You are on page 1of 336

Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan

ii

Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia


Pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dipandang penting dan relevan oleh ekonom berkarakter kerakyatan dan egaliter, Prof. Dr. Mubyarto. Dalam pandangannya, koperasi merupakan pilar dan sistem ekonomi yang kompatibel untuk pendemokratisasian ekonomi bangsa yang berpihak pada rakyat sebagai pemegang tunggal kedaulatan rakyat. Jauh sebelumnya, Bung Hatta salah satu penyusun UUD Tahun 1945 adalah Negarawan yang telah berjuang keras memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, ia menegaskan pentingnya peranan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Dikatakan selanjutnya, bahwa demokrasi politik saja tidak dapat mewujudkan persamaan dan persaudaraan, maka harus ada demokrasi ekonomi. Jika tidak, manusia belum merdeka dan persamaan serta persaudaraan belum ada. Maka, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, yang melingkupi seluruh tatanan hidup yang akan menentukan nasib manusia. Dua di antara ekonom langka yang kini amat sulit ditemukan kader penerusnya dengan kepribadian ilmu dan kejelasan serta ketegasan secara lugas dalam sikap pembelaannya terhadap rakyat, memiliki spirit keadilan sosial yang dikaitkan dengan demokrasi sosial. Suatu pandangan kalangan ekonom yang berkir transdisipliner. Secara elaboratif, kedua almarhum yang kini telah tenang (muthmainnah) di alam kubur karena kesalehan akademiknya menegaskan suatu ideologi ekonomi kerakyatan. Dan keyakinan ideologis inilah yang melekat hingga akhir jabatan dan hayatnya.

iii

Di negeri dengan ribuan kampus yang tersebar di berbagai daerah ini, rasanya, lebih sulit ditemukan akademisi yang beruntung dengan memiliki watak dan kepribadian yang jelas, yang clean dan clear. Entah karena begitu kuatnya main stream pragmatisme dan hedonisme yang sudah mengideologis, atau bahkan sudah setingkat menjadi falsafahnya, teramat langka terdengar suara nyaring, lugas dan kritis dari lembaga kampus pencetak SDM Pemimpin yang iImuan, dalam mengkritisi situasi bangsa yang mengitarinya. Apakah untuk mengkloning frame of thinking konstruksi dan kepribadian ilmiah kedua ekonom kerakyatan di atas, kita harus set back ke masa lalu yang jelas bertentangan dengan watak sejarah itu? Jelas mustahil. Karena, salah satu dimensi sejarah ialah suatu kesadaran untuk melakukan gerakan-gerakan serius dengan misi transformation to the future. Yang pantas diteladani adalah, bahwa keadilan sosial dipandang dan diletakkan sebagai cara pandang untuk menata perekonomian bangsa, untuk mewujudkan persamaan dan persaudaraan antar anak bangsa dan bahkan menentukan nasib manusia Indonesia. Demokrasi ekonomi dipandang penting yang dikaitkan dengan demokrasi sosial. Suatu cara pandang yang begitu luhur, jelas keberpihakannya kepada rakyat dan mereeksikan spirit Pembukaan UUD Tahun 1945. Namun sejarah kehidupan ketatanegaraan dalam era orla dan orba telah tidak menghargai pemikiran di atas. Tentu hal inilah yang kemudian telah melahirkan suatu bencana ketidakadilan ekonomi yang berdampak luas dalam kehidupan sosial budaya lainnya, termasuk dalam bidang hukum dan law enforcement. Politik dan ekonomi sebagai panglima pembangunan pada era rezim-rezim yang lalu, tidak apresiatif dan artikulatif terhadap posisi dasar rakyat sebagai yang paling berhak atas seluruh kekayaan bangsa sebagai anugerah Allah. Mainstream pemikiran ekonomi yang jelas pro rakyat diabaikan dengan kebijakan ekonomi neoliberal yang telah melahirkan birokrasi korup yang ditandai dengan KKN. Di penghujung kejatuhan Soeharto, Indonesia telah dikenal oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara terkorup di level dunia. Anggaran negara Indonesia telah dibocorkan hingga mencapai angka rata-rata 30% pertahun, sebagaima-

