suhu yang digunakan 34oC dan terendah kelompok 3 sebanyak 8 kali dengan suu 5oC. 5.2 Saran Diharapkan pada praktikum selanjutnya para praktikan lebih memperhatikan bagaimana cara menghitung bukaan mulut pada saat menghitung laju respirasi supaya tidak mempengaruhi nilai kevalidan data.

SISTEM PENCERNAAN
1. PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pencernaan Bahan makanan yang padat biasanya dipecah menjadi larutan berisikan molekul organik yang relatif kecil dan dapat larut sebelum dapat dipakai oleh organisme heterotrofik, suatu proses yang disebut pencernaan (Kimball, 1983). Digesti merupakan proses pemecahan zat makanan yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana. Proses digesti memerlukan waktu dalam mencernakan makanannya, dan waktu yang diperlukan untuk mencernakan makanan itu disebut laju digesti. Pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan mengalami proses digesti di dalam sistem pencernaan sebelum nutrisi pakan tersebut diabsorbsi yang akan dimanfaatkan untuk proses biologis pada tubuh ikan (Titik, 2008). Pencernaan meliputi semua proses dimana bahan makanan organik kompleks yang kaya energi dipecah di dalam sel atau jaringan tubuh (Guyer and Charles, 1964).

1.2 Pengertian Kemampuan Daya Cerna Ikan Pada Makanan Menurut Gordon et.al (1977), fraksi ingesti makanan yang dicerna dan diabsorbsi disebut digestibility makanan, dipengaruhi oleh tipe makanan, dan tipe konsumen. Ikan yang herbivora secara sederhana dapat dinyatakan bahwa ikan itu tidak mempunyai kemampuan untuk memakan dan mencerna material lain selain tumbuhan. Oleh karena itu ikan pemakan tumbuhan cenderung memakan material tumbuhan yang lambat dicernanya. Ikan herbivora ini harus dapat mengekstraksi nutrient melalui ususnya yang panjang. Jadi usus ini berfungsi sebagai penahan makanan dalam jumlah besar dalam waktu yang lama untuk mendapat kesempatan penggunaan penuh material makanan yang sudah dicernakan. Secara kontras ikan karnivora mempunyai usus pendek lebih khusus (Effendie, 1997). 1.3 Pengertian Gastric Evacuation Time (GET) Menurut Santoso (1994) dalam Titik (2008) proses digesti memerlukan waktu untuk mencernakan makanannya, dan waktu yang diperlukan untuk mencernakan makanan itu disebut laju digesti. Proses laju digesti dapat disebut juga dengan proses laju pengosongan lambung. Menurut Bromley (1994) dalam Moyle and Joseph (1996) pengukuran rata-rata pengosongan lambung sama dengan rata-rata makan, dengan daya cerna relatif. Menurut Tyler (1976), Bromley (1994) dalam Galano et.al (2003), rata-rata pengosongan lambung merupakan salah satu determinasi utama pada pencernaan makanan dan pengetahuan pada aspek ini sangat berguna untuk mendeterminasi frekuensi makanan optimal yang dipelajari dalam pengosongan lambung adalah spesies predator, suhu, ukuran makanan, kualitas makanan dan dampak rata-rata pengosongan lambung terhadap sejarah kehidupan ikan. 1.4 Organ Pencernaan dan Fungsi Menurut Noer dan Widowati (2007), kelenjar pencernaan disekresikan oleh organ hati, empedu dan pankreas. a. Hati (Hepar) dan Kantung Empedu Hati merupakan kelenjar pencernaan terbesar yang mempunyai fungsi variatif dan berbeda yaitu menyimpan hasil pemecahan karbohidrat (sebagian pada golongan cyclostomata dan ikan) dan lemak. Membersihkan toksik pada darah juga dilakukan hepar. Fungsi hepar dalam pencernaan makanan itu sendiri mensekresi bilus yang dikeluarkan dari saluran hepar menuju ke duodenum dimana lemak yang teremulsi di proses bersama enzim dari pankreas. Hepar menghasilkan bilus melalui duodenum dimana jika bilus yang disekresikan hepar berlebih akan disimpan dalam vesiko felea yang merupakan bentukan dari pelebaran saluran hepar. b. Pankreas Pankreas dikatakan kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Dikatakan kelenjar eksokrin karena hasil sekresinya melalui sistem saluran dan endokrin karena sekresi dikeluarkan menuju target organ melalui pembuluh darah. Menurut Ville, dkk (1984) sel-sel sekretoris biasanya merupakan bagian dari lapisan saluran pencernaan, tetapi dapat juga terdapat dalam kelenjar atau organ-organ seperti hati dan pankreas. Hati dan pankreas adalah pertumbuhan bagian depan usus yang berkelenjar. a. Sel hati terus menerus menghasilkan empedu, dan lewat saluran sisnik ke dalam kantung empedu. Meskipun empedu tidak mengandung enzim pencernaan, tetapi mempunyai fungsi ganda dalam pencernaan. Sifatnya yang basa, bersama dengan sekresi dari pankreas, menetralkan makanan asam yang keluar dari lambung dan menciptakan pH yang baik untuk kerja enzim pankreas dan enzim usus. Garam empedunya mengemulsikan lemak dan memecahnya dalam bagian-bagian yang kecil dan dengan demikian membuat permukaan lemak itu lebih besar untuk kerja enzim pemecah lemak.

b. Pankreas merupakan kelenjar pencernaan yang penting dan menghasilkan sejumlah enzim yang bekerja pada karbonhidrat, protein dan lemak. Enzim yang merombak asam nukleat dihasilkan oleh pankreas sapi dan ruminansia lainnya. Tetapi pada hewan lain sekresi nuclease biasanya hanya sedikit sekali. Enzim ini masuk ke dalam usus melalui saluran pankreas yang berhubungan dengan saluran empedu. Menurut Tanang (1988), dalam Wirosaputro (1998) yang dimaksud dengan organ pencernaan adalah organ tubuh bagian dalam yang terdiri dari unit lambung, usus halus dan usus besar. 1. Membran mukosa lambung menghasilkan enzim pemecah protein yaitu pepsinogen kemudian dirangsang oleh asam hidroklorida (HCl) lambung pada pH 1,5 2,0 kemudian menjadi pepsin. Pepsin bertugas untuk menghancurkan struktur jaringan ikat makanan dan membebaskan lemak pada makanan. 2. Dengan bantuan mucus. Dalam lambung terdapat cairan yang berfungsi untuk pencernaan protein dengan cara hidrolisis. Dalam lambung ini dihasilkan asam HCl, pepsin, rennin dan mucus atau lender. 3. Pencernaan yang telah dicerna dalam lambung secara berkala masuk ke dalam usus dua belas jari (duodenum) malalui katup pylorus. Ada 2 organ yang berperan penting dalam pencernaan makanan di usus yaitu pankreas, empedu dan usus sendiri. 1.5 Proses Pencernaan (Protein, Lemak dan Karbohidrat) 1.5.1 Proses Pencernaan Protein Menurut Yuwono dan Purnama (2001), pada hewan air pencernaan protein membutuhkan enzim protease sebagai katalisator. Enzim protease yang utama pada udang misalnya adalah tripsin dan kemotipsin. Pada vertebrata pencernaan protein membutuhkan pepsin misalnya pada perut ikan karnivora, tripsin dalam usus dan pankreas, kimotripsin dan erepsin dalam usus. Menurut Iskandar (1974), di dalam mulut tidak terjadi pencernaan protein, sedangkan di lambung dengan pengaruh enzim pepsin, protein dipecah menjadi protease dan polypeptide. Dalam pankreas terdapat enzim trypsin, chymotripsin dan carboxipeptidase yang bekerja pada protein dan polypeptide. 1.5.2 Proses Perncernaan Lemak Menurut Iskandar (1979), pencernaan lipid di usus halus yang diemulsikan oleh empedu dan terjadi hidrolisis oleh enzim-enzim yang dikeluarkan pankreas, yaitu enzim lipase yang bekerja pada lipid. Terutama enzim lipase bekerja pada trigliserida dengan hsil akhir gliserol, asam lemak, momogliserida, digliserida dan sedikit trigliserida yang tidak terhifrolisis kolestrol akan diesterkan dengan enzim esterase dan hidrolisis lecithin oleh enzim lecithinase. Menurut Isnaeni (2006), pencernaan lipid baru dimulai pada saat bahan makanan sampai di usus, llipase lambung dan lipase pankreas. Lipase akan menghidrolisis lipid dan trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, gliserol dan asam lemak bebas. Pencernaan lemak dipermudah dengan adanya garam empedu, yang menurunkan tegangan pemukaan dan mengemulsikan tetes lemak berukuran besar menjadi butiran lebih kecil. 1.5.3 Proses Pencernaan Karbohidrat Menurut Isnaeni (2006), enzim yang bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat adalah karbohidrase. Enzim ini memutuskan ikatan glikosidik pada karbohidrat sehingga dapat dihasilkan disakarida trisakarida dan polisakarida lain yang memiliki rantai lebih pendek. Amylase ludah menguraikan karbohidrat dengan cara memutus ikatan 1,4 glikosidik pada pati dan glikogen sehingga dihasilkan campuran maltosa glukosa dan digosakarida. Enzim amylase juga disekresikan oleh pankreas. Amylase pankreas dialirkan ke usus halus bagian atas (duodenum, usus 12 jari) dan akan memecah pati menjadi dekstrin, maitotriosa dan maliosa. Menurut Yuwono dan Purnama (2001), enzim yang penting dalam pencernaan karohidrat

adalah amylase yang bekerja pada amilum dan memecahnya menjadi maltosa dan kemudian maltoda memecahnya menjadi glukosa dengan proses pencernaan kimiawi. Pada hewan air misalnya karnivora, amylase disekresi dari seluruh saluran gastrointerstinal maupun dari pankreas. Amylase di sekresi dalam seluruh saluran almentase pada ikan mujaer yang memakan ikan herbivora. 1.6 Proses Pencernaan Fisika dan Kimia Menurut Yuwono dan Purnama (2001), berdasarkan perangkat yang digunakan pencernaan pada hewan air terjadi secara mekanik dan kimiawi. 1. Pencernaan mekanik (fisika) menggunakan taring misalnya pada ikan untuk menggigit. Beberapa hewan air juga mengunakan gigi dan mengoyak pakan misalnya pada ikan lele. Struktur tembolok pada hewan air (pada ikan dan udang) juga digunakan untuk perncernaan mekanik. Sebanyak 85% ikan Teleostei memiliki lambung yang digunakan untuk pencernaan mekanik. 2. Pencernaan kimiawi melibatkan enzim (contohnya protease, lipase, amylase) sebagai katalisator untuk mempercepat prosesnya. Dalam kondisi normal reaksi berjalan lambat tetapi dengan hidrolisis dan kerja enzim reaksi kimia berjalan lebih cepat. Pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri atas enzim eksopeptidase dan endopeptidase. Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan karbohidrat, dihidrolisis oleh amylase, katalisis oleh sukrase, prosesnya serupa pada hewanavertebrata dan vertebrata. Pencernaan selulosa memerlukan selulise yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik. Sistem pencernaan berfungsi untuk mengubah bahan makanan yang kompleks menjadi sari makanan yang sederhana agar dapat diserap oleh sel. Pencernaan makanan dapat terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau penggantinya (misalnya gigi parut dari bahan tanduk) dan secara kimia (dengan bantuan enzim pencernaan atau senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme). Ditinjau dari tempat berlangsungnya pencernaan makanan dapat terjadi di dalam sel (intraseluler) maupun di luar sel (ekstraseluler) (Isnaeni, 2006). 1.7 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan Menurut Guru Ngeblog (2008), saluran pencernaan pada ikan dimulai dari rongga mulut (cavum oris). Di dalam rongga mulut terdapat gigi-gigi kecil yang berbentuk kerucut pada geraham bawah dan lidah pada dasar mulut yang tidak dapat digerakkan serta banyak menghasilkan lender, tetapi tidak menghasilkan ludah (enzim). Dari mulut makanan masuk ke esophagus melalui faring yang terdapat di daerah sekitar insang dan bila tidak dilalui makanan lumennya menyempit. Dari kerongkongan makanan didorong masuk ke lambung, lambung pada umumnya membesar dan batasnya dengan usus tidak jelas. Pada beberapa ikan, terdapat tonjolan buntu untuk memperluas bidang penyerapan makanan. Dari lambung, makanan masuk ke usus yang berupa pipa panjang berkelok-kelok dan besarnya sama. Usus bermuara pada anus. Menurut Poedjiadi dan Titin (2007), sistem pencernaan makanan terdiri atas beberapa organ tubuh, yaitu mulut, lambung dan usus dengan bantuan pankreas dan empedu. 1. Pencernaan dalam Mulut Dalam mulut makanan dihancurkan secara mekanis oleh gigi dengan jalan dikunyah. Makanan yang dimakan dalam bentuk besar diubah menjadi ukuran yang kecil. Selama penghancuran secara mekanis ini berlangsung, kelenjar disekitar mulut mengeluarkan cairan yang disebut saliva atau ludah. 2. Pencernaan dalam Lambung Makanan yang telah dikunyah dalam mulut ditelan melalui esophagus masuk ke dalam lambung disebabkan oleh adanya gerak peristaltic pada esophagus dengan bantuan mucus. Dalam lambung terdapat cairan yang berfungsi untuk pencernaan protein dengan cara

hidrolisis. Dalam lambung ini dihasilkan asam HCl, pepsin, rennin dan mucus atau lendir. 3. Pencernaan dalam Usus Makanan yang telah dicerna dalam lambung secara berkala masuk ke dalam usus duabelas jari (duodenum) melalui katup pylorus. Ada 2 organ yang berperan penting dalam pencernaan makanan di usus yaitu pankreas, empedu dan usus sendiri. 1.8 Manfaat Kandungan Pakan Ikan 1.8.1 Alami Pakan ikan alami merupakan makanan ikan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung. Pakan ikan alami sebagai makanan ikan adalah plankton dan tumbuhan air lainnya. Plakton dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu plankton nabati (phytoplankton) dan plankton hewani (zooplankton). Tetapi menurut ekologi dan cara hidupnya, plankton dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu epiphyton (periphyton) nekton dan bentos. Ephiphyton adalah jenis plankton, baik phytoplankton maupun zooplankton, yang hidup menempel pada benda-benda air atau melayang-layang dalam air. Nekton adalah jenis plankton yang bisa bergerak aktif. Sedangkan benthos adalah jenis plankton yang menetap di bagian dasar perairan (Djarijah, 1995). Menurut Maswira Webblog (2009), memiliki komposisi gizi yang baik diantaranya protein, lemak, karbohidrat dan mineral. Protein berguna saat proses pertumbuhan dan pengganti sel yang rusak sebagai zat pembangun. Lemak dan karbohidrat berfungsi sebagai pembentuk energi yang akan digunakan tubuh, vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme, mengatur fisiologis membentuk enzim dan hormone karena pakan alami dapat bergerak aktif dan sehingga mengundang larva untuk memakannya. Pada dunia pembesaran, pakan alami sering digunakan untuk memacu perumbuhan (misal cacing sutra).

1.8.2 Buatan Pakan ikan buatan merupakan makanan ikan yang dibuat dari campuran bahan. Bahan alami dan atau bahan olahan yang selanjutnya dilakukan proses pengolahan serta dibuat dalam bentuk tertentu sehingga tercipta daya tarik (merangsang) ikan untuk memakannya dengan mudah dan lahap. Istilah lain untuk pakan ikan buatan adalah concentrate. Namun istilah ini lebih memasyarakat untuk menyebut pakan unggas (Djarijah, 1995). Menurut Sutan Muda (2008), bentuk pakan buatan ditentukan oleh kebiasaan makan ikan : a) Larutan; b) Tepung halus; c) Tepung kasar, d) Remah; e) Pelet; f) Eater; g) Tepung darah; h) silase. 1.9 Jenis Makanan Pada Ikan Menurut fungsinya, pakan ikan dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu sebagai makanan utama (makanan pokok) dan makanan tambahan. Sebagai makanan pokok apabila sebagian besar sumber energi yang diberikan dari luar digolongkan sebagai makanan tambahan (Djarijan, 1995). Menurut Yuwono dan Purnama (2001) berdasarkan tipenya, pakan hewan air dapat dibedakan sebagai berikut : - Pakan partikel kecil : bakteri, algae metodenya antara lain menggunakan cilia menyaring amoeba, radiolarian, ciliate, bivalvia, gastropoda, crustacean. - Pakan partikel besar diperoleh dengan menangkap dan menelan mangsa ikan karnivora, herbivora, omnivora. - Pakan molekul organik terlarut diperoleh melalui uptake dari perairan sekitarnya misalnya pada vertebrata laut kecuali arthopoda. - Pakan nutrient dari organisme simbiotik, dimana hewan memperoleh pakannya melalui

simbiose, misalnya pada zoxanthele dan arthropoda.

1.10 Komposisi Pakan (Pelet, Tubifex Kering, Chironomous dan Lumut Jaring) Pelet adalah pakan tambahan yang dicetak berbentuk butiran dan diberikan untuk tahap pembesaran. Formulasi pelet bermacam-macam tergantung dari bahan dasarnya. Berikut ini adalah contoh formulasi pelet : Tepung ikan 50% Tepung Kedelai 30% Tepung Terigu 13% Kuning Telur 5% Premix 2% Dalam pembuatan pelet terlebih dahulu dilakukan penyusunan ramuan. Berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyusunan ramuan, namun yang paling praktis adalah dengan menggunakan sistem segiempat pearson. Contoh : Akan dibuat ransom dengan kadar protein 30% sebanyak 250 kg dengan bahan-bahan yang sudah diketahui komposisi proteinnya, yaitu : Tepung Ikan (45% protein) Tepung Kedelai (41% protein) Dedak Halus (12% protein) Tepung Jagung (9% protein) (Isnaini, 2008). Kompisis Cacing tubiex terdiri dari protein 46,1%, lemak 15,1%dan abu 6,0%, sedangkan cacing darah (blood warm) 90% bagian ubuh adalah air dan sisanya 10% terdiri dari bahan padatan. Dari 10% bahan padatan isi 62,5% adalah protein, 10% lemak, dan sisanya lain-lain (Ekawati, 2005). 1.11 Faktor-faktor yang mempengaruhi GET Menurut Mujiman (1984) dalam TItik (2008), laju pengosongan laju digesti dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya temperatur lingkungan dan kualitas pakan. Selain itu faktor-faktor kimia yang terdapat dalam perairan yaitu kandungan O2, CO2, H2S, pH dan alkalinitas. Biasanya semakin banyak aktifitas ikan, maka ikan semakin banyak membutuhkan energi sehingga proses metabolismenya tinggi dan membutuhkan makanan yang mutunya jauh lebih baik dan banyak. Menurut Gunarso, dkk (2003), kandungan lemak total pada pakan akan memperlambat proses pencernaan dan waktu kosong saluran pencernaan ikan. 1.12 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility Menurut Goenarso, dkk (2003), efisiensi daya cerna menunjukkan bahwa jumlah pakan yang dapat diabsorbsi oleh ikan semakin berkurang sejalan dengan meningkatnya ampas kelapa dalam pakan. Karena serat yang terkandung dalam pakan bercampur ampas kelapa secara tidak langsung akan meningkatkan kadar selulosa dalam pakan. Dan kandungan serat yang tinggi pada pakan ikan dapat menurunkan laju tumbuh. Menurut Schneider dan Flatt (1975) dalam Haetami dan Sukayo (2005), Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecemasan bahan kering ransom adalah : 1. Tingkat proporsi bahan pakan dalam ransom 2. Komposisi Kimia 3. Tingkat protein ransom 4. Persentase lemak dan

