You are on page 1of 13

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa waktu lalu diadakan sebuah konferensi tingkat tinggi negaranegara anggota G-20 di Pittsburgh Pennsylvania, Amerika Serikat dimana para pemimpin negara-negara maju dan sedang tumbuh, berkumpul dengan agenda utama pemulihan ekonomi internasional pasca krisis ekonomi global. KTT G20 ini adalah pertemuan ketiga pada tingkat kepala negara, setelah sebelumnya dilakukan di Washington DC pada November 2008 dan di London pada April 2009. Indonesia sendiri menjadi salah satu dari negara-negara yang menghadiri pertemuan tersebut. Ada beberapa opini miring mengenai keikutsertaan Indonesia dalam kelompok G-20 terutama desas desus bahwa Indonesia akan meninggalkan ASEAN karena sudah memiliki keanggotaan di perkumpulan yang lebih elite dan pandangan-pandangan negatif lainnya, namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan meninggalkan ASEAN, namun melalui G-20 pun Beliau akan berusaha mengangkat masalahmasalah yang terjadi di Asia Tenggara sehingga pihak barat pun mengetahui apa yang terjadi. Dalam pertemuan ketiga di Pittsburg ini para pemimpin G20 akan membahas tindak lanjut hasil-hasil G20 di Washington DC dan London. Misalnya, mengenai reformasi bank pembangunan multilateral yang sebagian besar telah diimplementasikan, dan reformasi IMF. Kemudian reformasi sektor keuangan dimana financial stability forum telah berubah menjadi financial stability board dengan wewenang dan keanggotaan yang diperluas. Indonesia yang menjadi anggota baru dari financial stability board. Isu-isu lain yang akan dibahas dalam KTT G20 di Pittsburg adalah mengenai pengangguran, tenaga kerja, akses keuangan bagi usaha kecil dan menengah, dan pendanaan perubahan iklim.

Universitas Widya Kartika

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, dapat diajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah G-20 itu? 2. Negara mana saja yang mengikuti KTT G-20 di Pittsburgh? 3. Apa saja keputusan yang dihasilkan? 4. Apakah keanggotaan Indonesia dalam G-20 membawa perubahan yang signifikan terhadap keadaan di negeri ini?

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mengisi nilai ujian mata kuliah Ekonomi Internasional Jurusan Akuntansi Bisnis Universitas Widya Kartika Surabaya. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang pertemuan G-20 yang baru-baru ini berlangsung di Amerika Serikat, apakah benar pertemuan yang dihadiri oleh Presiden RI tersebut dapat memberikan angin segar dalam krisis ekonomi global dan memberikan hasil-hasil positif pada topik masalah lainnya.

1.5 Metode Penulisan Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data data yang diperlukan melalui buku penunjang dan mengunduh artikel-artikel terkait dari beberapa situs di internet.

Universitas Widya Kartika

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sekilas mengenai G-20 G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Pertemuan perdana G-20 berlangsung di Berlin, 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah menteri keuangan Jerman dan Kanada. Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia. Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.

Universitas Widya Kartika

Tata kelola ekonomi dunia ke depan diprediksi akan jauh lebih terbuka pasca 20 negara sepakat membentuk G-20 di Pittsburg, AS akhir September 2009. Di satu sisi banyak pihak menggadang-gadang lahirnya G-20 akan membawa kebangkitan dunia perdagangan dan investasi untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi global . Sementara di sisi lain, kelahirannya juga merupakan pengakuan atas kegagalan tata kelola ekonomi dunia di bawah G-8 (yang akan tetap eksis walau fokusnya ke depan non ekonomi). G-20 akan menggantikan peran ekonomi G-8, menyumbang 90 persen terhadap produk domestik bruto dunia, sekitar 60 triliun dollar AS. Terdiri dari AS, EU27, Jepang, China, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Brazil, Kanada, India, Rusia, Meksiko, Australia, Korea, Turki, Indonesia, Argentia, Arab Saudi, dan Afrika Selatan, G-20 diharapkan akan mengubah elite dunia, yang sebelumnya didominasi negara-negara kaya menjadi kelompok elite dengan kombinasi negara kaya dan negara berkembang dengan prospek cerah serta egara-negara kaya. Diharapkan banyak pihak, G-20 mampu mendorong peluncuran sebuah kebijakan multilateral. Berbagai kalangan yang menyambut positif lahirnya G-20 didasari oleh argumen di mana negara berkembang kini bisa langsung menyuarakan kepentingannya di forum informal dan tidak mengikat ini. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini dimana negara berkembang sekadar menjadi penonton dan objek dari negara-negara kaya di G-8. Komunike pemimpin G-20 (sebuah organisasi informal baru menggantikan G-8) juga berharap, G-20 akan melawan proteksionisme bersama-sama. Karena, gejala ini menguat akhir-akhir ini di Uni Eropa dengan kian terbatasnya akses pasar ke AS dan negara lain . Keputusan mengganti G-8 dengan G-20 merupakan keberhasilan diplomasi Obama yang menginginkan pembagian beban dalam tata kelola ekonomi internasional di tengah keterpurukan ekonomi AS. Ini sekaligus merupakan cara Obama mengimbangi Uni Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, yang terus menekan AS agar lebih memperketat regulasi di sektor

