You are on page 1of 32

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos.

MH

IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI

Pendahuluan Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.1 Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu ideologi negara. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.2 Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiranpemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.3 Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

Tipe-Tipe Ideologi

Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230. Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah the system of ideas and imagery through which people come to see the word and define their needs and aspiration, dan a system of ideas, beliefs and values that individuals and societies aspire toward. Lihat, Martin Hewitt, Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8. 3 Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
1 2

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.4 Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilainilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain. Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masingmasing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter. Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.5 Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosialpolitik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis. Perkembangan Ideologi Dunia Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar
4 Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238. 5 Ibid., hal. 232-233.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis. Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi. Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia. Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakankebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik. Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambatlaun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negaranegara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an. Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme. Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme. Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization6. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau UndangUndang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh7 menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.8 Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power9 yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi. Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.10 Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order11. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan
6 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3. 7 Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang konstitusi Inggris, In other words the British constitution was not made, rather it has grown. Ibid., hal. 5. 8 O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5. 9 Lihat misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5. 10 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151. 11 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia. Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.12 Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998. Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu13: 1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila
12 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: The members of a political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9. 13 Ibid., hal.12-13.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang. Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru. Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.14 Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945 Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:15 1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
14 Lihat, Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha, makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20 September 2005. 15 Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil); 4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan 5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR16 dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.17 Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.18 Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.19 Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.20

16 Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 17 Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945. 18 Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. 19 Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. 20 Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama. Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilainilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat. Pancasila Sebagai Materi Konstitusi Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional? Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie)21. Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:22 1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); 3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
21 Teori Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of Law: Introduction to the Problematic of Legal Science; Pure Theory of Law; dan General Theory of Law and State. 22 Ibid., hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita IPelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.23 Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.24 Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:25 1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945). 2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3) Formell gesetz: Undang-Undang. 4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro26. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.27 Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
23 24 25

Ibid. Ibid., hal. 359.

Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
26 Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun). 27

Attamimi, Op Cit., hal. 309.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid28. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.29 Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.30 Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.31 Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.32 Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.33 Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama34. Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky
28 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115. 29 Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201 205. 30 31 32 33 34

Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115 Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op Cit., hal. 195. Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 37. Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 125. Kelsen, Pure Theory, Op Cit., hal. 221 224. Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi? Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.35 Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggotaanggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.36 Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokokpokok pikiran yang lain. Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila. Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara

35 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 129. 36

Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.37 Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan citacita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.38 Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau UndangUndang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. UndangUndang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan

37 Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51. 38

Ibid., hal. 51 52.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat39. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasalpasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.40 Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia. Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas

39 40

Kusuma, Op Cit., hal. 132 137. Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.

Peran Mahkamah Konstitusi Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undangundang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.41 George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai The Kelsenian Model42. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.43 Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah konstitusi secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat ini baru

41 42

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op Cit. (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.

Disebut juga dengan the centralized system of judicial review. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
43 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 66, 108 dan 109.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.44 Negaranegara ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi. Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 194545 menyatakan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.46 Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.47 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undangundang terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 48 Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.49 Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah constitutional review atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem
44 Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002). 45 46

Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4316.
47 Sembilan hakim konstitusi pada MKRI yang pertama ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003, tanggal 15 Agustus 2003. 48 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 49 Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 10 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan (b) melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.50 Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk the constitutionalization of democratic politics.51 Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat). Kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu ketentuan undang-undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan prinsip dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan; (d) akibat dan batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.52 Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara (staatside)dan landasan filosofis (filosofische grondslag) bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai

50 51

Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op Cit., hal. 10-11.

Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
52

Bob Jessop, State Theory, (Cambridge: Polity Press, 1990), hal. 48.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik53, ekonomi54, dan sosial55 terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi secara otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi konstitusi dan mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi mengelaborasi nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk menentukan apakah sesuatu ketentuan undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Disamping itu, melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak menjadi ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang lain terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden.

