You are on page 1of 7

Ary Angga Pradana Febrianto Hendrik Prayugo Andrew Irawan Hukum Hak Asasi Manusia

110110080076 110110080077 110110080404

Kasus Sumiati
Kasus Posisi
Penganiayaan sadis yang dilakukan warga Arab Saudi terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) Sumiati binti Salam Mustafa tergolong pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menteri hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan hal ini usai melakukan pelepasan relawan untuk korban Merapi, di kantornya, Di dunia ini, penganiayaan seperti itu tergolong pelanggaran HAM berat, tegas Patrialis. Dalam situasi seperti ini, seperti halnya peristiwa-peristiwa terdahulu, Indonesia akan melihat ini sebagai masalah harga diri bangsa dan tentunya reaksi masyarakat Indonesia akan bertolak dari sentimen ini. Pemerintah menurutnya telah bertemu pihak kedutaan besar Arab Saudi di Indonesia. Mereka berjanji menindaklanjuti kasus tersebut dan akan memproses majikan Sumiati sesuai hukum yang berlaku. Kita sudah bertemu dengan Dubes Arab Saudi di sini. Dubes Arab Saudi mengutuk habis perbuatan kejam dan zalim itu. Kita bersyukur pemerintah Arab Saudi berjanji akan menindaklanjuti proses hukum, papar Patrialis. Presiden bahkan dalam Rapat Kabinet Terbatas 19 November 2010 telah menyampaikan pernyataan keras, "Khususnya insiden Sumiati, saya anggap itu di luar batas perikemanusiaan". Sebagaimana telah diberitakan, TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat itu dibawa ke RS King Fahad pada 8 November 2010 setelah mengalami penyiksaan oleh majikannya. Kondisi TKI malang tersebut sangat memperihatinkan dan sangat lemah.

Seorang petugas rumah sakit itu mengungkapkan, kedua kaki Sumiati nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang. Diduga majikan wanita Sumiati kerap kali melakukan kekerasan terhadapnya, sebab terdapat banyak luka di sekujur tubuhnya. Antara lain luka bekas setrika panas. Sumiati diketahui tidka bisa berbahasa Arab maupun Inggris.

Pelanggaran HAM yang terjadi


1. Hak Untuk Menjaga Kelangsungan Hidup :

Terjadi tindakan sadis yang luar biasa oleh majikan terhadap pembantu rumah tangganya. Banyak tindakan kriminal terjadi di mana-mana tapi tidak se sadis seperti yang dialami Sumiati. Karena dilakukan oleh pemilik otoritas terhadap orang yang di bawah otoritasnya, Majikan terhadap pekerja yang dibayarnya. 2. Hak Atas Perlindungan Diri : Selain berhak mendapatkan perlindungan diri dari Indonesia meskipun sedang berada di negara lain. Perlindungan diri itu dapat berupa perlindungan diplomatis yang di delegasikan kepada kedutaan besar setempat. 3. Hak Untuk Mendapat Pekerjaan Yang Layak : Di sini merupakan tanggung jawab Indonesia. Sumiati merupakan WNI yang akhirnya menjadi TKW ke luar negeri di karenakan minimnya peluang untuk bekerja disini. Pemerintah seolah bertindak acuh atas kurangnya lapangan pekerjaan yang ada. 4. Hak Untuk Mendapatkan Kemudahan & Perlakuan Khusus Untuk Memperoleh Kesempatan & Manfaat Yang Sama Guna Mencapai Persamaan & Keadilan : Di sini lagi-lagi kita menyorot minimnya peran pemerintah guna memberikan kesempatan yang lebih layak kepada warga negaranya. Kesempatan tersebut tidak harus berupa lapangan pekerjaan, tetapi juga pendidikan yang memadai guna membuat lapangan pekerjaan sendiri