5. Mineral Disamping itu perbedaan nilai bahan kering dicerna, mungkin disebabkan karena adanya perbedaan pada sifat-sifat maknan yang diproses termsuk kesesuaiannya untuk dihirolisis oleh enzim dan aktifitas substansi substansi yang terdapat di dalam pakan. 4.2 Analisa Hasil 4.2.1 Digestibility Pada pengamatan digestibility (daya cerna) terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus) yang telah diberikan perlakuan ang berbeda terhadap perbedaan jenis pakan diperoleh hasil nilai digestibility (daya cerna) ikan nila tertinggi yaitu pada kelompok 2 dengan jumlah presentase sebesar 99,80% dengan perlakuan ikan nila diberi paka alami yaitu tubifex selama 2 jam. Sementara itu nilai digestibility terendah terdapat pada kelompok 1 dengan jumlah nilai preentase digestibilitynya terendah terdapat pada kelompok 1 dengan jumlah nilai presentase digestibilitynya sebesar 79,5% dengan perlakuan ikan nila diberi pakan jenis lumut jaring. Sementara itu urutann nilai digestibility (daya cerna) pada penggunaan waktu 1 jam adalah kelompok 7 dengan nilai 99,4% dengan pakan tubifex, kedua kelompok 5 dengan nilai 97,82% dengan pakan pelet, ketiga kelompok 3 dengan nilai 97,7% dengan pakan chironomous dan terendah kelompok 1 dengan nilai 79% dengan pemberian pakan lumut jaring. Hal ini dapat terjadi karena ikan lebih banyak menandung enzim protease daripada enzim amilase. Sehingga ikan lebih baik dalam mencerna tubifex daripada lumut jaring. Hal ini sesuai dengan pernyataan isnaeni (2006), bahwa karbohidrat yang banyak ditemukan pada dinding sel tumbuhan adalah sesulose. Selulose tersusun atas komponen dasar penyusun selulosa (monomer) yang saling berikatan dengan ikatan glikosidik, pada hewan tidak memiliki enzim yang berfungsi untuk memecah ikatan glikosidik. Oleh karena itu, untuk mencerna selulosa, hewan memerlukan bantuan mikroorganisme yang memiliki enzim pemutus ikatan beta glikosidik. Kemudian pada waktu 2 jam terdapat proses digestibility yang berada di daya cerna tertinggi secara berurutan adalah kelompok 2 99,80% dengan pakan tubifex, kelompok 6 dengan pakan chironomous sebesar 97,7% dan kelompok 4 94,29% dengan pakan pelet. Hal ini dapat terjadi karena cacing tubifex mengandung protein yang tinggi sehingga mudah dcerna oleh ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekawati (2005) bahwa komposisi cacing tubifex terdiri dari protein 46,1%, lemak 15,1% dan abu 6,9% 4.2.2 GET (Gastric Evacuation Time / waktu pengosongan lambung) Berdasarkan hasil praktkum GET, diperoleh nilai GET tertinggi pada kelompok 4 yaitu nilai GET sebesar 312,9 jam dengan perlakuan ikan nila (Oreochromis nioticus) diberi pakan pelet yang merupakan pakan buatan yaang telah dipenuhi komposisinya sesuai kebuuhan nutrisi pada ikan. Sedangkan nilai GET terkecil berada pada kelompok 5 dengan nilai GET 49 jam dengan perlakuan ikan nila diberi pakan pelet. Tujuan dari praktikum GET itu sendiri adalah untuk mengetahui waktu pengosongan lambung sehingga diasumsikan ketika ikan nila mengeluarkan feses maka lambung ikan dalam keadaan kosong. Dari hasil pengamatan GET, hampir sebagian besar ikan nila tidak mengeluarkan feses sehingga nilai a yaitu tenggng waktu antara saat pemberian pakan dan tenggang waktu dimulainya proses pencernaan digunakan 1 jam karena diasumsikan selama kurun waktu 1 jam ikan nila sudah memulai proses pencernaan makanan dalam tubuhnya. Sedangkan untuk nilai t yaitu tenggang waktu antara saat pakan dimasukkan hingga keluarnya feses, akan tetapi karena ikan nila tidak mengeluarkan feses seingga t yang dimasukkan dalam perhitungan mencari nilai prosesntase GET adalah lama waktu pengamatan. Pada perlakuan GET dengan waktu 1,5 jam dapat diketahui urutan tingkat GET yang tertinggi yaitu pada pakan pelet 312,9, kemudian pada pakan chironomous 141,5 jam, ketiga

pakan lumut jaring 47,5 dan terakhir cacing tubifex sebesar 42 jam. Hal ini dapat terjadi karena pelet merupakan pakan buatan yang telah diberi ransum atau komposisi yanng cukup dan dibuat untuk merangsang ikan menyukainya. Sementara iu cacing tubifex merupakan pakan alami yang mudah dicerna oleh ikan sehingga waktu pengosongan lambng semakin cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mudjiman (1984) dalam Titik (2008) ahwa mutu protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta oleh kandungan asam aminonya. Protein nabati (asal tumbuhan) lebi sukar dicerna daripada protein hewani (asal hewan). Pada perlakuan GET dengan waktu 3 jam dapat diketahui urutan tingkat GET yang tertinggi yaitu pelet 295 jam, pakan tubifex 282 jam, pakan lumut jaring 141,5 jam dan chironmous 94,33 jam. Hal ini dapat terjadi karena chironomous banyak mengandung protein sehingga mudah untuk dicerna dan lambung cepat kosong. Hal ini sesuai dengan pernyataan O-Fish (2009) bahwa 90% bagian chironomous adalah air dan sisanya 10% terdiri dari bahan padatan. Dari 10% bahan padatan ini 62,5% adalah protein, 10 % lemak dan isanya lain-lain. Pada pengamatan 2 perlakuan waktu yaitu 1,5 jam dan 3 jam yang memilki nilai tetinggi adalah pada pemberian pakan pelet dan yang paling rendah adalah pada pakan tubifex dan cironomous. Hal ini dapat terjadi karena tubifex dan chironomous merupakan jenis pakan yang banyak mengandung protein sehingga mudah dicerna. Apabila dibandingkan antara perlakuan 1,5 jam dan 3 jam diperoleh hasil bahwa pakan lumut jaring nili GET 1,5 jam adalah 47,5 jam dan 3 jam 141,5 jam sehingga GET yang terbaik pada ikan berada pada waktu 1,5 jam. Kemudian pada pakan tubifex kelompok 2 nilai GET 1,5 jam adalah 24,25 dan 3 jam 282, sehingga GET yang terbaik pada ikan berada pada perlakuan 1,5 jam. Pada pakan chironomous nilai GET 1,5 jam adalah 141,5 dan 3 ja adalah 27,4 jam/ jadi perlakuan daya cerna ikan yang terbaik pada ikan adalah pada perlakuan 3 jam. Kemudian pada pakan pelet, nilai GET pada waktu perlakuan 1,5 jam adalah 312,9 dan perlakuan 3 jam adalah 105 pada kelompok 4 sehingga waktu pengosongan lambung yang terbaik adalah pada perlakuan3 jam. Jadi berdasarkan analisa tersenut dapat diambl kesimpulan bahwa waktu berpengaruh terhadap nilai GET pada tubuh ikan. Karena pada saat proses metabolisme ikan membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mujiman(1984) dalam Titik (2008) bahwa lju pengosongan laju digestibility dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya temperatur lingkungan dan kualita pakan. Biasanya semakin banyak aktivitas ikan, maka semakin banyak membutuhkan energi sehinga proses metabolismenya tinggi dan membutuhkan makanan yang mutunya jauh lebih baik dan lebih banyak jumlahnya. 4.2.3 Hubungan Digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time) Hubungan digestibility dan GET adalah apabila nilai dari digestibility meningkat maka nilai dari GET akan menurun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang digunakan dalam pengamatan. 4.3 Faktor Koreksi Hal yang perlu menjadi koreksi pada praktikum ini adalah keadaan ikan yang seharusnya telah dipuasakan selama 3 hari. Hal ini akan berpengaruh atau mempengaruhi hasil pengamatan. Kemudian dalam pengmabilan feses praktikan harus jeli membedakan feses dan makanan ikan. Kemudian mulainya perhitungan waktu saat ikan makan pertama kali bisa saja kurang teliti dalam mengamati dan juga dalam proes penimbangan ikan sering terjadi kesalahan sehingga data yang dihasilkan kurang akurat. 4.4 Manfaat Dibidang Perikanan Melalui praktikum tentang sistem pencernaan ini diperoleh beberapa mamfaat dibidang perikanan antara lain:

a. Dapat mengetahui macam-macam organ pencernaan pada ikan nila (Oreochromis niloticus) beserta fungsinya. b. Dapat mengetahui struktur dan fungsi saluran pencernaan pada ikan nila c. Dapat mengetahui proses pencernaan pada ikan nila, sehingga untuk melakukan budidaya ikan nila, kita dapat memberi pakan yang sesuai supaya proses pencernaannya dapat berjalan lancar. d. Dapat mengetahui jenis-jenis pakan pada ikan, baik pakan alami maupun pakan buatan. e. Dapat mengetahui kandungan pakan pada ikan, sehingga memudahkan menyeleksi pemberian pakan pada budidaya ikan nila. f. Dapat mengetahui daya cerna ikan pada makanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga kita dapat mengetahui pakan-pakan apa saja yang memiliki kemampuan daya cerna tinggi dan daya cerna rendah. g. Dapat mengetahui lingkungan yang baik dari pakan yang dimakan ikan untuk proses pencernaan dan pertumbuhannya. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan praktikum tentang sistem pencernaan yang telah dlakukan dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Pencernan (digestion) adalah proses perombakan makanan menjadi molekul molekul yang sederhana sehingga dapat diserap oleh tubuh. 2. Organ pencernaan pada ikan meliputi lambung, usus dan pankreas 3. Saluran pencernaan pada ikan meliputi mulut, rongga mulut, faring, esophagus, lambung, pilorus, usus, rectum dan anus 4. Proses pencernaan dibagi menjadi pencernaan mekanik dan kimiawi yang melibatkan enzim. 5. Kandungan pakan pada ikan meliputi protein, lemak dan karbohidrat 6. Terdapat 2 jenis pakan pada ikan yaitu pakan alami dan pakan buatan 7. Pakan alami dibagi menjadi pakan alami nabati (lumut jaring) dan pakan alami hewani (chironomous dan tubifex), sedangkancontoh pakan buatan untuk ikan adalah pelet. 8. Pakan alami hewani lebih mudah dicerna daripada pakan nabati, sebab pada pakan nabati mengandung selulosa yang menyebabkan sulit dicerna. 9. Ikan kurang mampu mencerna serat kasar karena pada usus ikan tidak terdapat mikroba yang dapat memproduksi enzim amilase atau selulose. 10. Faktor yang mempengaruhi digestibility antara lain jenis pakan, kualitas pakan, aktivitas ikan, kondisi tubuh ikan. 11. Waktu pengosongan lambung sangat berhubungan erat dengan lamanya waktu isi makanan yang ada dilambung dikeluarkan atau dikosongkan. 12. Faktor yang mempengaruhi waktu pengosongan lambung antara lain temperatur, berat porsi makan dalam lambung dan berat tubuh ikan. 13. Hubungan antara digestibility dan GET yaitu semakin tinggi digestibility maka akan semakin rendah atau sedikit waktu yang diperlukan untuk mengosongkan lambung.jadi hubungannya berbanding terbalik. 14. Dari hasil praktikum pencernaan didapat nilai digestibilitynya yang tertinggi dimiliki oleh kelompok 2 dengan digestibility 99, 80% arena diberi perlakuan tubifex selama 2 jam. Nilai digestibility terendah dimiliki oleh kelompok 1 dengan digestibility sebesar 79% diberi perlakuanlumut jaring selama 1 jam. 5.2 Saran Dalam praktikum selanjutnya diharapkan ikan yang akan diamati dipuasakan terlebih dahulu

selama 3 hari supaya diperoleh hasil yang maksimal karena jika tidak dipuasakan akan mempengaruhi nilai data yang diperoleh.

FOTOTAKSIS DAN PEWARNAAN TUBUH


1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian dan Jenis Fototaksis Menurut Agung (2009), fototaksis adalah gerak taksis yang disebabkan oleh adanya rangsangan cahaya. Menurut Ayodhoya (1976, 1981) dalam Sudirman dan Achmar (2000), ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal rigean pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut fototaksis. Dengan demikian ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaksis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-ikan yang tidak tertarik oleh cahaya atau menjauhi cahaya biasa disebut fotophobi (ada pula yan menyebutnya sebagai fototaksis negatif seperti Gunawan, 1985). Banyak larva yang mengapung bebas bersifat fototaksis pada tahap awal kehidupan larvanya. Ini membuat mereka terdapat pada perairan bebas yang bergerak cepat. Di perairan ini terjadi dispersi yang terbesar jika tiba waktunya untuk menetap, mereka menjadi fototaksis negatif dan bermigrasi ke arah dasar (Nybakken, 1988). Umumnya hewan nokturnal bersifat fototaksis negatif, sedangkan hewan diurnal cenderung bersifat fototaksis positif. Dengan kata lain bahwa hewan nokturnal pada intensitas cahaya yang maksimum akan dirangsang untuk melakukan gerakan mencari perlindungan. Sedangkan bagi hewan diurnal intensitas cahaya yang kuat akan memberikan reaksi yang sebaliknya, mereka akan melakukan berbagai aktivitas (Barus, 2003). Menurut Olii (2003), terdapat juga ichtyoplankton yang bermigrasi secara harian ke arah permukaanpada siang hari dan masuk ke lapisan yang lebih dalam pada malam hari dimana hal ini merupakan suatu pengecualian yang bersifat fototaksis positif.

1.2 Pewarnaan Tubuh Ikan Menurut Effendie (1972), ikan yang hidup di perairan bebas mempunyai warna yang sederhana. Warnanya bertingkat dari keputih-putihan sampai ke warna hitam melalui warna kebiru-biruan dan kehijau-hijauan. Ikan yang hidup di dasar perairan bagian perutnya berwarna pucat dan bagian punggungnya berwarna gelap. Pewarnaan ikan laut menurut kedalamnannya dapat digolongkan menjadi tiga bagian. Ikan yang hidup di lapisan atas atau dekat ke permukaan berwarna keperak-perakan yang hidup di daerah pertengahan berwarna kemerah-merahan sedangkan ikan yang hidup di perairan dalam berwarna violet atau hitam. Perubahan warna ikan dari warna dasarnya telah banyak diketahui. Perubahan-perubahan tersebut karena perantaraan dan aktivitas pigmen-pigmen pada integumen yang mengandung sel-sel disebut kromatophore (Fuji,1969 dalam Rustidja, 1996). Warna menunjukkan partikel bentuk yang nyata, seperti warna merah, kuning, hijau atau warna lainnya merupakan bagian dari pewarnaan yang digunakan untuk pengaturan spesifikasi dari pola warna-warna yang belum dipadukan (Guyer dan Charles, 1964). Produksi warna cahaya oleh variasi organ photogenic semua binatang biru ke merah (Prosser dan Frank, 1961).

1.3 Cone dan Rod pada Ikan dan Udang Menurut Kimball (1983), batang kira-kira ada 100 juta dalam setiap mata. Batang terutama dipakai untuk penglihatan dalam cahaya suram dan teramat peka terhadap cahaya. Akan tetapi bayangan yang dihasilkan batang-batang ini tidak tajam. Agar cahaya dapat diserap, harus ada bahan penyerap cahaya, yaitu suatu pigmen. Pigmen pada batang ialah radopsin. Radopsin tergabung dalam membran yang secara rapi tersusun di bagian luar batang tersebut. Radopsin ialah protein yang terkonjugasi. Terdiri dari protein opsin, yang padanya terdapat gugus protetik retinal. Sedangkan kerucut jumlahnya sangat banyak (sekitar 15.000 pada setiap milimeter persegi) di satu daerah retina, yaitu fovea, suatu daerah tepat di seberang lensa. Berbeda dari batang, kerucut hanya bekerja dalam cahay terang. Lagipula, kerucut membuat kita dapat melihat warna-warna. Sebagian besar ikan dapat membedakan warna. Tetapi ikan tulang rawan tertentu dan gonad tidak dapat membedakan warna. Ikan dapat merubah warna tubuhnya sesuai dengan warna latar belakang habitatnya, dalam menyesuaikan warna tubuh tersebut biasanya warna tubuh menjadi berwarna kombinasi antara warna latar belakang dengan warna tubuh aslinya (Dani dan Murni, 1985). Menurut Villee (1984), bagian mata peka cahaya pada mata vertebrata adalah retina. Suatu belahan bola yang terdiri atas sejumlah besar sel reseptor yang menurut bentuknya disebut sel batang dan kerucut. Cahaya mengenai sel-sel batang dan kerucut mengaktifkan, sel-sel ini kemudian membangkitkan impuls saraf. Segmen luar dari tiap batang mempunyai perluasan sistem membran sel dan sejumlah besar pigmen radopsin. Sel kerucut mengandung radopsin, suatu pigmen visual yang terdiri atas kromafor yang sama (retinal) tetapi proteinnya berbeda. Menurut Ganong (1983), pigmen peka cahaya pada batang dinamakan radopsin, atau ungu penglihatan (visual purple), orsinya dinamakan scotopin. Cahaya memusatkan radopsin dengan memutuskan ikatan retinenkotopsin, reaksi yang berlangsung melalui serangkaian perantara hidup pendek menjadi rentiner dan scotopsin. Terdapat 3 jenis pigmen kerucut yang berbeda, iadopsin merupakan pigmen yang paling sensitif terhadap cahaya merah. Pigmen ini dibentuk dari retinen dan fotopsin, sebuah protein yang berbeda dari scotopsin. Pigmen sel kerucut lainnya juga mengandung retinen, dan perbedaaan antara masing-masing terletak pada perbedaan dalam struktur opsinnya.

1.4 Pengaruh Cahaya Terhadap Pergerakan Ikan Cahaya berpengaruh besar dalam orientasi migrasi ikan. Arah migrasi ikan secara mudah dapat dihubungkan dengan perilaku diurnal dengan siklus diurnal cahaya matahari, contoh : ikan salmon berenang di waktu siang hari dan istirahat di waktu sore hari dan malam hari, kemudian memasuki dasar lautan di siang hari (Brotowidjoyo, dkk, 1996). Reaksi ikan terhadap cahaya berubah menurut phase pertumbuhannya, ikan salmon muda dan beberapa ikan tawar lain, akan berlindung di balik batu-batuan jika kena cahaya untuk menghindari adanya predator. Pada larva Ammocotus sp (lamprey/cyclostomata) pada ekornya terdapat sel yang peka terhadap cahaya (Dani dan Murni, 1985). Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Bcetisthodani akan beraksi terhadap perubahan intensitas cahaya dengan melakukan gerakan lokomotif. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang, hewan ini akan dirangsang untuk melakukan gerakan lokomotif untuk keluar dari tempat perlindungan yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan di dasar perairan (Barus, 2003).

1.5 Klasifikasi Warna Menurut Effendie (1972), warna-warna ikan yang tersebut di atas disebabkan oleh : 1. Schemachrome, warna oleh konfigurasi fisis 2. Biochrome, pigmen pembawa warna Contoh pewarnaan schemachrome ialah warna-warna yang terdapat pada rangka, vasion natatolia (gelembung renang), sisik dan testes. Jadi warna-warna ini bukan disebabkan oleh butir-butir pigmen. Warna schemachrome lain yang berwarna biru dan violet terdapat pada iris mata. Yang termasuk ke dalam biochrome ialah : - Carotenoid : berwarna kuning, merah dan corak warna lain - Chromdipoid : berwarna kunig sampai coklat - Indigoid : berwarna biru, merah dan hijau - Mebrin : kebanyakan berwarna merah dan coklat - Phorphysin : berwarna merah, kuning hijau dan biru - Flavins : berwarna kuning tetapi sering dengan fluorescensi hijau - Purine : berwarna putih atau keperak-perakan - Pterine : berwarna putih, kuning, merah dan oranye Sel-sel yang khusus membeli warna ikan ada dua macam, yaitu indocyte (leucophore atau goanophore) dan chromatopore. Indocyte dinamakan juga sel kaca karena mengandung material yang dapat merefleksikan warna-warna di luar tubuh ikan. Material yang terkandung di dalam indocyte tersebut, antara lain adalah guarin (keputih-putihan) sebagai hasil buang dari metabolisme. Cell chromatophore terdapatnya di dalam dermis, mempunyai butir-butir pigmen yang dapat dan berkumpul di dalam satu titik. Jika butir-butir pigmen itu sedang berkumpul di satu titik, warna yang dihasilkan secara keseluruhan nampaknya lebih pucat. Sedangkan apabila butir pigmen itu sedang menyebar semuanya, warna yang terlihat lebih jelas dan bergantung kepada warna butir pigmen tod, umumnya untuk satu warna yang khas bergantung kepada kombinasi chromatophore dasar yang mengandung satu macam warna. Sesuai dengan kandungan pigmen-pigmen warna chromatophore pada ikan umumnya diklasifikasikan menjadi melanophore (coklat atau hitam), eritrophore (merah), xantophore (kuning), iridophore (berkilau-kilauan), leucophore dan iridophore mengandung pigmenpigmen tidak berwarna (guanine primer), tetapi pada mulanya mengandung kristal-kristal kecil dimana dapat berpindah ke belakang dan ke muka dalam sitoplasma, kemudian menjadi kristal-kristal besar yang tak mampu berpindah dan biasanya menumpuk dalam lapisanlapisan (Fuji,1969 dalam Rustidja, 1996).