Penutup Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata man sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender. Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh ketentuan masalah hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan setiap orang atau setiap warga negara yang menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender. Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Walaupun telah ada jaminan konstitusional, namun realitas menunjukkan bahwa diskriminasi gender masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari
53 Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak politik pasif dan aktif eks anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya dengan menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 54 Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 002/PUU-I/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Pasal-Pasal yang diuji dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan jantung dari UndangUndang No. 20 Tahun 2002. 55 Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan pada saat negara-negara kawasan Asia dan Amerika Latin sudah banyak yang pernah dipimpin oleh perempuan, negara Eropa masih jarang, bahkan di Amerika belum pernah sama sekali. Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan lakilaki yang sejak awal memang dominan. Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Salah satu wujud affirmative action ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah, yang diusulkan oleh partai-partai politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD56 tersebut, tidak bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata dapat, bukan kata wajib atau harus. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi keterwakilan 30 persen adalah kaum perempuan. Terlepas dari berbagai jaminan persamaan hak dan kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945, yang menentukan diakui tidaknya kesejajaran perempuan dan laki-laki serta berperan tidaknya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, adalah kualitas manusianya. Kalaupun telah diberikan perlakuan khusus dan kultur sosial sudah tidak bias gender, namun jika tidak memiliki kualitas yang memadai, perempuan tidak akan dapat memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan. Kebijakan tersebut juga akan berujung sebagai penghias bibir semata. Maka peningkatan kualitas dan kemampuan perempuan harus menjadi agenda bangsa secara keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping perjuangan secara struktural dan kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai proses pendidikan dan pelatihan serta memperluas medan pengalaman dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

56

Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4277.

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

IDEOLOGI PANCASILA DOKTRIN YANG KOMPREHENSIF ATAU KONSEPSI POLITIS

Pendahuluan Status Pancasila, sebagai ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda-beda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada pendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila merupakan dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting Negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit delhomme di Perancis (Kompas, 6 Desember 2001). Melihat Pancasila sebagai ideologi, menurut Mahzar, menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi (www.mamienrais. com, 20 Oktober 2004). Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak boleh lagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global (Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno menyatakan, Pancasila.lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi (Kompas 28 April 2000). Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh pemikirpemikir lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asyari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat bahwa pendapat-pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno, dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto. Tulisan ini akan menengahi perbedaan pendapat tersebut. Akan ditunjukkan bahwa memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami ideologi, dan karena itu ada alasan untuk bersimpati dengan mereka yang menyarankan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi. Tetapi, mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila adalah ideologi juga memiliki pembenaran dan saya akan memberikan pembelaan terhadap posisi pandangan ini. Kedua pendapat yang saling bertentangan itu sebenarnya

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap Pancasila, dan saya mengusulkan pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis. Pada bagian pertama akan dibahas Kesalahan Persepsi tentang Ideologi untuk menunjukkan kesalahapahaman pemerintah selama ini berkenaan dengan ideology Pancasila. Pada bagian kedua, akan dibahas Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila untuk menjelaskan mengapa ideologi penting, dan mengapa Pancasila tetap dapat dianggap sebagai ideologi. Pada akhirnya, Cara pandang baru terhadap Pancasila akan diuraikan dengan membedakan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi kefilsafatan atau doktrin yang komprehensif. Kesalahan Persepsi tentang Ideologi Memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami Pancasila. Pancasila telah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter di manapun adalah selalu menganggap ideologi sebagai maha penting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting demi menciptakan stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan, ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial, yang mengikat kesatuan anggota masyarakat dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersamanamun meskipun asumsi ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar) anggota masyarakat industri modern. Sebaliknya, nampak lebih mungkin bahwa masyarakat kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang stabil, distabilkan oleh akibat kemajemukan nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok. Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap oposisi dapat diterjemahkan ke dalam tindakan politik (Thompson, 1984, p. 5). Rezim totalitarian seperti Nazi Jerman, Fasisme Italia dan Jepang, dan negaranegara komunis pernah mengembangkan sejenis ideologi sekuler yang merupakan weltanschaung, yang dianggap mengatasi kehidupan bersama dan dipaksakan berlakunya melalui aparatur-aparatur negara. Ideologi itu menjadi landasan doktrin negara yang ditentukan secara otoritatif, sebagai pernyataan resmi yang seluruh warga negara berkewajiban menerimanya (Utley and McLure, 1956, p. 2). Tetapi pengertian ideologi yang dibangun sebagai sistem pemikiran bersama (collective thought) bukan hanya monopoli rezim-rezim totalitarian dengan ideologinya yang sekuler. Disamping ideologi sekuler, juga terdapat ideologi nonsekuler, yakni ideologi keagamaan, yang merupakan konsepsi kefilsafatan atau doktrin komprehensif, yakni sumber kebenaran dan kebaikan yang lengkap dan berlaku universal (Rawls 1996, xxxviii). Dalam semua tipe masyarakat yang diperintah oleh rezim dengan pemahaman ideologi semacam ini, hak masyarakat untuk berbeda pendapat dengan