Universitas Widya Kartika

finansial, dengan membatasi bonus bagi para bankir dan eksekutif perusahaan dana cegah resiko. Sejarahnya sendiri G-20 digagas ketika AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin dijinakkan oleh elite global G-20 . Yang paling memerlukan bantuan untuk langkah penyelamatan terutama dilihat dari kebutuhan pasokan modal tetaplah negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Untuk itu dibutuhkan uluran tangan dari negara maju seperti Jepang yang masih memiliki amunisi besar dalam keuangan. Meskipun mereka juga terimbas krisis namun masih jauh lebih baik kondisinya katimbang Amerika Serikat yang menjadi pemicu awal terjadinya krisis global. Pemerintahan Obama akan berkonsentrasi di dalam negeri dan harus menggelontorkan ratusan miliar dolar AS untuk menyelamatkan lembaga-lembaga keuangan yang menjadi pilar ekonomi. Adapun Jepang justru meningkatkan komitmennya untuk membantu negara-negara di Asia yang membutuhkan. Paket bantuan yang telah disetujui senilai 1,5 triliun yen atau setara dengan 15 miliar dolar AS. Kini sudah akan ditambah lagi sebesar 500 miliar yen sehingga secara keseluruhan tak kurang dua triliun yen yang akan digelontorkan ke negara-negara di Asia. Dua negara yang menjadi prioritas selain Indonesia adalah Vietnam dan India. Ketiga negara tersebut memang merupakan negara-negara terbesar di Asia dilihat dari jumlah penduduk, potensi ekonomi dan pada akhirnya tentu terkait dengan skala problem finansial yang dialami.

Universitas Widya Kartika

Bantuan akan diarahkan pada pengembangan infrastruktur dan penyelamatan sektor pertanian sebagai basis perekonomian. Dan sasaran akhirnya tetaplah peningkatan permintaan domestik dengan mendorong daya beli masyarakat. Karena kalau pasar di dalam negeri tetap terjaga maka itu adalah langkah penyelamatan yang paling strategis mengingat potensi ekspor tidak akan bisa diharapkan lagi dalam beberapa tahun mendatang. Krisis kali ini yang paling terkena adalah negara-negara maju sehingga hal itu berarti merosotnya pasaran ekspor yang selama ini menjadi andalan banyak negara di Asia termasuk kita. Kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memiliki arti khusus baik bagi Indonesia maupun negara-negara maju yang tergabung dalam G20. Indonesia termasuk yang paling ngotot memperjuangkan pencairan dana bantuan dari negara maju karena rata-rata kemampuan fiskal di negara yang terkena krisis terbatas. Padahal tidak ada jalan bagi sebuah negara, pada saat menghadapi hantaman badai krisis seperti saat ini, selain dengan memberikan stimulus fiskal. Tujuannya tidak lain untuk menyelamatkan sektor korporat terutama swasta di samping mencegah terjadi gelombang PHK serta menyelamatkan pasar domestik. Bagi kita akan lebih aman dan nyaman menerima bantuan bilateral seperti yang berasal dari Jepang dibanding bantuan yang berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang membawa pengalaman traumatik di masa lalu. Karenanya amat disayangkan, keputusan tergesa-gesa pemerintah Indonesia yang justru mengharap bantuan dari lembaga keuangan multilateral. 2.2 Negara-negara anggota G-20 Berikut ini adalah daftar anggota yang tergabung dalam G-20: 1. Afrika Selatan. 2. Amerika Serikat. 3. Arab Saudi. 4. Argentina. 5. Australia.