1.6 Proses Pewarnaan Tubuh Ikan Menurut Hitching dan Falco (1944) dalam Fuji (1969) dalam Rustidja (1996), dulunya mendemonstrasikan secra kimia kehadiran berlebihan dari guanin dalam integumen ikan. Paling sedikit dalam iridophore molekul-molekul dari purin teratur menyusun dalam plot-plot individu (Kawaguoi dan Kamishima, 1969 dalam Fuji, 1969 dalam Rustidja, 1996). Menurut Effendie (1972), ada ikan yang dapat merubah warnanya. Perubahan warna tersebut seperti disebutkan di muka karena menyebar dan mengumpulnya butir-butir pigmen. Skimuli untuk mengadakan perubahan warna, ada yang dimulai dengan melalui matanya atau dengan lainnya misalnya cahaya. Ikan yang mendapat kurang cahaya berwarna pucat dari ikan pada ikan yang sama tetapi mendapat cahaya dengan cukup. Produksi pigmen berkurang bila kurang cahaya dan sebaliknya. 1.7 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Warna Produksi pigmen berkurang bila kurang cahaya dan sebaliknya. Cahaya ini mempengaruhi kerja hormon merubah keadaan pigmen. Tetapi perubahannya lambat. Jadi yang mengontrol

perubahan warna ada dua macam. Pertama ialah perubahan warna yang dikontrol oleh syaraf seperti mata, dll dimana perubahan tadi dapat terjadi dengan cepat. Sedangkan perubahan warna yang dikontrol oleh hormon terjadi dengan lambat (Effendie, 1972). Diantara substansi yang mempengaruhi gerakan pigmen dalam kromatophore adalah MSH (Melanocyte stimulating Hormon). Hormon ini dieksresikan oleh lobus medius hipofisis. Pertama kali ditemukan karena efeknya pada sel-sel pigmen dalam kulit vertebrata tingkat terendah (Harper, Rodwel dan Mayes, 1977 dalam Rustidja, 1996). Menurut Fuji (1969) dalam Rustidja (1996), sebagian besar bagian integumen dorsal dari ikan mengandung tingkat tirosinase yang lebih tinggi dibandingkan dengan ventral empat varietas goldfish (putih, xanthin, abu-abu dan hitam) aktivitas total tirosinase meningkat dengan meningkatnya aktivitas pada umumnya terjadi dalam fraksi-fraksi partikel. 4.2 Analisa hasil 4.2.1 Fototaksis Hasil pengamatan fototaksis didapatkan hasil pada jenis masing-masing ikan. Dari pengamatan tersebut didapat hasil yang berbeda tiap kelompok. Pada pengamatan ikan nila (Oreochromis niloticus) hanya dari kelompok 6 dan 7 yang hasilnya negatif atau fototaksis negatif dan sedangkan kelompok lainnya hasilnya positif atau fototaksis positif. Dan dari pengamatan ikan mas (Cyprinus carpio) semua kelompok hasilnya positif. Dan hasil pengamatan udang galah (Machrobachium rosenbergii) hanya dari kelompok 3 saja yang hasilnya netral dan yang lainya negatif. Sedangkan pada ikan manvis (Pteriophyllum scales) hasilnya hanya kelompok 5 yang hasilnya netral dan yang lainya negatif. Dan ikan black ghost (Apteronotus albifrons) semua hasilnya negatif. Dan sedangkan ikan sepat (Trichogaster pectoralis) hasilnya dari kelompok 1, 2 dan 5 positif dan kelompok 7, 6 dan 4 hasilnya negatif dan sedangkan hanya kelompok3 yang hasilnya netral. Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa ikan yang hasilnya positif atau fototaksis positif, habitat hidupnya berada di permukaan atau atas air yang memerlukan cahaya. dan sedangkan yang hasilnya negatif atau fototaksis negatif, habitat hidupnya berada di bawah atau didasar air yang tidak memerlukan cahaya. Menurut Nuraini (2009), udang galh juga bersifat nokturnal atau beraktivitas pada malam hari. Pada siang hari udang galah malas bergerak dan tidak tahan terhadap sinar matahari, karena itu udang galah banyak ditemukan ditepi perairan yang teduh dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jadi hasil pengamatan diatas sesuai dengan pernyataan tersebut, kalau udang galah hidup didasar kolam. Aktivitas ikan black ghost lebih banyak dilakukan pada malam hari (nokturnal) sehingga pada siang hari ikan akan lebih suka bersembunyi dibebatuan, daun-daun, akar tanaman atau benda lainya didasar sungai. Dilihat dari kebiasaannya, biasanya ikan ini lebih cenderung menghabiskan waktunya didasar sungai namun masih kecil akan berenang ke atas dan ke bawah perairan dengan lincahnya (Herawaty, 2008). Jadi hasil pengamatan black ghost sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan black ghost hidupnya lebih bayak didasar kolam. Menurut Caroko, dkk (2005), ikan nila bisa hidup diperairan air tawar hampir seluruh Indonesia. Ikan nila cenderung senang hidup diair hangat bersuhu sekitar 280C. Berdasarkan tempat hidupnya, jadi ikan nila bersifat fototaksis positif. Jadi hasil pengamatan ikan nila sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan nila lebih menghabiskan hidupnya di permukaan. Menurut Sutan Muda (2007), bahwa ikan mas dapat tumbuh normal jika lokasi pemeliharaan berada pada ketinggian diantara 150-1000 m dari permukaan laut. Jadi hasil pengamatan ikan mas sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan nila lebih menghabiskan hidupnya di permukaan. Menurut Fish Stok (2008), ikan sepat menyukai rawa-rawa, danau, sungai dan parit-parit

berair terang, terutama yang bayak di tumbuhan air. Jadi ikan sepat persifat fototaksis positif. Menurut Iswadi (2008), secara alami manvis hidup di perairan yang terang dan banyak tanamanya. Oleh karena itu, bila manvis dipelihara dalam aquarium yang terlalu terang dan banyak ikannya, kelihatan gelisah. Jadi manvis bersifat fototaksis negatif. 4.2.2 Pewarnaan Tubuh Ikan Dari data pewarnaan tubuh didapatkan bahwa ikan sepat (Trichogaster pectoralis) dibungkus dengan plastik hitam terjadi perubahan pada dorsal berwarna kuning dan terlihat lebih menyala atau terang, warna tubuh bagian perut terlihat agak gelap dan pada linea lateralis ada bintik-bintik hitam. Dan ikan sepat yang dibungkus dengan plastik warna merah terjadi perunahan warna tubuh pink, warna pectoral menjadi merah, bentuk pada warna tubuh lebih terang. Sedangkan yang dibungkus plastik warna biru disekitar dekat ekor kuning terang. Sedangkan yang dibungkus plastik warna kuning terjadi perubhan warna punggung kecoklatan, warna perut putih kekuning-kuningan dan warna siripdan ekor kuning pucat. Dan waktu tercapat ikan sepat memendarkan warna adalah 1 menit dengan warna plastik kuning, biru dan merah dan sedangkan waktu terlama saat ikan memendarkan warna adalah 15 menit dengan warna plastik hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Dani dan Murni (1985), yang menyatakan bahwa ikan dapat merubah warna tubuhnya sesuai dengan warna latr belakanghabitatnya. Didalam penyesuian warna tubuh tersebut biasanya warna tubuh aslinya dengan warna latar belakang. Menurut Purwakusuma (2007), yang menjelaskan bahwa mekanisme pergerakan butiran pigmen pada ikan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu sebagai akibat reaksi terhadap kondisi lingkungan ikan yang bersangkutan. Oleh karena itu, ikan bisa tampak berbeda pada kondisi lingkungan berbeda. Grafik 1 : grafik pewarnaan tubuh 4.3 Faktor Koreksi Pada praktikum mengenai fototaksis dan pewarnaan ikan terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kireksi antara lain : - Pada saat membungkus toples yang berisi ikan dengan plastik berwarna tidak rapat masih ada celah, jadi hasilnya ada yang kurang maksimal - Saat meletakkan ikan yang dibungkus plastik warna dengan toples berisi ikan yang dibunkus plastik terlalu berdekatan, jadi akan mengganggu ikan yang tidak dibungkus plastik dan warna plastik mempengaruhi ikan yang tidak dibungkus plastik warna - Saat mengamati ikan terhadap cahaya, seharusnya saat senter dinyalakan melihat ikan dari lubang plastik yang telah disediakan bukannya dari atas. 4.4 Manfaat di Bidang Perikanan Manfaat dari praktikum ini pada bidang perikanan yaitu : - Kita dapat menyimpulkan bahwa jenis ikan apa saja yang termasuk dalam fototaksis positif dan fototaksis negatif - Dapat mengetahui bahwa ikan sepat dapat memendarkan warna tergantug lingkungannya - Dapat membantu dalam pencarian ikan menggunakan bantuan lampu pada malam hari 4. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari data hasil pengamatan dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : - Fototaksis merupakan gerakan yang dilakukan oleh ikan karena pengaruh rangsangan

cahaya - Ikan sepat dapat mengyesuaikan tubuhnyadengan lingkunganmya karena mempunyai pigmen indophere - Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan tubuh ikan antara lain didapatkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan ikan yang bersifat fototaksis positif. Dan ikan nila (Oreochromis niloticus) bersifat fototaksis positif. Sedangkan ikan manvis (Pterophyllum scalane) dan black ghost (Apteronotus albifrons) bersifat fototaksis negatif dan sisanya bersifat normal - Pengamatan kelompok 3 mengenai pewarnaan tubuh, didapatkan bahan ikan sepat mengalami perubahan warna tubuh kebiruan dan ekornya terlihat kekuning-kuningan dan waktu untuk memendarkan warna sekitar 1 menit. 5.2 Saran Pada praktikum fototaksis dan pewarnaan ikan seharusnya saat pengamatan fototaksis cahaya difokuskan pada satu titik sehingga pelaku ikan terlihat jelas. Dan hendaklah lebih teliti dalam mengamati perubahan warna ikan agar diperloleh data atau hasil yang valid.

DARAH IKAN
1. PENDAHULUAN 1.1 Darah Ikan Darah adalah suatu fluida (plasma) tempat beberapa substansi terlarut dan tempat erythrocyte, leucocyte dan beberapa hal lainnya tersuspensi (Rachman, 2003). Setelah hewan mencernakan pakannya dan mengabsorbsi molekul-molekul pakan tersebut selanjutnya mendistribusikannya ke seluruh sel-sel tubuh dengan bantuan system pengangkut, biasanya adalah darah (Yuwono dan Purnama, 2001). Darah adalah suatu jaringan bersifat cair. Darah terdiri dari sel-sel (dan fragmen-fragmen sel) yang terdapat secara bebas dalam medium yang bersifat seperti air, ialah plasma (Kimball, 1983). Darah merupakan jalan utama transportasi pencernaan bahan makanan untuk sekresi kelenjar endokrin dan sebagai rute metabolisme bermacam-macam tujuan, contohnya rute asam susu asam ke hati untuk glikogenesis (Guyer dan Charles, 1964). 1.2 Komponen Penyusun Darah 1.2.1 Sel Darah a. Eritrosit Erythrocyte (sel darah merah) ikan berinti, berwarna merah kekuningan. Erythrocyte dewasa berbentuk lonjong, kecil, berdiameter antara 7 - 36 mikron (bergantung kepada spesies ikannya). Jumlah erythrocyte tiap mm3 darah berkisar antara 20.000 3.000.000 (Rachman, 2003). Menurut Kimball (1983), sel-sel darah merah mempunyai bentuk cakra, dengan diameter 7,5 m dan ketebalan di tepi 2 m. Tengah-tengah dari cakra tersebut lebih tipis (1 m) dari pada tepinya. Bentuk bikonkaf yang menarik ini mempercepat pertkaran gas-gas antar sel-sel dan plasma darah. Pada orang dewasa, SDM dibentuk dari sel-sel pokok, yang terletak dalam sum-sum tulang, terutama dalam tulang-tulang rusuk, sternum (tulang dada) dan vertebrata (tulang-tulang belakang). Jangka hidup sel-sel ini kira-kira 120 hari. Sel-sel darah merah yang telah tua akan ditelan oleh sel-sel fagostik yang terdapat dalam hati dan dalam

suatu struktur berbentuk kantung yang disebut limpa. Sebagian besar vertebrata mempunyai eritrosit berbentuk lonjong yang berinti, tetapi pada mamalia, dalam perkembangannya inti itu lenyap dan eritrosit berbentuk cawan bikonkaf. Bentuk demikian mempunyai permukaan yang volumenya sama, dan permukaan yang lebih luas ini mempermudah lewatnya gas dan zat lain melalui membran plasma. Jumlah sel darah merah adalah yang paling banyak dibandingkan denga unsur-unsur sel darah lainnya. Dalam satu millimeter kubik darah manusia terdapat 5.000.000 sel darah merah (Ville, 1988). b. Leukosit Menurut Iskandar (1974), leucocyte besarnya lebih besar dari erythrocyte dan berinti. Banyaknya berkisar antara 5.000 10.000 per kubik millimeter. Berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh, karena mempunyai daya phagocytosis yaitu mempunyai daya memakan sel-sel bakteri dan benda-benda asing lainnya. Sel-sel darah putih atau leucocyte tersebut dibuat di sumssum tulang, bersama-sama dengan sel-sel darah merah, sedangkan lymphocyte dibuat dari kelenjar-kelenjar lymphe sedangkan dalam jumlah yang sedikit di sumsm tulang, leucocyte di hancurkan di limpa, sumsum tulang dan sel koffer yaitu oleh sel macrophage. Menurut Lagler et al (1977), darah ikan meliputi beberapa tipe sel berwarna atau sel darah putih (leukosit), yang bentuknya seperti telur sampai bulat. Jumlah sel darah putih antara 20.000 dan 150.000 per kubik millimeter dalam kelompok ikan yang berbeda. Diantara sel darah putih ada granulosit yang mungkin terdiri antara 4 dan 40 persen dari semua sle darah putih. Rata-rat diameternya 10 mikron, tetapi ukuran dari 24 sam pai 33 mikron ada pada ikan paru-paru afrika (Protopterus). Granulosit dibagi menurut reaksi staining mereka dalam neurofil, yang umum; asidofil (eosinofil) dan basofil yang jarangpada darah ikan. Beberapa elasmobranchi mempunyai tipe granulosit ke empat, heterofil. Juga agranular limfosit dan monosit yang oval; biasanya lebih kecil, trombosit. Leukosit agranular lebih banyak pada komponen sel darah putih dalam darah ikan. Monosit mempunyai fungsi makrofage. Limfosit menghilang untuk diferensiasi ke dalam 2 populasi, yang satu memproduksi antibodi dan yang lain sebagai sel imunitas. Jumlah trombosit sekitar setengah dari semua leukosit pada ikan dan berfungsi dalam penggumpalan darah. 1.2.2 Plasma Menurut Isnaeni (2006), plasma darah mengandung ekitar 90% air dan berbagai zat terlarut / tersuspensi di dalamnya. Plasma merupakan cairan komponen penyusun darah yang memiliki komposisi sangat berbeda dari cairan intra sel. Plasma mengandung sejumlah protein yang berperan sangat penting untuk menghasilkan tekanan osmotic plasma. Tekanan osmotic plasma yang ditimbulkan oleh protein disebut tekanan osmotic koloid. Volume plasma pada hewan yang memiliki sistem sirkulasi tertutup tergantung pada keseimbangan antara laju filtrasi cairan / plasma dari kapiler menuju ruang jaringan dan laju reabsorbsi filtrate tersebut. Ada 2 macam kekuatan yang bekerja dalam proses pertukaran cairan tersebut, yaitu tekanan darah (tekanan hidrostatik) dan tekanan osmotic koloid. Menurut Yuwono dan Purnama (2001), plasma merupakan cairan yang mengandung ion-ion dan molekul orgnanik meliputi protein, elektrolit, nutrient, materi sampah, zat pengatur dan gas terlarut. Komposisi plasma darah adalah sebagai berikut : - Air - Protein - Bahan terlarut - Elektrolit (Na+, K+, Mg++, Cl-, HCO3-, PO4, SO4) - Senyawa protein non nitrogen (urea, asam urat, keratin, kreatinin, garam-garam ammonium) - Nutrient (glukosa, lemak, asam amino) - Gas-gas darah (oksigen, karbon dioksida, nitrogen)

- Senyawa pengatur (hormone, enzim) Menurut Mayes, dkk. (1985), semua fungsi darah kecuali fungsi seluler spesifik seperti transport oksigen dan system pencernaan immunologic oleh sel dilakukan oleh plasma dan unsur-unsur plasma. Plasma terdiri dari air, elektrolit, zat makanan, protein dan hormone. Komposisi air dan elektrolit plasma praktis sama dengan semua cairan ekstraseluler. 1.3 Tahap Pembentukan Darah Tanda tanda pertama yang nyata tentang pembentukan system peredaran darah ialah timbulnya suatu masa mesoderm yang pepat pada kantong yolk, dinamakan pulau pulau darah. Sel sel permukaan dari pulau pulau yang berbatasan, berangsur angsur merapat dan membentuk jarring jaring tipis. Sel sel yang lebih dalam memisahkan dari satu sama lainnya dan menjadi sel sel darah (Hildebrand, 1974). Daerah daerah tubuh yang membentuk sel darah merah pada beberapa minggu pertama kehiduoan embrio, sel sel darah menrah primitive dihasilkan dalam kantong kuning telur. Selama trisemester kedua kehamilan sel darah merah, pada saat yang sama, sel sel darah merah juga dibentuk dalam jumlah cukup banyak oleh limpa dan kelenjar limfe, kemudian, selama trisemester ketiga kehamilan dan setelah lahir, sel darah merah dibentuk semata mata oleh sumsum tulang (Guyton, 1976). 1.4 Fungsi Darah Darah berfungsi mengedarkan suplai makanan kepada sel sel tubuh, membawa oksigen ke jaringan jaringan tubuh, membawa hormone dan enzim ke oragan yang memerlukan. Pertukaran oksigen dengan air dengan karbondioksida terjadi pada bagian semipermeable, yaitu pembuluh yang terdapar didaerah insang (Rachman, 2003). Menurut Mayes, dkk, (1985), semua fungsi darah kecuali fungsi seluler spesifik seperti transfer oksigen dan system pertahanan imunologik oleh sel sel (cell medicted defense), dilakukan oleh plasma dan unsur- unsur plasma fungsi tersebut adalah : respirasi transport oksigen dari paru paru kejaringan dan CO2 dari jaringan paru paru. nutrisi transport zat zat makanan yang diadsorbsi. ekskresi transport sisa metabolism eke ginjal, paru paru, kilit. Dan usus untuk dibuang. pemeliharaan keseimbangan asam basa di dalam tubuh. pengaturan keseimbangan air melalui efek darah terhadap pertukaran air diantara cairan yang beredar dan cairan jaringan. pengaruh suhu tubuh dengan penyebaran panas badan. pertahanan terhadap infeksi oleh sel darah putih dan antibody yang beredar. transport hormone, pengaturan metabolisme. 9. transpor metabolic 1.5 Komponen Penyusun Sistem Peredaran Darah Secara umum struktur dasar sistem sirkulasi ini terdiri atas saluran-saluran yang berhubungan (pembuluh) dan cairan yang dapat sebagai transportasi. Sirkulasi dalm pembuluh limpha dan limpha merupakan sistem limpatik. Sedangkan dikatakan sistem pembuluh darah karena pembuluh darah yang membawa darah untuk sirkulasi dipompa oleh jantung bekerja kontinyu dalam sistem cardiovaskuler.jadi materi dalam pembelajaran tentang sistem sirkulasi ini dibagi atas : 1. sistem cardiovaskuler dan capiler Darah : Arteri, vena dan capiler Jantung Sistem sirkulasi arteri dan vena Sirkulasi tunggal dan ganda

2. sistem limphatik Pembuluh limpha Jaringan limpha (Noer dan widawati, 2007) Menurut Kimball (1938), darah yang terkumpul dari seluruh badan ikan masuk ke kamar berdinding tipis, atlium. Ketika jantung kendur, darah mengalir melalui sebuah katub ke dalam ventrikel berdinding tebal. Kontraksi vertikel yang kuat mendesak darah keluar ke anyaman kapiler insang. Dari insang, darah mengalir ke anyaman kapiler dibagian badan selebihnya, dan pertukaran bahan makanan terjadi dengan jaringan. Kemudian darah kembali ke jantung. 1.6 Mekanisme Peredaran Darah Menurut Effendie (1972), darah yang keluar dari jantung melalui ventral aorta terus ke insang, darah yang mengandung banyak zat asam menggalir di dalam pembuluh darah dorsal aorta. Sebagian menuju ke kepala dan sebagian lagi menuju ke bagian tubuh yang lain dan alat pencernaan makanan. Darah yang dari tubuh sebelum masuk ke jantung mengalir dulu ke ginjal, temmpat kotoran hasil metabolisme kemudian mengalir ke hati terus masuk lagi ke jantung. Darah dari jantung keluar melalluii aorta ventral menuju insang. Di insang aorta bercabang menjadi kapiler-kapiler (terjadi pertukaran gar yaitu pelepasan CO2 dan pengambilan O2 dari air. Dari kapiler seluruh tubuh memberikan O2 dan sari makanan serta mengikat CO2. Selanjutnya darah kembali ke jantung melalui vena kordinalis anterior dan vena kordinalis posterior (Tedy, 2008). 1.7 Sistem Peredaran Darah Menurut Teddy (2008), jantung ikan terdiri dari - 2 ruang: meliputi 1 atrium (serambi) dan ventikel (bilik) - Sinus venasus: yang menerima darah dari vena kordinalis, anterior dan vena kordinalis posterior. Peredaran darah ikan termasuk peredaran darah tunggal (dalam 1 kali peredarannya, darah melalui jantung 1 kali). Seperti pada semua vertebrata, bahwa sistem peredaran darahpada ikan adalah tertutup, darah selalu terdapat di dalam pembuluh darah, sebagai contoh bahwa darah mengalir dari jantung melalui arteri ke jaringan kapiler yang menuju ke jaringan tubuh dan kembali ke jantung melalui vena, suatu sistem peredaran darah tertutup tidak selalu berarti lebih maju dari suatu sistem terbuka, tetapi dalm sistem tertutup suatu tekanan yang lebih tinggi dan dirancang lebih cepat dan mudah ditimbulkan karenadarah dibatasi oleh pembuluh dan pada ikan yang seluruhnya bernapas dengan insang, maka jantungnya akan menampakkan aliran darah tunggal, maka dari itu kebanyakan sistem peredaran darah disebut peredaran darah tunggal (Rachman, 2003). 1.8 Pengertian Sistem Imun Menurut Isnaeni (2005), globulin bertanggung jawab dalam berbagai fungsi terutama yang berkaitan dengan sistem kekebalan (imun) dan transport molekul tertentu, pertahanan tubuh dapat terjadi dengan berbagai mekanisme, antara lain menginaktifkanatau mengeluarkan berbagai sel asing dari tubuh, menghancurkan mikroorganisme pathogen beserta hasil beserta sekresinya dan menyingkirkan abnormal atau sel bermutasi (contohnya sel kanker) yang muncul mekanisme pertahanan tubuh yang dapat terjadi dengan cara fagositosis (paling primitive), enkopsulasi (pembentukan selubung mengahsilkan antibody atau sensifikasi limfosit faktor homoral (aglutinin) dalam cairan tubuh juga dapat menginaktifkan benda asing (Ganong, 1983).

1.9 Proses Pembentukan Darah Darah akan membeku bila keluar dari pembuluh darah, dalam plasma, darah mengandung protein fibrinogen yang akan menjadi fibrin di bawah pengaruh enzim protealis trambin, seperti kita ketahui enzim trambin berasal dari proenzym protrambin dan di aktifkan oleh trombokinase (perkataan trombokinase yang dulu di kenal sebagai tramboplastin lebih tepat, karena kinase berarti zat zat yang mengaktifkan proenzym menjadi enzyme (Iskandar, 1974). Menurut Racoen (2007), mekanisme penutupan luka yaitu pada tubuh mulai mengeluarkan darah, sebuah enzim yang di sebut tramboplastin yang di hasilkan sel sel jaringan yang terluka bereaksi dengan kalsium dan protrambin di dalam darah, akibat reaksi kimia jalianan benang benag yang di hasilkan membentuk lapisan pelindung, sel -sel baru sedang di bentuk ketika sel sel yang rusak telah selesai di perbaharui keropeng tersebut akan mengelupas dan jatuh.

