You are on page 1of 20

B.

IV

AKUNTABILITAS DAN GOOD GOVERNANCE

DEPARTEMEN AGAMA RI SEKRETARIAT JENDERAL BIRO ORGANISASI DAN TATALAKSANA TAHUN 2006

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas petunjuk dan rahmat-Nya buku Akuntabilitas dan Good Governance dapat disusun dan diterbitkan. Buku ini disusun dan diterbitkan agar para pejabat di lingkungan Departemen Agama memahami dan termotivasi untuk menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan prinsip-prinsip Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka pembuatan laporan akuntabilitas kinerja satuan organisasi/kerja masing-masing. Sangat disadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada semua pihak atas upaya dan jerih payahnya yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran sehingga buku ini dapat disusun dan diterbitkan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi seluruh pejabat di lingkungan Departemen Agama.

Jakarta, Februari 2007 Kepala Biro Organisasi dan Tatalaksana

H. Muhammad Irfan NIP. 150157009

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................... DAFTAR ISI ......................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................... B. C. BAB II Dasar Hukum ............................................................................................. Tujuan ........................................................................................................ 1 2 2 3 3 4 6 8 9 10 11 11 12 13 14 17 i ii

AKUNTABILITAS A. Akuntabilitas Sebagai Suatu Konsep, Tujuan Historis, dan Teoritis ........ 1. 2. 3. 4. 5. 6. B. C. Perkembangan .................................................................................... Jenis ................................................................................................... Hambatan .......................................................................................... Lingkungan yang Mempengaruhi ..................................................... Hal-hal yang Perlu Diperhatikan ...................................................... Media Akuntabilitas ..........................................................................

Pengertian Akuntabilitas ............................................................................ Prinsip-Prinsip Akuntabilitas ....................................................................

BAB

III

GOOD GOVERNANCE A. Makna Good Governance ......................................................................... B. C. Karakteristik Good Governance menurut UNDP ..................................... Prinsip-prinsip Masyarakat Madani ..........................................................

BAB

IV

PENUTUP ........................................................................................................

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Suksesi kepemimpinan pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai antara lain dengan semangat reformasi pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan mewujudkan administrasi negaran yang mampu mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mempraktikan prinsip-prinsip Good Governance. Masyarakat menuntut kesungguhan pemerintah menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods dan public services disebut governance (pemerintahan atau kepemerintahan)). Praktek terbaik dari governance itu disebut Good Governance (kepemerintahan yang baik). Agar Good Governance menjadi kenyataan diperlukan komitmen yang tinggi dari semua pihak, atasan dan bawahan, pemerintah dan masyarakat, koordinasi (alignment) yang baik, integritas, profesionalitas, dan etos kerja serta moral yang tinggi. Hal yang paling penting adalah harus ada keteladanan. Untuk itulah dikembangkan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata, sehingga pemerintah dan pembangunan berlangsung secara berhasil guna, berdaya guna, bersih, bertanggung jawab, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Konsep dasarnya pada klasifikasi responsibilitas menajerial tiap tingkatan organisasi pemerintah. Masing-masing individu bertanggung jawab atas setiap kegiatan bagiannya. Sejalan dengan itu Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan ini ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR RI tersebut Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Pada tingkat kebijakan pelaksanaan, telah ditetapkan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang kemudian dengan pertimbangan menyesuaikan dengan perkembangan yang telah terjadi telah diperbaharui dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003. Selanjutnya Departemen Agama menetapkan petunjuk pelaksaan untuk khusus di lingkungan Departemen Agama dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 489 Tahun 2000 yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun 2003 yang selanjutnya disempurnakan kembali dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 dan diinstruksikan kepada semua unit kerja, satuan organisasi/kerja Departemen Agama se Indonesia untuk melaksanakannya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance

B. Dasar Hukum 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 2. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota (disempurnakan); 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama; 5. Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di lingkungan Departemen Agama; 6. Instruksi Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di lingkungan Departemen Agama. C. Tujuan Agar para pejabat di lingkungan Departemen Agama memahami dan termotivasi untuk menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan prinsip-prinsip Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka pembuatan laporan akuntabilitas kinerja satuan organisasi/kerja masing-masing.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

