You are on page 1of 15

PERKEMBANGAN

PEMERINTAHAN

PASCA

JATUHNYA ORDE BARU


Sejak pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden pada 21 Mei 1998, hingga kini berturut-turut yang memimpin pemerintahan Indonesia yaitu BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang disebut sebagai masa Reformasi. Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk dan perilaku suatu tatanan. Hal ini terjadi karena tatanan tersebut tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman.

Masa Kepresidenan B.J. HABIBIE


1. PENGANGKATAN B.J. HABIBIE MENJADI PRESIDEN RI
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Ketika Habibie menggantikan kedudukan Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, ada lima isu besar yang harus dihadapinya, yaitu : 1. Masa depan Reformasi 2. Masa depan ABRI dan Dwifungsinya 3. Masa depan mantan Presiden Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; dan 4. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus di masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para

tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi. 2. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE a) Membentuk Kabinent Reformasi Pembangunan Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsurunsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Adapun tugas pokok Kabinet Reformasi Pembangunan adalah menyiapkan proses reformasi di beberapa bidang, antara lain sebagai berikut : 1. Bidang Politik Program kerja Kabinet Reformasi Pembangunan bidang politik adalah merevisi berbagai perundang-undangan warisan Orba dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik dan melaksanakan pemilu yang diamanatkan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN). 2. Bidang Hukum Program kerja Kabinet Reformasi Pembangunan dalam bidang hukum adalah meninjau kembali Undang-Undang Subversi. 3. Bidang Ekonomi a. Mempercepat penyelesaian penyusunan undang-undang antimonopoli dan persaingan yang tidak sehat. b. Merevisi rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN). c. Revitalisasi lembaga perbankan dan keuangan nasional. d. Melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan kreditur pihak luar negeri, seperti melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan kesepakatan dengan IMF. e. Menjunjung tinggi kerja sama-kerja sama regional dan internasional yang telah dilaksanakan Indonesia.

b)

Mengadakan reformasi dalam bidang Politik Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan. Presiden Habibie sebagai pemuka

sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mengupayakan pelaksanakan politik Indonesia dalam kondisi yang umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent. c) Kebebasan Menyampaikan Pendapat Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun, khusus demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demonstrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisisan dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang ditindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani unjuk rasa belum ada aturan hukum jelas. Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur unjuk rasa atau demonstrasi. Hal ini mengacu pada UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Adanya undang-undang tersebut menyatakan bahwa memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun, sayangnya undang-undang itu belum

memasyarakat

atau

belum

disosialisasikan

dalam

kehidupan

masyarakat.

Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.

d) Sidang Istimewa MPR Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksananakan antara tanggal 10-13 November 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil sidang MPR itu memutuskan 12 ketetapan : 1) Tap No. VII/MPR/1998. Perubahan dan tambahan atas Tap I/MPR/1983 tentang Tata tertib MPR. 2) Tap No. VIII/MPR/1998. Pencabutan Tap IV/MPR/1983. 3) Tap No. IX/MPR/1998. Pencabutan Tap II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Halum Negara(GBHN). 4) Tap No. X/MPR/1998. Pokok-pokok reformasi pembangun dalam rangka penyelamatan dan normalilasi kehidupan nasional sebagai haluan negara. 5) Tap No. XI/MPR/1998. Penyelenggaraan nagara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. 6) Tap No. XII/MPR/1998. Pencabutan Tap V/MPR/1998 tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepala presiden/ Mandataris MPR dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional sebagai pengalaman pancasila. 7) Tap No. XII/MPR/1998. Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. 8) Tap No. XIV/MPR/1998. Perubahan dan tambahan atas Tap III/MPR/1998 tentang pemilu.