Universitas Widya Kartika

6. Brasil. 7. Britania Raya. 8. India. 9. Indonesia. 10. Italia. 11. Jepang. 12. Jerman. 13. Kanada. 14. Korea Selatan. 15. Meksiko. 16. Perancis. 17. Republik Rakyat Cina. 18. Rusia. 19. Turki. 20. Uni Eropa. Diantara negara-negara tersebut, yang menghadiri KTT ketiga di Pittsburgh adalah Presiden Argentina Chistina Kirchner, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Perdana Menteri Inggeris Gordon Brown, Perdana Menteri Kanada Stephen Harper, Presiden China Hu Jintao dan jabatan kepresidenan Uni Eropa : Perdana Menteri Fedrik Reinfeldt dari Swedia. Selain itu Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, Konselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri India Manmohan Singh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, Presiden Meksiko Felipe Calderon, dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Disamping itu juga Menteri Luar negeri Arab Saudi Saud Al-Faisal dario , Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak serta Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan.

Universitas Widya Kartika

2.3 Keputusan yang dihasilkan dalam KTT G-20 Pittsburgh Ada kesepakatan penting yang dicapai dalam pertemuan ini, di samping masih adanya permasalahan dan ketidakpuasan. Tindakan terhadap bonus besar yang diberikan pada para bankir dan eksekutif perusahaan, yang dipandang sebagai salah satu faktor penting penyebab krisis, tidak sekeras seperti apa yang diharapkan oleh beberapa negara Uni Eropa. Sebelum dimulainya pertemuan, Kanselir Jerman Angela Merkel, yang didukung oleh Menkeu Inggris Alistair Darling, menyerukan perlunya fokus pada regulasi keuangan, pada bonus para bankir khususnya. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang didukung oleh Perdana Menteri Luxemburg Jean-Claude Juncker, berpendapat, bonus besar kepada eksekutif perbankan mendorong pengambilan risiko untuk pertimbangan jangka pendek, harus benar-benar dibatasi. Di sini terjadi perbedaan pandangan dengan Obama, yang tidak sepakat terhadap pematokan kompensasi individu, dan menganggap transparansi dapat mengatasi persoalan yang ada. Dalam pertemuan ini akhirnya tercapai kesepakatan umum untuk membatasi bonus spektakuler bankir dan eksekutif perusahaan, yang akan dilakukan oleh masing-masing negara secara terpisah, di bawah pengawasan Financial Stability Board (kelompok yang mewakili bank sentral, Menkeu, dan regulator dari negara anggota). Keputusan ini adalah suatu kemenangan AS, karena tidak diambilnya tindakan keras terhadap bonus berlebihan yang tidak berhubungan dengan kinerja jangka panjang perusahaan, tidak seperti yang diharapkan Jerman, Prancis dan beberapa negara Eropa Barat yang menghendaki pembatasan spesifik tentang hal ini, karena dipandang sebagai salah satu penyebab utama terjadinya krisis. Hal lain yang cukup meresahkan adalah regulasi sistem finansial AS, negara yang menjadi pusat permasalahan, justru terjadi dalam tingkat yang lambat, walaupun Obama telah merencanakan pemberdayaan tiga institusi: Bank Sentral AS, FDIC (Federal Deposit Insurance Corp.), dan CFPA (Consumer Financial Protection Agency). Bank sentral akan mengawasi risiko secara keseluruhan, FDIC mengawasi bank kecil, dan CFPA mengawasi antara lain transaksi di pasar saham dan uang (di antaranya transaksi derivatif). Lambatnya regulasi finansial di AS salah satunya disebabkan penentangan kubu Republiken