1.10 Hubungan Sistem Imun Dengan Darah Sel -sel T bertangung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing, limfosit lain tetap diam di sumsum tualang berdifensiasi menjadi limfosit B, berdiam dan berkembang di dalam kompertemennya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody hormonal, antibody raspanse yang berbeda dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut antibody, kompleks ini nmempunyai fotositosis, lisis sel dan sel pembuluh (killed sel atau sel K )dari organisme yang menyerang, sel T dan sel B secara morfologis hanya dapat di bedakan ketika di aktifkan oleh antigen (Effendie, 2003). Menurut Villee,dkk (1988), limfosit B dan limfosit T berbeda dalam cara responnya. Beberapa sel keturunan dari limfosit B yang terangsang membentuk suatu retikulum endoplasmik granula rumit yang mampu mensintesis protein dan di sebut sel plasma yang mampu mensintesis antibodi yang di perlukan, antibody ini di lepaskan dalam darah dan di bawa sebagai bagian dalam fraksi gramma globulin respon antibodi hormonal ini mengurangi memerangi bakteri dan virus di dalam darah. 4.2 Analisa Hasil 4.2.1 Pengambilan Darah Dari hasil praktikum didapatkan hasil bahwa pengambilan darah yang dilakukan pada daerah caudal peduncle. Pada umumnya pengambilan darah dapat dilakukan diempat tempat yaitu linea lateralis, dorsal aorta, caudal peduncle, dan jantung. Dari keempat tempat pengambilan darah ini, yang paling baik untuk melakukan proses pengambilan darahyaitu pada dorsal aorta karena dorsal aorta merupakan percabangan utama dari insang yang sebelumnya berasal dari vena aorta. Menurut Admin (2008), pengambilan darah ini dapat dilakukan dibeberapa daerah dari tubuh ikan. Diantaranya melalui linea lateralis, melalui cavum oris mentok mencapai rahang bagian atas, dan beberapa tempat lain. Selain itu ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai sistem peredaran darah tunggal tertutup yang artinya mekanisme peredaran darahnya berasal dari jantung dan kembali lagi ke jantung. Hal ini sesuai dengan Guyer and Charles (1964), dari jantung, darah yang mengalir mengandung CO2 dan mengeluarkan O2, setelah mengelilingi seluruh tubuh yang sebelumnya mengalir ke ventral aorta ke bagian insang, dimana terdapat distribusi kebagian

afferent branchial arteries. 4.2.2 Pembuatan Film Darah Tipis Setelah melakukan praktikum pembuatan film darah tipis, didapatkan hasil bahwa ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai sel darah merah (eritrosit) yang jumlahnya banyak, hal tersebut menandakan bahwa ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam kondisi yang sehat. Dari hasil pengamatan gambar pada mikroskop, dapat dijelaskan bahwa terdapat jenis sel darah merah (eritrosit). Sel darah merah mempunyai jumlah yang dominan dan dalam bentuk mature dan imature. Bentuk mature mempunyai sitoplasma yang besar dan inti selnya yang kecil, dan jaraknya juga berjauhan. Sedangkan bentuk imature mempunyai sitoplasma yang besar, begitu juga inti selnya yang besar dan jaraknya berdekatan. Selain itu, sel darah merah mempunyai kandungan hemoglobin yang banyak dan dapat mengangkut O2 dalam darah. Pada vertebrata mengandung pigmen respiratori yaitu hemoglobin yang efisien untuk mengangkut oksigen. Hemoglobin memiliki kapasitas 15 sampai dengan 25 kali lipat kapasitas air untuk mengikat oksigen. Hanya 1% dari total oksigen yang diambil oleh plasma darah, sedangkan 99% total oksigen diambil oleh hemoglobin (Yuwono dan Purnama, 2001). Pada pewarnaan darah diberi pewarna giemsa. Giemsa ini bersifat basa yaitu dengan pH 10, dan pada darah yaitu pada inti bersifat asam dan pada plasmanya bersifat basa yaitu dengan pH 7,4. Digunakan pewarna giemsa ini karena giemsa dapat memberi warna pada darah dengan jelas, dimana giemsa langsung masuk kedalam inti sel darah dan memberi warna pada semua sel darah, sehingga bagian sel-sel pada darah terlihat jelas saat diamati dibawah mikroskop. 4.3 Faktor Koreksi Pada praktikum materi pengambilan darah dan pembuatan film darah tipis ikan, terdapat beberapa faktor koreksi yaitu: Kurang aseptisnya alat suntikan yang digunakan sehingga terdapat bakteri yang menempel dan mempengaruhi darah saat diamati. Kurang keterampilan praktikan didalam pengambilan darah, sehingga harus mengulangi beberapa kali agar darah dapat terambil. Kurang keterampilan praktikan didalam pembuatan film darah tipis dengan metode smear yang akan mempengaruhi tipisnya lapisan darah sehingga sulit untuk diamati dibawah mikroskop. Kurang ketrampilan praktikan didalam mengisi Na sitrat, sehingga terdapat gelembung udara pada spuit, yang akan mempengaruhi kesehatan ikan. Kurang keterampilan praktikan didalam menggunakan mikroskop sehingga saat pengambilan gambar sel darah memakan waktu yang lama. 4.4 Manfaat di Bidang Perikanan Pada praktikum materi pengambilan darah dan pembuatan film darah tipis ikan, terdapat beberapa manfaat yang bisa diambil, yaitu: Dapat mengidentifikasi apakah ikan tersebut sehat atau dalam keadaan sakit, hal ini dapat diketahui kandungan sel darah yang lebih dominan dalam tubuh ikan tersebut. Dapat diketahui organ-organ yang berperan didalam peredaran darah ikan. Mengetahui tempat pengambilan darah agar tidak terjadi kesalahan dalam penyuntikan untuk pengambilan darah. Dapat mengetahui peredaran darah pada ikan. Mengetahui komposisi darah pada ikan. Mengetahui fungsi darah pada ikan untuk transportasi, sistem imun atau kekebalan tubuh Mengetahui proses pembekuan darah atau penutupan luka pada ikan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil kegiatan praktikum yang dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan diantaranya: Darah adalah suatu fluida (plasma) tempat beberapa substansi terlarut dan tempat erytrocyte, leucocyte dan beberapa hal lainnya tersuspensi. Komponen penyusun darah yaitu sel darah: eritrosit, leukosit, dan trombosit serta plasma. Darah berfungsi untuk mengedarkan suplai makanan, membawa oksigen ke jaringanjaringan tubuh, membawa hormon dan enzim keorgan yang memerlukan. Pengambilan darah dilakukan di caudal pudancle karena dekat dengan tulang yang mengarah ke jantung. Mekanisme peredaran darah dimulai dari jantung kemudian ke vena aorta lalu ke insang, kembali kembali lagi ke dorsal aorta lalu dialirkan keseluruh tubuh, lalu ke ginjal kemudian ke hati dan kembali ke jantung. Ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai sel darah merah dengan jumlah yang banyak berarti menandakan bahwa ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam keadaan sehat. 5.2 Saran Dari hasil kegiatan praktikum yang dilakukan diharapkan dalam kegiatan praktikum diperlukan ketelitian dan kehati-hatian di dalam menggunakan alat dan mengolah data.

SYARAF IKAN
1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Syaraf Menurut Rachman ( 2003 ), sistem syaraf merupakan sistem yang paling ketermuka karena specialisasinya lebih tinngi diantara sistem organ yang lain dalam tubuh. Sistem syaraf lebih banyak mengkoordinasi segala aktivitas yang cepat ataupun yang sulit dilakukan ikan dalam lingkungannya. Dengan kata lain, sistem ini ( dengan bantuan kelenjar kelenjar buntu ) menentukan dalam dan luar melalui rangsangan dari satu tempat ke tempat lain oleh sel sel sensoris atau sel sel syaraf yang lain. Menurut Villee dkk, ( 1984 ),suatu sifat dasar dari semua sel adalah tanggap terhadap rangsangan ( stimulus ). Sel sel dikatakan peka, dan sebagai tanggapan terhadap suatu rangsangan maka gelombang eksitasi disalurkan melalui permukaannya. Sel saraf atau neuron, merupakan suatu adaptasi evolusioner untuk transmisi yang cepat dari gelombang eksitasi. Neuron terdapat pada semua hewan multisel, kecuali spons dan secara kolektif merupakan sistem syaraf. Sistem saraf merupakan salah satu sistem dalam tubuh yang dapat berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi antara sel maupun organ dan dapat berfungsi sebagai pengendali berbagai sistem organ lain serta dapat pula memproduksi hormon ( Singgih, 2003 ). Sistem saraf meliputi semua tingkah laku organisme dari regulasi tak sadar pada aktivitas intraseluler untuk mengkoordinasi gerakan seluruh organisme sampai fenomena tidak tampak yang dipelajari dan ingatan (Gordon et al, 1997 ). 1.2 Morfologi dan Gambar Ikan

Ciri ciri morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Sugiarto (1988) dalam Rustidja (1996), adalah bentuk badan ikan nila ialah pipih ke samping dan memanjang. Mempunyai garis vertikal 9 11 buah, garis garis pada sirip ekor berwarna merah sejumlah 6 12 buah. Pada sirip punggung terdapat juga garis miring. Mata kelihatan menonjol dan relatif besar dengan bagian tepi mata berwarna putih. Badan relatif lebih tebal dan keker dibandingkan ikan mujair. Garis lateralis (gurat sisi di tengah tubuh) terputus dan dilanjutkan dengan garis yang terletak lebih bawah. Jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah. Tipe sisik adalah steroid. Bentuk sirip ekor berpinggiran tegak. Rumus jari jari sirip adalah D.XVII.13 ; P.15 ; V.1.5 ; A.III.10 dan C.18. Dipandang dari sudut ilmu hayati, ikan (pisces) termasuk ke dalam hewan bertulang belakang dengan ciri ciri umumnya yaitu berdarah dingin 9 (poikilothermal), mempunyai sirip, bernapas dengan insang dan bergantung kepada air sebagai medium hidupnya. Secara faal sebenarnya ikan tidak berdarah dingin tetapi hanya suhu tubuh ikan tersebut yang berubah ubah bergantung kepada keadaan suhu sekelilingnya. Jadi ia tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya secara tetap terhadap suhu sekitarnya seperti mammalia (hewan menyusui) (Effendie, 1972).

1.3 Morfologi dan Gambar Udang Tubuh LAT sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu bagian gabungan kepala dengan dada / toraks (disebut sebagai cephalothorax) dan abdomen. Cephalothorax secara keseluruhan dilingkupi oleh cangkang yang disebut sebagai karapas. Sedangkan bagian abdomennya terdiri dari 6 ruas dan sebuah ekor berbentuk kipas (Purwakusuma, 2007). Tubuh udang terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian depan yang disebut kepala dada (cephalothorax), dan bagian belakang yang disebut ekor (abdomen). Kepala dada tertutup oleh kelopak kepala atau cangkang kepala (carapace). Kelopak kepala ke arah depan membentuk tonjolan runcing yang bergerigi yang disebut cucuk kepala (rostrum). Seluruh tubuhnya terdiri dari ruas ruas (segment), yang terbungkus oleh kerangka luar (eksoskleton). Kerangka luar ini terbuat dari bahan semacam tanduk (chitin), yang diperkeras oleh bahan kapur (kalsium karbonat) (Mudjiman, 1983).

1.4 Gambar otak dan anatomi ikan Menurut Rachman (2003), otak ikan pada waktu embrio terdiri dari 3 bagian yaitu procencephalon di bagian muka, mesencephalon di bagian tengah, dan rhombencephalon di bagian belakang. Pada perkembangan selanjutnya, procencephalon terbagi menjadi 2 bagian yaitu telencephalon dan diencephalon, mesencephalon tetap tidak mengalami perubahan, sedangkan rhombencephalon terdiri dari 2 bagian yaitu meiecephalon dan myelencephalon. Telencephalon adalah pembau. Diencephalon merupakan komponen otak yang cukup penting terletak di bagian belakang telencephalon, mesencephalon dikatakan juga otak tengah, pada ikan merupakan bagian otak yang besar daripada bagian otak yang lain. Otak ikan pada waktu embrio terdiri dari 3 bagian yaitu procencephalon di bagian muka, mesencephalon di bagian tengah dan rhombencephalon di belakang. Pada perkembangan selanjutnya procencephalon terbagi menjadi 2 bagian yaitu telencephalon dan diencephalon, mesencephalon tetap,tidak berubah, sedangkan rhombencephalon terbagi menjadi 2 bagian pula yaitu metencephalon dan meyelencephalon (Effendie,1972). 1.5 Gambar otak dan anatomi udang Menurut Arfiati (2004), otak antrophoda terdiri dari 3 bagian besar yaitu anterior protocerebrum, bagian tengah deutocerebrum, dan bagian posterior ticocerebrum. Saraf pada

mata melalui protocerebrun mengandung 3 pusat optic (neurofiles) berintegrasi dengan fotoreseptor dan gerakan serta berpengaruh pada tingkah laku (behaviour). Deutocerebrum mengirim imfuls saraf ke antena pertama pada crustacean sedang pada cellecerata (kalajengking, laba-laba, dan kutu) tidak mengandung deutocerebrum. Bagian ketiga dari otak adalah tricocerebum yang menningkatkan fungsi saraf bibir bawah, saraf pencernaan, serta berpengaruh juga pada antena kedua dari crustacean. Menurut GuruNgeblog (2008), sistem saraf antropoda berupa sistem saraf tangga tali berjumlah sepasang yang berada sepanjang sisi ventral tubuhnya. Pada berbagai tempat di segmen tubuh, ada perbesaran saraf tangga tali yang disebut ganglia. Ganglia berfungsi sebagai pusat repleks dan pengendalian berbagai bagian. Ganglia bagian anterior lebih besar berfungsi sebagai otak. 1.6 Fungsi masing-masing sirip ikan Menurut Yuwono dan Purnama (2001), pada saat berenang sirip mempunyai peranan yang penting, sirip memberikan kendali terhadap pergerakan dengan mengarahkan dorongan, hantaran ke samping dan bahkan berperan sebagai rem. Ikan harus mengendalikan gerakan baling-baling ke depan, gerakan menggeleng dan gerakan menggulung. Hal ini dilakukan dengan bantuan sirip sebagai berikut : Sirip ekor memberikan dorongan dan mengontrol arah ikan Sirip pectoral mengontrol gerakan baling-baling ke depan dan menggeleng, juga berperan sebagai rem yang menyebabkan penarikan Sirip pelvik mengontrol gerakan baling-baling ke depan Sirip dorsal dan anal mengontrol gerakan menggulung Menurut Aquaculture (2009), sirip pada ikan terdiri dari beberapa bagian yang dinamakan sesuai dengan letak sirip tersebut berada pada tubuh ikan yaitu 1. Pinna dorsalis (dorsal fin) adalah sirip yang berada di bagian dorsal tubuh ikan dan berfungsi dalam stabilitas ikan Katina berenang bersama-sama dengan pinna analis membantu ikan untuk bergerak memutar. 2. Pinna pectoralis (pectoral vin), adalah sirip yang terletak di porterior operculum atau pada pertengahan tinggi pada kedua sisi tubuh ikan. Fungsi sirip ini adalah untuk pergerakan maju, ke samping dan diam (mengeram). 3. Pinna ventralis (ventral fin) adalah sirip yang berada pada bagian perut ikan dan berfungsi dalam mampu menstabilkan ikan saat berenang. Selain itu juga berfungsi dalam membantu untuk menetapkan posisi ikan pada suatu kedalaman. 4. Pinna analis (anal fin) adalah sirip yang berada pada bagian ventral tubuh di bagian posterior anal. Fungsi sirip ini adalah membantu dalam stabilitas berenang ikan. 5. Pinna caudalis (caudal pin) adalah sirip ikan yang berada di bagian posterior tubuh ikan dan biasanya disebut sebagai ekor. Pada sebagian besar ikan, sirip ini berfungsi sebagai pendorong utama ketika berenang dan juga sebagai kemudi ketika bermanuver. 6. Adifora adalah sirip yang keberadaannya tidak pada semua jenis ikan, letak sirip ini adalah pada dorsal tubuh, sedikit didepan pinna caudalis. 1.7 Fungsi Otak Pada Udang dan Gambar Menurut Emulngeblog (2008), system syaraf anthopoda berupa system saraf tangga tali berjumlah sepasang yang berada di sepanjang yang berada disepanjang sisi ventral tubuhnya. Pada berbagai tempat di segmen tubuh, ada perbesaran saraf tangga tali yang disebut ganglia. Ganglia bagian anterior yang lebih besar berfungsi sebagai otak. Menurut Anfiali (2001) dalam Dasri (2004), otak anthropoda terdiri dari 3 bagian besar yaitu anterior protocerebrum, bagian tengah dento cerebrum dan bagian posterior tritocerebrum. Syaraf pada mata melalui protocerebrum mengandung tiga pusat optic (neuropiles)

berintegrasi dengan fotoreceptor dan gerakan serta berpengaruh pada tingkah laku (behavior). Deutrocerebrum mengirim syaraf ke antenna pertama pada crustacean sedang pada chellcerata (kalajengking laba-laba dan kutu) tidak mengandung deutocerebrum, bagian ketiga dari otak adalah tritocerebrum yang meningkatkan fungsi syaraf bibir bawah, syaraf pencernaan (stomato gastric nerve) serta berpengaruh juga pada antenna kedua dari crustacea. 1.8 Fungsi Linea Lateralis, Mata dan Otak pada ikan Menurut sakti (2008), linea lateralis adalah garis yang dibentuk oleh pori-pori sehingga linea lateralis ini terdapat baik pada ikan yang bersisik maupun tidak bersisik. Linea lateralis ini berfungsi untuk mendeteksi keadaan lingkungan, terutama kualitas air dan juga peranan dalam proses osmoregulasi. Menurut Effendie (1972), umumnya mempunyai penglihatan memuka yang jelas dari pada penglihatan kesamping. Penglihatan yang kemuka digunakan untuk melihat hal-hal yang detail seperti untuk menerkam mangsa, menghindarkan diri dari musuhnya. Sedangkan penglihatan yang kesamping hanya digunakan untuk melihat pergerakannya saja, karena penglihatannya yang kesamping itu tidak menghasilkan bayangan yang jelas melainkan hanya yang remang-remang saja. Struktur mata ikan hamper sama saja dengan mata yang terdapat pada vertebrata lain, tetapi mata ikan itu bervariasi dari ikan itu buta yaitu tidak mempunyai mata. Sampai ikan itu dapat melihat di udara. Menurut Rachman (2003), telencephalor adalah otak bagian depan sebagai pusat untuk halhal yang berhubungan dengan pembau. Syaraf utama yang keluar dari daerah ini adalah syaraf nomer satu yaitu offactonis yang berhubungan fovea naralis sebagai penerima rangsang. Ikan-ikan yang mengutamakan menggunakan udang untuk mencari makanannya, otak bagian depannya menjadi lebih berkembang. Dinding dorsal telen cephalon tetap tipis, disebut pallium, bagian atas dari telengcephalon. terdapat organ yang berhubungan dengan fungsi pigmentasi pada ikan. Pada beberapa ikan yang sengaja dirusak telencephalonnya memperlihatkan beberapa gejala yang tidak beres. Pergerakan, keseimbangan dan penglihatannya tidak terganggu, tetapi aktivitas lainnya termasuk tingkah lakunya sedikit terganggu. Informasi mekanosensori yang dapat di jangkau oleh otak melalui saraf linea lateral rostral dan caudal pada masing-masing bagian. Input dari saraf ini terutama digunakan untuk lokalisasi navigasi. Pendidikan tingkah laku dan menghindari predator (Moorman, 2001). 1.9 Fungsi Organ Pada Udang Susunan syaraf crustacean adalah tangga tali. Ganglion otak berhubungan dengan alat indera yaitu antenna (alat peraba), statolyst (alat keseimbangan) dan mata majemuk (face) yang bertangkai (Pustekkom, 2005). Pelucutan antenula dapat terjadi secara terus menerus, tetapi gerakannya tidak utmis dan tidak sinkron antara pelucutan antenna kiri dan yang kanan. Pelucutan antenna ini membantu sirkulasi air disekitar rambut-rambut aestetac sehingga memudahkan proses penerimaan rangsang dari kemoatraktan. Fungsi pemutaran antenula adalah untuk menegangkan ramburambu astelac ke dalam arus air, sehingga memudahkan deteksi perubahan air disekeliling rambut-rambut tersebut selama pergerakan. Pembersihan antenula berfungsi untuk menghilangkan atau memindahkan bahan-bahan terperangkap atau terselip di antara rambutrambut aestetal pada antenula. Fungsi gerakan penarikan antenula adalah untuk mekanisme perlindungan melawan rangsang-rangsang kimiawi yang berbahaya (Yuwono dan Purnama, 2001)57. Informasi mekanosensori yang dapat dijangkau oleh otak melalui saraf linea lateral rostral dan caudal pada masing-masing bagian. Input dari saraf ini terutama digunakan untuk lokalisasi navigasi, pendidikan tingkah laku dan menghindari predator (Moorman, 2001). Menurut Mudjiman (1983), bagian kepala dada sebenarnya tersidiri dari bagian kepala dan