9) Tap No. XV/MPR/1998. Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuanagan pusat dan daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 10) Tap No. XVI/MPR/1998. Politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. 11) Tap No. XVII/MPR/1998. Hak asasi manusia. 12) Tap No. XVIII/MPR/1998. Pencabutan Tap II/MPR/1978, Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Panca Karsa) dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Dari ke-12 tap tersebut, terdapat empat tap yang memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi antara lain sebagai berikut: 1) Tap No. VIII/MPR/1998 tentang pencabutan tap No. IV/MPR/1983 mengenai referendum yang menjaga UUD 1945 dari pihak yang mengubahnya. Dengan dicabutnya Tap tersebut, UUD 1945 dapat diubah. 2) Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap No. II/MPR/1978. Dengan keluarnya Tap ini, maka pudarlah kedudukan pancasila sebagai asas tunggal dan dengan demikian seluruh organisasi sosial dan politik tidak lagi wajib menjadikan pancasila sebagai salah satu asas organisasi. 3) Tap No. XII/MPR/1998 mengenai pencabutan Tap No. V/MPR/1998. Dengan pencabutan Tap ini maka pemberian tugas khusus kepada presiden oleh MPR untuk mengambil tindakan melampaui batas-batas perundang-undangan agar dibatalkan. 4) Tap No. XIII/MPR1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya dua kali priode. Dengan keluarnya Tap ini, maka tidak ada lagi seorang presiden yang dapat menikmati masa kekuatan yang disahkan oleh MPR, seperti halnya presiden Soeharto yang menjabat selama tujuh periode berturut-turut. Hasil sidang istimewa itu ternyata tidak cukup memuaskan karena dianggap masih mempertahankan kursi ABRI di DPR. Oleh karena itu, pada 13 November 1998, para mahasiswa pun menggelar aksi demonstrasi menuntut dibatalkannya hasil sidang istimewa tersebut. Konflik antara para petugas keamanan dengan para mahasiswa akhirnya tidak dapat dihindari. Enam orang mahasiswa tewas dalam koflik itu, yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Semanggi.

e)

Reformasi Bidang Hukum Pada masa pemerintahan residen B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum. Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukanya mengarah pada tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat. Ketika dilakukannya pembongkaran terhadap berbagai produksi hukum atau undangundang yang dibuat pada masa orde baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak. Selama pemerintahan orde baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan orde baru sangat tidak mungkin untuk menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.

f)

Masalah Dwifungsi ABRI Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik. Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang ditempuh adalah ABRI yang semula trdiri dari empat angkatan yaitu : Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

g)

Pemilihan Umum Tahun 1999 Pemilihan umum yang dilaksanankan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga undang-undang itu antara lain undangundang partai politik, pemilihan umum, susunan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

3.

PENYELESAIAN ISU-ISU POLITIK Dalam jangka waktu tujuh belas bulan pemerintahannya, tiga dari kelima isu besar yang dihadapinya dapat diselesaikan relatif baik. Isu pertama, yaitu masa depan reformasi, menunjukan arah yang positif. Isu kedua, masalah peranan militer dalam politik, juga mengarah kepada situasi yang positif. Di bawah Panglima Jenderal Wiranto, ABRI membuat Paradigma Baru ABRI melalui redefinisi dwifungsi dan reposisi ABRI seperti yang dituntut para aktivis mahasiswa. Pada 1 April 1999, dilakukan kebijakan yang isinya sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemisahan Polri dengan ABRI (TNI). Perubahan staf sosial politik menjadi staf teritorial Likuidasi staf karyawan ABRI, Kamtibmas ABRI, dan Badan Pembinaan Karyawan ABRI. Penghapusan kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun atau alih status Pengurangan Fraksi ABRI di DPR dan DPRD I/II. Pemutusan hubungan organisatoris dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol lain.