BAB II

AKUNTABILITAS

A. Akuntabilitas sebagai suatu Konsep, Tujuan Historis, dan Teoritis Sesungguhnya sejak zaman Mesopotamia 4000 SM sudah ada hukum Hammurabi. Raja wajib mempertanggungjawabkan tindakannya kepada yang memberi wewenang. Untuk menyatakan keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem dan agar dapat memahami secara utuh, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : perkembangan, jenis, hambatan, lingkungan yang mempengaruhi terselenggaranya akuntabilitas, hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan akuntabilitas, serta media akuntabilitas. 1. Perkembangan Accountability menurut Oxford Advance Learner's Dictionary, Oxford University Press, 1989 adalah required or expected to give an explanation for one's action. Sementara menurut Kamus Inggris Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Shadly, PT Gramedia Jakarta, cetakan XIV, 1986 accountability adalah keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan dapat dimintai pertanggungjawaban. Dapat difahami bahwa dalam akuntabilitas terkandung kewajiban seseorang atau organisasi untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasan. Dalam hal ini terminologi akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Menurut J.B. Ghartey, 1987, akuntabilitas ditujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan berhubungan dengan pelayanan apa, oleh siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Dengan demikian pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain : apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan, dan sebagainya. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, oleh karena itu harus diikuti dengan jiwa intrepreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas. Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana yang transparan dan demokratis serta adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Oleh karena itu pemerintah harus betul-betul menyadari bahwa pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari publik. Ada empat dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain, yaitu : a. Siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas; b. Kepada siapa ia berakuntabilitas; c. Apa standar penilaian akuntabilitasnya; d. Nilai akuntabilitas itu sendiri.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

Efektivitas akuntabilitas publik banyak tergantung pada apakah pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan direfleksikan dalam sistem monitoring dan insentif dari pelayanan publik. Pihak-pihak yang berkepentingan itu adalah : a. Publik dan konsumen pelayanan (stakeholders); b. Pemimpin, pengawas pelayanan publik; c. Penyaji pelayanan itu sendiri yang mungkin punya tujuan berbeda. Secara absolut akuntabilitas memvisualisasikan ketaatan kepada peraturan, kemampuan melakukan evaluasi kinerja, keterbukaan, mengacu jadwal, penerapan efisiensi dan efektivitas biaya. Pengendalian adalah bagian penting yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan yang harus dipedomani, meliputi : a. Kebijakan nasional, fundamental, dan strategis mencapai tujuan nasional; b. Kebijakan umum, kebijakan presiden, dan kebijakan gubernur; c. Kebijakan pelaksanaan; d. Kebijakan teknis. 2. Jenis Menurut Sirajudin H. Saleh dan Aslam Iqbal, 1991, akuntabilitas merupakan sisisisi sikap dan watak kehidupan manusia meliputi akuntabilitas intern seseorang dan akuntabilitas ektern seseorang. Akuntabilitas intern disebut juga akuntabilitas spiritual. Tidak sekedar tidak ada pencurian dan sensibilitas lingkungan, tapi lebih dari itu seperti adanya perasaan malu berbuat melanggar ketentuan dan lain-lain. Ini sangat besar maknanya bila semua orang memiliki sensibilitas spiritual seperti itu, alasan-alasan permisif seperti berbedanya kemampuan, tidak cukup waktu, tidak cukup sumber daya, dan sebagainya merupakan cikal bakal adanya korupsi dan akuntabilitas menjadi seperti kaca mobil berembun alias kabur. Hendaknya kita berusaha keras menghindari keluhan-keluhan semacam itu bila kita ingin melaksanakan akuntabilitas dengan sungguh-sungguh. Akuntabilitas ekstern seseorang adalah akuntabilitas kepada lingkungannya baik formal (atasan) maupun informal (masyarakat). Akuntabilitas ekstern lebih mudah diukur karena norma dan standarnya jelas. Ada atasan, ada pengawas, ada kawan sekerja yang membantu, ada masyarakat konsumen yang sesekali menyoroti dan memberikan koreksi serta saran perbaikan, kelompok mahasiswa yang sensitif terhadap penyimpanganpenyimpanan, dan ada pula lembaga masyarakat penyeimbang yang kepeduliannya sangat tinggi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