bagian dada yang menyatu. Bagian kepala terdiri dari Gruas. Pada ruas pertama terdapat sepasang mata majemuk yang bertangkai dan bisa digerakkan. Pada ruas kedua terdapat mungut ke-1 (antennal) yang ujungnya bercabang menjadi endopodit dan eksopodit yang berupa sungut pendek dan berfungsi, sebagai alat peraba dan keseimbangan. Ruas ketiga terdapat sungut ke-2 (antena II) yang berupa cambuk panjang. Pada ruas keempat, kelima dan keenam berturut-turut terdapat rahang (mandibula), maxilla I dan maxilla II. Ketiga macam anggota badan tersebut berfungsi sebagai alat untuk makan. Bagian dada terdiri dari 8 ruas. Pada ruas ketujuh, delapan dan Sembilan, berturut-turut terdapat maxilliped I, maxilliped II dan maxilliped III, fungsinya sebagai alat peraba, perasa dan pemegang makanan. Pada 5 ruas berikutnya terdapat 5 sepasang kaki jalan dengan ujungnya mengalami perubahan bentuk sehingga berupa capit. Capit ini berfungsi untuk mengambil makanan, terutama makanan yang berupa potongan-potongan besar. Kaki bercapit yang nomor dua menyolok sangat panjang dan besar. Bagian ekot atau perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada ruas pertama sampai ruas kelima diperut terdapat kaki renang (pleopoda). Pada ruas keenam, pleopoda mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Diantara uropoda terdapat tonjolan runcing ke belakang yang disebut ujung ekor (telson). Pada udang betina, pleopoda berguna untuk melekatkan telur selama dieram. Untuk mempermudah pelekatan telur itu, pleopodanya berbulu-bulu. 1.10 Sistem Syaraf Dan Fungsi Pada Ikan Menurut Yuwono dan Purnama (2001), jika rangsang mengenai system syaraf akan diubah menjadi gelombang elektrokimia yang ditransmisikan sepanjang system syaraf. Dalam berbagai hewan air, misalnya pada cumi-cumi system syaraf tersusun dari sel-sel syaraf yang disebut neuron. Fungsi syaraf telah banyak diteliti dengan menggunakan neuron dari hewan ini, karena ukuran yang cukup besar. Berdasarkan fungsinya neuron dapat dikelompoka menjadi : 1. Neuron afferent atau neuron sensory yang berasal dari urea reseptor 2. Neuron efferent atau neuron motor yaitu yang menuju baik berupa jaringan otot mauppun kelenjar 3. Neuron internucial atau inter neuron yaitu yang menghubungkan antara neuron afferent dan neuron efferent Menurut Guyer and Charles (1964), pada vertebrata, system syaraf pusat merupakan sebuah struktur tubuh yang terdiri dari otak dan spinal cord disususn oleh elemen epitel khusus yang disebut sel ependymal dan meliputi cairan cerebrospinal dan meliputi cairan cerebrospinal. Menurut Iqbal (2007), system syaraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk yan berfariasi. Sistem ini meliputi system syaraf pusat dan system syaraf tepi. Dalam kegiatannya, syaraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya yang berfungsi engenal rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dalam tubuh. Efekor adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar. System syaraf terdiri dari jutaan sel syaraf (neuron). Fungsi sel syaraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsangan atau tanggapan. 1.11 Sistem Syaraf dan Fungsi Pada Udang Susunan syaraf crustacea adalah tangga tali. Ganglion otak berhubungan dengan alat indra yaitu antenna (alat peraba). Statocyst (alat keseimbangan) dan mata majemuk (facet) yang bertangkai (Pustekkom, 2005). Menurut GuruNgeblog (2008), system syaraf arthopoda berupa system syaraf tangga tali berjumlah sepasang yang berada disepanjang sisi ventral tubuhnya. Pada berbagai tempat di segmen tubuh, ada pembesaran syaraf tangga tali yang disebut ganglia. Ganglia berfungsi

sebagai pusat reflex dan pengendalian berbagai kegiatan. Ganglia bagian anterior yang lebih besar berfungsi sebagai otak. 1.12 Mekanisme Proses Masuknya Rangsangan 1.12.1 Pendengaran Menurut Villee, dkk (1988), fonoreseptor atau pendengaran adalah hal yang mengenal deteksi gelombang tekanan yang timbul, Karena gangguan mekanis yang terjadi pada jarak tertentu. Ikan mempunyai divertikulum yang homolog, tetapi kecil yang disebutlagena. Gelombang suara yang sampai pada kan yang terdapat dalam air, dan jaringan dari ikan sebagian besar adalah air. Dengan demikian gelombang suara dengan mudah masuk dalam telinga dalam. Masalah ikan aalah menghindari supaya jangan transparan terhadap suara. Banyak ikan menangkap dan menghambat lewatnya gelombang suara dengan otolit yang besar dalam sakulus, yang lain menggunakan gelembung renang sebagai reseptor awal atau hidofon. Menurut Lagler et,al (1977), organ equibibrium dan pendengaran dibagi dalam bagian superior dan bagian inferior. Bagian superior terdiri dari saluran setengah lingkaran dan ampullanya dan kantong seperti veside,utriculus. Bagian inferior, struktuk penerima suara terdiri lenih dari dua vesikel, suecullus dan lagela. Ampulla merupakan bagian jaringan reseptor, krital staticae dengan sel sensori yang mirip pada linea lateralis dan tunas perasa.

1.12.2 Peraba Menurut Rahman (2003), nervus trigeminus ( N. V) mempunyai fungs yang yang berhubungan dengan sensitifitas terhadap panas tekanan kulit, sensoris somatic dan pergerakan. Terdiri dari dua unsure pokok : 1. Nervus opthal micus profundus / nasiciliaris 2. Nervus maxiilo Imandibularis Persatuan 2 nervus ini membentuk nervus lymphoalis untuk selaput lender lidah dan dasar mulut. Reseptor peraba yang paling sederhana adalah rambaut peraba yang yang avetebrata. Rambut peraba seekor insekta merupakan suatu reseptor fisik (yaitu hanya member respon jika rambut pindah posisi, maka terjadi potensial aksi, tetapi semua aktifitas tertentu jika gerakan terhenti meskipun rambut tetep berada diposisi baru (Villee dkk, 1984). 1.12.3 Penglihatan Menurut Effendie (1972), cahaya yang masuk ke dalam mata setelah melalui cornea, lensa dan cairan bola mata. Bayangan benda yang terjadi di retina akan dipetakan didalam testum opticus yang terdapat di dalam lobus opticus. Cahaya yang masuk kedalam mata setelah melalui cairan akan menyentuh syaraf optic, sel-sel ganglion. Sel-sel bipolar, cone dan rode serta lapisan sel retina yang berpigmen. Cone dan rode mempunyai pigmen yang dapat menyerap cahaya. Pigmen yang terdapat didalam rod ikan laut dinamakan rhodopsin, sedangkan pada ikan air tawar pigmen tersebut namanya perphyropsin. Rod yang mempunyai pigmen yang sangat sensitive terhadap cahaya yang remang remang, sedangkan cone digunakan apabila dalam keadaan cukup cahaya. Menurut Isnaeni (2006), mekanisme penerimaan rangsangan oleh reseptor cahaya secara garis besar dilukiskan sebagai berikut : Stimulus struktur tambahan sel sensoris transmisi Cahaya Mata Retina saraf optic korteks visual Tampak bahwa reseptor cahaya yang sesungguhnya terdapat pada retina. Reseptor berupa sel batang dan kerucut pada retna tersebut berhubungan dengan saraf optic yang ujungnya

bersinaps dengan pusat penglihatan yang berada di korteks otak.agar dapat berfungsi optimal, sel reseptor di retina memerlukan strujtur pendukung berupa mata.

1.12.4 Penciuman Menurut Rachman (2003), nervus olfactorius (NI) mempunyai fungsi berhubungan dengan bau-bauan. Terdiri dari axon-axon sel indra pembau yang berkumpul menjadi berkas dengan naa fil olfactorius, berkas ini menghubungkan sel-sel pembau dengan bulbus olfactory. Berkas-berkas ini tidak bermyelin. Menurut Effendi (1972), telencephalon adalah otak bagian depan dengan sebagai pusat yang berhubungan dengan dengan pembau. Syaraf utama yang keluar dari daerah ini adalah syaraf nol berhubungan dengan hidung penerima rangsangan. Ikan-ikan yang mengutamakan menggunakan hidung untuk mencari makanannya. Otak bagian depan menjadi lebih berkembang.

1.12.5 Pengecap Menurut Villee, dkk (1988), pada vetebrata tingkat rendah, indra pengecap terdapat pada sejumlah bagian mulut dan faring dan bahkan di beberapa jaringan kulit kepala. Setiap sel pengecap, yang merupakan sel epitel dan suatu reseptor, pada permukaannya mempunyai mikrovilus yang segaian menjulur ke kedalam suatu pori kecil yang berhubungan dengan cairan yang membasahi permukaan lidah. Hubungan hubungan ddengan sel syaraf adalah kmplek, karena setiap sel pengecap dilayani oleh lebih dari satu neuron. Beberapa neuron dapat berhubungan dengan suatu sel dan yang lain dengan sejumlah sel. Beberpa sel pengecap peka terhadap dua atau lebih kelompok rasa. Dengan demikian pengenalan dan pengolahan informasi dalam tunas pengecap dilindah sangat rumit. Pemberian rasa pada pengecap mungkin tergantug pada suatu sendi yang terdiri atas pola serabut silang, yaitu setiap reseptor member respon pada lebih dari satu zat kimia, tetapi tidak ada dua reseptor yang benar-benar sama, sehingga jumlah pola pesan yang dikirim ke otak untuk tiap cairan beda. Kemoreseptor yang bersifat umum yang terdapat pada semua hewan adalah reseptor pengecap, terutama untuk mengecap rasa pahit menunjukan fungsi protektif karena pada pahit dianggap sebagai pengingat akan adanya ancaman senyawa foksis potensial (Isnaeni, 2006). 4.2 Analisa Hasil 4.2.1 Keseimbangan Tubuh Ikan Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, menunjukkan hasil bahwa pada kelompok 3 dalam perlakuan sebagai control. Setelah disentuh linea lateralis Ikan Nila (Oreochromis niloticus) terkejut, menghindari sentuhan, sirip dorsal naik. Setelah disentuh dorsal, dorsal iakan nila turun. Saat disentuh kepalanya, ikan nila terkejut, membelok menghindari sentuhan. Saat disentuh ekornya, ikan nila menghindari sentuhan, sirip dorsal mengkerut. Kemudian saat diberi perlakuan dengan ditusuk matanya menujukkan responnya lambat, sirip-siripnya bergerak cepat. Lalu saat semua sirip dipotong, gerakan ikan nila tidak seimbang atau oleng, ikan melemah,gerakannya naik turun atau lebih lambat. Berdasarkan pengamatan semua kelompok, saat disentuh linea lateralisnya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) terkejut dan menghindari sentuhan. Saat disentuh sirip dorsalnya, ikan nila menghinda. Kemudian saat disentuh kepalanya, ikan nila menjauhi rangsangan. Lalu saat disentuh sirip caudalnya, ikan nila menghindari sentuhan. Kemudian saat diberi

perlakuan dengan dipotong semua siripnya, hasil pengamatan semua kelompok menunjukkan bahwa gerakan ikan nila menjadi tidak seimbang atau oleng, ikan melemah dan tidak merespon lagi saat dibei rangsangan. Menurut Yuwono dan Purnama (2001), pada saat berenang sirip mempunyai peranan yang penting. Sirip memberikan kendali terhadap pergerakan dengan mengarahkan dorongan, hantaran ke samping dan bahkan berperan sebagai rem. Ikan harus mengendalikan gerakan baling-baling ke depan, gerakan mengoleng dan gerakan menggulung. Jadi saat semua siripnya dipotong, Ikan Nila (Oreochromis niloticus) menjadi tidak seimbang atau oleng, ikan melemah dan tidak merespon lagi saat diberi rangsangan karena sirip yang memberikan kendali terhadap pergerakan ikan sudah tidak berfungsi lagi. Menurut Yuwono dan Purnomo (2001): Sirip ekor memberikan dorongan dan mengontrol arah ikan Sirip pectoral mengontrol gerakan baling-baling ke depan dan mengoleng, jaga berperan sebagai rem yang menyebabkan penarikan Sirip peluik mengontrol gerakan baling-baling ke depan Sirip dorsal dan sirip anal mengontrol gerakan menggulung.

4.2.2 Reaksi Syaraf pada Udang Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, menunjukan hasil bahwa pada kelompok 3 dalam perlakukan sebagai kontrol saat diberi rangsangan berupa suara, Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) kaki renang dan antelanya bergerak. Saat diberi rangsangan berupa gelombang, kaki renang dan capitnya bergerak dan saat diberi sentuhan udang galah loncat ke belakang. Kemudian saat diberi perlakuan dengan capitnya dipotong, lalu diberi rangsangan berupa suara kaki renangnya bergerak. Lalu saat semua alat geraknya dipotong, tidak menunjukkan respon sama sekali saat diberi sentuhan. Berdasarkan pengamatan semua kelompok, saat diberi perlakuan sebagai kontrol yaitu diberi kejutan berupa suara, Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) antenanya bergerak dan mendekati arah datangnya suara. Lalu saat diberi rangsangan berupa gelombang antenanya bergerak dan melawan arus. Kemudian saat diberi rangsangan berupa sentuhan, udang galah menghindari sentuhan. Lalu saat semua alat geraknya dipotong, udang galah tidak menunjukkan respon. Susunan syaraf crustacean adalah tangga tali, ganglion otak berhubungan dengan alat indra yaitu antenna (alat peraba), statocyst (alat keseimbangan), dan mata majemuk (facet) yang bertangkai (Pustekkom, 2005). Saat diberi rangsangan, antenna dan antenula, Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) selalu bergerak. Hal ini sesuai dalam Rachman (2003), fungsi gerakan penarikan antenula adalah untuk mekanisme perlindungan melawan rangsang-rangsang kimiawi yang berbahaya.

4.3 Faktor Koreksi Dalam praktikum system syaraf terdapat beberapa hal yang menjadi factor koreksi yaitu: Ikan Nila (Oreochromis niloticus) diusahakan tidak dalam kondisi stress sehingga proses pengamatan bisa optimal Ketidaktelitian praktikan delam mengamati perubahan gerak pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) dapat mempengaruhi hasil pengamatan sehingga data yang diperoleh tidak valid Toples menang mempermudah pengamatan karena permukaan kaca cembung, namun kurang luas untuk mengamati gerakan ikan dan udang.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan Manfaat yang bisa diambil dalam praktikum system syaraf adalah Dapat mengetahui mekanisme syaraf pada ikan dan udang Dapat mengetahui bagian-bagian tubuh pada ikan dan udang beserta fungsinya Udang yang dipotong matanya bisa mempercepat proses kematangan gonad Dapat mengendalikan gangguan-gangguan lingkungan sekitar terhadap kehidupan ikan nila dan udang galah. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam praktikum syaraf dapat disimpulkan bahwa: v Sistem syaraf merupakan system yang paling ketermuka karena specialisasinya lebih tinggi diantara system organ yang lain dalam tubuh v Sistem syaraf ada 2 macam yaitu syaraf otonom dan syaraf pusat, syaraf pusat dikendalikan oleh otak dan sumsum tulang belakang. Syaraf otonom dikendalikan oleh simpatik dan para simpatik v System syaraf pada ikan lebih lengkap atau komplek daripada system syaraf pada udang v Bagian otak ikan ada 3 bagian yaitu otak tengah, otak depan, dan otak belakang. Sedangkan pada system syarafnya tangga tali v Mekanisme jalannya implus saraf adalah rangsang ke reseptor ke otak kemudian ke efektor dan selanjutnya ke interneuron v Ikan yang disentuh bagian linea lateralis, kepala, dorsal, dan ekor cenderung bergerak menghindari karena merasa ada bahaya yang mengancam dirinya. Aktivitas ini dikoordinasi oleh system saraf yang ada pada bagian-bagian tersebut v Sirip-sirip ikan dan linea lateralis merupakan bagian-bagian yang menyusun sitem keseimbangan tubuh ikan v Ketika diberi perlakuan dengan sumber bunyi arus dan sentuhan udang cenderung menggerakkan bagian-bagian tubuhnya seperti antenula dan kaki karena mengandung jaringan syaraf untuk berkomunikasi dengan lingkungan. 5.2 Saran Pada praktikum FHA materi syaraf diharapkan praktikan lebih teliti pada pengamatan ikan dan udang yang telah disentuh, dipotong, dan diberi kejutan suara. Tempat ikan dan udang diharapkan lebih luas agar pengamatan mudah.

ENDOKRINOLOGI
1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Endokrinologi Sistem endokrin suatu sistem yang mempunyai peran dalam sekresi hormoon yang berfungsi mengkoordinasi fungsi fisiologis organ tubuh (Noer dan Widowati, 2007). Menurut Gordon, et.al (1977), sistem endokrin itu sendiri juga beraneka ragam dan heterogen. Ia tidak seperti sistem saraf yang dibangun berdasarkan susunan tingkat khusus, berdasarkan pada neuron sebagai unit fundamental. Sistem endokrin bukan unit struktural. Sel endokrin menyebar di seluruh tubuh. Mereka mungkin terbentuk dari kelenjar yang

menghasilkan satu sampai beberapa hormon atau muncul sebagai jaringan atau sebagai sel individu. Mesenjer (pembawa pesan) kimiawi yaitu hormon, merupakan sistem endokrin yang bersama-sama dengan sistem saraf, memadukan aktivitas organ-organ dan jaringan hewan multi sel yang kompleks. Tiap jenis hormon disekresi secara khas oleh sel-sl tertentu yang merupakan kelenjar endokrin (Villee, dkk., 1988). Sistem endokrin disebut juga sistem kelenjar buntu yaitu kelenjar yang tidak mempunyai saluran khusu untuk mengeluarkan skretnya. Sekret dari endokrin dinamakan hormon (Isnaeni, 2006). 1.2 Kelenjar Penghasil Hormon Menurut Effendie (1972), kelenjar endokrin adalah kelenjar yang menggetahkan subtansi hormonnya secara langsung ke dalam aliran darah tanpa melalui siatem pembuluh. Hormon yang dihasilkan kelenjar tadi mempunyai sifat sebagai pengatur kimiawi terhadap jaringanjaringan atau sel-sel somatis tertentu di dalam pembuluh. Pada ikan kelenjar yang telah diketahui sebagai kelenjar endokrin yaitu hypophysa(pituitary), thyroid, ulltimabranchial, jaringan chromoffin, gonad, pulnu Langerhans dalam pankreas dan jaringan internal. Jaringan-jaringan lain yang mengkin berfungsi sebagai kelenjar endokrin ialah renin, secretin, badan stanius dan organ pineal. Kelenjar endokrin mengeluarkan ormon ke dalam aliran darah dan bukan ke dalam saluran yang menuju ke luar tubuh atau ke dalam salah satu organ internal seperti halnya kelenjar eksokrin. Karena hal tersebut, kelenjar itu sering disebut kelenjar sekresi internal. Kelenjar tiroid, paratiroid, pipituitari dan adrenal hanya berfungsi dalam ssekresi hormon dan merupakan kelenjar tak bersaluran yang sebernarnya. Pankreas mensekresi enzim pencernaan melalui saluran dan hormon yang dibawa oleh darah (Villee, dkk., 1988) Menurut Rachman (2003), kelenjar endokrin adalah kelenjar yang menggetahkan subtansi hormonnya secara langsung ke dalam aliran darah tanpa melalui sistem pambuluh. Padaikan, kelenjar yang telah diketahui sebagai kelenjar yaitu hypophysa (pituitary) thyroid, ultimobranchial, jaringan chromaffin, secretin, badan stanius dan organ pineal. 1.4 Hormon dan Fungsinya Hormon adalah suatu zat kimia organik yang dikeluarkan pada saat-saat khusus dalam jumlah sedikit olaeh sel-sel endokrin ke dalam cairan jaringan atau sistem vaskuler (Junquiera dan Carneiro, 1980 dalam Rustidja, 1996). Hormon merupakan suatu bahan kimia yang disintesis dari sel-sel maupun jaringan kelenjar endokrin. Hormon yang dihasilkan berperan dalam berbagai hal antara lain, mengatur keseimbangan cairan tubuh, mengatur perkembangan organ kelamin primer, sel-sel gamet dan ciri seks sekunder, pertumbuhan organ maupun tubuh, berperan dalam metabolisme zat-zat makanan, bahkan mengatur kontraksi otot bergaris, otot polos maupun otot jantung (Noer dan Widowati, 2007). Menurut Kimball (1983), pertumbuhan perkembangan seksual dan metabolisme adalah tiga proses tubuh dalam pengendalian sistem hormon yang eraksi secara terhadap sepanjang waktu. Sistem endokrin juga memegang peran penting dalam pemeliharaan lingkungan dalam yang tetap. Konsentrasi ion gula,a air dan berbagai garam dalam (ES dipertahankan dalam batasan sempit olh aksi hormonal. Paling tidak ada tiga mekanisme yang dipakai oleh hormon untuk mempertahankan homeostasis dalam tubuh. Sekresi beberapa hormon secara langsung dikendalikan oleh kebutuhan akan hormon tersebut Dalam beberapa kasus, respon sustu kelenjar terhadap kadar zat yang diatur mungkin menjadi lambat. Sistem ketiga untuk mencapai pengaturan dari dalam produksi hormon digambarkan dalam hubungan antara TSH dan Tiroksin 1.5 Reproduksi Buatan

