You are on page 1of 5

APLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM METODOLOGI PENELITIAN

============================ Oleh : Prof.Dr.H.Imam Bawani,MA Kata metodologi berasal dari perbendaharaan bahasa Inggris methodology,1 gabungan dari method yang berarti cara dan logy atau logos (latin) artinya ilmu. Berarti, metodologi adalah ilmu yang membicarakan tentang cara, maksudnya cara melakukan sesuatu. Karena terkait dengan bagaimana cara melakukan, maka sesuatu tersebut pastilah berwujud pekerjaan, aktifitas atau kegiatan, dalam hal ini penelitian. Jadi, bagaimana cara melakukan pene-litian dengan baik dan membuahkan hasil maksimal, itulah yang menjadi fokus pembicaraan metodologi. Dan memang, prosedur atau tata cara yang harus ditempuh sebagai dimaksud, bu-kanlah sesuatu yang mudah, atau dengan sertamerta bisa dijalani oleh siapa saja tanpa per-siapan dan bekal apapun. Melainkan, untuk dapat melakukan penelitian dengan baik, perlu didukung oleh pengetahuan serta ketrampilan yang tersusun secara logis dan sistematis, dipel-ajari dengan penuh minat dan kesungguhan. Karena memenuhi sifat dan syarat demikian itu-lah, maka pengetahuan dan ketrampilan tentang tata cara melakukan penelitian, dikenal de-ngan sebutan logos atau ilmu. Dalam khazanah bahasa Indonesia, kata metode diartikan sebagai cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud tertentu seperti di bidang ilmu pengetahuan, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.4 Maksud atau tujuan yang ingin dicapai melalui metode (cara) terse-but, dalam kaitan ini dan sebagaimana telah dikemukakan
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia: An EnglishIndonesian Dictionary, Jakarta : Penerbit Gramedia, cetakan ke 20, 1992, hal.379 2 Loc.cit. 3 Ibid., hal.65 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Penerbit Balai Pustaka, cetakan ke tiga, 1990, hal.580-581 9
1 2 3

terdahulu, adalah kegitan peneli-tian. Apa yang dimaksud dengan penelitian? Sementara penulis memaknai penelitian dengan pemeriksaan atau penyelidikan, misalnya berupa aktifitas pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data keilmuan yang dilakukan secara hati-hati, sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji hipotesis guna mengembangkan prinisp-prinsip ilmiah secara umum.5 Dengan mencermati segi kebahasaan tersebut, kiranya dapat dirumuskan pengertian secara utuh, bahwa metodologi penelitian adalah ilmu yang membahas tata cara yang seharusnya ditempuh dalam penyelidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan dengan cermat, hati-hati, kritis, logis, dan sistematis, misalnya diawali dari menyusun rancangan ju-dul beserta inti permasalahannya, diikuti studi kepustakaan secara mendalam tentang hal-ihwal terkait dengan itu, kemudian mencari dan mengumpulkan data yang relevan, menyusun dan mengolahnya, menganalisis dan akhirnya menarik kesimpulan, guna memecahkan per-soalan atau menjawab pertanyaan yang diajukan pada rumusan masalah. Tentu saja, banyak variasi pengertian di luar formulasi tersebut, masingmasing bergantung siapa yang menge-mukakan, berlatar belakang keahlian apa, dan melalui sudut pandang mana melihat, mencer- mati, dan merumuskannya. Namun ada sesuatu yang bersifat pasti, bahwa istilah penelitian bertumpu pada akar kata teliti, yang biasa dimaknai dengan cermat, saksama, ingat-ingat, dan hati-hati. 6 Artinya, tidak boleh gegabah atau sembarangan dalam melakukan aktifitas keilmuan tersebut, karena dapat mengurangi atau bahkan menggagalkan langkah dan upaya seseorang untuk mencapai kebenaran ilmiah yang diinginkan. Bagi mereka yang baru dalam tahap awal mempelajari ihwal dunia penelitian, sangat penting merenungkan,
5 6

Ibid., hal.920 Loc.cit.