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

pandangan yang dominan ditekan. Tetapi, sejarah justru membuktikan bahwa dalam masyarakat yang hak-haknya untuk menentang kekuasaan ditolak atas nama ketertiban dan stabilitas, hasilnya justru bukan stabilitas dan kohesi masyarakat yang kuat. Pemberontakan bersenjata, penyingkiran berdarah, konspirasi dan kekerasan yang menjalar dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain selalu terjadiini merupakan rekaman politik yang dapat disaksikan terutama di Jerman dan dalam hal tertentu di Jepang (Ebenstein, 1960, p. 128; Ballestrem, 1991). Di Indonesia, ideologi juga memiliki kecenderungan untuk dikembangkan sebagai doktrin yang komprehensif. Dua hal bisa dilihat untuk memahami hal ini, yaitu pemahaman tentang hubungan Pancasila dengan norma dan nilai, dan anggapan bahwa Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu. Pertama, pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem Negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya. Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan integralistik dari negarayakni Negara sebagai ide (ideologi) dan instrumen (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985, seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, Cap durhaka itu telah meluas tidak hanya sebagai tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala pendapat yang berbeda dengan ideologi negara (Van Langenberg, 1990, p. 123). Menurut pandangan yang [pernah] berlaku ini, sebagai sumber nilai dan norma, Pancasila kemudian menjadi peraturan normatif masyarakat dan diusahakan agar menjadi konsensus bersama. Nilai moral yang terinternalisasi dapat menimbulkan dampak yang kuat dalam menentukan tujuan dan sarana untuk mencapainya. Pelembagaan Pancasila dalam masyarakat melalui sistem nilai yang terpusat, misalnya melalui penataran P4, dianggap menyumbang pada kohesi dan stabilitas sosial, dan pada gilirannya mengarahkan pada kesepakatan tentang aturan yang menentukan kekuasaan negara dan kegunaannya. Formulasi Pancasila yang dipahami sebagai doktrin komprehensif atau ajaran lengkap tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat seharusnya berperilaku adalah sangat problematis. Memahami nilai dan norma sedemikian rupa sehingga seolah-olah hal itu harus ditangani secara terpusat demi menjaga kohesi sosial mengandung tiga keterbatasan, sebagaimana ditunjukkan Muthiah Alagappa, pertama, formulasi itu

