You are on page 1of 33

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu unsur identitas nasional. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambangan yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi manusia. Di Indonesia terdapat beragam bahasa daerah yang mewakili banyaknya suku-suku bangsa atau etnis. Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung antar etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-suku, bahasa Melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan internasional di kawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan para pedagang asing. Pada tahun 1928 bahasa Melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun tersebut para tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini dicetuskan melalui sumpah pemuda. Dan baru setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 18 Agustus Bahasa Indonesia diakui secara Yuridis.

1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : Darimanakah Sumber Bahasa Indonesia Kapankah Peresmian nama Bahasa Indonesia 1

Mengapa Bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa Indonesia Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan Bahasa Indonesia Kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia Ragam dan Variasi Bahasa

I.3 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : Untuk mengetahui perkembangan bahasa indonesia mulai dari sumber atau asal usul bahasa indonesia itu sendiri serta peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan resminya bahasa melayu menjadi bahasa indoneisa. Untuk mengetahui Fungsi serta Kedudukan Bahasa Indonesia. Untuk Mengetahui apa saja ragan serta variasi bahasa.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sumber Bahasa Indonesia Sejarah tumbuh dan berkembangnya Bahasa Indonesia tidak lepas dari Bahasa Melayu. Dimana Bahasa melayu sejak dahulu telah digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan. Bahasa Melayu tidak hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir diseluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Prasasti-prasasti kuno dari kerjaan di indonesia yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu. Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah Berfungsi Sebagai : a. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan satra. b. Bahasa Perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia. c. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di indonesia mapupun pedagang yang berasal dari luar indonesia. d. Bahasa resmi kerajaan. Jadi jelashlah bahwa bahasa indonesia sumbernya adalah bahasa melayu.

2.2 Peresmian Nama Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional merupakan usulan dari Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di

Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan. Secara Sosiologis kita bisa mengatakan bahwa Bahasa Indonesia resmi di akui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.

2.3 Mengapa Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Indonesia. Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu : 1. Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdangangan. 2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus). 3. Suku jawa, suku sunda dan suku suku yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional 4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.

2.4 Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Bahasa Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia dapat dirinci sebagai berikut : Tahun 1801 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit bukubuku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad (dewan rakyat), seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi pengokohan bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan

pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. Tanggal 28 Oktober 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). Tanggal 28 Oktober 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

Tanggal 21 26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin. Tanggal 28 Oktober 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa. 7

2.5 Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia 2.5.1 Kedudukan Bahasa Indoensia Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting yaitu : 1. Sebagai Bahasa Nasional Seperti yang tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ini berarti bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Nasional yang kedudukannya berada diatas bahasa-bahasa daerah. 2. Sebagai Bahasa Negara Tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XV Pasal 36) mengenasi kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahawa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. 2.5.2 Fungsi Bahasa Indonesia Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai : Lambang kebangsaan Lambang identitas nasional Alat penghubung antarwarga, antardaerah dan antarbudaya Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai : 8

Bahasa resmi kenegaraan Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.6 Ragam dan Variasi Bahasa. 2.6.1 Ragam Bahasa Adanya bermacam-macam ragam bahasa terjadi karena fungsi, kedudukan serta lingkungan yang berbeda-beda. Ada beberapa ragam bahasa yaitu : Ragam Lisan dan Ragam Tulis Perbedaan ragam lisan dan tulis yaitu : Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman bicara sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan. Dalam Ragam lisan unsur-unsur gramatikan seperti subjek, prediket dan objek tidak selalu dinyatakan, sedangkan ragam tulis harus dinyatakan. Ragam lisan sangat terikan pada kondisi, situasi, ruang dan waktu sedangkan ragam tulis tidak. Ragam lisan dipengaruhi oleh intonasi suara sedangkan ragam tulis dipengaruhi oleh tanda baca, huruf kapital dan huruf miring.

Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakaiannyasebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. 9

Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan da ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.

Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Ragam baku lisan bergantung kepada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapannya.

Ragam Sosial Dan Ragam Fungsional Ragam sosial adalah ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam fungsional adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya.

2.6.2 Variasi Bahasa Variasi Bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Variasi bahasa ada beberapa macam yaitu : Variasi bahasa dari segi penutur Yaitu variasi bahasa yang muncul dari setiap orang baik individu maupun sosial.

10

Variasi bahasa dari segi pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau funsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tanpak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain.

Variasi bahasa dari segi keformalan Variasi bahasa dari segi keformalan ada beberapa macam yaitu : Variasi Baku (frozen) Adalah variasi bahasa yang paling formal yang digunakan pada situasi hikmat seperti upacara kenegaraan dan khotbah. Variasi Resmi (formal) Adalah Variasi bahasa yag digunakan pada kegiatan resmi atau formal seperti surat dinas dan pidato kenegaraan. Variasi Usaha (konsultatif) Adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa. Seperti pembicaraan di sekolah dan rapat. Variasi santai (casual) Adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Seperti perbincangan dalam keluarga atau perbincangan dengan teman.