(1)

1 0

mencamkan dan menginternalisasi kai-dah pokok tersebut, agar terbangun pada dirinya sikap cermat, hati-hati, kritis, logis, dan sis-tematis, yang menurut studi ini adalah muatan rinci dari istilah teliti sebagai kata dasar pe-nelitian. Bagaimana memaknai kata teliti dengan rincian pengertian sebagaimana tersebut di atas, kiranya perlu diuraikan satupersatu. Cermat, artinya penuh minat dan perhatian,7 tidak sembrono (jawa) dan acakacakan semaunya ketika melakukan penelitian, misalnya dalam rangka menyusun skripsi, tesis, atau disertasi. Hati-hati, artinya bersungguh-sungguh dan selalu ingat,8 tidak grusagrusu (jawa) untuk sekedar cepat selesai, padahal hasilnya jelek sekali. Sikap hati-hati sangat penting, mi-salnya ketika mencari, menentukan pilihan, dan mengformulasikan judul penelitian ke dalam susunan kalimat yang baik dan benar menurut bahasa ilmiah. Kritis, artinya selalu mempertanyakan sesuatu, tidak lekas puas atau percaya begitu saja, dan dengan ketajaman analisis ber- usaha mencermati dan menemukan titik kesalahan,
9

Sedemikian urgen mematok kegiatan penelitian pada kokohnya kesadaran untuk ber-pegang-teguh pada sifat dan sikap teliti dalam melakukan segala hal yang terkait dengan-nya, dapat pula dicermati dari penggunaan kata research
12

menurut

perbendaharaan bahasa Inggris. Dalam format terpisah, re artinya perihal, kembali, lagi, dan berulang-ulang;13 se-dangkan search berarti pencarian, pengejaran, penggeledahan, penelusuran, pemeriksaan, pe-nyelidikan, dan penelitian.14 Jika re diartikan kembali atau berulang-ulang, dan search ada-lah pencarian atau penyelidikan, maka timbul pertanyaan : Mengapa sesuatu harus dicari atau diselidiki berulang-ulang ? Jawabnya : Supaya mencapai keadaan atau memenuhi syarat kete-litian. Selaras dengan itu, dalam kemandiriannya sebagai sebuah kata, research biasa dimak-nai dengan penyelidikan atau penelitian ilmiah (scientific research),15 yang hanya berhasil manakala dilakukan dengan penuh ketelitian. Dalam bahasa Arab,kata yang sepadan maknanya dengan research atau penelitian adalah albahts, al-fahsh, dan al-taftis, biasa diartikan dengan pemeriksaan atau penyelidikan.16 Di antara ketiganya, al-bahts-lah yang lebih terkenal dan sering digunakan, misalnya dalam bentuk kata majemuk bahtsul masail (pembahasan berbagai masalah keagamaan), dan juga istilah bahtsul ilmi (pembahasan atau pengkajian ilmu pengetahuan). Antara pembahasan masalah keagamaan (bahstul masail) dan pengkajian ilmu pengetahuan (bahstul ilmi), pada hakikat-nya tidak berbeda, karena sama-sama dilakukan atas dasar dan bertujuan mencapai kebenaran ilmiah. Bisa dikatakan, bahstul masail adalah bagian atau dilakukan dalam rangka kegiatan bahtsul ilmi. Selaras dengan alur fikir tersebut, maka untuk menyebut aktifitas keilmuan se-perti dalam wujud research atau penelitian di perguruan tinggi, dalam bahasa Arab digunakan istilah bahstul ilmi.
John M,Echols dan Hassan Shadily, Op.cit., hal.467 Ibid., hal.472-473 14 Ibid., hal.507 15 Ibid., hal.480 16 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir, Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku -buku Ilmiah Keagamaan, Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, cetakan pertama, 1984, hal.64
13 12