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

melebih-lebihkan peranan norma dalam mengatur perilaku. Tidak semua perilaku diatur oleh kepercayaan normatif. Perilaku orang sehari-hari mungkin didasarkan lebih pada kebiasaan, pragmatisme dan manfaat daripada komitmen pada tujuan normatif...Kedua, rumusan itu gagal mempertimbangkan sifat asimetri kekuasaan dan implikasinya bagi legitimasi. Kekuasaan memiliki potensi besar untuk mengabsahkan dirinya sendiri... Ketiga, penekanan pada konsensus mengaburkan kehadiran konflik dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dialami bersama tidak semata-mata didapatkan, melainkan harus diciptakan (Alagappa, 1995, p. 15-16) Kedua, Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu. Koentowijoyo merupakan salah satu cendekiawan yang mempercayai anggapan ini (lihat, Kompas, 21 Februari 2001; Suara Merdeka 26 Januari 2001). Sebagai ilmu Pancasila adalah filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial, yang juga memiliki metodologinya. Namun, pandangan semacam ini bukan tanpa kritik dan saya ingin mempertahankan inti dari kritik ini; pandangan ini dapat memperkuat ideologisasi Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif. Dalam bahasa pengkritiknya, bisa terjadi bahwa perwujudan gagasan menjadikan Pancasila sebagai ilmu tidak lain adalah Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan...(Budiarto Danujaya, Kompas, 23 Juni 2004). Sebagai tambahan, ideologisasi ilmu bukan monopoli pemerintah Indonesia. Seorang negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisme yang kerap disebut sebagai Marxisme ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik dan moral. Jadi ideologi Pancasila bukan ilmu dan tidak mungkin dianggap sebagai ilmu (Ibid, Kompas, 23 Juni 2004). Kritik ini penting, meskipun perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Koentowijoyo dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu nampaknya adalah memperlakukan Pancasila sebagai filsafat sosial. Masalahnya barangkali karena asal mula Pancasila sendiri adalah gabungan dari berbagai ragam aliran filsafat sosial, dan tidak menampakkan sebagai alternatif baru dari bentuk-bentuk filsafat sosial yang telah berkembang. Meskipun dalam pidatonya Soekarno menyatakan bahwa Pancasila bukan kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia, yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan, tetapi sebagian ilmuwan meragukan bahwa Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous. Dengan alasan bahwa pidato Pancasila Soekarno terkesan sebagai kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah, dan dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis (Sulfikar Amir, 2004). Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif terlihat, pertama, pada anggapan bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan bermuara pada atau menghasilkan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Munculnya pemerintahan elit politik yang totaliter, menurut Franz Magnis Suseno, terjadi karena kategori paham benar-salah telah diselundupkan ke dalam politik praktis (Suseno, Kompas, 28 April 2000). Pengertian negara perfeksionis juga berhubungan dengan dan memperkuat struktur masyarakat yang paternalistik, karena negara berperan sebagai patron nilai-nilai kebaikan, sehingga berkembanglah dalam negara semacam ini suatu struktur hierarkis yang menyerupai struktur keluarga, yakni Bapak atau Orang Tua merasa tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Negara komunis merupakan salah satu contoh dari bentuk perfeksionisme negara ini, karena rezim komunisme, seperti semua rezim yang didasarkan pada doktrin-doktrin komprehensif, memiliki sistem ajaran tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota-anggota masyarakatnya. Jika anda hidup dalam rezim komunis anda akan disarankan untuk menghindari kerja yang mengalienasi, misalnya, karena kerja semacam ini bukan merupakan pilihan yang baik, tetapi justru sesuatu yang harus dihindari (Kymlicka, 2004, p. 200). Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada otoritarianisme negara. Dan inilah latarbelakang yang menjelaskan mengapa sebagian orang melihat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi. Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideology mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan peranannya. Saya ingin menegaskan bahwa yang ditolak bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara. Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar. Marilah kita mulai dengan melihat satu fenomena menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila. Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami perkembangan. Ia diinterpretasikan dan bahkan dilaksanakan oleh berbagai aktor dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya masing-masing. Eka Darmaputra mengatakan sebagai berikut : Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesianegeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem politiknya; dari yang liberal kepada bentuk yang otoriter dan diberi nama demokrasi terpimpin; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari sistem kepartaian yang multimayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ; dari Orde Lama ke Orde Baru. Perubahanperubahan ini cukup mendasar. Yang menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila (1997). Kenyataan ini sering diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State Manque, dimana aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi dan bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

satu sistem politik ke sistem politik lainnya (Geertz, 1973). Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state manque ? (Pabotinggi, 1995). Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian tatanan kelembagaan. Meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan dengan nilai-nilai yang melandasinya. Karena itu, dalam melihat fenomena hubungan antara Pancasila dan perubahanperubahan sistem politik sosial, dan ekonomi di Indonesia selama ini, penjelasannya sangat sederhana. Ada banyak cara yang menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama. Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya praktek Pancasila yang berbeda-beda di Indonesia. Fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum, bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia. T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang yang menerima ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan ajaran ini nampak sejalan dengan berbagai pandangan yang luas dan berbedabeda berkenaan dengan masalah ekonomi, sosial, dan konstitusional. Sebaliknya, seseorang yang merupakan anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya menerima semua atau sebagian besar doktrindoktrin social dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu (1956, p. 3). Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995), juga memperjelas kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang akan menghasilkan pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru, Pancasila sebagai dasar negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu, yaitu sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan] masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional (dikutip dalam Ramage, 1994, p. 166). Tetapi mengapa ideologi penting bagi sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua hal akan saya diskusikan, pertama, sebagai bahan perbandingan, ideologi Cina. Meskipun mungkin muncul keberatan karena ideologi komunis Cina justru menyarankan otoritarianisme yang tidak sejalan dengan ideal Pancasila, perbandingan ini berguna, karena ada kemiripan, yaitu, kedua ideologi berbasis domestik, dan nampak terancam oleh penetrasi dari luar. Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengamat Cina, meskipun ideologi Cina mengalami transformasi dan bahkan mungkin mengalami krisis (sesuatu yang dirasakan oleh banyak orang juga terjadi pada Pancasila), ideologi tetap penting dalam sistem politik Cina. Kebudayaan tradisional menghargai tinggi kekuatan yang berenergi dan menyatukan dari nilai-nilai moral dan karena pengejaran atas aturan partai tunggal yang terpusat dalam sebuah negara dengan besarnya keragaman dari berbagai kepentingan yang