Akuntabilitas eksternal meliputi : a. Akuntabilitas internal kepada pelayanan publik organisasi sendiri; b. Akuntabilitas eksternal kepada individu-individu dan organisasi di luar pelayanan publik organisasi sendiri. Akuntabilitas eksternal adalan akuntabilitas yang paling banyak dibahas. Banyak orang mengelompokkan akuntabilitas ini menjadi beberapa bagian selaras dengan sudut pandang masing-masin, antara lain : Menurut Mario D. Yango, 1991 : a. Akuntabilitas tradisional/reguler. Akuntabilitas yang memfokuskan kepada transaksi-transaksi reguler/fiskal dalam efisiensi administrasi publik menuju pelayanan prima. b. Akuntabilitas manajerial. Akuntabilitas yang menitikberatkan kepada efisiensi dana, kekayaan, sumber daya manusia, dan sumber daya lain. Diharapkan peranan manajer atau pengawas lebih baik terutama dalam menetapkan proses yang berkelanjutan sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik. c. Akuntabilitas program. Akuntabilitas yang memfokuskan kepada pencapaian hasil operasi pemerintah. Sangat diperhatikan sampai di mana pencapaian hasil, bukan sekedar cukup bahwa suatu program sudah dikerjakan. d. Akuntabilitas proses. Akuntabilitas yang memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta dampak positif pada kondisi sosial masyarakat. Menurut Samuel Paul, 1991 : a. Akuntabilitas demokratis. Pemerintah harus akuntabel atas kinerja semua kegiatannya kepada pemimpin politik yang telah mengangkatnya. b. Akuntabilitas profesional. Para pakar dan teknokrat melaksanakan tugas senantiasa dilandasi oleh norma dan standar profesinya. c. Akuntabilitas hukum. Ketentuan-ketentuan hukum disesuaikan dengan kepentingan publik yang dituntut oleh seluruh masyarakat. Pembagian lain : a. Akuntabilitas keuangan. Integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah. b. Akuntabilitas manfaat. Terfokus kepada efektivitas, tidak sekedar pada kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya outputs, tapi sampai outcomes. Ini mirip dengan akuntabilitas program.
C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

c. Akuntabilitas prosedural. Apakah suatu prosedur telah mempertimbangkan moralitas, etika, kepastian hukum, ketaatan kepada keputusan politik? Ini mirip dengan akuntabilitas proses. 3. Hambatan Banyak mal-administrasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini berarti akuntabilitas tidak berjalan. Fakta menunjukkan banyak sekali hambatan-hambatan yang ditemui, antara lain : a. Persentase melek huruf rendah (Law literacy percentage) Masyarakat yang demikian biasanya kurang peduli, mungkin karena kurang mengertinya terhadap hak dan kewajiban serta masalah-masalah sosial. Sebaliknya mereka toleransi tinggi terhadap tidak-tanduk negatif seperti lack of accountability, malpractice, korupsi, nepotisme, sogok menyogok dan sejenisnya. b. Gaji yang rendah (Poor standard of living) Pegawai dengan gaji kurang, cenderung mencari tambahan. Usaha demikian dianggap normal-normal saja baik di luar maupun di dalam jam kerja. Bahkan sampai "membisniskan" pekerjaan dinasnya, dengan menerima suap dan bentuk-bentuk KKN lainnya. c. Dekadensi moral (General decline in the moral values) Perilaku materialistis dan konsumerisme mendorong kepada lack of accountability. Sikap moral yang membedakan antara yang baik dan yang buruk bisa menurun, sehingga pegawai mencari penghasilan dari cara yang tidak seharusnya. d. Manajemen "semau gue" (A policy of live and let live) Cara hidup seperti ini memudahkan orang melanggar peraturan. Akhirnya dalam mencari keuntungan dilakukan dengan mengabaikan kepentingan nasional, yang penting "bisa hidup". e. Hambatan moral (Cultural factors) Pejabat mementingkan pelayanan kepada keluarga/kerabat sendiri. Ini mendorong tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski sudah cukup berada, mereka masih melakukan perbuatan tak terpuji, itu karena takut nanti menjadi "tidak kecukupan". Jadi korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah "membudaya". f. Monopoli pemerintah (Government monopoli) Sentralisasi sumber daya, penumpukan tanggung jawab, birokrasi berbelit-belit makin mengurangi pelaksanaan akuntabilitas, bahkan akhirnya akuntabilitas dianggapnya mengganggu, sehingga dianggap "tidak perlu ada". g. Buruknya sistem akuntansi (Deficiencies in the accounting system) Buruknya sistem akuntansi adalah salah satu faktor yang berakibat tidak dapat diperolehnya informasi yang dapat dipercaya dalam penerapan akuntabilitas.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