Fertilisasi secara buatan mengupayakan bagaimana telur dan spermatozoa dapat bertemu dengan kondisi yang baik, media fertilisasi diusahakan tidak terlalu banyak, agar dapat memberi peluang lebih besar kepada spermatozoa memasuki telur (Rustidja, 1989). Yatim (1983) dalam Rustidja (1998), menyatakan bahwa perubahan jenis kelamin secara alami adalah perubahan kelamin yang disebabkan oleh faktor lingkungan dengan bawaan genetiknya tidak berubah, hanya karakter kelaminnya saja yang berubah. Sedangkan perubahan jenis kelamin buatan merupakan suatu upaya untuk mengubah jenis kelamin dengan menggunakan hormon steroid sebagai perangsng, sehingga dapat diperoleh individu berjenis kelamin yang diinginkan. 1.6 Proses Maturasi Pada Pemijahan Ikan Secar Alami Dan Buatan Organisme dewasa (matang), benih sel mulai beraktivitas dan mengalami proses maturasi yang melibatkan sel selanjutnya yang hasil akhirnya memproduksi gamet fungsional. Pada jantan proses tersebut disebut spermatogenesis dan gamet disebut spermatozoa (bentuk tungglanya sprma ), pada betina ova (bentuk tunggal ovum) hasil dari oogenesis. Gametogenesis secara umum diartikan mekanisme produksi gamet pada hewan (Guyer and Charles, 1964). Energi yang dihasilakan akibat dari sinar laser berkekuatan 5 nW dengan panjang gelombang 632,8 nm selama 6 detik pada suatu titik penembakan yaitu 216 bagian ventral tubuh ikan dengan frekuensi penembakan satu kali dalam seminggu adalah 5 mW x 6 detik x 1 titik =30 mW atau 0,030 w detik =0,030 joule, untuk sselanjutnya menggertak hipothalamus untuk memproduksi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang dikeluarkan oleh hipothalamus dengan dilepaskannya Gnrh ini akan merangsang hipofisa anterior untuk mengeluarkan hormon gonadotropin, hormon tersebut melalui aliran darah akan menuju ovarium dan merangsng ovarium dapat mendorong pengeluaran telur oleh ikan tersebut (Rustidja, 2000). 1.7 Keunggulan Hipofisasi Pematangan gamet pada induk jantan dan betina dapat dilakukan melalui penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa. Dosis yang diperlukan dapat ditentukan berdasarkan lingkar badan dengan selang pemberian dua atau tiga kali. Untuk ikan mas, selang penyuntikan pertama dengan kedua berkisar 6 sampai 8 jam (Woynorovich dan Horvart, 1982 dalam Rustidja, 2000). Menurut Masrizal dan Azhar (2005), penggunaan atau penyuntikan kelenjar hipofisa ayam boiler dalam teknik hipofisasi dapat mempercepat waktu laten pemijahan dan meningkatkan prosentase ovulasi, tingkat kematangan, fertilitas, daya tetas telur serta survival rate larvae ikan lele dumbo sampai umur tiga hari. 1.8 Teknik Penyuntikan Menurut BPBAT (2007), cara penyuntikan dan pelepasan induk antara lain: induk disuntik pada siang atau hari kelenjar hipofisa yang telah disiapkan yang telah disiapkan, setengah disuntikan pada induk jantan dan setengahna lagi pada induk betina penyuntikan dilakukan pada bagian punggung dengan memasukkan jarum suntik mirng 45 0 sedalam kurang lebih 2 cm induk yang telah disuntikkan, di lepas ke dalam bak pemijahan kemudian bak pemijahan ditutup rapat pemijahan akan terjadi pada malam hari 8-12 jam setelah penyuntikan Menurut Sunarma (2007), penyuntikan hormon dilakukan untuk merangsang terjadinya peningkatan proses fisiologis reproduksi akibat adanya peningkatan jumlah hormon dalam tubuh. Secara prisip penambahan hormon dapat dilakukan baik melalui penyuntikan maupun

melalui oral. Metode penyuntikan lebih umum digunakan baik penyuntikan melaui bagian punggung (intra-muscular) ataupun melalui bagian perut (intra-peritonial). Pada dasarnya, semakin dekat posisi penyuntikan dengan organ target (gonad) peluang keberhasilan semakin besar. Namun mengingat banyaknya organ dalam yang mungkin terganggu saat penyuntikan dilakukan penyuntikan inta-muscular lebih banyak digunakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan penyuntikan, diantaranya gunakan jarum suntk yang tajam (jika memungkinkan gunakan single use syringe), dilakukan penyuntikan pada daerah yang memiliki daging tebal untuk menghidari penyuntikan terkena tulang, masukkan hormon dengan menekan spuit secara perlahan hindari adanya stres belebihan pada ikan dan cabut jarum suntik secara perlahan guna menghindari adanya pengambilan hormon keluar tubuh. 1.9 Teknik Hipofisasi Menurut Rustidja (2006), cara untuk mendapatkan telur dan spema segar bbiasanya menggunakan teknik penyuntikan dengan kelejar hipofisa. Dosis yang digunakan untuk jenis ikan mas adalah 4 mg ePG kering 1 kg berat tubuh untuk betiana dan separuhnya untuk ikan jantan yaitu untuk mendapatkan sperma yang segar. Apabila tidak ada cPG bening maka dapat digunakan cPG belum yaitu langsung mengambil kelenjar hypofisa ikan mas dengan rasio perbandingan berat antara ikan donor dengan resipien adalah 1:1 atau 2:1, artinya 1 kg ikan donor hypophysanya dapat disuntikan ke ikan resipien yang beratnya 1 kg atau untuk 1 kg ikan yang akan disuntikan membutuhkan 2kg iakn donor.setelah cPG tersedia diambil dan digerus dengan penggerus BELUM sampai halus, ditambahkan NaCl fisoilogis 9% atau dapat juga menggunakan cairan untuk infus (dengan ukuran 1 mm setiap mg kelenjar hipofisa) kemudian dicampur sampai homogen dan siap untuk disuntikkan. Penyuntikan dilakukan secara intra muscular,yaitu pada bagian punggung di bawah sirip dorsal pertama dan 50 % untuk penyunikan kedua dari total dosis dengan selang pemberian 8 jam. Ikan yang sudah dihipofisasi ini kemudian dimasuukan ke dalam bak. Menurut Milne (1999) dalam Muslikhin (2008), hipofisasi merupakan salah satu teknik untuk mempercepat pemijahan ikan melalui injeksi kelenjer hipofisa. Hipofisasi dapat dilakukan dengan menyuntikan suspensi kelenjar hipofisa pada tubuh ikan yang akan dubiakkan. Kelenjar hipofisa ini terletak di bawah otak sebelah depan, mengansung hormon gonadotropin yang berfungsi untuk mempercepat ovulasi dan pemijahan. 1.10 Syarat Ikan Donor dan Resipien Menurut Sumantadiata (1981), ikan donor adalah ikan yang akan diambil kelenjar hipofisanya. Ikan donor sebaiknya masih satu jenis dengan resipien atau masih dalam satu family masih dalam keadaan segar (mati tidak lebih dari 1 jam), sudah matang kelamin dan bukan ikan yang baru selesai memijah. Ikan resipien yang akan disuntik sebaga ikan yang akan dipijahkan harus sudah matang telur bagi yang betina dan matang sperma bagi yang jantan, serto dalam keadaan sehat (Sumantadinata, 1981). 1.11 GI Perbandingan lain yang dapat digunakan untuk menentukan nilai indeks kematangn gonad adalah Gonado Index (GI) oleh Balts (1972) dalam Wahyuningsih dan Teranal (2006), yaitu perbandingan antara berat gonad segar (garm) dengan panjang iakn (mm), dengan menggunakan rumus : Gonado Index (GI) = Wg/L3 x 108 Harga 108 merupakan suatu faktor agar didapatkan nilai GI mendekati Harga satuan sehingga mudah melihat dan mendeteksi perubahan-perubahan yang terjadi. Bats (1972) dalam Effendie (2002), menggunakan perbandingan lain yaitu perbandingan antara berat gonad segar (gram) dengan panjang ikan (mm) dan menamakan indeks yang didapat Gonado Index (GI) dengan perumusan:

Gonado Index (GI) = Wg/L3 x 108 . Harga 108 merupakan suatu faktor agar didapatkan nilai GI mendekati harga satuan sehingga mdah melihat dan mendekati perubahan-perubahan yang terjadi. Tantan dalam Effendie (2002), dalam meneliti perkmbangan gonad kan kerapu (hermaprodit) Ephinephelus taurina (forskal) dari pulau Tiomar dan Serawak di Perairan laut Cina Selatan, menggunakan Gonado Index dengan rumus Gonado Index (GI) Wg/L3 x 107 . 1.12 GSI Menurut Rustidja (2000), GSI (Gonado Somatic Imdex ) ialah perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan nila. Cara mendapatkan yakni setelah induk ikan betian matang gonad, kemudian induk tersebut diambil dengan ditimbang, satuanya gram, selanjutnya dilakukan pembedahan dan bagian perut dan gonadnya dikeluarkan dan ditimbang, satuannya gram. Satuan GSI adalah Persen/ untuk mencari GSI dengan menggunakan rumus : GSI = Wg/WT-Wg x 100% Dimana : Wg = berat gonad (gram) Wt = berat total tubuh (garm) Nilai persentase GSI akan semakin meningkat dan akan mencapai maksimal pada saat akan terjadi pemijahan . Menurut effendie (1978) dalam Rustidja (2000), sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar energi hasil metabolesme dipakai untuk perkembangan gonad. Berat gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan akan memijah, kemudian berat gonad akan menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi di dalam gonad, secara kuantitatif dinyatakan dalam GSI atau Gonado Somstic Index yang dinyatakan dalam rumus : GSI = (BG)/ (BT-BG) x 100% Dimana : BG = berat gonad BT = berat tubuh 1.13 Tingkat Kematangan Gonad Menurut Sjafei, dkk. (1993), perubahan-perubahan keadaan gonad itu dinyatakan dengan tingkat kematangan gonad (TKG). Semakin tinggi tingkat kematangan gonad, semakin besar diameter telur di dalam ovari. Berdasarkan penelitian, pada setiap tingkat kematangan gonad (dari TKG sampai dengan TKG V) tertentu, diameter telur di dalam ovari mempunyai kisaran ukuran tertentu dan adaukursn diameter yang paling banyak frrekuensinya. Keterangan tentang kematangan gonad ikan diperlukan antara lain untuk mengetahui perbandingan ikan yang matang gonad dan yang belum dari stok yang ada dalam perairan, ukuran atau umur ikan pertama kali mijah, apakah ikan sudah memijah atau belum, kenapa terjadi pemijahan, beberapa lama saat pemijaha, beberapa kali memijah dalam satu tahun dan sebagainya. Menurut Jayatisoka, dkk (1988), di daerah bermisim empat, faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan antara lain adalah suhu dan makanan. Tetapi di daerah tropik faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat. Pematangan kematangan gonad dilakukan dengan 2 cara yang pertama cara histologi dan dilakukan dalam laboratorium atau dilakukan di lapang. 4.2 Analisa Hasil Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan sebagian besar kelompok menyatakan kondisi ikan

setelah disuntik hipofisa (pada awal pengamatan), warna tubuhnya pucat, air aquarium jernih, perut ikan besar, kepalanya bulat, warna genital kemerahan dan pergerakan lincah. Sedangkan pada akhir pengamatan (setelah 12 jam disuntik hipofisa) ikan banyak mengeluarkan feses, warna tubuh ikan semakin pudar dan kehitaman, sisik mengelupas, perut melembek, lubang genital pucat. Hal ini sesuai Rustidja (2000), ovulasi pada ikan dipengaruhi oleh gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang dikeluarkan oleh hypothalamus dengan dilepaskannya GnRH ini akan meransang hipofisa anterior untuk mengeluarkan gonadotropin hormon. Hormon tersebut melalui aliran darah akan menuju ovarium dan meransang ovarium mengeluarkan hormon steroid yang merupakan mediator langsung proses pemijahan. Jadi ovulasi pada ikan dipengaruhi oleh hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofisa yaitu gonadotropin. Pada kelompok 3 pada awal penyuntikan hipofisa pada ikan diketahui warna tubuh pucat, perut besar, pergerakan lincah, air bening dan genital kemerahan. Setelah disuntik hipofisa warna tubuh semakin pudar kehitaman, sisik mengelupas, perut lembek, dan lubang genital pucat. Sesuai pendapat Usniarie (2008), induk jantan yang matang kelamin ditandai dengan warna tubuh agak cerah, berperut tipis, alat kelamin membengkak berwarna kemerahan dengan garis jelas serta gerakkannya lincah. Pada praktikum terdapat beberapa penyuntikan hipofisa antara lain intramuscular (di otot) pada otot terjadi aliran darah maka hipofisa dapat disalurkan ke otak, intraperitorial (di perut) di tempat ini dikhawatirkan hipofisa terkena organ-organ dalam pada perut, intracranial (di otak) dibagian ini sangat cepat merespon tetapi mempunyai resiko paling besar karena berhubungan langsung dengan sistem syaraf. Menurut Rustidja (2000), penyuntikan dilakukan secara muscular, yaitu pada bagian punggung di bawah sirip dorsal pertama dan 50% untuk penyuntikan kedua dari total dengan selang pemberian 8 jam. Ikan yang sudah dihipofisa ini kemudian dimasukkan ke dalam bak. Dari hasil pengamatan endokrinologi yang telah dilakukan, dapat diperoleh data GSI sebagai berikut GSI tertinggi adalah kelompok 5 sebesar 17,95% dan nilai Gsi terendah pada kelompok 2 sebesar 53,26% dan nilai GI tertinggi pada kelompok 5 sebesar 53,26 dan nilai GI terendah pada kelompok 2 sebesar 9,78. Nilai GSI dan GI sebanding lurus. Berdasarkan hasil perhitungan kelompok 3 didapatkan hasil GSI 6,75%. Menurut Rustidja (2000), nilai prosentase GSI akan meningkat dan akan mencapai maksimal pada saat terjadi pemijahan. Jadi kelompok yang memiliki GSI yang tinggi seperti kelompok 5 yaitu sebesar 17,95% sudah siap memijah daripada kelompok lainnya. Hasil GI yang didapatkan 12 dan menurut Effendie (1997), menyatakan bahwa klasifikasi indeks gonad ikan kerapu betina: 4.3 Faktor koreksi Pada praktikum endokrinologi ini terdapat faktor koreksi antara lain : - Hypofisa yang berukuran kecil terkadang dapat terlewatkan atau bocor duluan karena cara pengambilan tidak tepat - Kurang teliti dalam perhitungan GI maupun GSI - Pembuatan supernatan tidak secara maksimal - Kurang telitinya dalam mengamati tingkah laku ikan - Kesalahan dalam melakukan prosedur kerja sehingga menyebabkan tidak terbentuknya endapan pada larutan Na Fis + hypofisa - Kurang teliti dalam melakukan penyuntikan hypofisa, sehingga akan mempengaruhi kecepatan reaksi hypofisa terhadap kematangan gonad 4.4 Manfaat di Bidang perikanan Manfaat yang didapatkan dari praktikum endokrinologi dibidang perikanan antara lain : - Dapat mengetahui teknik pengamatan gonad

- Dapat mempercepat pematangan gonad - Dapat memperbanyak benih ikan - Mengetahui cara pengambilan dan letak hypofisa ikan - Mengetahui cara meningkatkan kematangan gonad ikan sehingga dalam usaha budidaya akan mendapatkan banyak keuntungan karena ikan cepat matang gonad - Mengetahui cara perhitungan GI dan GSI terkait dengan tingkat kematangan gonad 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Sistem endokrin adalah suatu sistem yang mensekresi hormon yang berfungsi mengkoordinasi fungsi fisiologis organ tubuh. 2. Kelenjar penghasil hormon antara lain : hypophysa (pituitary), thyroid, ultimobranchial, jaringan chromaffin, gonad, pulau langerhans dalam pankreas dan jaringan interrenal. 3. Hormon merupakan suatu zat kimia organik yang dikeluarkan pada saat-saat khusus dalam jumlah sedikit oleh sel-sel endokrin kedalam cairan jaringan atau sistem vaskuler. 4. Keunggulan hipofisasi yaitu mempercepat waktu laten pemijahan dan meningkatkan ovulasi, tingkat kematangan, fertilitas, daya tetas telur serta survival rate larva ikan. 5. Syarat ikan donor adalah masih satu jenis dengan ikan resipien atau masih satu family, dalam keadaan segar, matang kelamin, tidak baru selesai memijah. 6. Syarat ikan resipien yaitu sudah matang telur atau sperma dan dalam keadaan sehat. 7. GI adalah nilai perbandingan berat gonad dengan panjang ikan. 8. GSI adalah nilai perbandingan berat gonad dengan berat ikan. 9. TKG yaitu perubahan-perubahan keadaan gonad yang dipengaruhi oleh jenis spesies, umur, ukuran dan fisiologi individu. 10. Berdasarkan data pengamatan, ikan betina yang dihipofisasi gerakannya semakin lambat, perutnya semakin membesar, lubang genital kemerahan, mengeluarkan lendir, dan warnanya semakin cerah. Sedangkan ikan jantan perutnya semakin besar dan keras, lubang urogenitalnya putih dan bila ditekan perutnya mengeluarkan sperma. 11. Nilai GSI ikan dari kelompok 1 sampai 8 adalah 13,75%; 5,86%; 6,83%; 12,91%; 17,95%; 12,12%; 8,82%; dan 12,55%. Sedangkan nilai GI secara berturut-turut yaitu 33,94 gr/mm; 9,78 gr/mm; 12,97 gr/mm; 23,92 gr/mm; 53,26 gr/mm; 26,18 gr/mm; 14,05 gr/mm; dan 23,12 gr/mm. 5.2 Saran Sebaiknya dalam proses pembelian ikan dicek terlebih dahulu jantan-betinanya agar tidak salah dan data hasil pengamatan bisa lebih valid.

TEHNIK PENGAWETAN DAN PEWARNAAN SPERMA


1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Sperma Menurut Harvey dan Hoar (1979) dalam Arie (2008), sperma didefinisikan sebagai larutan

spermatozoa yang berada di dalam larutan seminal dan dihasilkan oleh hidrasi testes, atau salah satu bagian dari alat reproduksi ikan. Menurut Decky (2008), pengertian semen berbeda dengan sperma. Secara keseluruhan, cairan putih dan kental yang dikeluarkan dari alat kelamin lelaki saat ejakulasi disebut semen. Sedangkan makhluk kecil yang berenang-renang di dalam semen disebut spema. Menurut Guyer and Charles (1964), pada jantan ini dikenal sebagai spermatogenesis, dan gametnya disebut spermatozoa (sperma tunggal). 1.2 Pengertian Spermatozoa Menurut Soeparna (1980) dalam Arie (2008), spermatozoa merupakan sel padat dan sangat khas, tidak tumbuh atau membai diri serta tidak mempunyai peranan fisiologis apapun pada hewan yan menghasilkannya, semata-mata hanya untuk membuahi telur pada jenis yang sama. Spermatocyte sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang motile (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa (Rachman, 2003).

1.3 Anatomi Sperma Sebuah sel sperma terdiri atas (1) kepala, yang mengandung kromosom dalam keadaan kompak dan inaktif, (2) dua sentriol dan (3) ekor. Salah satu dari sentriol, merupakan badan basal dari flagellum, yang merentang sepanjang ekor. Mitokondrion mengelilingi bagian atas flegelum dan menyediakan energi untuk gerakan pukulan cambuk (Kimball, 1983). Menurut Isnaeni (2006), di pusat kepala sperma terdapat inti sperma, yang menyimpan sejumlah kode / informasi genetic yang akan diwariskan kepada keturunannya. Di belakang kepala sperma terdapat bagian tengah sperma (sering disebut leher) yang banyak menyimpan mitokondria. Mitokondria sanat penting dalam pembentukan ATP, yang merupakan sumber energy bagi sperma. Sementara, bagian ekor sangat diperlukan untuk membantu pergerakan sperma. 1.4 Morfologi Spermatozoa dan Gambar Secara morfologis spermatozoa terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian kepala dan bagian ekor, pada bagian kepala mengandung bahan genetik (inti sel) yang dilapisi oleh akrosom dan membran plasma, bagian ekor terdiri dari bagian tengah yang mengandung mitokondria, bagian utama dan bagaian ujung terdiri dari fibril-fibril (Partodiharjo, 1992 dan Rustidja, 1999). Menurut Rustidja (2000), morfologi spermatozoa ikan mas sangat sederhana, terdiri dari kepala dan ekor. Bagian kepala berbentuk membulat (spherical) dan bagian leher mengalami reduksi, cahaya memanjang 10 sampai 20 kali dari panjang ekornya. Ekor sperma berguna sebagai organ renang. Pada saat di keluarkan dari alat kelamin jantan, spermatozoa beada dalam seminal plasma. Campuran seminal plasma dengan spermatozoa disebut milt. Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala yang mengandung kromosom, dan tiap kromosom mengandung gen pembawa sifat. Gambar 9:gambar Morfologi Spermatozoa

1.5 Fisiologi Spermaozoa Wildan (1990) dalam Rustijda (1999), menyebutkan bahwa spermatozoa dapat mengeluarkan androgamen yang terdiri dari enzim hyaluronidase, antifertilizin, akrosin, dan zat penelur, enzim-enzim ini berguna dalam proses fertilisasi telur. Spermatozoa pada ikan sangat simple,

kepalanya berbentuk bola dengan kromatin lebih tebal dan mengecil pada bagian belakang (intermediate). Menurut Suminto (1993) dalam Sylar (2007), bahwa secara structural spermatozoa sebagai sel yang terperas sangat sedikit sekali kandungan sitoplasmanya. Spermatozoa memiliki organe-organel yang sangat sedikit dibandingkan sel lainnya. Spermatozoa tidak memiliki libosom, reticulum endoplasmic, dan golgi. Dan sebaliknya spermatozoa memiliki banyak sekali mitokondria yang letaknya sangat strategi untuk mengefesiensi energi yang diperlukan. Secara struktur ada sua bagian yaitu kepala dan ekor. 1.6 Spermiasi Spermatozoid dikeluarkan dari siste dan menampak diri pada cahaya tebal antara September dan Oktober, tetapi belum sampai pada saluran different (spermiasi) pada ikan Oktober, November. Kemampuan gerak dan daya memijahnya masih lemah. Beberapa minggu kemudian setelah periode pematangan sperma dapat digunakan periode spermiasi dapat berlangsung beberapa bulan, kualitas sperma menurun setelah Januari, Februari (Sjafei, dkk, 1993). Menurut Winarno (2007), dalam proses keluarnya sperma (ejakulasi), lazimnya, setelah sperma cair keluar kemudian secara berurutan koagulum mangalir, tampilannya seperti jelly. 1.7 Proses Pembentukan sperma Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahsa yunani kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoa sebagai gamet jantan sehingga penting dalam keberhasilan munculnya individu baru oleh karena itu di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standart kualitas spermatozoa (Saylar, 2007). Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia di dalam testis disebut spermatogenesis. Proses ini meliputi poliferasi spermatogonia melalui pembelahan mitosis yang terulang dan tumbuh membentuk spermatocyte primer, kemudian melalui pembelahan reduksi (meiosis) membentuk spermatocyte sekunder. Sprmatozoit sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang motile (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa. Proses metamorphose spermatid sering dinamakan spermatogenesis (Hoar,1969 dalam Rachman, 2003). 1.8 Proses perkembangan spermatozoa dan Gambar Menurut Kastowo ( 1982 ), perkembangan spermatozoa bermula dari tiap spermatogonium ertambah ukrannya dan dnamakan spermatocyte primer. Pada spermatocyt primer, choromosom memendek dan menebal, bentuk spindel dan susunan tetrad secara random pada bidang equatorial. Kemudian dari tetrad menjadi 2 sel dengan n chromosom yang dinamakan spermatocyte sekunder atau 2 n chromatid. Spermatocyte primer kemudian pecah menjadi 4 spermatid masing-masing terdiri n chromosom, jumlahnya haploid. Kemudian diikuti pembelahan kedua, tiap spermatid mengalami metamorphose. Ini merupakan gamet yang masak disebut spermatozoa. Menurut Woynarovich and Horvath (1980) dalam Rustidja (2000), perkembangan spermatozoa ikan mas tidak jauh berbeda dengan sel telur. Spermatogonia primitif akan aktif membelah secara mitosis di dalam testis, spermatocyte primer kemudian menjadi spermatocyte sekunder, lalu terbentuk spermatid yang akan menjadi spermatozoa atau sel sperma yang disimpan dalam testes dan berada dalam keadaan dorman (istirahat) sampai induk jantan siap memijah.