11

Variasi akrab (intimate) Adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur

yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa dari segi sarana Adalah variasi bahasa yang dapat dilihat dari sarana atau jalur yang digunakan. Seperti telepon, telegraf dan radio.

2.7 Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia Oleh Masnur Muslich Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari

pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidaktidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah: (1) Kedukan Bukit (683 Masehi), (2) Talang Tuwo (684 Masehi), (3) Kota Kapur (686 Masehi), (4) Karang Brahi (686 Masehi), (5) Gandasuli (832 Masehi), (6) Bogor (942 Masehi), dan (7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24) Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

12

- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya. - Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang SriJayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja. - Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya. Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkuat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan bahasa Sanskerta, bahasa Melayu (diistilahkan Kwen Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya). Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai

13

Kwen Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kwen Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu. Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu: 1. Semenanjung Melayu dan Singapura beserta pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan 2. Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulaupulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.

Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (1) periode sebelum Traktat London, dan (2) periode setelah Traktat London.

2.7.1 Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat

disistematisasikan ke dalam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut: 1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi) 2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi) a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan

abad ke-13 Masehi)

14

b) Masehi)

Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19

a. Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi) b. Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi) c. Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi) 3) Era Pemisahan Tahun 1824.

Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi empat arah, yaitu: 1. di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia 2. di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia 3. di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku 4. di Singapura menjadi Bahasa Nasional

1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).

15

Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Fhilipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu: The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra. At the height of its power under the Shailendra dynasty, it included Malaya, Ceylon, Borneo, Celebes, the Philippines, and part of Formosa, and probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa (Annam). (Zaide, 1950: 36) Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kwen Lun.

2) Era Kerajaan-Kerajaan Melayu (abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi) Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.

16

Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Pada era Kerajaan-kerajaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya membantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai bahasa yang memiliki norma supraetnik, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara. Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja. Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu

17

akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak mengerti bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393). Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah: Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu bukan saja digunakan di pantaipantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. Oleh karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.

a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi) Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih

18

termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu. Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran bahasa Melayu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti. Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu BintanTumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara bahasa Melayu kuno dan bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.

b)Sub-era Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi) Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Kerajaan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat

19

kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melyatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut bahasa-bahasa Melayu Riau. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.

a. Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi) Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya

dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya. Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu. Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut: Perlak and Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was

20

buried Abdulllah ibn Muhammad ibn Abdull-Kadir ibn Abdull-Azis ibn AlMansur Abu Jafar al-Abbasi al-Muntasir, a missionary from Delhi of the house of the Abbasides who furnished Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself. Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu. Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor. Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394).

21

Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.

b. Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi) Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam. Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut bahasa pidgin. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang

mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis. Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam

penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abad ke-17, sangat

22

dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.

c. Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi) Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathbaatul Riauwiyah atau Mathbaatul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathbaatul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa

23

Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai. Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada pemerintah Perancis di Kepulauan Nusantara. Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 1824, Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun 1819. Orang-orang Blanda datanga pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche OOst-Indie (India Belanda). Di sinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British Est India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak benua India, mulai meluaskan daerah

24

perdagangannya ke Asia Tenggara. Segeralah muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris, Beanda, dan Portugis. Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggrs dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antara kedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau. Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johor dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.

25

Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakunya persetujuan London atau Traktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolahsekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarangpengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka. Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahliahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.

2.7.2 Perkembangan Bahasa Melayu Sesudah Traktat London Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang,

26

tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.

Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini. 1. Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa Belanda. Pranan ke-lingua franca-an bahasa Melayu semakin nyata dan penting. 2. Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf Arab (baiasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan bahasa Melayu. 3. Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.

27

4. Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia. 5. Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya. 6. Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku. 7. Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi. 8. Tahun 1942 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan. 9. Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal ayat UUD 1945 memuat bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara. Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan 45. 10. Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.

28

11. Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM). 12. Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional. 13. Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Nagara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini. 14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). 15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.

Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Melaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat

29

bahasa resmi, yaitu bahasa Melayu, bahasa Mandarin, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembagalembaga pendidikan. Umumnya, bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa di Brunai, dan bahasa di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.

30

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa : a. Sumber dari bahasa indonesia adalah bahasa melayu. b. Bahasa Indonesia secara sosiologis resmi digunakan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia di akui setelah kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. c. Bahasa Melayu di angkat menjadi bahasa indonesia karena bahasa melayu telah digunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di nusantara dan bahasa melayu sangat sederhana dan mudah dipelajari serta tidak memiliki tingkatan bahasa. d. Bahasa indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.

31

e. Seiring dengan perkembangannya bahasa Indonesia memiliki banyak ragam dan variasi namun semua menambah kekayaan bahasa Indonesia sendiri.

3.2 Saran Sebagaimana yang kita ketahui bahasa Indonesia sumbernya adalah bahasa melayu. Sebagai bangsa yang besar selayaknyalah kita menghargai nilai-nilai sejarah tersebut dengan tetap menghoramati bahasa melayu. Disamping itu alangkah baiknya apabila kita menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

32

33

You might also like