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

saling bertentangan memperkuat kebutuhan akan implementasi aturan yang bersifat mengingatkan. Steven I. Levin menggarisbawahi pandangan ini dan mengatakan bahwa persepsi dan ideology memainkan peranan dalam hubungan luar negeri setiap negara, dan Cina tentu saja bukan merupakan kekecualian dari aturan ini (1998, p. 45). Pandangan seperti ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa di luar liberalisme tidak lagi ada ideologi yang berpengaruh (Fukuyama, 1989). Pandangan para pengamat Cina yang lain seperti Doak Barnett dan Lucian Pye menyebutkan bahwa ideologiharus diabaikan karena perilaku internasional Cina ditandai oleh ketiadaan perhatian akan konsistensi dan pragmatisme (dikutip dari Levine, 1989, p. 36). Dua contoh terakhir ini memang menunjukkan keruntuhan ideologi sebagai penentu nilai-nilai dan praktek sosial, tetapi kritik mengatakan bahwa pandangan seperti itu didalam dirinya sendiri juga bersifat ideologis (Gauthier, 1997, p. 28) Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat ditolak, penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi pada perkembangan ideologi komunis Cina. Seperti halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya hidup. Ideologi penting karena dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku (Hook, 1976). Dengan kata lain, ideology selalu memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali sifat permanen dari kesadaran itu, tanpa komitmen yang merendahkannya (Gauthier, 1997, p. 28). Sebagaimana kasus ideologi komunis Cina, kesadaran ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa dilihat sebagai ideologi informal, yaitu kompleks dari nilai-nilai kebudayaan, preferensi, prasangka, kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai realitas yang mengkondisikan cara bagaimana para aktor politik berperilaku (bandingkan, Foot, 1996, p. 267: see also Levin, 1998, p. 34-). Kedua, Pancasila juga bisa dilihat sebagai ideologi formal, yang jika pada kasus ideology komunis Cina akan menunjuk pada pemikiran Marxisme-LeninismeMao Zedong, maka ideologi formal Pancasila juga menunjuk pada bentuk pemikiran yang sistematis dan eksplisit, diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan secara baik (bandingkan, Levine, 1998, p. 33). Kedua, apa yang dinamakan politik identitas barangkali juga merupakan sebagian (jika bukan seluruh) persaingan antara ideologi formal dan ideologi informal. Peran ideologi formal, misalnya, akan memperkuat klaim bahwa setiap bangsa pasti memiliki identitasnya yang unik dan karena itu identitas ini dianggap bukan ilusi. Seperti halnya individu yang pada saat tertentu dalam kehidupannya akan merefleksikan siapa dirinya, setiap masyarakat juga memiliki identitas seperti yang terkandung dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tetapi, meskipun refleksi tentang diri sendiri ini merupakan bagian dari isi kesadaran, ideologi sebuah bangsa tidak bisa disamakan dengan isi kesadaran dalam bentuk rumusan ideologi formal, karena ada pemikiran dan aktivitas lain yang berkembang dalam masyarakat seperti nampak pada ideologi informal. Dengan kata lain, ideologi memang memberikan landasan bagi kesadaran diri seseorang, tetapi hal ini tidak menghalangi perbedaan, atau bahkan kontradiksi antara isi sub-struktur ideologi dan isi dari kesadaran yang dilahirkan (Gauthier, 1997, p. 28). Dengan demikian, tidak mungkin