Universitas Widya Kartika

di Kongres. Selain itu, pertemuan ini juga diwarnai aroma proteksionisme, yang justru dikemukakan AS. Presiden Obama menghendaki dikoreksinya perdagangan yang tidak berimbang antara AS dan Cina, di mana yang disebut pertama senantiasa defisit, yang berarti masih adanya semangat yang ambigu terhadap perdagangan bebas. Namun, stimulus ekonomi telah disepakati bersama sebagai faktor positif yang perlu dipertahankan, dan penghentiannya yang terlalu dini harus dihindarkan, mengingat hasil positif yang telah ditunjukkan. Sayangnya, komitmen the Fed, Bank Sentral AS, untuk meneruskan stimulus ekonomi barubaru ini untuk sementara justru telah menurunkan harga-harga saham di pasar AS. Hal ini disebabkan adanya pemikiran bahwa perusahaan yang menerima stimulus, yang juga menjual sahamnya, akan memprioritaskan pembayaran utang dan bunganya, bukan pada pemberian deviden, sehingga menjadi kurang menarik. Hal positif lain yang cukup luar biasa adalah persetujuan pengalihan peran G-8 pada G-20 yang berarti pengakuan arti penting negara di luar negara maju (G-8) dalam membentuk tatanan ekonomi dunia yang baru. Pemulihan ekonomi global melalui G-20 Pittsburgh, yang penting bagi dunia dan bagi Indonesia, hanya dapat diatasi dengan tindakan kolektif dalam skala global, dan komitmen yang tegas AS sebagai negara besar. Walaupun kesepakatan yang dicapai tampak belum cukup kuat untuk dengan segera mengatasi akar permasalahan krisis finansial global, namun optimisme semua pihak harus tetap dipelihara.

2.4 Dampak keikutsertaan Indonesia dalam G-20 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik keputusan KTT G20 di Pittsburgh, yang menjadikan kelompok negara ekonomi 20 sebagai lembaga permanen serta menggantikan G8 sebagai forum utama kerjasama ekonomi internasional. Beliau mengatakan bahwa keputusan tersebut membuat Indonesia berada di tempat yang sangat strategis dalam menentukan arah

Universitas Widya Kartika

10

kebijakan perekonomian global. Indonesia saat ini merupakan negara dengan ekonomi nomor 16 terbesar di dunia. "Ini sesuai dengan harapan Indonesia, G-20 akan menjadi lembaga permanen dan itu bagus. Sebab kalau hanya G-7, G-8, itu hanya betulbetul mewakili negara maju, kebanyakan Eropa. Hanya satu yang di Asia, yaitu Jepang," (kutipan wawancara Presiden SBY dengan salah satu wartawan media cetak Indonesia) G8 sendiri terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jerman, Jepang, Kanada, Prancis dan Rusia. G20, kata Presiden, merupakan lembaga yang sangat mewakili kepentingan negara-negara di dunia, baik negara maju, negara dengan kekuatan ekonomi baru maupun negara berkembang. Adanya kelompok G20 yang permanen, ujarnya, membuat peradaban dunia semakin lengkap, baik peradaban Barat, Timur maupun Islam. "Forum ini menurut saya kelak tidak hanya memikirkan perekonomian global, tapi boleh jadi menjadi forum untuk memikirkan dunia makin aman, konflik makin susut, kekerasan bisa kita eliminasi, sekaligus menjadi forum untuk mewujudkan kerukunan di antara peradaban," kata Presiden. Pada pertemuan dengan kepala negara/pemerintahan termasuk sang tuan rumah, Presiden AS Barack Obama, Presiden SBY antara lain menyarankan G20, yang akan mengadakan pertemuan berikutnya di Kanada pada Juni 2010 dan di Korea Selatan pada November 2010, mengevaluasi semua proses pemulihan, baik di tingkat global, kawasan dan masing-masing negara. Evaluasi tersebut perlu dilakukan terutama berkaitan dengan kepercayaan pasar, aliran modal, investasi dan perdagangan, ekonomi riil serta stabilitas pangan dan energi. "Jika semua indikasi itu menunjukkan hal yang positif, kita boleh mengatakan resesi akhirnya sudah pada tahap akhir dan segera memikirkan exit strategy," kata Presiden. Beberapa kebijakan yang menjadi keuntungan bagi Indonesia:
Universitas Widya Kartika