h. Tak ada kemauan untuk melaksanakan akuntabilitas (Lack of will in enforcing accountability) Sikap pasif pegawai, tak acuh terhadap kepentingan akuntabilitas, menyebabkan akuntabilitas tidak berjalan, dan ini berkait dengan "live and let live policy" di atas. Pejabat yang seharusnya mengoreksi, ia tidak dapat berbuat, atau tidak mau berbuat, karena justru ia terlibat dalam tindak melanggar hukum. i. Kekakuan birokrasi (Birocratic secrecy) Kontrol ketat kepada media masa makin menjadikan suasana unaccountable karena tidak ada keleluasaan masyarakat melakukan koreksi. Rakyat takut mengoreksi karena adanya berbagai kemungkinan menjadi "hidup tidak nyaman" dan pejabat memanfaatkan situasi itu untuk dengan leluasa melakukan pelanggaran hukum. j. Konflik hubungan kelembagaan (Conflict in perspective and inadequate institutional linkage) Dengan tingginya kekakuan birokrasi di sektor publik, sedikit-sedikit rahasia, sedikitsedikit rahasia, mengakibatkan sulitnya melakukan reviuw program sektor publik dan sukarnya menentukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Informasi tentang target dan realisasi kinerja biasanya tidak tersedia, karena sengaja disembunyikan dengan dalih " itu rahasia". k. Rendahnya kualitas SDM (Quality of officers) Kualitas pegawai mencakup dua permasalahan, pertama besarnya anggaran untuk membiayai program karena memerlukan banyak pegawai. Sayangnya kualitas mereka relatif rendah, sehingga hanya padat orang, bukan padat karya. Akibatnya terjadi pemborosan, inefisiensi dan akuntabilitas tidak dapat dilaksanakan. Kedua material yang ada kurang menunjang efisiensi dan kurang memotivasi para birokrat agar berupaya meningkatkan profesionalitas mereka. l. Ketinggalan teknologi (Technological obsolescence and inadequate surveillance system) Tidak tersedianya kelengkapan teknologi, terutama teknologi informasi yang mutakhir yang diperlukan untuk mendukung akuntabilitas, merupakan faktor penghambat serius bagi terciptanya akuntabilitas. m. Mental jajahan (Colonial heritage) Budaya "ya pak, ya pak, ya pak" dan budaya tabu mengemukakan pendapat apalagi pendapat yang berbeda dengan policy penguasa, sudah berlangsung sejak masa penjajahan yang cukup lama sehingga sulit diubah. Oleh para oknum penguasa negara hal semacam itu "dilestarikan".

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

n. Lemahnya aturan hukum (Defects in the laws concerning accountability) Di antara "kelemahan" hukum yang mengganjal pada pelaksanaan kontrol akuntabilitas, adalah adagium "presumption of innocence" anggapan bahwa tertuduh tetap dianggap tidak bersalah sehingga kesalahannya dibuktikan di depan pengadilan. Sedangkan untuk membuktikan bahwa seseorang itu korupsi sangat sulit, memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak. Pembuktian terbalik mungkin dapat mengatasi kelemahan ini. o. Lingkungan yang kurang mendukung (Environmental crisis) Instabilitas politik, rasa tidak aman, rasa ketakutan, tidak dihiraukannya akuntabilitas di lingkungan pemerintahan dan publik sungguh merupakan lingkungan yang tidak kondusif bagi penyelenggaraan akuntabilitas. 4. Lingkungan yang Mempengaruhi Lingkungan yang mempengaruhi akuntabilitas suatu instansi pemerintah/satuan organisasi meliputi lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang merupakan faktorfaktor yang membentuk, memperkuat, atau memperlemah efektivitas pertanggungjawaban instansi pemerintah tersebut atas wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Diantara faktor-faktor yang relevan dengan akuntabilitas instansi pemerintah antara lain meliputi : a. Falsafah dan konstitusi negara; b. Tujuan dan sasaran pembangunan nasional; c. Ilmu pengetahuan dan teknologi; d. Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan; e. Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur akuntabilitas; f. Penegakan hukum yang memadai; g. Tingkat keterbukaan/transparansi pengelolaan; h. Sistem manajemen birokrasi; i. Visi, misi, tugas pokok dan fungsi, serta program pembangunan yang terkait; j. Keterbatasan jangkauan pengendalian dan kompleksitas program instansi. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi corak akuntabilitas secara simultan dan saling terkait, hingga sulit diurai pengaruhnya tanpa mengaitkan satu faktor dengan faktor yang lain secara keseluruhan. Standarisasi pelaporan itu perlu, tetapi tidak harus mengakomodasi semua kebutuhan pemakai, karena bila demikian akan menjadi semakin sangat kompleks "format laporan" yang seharusnya berlaku umum untuk semua instansi pemerintah. Untuk itu perlu diperhatikan ciri-ciri akuntabilitas yang efektif antara lain : a. Utuh dan menyeluruh;