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

ada penilaian sederhana mengenai jenis elemen yang menentukan identitas nasional karena memang ada keragaman baik antar kebudayaan maupun dalam kebudayaan. Karena itu pula, identitas nasional dapat berubah dan merupakan pertentangan politik (Poole, 1999, p. 16). Meskipun demikian, ada semacam kerangka etis bagi politik identitas yang juga menjelaskan bagaimana persaingan antara ideologi formal dan ideologi formal seharusnya dikembangkan, Politik identitas tidak sama dengan penyusunan konsep identitas bangsa yang pemasyarakatannya tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut pada proses negosiasi dan renegosiasi makna, sebaliknya, politik identitas adalah refleksi yang berpangkal pada pertanyaan siapakah aku, namun mengandung persoalan masyarakat dan budaya. Refleksi pada politik identitas ini bukan refleksi birokrat pemerintah atau refleksi beberapa cendikiawan yang dikumpulkan pemerintah. Refleksi ini merupakan himpunan ciptaan pada kegiatan budaya masyarakat yang tampil melalui pemikiran, teori, perdebatan, kesenian, bahkan komentar-komentar tentang isu besar di semua sektor (Jim Supangkat, Kompas 7 Novemper 2004, p. 17). Uraian di atas menjelaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tetap memiliki makna tertentu. Pada akhirnya, perbedaan pendapat tentang apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan, sebenarnya mudah didamaikan jika kita menerima bahwa memang ada perbedaan pemahaman tentang konsep ideologi sendiri, yang dapat ditelusuri dari sejarah pemikiran. Sering disarankan bahwa salah satu cara yang baik untuk memahami ideologi adalah dengan memahami sejarah istilah itu, yaitu dengan melihat perkembangan panjang dan berliku-liku dari istilah atau konsep ini sejak dikenal pertamakali dua abad yang lalu di Eropa (lihat misalnya, Jorge Lorrain, 1979; John B,. Thompson, 1990). Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif, artinya sebagai system pemikiran (system of thought), sistem kepercayaan (system of belief) atau sebagai praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order). Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi. Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan. Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit keleluasaan berpikir yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat (Gauthier, p. 28) Masalahnya memang bagaimana mengembangkan ideologi agar tidak melanggengkan dan memperkuat kekuasaan negara yang totaliter dan otoritarian. Ini merupakan pertanyaan selanjutnya, meskipun perlu ditambahkan juga bahwa masalah yang dihadapi masyarakat modern dan majemuk seperti di Indonesia dewasa ini bukan hanya warisan otoritarianisme negara. Kita juga sedang dan akan dihadapkan pada masalah bagaimana mengembangkan masyarakat Indonesia yang adil dan stabil dengan persamaan dan kebebasan yang besar bagi seluruh warga negara yang masing-masing memiliki doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan, yang komprehensif dan masuk akal (reasonable) tetapi tidak bisa disatukan (incompatible). Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila Telah ditunjukkan bahwa masalah ideologi Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan (bandingkan, Rawls, 1996, p. xxxviii). Jadi semua doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting; pertama, ia berlaku menyeluruh, dan kedua, tidak ada kebenaran lain di luar sebuah doktrin komprehensif yang diyakini. Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik dalam rezim Soekarno maupun Suharto (lihat, Bourchier, 1996). Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya memang bias diterima bahwa jika sebuah masyarakat menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif, maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara. Rawls menunjukkan satu contoh, Pada masyarakat Barat abad pertengahan yang kurang lebih disatukan oleh kepercayaan Katolik, inkuisi bukan sesuatu yang kebetulan; dan usaha mempertahankan kepercayaan agama Katolik pada masa itu menuntut perlunya penindasan terhadap bidah, begitu juga sangsi kekuasaan negara juga dibutuhkan untuk bisa mempertahankan masyarakat yang memeluk doktrin komprehensif yang sekuler (non-keagamaan) seperti masyarakat yang disatukan oleh bentuk

