You are on page 1of 5

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TK/RA Dalam pemaknaan kata paradigma mengandung arti model pola, contoh ( tic : skema

ma ), Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model/pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan. Landasan filosofis mengandung arti the love for wisdom ( Pytagoras ) dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of wisdom-lover of succes-lover of pleasure ( Mayer, 1950 : 26 ) sedangkan acuan pemaknaan ideologi merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup atau bertindak. ( Frans Magnis Suseno , 1995 : 21 ) kekhasan dari ideologi selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma terdiri dari unsur nilai-nilai,pelembagaan secara fungsional dan struktural, macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal/bangsa ) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup yang lebih baik. Bagi bangsa Indonesia Falsafah/ideologi Pancasila merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian. Paradigma pendidikan yang ada dalam pemahaman orang tua tentang pendidikan sudah patut untuk dirubah, terutama pendidikan untuk usia dini (usia TK dan SD). Paradigma pendidikan yang berorientasi akademik dan fragmented (terpilah-pilah) seharusnya sudah mulai berubah menjadi paradigma yang berorientasi kepada pendidikan holistik, yaitu pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia: sosial, emosional, motorik, akademik, spiritual, dan kognitif. Holistik berasal dari kata whole atau menyeluruh. Pendidikan holistik dimaksudkan agar orang berkembang secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, motorik, emosional, maupun spiritual. Pendidikan holistik mulai disadari pada tahun 2000 dan menjadi tren pendidikan internasional hingga saat ini. Di Singapura, pendidikan holistik dimulai pada tahun 2006, sedangkan di Jepang sudah dimulai sejak tahun 2000 dengan prinsip body, mind and soul. Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah berorientasi kepada pendidikan holistik, walaupun baru bersifat konstitusional. Sedangkan aplikasinya belum semua sekolah yang menjunjung pendidikan holistik. Sistem pendidikan Indonesia masih cenderung akademikal dan ini juga mempengaruhi paradigma yang beredar di kalangan orang tua. Semua diukur dengan nilai jika nilai anak pada mata pelajaran tertentu buruk maka akan mempengaruhi nilai rata-ratanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi rangking anak dan kemudian anak akan dicap sebagai anak yang bodoh. Kondisi ini kemudian dikaitkan dengan ranking sekolah yang kalau nilai murid-muridnya jelek maka rangking sekolah pun akan turun sekolah yang tadinya menjadi sekolah unggulan langsung menjadi sekolah ranking 20 besar misalnya. Kemudian orang tua dan sekolah berlomba-lomba memforsir anak untuk mendapatkan nilai yang bagus, menang pada olimpiade A, B dan C, sehingga membuat orang tua bangga dan rangking sekolah bagus kembali. Ini adalah gambaran riil kondisi pembentukan paradigma orang tua tentang pendidikan, sangat ironik dengan tujuan pendidikan nasional dan pendidikan dasar di Indonesia yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia holistik. Dari cerita di atas, pernahkah kita sebagai orang tua atau guru atau pihak sekolah berpikir dari sudut pandang anak sebagai objek penderita? Pendidikan untuk anak usia dini (usia TK dan SD) adalah masa-masa paling kritis dalam membangun fondasi untuk berkembangnya manusia holistik. Apabila pada usia dini para siswa sudah mendapatkan pengalaman yang buruk tentang pendidikan, maka tidak akan terwujud motivasi belajarnya di masa depan sehingga sulit untuk menjadi seorang pecinta belajar. Bagaimana agar ia mendapatkan pendidikan yang benar kembali kepada pemahaman orang tua tentang apa itu belajar. Yang perlu dipahami adalah bahwa belajar bukan hanya duduk di bangku kelas, mendengarkan guru menerangkan, mengerjakan soal-soal, mendapatkan nilai yang bagus dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi jauh lebih luas daripada itu. Belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan bisa didapatkan dengan cara apa saja. Bermain termasuk aktifitas belajar. Hakikatnya belajar itu adalah merefleksikan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari aktifitasaktifitas yang dilalui si anak. Bagaimana merefleksikannya merupakan tugas orang tua, guru, sekolah, lingkungan lainnya, yang mendapatkan kesempatan lebih dulu dibandingkan anak dalam mendapatkan pengalaman, untuk membantu anak berpikir pengetahuan atau pelajaran apa yang bisa ia dapatkan dari pengalaman-pengalamannya. Contohnya dengan menjadi tauladan bagi anak karena anak cenderung meniru apalagi pada usia dini. Seperti pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika ingin anaknya menjadi kreatif, orang tua pun harus kreatif dan juga sebaliknya, jika ingin anaknya menjadi peniru sejati, maka orang tua pun bersikap sangat intervensi dalam kehidupan