Analisis Kasus

Prinsip Kedaulatan Peran negara pengirim untuk melindungi tenaga kerjanya di luar negeri dibatasi oleh prinsip kedaulatan yang diatur oleh hukum internasional. Sering ada salah pengertian bahwa seolah-olah negara penerima TKI adalah salah satu provinsi Indonesia sehingga memiliki ekspektasi bahwa Pemerintah RI bisa melakukan apa aja di negara penerima TKI, termasuk melakukan penegakan hukum. Berdasarkan prinsip hukum internasional (par in parem no habet imperium:an equal has no authority over an equal), perlindungan penegakan hukum oleh suatu negara terhadap warga negaranya harus berhenti pada saat warga negara itu keluar dari batas negara itu. Tanpa disadari, kita justru penganut fanatik terhadap prinsip kedaulatan ini sehingga pernah marah kepada Australia karena mencoba mencampuri kasus Corby di Bali beberapa tahun silam. Kita pernah murka kalau AS atau Negara yang warganya jadi korban mencoba melindungi WN-nya waktu kasus Bom di Mariott beberapa tahun yang lalu. Namun dengan logika yang terbalik kita justru ingin Pemerintah RI melakukan "intervensi" terhadap kedaulatan Negara lain. Jika demikian, apa yang dapat dilakukan oleh suatu Negara terhadap warganya yang mengalami peristiwa tragis di luar negeri seperti Sumiati? Tentu saja Pemerintah memiliki ruang untuk melakukan langkah perlindungan namun upaya itu tidak sama dengan dan tidak mungkin seleluasa seperti yang dilakukan oleh Pemerintah RI terhadap WNI di wilayah Indonesia.

Hukum internasional punya aturan perihal ini jika tidak maka yang muncul justru pertikaian kedaulatan. Upaya yang tersisa bagi Pemerintah dalam situasi seperti ini hanya pada apa yang disebut perlindungan konsuler dan diplomatik. Perlindungan penegakan

hukum tidak lagi dimungkinkan karena penegakan hukum merupakan wewenang dan kedaulatan negara penerima. Perlindungan Diplomatik Masalah ini memang tidak terlalu tersosialisasi di publik Indonesia. Perlindungan konsuler adalah intervensi suatu negara terhadap negara lain yang diizinkan oleh hukum internasional dengan tetap menghormati kedaulatan negara itu. Perlindungan konsuler hanya terbatas pada upaya "to ensure that its nationals are treated with due process in receiving state". Artinya, Kemlu dan KBRI di Ryad hanya berwenang untuk memastikan bahwa kasus Sumiati mendapat perlindungan hukum Saudi Arabia (bukan Indonesia) dan diperlakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Saudi Arabia (bukan di Indonesia). Kemlu dan KBRI tentu tidak bisa melakukan penegakan hukum seperti memanggil, menangkap atau menghukum sang majikan karena itu akan melanggar kedaulatan Saudi Arabia. Jadi tugas Kemlu dan KBRI adalah pendampingan konsuler bukan mencampuri pro justisia-nya. Jika Kemlu dan KBRI menilai bahwa kasus Sumiati diperlakukan tidak sesuai dengan hukum acara Saudi Arabia, seperti ada pelanggaran HAM oleh aparat hukum Saudi Arabia atau ada diskriminasi hukum oleh aparat dan peradilan Saudi Arabia, maka Indonesia dapat mengangkat kasus Sumiati dari yang semula dalam format P to G (Private to Government) menjadi G to G (Government to Government). Artinya kasus Sumiati ini oleh Indonesia diangkat sebagai kasus antar negara. Upaya ini yang disebut dengan perlindungan diplomatik. Perlindungan diplomatik jarang dilakukan karena sudah bersifat sengketa antar negara. Indonesia pernah melakukan upaya perlindungan diplomatik pada zaman Soekarno waktu 5 marinir Indonesia dihukum gantung di Malaysia yang akhirnya berlanjut pada pertikaian Indonesia-Malaysia.