untuk selanjutnya mencari alternatif kebenarannya. Sikap kritis diperlukan, misalnya ketika memilih dan menyusun rumusan mas- alah atau fokus penelitian, mengingat fungsinya amat sentral dalam memberi arah bagi seluruh aktifitas keilmuan tersebut. ,Logis, artinya sesuai dengan prinsip logika, masuk akal, dan benar menurut penalaran10 atau jalan fikiran yang jernih dan lurus. Prinsip berfikir logis diper-lukan, misalnya ketika menentukan sumber data, pengambilan sampel jika diperlukan, jenis instrumen yang dipakai, teknik pengumpulan dan analisis data penelitian. Sistematis, artinya berurutan, dengan cara yang diatur baik-baik, sesuai dengan sistem berfikir ilmiah.11 Contoh- nya, dalam menyusun rancangan dan melaksanakan penelitian, mestilah diatur tata kerja dan urutan langkah operasionalnya, sehingga terlihat jelas tahap-tahapnya dari awal sampai ber-akhir seluruh kegiatan tersebut.

7 8

10 11

Ibid., hal.165 Ibid., hal.301 9 Ibid., hal.466 Ibid., hal.530 Ibid., hal.849

1 0

Menurut tradisi keilmuan Islam, kata al-bahts mengandung pengertian sangat luas dan mendalam, karena berasal dari gambaran seseorang yang tengah menggali tanah sampai kedalaman tertentu, mirip aktifitas pertambangan dewasa ini, maka ditemukanlah aneka jenis benda seperti biji batu, pasir, besi, timah, tembaga, perak, dan emas, masingmasing dicermati sifat dan ciri khasnya, lalu dikelompokkan, dipilah, dan dipilih sesuai kebutuhan, kemudian diambil dan dimanfaatkan sebagai barang berharga yang dihasilkan dari penggalian atau pe-nambangan tersebut. Dalam formulasi kalimat berbahasa Arab dinyatakan al-bahts bimana hafara al-syaia fi al-ardhi aw thalabaha tahta al-turab,17 artinya menggali sesuatu di dalam perut bumi atau mencarinya di celah-celah tumpukan debu (tanah). Kalau dicermati, dalam pengertian ini tampak adanya upaya mencari sesuatu, berwujud eksplorasi aneka jenis benda, mengidentifikasi satu-persatu, mengelompokkan atas dasar ciri khas masing-masing, meng-analisisnya dengan penuh semangat dan berhati-hati, kemudian mengambil dan memanfaat-kannya untuk keperluan tertentu. Jelas kiranya, unsur ketelitian memegang peranan sangat menentukan bagi keberhasilan jenis pekerjaan seperti itu. Mirip dengan pencermatan tersebut, sumber lain mengartikan al-bahts dalam bentuk kata kerja dengan to look about, search, seek, to do research, to investigate, examine, study, explore, to discuss a subject or question, to have a discussion, have a talk about, and to dis-cuss together, artinya melihat-lihat, memeriksa, menelusuri, mencari, menemukan, meneliti, mengusut, menyelidiki, menguji, mempelajari, menjelajahi, mendiskusikan, membicarakan, dan membahas bersama-sama.19 Bertambah jelas melalui rangkaian kata-kata itu, bahwa kandungan manka al-bahts mencakup wilayah sedemikian luas, bukan saja mengarah pada ter-simpulnya sikap teliti sebagai prasyarat utama dalam aktifitas penelitian, melainkan lebih jauh lagi menunjukkan betapa erat kaitannya dengan
Louis Maluf, al-Munjid : Fi al-Lughah wa al- Alam, Beirut, Lobanon : Penerbit Dar al-Masyriq, cetakan ke dua puluh delapan, 1986, hal.27 18 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edited by J.Milton Cowan, London : Penerbit Macdonald & Evans Ltd, cetakan ke tiga, 1974, hal.42 19 John M.Echols & Hassan Shadily, Op.cit., hal.365, 507, 510, 480, 330, 221, 363, 225, 186, 578. 9
17 18