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

b. Mencakup aspek integritas keuangan, ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan prosedur; c. Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem manajemen untuk menilai kinerja individu atau satuan organisasi; d. Akuntabilitas harus dibangun berdasarkan sistem informasi yang andal untuk menjamin keabsahan, akurasi, obyektivitas, dan ketepatan waktu penyampaian informasi; e. Adanya penilaian yang obyektif dan independen terhadap akuntabilitas suatu satuan organisasi; f. Adanya tindak lanjut terhadap laporan penilaian atas akuntabilitas. 5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Menurut Plumptre T., 1981, dalam artikelnya "Persepctive Accountability in The Public Sector", untuk mencapai keberhasilan akuntabilitas, diperlukan : a. Pemimpin teladan (Exemplary leadership) Pemimpin yang sensitif, responsif, akuntabel, transparan kepada bawahan, dia memerlukan akuntabilitas yang dipraktikkan mulai dari tingkat bawahan. b. Debat publik (Public debat) Sebelum suatu rancangan disahkan sebagai kebijakan, dibawa dulu ke depan publik, hingga jelas apa yang akan dicapai, bagaimana indikator kinerjanya. Masyarakat diharapkan memberikan masukan karena kebijakan pemerintah biasanya berdampak sosial. c. Koordinasi (Coordination) Adanya koordinasi antar semua instansi pemerintah sangat baik bagi tumbuh kembang akuntabilitas. Koordinasi memang sudah tiap hari diucapkan tapi tiap hari pula orang tak mampu melaksanakan karena sering terjadi conflict or interest. d. Otonomi (Autonomy) Instansi pemerintah dapat melaksanakan menurut caranya sendiri yang dipandang paling baik (menguntungkan, efektif, dan efisien). Otonomi di sini pada teknis pelaksanaannya tetap terpadu dengan kebijakan nasional. e. Keterbukaan dan kejelasan (Explicitness and clarity) Standar evaluasi kinerja harus jelas, sehingga mudah diketahui apa yang harus diakuntabilitaskan. Kurangnya transparansi dapat mengurangi eksistensi akuntabilitas. f. Legitimasi dan pengakuan (Legitimacy and acceptance) Tujuan dan makna akuntabilitas harus dikomunikasikan secara terbuka sehingga standar dan aturannya dapat diterima oleh semua pihak untuk dijadikan patokan dalam pengukuran keberhasilan/kegagalan.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