Menurut Sjafi,dkk (1993), perkembangan sel-sel germinal jantan terjadi di dalam kantong atau siste (cyste) yang dibuat oleh sel-sel sentroli. Spermatogenesis adalah perubahan bentuk dari sel kelamin jantan primodial yang disebut spermatogonia menjadi spermatozoa. Pemebntukan siste berawal dengan pembelahan mitosis. Sel germinal ini di dalam perkembangan selalu bersama-sama dengan sel sentroli. Sel sentroli ini mempunyai peran sangat penting sebagai sel pendukung, dalam pengalihan metabolit dan hormon dan penyerapan kembali sel yang mengalami degenerasi. Spermatogenesis berlangsung didalam tubuh atau lubus tekstikular. Gambar 10 : gambar Proses perkembangan spermatozoa 1.9 Kualitas Sperma 1.9.1 Mikroskopis dan Gambar Menurut Pangestuningtyas (1993) dalam Arie (2008), sperma yang berkualitas baik terlihat seperti susu kental, berwarna putih susu, penuh dan membuyar dengan mudah ketika diteteskan dalam air tawar atau garam fisiologis. Dibawah mikroskop terlihat sperma dengan kepadatan tinggi dan semuanya berbentuk normal serta pergerakannya sangat aktif. Selain tampilan sperma secara makroskopis hasil pemeriksaan secara mikroskopis lebih menentukan kondisi kualitas kesuburan sperma. Tiga parameter penting yang menentukan kualitas sperma secara mikroskopis adalah konsentrasi spermatozoa, bentuk normal spermatozoa dan kemampuan gerak spermatozoa (Winarno, 2007). 1.9.2 Makroskopis Secara makroskopis disebut baik jika volumenya lebih darii 2 ml dalam sehari ejakulasi, berwarna agak keputihan, terdapat gumpalan seperti jelly yang disebut koagulum dan baunya khas sepertikaporit (Winarno, 2007). Menurut Rustidja (2000), berdasarkan hasilpengamatan makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma segar hasil stripping dari induk donor ikan mas (Cyprinus carpio) yang digunakan untuk pembekuan memiliki kualitas yang bagus dan motilitas tinggi yaitu 80 85 %. 1.9.3 Biokimiawi Menurut Kilawati dan Feni (2005), perbedaan umur pejantan yang berpengaruh terhadap kualitas sperma ini disebabkan oleh perbedaan energi yang ada dalam sel sperma. Persediaan energi tergantung pada asupan nutrisi. Menurut Winarno (2007), sperma disebut baik jika terdapat gumpalan seperti jelly yang disebut koagulum. Koagulum berisi zat gula (fruktosa) yang berfungsi sebagai sumber energi spermatozoa. 1.10 Viabilitas Sperma Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah. Penurunan suhu dari suhu kamar ke suhu dingin dan suhu baru perlu di lakukan secara bertahap untuk menghindari cold shock (Tali here, 1981 dalam Rustidja, 2000). Hardjopranjoto (1995) dalam Rustidja (2000), menyatakan bahwa lama hidup spermatozoa sangat tergantung kepada persediaan energi yang terkandung di dalam tubuhnya.

1.11 Motilitas Sperma Lama penyinaran sperma berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa pasca pembekuan, fasilitas dan daya tetas telur ikan mas. Semakin lama sperma disimpan akan terjadi penurunan

terhadap motilitas, fertilitas, dan daya tetas telurnya ( Rustidja, 2000 ). Menurut Kawan (1998) dalam Rustidja (1999), lama dan kecepatan sentrifugasi berpengaruh sangat nyata terhadap motilitas spermatozoa, tapi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi spermatozoa ikan mas. 1.12 Cara Pengawetan Sperma Pengawetan sperma untuk beberapa lama perlu dicampur dengan bahan pengencer yang mampu menjamin kebutuhan fisik dan kimiawinya. Pemakaian bahan pengencer dimaksudkan untuk mengurangi aktifitas spermatozoa sehingga menghambat pemakaian energi dan dapat memperpanjang hidup spermatozoa tersebut. Berkurangnya aktifitas spermatozoa menyebabkan produksi asam laktat menurun sehingga penurunan PH menjadi terhambat akibatnya mengurangi pengaruh negatif terhadap kehidupan spermatozoa (Hardjoprajata, 1995 dalam Rustidja, 2000). Pembekuan sperma dilakukan dengan menyimpan sperma pada suhu -196 c dalam nitrogen cair. Selama proses pembekuan berlangsung spermatozoa akan mengalami kejutan dingin (Cold Shock) untuk menghindari terjadinya cold shock selama proses pembekuan, bahan pengencer harus ditambah zat anti beku (eryoprotentart) dan penurunan suhu harus dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap (Rustidja, 2000).

1.13 Hormon Yang Mempengaruhi Sperma Menurut Kimball (1983), hormon yang dibentuk adalah testosteron yang merupakan hormon kelamin jantan yang utama. Ini juga perlu untuk produksi sperma, testosteron dibuat oleh selsel yang disebut sel intestenum yang terdapat di tubulus seminifer. Sebaliknya sel-sel intestenum ini merupakan sel terget hormon LH. Yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar pituitari ( hipofisa) yang terletak di dasar otak. Hormon kedua kelenjar hipofisis, FSH bekerja langsung pada spermatogonia, untuk merangsang produksi sperma. Tetapi LH secara tidak langsung dibutuhkan untuk produksi sperma, karena testosteron juga penting untuk proses tersebut. Proses terbentuknya, spermatogonia sangat dipengaruhi oleh keadaan hormon-hormon FSH, LH dan testosteron, disamping itu sel-sel pemeliharaan (sel-sel testos) mempunyai peranan yang sangat penting (Rustidja, 2000). 1.14.1 Ekstender 1.14.1 Fungsi Ekstender Menurut Toelihore (1985) dalam Rustidja (1999) menyebutkan beberapa fungsi ekstender yaitu : 1. Menyediakan zat zat makanan sebagai sumber energi bagi spermatozoa. 2. Melindungi spermatozoa terhadap Cold Shock. 3. Menyediakan suatu penyanggah untuk mencegah perubahan pH akibat pembentukan asam laktat dari hasil metabolisme sperma. 4. Mempertahankan tekanan osmotic dan keseimbangan elektrolit yang sesuai. 5. Mencegah pertumbuhan kuman. 6. Memperbanyak volume semen. Provervasi adalah pengawetan, pemeliharaan, penjagaan atau perlindungan. Sedangkan kriopreservasi adalah penyimpanan sel sel hidup dalam jangka waktu pendek maupun panjang dengan menggunakan dry ice maupun nitrogen cair sebagai bahan pembeku. Konsep kriopreservasi bias juga digunakan dalam preservasi sperma dengan mempertahankan viabilitas sel melalui reduksi atau interupsi fungsi metabolism bahan biologis (Wira, 2008).

14.2 Syarat Ekstender Iksan (1992) dalam Rustidja (1999), mengemukakan bahwa sebaikanya pengencer memenuhi syarat syarat sebagai berikut : 1. Bahan pengecer hendaknya murah, sederhana dan praktis dibuat namun mempunyai daya preservasi tinggi. 2. Pengencer harus mempunyai unsur unsur yang hamper sama sifat fisik dan kimianya dengan semen dan tidak boleh mengandung zat zat yang bersifat toksik atau bersifat racun, baik terhasap sperma maupun terhadap betina. 3. Pengencer harus tetap mempertahankan dan tidak membatasi daya fertilisasi sperma, pengencer tidak boleh terlalu kental sehingga menghalang halangi pertemuan antara sperma dan ovum dan menghambat fertilisasi. 4. Pengencer harus memberi kemungkinan pergerakan sperma sesudah pengencer, dimana sperma masih dapat terlihat agar dapat ditentukan kualitasnya. Menurut Harvey dan Hoar (1979) dalam Rustijda (2000), persyaratan untuk bahan pengencer yang akan digunakan untuk menyimpan sperma adalah harus menjamin 14.3 Macam-macam Eksterder Toeliher (1985b) dalam Rustidja (1999) menulis beberapa pengencer yang bisa digunakan adalah pengencer penyanggah kuning telur (fosfat kuning telur dan sitrat kuning telur). Pengencer yang mengandung gliserol dan pengencer air kelapa, kuning telur serta pegencer lainnya. Menurut Rustidja (2000) macam-macam larutan pengencer, yaitu: 1. Bahan pengencer larutan fruktosa terdiri dari 103 mm NaCl, 22 mm KCl, 130 mm CaCl2, 3,30 mm fruktosa, 79,9 mm glyserin, kuning telur 10% dan DM SO4 10%. 2. Bahan pengencer larutan ringer terdiri dari 7,5 g NaCl, 0,29 KCl: 0,265 gr CaCl2.2H2O.0,29 NaHCO3 dan aquadest 100 mL kemudian ditambah kuning telur 10 % dan praso 10% dari volum pengenceran. 3. Bahan engenceran NaCl fisiologis terdiri dari NaCl fisiologis yang dibuat dengan cara melarutkan 9 gr NaCl dalam 1 liter aquadest kemudian ditambah kuning telur 10% dan priso 10% dari volume pengencer. 14.4 Perbedaan Sperma Ikan Sakit (Stress) dan Ikan Sehat Menurut Winarno (2007), sperma disenut baik jika memenuhi persyaratab dari aspek makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis maksudnya dapat terlihat mata, sedangkan mikroskopis maksudnya yang teramati dengan bantuan alat mikoskop. Secara makroskopis disebut baik jika volumenya lebih dari 2 mL dalam sekali ejakulasi, berwarna keputihan, terdapat gumpalan seperti jelly yang disebut keagulan dan baunya khas seperti kaporit. Jika volumenya kurang dari 2 mL saat ejakulasi mungkin itu karena ejakulasi tidak sempurna, misalnya karena cemas. Namun, bila volume saat ejakulasi selalu sedikit (kurang dari 2 mL), mungkin ada masalah hormonal, yaitu kadar testosteron yang rendah atau kurang. Jika sperma berwarna kemerahan mungkin ada peredaran. Sedangkan sperma yang berbau tidak seperti seharusnya, misalnya amis, mungkin karena ada infeksi. Dalam proses keluarnya sperma (ejakulasi), lazimnya, setelah sperma cair keluar kemudian secara berurutan keagulan mengalir, tampilannya seperti jelly. Jika dalam pemeriksaan laboratoris didapatkan konsentarsi spermatozoa lebih dari 20 juta sel benih dalam tiap mL cairan sperma, konsentrasi sperma baik. Selanjutnya, apabila spermatozoa yang ada lebih 50 persen mampu bergerak cepat dan lebih 50 persen punya bentuk sel normal, morfologi dan motilitas sperma. 4.2 Analisa Hasil 4.2.1 Pewarnaan Sperma Dari data yang diperoleh diketahui nilai viabilitas (daya tahan hidup sperma) yang tertinggi

adalah kelompok 1 sebesar 90% yang hidup dan 10% yang mati. Sedangkan untuk nilai viabilitas yang terendah adalah kelompok 2, 6 dan 7 dengan nilai yang sama yaitu 10% yang hidup dan 90% yang mati. Perbedaan nilai viabilitas dipengaruhi oleh suhu, keeadaan sperma ikan, jumlah mitokondria yang berfungsi sebagai sintesis protein dan kadar pH. Menurut Effendie (1997), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah (Rustidja,2000). Dari pengamatan pewarnaan sperma dapat dilihat bahwa gambar di mikroskop didapatkan hampir seluruh media amatan berwarna merah. Warna merah ini diakibatkan oleh pewarnaan eosin yang bersifat asam. Hal ini menunjukkan bahwa sperma yang diamati telah mati, sperma yang masih hidup mempunyai lapisan penutup tubuh yang bersifat asam. Jika sperma yang masih hidup tersebut diberi eosin maka larutan tidak bisa masuk ke dalam tubuh sperma, karena sama-sama bersifat asam. Namun pada sperma yang telah mati maka lapisan luar sperma akan rusak dan sperma bersifat basa sehingga sperma berwarna merah. Viabilitas sperma menunjukan proporsi sperma yang hidup, dapat diketahui dengan cara pewarnaan eosin. Penilaian viabilitas sperma dapa dilakukan dengan pewarnaan eosin 0,5% (59/ liter eosin), di dalam larutan NaCl 0,9%. Prinsipnya, sperma yang mati akan menyerap eosin sehingga berwarna merah muda (Anwar,2008) 4.2.2 Pergerakan Sperma Dari hasil pengamatan pergerakan sperma, dapat diketahui nilai motilitas atau pergerakan sperma sebelum diberi perlakuan (ekstender), tidak ada nilai motilitas tertinggi, sedangkan nilai motilitas terendah hampir berada pada semua kelompok dari 1 7 dengan nilai motilitas yang bergerak 0% dan sperma yang diam 100%. Hal ini bisa terjadi karena mikroskop yang digunakan mempunyai fokus yang kurang baik sehingga tidak bisa terlihat pergerakan sperma itu sendiri. Motilitas juga dipengaruhi oleh keadaan spema, bentuk ekor sperma, tingkat konsistensi semen, suhu dan tingkat kematangan gonad. Pergerakan sperma dipengaruhi pula oleh salinitas air. Umumnya pergerakan sperma ikan yang memijah dalam air laut lebih lama dibandingkan dengan dalam air tawar. Hal ini disebabkan karena air laut lebih banyak mengandung zat-zat yang terdapat dalam sperma (Harvey dan Hoar, 1979 dalam Arie, 2008). Menurut Syafei, dkk(1993) yang menyatakan bahwa pada beberapa species setelah bergerak akan diam lagi dalam laruran tersebut,tetapi dengan pengenceran lagi motilitas spermatozoa tersebut muncul lagi. Hal ini diperkirakan bahwa spermatozoa tersebut juga mengeluarkan beberapa substansi yang menghentikan gerakan spermatozoa tersebut. 4.2.3 Pengawetan Sperma Berdasarkan data pengamatan, setelah penyimpanan selama 24jam, rata-rata viabilitas sperma mengalami peningkatan. Hal ini mungkin terjadi karena ekstender menyediakan zat makanan bagi spermatozoa dan menjaga kondisinya agar tetap stabil, Namun untuk motilitas hanya sebagian kecil saja yang mengalami peningkatan. Terutama yang menggunakan ekstender ringer laktat dan fruktosa, sedangkan untuk yang menggunakan ekstender air kelapa tidak ada yang mengalami pergerakan. Hal ini mungkin terjadi karena ekstender hanya menyediakan nutrisi bagi sperma tetapi untuk mempengaruhi motilitasnya. Selain itu juga karena spermatozoa mungkin juga mengeluarkan substansi yang menghentikan gerakannya. Ekstender adalah sebagai pengencer sperma dan berfungsi untuk menghentikan kerja sperma dan untuk pengawet sperma. Syarat ekstender adalah mudah dibuat, murah dan praktis, zatzat yang ada di ekstender sama dengan zat-zat yang ada di semen, ekstender tidak boleh

bersifat toxin, dan tidak menghambat daya fertilisasi spermanya. Motilitas atau pergerakan sperma setelah diberi ekstender kebanyakan dari kelompok adalah tidak ada atau 0% gerak dan 100% diam. Nilai motilitas tertinggi setelah terjadi pengawetan (diawetkan 24jam) adalah pada kelompok 4 yaitu 33% gerak dan 67% diam dengan ekstender fruktosa. Sedangkan yang terendah adalah pada kelompok 2,5,6, dan 7 yaitu motilitas 0% gerak dan 100% diam. Pada kelompok 4 dengan ekstender fruktosa didapatkan nilai motilitasnya tingi karena fruktosa mengandung banyak nutrisi dan merupakan sumber energi bagi sperma, sehingga sperma memiliki cadangan energi untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Teolihene (1981), dalam Hidayatuhrahmah (2007), fruktosa merupakan turunan karbohidrat yang dapat dijadikan sumber energi untuk mendukung pergerakan (motilitas) dan ketahanan spermatozoa. Menurut Marowali, dkk (2001), fruktosa adalah substrat energi utama di dalam plasma semen yang telah diproduksi kelenjar versikularis. Menurut pendapat Harvey dan Hoar (1971) dalam Rustidja (2000) yang menyatakan bahwa motilitas spermatozoa yang tertinggi adalah yang disimpan di dalam larutan Ringer`s. Hal ini disebabkan larutan Ringer`s mengandung zat-zat yang dapat memperpanjang lama pergerakan spermatozoa setelah keluar dari tubuh ikan. Dan diperkuat oleh pernyataan Winarsih (1996) dalam Rustidja (2000), yang menyatakan bahwa larutan Ringer`s dengan larutan fruktosa dan NaCl fisiologis. Jadi pernyataan ini sesuai dengan analisahasil di atas. 4.3 Faktor koreksi Pada praktikum pengawetan dan pewarnaan sperma ini terdapat faktor koreksi antara lain : - Kurang ketelitian dalam waktu striping ikan - Pembagian ikan jantan dan betina tidak sesuai prosedur yang ada - Keselamatan dan kesegaran ikan donor tidak dijaga dengan baik - Terlalu lama dalam melakukan pengamatan di bawah mikroskop sehingga sperma akan cepat mati - Kurang memadainya mikroskop yang digunakan sehingga akan mempengarui hasil pengamatan - Kurang telitinya untuk membedakan antara ikan jantan dan betina

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan Manfaat yang didapatkan dari praktikum pengawetan dan pewarnaan sperma dibidang perikanan antara lain : - Dapat mengurangi jumlah ikan jantan yang dipelihara sehingga biaya pemeliharaan induk jantan dapat diperkecil - Dapat mengetahui proses pembuahan buatan - Memudahkan untuk melakukan persilangan antara jenis ikan - Dapat mengatasi keterbatasan induk ikan jantan bila ingin memijahkan ikan - Mengetahui bentuk dan struktur tubuh sel sperma - Mengetahui macam-macam ekstender yang dapat digunakan dalam pengawetan sperma 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Sperma adalah makhluk kecil yang berenang-renang didalam semen. Sedangkan spermatozoa adalah sperma tunggal. 2. Sel sperma terdiri dari kepala, leher dan ekor. 3. Spermiasi adalah proses pengeluaran sperma keluar tubuh.

4. Proses spermatogenesis yaitu spermatogonia spermatosit 1 spermatosit 2 spermatid spermatozoa. 5. Viabilitas sperma adalah kemampuan hidup sperma. Viabilitas dipengaruhi oleh suhu, kondisi sperma dan pH, dimana sperma yang hidup berwarna putih dan yang mati berwarna merah. 6. Motilitas yaitu kemampuan sperma untuk bergerak, dimana faktor yang mempengaruhinya antara lain suhu, kondisi sperma, bentuk sperma dan tingkat konsentrasi semen. 7. Pengawetan sperma bisa dengan ditambahkan pengencer dan dibekukan pada suhu -196 C. 8. Hormon yang mempengaruhi sperma antara lain FSH, LH, dan testosteron. 9. Macam-macam ekstender antara lain pengencer penyanggah kuning telur (fosfat kuning telur), pengencer air susu, pengencer air kelapa, pengencer tris, larutan fruktosa, larutan Ringers dan pengencer NaCl fisiologis. 10. Berdasarkan hasil pengamatan pewarnaan sperma tampak bahwa sebagian besar sperma mengalami kematian. Ini terlihat dari banyaknya sperma yang berwarna merah karena menyerap warna eosin. 11. Dari pengamatan pergerakan sperma tampak bahwa 0% sperma yang mengalami motilitas. Ini disebabkan karena sperma tidak tahan terhadap perubahan suhu. 12. Untuk pengawetan sperma, setelah 24 jam viabilitasnya mengalami peningkatan dan untuk motilitasnya hanya yang menggunakan ekstender fruktosa dan ringer laktat saja yang mengalami peningkatan. Dan dari pengamatan ini ekstender yang paling baik adalah ringer laktat. 5.2 Saran Hendaknya mikroskop diperiksa terlebih dahulu sebelum praktikum agar pengamatan berjalan lancar dan datanya lebih valid.

PEWARNAAN DAN PENGAMATAN GONAD


1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Gonad Menurut Guyer and Charles (1964), gonad pada vertebrata adalah organ-organ dalam dua tunas, sebagai tambahan pada reproduksi utama gamet jantan dan betina. Gonad dapat berfungsi untuk mengontrol karakterisrik seks sekunder. Struktur dan bentuk biasanya tidak terkonsep pada awal produksi sel, tetapi dengan fasilitas fertilisasi gamet jantan dan betina. Karakteristik seks sekunder mencakup kebanyakan struktur ekstuagonadal dan kebiasaan pada setiap seks turunan. Menurut Villee, dkk (1984), gonad kelamin pada semua vertebrata terpisah, kecuali pada beberapa ikan berkerangka tulang. Testis merupakan sepasang alat berukuran sedang yang masing-masing mempunyai sejumlah besar tubulus seminiferus yang berliku-liku. Ini merupakan daerah yang luas untuk memproduksi bermilyar-milyar sperma. Ovarium ikan dan ampibia, yang menghasilkan ribuan atau ratusan telur, memenuhi sebagian besar rongga tubuh. Pada hampir semua vertebrata, gonad tergantung pada mesenteri dalam rongga tubuh dan selama hidup tetap berada di tempat itu. Menurut Sjafei dkk (1993), gonad pada ikan teleost sama seperti pada vertebrata lainnya yaitu berasal dari sel-sel germinatif primordial yang berada di luar daerah atau lokasi gonad yang bermigrasi ke lokasi gonad.