setiap langkah pengkajian dan pengembang-an ilmu pengetahuan. Atas dasar itu, rasional kiranya jika dunia pendidikan tinggi Islam menempatkan bahts al-ilmi sebagai padanan istilah berbahasa Arab bagi semua bentuk kegiatan ilmiah, termasuk riset atau penelitian. Akhirnya dapat ditarik pemahaman lanjut, bahwa posisi dan fungsi metodologi peneli-tian bagi aktifitas atau dunia ilmiah, kurang-lebih tersimpul dalam ungkapan dengan ilmu dan untuk ilmu, atau berlandaskan ilmu dan untuk pengembangan ilmu. Maksudnya, ketika metodologi penelitian didudukkan sebagai obyek kajian ilmiah dan menghasilkan sistem pe-ngetahuan yang tertata secara logis dan sistematis, maka posisinya adalah sebagai ilmu. Bisa disebut, ilmu tentang cara atau prosedur melakukan penelitian. Sementara menurut fungsi po-koknya, ilmu penelitian tersebut dipergunakan sebagai acuan atau pegangan teoritis dan sa-rana ilmiah untuk mengkaji serta mengembangkan ilmu. Maka berarti, metodologi penelitian itu pada hakikatnya adalah ilmu tentang tata cara pengembangan ilmu. Karena posisi dan fungsinya terkait erat dengan ihwal penyelidikan dan pengembangan ilmu, masuk akal kira-nya jika dalam kehidupan akademis dikenal sebutan metodologi ilmiah, demikian pula istilah penelitian ilmiah. Kata ilmiah berasal dari bahasa Arab, tulisan (ejaan) aslinya ilmiyyah dengan huruf ya dobel (tasydid), dan biasa dimaknai : sesuatu yang terkait dengan, mengenai, bersifat, atau berdasar ilmu.20 Dalam bahasa Inggris, dikenal istilah scientific,21 artinya bersifat atau secara keilmuan.22 Jadi, ilmiah merupakan kata jadian dari lmu, sehingga pembahasan tentangnya pastilah merujuk pada apa esensi atau hakikat ilmu. Atas dasar itulah, bisa disusun pengertian bahwa penelitian ilmiah merupakan penelitian dalam bidang ilmu dan dilakukan secara atau dengan metodologi keilmuan. Lagi-lagi akar katanya juga tetap ilmu. Maka dapat dirumuskan formulasi yang lebih mencakup unsurunsur pokoknya, bahwa penelitian ilmiah adalah pe-nyelidikan atau pengkajian tentang

20 21

Ahmad Warson Munawwir, Op.cit., hal.1037 Hans Wehr, Op.cit., hal.635 22 John M.Echols & Hassan Shadily, Op.cit., hal.504

1 0

ilmu, mengenai ilmu atau sesuatu yang terkait dengan il-mu, dilakukan secara cermat, hatihati, kritis, logis, dan sistematis atas dasar prosedur, kaidah atau prinsi-prinsip keilmuan. Begitu terkesan anggun dan wibawanya kata ilmiah, khususnya bagi dunia akademis di perguruan tinggi, namun tidak berarti kehadiran dan penggunaannya telah diterima sebagai kesepakatan tuntas di kalangan semua ilmuwan. Bahwa istilah ilmiah, artinya berkenaan atau terterkait dengan ilmu dan diwujudkan atas dasar kaidah atau prinsip-prinsip keilmuan, tidak ada yang membantah atau mempermasalahkannya. Akan tetapi, mengenai apa yang dimaksud dengan ilmu, ciri-ciri atau kriterianya apa, cakupannya menyangkut bidang apa saja, dan cara memperoleh serta mengembangkannya bagaimana, maka dalam hal seperti inilah perbedaan atau malah pertikaian faham terjadi. Perselisihan faham tentang apa itu ilmu, otomatis menga-rah dan berujung pada silang pendapat mengenai ukuran atau kriteria apakah sesuatu termasuk kategori ilmiah atau bukan ilmiah. Ada tiga kelompok pandangan ilmuwan tentang definisi atau batasan ilmu. Pertama, kelompok ilmuwan yang membatasi pengertian ilmu hanya pada pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis tentang benda-benda alam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, seperti batu, tanah, besi dan air, atau yang dikenal sebagai ilmu eksakta. Ke dua, kelompok il-muwan yang selain mengakui ilmu eksakta, juga memegangi kebenaran ilmu sosial dan hu-maniora, yakni pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis tentang prilaku manusia sebagai individu maupun kelompok, dengan ciri khas terjadinya perubahan menurut perbe-daan waktu, tempat, dan sebagainya. Ke tiga, kelompok ilmuwan yang selain memandang penting ilmu eksakta dan sosial (humaniora), juga mengakui keberadaan ilmu agama, yakni pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis tentang wahyu Tuhan dan perwujud-annya dalam kehidupan manusia. Kelompok yang cenderung hanya mengakui keberadaan ilmu alam, ilmu eksakta atau ilmu pasti, beralasan karena obyek kajian atau penelitiannya adalah benda-benda fisik yang mempunyai keserupaan sifat antara satu sama lain misalnya dalam hal bentuk dan struktur, ti- dak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan gejalanya