g. Perundingan (Negotiation) Negosiasi nasional diperlukan tentang perbedaan-perbedaan tujuan dan sasaran, tanggung jawab dan kewenangan setiap instansi pemerintah. h. Pemasyarakatan dan publisitas pendidikan (Educational campaign and pulicity) Perlu proyek percontohan untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat terhadap suatu hal yang baru akan semakin dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hal yang baru tersebut. i. Umpan balik dan evaluasi (Feed back and evaluation) Agar akuntabilitas dapat terus-menerus ditingkatkan, perlu diperoleh informasi untuk mendapatkan umpan balik dari penerima akuntabilitas dan perlu dilakukan evaluasi. j. Kemampuan penyesuaian (Adaptation and recycling) Perubahan yang terjadi di masyarakat berakibat pula pada akuntabilitasnya. Sistem akuntabilitas harus tanggap terhadap setiap perubahan. 6. Media Akuntabilitas Media pertanggungjawaban yanag menjadi alat evaluasi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk laporan periodik. Dibuat sesuai standar. Keseragaman bentuk dan isi laporan harus mengarah kepada bentuk dan isi laporan harus mengarah kepada pemanfaatan laporan untuk daya banding antar instansi. Konsep akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban bernuansa pencapaian tujuan secara efektif, efisien, ekonomis, sejalan dengan konsep pemeriksaan komprehensif, sehingga diperoleh simpulan menyeluruh mengenai kehematan, efisiensi, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan setiap instansi departemen/lembaga/ pemerintah daerah. Media akuntabilitas merupakan media pertanggungjawaban yang dirumuskan melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dengan bahan pendukung Rencana Stratejik (RS), Rencana Kinerja Tahunan (RKT), Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK), dan Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS). Keempat bahan tersebut di atas (RS, RKT, PKK, dan PPS) merupakan pendukung utama dalam pembuatan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah/Departemen Agama dari sejak satuan organisasi/kerja yang paling bawah dan dirangkum secara berjenjang sampai tingkat eselon I yang akhirnya dibuat laporan Menteri Agama kepada Presiden. Laporan kepada Presiden tersebut paling lambat pada bulan ketiga tahun anggaran berikutnya.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

10

B. Pengertian Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kewajiban memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan organisasi meliputi keberhasilan dan kegagalan misinya kepada pihak yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Semua instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya harus memahami lingkup akuntabilitas masing-masing. Akuntabilitas dapat mencakup aspek pribadi (spiritual) dan aspek eksternal. C. Prinsip-prinsip Akuntabilitas Dalam penyelenggaraan akuntabilitas instansi pemerintah, perlu memperhatikan prinsipprinsip sebagai berikut : 1. Harus ada komitmen yang kuat dari pimpinan dan seluruh staf; 2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin kegunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran; 4. Harus berorientasi kepada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh; 5. Harus jujur, obyektif, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas. Akuntabilitas juga menyajikan deviasi (selisih, penyimpangan) antara realisasi kegiatan dengan rencana dan keberhasilan/kegagalan pencapaian sasaran.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

11

BAB III GOOD GOVERNANCE

A. Makna Good Governance Pemahaman mengenai Good Governance dan clean government mulai mengemuka di Indonesia sejak 1990-an, terutama diungkapkan oleh kalangan negara-negara pemberi bantuan/pinjaman ( donor agency). Kata Good Governance dan clean government merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan/pinjaman baik loan (pinjaman lunak-kecil bunganya) maupun grant (hibah). Kata governance berasal dari kata to govern (yang berbeda maknanya dengan to command atau to order) yang artinya memerintah. Government atau pemerintah, dalam bahasa Inggris diartikan : "The authoritative direction and administration of the affairs or men/women in a natoon, state, city, etc". Pemerintah adalah pengarahan yang berkewenangan dan pengaturan atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya. Dapat diartikan juga sebagai lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, kota, dan sebagainya. Dalam konsep Good Governance, governance diarahkan kepada upaya meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran dunia usaha/swasta (Limitation of the state's roles). Selanjutnya governance (kepemerintahan) diartikan "The act, fact, manner, of governing". Kepemerintahan adalah tindakan, fakta, pola, cara-cara penyelenggaraan pemerintahan. Bintoro Tjokroamidjojo, 2000, dalam bukunya "Good Governance" (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan) mengarahkan governance artinya memerintah, menguasai, mengurus, mengelola. Pedato Presiden di depan DPR 16 Agustus 2000 menerjemahkan istilah governance dengan pengelolaan. Dalam governance ada 3 komponen yang sejajaar, setara, saling mengontrol, untuk menghindari terjadinya eksploitasi satu terhadap lainnya, yaitu : pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Dalam realisasinya peran pemerintah masih lebih dominan, karena permasalahan yang ditangani cenderung makin meningkat. Governance semula diartikan pemerintahan, kemudian berkembang dan populer dengan sebutan kepemerintahan. Secara konseptual pengertian good (baik) dalam (kepemerintahan yang baik), mengandung dua pemahaman : istilah Good Governance

1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; 2. Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efisien dan efektif dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan dimaksud. Oleh karena itu dapat dikataka Good Governance berorientasi pada 2 hal yaitu pertama, pencapaian tujuan nasional, kedua pemerintahan yang ideal (efisien dan efektif) dalam melakukan pencapaian tujuan nasional.
C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