anak. Pendidikan itu harus seimbang, dalam arti kata, tidak akademik terus menerus, tetapi emosional dan spiritual juga harus diperhatikan. Percuma saja jika seorang siswa secara akademik sangat bagus tetapi tidak bisa bersosialisasi dan tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Ini dapat dilihat bahwa begitu banyak sarjana yang ketika dihadapkan kepada lingkungan kerja dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Ini merupakan output dari pendidikan yang tidak seimbang, yang hanya terfokus pada nilai dan ijazah tanpa mengindahkan modal aplikatif yang sebenarnya paling dibutuhkan pada kehidupan sehari-hari dan masa depan. Bagaimanapun juga manusia itu adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada alam dan makhluk lainnya yang ada di bumi. Pendidikan itu harus sesuai dengan karakter anak. Kita orang dewasa harus bisa memahami bahwa setiap anak itu mempunyai ciri khasnya masing-masing, tidak bisa disama-ratakan. Rambut bisa sama hitam, tetapi isi kepala belum tentu sama. Pendidikan holistik yang ideal adalah pendidikan yang berbasiskan karakter anak. Memang jika diterapkan di sekolah Indonesia yang siswa dalam satu kelasnya bisa mencapai 40 anak dengan pendamping satu orang guru, model pendidikan seperti ini belum bisa diterapkan secara total. Tidak mungkin seorang guru dengan kapasitasnya bisa memperhatikan 40 orang siswa satu per satu. Walaupun tidak bisa diterapkan di sekolah, tetapi sangat memungkinkan untuk diterapkan di rumah atau di lingkungan lainnya. Perlu diingat bahwa pendidikan bisa dilakukan di mana saja. Keluarga merupakan tempat anak mendapatkan pendidikan pertamanya hingga seterusnya. Proses pendidikan anak lebih banyak di dalam keluarga atau lingkungan luar sekolah dibandingkan dengan di sekolah sendiri. Maka dari itu, sekolah sebenarnya hanya berfungsi sebagai pendukung pendidikan anak, bukan sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya. Maka bisa disimpulkan dari cerita di atas bahwa paradigma pendidikan kita sekarang ini sudah harus dirubah jika memang kita ingin anak-anak kita maju di masa depannya. Tren pendidikan yang beredar sekarang ini adalah pendidikan holistik, yang bersifat menyeluruh dari aspek-aspek yang ada: emosional, spiritual, kognitif, motorik, dan sosialnya. Jika kita tidak bisa merubah paradigma pendidikan kita menjadi pendidikan yang holistik, maka akan semakin terpuruklah bangsa ini. Anak itu bagaikan kertas kosong, orang tua dan lingkungannya adalah pelukisnya. Sebagaimana kertas yang mempunyai ukuran, jenis dan bentuk yang berbeda-beda, begitupula anak. Ia mempunyai karakter yang unik. Beda anak beda karakternya. Tidak ada makhluk ciptaan Tuhan yang sama persis, kembar identik pun pasti mempunyai perbedaan. Sama seperti halnya manusia melukis, lukisan yang satu tidak mungkin sama persis dengan lukisan yang lainnya. Pasti ada perbedaan walaupun hanya sedikit. Begitu juga ketika orang tua mendidik anaknya, tidak mungkin anak yang satu disamakan dengan anak yang lainnya. Pasti ada perbedaan dalam perlakuan baik dari orang tua ke anak maupun sebaliknya. Bagaimanapun juga kertas dan anak mempunyai kapasitasnya masing-masing yang harus dihargai dan dihormati.

Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu. Pendidikan akan lebih bermutu, jika kurikulum dan kegiatan pembelajaranya: konsisten dengan tuntutan jiwa UUD 1945 dan saripati peraturan lainya yang berlaku. Ulasan : Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan Undang undang No.2 tahun 1989 mengenai sistem pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi, tujuan pendidikan nasional. Pasal (2) bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Pasal (3) pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pasal (4) pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sistematik dari rumusan nasional. Pendidikan berorientasi non akademik A. Pendahuluan Sarana pendidikan adalah seluruh perangkat alat, bahan, dan perabot yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan. Meja dan kursi anak, papan tulis, alat peraga, almari, bukubuku, media pendidikan (jika diperlukan merupakan contoh sarana pendidikan. Di antara sarana tersebut, alat peraga dan sumber belajarlah yang perlu memperoleh perhatian pendidik di Taman Kanak-kanak. Ada dua fenomena yang riil terjadi di TK saat ini. Pertama, pembelajaran di Taman Kanak-kanak yang cenderung akademik mengakibatkan alat peraga dan sumber belajar pun beralih orientasi, bukan sebagai sarana yang secara langsung dimanfaatkan oleh anak didik ke dalam proses belajar, tetapi sebagai sarana bagi guru untuk mengajar. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah anak belajar dengan alat tersebut selama guru mengajar? Apabila tidak, maka alat dan sumber gagal mencapai sasaran. Kedua, banyak alat peraga yang tersimpan rapi di almari guru, tetapi sebagian tidak dimanfaatkan secara optimal dalam proses pendidikan. Sebagian TK memberikan kesempatan kepada anak untuk memanfaatkan sendiri alat tersebut, sehingga proses penanggaan menjadi kurang optimal. Permasalahan lain yang muncul adalah sarana pendidikan yang berfungsi sebagai sumber belajar. Orientasi akademik membatasi keberadaan sumber belajar. Learning through playing, berubah menjadi Learning through listening, sehingga guru menduduki posisi sentral. Padahal yang demikian tidak akan pernah mewujudkan kegiatan learning, karena konteks dan nuansa yang dimunculkan adalah studying. Padahal yang demikian itu, sekali lagi, tidak akan mampu dipikul otak dan fisik anak. B. Sarana Dalam-Ruang Sarana dalam-ruang muncul karena proses belajar anak dapat dilaksanakan di dalam ruang, dan pendidik memiliki keterbatasan untuk memfasilitasi proses belajar anak melalui sumber langsung. Meskipun demikian, keberadaan dan pengusahaan sarana dalam-ruang diseyogyakan memenuhi persyaratan tertentu.

Sarana dalam ruangan meliputi semua benda yang dimanfaatkan dalam proses pendidikan, dalam proses membelajarkan anak sesuai dengan tingkat perkembangan dan gaya mereka. Beberapa sarana dalam-ruang yang berhasil diinventarisasi adalah sebagai berikut. 1. Perabot kelas Perabot kelas, seperti meja dan kursi anak, papan tulis, loker anak tempat minum, dan meja guru dirancang aman, terjangkau anak, tidak tajam, dan bebas dari bahan berbahaya. 2. Sarana sudut Di Taman Kanak-kanak, sesuai dengan tuntutan kurikulum dan orientasi pendidikan dewasa ini, mulai mengembangkan sudut-sudut kegiatan : sudut ketuhanan, sudut keluarga, sudut kebudayaan, sudut pembangunan, dan sudut alam sekitar. Sarana sudut meliputi seluruh perabot dan alat-alat yang diperlukan, termasuk alat permainan edukatif tradisional (APET) maupun alat permainan edukatif modern (APEM).

Sudut agama hendaklah dilengkapi dengan meja, karpet, maket (jika memungkinkan), perlengkapan ibadah, dan gambar-gambat tempat ibadah. Sudut keluarga dilengkapi dengan meja dan kursi tamu, tempat tidur, almari, peralatan dapur, boneka, dan benda-benda rumah tangga lain. Kesemuanya disediakan dalam bentuk tiruan mini. Sudut kebudayaan/seni berisi alat-alat musik yang dapat dimainkan anak-anak (angklung, pianika, harmonika, rebana), papan/kertas lukis, meja lukis, panggung boneka, dan mozaik. Peralatan disesuaikan dengan kemampuan lembaga. Sudut pembangunan berisi mobil-mobilan, rambu-rambuan, berbagai bentuk dan ukuran balok untuk menyusun bangunan tiruan, alat pertukangan (dengan memperhatikan faktor keamanan), dan benda-benda lain yang berkaitan dengan bangunan dan dianggap perlu. Sudut alam meliputi minitoys (binatang dan tumbuhan). Jika memungkinkan, sudut ini dapat diletakkan di luar ruangan dengan binatang dan tumbuhan tertentu seperti ayam, burung, kelinci, ikan (dalam akuarium) batu-batuan, karang laut. 3. Alat peraga, Sumber Belajar Alat peraga berfungsi sebagai sumber belajar bagi anak, yakni benda-benda yang dimanfaatkan langsung oleh anak dalam proses belajar (dan direncanakan guru dalam proses penyusunan program). Alat-alat peraga yang dimaksud dapat berupa gambar-gambar, kalender, papan absensi (atau dibuat dalam bentuk lain), APE (APET dan APEM), dan buku-buku bergambar dengan sedikit tulisan. Catatan : a. Gambar dapat menjadi sumber belajar utama bagi anak apabila sumber asli tidak mungkin diperoleh, seperti gambar presiden dan wakil presiden, gambar jembatan gantung, gambar candi atau bangunan kuno, gambar binatang, dan tumbuhan. Gambar memiliki satu komponen, yakni visual. Gambar yang dilengkapi dengan tulisan dapat dimanfaatkan sebagai sarana belajar melalui bermain (yang telah diprogram guru). b. Buku-buku bergambar dapat menjadi sumber belajar bagi anak untuk mengetahui berbagai informasi secara visual. Demikian pula buku-buku cerita dengan sedikit tulisan dapat berfungsi sebagai sarana pembelajaran membaca bagi anak. c. miniatur, maket, dan minitoys Miniatur, maket, dan minitoys memiliki kelebihan karena bersifat tiga dimensi. Sarana ini dapat dimanfaatkan sebagai alat peraga sekaligus sumber belajar bagi anak. Minitoys binatang, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk membuat anak belajar tentang berbagai kehidupan binatang. Sebagai sumber belajar, miniatur dan minitoys dapat dilengkapi dengan sumber belajar berupa buku tentang perikehidupan yang dipenuhi gambar-gambar. Guru berfungsi sebagai fasilitator. d. film film atau program audio-visual-gerak adalah sumber belajar, yang berisi berbagai pengetahuan bagi anak. Film memiliki keunggulan karena mengandung tiga ciri yakni visual, audial, dan gerak. Membelajarkan anak tentang moral dan nilai-nilai kemanusiaan dapat dilakukan melalui film. Film memiliki serangkaian sarana terkait, yakni media televisi, VCD/DVD/Video player. Catatan : Sekali dalam 2 minggu anak-anak perlu belajar melalui film (dalam kemasan apa pun) 4. Media pembelajaran Oleh karena pembelajaran di Taman Kanak-kanak memiliki orientasi informal (bukan akademik), maka media pembelajaran diarahkan pada alat-alat perantara dalam proses belajar anak demi mempertinggi efektivitas dan efisiensi tujuan pendidikan. Media yang dimaksud adalah televisi, tape recorder, dan komputer. C. Sarana Luar-Ruang Sarana luar-ruang di TK memiliki fungsi dan peran yang esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jungkat-jungkit, papan titian, papan peluncur, jala panjatan, globe besi, bak pasir, ban bekas, bola (keranjang dan sepak), taman lalu lintas, binatang piaraan (jika ada dan memungkinkan), area air, dan ayunan. Sarana luar-ruang di TK, selama ini, masih dimanfaatkan sebagai sarana bermain bebas, belum sarana bermain sambil belajar. Sarana luar-ruangan dapat dimanfaatkan sebagai sarana belajar bagi anak, seperti menghitung