memiliki pola yang te-tap dengan urut-urutan kejadian yang sama.23 Atas dasar itu, maka dalam aktifitas pengkajian atau penelitian ilmiah dapat ditempuh observasi (pengamatan) langsung dengan indera atau memakai peralatan tertentu, juga dilakukan eksperimen secara bebas tanpa hambatan, bisa di-ukur panjang-lebar, besar-kecil, atau ditimbang beratnya, kepastian datanya dicatat dalam wujud angka-angka, dikumpulkan terus sampai berjumlah cukup atau bahkan sangat banyak, dikelompokkan, dipilah-pilah dan dianalisis sesuai landasan teorinya, digunakan rumus sta-tistika sedemikian rupa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan dalam bentuk generalisasi yang berlaku secara umum, dalam arti sama saja kejadiannya di mana dan kapanpun juga, dapat dicek ketepatan dan diulangulang penelitiannya oleh fihak lain yang ingin membukti-kan atau mengujinya, sehingga laik diandalkan hasil finalnya dan diyakini serta dipegang-teguh sebagai kebenaran ilmiah. Para ahli ilmu eksakta kelompok tersebut, cenderung meragukan atau bahkan menolak kebenaran dan keterandalan ilmu-ilmu sosial, humaniora, apalagi ilmu agama. Di antara me-reka berpendapat, bahwa ilmu-ilmu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam arti yang sepe-nuhnya. Pandangan yang lebih moderat menyatakan, secara lambat laun ilmu-ilmu sosial ber- kembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam.24 Di antara argumentasinya, obyek kajian ilmu-ilmu sosial adalah kehidupan ma-nusia sebagai makhluk multi dimensi, yang memiliki perasaan, kemauan, angan-angan, kha-yalan, cita-cita, sesekali bergembira dan di saat lain sedih luar biasa, terus berubah-ubah, tak ada yang tetap kecuali perubahan tanpa henti itu sendiri, sehingga mustahil atau minimal sulit sekali untuk diobservasi kepastikan pola tingkah lakunya, karena cenderung berbeda antara kejadian di suatu tempat dengan tempat yang lain, antara keadaan zaman dahulu yang diliputi kesederhanaan dan realitas zaman sekarang yang penuh kemajuan. Mengingat kenyataan de-mikian, sangat berat kiranya
Jujun Suriasumantri, Tentang Hakekat Ilmu, dalam Jujun S.Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta : Penerbit Gramedia, cetakan ke enam, 1985, hal.7-8 24 Deobold B.Van Dalen, Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial : Beberapa Perbedaan, dalam Jujun S.Suriasumantri, Ibid., hal.134 1 0
23