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

utilitarianisme atau liberalisme yang dikembangkan Immanuel Kant dan John Stuart Mill (1997, p. 274). Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus diterima. Fakta pluralisme (the fact of pluralism) merupakan ciri permanen dari kebudayaan public yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis yang kemudian akan sirna (Rawls, 1996, 1997). Maka, yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan doktrindoktrin yang komprehensif itu. Justru dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai adanya fakta pluralisme yang terlihat dalam berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut pandangnya sendiri. Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat, sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok Pendukung Pancasila (dikutip dari Ramage 1995, p. 18); Pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof. Soepomo, penggagas idea Integralisme. Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif. Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun, penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman Pancasila sebagai kesepakatan politik (political agreement), kontrak sosial, atau forum atau common denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai forum atau common denominator merupakan bagian dari Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti menolak Pancasila sebagai dasar negara. Maka, apakah Pancasila sebagai konsepsi politis? Pancasila sebagai konsepsi politis merupakan rumpun dari nilai (moral) yang memperkuat Pancasila pada status sebagai dasar negara, dan merupakan cara pandang yang mempertimbangkan cirri khusus hubungan politik, yang memang dan harus dibedakan dari jenis hubungan yang lain. Hubungan politik memiliki sedikitnya dua

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

ciri yang penting: Pertama, hubungan politis merupakan hubungan diantara orang dalam struktur dasar masyarakat...Kedua, kekuasaan politis yang dijalankan dalam hubungan politis selalu merupakan kekuasaan yang koersif, didukung oleh perlengkapan negara dalam memaksakan hukum-hukumnya... (dikutip dari Rawls, 1997, p. 277-8) Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memiliki wilayah (domain) yang terbatas, yaitu domain politis, yang dapat dikenali oleh ciri-ciri hubungan politik itu. Pemahaman demikian akan menyarankan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis harus dibedakan dari wilayah asosiasi, yang memang bersifat sukarela, dan harus dibedakan dari kehidupan pribadi (privat) atau keluarga, yang merupakan wilayah kasih sayang. Dengan mengambil pengertian yang politis sebagai domain Pancasila, konsepsi politis menerima prinsip-prinsip Pancasila sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan pandangan yang berdiri sendiri (free standing view). Prinsip-prinsip ini membentuk pandangan tentang negara, tetapi pandangan ini dibentuk secara independen dari nilai-nilai yang bersifat non-politis atau dengan setiap hubungan khusus dengan yang non-politis itu. Sebagai sebuah konsepsi politis, Pancasila tidak menyangkal nilai-nilai atau paham lain yang berlaku pada asosiasi (keagamaan, universitas, LSM dsb), keluarga, atau orang per-orang. Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak mengatakan bahwa pengertian yang (bersifat) politis sama sekali terpisah dari semua nilai atau paham lain yang ada dalam masyarakat. Tujuan menempatkan Pancasila dalam domain politis ini, tentu saja, adalah untuk menentukan bahwa institusi dan struktur kenegaraan dapat memperoleh dukungan dari konsensus yang saling melengkapi (overlapping consensus) diantara berbagai aktor politik dan kekuasaan sosial, sebagaimana nampak dan pernah terjadi pada penerimaan Pancasila sebagai titik temu (common denominator) dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Dalam diskusi sering timbul kesalahpahaman tentang pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis. Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan Pancasila sebagai konsensus politik, sebuah pengertian yang oleh Onghokham juga dipergunakan sebagai justifikasi untuk menyebut Pancasila sebagai kontrak social (Kompas, 6 Desember 2001). Pancasila sebagai konsepsi politis lebih dari sekadar konsensus politik, karena mewakili rumpun dari nilai-nilai (moral) politik yang berbeda dengan Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif. Pancasila juga tidak tepat disebut sebagai kontrak sosial, bukan hanya karena teori kontrak sosial sendiri problematis, tetapi juga pembentukan Pancasila sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kontrak sosial. Karena Pancasila sebagai konsepsi politis membatasi domain Pancasila hanya pada hubungan-hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi, dan sosial sebagai kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jika Pancasila berlaku pada individu, maka ini hanya dalam kapasitas publik sebagai warga negara, bukan dalam kapasitas privat sebagai individu dengan konsepsi kebaikan komprehensif mereka sendiri. Untuk memperjelas hal ini, dapat diberikan sebuah ilustrasi dengan mengutip pertanyaan yang diajukan oleh Sidney Hook (Hook, 1976, p. 78), sekiranya ada orang Indonesia berkata: saya tidak percaya