ayunan, konsentrasi dalam papan titian, menghitung bola keranjang, memperhatikan perikehidupan binatang, berlatih berani dan mengatur keseimbangan melalui papan titian, jala panjatan, dan globe besi. Semua sarana luar-ruang tidak dipatri dalam beton atau keramik, tetapi berdiri di atas pasir atau rumput guna menghindarkan anak dari luka serius saat pemakaian. Jumlah sarana luar-ruang disesuaikan dengan jumlah anak, luas prasarana halaman, kebutuhan dalam program, dan syarat keamanan fasilitas bermain anak. D. APE APE atau alat permainan edukatif merupakan alat-alat yang dimanfaatkan anak untuk bermain. APE bersifat mendidik dan memungkinkan anak bereksplorasi, aktif, dan kreatif. Sekarang ini, bahkan, APE merambah ke wilayah penggalian budaya sehingga lahirlah kembali APE Tradisional. 1. APET APET (alat permainan edukatif tradisional) adalah alat-alat permainan tradisional (telah dipergunakan berpuluh tahun lalu di beberapa daerah). Yang termasuk dalam APET adalah dakon, mobil-mobilan dari kulit jeruk, egrang tempurung, baling-baling bambu/kertas, angklung, dan bakiak jantung/ mancung. APET memiliki fungsi utama sebagai alat permainan bagi anak. Meskipun demikian, APET dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran, seperti pembelajaran berhitung melalui permainan dakon, pembelajaran konstruksi melalui mobil kulit jeruk dan bakiak jantung/mancung, keseimbangan fisik dengan egrang tempurung, musik melalui angklung, dan pengenalan warna melalui baling-baling kertas. 2. APEM Banyak variasi APE Modern yang terpampang di toko-toko. Berbagai Bricks dan lego, merupakan contoh APEM yang berorientasi pada pengembangan kecakapan visual dan konstruksi spasial (bangunan). APEM jenis ini merangsang wilayah kreatif secara intensif. Anak-anak, baik sendiri maupun kelompok memiliki kesempatan untuk mencipta dan mengembangkan daya imajinasinya. Berbagai benda dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk menciptakan APE (APET dan APEM), sekaligus memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Mobil-mobilan (baik dari kulit jeruk maupun dari bambu) apabila anak memperhatikan konstruksi dan membuat dugaandugaan, membongkar, kemudian memperbaiki kembali dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. APE memiliki persyaratan sebagai berikut : a. konstruktif membangun b. mengandung nilai-nilai pendidikan c. aman, tidak beracun, tidak tajam, dan tidak berbahaya bagi anak. d. menarik, mudah digunakan

e. memiliki ukuran sesuai anak.

You might also like