11

1. Koordinasi kebijakan G20 meningkatkan efekltivitas kebijakan ekonomi nasional Indonesia. Indonesia merupakan salah satu succes story di G20 yang berhasil memanfaatkan hasil koordinasi kebijakan globaldalam memitigasi dampak krisis keuangan global dalam negeri. 2. Diterapkannya regulasi dan standar sektor keuangan internasional yang lebih ketat sangat megurangi risiko sistemik dan dampak eksternalitas sistem keuangan global terhadap Indonesia. 3. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi khususnya kerja sama lintas batas, G20 menerima usulan Indonesia untuk menerapkan counter measures bagi Non Cooperative Jurisdiction (negara-negara yang tidak kooperatif) dalam hal upaya pengembalian aliran dana hasil korupsi ke negara berkembang. 4. Komitmen G20 yang tinggi dalam hak akses pangan, energi, dan keuangan bagi negara miskin akan mendorong peningkatan produksi dunia secara signifikan dan menjaga stabilitas harga dan ketersediaan produk-produk tersebut. 5. Komitmen G20 untuk menjaga keterbukaan perdagangan dan penyediaan fasilitas pembiayaan perdagangan bagi negara berkembang memberi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan peran perdagangan dalam pertumbuhan ekonomi, terlebih dengan dukungan dari pembentukan Lembaga Pembiayaan Ekspor. 6. Transparansi dan keterbukaan informasi mengenai pasar dan harga energi serta regulasi perdagangan di pasar komoditas / pasar modal khususnya harga future minyak diharapkan dapat mengurangi kenaikan harga minyak dunia yang tidak realistis. 7. Komitmen G20 terhadap reformasi lembaga keuangan internasional melalui peningkatan suara negara berkembang dan emerging markets menjadikan Indonesia dan negara berkembang lainnya memiliki peran yang lebih besar dalam lembaga keuangan internasional. 8. Rencana untuk menjadikan G20 sebagai forum ekonomi utama dunia menggantikan G8, menempatkan Indonesia berada di posisi yang sangat strategis dalam menentukan arah kebijakan perekonomian global. Sekedar diketahui, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi nomor 16 di dunia.

BAB III PENUTUP

Universitas Widya Kartika

12

Kesimpulan dan saran Peran baru G-20 itu mencerminkan munculnya kesadaran negara-negara maju bahwa krisis keuangan global yang terjadi dua tahun terakhir ini tidak bisa mereka atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain. Fakta itulah yang mendorong kesadaran negara maju perlunya membentuk tatanan ekonomi baru dunia. Sejumlah komitmen pun disepakati pada KTT G-20 di Pittsburgh menuju tatanan ekonomi baru itu. Misalnya, memberikan hak suara kepada negara-negara berkembang dalam badan-badan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan bank pembangunan regional. Komitmen negara-negara maju itu juga perlu dibuktikan lewat peran mereka dalam kerangka perubahan iklim. Misalnya, keharusan negara maju memberikan kompensasi dana kepada negara berkembang terkait dengan pengurangan emisi karbon. Karena itu, berbagai komitmen yang dihasilkan G-20 sejatinya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Sebagai anggota G-20 dan nantinya memiliki hak suara, Indonesia seharusnya lebih mampu menyuarakan kepentingan nasional dan regionalnya. Misalnya yang terkait dengan masalah investasi, utang, kemiskinan, lingkungan, dan pengangguran. Di G-20, Indonesia kini tidak lagi menjadi penonton, tapi pemain. Namun, untuk menjadi pemain yang diperhitungkan, banyak faktor yang perlu diperbaiki. Bila tidak, Indonesia akan menjadi pemain yang berada di luar lapangan.

Universitas Widya Kartika

13

DAFTAR PUSTAKA

http://blog.pittsburghsummit.gov/index.php/blog/entry/wrapping_up_the_pit tsburgh_g-20/ http://www.pittsburghsummit.gov/resources/129661.htm www.presidensby.info http://www.demokrat.or.id/index.php? option=com_content&task=view&id=2920&Itemid=59

Universitas Widya Kartika

You might also like