Menurut Rustidja (1999), gonad dari semua jenis vertebrata umumnya sejumlah sepasang dan terletak pada daerah dorsolateral di dalam rongga tubuh. Testis ikan ditopang memanjang oleh mesentries. Gonad merupakan semacam kantong dan mempunyai lamella ke dalam lumensentral. 1.2 Ciri-ciri Induk yang Matang Gonad 1.2.1 Ciri Induk Jantan yang Matang Gonad Menurut Jayatisoka, dkk (1988), tanda-tanda induk jantan yang baik adalah sebagai berikut warna gelap, perut dekat anus lancip, susunan sisik teratur, gerakannya lincah, umur 3-7 tahun. Sedangkan tanda-tanda induk jantan yang sudah saatnya memijah adalah kedua belah rusuk pada bagian perut membentuk sudut tumpul. Menurut Usniarie (2008), induk jantan yang matang kelamin ditandai dengan warna tubuh agak cerah, berperut tipis, alat kelamin membengkak berwarna kemerahan dengan garis jelas serta gerakannya lincah. Menurut Ganda (2008), ciri-ciri ikan lele jantan yang matang gonad adalah proporsi kepala jantan lebih kecil dibanding dengan betina, warna kulit dada jantan lebih kusam dibanding betina, kelamin jantan menonjol, memanjang ke arah belakang, terletak dibelakang anus, dengan warna kemerahan, gerakan induk jantan lebih lincah dibandingkan ikan lele betina. Serta kulit jantan lebih halus dibandingkan betina muncul bintik-bintik kecil di sekitar sirip dorsal. 1.2.2 Ciri Induk Betina yang Masak Telur Tanda-tanda induk betina yang baik menurut Jayatisoka, dkk (1988), yaitu warna terang, perut membulat, badan relatif panjang, susunan sisiknya teratur, umur 3-10 tahun. Hasil yang baik berumur 5-10 tahun. Dan tanda-tanda induk betina yang sudah saatnya memijah adalah bagian perut dibelakang sirip dada kelihatan menggembung jelas sekali dan sisik kelihatan agak terbuka. Induk betina yang siap memijah menurut Usniarie (2008), ditandai dengan perutnya gendut, lubang telur membengkak, berwarna kemerahan dan gerakannya yang lamban. 1.3 Anatomi Sistem Reproduksi Jantan Menurut Richter dan Rustidja (1985) dalam Rustidja (2000), struktur testes terdiri dari rongga-rongga yang tidak teratur dan banyak sekali, terdiri atas tubula longitudinalis. Didalam tubuh terdapat cyste seminiferis. Didalam cyste-cyste ini terdapat sel penghasil sperma. Sel-sel penghasil sperma ini dikelilingi oleh sel-sel sertoli yang berfungsi nutritif. Diluar tubulus terdapat sel-sel interstitial yang berfungsi sebagai endokrin. Menurut Ville, dkk (1988), testis vertebrata terdiri atas ribuan saluran (tubulus) sperma, yang masing-masing mengembangkan bermilyar-milyar sperma. Dinding tubulus sperma tersebut dilapisi oleh sel germinal primitif yang mengalami kekhususan, yang disebut spermatogonium (Yunani, sperma, bibit+gonos, keturunan). Sebelum sampai pada lubang pelepasan (urogenital pore), spermatozon yang berasal dari testes terlebih dahulu melalui vasa efferentia, epididymis, vasa defferentia, seminal vesikel, urogenital sinus dan urogenital papilla pada (handrichthyes). Pada sisi seminal vesikel terdapat kantong sperma (Raharjo, dkk, 1989). 1.4 Anatomi Sistem Reproduksi Betina Menurut Rachman (2003), ovarium ikan berbentuk longitudinal seperti agar-agar jernih dan berbintik-bintik berisi sel telur atau ova. Biasanya jumlah sepasang. Dari ovarium sel telur keluar melalui saluran yang disebut oviduct. Menurut Rustidja (2000), pada ikan betina ovarium ada sepasang, ditopang secara

memanjang oleh alat penggantung mesovaria pada bagian atas rongga tubuh dan merupakan semacam kantong kosong yang dinding luarnya berlamella masuk dalam lumen sentral. Ovarium terbungkus oleh selaput ovarium terdiri dari rongga ovarium (lumen) dan beberapa buah lamella dalam ovarium yang akan diikuti terjadinya oogenesis. Rongga ovarium berhubungan dengan oviduct, tiap ovarium kiri dan kanan berhubungan dan keluar melalui lubang genital. Jenis ini disebut cystovarian yaitu setelah sel telur matang didalam folikel akan dilepaskan ke dalam lumen ovarium dan melalui oviduct dan lubang genital akan keluar dari tubuhnya. Proses pelepasan telur dari folikel ini disebut ovulasi. Pada ikan yang belum dewasa, ovarium berbentuk tubulus yang berukuran kecil. Ovarium dibungkus oleh suatu lapisan jaringan pengikat tunica albuginia dan mesotelium. Pada ovarium yang telah dewasa terdapat juga banyak otot halus yang membungkus bagian luar ovarium. Pada ikan muda, tunica albuginea biasanya belum berkembang. 1.5 Tingkat Kematangan Gonad Jantan 1.5.1 TKG Menurut Tester dan Takata Tingkat kematangan gonad ikan Kuhlia Pandvicanses menurut Tester dan Takata ( 1953 ) dalam Effendie ( 2002) adalah sebagai berikut : I. Tidak masak: Gonad sangat kecil seperti benang dan transparan. Penampang gonad pada ikan jantan pipih dengan warna keabu abuan, penampang pada ikan betina bulat dengan warna kemerah merahan. II. Permulaan masak: gonad mengisi rongga tubuh. Warnanya pada ikan jantan keabuan atau putih, bentuknya pipih, sedangkan ikan betina warnanya kemerah merahan atau kuning dan bentuknya bulat. Telur tidak nampak. III. Hampir masak: Gonad mengisi rongga tubuh. Gonad pada ikan jantan berwarna putih, pada betina berwarna kuning. Bentuk telur tepat melalui dinding ovarium. IV. Masak: gonad mengisi rongga tubuh. Gonad ikan jantan berwarna putih berisi cairan berwarna putih, kadang kadang dengan tekanan halus pada perutnya da yang menonjol pada lubang pelepasannya. V. Salin: hampir sama dengan tahap kedua dan sukar dibedakan. Gonad jantan berwarna putih, kadang kadang dengan bintik coklat. Gonad betina berwarna merah, lembek dan telur tidak nampak. 1.5.2 TKG Menurut Kaya Dan Hesler Tingkat kematangan gonad jantan (testes) ikan green sunfish secara histologi menurut Kaya dan Hesler (1972) dalam Effendie (1997), adalah sebagai berikut: I. Testes regresi (akhir musim panas sampai pertengahan musim dingin). Dinding gonad dilapisi oleh spermatogonia awal dan sekunder. Sperma sisa mungkin masih terdapat. II. Perkembangan spermatogonia. Sama dengan tingkat 1 hanya proporsi spermatogonia sekunder bertambah. Sperma sisa kadang kadangmasih terlihat. III. Awal akhir spermatogenesis. Cyste spermatocyt timbul dan kemudian semakin bertambah. Cyste spermatid dan spermatozoa juga mulai keluar. IV. Aktif spermatogenesis. Semua tingkat spermatogenesis ada dalam jumlah yng banyak. Spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminiferous. V. Testes masak. Lumen penuh dengan spermatozoa, pada dinding lobule penuh dengn cyste bermacam macam tingkat. VI. Testes regresi. Rongga seminiferus masih berisi spermatozoa. Dinding penuh dengan spermatogonia yang tidak aktif, ukuran testes mengerut karena sperma dikeluarkan. 1.6 Tingkat kematangan gonad betina 1.6.1 TKG menurut Devados

Tingkat kematangan gonad ikan othilithur nuher dan johwis duesumieri menurut Devados (1969) dalam Effendie (2002), adalah sebagai berikut : I. Tidak masak. Ovari berwarna pucat keruh, memanjang sampai sepertiga panjang rongga perut, Telur tidak dapat dilihat oleh mata, keadaan telur kecil, Tidak berkuning telur, trasparan dengan inti yang jelas. II. Tidak masak. Ovarium berwarna merah agar, mengisi 1/3 - rongga perut gonad tidak simetri, telur tidak dapat dilihat oleh mata, keadaan telur pembentukan kuning telur baru disekitar inti. III. Hampir masak. Ovarium berwarna merah jambu sampai kuning, berbutir-butir memanjang - 2/3 bagian dalam rongga perut, keadaan telur kecil, warna tidak terang inti bagian atas seluruhnya beneran dalam kuning telur. IV. Hampir masak. Ovarium berwarna putih susu sampai kuning, pembuluh darah terlihat dibagian atasnya memanjang sampai bagian dari perut saat terlur mudah terlihat, keadaan telur dalam ukuran sedang dengan warna tidak terang, belum bebas dari sel-sel partikel. V. Masak. Ovarium berwarna kuning kemerah-merahan, pembuluh darah jelas, panjangnya sampai - 4/5 rongga perut, telur jelas terlihat, keadaan telur masak berukuran besar dan berwarna tidak terang, bebas dari talikel. VI. Masak betul. Warna ovarium memerah merata seperti kue puding, mengisi seluruh rongga perut, telur terikat dari ovarium, keadaan telur ikan masak berukuran besar, transparan kuning telur berisi gelembung minyak. VII. Salin. Ovariummengkerut sebagai hasil pemijahan 1.6.2 TKG menurut Nikolsky Tingkat kematangan gonad ikan menurut Nikolsky (Bagend dan Brawn, 1985) dalam Jaya suku, dkk (1988) terdiri dari beberapa tahap : - Tidak masak Individu muda belum berhasrat dalam reproduksi, gonad sangat kecil - Tahap istirahat Produk seksual belum mulai berkembang, gonad kecil, ukuran telur belum dapat dibedakan dengan mata biasa - Pemasakan Telur-telur dapat dibedakan oleh mata biasa, pertambahan berat gonad dengan cepat sedang berjalan, testes berubah dari transparan berwarna merah muda pias - Masak Produksi seksual masak gonad mencapai perut yang maksimum tetapi perodik seksual tersebut belum keluar bila perutnya ditekan - Reproduksi Produksi seksual keluar bila perut ditekan perlahan, berat gonad turun dengan cepat dari awal pemijahan sampai selesai - Kondisi salin Produksi seksual telah dikeluarkan lubang pelepasan kemerah-merahan, gonad seperti kantung kelapa, ovari biasanya berisi beberapa telur sisa dan testes berisi sperma sisa - Tahap istirahat Produk seksual sudah dilepaskan, lubang pelepasan tidak kemerah-merahan lagi, gonad bentuknyakecil, telur dapt dibedakan oleh mata biasa. 1.7 Proses Pembentukan dan Perkembangan Gonad Jantan. Sel-sel sperma sebenarnya hanya merupakan inti yang berflagelum. Sperma dihasilkan dalam testis oleh sel-sel khusus yang disebut spermatogonia. Spermatogonia yang bersifat diploid ini dapat membelah diri secara mitosis membentuk spermatogonia atau dapat berubah

menjadi spermatosit. Meiosis dari setiap spermatosit menghasilkan empat sel haploid ialah, spermatid. Spermatid ini dalam proses tersebut, kemudian banyak kehilangan sitoplasma dan berkembang menjadi sel sperma (Kimball, 1983). Testes ikan ditopang secara memanjang oleh mesenteries dan di dalam testes tersebut terdapat tubulus-tubulus, dimana sepanjang tubulus berisi cyste-cyste seminiferousi yang dikelilingi oleh sel-sel certoli, cyste ini akan berdiferensiasi menjadi spermatogonium yang selanjutnya akan mengalami proses spermatogenesis menjadi spermatozoa (Brusle, 1983 dalam Rustidja, 1999). 1.8 Proses Pembentukan dan Perkembangan Gonad Betina. Oogonia adalah sel telur yang paling muda yang mulai berkembang dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa yang mengelilinginya bersamaan dengan berkembangnya sel telur dan kemudian akan dipisahkan dengan sel telur oleh suatu lapisan hialin yang secara bertahap lapisan ini akan berubah dan disebut zona pellucida. Sel granulosa di luar zona pellucida ini bertanggungjawab dalam proses penghancuran sel telur, mekanisme kerjanya seperti capora lutea pada hewan mamalia (Angka et al, 1990 dalam Rustidja, 2000). Menurut Jalabert and Johar (1982) dalam Rustidja (2000), pertumbuhan oosit dalam ovarium dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap I adalah tahap pertumbuhan primer (previtellogenesis) ditandai dengan peningkatan ukuran diameternya 0,6-0,9 mm pada (Sarotherodon niloticus) akibat sintesis kuning telur yang terjadi di dalam oosit (Endogenous vitellogenesis), tahap II adalah tahap pertumbuhan sekunder (exogenous vitellogenesis) di tandai dengan terjadinya pembentukan visikel pada bagian perifer sitoplasma dan meluas ke arah inti sel. Oosit berkembang mulai terjadi akumulasi protein kuning telur dari dalam (Endogenous vitellogenesis) dan menyatu dengan derivat kuning telur hasil sintesa dari hati (Exogenous vitellogenesisi) yang dibawa melalui aliran darah, kuning telur ini terdiri dari lipofosfoprotein. 1.9 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Gonad Internal dan Eksternal. Menurut Starey (1984) dalam Musida (2008), beberapa faktor eksternal yang berperan penting bagi keberhasilan proses reproduksi adalah : - Photo Periode Proses ovulasi pada beberapa ikan teleostei menunjukan hubungan yang erat dengan photo periode. Photo periode diduga berpengaruh secara langsung terhadap mekanisme saraf yang menentukan waktu pemijahan bagi ikan laut. - Suhu Suhu berpengaruh terhadap berbagai fungsi system reproduksi ikan teleostei. Suhu juga berpengaruh terhadap waktu pemijahan, pematangan gonad dan keberhasilan pemijahan. - Substrat Pemijahan Mekanisme pengaturan ovulasi dipengaruhi oleh kebutuhan ikan terhadapjenis substrat tertentu. Jika substrat yang sesuai belum ditemukan maka ovulasi tidak akan terjadi. - Ketersediaan Makanan Komposisi protein merupakan faktor esensial yang dibutuhkan ikan untuk pematangan gonad. Pakan induk yang kekurangan asam lemak esensial akan menghasilkan laju pematangan gonad yang rendah. Mineral, yang penting bagi pematangan gonad adalah phospor (P), seng (Zn) dan Mangan (Mg). - Faktor Sosial (Hubungan antar periode) Interaksi antar individu dapat mempengaruhi tingkah laku reproduksi dan fertilitas. Pada beberapa spesies ikan ovulasi akan terhambat jika kepadatan ikan pada suatu perairan. Menurut Stacey (1984) dalam Blpunsoed (2009), bahwa faktor internal yang mempengaruhi pemijahan adalah pendorong dan penghambat hormon gonadotropin, gonadotropin pra ovulasi dan respon ovarium terhadap GTH (Gonadotropin Hormon).

Menurut Lagler et al (1977), ketika ikan matang secara seksual, produksek sudah masak dan proses reproduksi akan terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi peristiwa ini. Kekuatan dalam bekerjanya dapat dikelompokkan secara kasar yaitu dari dalam ikan (intrinsik) dan dari sekitar (ekstrinsik). Faktor intrinsik antara lain kematangan seksual, kelahiran dan kematangan dari jenis ikan dan hereditasnya, makanan pilihan, fisiologi individu dan faktor lingkungan antara lain perubahan durasi penyinaran (photo period), suhu, kehadiran lawan jenis, arus, pasang, tahapan bulan dan kehadiran fasilitas spawning.

4.2 Analisa Hasil Berdasarkan hasil data pengamatan tampak bahwa gonad ikan mas (Cyprinus carpio) pada ikan Mas jantan maupun betina terletak pada rongga perut tepatnya di bawah gelembung renang di atas usus. Hal ini sesuai dengan pendapat Raharjo, dkk (1989), yang menyatakan bahwa testes (gonad jantan) berbentuk memanjang dan menggantung pada bagian atas rongga tubuh dengan perantara mesorchium, dibawah atau di samping gelembung gas (jika ada) ovarium berbentuk memanjang, letaknya di bawah atau di samping gelembung gas (jika ada). Berat gonad ikan betina yaitu 55,62 gram dan berat tubuhnya 823 gram berarti berat gonad ikan tersebut 14,79% dari berat tubuhnya. Hal ini sesuai pendapat Effendie (1997), yang menyatakan bahwa umumnya berat gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan sebesar 5-10%. Gonad ikan betina berwarna hijau kekuningan, telur jelas dapat dibedakan bentuknya bulat telur. Ovarium mengisi kira-kira dua per tiga ruang bawah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad ikan tersebut sudah mencapai tahap perkembangan II. Dan tingkat kematangan gonad menurut Kesteven (Bagenal dan Braum, 1968) dalam Effndie (1997), pada tahap IV pekembangan II, Testes berwarna putih kemerah-merahan. Ovarium berwarna oranye kemerah-merahan. Telur jelas dapat dibedakan, bentuk bulat telur. Ovarium mengisi kira-kira dua per tiga tuang bawah. Menurut Effendie (1972), telur yang belum dibuahi bagian warnanya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput kapsul atau chorion. Di bawah chorion ada lagi selaput yang kedua dinamakan selaput vitellin. Selaput yang ketiga mengelilingi plasma dinamakan selaput plasma. Ketiga selaput ini mrnempel satu sama lain ketiga telur ini masih dalam tubuh ikan dan tidak terdapat ruang diantaranya. Bagian atas telur yang mempunyai cytoplasma dinamakan kutub anima dan bagian bawahnya dinamakan kutub vegetative. Charion mempunyai sebuah lubang kecil yang dinamakan micropyle yaitu lubang untuk masuknya sperma. 4.3 Faktor koreksi Pada praktikum pewarnaan dan pengamatan gonad ini terdapat faktor koreksi antara lain : - Terjadi kesalahan pada saat pengambilan gonad sedikit sobek tetapi telur tidak sampai tercecer atau berhamburan - Ketika proses pengamatan tiap jamnya, praktikan kurang teliti dalam mengamati ikan - Adanya perbedaan dari praktikan ketika menentukan tingkat kematangan gonadyang disesuaikan sengan literatur - Ketika ketelitian saat pengamatan dibawah mikroskop dan tidak maksimalnya alat mikroskop atau masuknya bagian dari mikroskop - Ketidak telitinya memeriksa ikan jantan dan betina yang dicampur dalam suatu kolam 4.4 Manfaat di Bidang perikanan Manfaat yang didapatkan dari praktikum pewarnaan dan pengamatan gonad dibidang

perikanan antara lain : - Mempercepat menghasilkan keturunan dengan cara perkawinan eksternal - Dapat mengetahui tingkat kematangan gonad, letak gonad dan bagian-bagian gonad - Dapat mengetahui pengruh peemberian hypofisa untuk mempercepat kematangan gonad - Dapat mengetahui kondisi lingkungan perairan yang sesuai uuntuk mempercepat tingkat kematangan gonad 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Gonad merupakan organ reproduksi pada vertebrata yang terletak pada daerah dorsolateral di rongga tubuh. 2. Ciri-ciri induk jantan yang matang gonad adalah warna tubuh agak cerah, berperut tipis, alat kelamin membengkat dan gerakannya lincah. 3. Ciri-ciri induk betina yang matang gonad adalah perutnya mengembang, lubang telur membengkak dan berwarna kemerahan, gerakkannya lamban dan bila diraba tutup insangnya licin. 4. TKG menurut Tester dan Takata (1953) adalah tidak masak, permulaan masak, hampir masak, masak dan salin. 5. TKG menurut Kaya dan Hasler adalah testes regresi, perkembangan spermatogonia, awal aktif spermatogenesis, aktif spermatogenesis, testes masak dan testes regresi. 6. Proses pembentukan dan perkembangan gonad jantan yaitu spermatogonia spermatosit 1 spermatosit 2 spermatid sel sperma. 7. Proses pembentukan dan perkembangan gonad betina yaitu previtellogenesis endogenous vitellogenesis exogenous vitellogenesis. 8. Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan gonad antara lain hormon, umur, genetik ikan. 9. Faktor eksternal yang mempengaruhi pembentukan gonad antara lain photo periode, suhu, substrat pemijahan, ketersediaan makanan, kehadiran lawan jenis, arus, pasang, tahapan bulan. 10. Berdasarkan data hasil pengamatan, letak gonad jantan dan betina terletak dirongga perut dibawah gelembung renang. Gonad jantan berwarna putih dan bila diurut mengeluarkan sperma dan tingkat kematangannya menurut Kesteven adalah pada tahap V yaitu dewasa dengan ciri gonad berwarna putih dan bila diurut keluar milt, sedangkan gonad ikan betina pada tahap IV yaitu perkembangan II dengan ciri ovarium berwarna oranye kemerahan, mengisi kira-kira dua pertiga bagian ruang rongga perut bawah dan telur dapat dibedakan dengan jelas. 5.2 Saran Sebaiknya dalam pembeliaan ikan itu dicek terlebih dahulu jantan betinanya agar tidak tertukar karena dapat mempengaruhi data hasil pengamatan. Diposkan oleh Ly Youly Suprihatin di 03:54 0 komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom)

AbOut Me Guyz

Ly Youly Suprihatin Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia aku dilahirkan dengan penuh PERJUANGAN. Maka aku harus bertahan hidup dan membahagiakan mereka yang telah berjuang demi DIRIKU Lihat profil lengkapku

Arsip Blog

Oktober (10) April (2) Juni (1) Mei (4)

Pengikut

You might also like