12

Hakikatnya penyelenggaraan pemerintahan atau kepemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rute government menjadi Good Governance, dimana yang terakhir tidak hanya berdasarkan pada preaturan perundang-undangan, malainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyalenggaraan kepemerintahan yang baik yang tidak memerankan pemerintah (negara) semata, tapi melibatkan internal birokrasi maupun eksternal birokrasi. Dari aspek pemerintah (government), Good Governance dapat dilihat melalui aspekaspek : 1. Kebijakan jukum, perlindungan kebebasan sosial. Politik, ekonomi; 2. Kompetensi administrasi dan transparansi; 3. Desentralisasi; 4. Penciptaan pasar yang kompetitif. B. Karakteristik Good Governance menurut UNDP United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 1997 mendefinisikan Good Governance sebagai berikut : Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country's affairs at all levels and the means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well-being of their population yang artinya : Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administratif umtuk mengelola berbagai urusan negara pada semua tingakatan dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain suatu hubungan yang sinerjik dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (state, prevate, society). Namun dalam kenyataan, negara (state) masih menjadi yang paling dominan. Berdasarkan definisi tersebut UNDP mengemukakan 9 karekteristik prinsip-prinsip Good Governance yang saling mengait sebagai berikut : 1. Partisipasi (Participation), setiap warga mempunyai hak suara dalam pembuatan keputusan; 2. Taat Hukum (Rule of Law), hukum keadilan dilaksanakan tanpa pandang bulu; 3. Transparansi (Transparancy), kebebasan informasi untuk dipahami dan dimonitor; 4. Responsif (Responsiveness), lembaga-lembaga berusaha melayani setiap stakeholdersnya dan responsif terhadap aspirasi masyarakat; 5. Berorientasi pada Kesepakatan (Consensus Orientation), menjadi perantara terhadap kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan bersama; 6. Kesetaraan (Equity), semua warga mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan kesejahteraan;

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

13

7. Efekti dan Efisien (Effectiveness and Efficiency), proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber sebaik mungkin; 8. Akuntabilitas (Accountability), pemerintah, swasta, masyarakat, bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders; 9. Visi Stratejik (Strategic Vision), pemimpin dan publik mempunyai perspektif Good Governance yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan yang diperlukan untuk pembangunan. Dalam modul Membangun Kepemerintahan yang Baik, bahan ajar Diklatpim Tingkat III edisi 2001 halaman 63 dirumuskan pengertian Good Governance adalah : Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efektif, efisien, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. C. Prinsip-prinsip Masyarakat Madani Mustopadidjaja (1999) Kepala Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI) pada saat itu, mendefinisikan Masyarakat Madani (Civil Society), yang dimaknakan mirip dengan Good Governance, adalah : tatanan masyarakat yang memiliki nilai-nilai dasar ketuhanan, kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan, demokrasi, kemajemukan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kesejahteraan bersama, keadilan, supremasi hukum, keterbukaan, partisimasi, kemitraan, rasional, ekonomis, dimungkinkan adanya perbedaan pendapat, pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang seluruhnya melekat pada setiap individu dan instritusi yang committed. Menurut Mustopadidjaja, format bernegara menuju masyarakat madani, perlu memperhatikan tujuh prinsip sebagai berikut : 1. Prinsip demokrasi dan pemberdayaan Pengakuan dan penghargaan negara terhadap hak dan kewajiban warganegara, termasuk kebebasan menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional. Penyelenggaraan negara tidak harus kerja sendiri (rowing) tapi lebih kepada mengarahkan (steering). Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat, pemerintah melakukan : a. Pengurangan hambatan/kendala bagi partisipasi masyarakat; b. Perluasan akses pelayanan yang menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat; c. Pengembangan program untuk lebih meningkatkan pemampuan dan memberi kesempatan masyarakat berperan aktif dalam memanfaa sumber daya produktif sehingga mempunyai nilai tambah yang tinggi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Prinsip pelayanan Semangat melayani masyarakat, menjadi mitra kerja masyarakat, dan bekerjasama dengan masyarakat. Perlu adanya perubahan perilaku aparatur. Aparatur perlu menghayati administrasi publik yang esensinya melayani publik. Bukan minta dilayani publik.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