Perlindungan diplomatik jika tidak membuahkan hasil dapat melahirkan sengketa antar negara dan tentunya opsi ke penyelesaian sengketa secara internasional termasuk Mahkamah Internasional, sekalipun dengan persyaratan tertentu, menjadi terbuka. Namun perlu ditekankan, kasus pada tataran diplomatik tidak lagi bertumpu pada persoalan perbuatan sadis majikan terhadap Sumiati, namun sudah bergeser ke atas menjadi persoalan sikap (behaviour) Saudi Arabia sebagai negara berdaulat terhadap Indonesia yang memiliki kepentingan hukum atas warga negaranya. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah RI sudah pada jalur ini. Kemlu dan KBRI Ryad telah melakukan upaya yang menjadi kewenangannya menurut hukum internasional. Nota protes telah dilayangkan dan telah mendapat tanggapan dari Duta Besar Saudi di Jakarta. KBRI terus melakukan monitoring dan pendampingan terhadap proses penanganan hukum kasus ini. Upaya ini dijamin oleh Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler. Ini sudah merupakan bentuk tekanan kuat terhadap Saudi Arabia. Pernyataan Presiden RI terhadap kasus Sumiati tersebut di atas dapat dianggap sebagai peristiwa diplomatik yang cukup luar biasa. Sekalipun Presiden belum mengangkat kasus ini ke arah perlindungan diplomatik namun pernyataan tersebut telah memberi bobot yang cukup kuat untuk bekerjanya perlindungan konsuler. Pada tahap ini campur tangan Pemerintah RI, terlebih Presiden RI tidak hanya cukup memadai tapi telah lebih dari cukup jika diteropong dari kadar kelaziman diplomatik. Sudah saatnya kah Indonesia melakukan upaya perlindungan diplomatik terhadap kasus Sumiati? Keputusan ini tentu merupakan keputusan politik tingkat tinggi yang perlu dipertimbangkan secara matang karena konsekuensi dari keputusan ini membuka ruang bagi lahirnya pertikaian antar Negara. Namun, marilah terlebih dahulu kita dukung upaya perlindungan konsuler yang sekarang sedang giat dilakukan Pemerintah.

Tanggung Jawab Negara Dalam prakteknya , kebanyakan kasus tanggung jawab , paling tidak dihadapan pengadilan Internasional timbul dari kesalahan-kesalahan yang diduga keras telah dilakukan oleh Negara yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kesalahan dalam hal ini ialah pelanggaran suatu kewajiban oleh suatu Negara berdasarkan hukum internasional dan yang bukan merupakan pelanggaran suatu kewajiban yang berdasarkan kontrak semata-mata. Untuk kesalahan-kesalahan seperti itu, lebih sering dipakai istilah pelanggaran internasional. Kebanyakan kasus yang termasuk dalam hal ini adalah berkenaan dengan kerugian yang diderita oleh warganegara di luar negeri. Kerugian ini bermacam-macam jenisnya, misalnya, kerugian terhadap harta benda dalam kerusuhan,kerugian pribadi,penangkapan yang tidak pantas yang dilakukan oleh penguasa setempat , penolakan pengadilan setempat untuk memberi pengadilan atau ganti rugi yang seharusnya , dan lain sebagainya. Pada umumnya seseorang yang pergi untuk hidup di wilayah Negara asing harus tunduk kepada undang-undangnya , tetapi itu tidak berarti bahwa kewajiban-kewajiban tertentu menurut hokum internasional berkenaan dengan perlakuan terhadap orang itu,mengingat Negara itu. Contoh-contohnya adalah kewajiban pada Negara untuk memberikan ganti rugi yang pantas atas kerugian yang diderita dan kewajiban untuk melindungi warga Negara asing dari kerugian pribadi yang tidak pada tempatnya oleh para pejabat atau rakyatnya. dan dapat dikatakan bahwa menurut hokum internasional, orang asing yang tinggal di suatu Negara mempunyai batas minimal hak yang diperlukan untuk kesenangan hidup, kebebasan dan harta benda , tetapi hal ini sulit sekali di definisikan. Dalam masalah pelanggaran internasional, perlu digunakan pengertian imputabilitas (hal dapat dipertalikan). Pengertian ini membantu dalam menjelaskan masalah itu dan dalam memberikan suatu kerangka yang tepat untuk teorinya. oleh karena itu imputabilitas tergantung pada pemenuhan dua kondisi: a. Perilaku suatu organ atau pejabat Negara dalam pelanggaran suatu kewajiban yang ditetapkan dalam suatu peraturan hukum internasional.

b. Bahwa menurut hukum internasional , pelanggaran itu akan dipertalikan

kepada Negara itu. Disini negara berperan besar dalam kasus Sumiyati, bukan hanya sebagai pelindung. Tetapi juga pihak yang bertanggung jawab atas dikirimnya Sumiyati ke luar negeri sebagai tenaga kerja.

You might also like