Isu ketiga, yaitu masalah disintegrasia dalam konteks Timor Timur, Habibie mengatasinya dengan cara yang kurang populer di kalangan ABRI yaitu refrendum (jajak pendapat). Hasil jajak pendapat menyatakan 78,5% rakyat Timor Timur memilih merdeka dan berpisah dari NKRI. Meskipun disinyalir ada kecurangan dalam proses jejak pendapat tersebut. Namun, pihak Indonesia tidak pernah mengajukan protes atas keputusan itu. Satu-satunya isu besar yang tidak pernah diproses secara serius oleh Habibie adalah isu keempat, yaitu menyangkut mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya. Kasus korupsi di kalangan mereka nyaris tidak pernah terusik. Kalaupun ditangani terlihat berjalan sangat lamban. Bahkan, Jaksa Agung yang ditunjuk dari Angkatan Darat, yaitu Muhammad Ghalib, dilaporkan oleh LSM Indonesian Corruption Watch telah menerima sejumlah besar uang dari Prajogo Pangestu dan The Nin King. Keengganan pemerintah Habibie mengadili Soeharto, kelambanan investigasi kasus menghilangnya aktivis-aktivis politik, kasus Trisakti, kerusuhan Mei 1998 dan kegagalan Habibie mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat ini telah mendorong munculnya tuntutan diadakannya Sidang Istimewa MPR untuk menghentikan Habibie dan memilih kepemimpinan Nasional yang baru. 4. BERAKHIRNYA MASA PEMERINTAHAN Habibie memulai masa jabatannya dengan reputasi yang membuatnya tidak dipercaya oleh aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, pemerintah asing, investor luar negeri, dan perusahaan internasional. Reputasi itu ditambah pula dengan krisis multidimensional cukup parah sehingga, capaian Habibie dinilai oleh para pengamat politik sebagai prestasi yang tergolong luar biasa. Sebenarnya, kerusuhan sosial yang sebenarnya sudah bermunculan sejak masa Soeharto (pasca kerusuhan Mei 1998), semakin meningkat dalam berbagai bentuk. Di Ambon misalnya sekelompok orang Nasrani telah menyerang dan membunuh orangorang muslim yang sedang bersembahyang Idul Fitri, sehingga kemudian memancing kerusuhan antar agama. Sementara di Purworejo, Jawa Tengah, pada bulan Juni 1998 dilaporkan sekelompok kaum Muslim menyerang lima gereja dan sebuah resor pantai di mana dibentangkan poster-poster film bioskop yang dianggap amoral oleh kaum Muslim. Di Jepara, bulan Juli 1998, para pendukung seorang kyai bentrok dengan

pendukung kyai lainnya yang berujung pada pembakaran bangunan-bangunan umum dan dan penjarahan toko-toko. Di Jember, pertokoan Cina, rumah-rumah dan sebuah penggilingan padi dibakar dan dijarah. Pada awal tahun 1999, sekitar 100-150 Tersangka tukang santet dilaporkan dibunuh di Ciamis, Jawa Barat. Konflik horizontal serupa bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia. Di tiga daerah, kerusuhan sosial, kesengsaraan, dan rangkaian penindasan oleh rezim Soeharto telah meningkatkan identitas lokal dalam kadar yang mampu membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Ketiga daerah itu adalah Irian Jaya, Aceh dan Timor-Timur. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Timor-Timur yang merupakan provinsi ke-27 di Indonesia akhirnya memisahkan diri dari NKRI melalui jajak pendapat.sementara itu, dua daerah lagi menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah berikutnya. Untuk menyelesaikan masalah Timor Timur, pemerintahan B.J.
Habibie telah memberikan dua opsi, yakni otonomi khusus atau merdeka. Pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintah mengumumkan kebijakan baru mengenai penyelesaian masalah Timor Timur secara adil, damai, bermartabat, dan konstitusional. Di tingkat internasional, pada tanggal 5 Mei 1999dilangsungkan penandatanganan kesepakatan penentuan pendapat di Timor Timur antara Menlu RI Ali Alatas, Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan Sekjen PBB Kofi Annan di New York. Selanjutnya, guna menindaklanjuti isi persetujuan New York, pemerintah membentuk Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT) yang memulai tugasnya pada tanggal 1 Juni1999 dipimpin Duta Besar Agus Tarmidzi. Pada tanggal 3 Juni 1999, UNAMET (United Nations Assistance Mission in East Timor), yakni sebuah badan PBB untuk Timor Timur dipimpin oleh Ian Martin secara resmi didirikan di Dili untuk mengawasi dan menyelenggarakan penentuan pendapat. Dengan difasilitasi PBB, pelaksanaan penentuan pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 dapat berlangsung secara aman. Namun, dalam jajak pendapat mengenai status Timor Timur tersebut diperoleh hasil mayoritas rakyat Timor Timur menginginkan lepas atau merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan hasil penentuan pendapat yang diumumkan pada tanggal 4 September 1999, 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia. Hasil jajak pendapat tersebut memang mengejutkan banyak pihak di Indonesia, yang sebelumnya memperkirakan hasilnya akan dimenangkan oleh kelompok prointegrasi. Selanjutnya, pada tanggal 31 Agustus 1999 pecah kerusuhan di Timor Timur. Kerusuhan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan kelompok prointegrasi atas kekalahannya dalam jajak pendapat. Dalam kerusuhan tersebut terjadi