14

3. Prinsip transparansi dan akuntabilitas Dikembangkan sistem keterbukaan dan akuntabilitas untuk mendorong masyarakat dan memberikan contoh sebagai pelaksana pertanggungjawaban. Beberapa pendekatan : a. Mengembangkan keterbukaan birokrasi pemerintah; b. Deregulasi dan debirokratisasi peraturan; c. Membuka akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk berperan serta dalam proses penyusunan peraturan, kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan sehingga pembangunan dilaksanakan benar-benar sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat. 4. Prinsip partisipasi Masyarakat diberi kesempatan yang luas dalam berperan menghasilkan barang dan jasa publik melalui kemitraan dan kebersamaan. (Empowering rather than serving-Osborne). Dengan desentralisasi pelayanan publik lebih efektif dan efisien sehingga masyarakat semakin percaya kepada pemerintah. 5. Prinsip kemitraan Pearanan dunia usaha saat ini sangat strategis. Perlu iklim kondusif untuk mewujudkan kemitraan dunia usaha dengan pemerintah, termasuk pengintegrasian usaha kecil. 6. Prinsip desentralisasi Pembangunan itu sesungguhnya di daerah, sehingga sebagian besar kewenangan pemerintah pusat perlu diserankan kepada daerah. Demikian pula perusahaan-perusahaan besar. Pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan : a. Desentralisasi perizinan; b. Penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan di kawasan tertinggal dan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan kontribusi daerah; c. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi tentang potensi dan peluang bisnis. 7. Prinsip kebijakan dan kepastian hukum Peningkatan pembangunan perlu kebijakan dan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan kepastian hukum. Nilai-nilai masyarakat madani tersebut di atas harus diwujudkan sebagai upaya reformasi penyelenggaraan negara dan pembangunan dalam mengembangkan posisi dan peran pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya Mustopadidjaja mengatakan (1999: 8-9), "... sosok pemerintah diharapkan tampil dengan susunan organisasi yang sederhana tapi profesional dan efisien, demokratis, dan konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip/sendisendi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara, menghormati oposisi dan perbedaan pendapat, mengefektifkan pengawasan dan sistem pertanggungjawaban serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

15

Prinsip-prinsip Good Governance dikemukaan oleh Bintoro Tjokroamidjojo, 200, khususnya dalam kata good (baik), berintegritas dari pelaksanaan governance itu apabila governance - baik dalam pemerintahan, badan usaha, maupun kegiatan organisasi masyarakat - dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Akuntabilitas (accountability); b. Transparansi (transparency) c. Keterbukaan (openess); d. Aturan hukum (rule of law); e. Jaminan keadilan (fairness).

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

16

BAB IV PENUTUP

Akuntabilitas dan Good Governance sesungguhnya bukan secara tiba-tiba muncul sebagai dua sosok kalimat yang langsung melejit terkenal di papan atas belantika administrasi negara yang kita cintai ini. Memang ia harfiah adalah sebagai anak angkat yang diambil dari entri bahasa negeri seberang, tetapi maknawiah ia sudah ada lama di tengah-tengah kita. Dengan penampilannya yang sekarang, kita menjadi lebih sadar bahwa negara kita harus segera bangun kembali dari keterpurukan yang terjadi hampir satu dasa warsa terakhir ini. Pertanggungjawaban penggunaan anggaran oleh lembaga yang baik, bersih, tidak korup, tidak kolusi, dan tidak nepotis adalah suatu jalan yang harus ditempuh dan menjadi komitmen seluruh abdi negara dan sekaligus abdi masyarakat. Buku ini hanya sebagai pemula dalam rangkaian pembelajaran dalam pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999, suatu tataran guna memenuhi harapan rakyat melalui Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu buku ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman kita terhadap dua sosok kata yang kini hampir selalu menjadi bagian dari teks pidato setiap pejabat pembangunan bangsa ini. Meskipun masih terbatas pada wacana, tapi itu sudah mulai, selanjutnya tentu yang utama dilakukan oleh para pejabat itu adalah membuktikannya oleh dirinya sendiri dan anak buahnya, sejak yang kecil hingga yang besar, dan mulai dari sekarang dan seterusnya.

C:\Fjr\KMA\06\Good Governance\Ver Zai

17

You might also like