untuk memperoleh kepastian data ilmu-ilmu sosial misalnya da-lam wujud angka-angka statistika, apalagi jika aspek kajiannya menyangkut suasana kejiwaan yang begitu abstrak dan bersifat sangat pribadi atau sarat kerahasiaan. Akibatnya, sulit meng-analisis guna memperoleh keterandalan hasilnya, juga melakukan generalisasi yang berlaku secara umum, sehingga muncul anggapan kurang atau bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu yang benar-benar ilmiah. Terhadap ilmu agama lebih-lebih, bukan sekedar kalangan ilmuwan eksakta yang cen-derung kukuh menolaknya, para ahli ilmu sosialpun banyak yang meragukan kebenaran dan posisinya sebagai ilmu. Di antara mereka ada yang menyatakan, bahwa pengetahuan yang di-peroleh manusia tanpa melewati daur hipotetik, deduktif, dan verifikatif, itu tidak termasuk ilmu. Jadi, pengetahuan atau lebih tepatnya keyakinan yang sifatnya dogmatis atau terlalu spekulatif, harus dinyatakan sebagai bukan ilmu. Padahal jelas, dalam ilmu-ilmu keagamaan ada yang namanya tuhan, keyakinan, akhirat, surga, neraka dan seterusnya, yang tidak mung-kin diobservai langsung atau melalui alat manapun oleh seorang ilmuwan. Apakah karena obyek kajiannya ada yang bersifat abstrak dan tidak tersentuh indera, lalu dengan serta-merta dinyatakan sebagai bukan ilmu dan hasil jerih payah kerja ilmuwannya dikategorikan tidak ilmiah ? Bukankah ilmu-ilmu keagamaan juga diperlukan untuk mencapai kesejahteraan hi-dup, minimal oleh kalangan yang meyakininya ? Kalau pandangan seperti ini diterima, pastilah menimbulkan persoalan di kalangan fihak-fihak yang menekuni aneka bidang keilmuan khususnya di lingkungan Perguruan Ting-gi yang berlabel keagamaan, mengingat toh kenyataannya di samping berbagai jenis keilmuan yang lain, ada yang bernama ilmu aqidah (keyakinan), ilmu syariah (hukum kehidupan), il-mu tarbiyah (pendidikan) dan sebagainya. Imam alGhazali, seorang failosuf dan ilmuwan yang sangat terkenal itu, bahkan menulis sebuah kitab berjudul Ihya Ulum al-Din, menghi-dupkan ilmu-ilmu keagamaan. Logiskah semisal Perguruan Tinggi Islam, dengan program Tri Dharmanya ( pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat), yang telah bergulat di bi-dang ilmu dan melahirkan ribuan
25 25

sarjana dengan karya tulis final masing-masing dalam bentuk skripsi sarjana, tesis magister, bahkan disertasi doktor, dengan begitu saja dikategori-kan sebagai institusi non ilmiah ? Juga,laikkah memasukkan tokoh sekaliber al-Ghazali ke da- lam predikat bukan ilmuwan ? Walhasil, apa itu hakikat ilmu dan kegiatan ilmiah, sesungguhnya bukanlah persoalan gampang, mengingat di dalamnya mengandung kerumitan seperti terlihat di atas. Untuk mem-peroleh jalan keluar, dikembalikan saja titik berangkatnya pada fungsi utama ilmu sebagai wahana kesejahteraan hidup manusia seutuhnya : material-spiritual, lahir dan batin, dunia ma-upun akhirat. Dalam perspektif keseimbangan semacam ini, jelas tidak mungkin perwujudan-nya ditempuh melalui pendayagunaan ilmu eksakta semata, misalnya untuk membangun ge-dung megah, kendaraan mewah, dan aneka jenis makanan yang melimpah. Bagaimana men-ciptakan tata kehidupan yang indah dan tenteram di masyarakat, sebaliknya terhindar dari permusuhan dan tindak kekerasan katakanlah, sangat memerlukan dukungan ilmu sosial dan humaniora. Sementara, untuk mencapai kebahagiaan hidup secara hakiki di dunia dan seka-ligus di akhirat, wasilahnya tidak bisa lain kecuali membangun keseimbangan tuntas dalam hal penguasaan dan pemanfaatan semua jenis ilmu : eksakta, sosial, humaniora, maupun agama. Semuanya adalah ilmu, dan berdasarkan metodologi yang boleh jadi agak berbeda karena memang obyek kajiannya tidak sama, memiliki keharusan untuk terus meningkatkan kualitas dan keterandalan ilmiah masing-masing.

L.Wilardjo, Tanggung Jawab Sosial Seorang Ilmuwan, Majalah Pustaka, nomor

1 0

You might also like