perusakan, pembakaran, penembakan, dan pembunuhan di seluruh Timor Timur. Selanjutnya, pemerintah segera menerapkan sistem darurat militer di Tim-Tim pada tanggal 9 September 1999. Pada tanggal 12 September 1999, Presiden Habibie menyetujui masuknya Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB Interfet (Internatonal Force for East Timor) guna bersama-sama dengan TNI melakukan kerja sama keamanan di Timor Timur. Berdasarkan hasil penentuan pendapat rakyat Timor Timur, dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, telah disetujui untuk mencabut Tap MPR No. VI/MPR/1978 tentang integrasi Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Tap. MPR No. V/MPR/1999. Pada tanggal 25 Oktober 1999, pemerintah secara resmi menyerahkan Timor Timur kepada PBB dan sejak tanggal 30 Oktober 1999 Timor Timur secara resmi telah terpisah dari Indonesia.

Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Walaupun masa persiapan tergolong singkat, pelaksanaan Pemilu 1999 dapat berjalan sesuai dengan yang dijadwalkan, yaitu pada 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti 48 Parpol. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) keluar sebagai pemenang dengan 153 kursi, disusul oleh Golkar 120 kursi, Partai kebangkitan Bangsa (PKB) 51 kursi, PPP 58 kursi, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 34 kursi. Akan tetapi, ketua umum Megawati Soekarno Putri tidak berhasil memperoleh suara terbanyak. Ia dikalahkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB yang mendapat dukungan Poros tengah (PBB, Partai Keadilan, PPP dan PAN). Tabel hasil Pemilu 1999 : Partai PDI-P Golkar PPP PKB PAN Lainnya Suara Masuk 35.706.618 23.742.112 11.330.387 13.336.387 7.528.936 105.845.93 % Suara Masuk 33,7 22,4 10,7 12,6 7,1 9,9 Kursi di DPR 153 120 58 51 34 426 %Kursi di DPR 33,1 26,0 12,6 11,0 7,4 100,1

Dengan diadakannya Pemilu tahun 1999. Dan terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri, maka berakhirlah masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
5. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE

a) Kelebihan :
1. Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan

kokoh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
2. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar

masih berkisar antara Rp 10.000 Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. 3. Terlaksananya Pemilu pada tahun 1999 yang dianggap Pemilu paling demokratis yang pernah diadakan di indonesia jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. b) Kekurangan :
1. Salah satu kesalahan yang dinilai pihak oposisi terbesar adalah setelah menjabat

sebagai Presiden, B.J. Habibie memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999. Lepasnya Timor Timur di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi disisi lain membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur.
2. Habibie dianggap masih berbau orde baru, karena Habibie mulai memerintah

dengan reputasinya sebagai bagian pada masa pemerintahan Orde Baru yang membuatnya tidak dipercaya oleh aktivis mahasiswa, militer, sayap utama politik, pemerintah asing, investor luar negeri dan perusahaan internasional. Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat Dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.

Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme

sekotral antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa. Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan.

KESIMPULAN
Masa pemerintahan BJ Habibie diawali dengan tuntutan masyarakat akan adanya perubahan dari masa orde baru (reformasi). Dalam hal ini Habibie mewarisi masalahmasalah / kesulitan pasca orde baru. Untuk melaksanakan reformasi ia melakukan beberapa kebijakan. Diantarnya yaitu kebijakan dalam hukum, politik, pemilu, masalah dwifungsi ABRI, dan sidang umum MPR. Namun, kondisi yang tak kunjung baik dan lepasnya Timor-timur dari Indonesia menyebabkan Habibie mengundurkan diri dalam pemilu karena ditolaknya pidato pertanggungawaban Habibie oleh MPR. Dan, pada pemilu 1999 terpilihlah Gus Dur dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden yang mengakhiri masa pemerintahan BJ Habibie.

DAFTAR PUSTAKA
Mustopo, M. Habib. 2006. Sejarah 3. Jakarta: Yudhistira Iskandar, Muhammad dkk. 2007. Sejarah Indonesia Dalam Perkembangan Zaman. Depok: Ganeca Exact. http://www.slideshare.net/sal655/b-j-habibie-detik-detik-yang-menentukan http://gpsmember.blogspot.com/2010/11/pemerintahan-bj-habibie http://apaapaapa.blogspot.com/2009/02/masa-reformasi.html

You might also like