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

bahwa benda ada, saya kira hanya jiwa yang ada, maka apa pengaruh dari konsepsi metafisika realitas terakhir itu atas tingkah laku politik dan dapatkah dia merupakan seorang Indonesia yang baik sebagaimana orang lain yang mempunyai kepercayaan bahwa bendalah yang merupakan realitas terakhir? P Pancasila sebagai konsepsi politis mudah menjawab pertanyaan ini, karena setiap individu (atau sesungguhnya juga semua asosiasi (keagamaan, universitas dan LSM dsb), maupun kehidupan keluarga) harus dibiarkan bebas memiliki konsepsinya sendiri tentang kebaikan itu. Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memang dimaksudkan untuk menghindarkan Pancasila terbawa pada kontroversi yang dalam dan selalu ada dalam filsafat dan agama, serta dalam cakupan teori-teori moral yang luas diharapkan berlaku pada individu maupun lembaga. Sering juga dipertanyakan bagaimana kemudian kesepakatan atau konsensus dalam hal-hal fundamental dalam kehidupan bernegara tercapai. Pertanyaan ini muncul karena meskipun mudah menegaskan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis akan memperkuat status Pancasila sebagai dasar negara, tetapi selalu terdapat kemungkinan alternatif pilihan bagi kebijakan yang menentukan bentuk tatanan politik, sosial dan ekonomi yang berbeda. Di sini, saya hanya bisa mengutip pendapat yang membedakan dua cara untuk mencapai pemahaman bersama dan untuk menciptakan sintesis yang diterima semua warga negara; pertama, adalah konsensus meta-ontologis, yang terdiri dari pengakuan atas konsensus yang terbukti secara keilmuan, dan kedua, consensus melalui diskursus rasional, yang terdiri dari kesepakatan berkenaan dengan makna dan pengertian dari semua pandangan dunia yang berlainan (Jankowski, 2003, p. 168). Karena dalam menghadapi isu-isu yang pelik dan kontroversial selalu ada bebanpenalaran (the burden of reason), yaitu batas kemampuan manusia untuk menilai kebenaran dan kesimpulan dari berbagai pandangan yang saling bertentangan, maka jelas tidak ada cara untuk membuktikan bahwa yang paling masuk adalah mengadopsi doktrin yang komprehensif yang satu atau doktrin komprehensif yang lain. Hal ini berarti bahwa, dalam konteks menentukan berbagai pilihan kebijakan, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak mungkin mengabsolutkan sebuah pilihan kebijakan hanya berdasarkan pada salah satu filsafat sosial, melainkan harus membuka diri pada berbagai ragam dan jenis filsafat sosial lain. Kuncinya mungkin akan terletak pada kemampuan penalaran publik (public reason) untuk menilai berbagai pilihan kebijakan, dan karena itu pendidikan publik yang bebas dari hegemoni merupakan kebutuhan yang niscaya bagi pendekatan Pancasila sebagai konsensus politis. Inilah pengertian penting dari Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus dikembangkan oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan. Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari Pancasila sebagai konsepsi politis: Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan jalan keluar bagi usaha menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia. (Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang komprehensif, karena konsepsi politis tidak

PENDIDIKAN PANCASILA BY DINNO JONHADI, S.Sos. MH

beranggapan menerima doktrin komprehensif tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi politis Pancasila menghormati keberadaan doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat dukungan yang diperoleh dari keragaman (diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat). Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan (yang sering dianggap sebagai masalah) antara ajaran Pancasila dan perkembangan sosial, politik dan ekonomi. (Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada domain politis (struktur dasar masyarakat) dari kehidupan bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara). Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang Pancasila sebagai dasar negara. (Gagasan fundamental tentang dasar negara ini tidak lain adalah gagasan tentang arti penting konstitusional (constitutional essentials), yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menentukan struktur dari proses politik kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memberikan kerangka prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan arti penting konstitusional (constitutional essentials) ini, maka besar kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat akan mendukungnya).

You might also like