iv

na diungkap oleh Prof Sumitro. Meminjam teori korupsi oleh Syed Hussein Alatas, dikenal ada tiga lapis korupsi. Lapis pertama, yang melibatkan warga dengan aparatur negara, berupa suap (bribery) yang prakarsanya datang dari warga, dan pemerasan (extorsion) yang diperankan olah aparatur negara. Lapis kedua, korupsi dalam lingkaran dalam (inner circle) di pusat pemerintahan dalam ketegori nepotisme, dimana ada hubungan darah antara pelayan publik dengan pemangku kepentingan yang menerima berbagai kemudahan; kronis-isme, yang tidak ada hubungan darah antara para pelaku korupsi dan yang diuntungkannya, dan kelas baru, dimana antara pengambil kebijakan dengan yang menerima kemudahan telah menjadi satu kesatuan organik. Meminjam George J Aditjondro, korupsi di Indonesia dibedakan antara korupsi yang didorong oleh faktor kemiskinan (corruption driven by poverty) dan yang di dorong oleh kerakusan (corruption driven by greed). Yang pertama disebut korupsi kerah biru yakni pelakunya mereka yang berseragam dan yang kedua disebut korupsi kerah putih yakni mereka yang berdasi. Apapun kategorisasinya, kita berbahagia, bahwa secara alamiah di negeri ini, kita memperoleh pengayaan tentang puluhan modus dan pelaku korup. Terakhir kita membaca terdapatnya executive corruption, legislative corruption dan judicial corruption. Masing-masing telah memberikan ragaan dan contoh sempurna tentang kualitas dan sejumlah modus kejahatannya yang pasti telah, sedang dan akan terus menerus secara berkesinambungan (sustainable) menciptakan mesin korupsi yang berjalan secara mekanis dan organik. Keganasan dan kekejaman terus berjalan dengan pasti di atas kepatuhan ideologi korupsi para koruptor di negeri yang masih dihuni oleh sekitar 37 juta rakyat miskin, dan puluhan juta mereka yang terbatas mampu memenuhi hajat makan yang tak mampu berpikir masa depan pendidikan para pewarisnya. Dalam situasi mengenaskan dan menyayat ulu hati rakyat miskin inilah, kalangan ahli hukum dan penegak hukum, telah disapa dan diundang oleh kedua ekonom di atas, untuk berbicara dan melangkah atas nama dan untuk keadilan sosial, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Suatu ajakan luhur, yang menjadi ranah dan agenda mereka yang terpanggil nurani dan akal budinya untuk agenda re-

formasi peradilan. Suatu agenda yang menuntut kesadaran sejarah untuk bersama-sama dalam ketulusan dan kejiwabesaran merintis proses penegakan hukum yang benar, adil, jujur, transparan dan profesional. Kendatipun berdasarkan survey dari Partnership for Governance Reform tahun 2002, terdapat persepsi masyarakat bahwa badan peradilan merupakan badan terkorup dibandingkan badan-badan lainnya, demikian halnya survey dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2006 yang mengungkapkan bahwa inisiasi dari badan peradilan untuk melakukan praktik suap lebih tinggi daripada lembaga publik lainnya dan laporan dari Global 2007 Transparency International (TI) yang bermarkas di Jerman telah menempatkan badan peradilan Indonesia dalam kategori badan paling korup di antara badan peradilan di beberapa negara (Yunani, Albania, Meksiko, Moldova, Maroko, Peru, Taiwan dan Venezuela), hingga muncul penilaian Syahrir, bahwa badan peradilan telah menjadi black market of justice, namun, di atas semua penilaian ini, kita sebagai bangsa besar, tentu memiliki jiwa besar, dada lebar dan nafas panjang serta emosi yang menep untuk melakukan self correction. Dalam kerangka untuk mendorong terwujudnya hakekat kemerdekaan bangsa dalam usia kemerdekaan ke-62, patut kita memulai lembaran putih baru. Yakni niat dan kesadaran baru untuk menjadikan proses-proses peradilan sebagai pilar moral menuju terdorongnya tatanan kehidupan hukum yang benar-benar berkeadilan, dan membawa dampak konstrukrif bagi terwujudnya persamaan dan persaudaraan antar anak bangsa, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hukum atas hajat hidup dan hak-hak asasi rakyat. Siapapun, semuanya, sudah saatnya untuk kembali kepada otentisitas diri (trah), yang menyadari dan memerlukan pemenuhan hak-hak trah sesama. Hak itu antara lain, pada satu sisi memperoleh perlindungan hukum dan keadilan sehingga tidak lagi terdapat kesenjangan yang mencolok di antara sesama, dan pada sisi lain, kita bisa memperoleh hak yang berasal dari dipenuhinya kewajiban dari orang lain karena kita telah memberikan hak kepada mereka. Penegakan hukum adalah proses mewujudkan hak menjadi suatu hukum positif, atau mengurangi dan meniadakan sesuatu yang bukan hak menjadi hukum posi-

vi

tif. Di antara keduanya terdapat ukuran sebagai patokan, yaitu moral, yang merupakan nilai (value) yang membedakan apa yang benar dan salah yang haq dan bathil. Disini, moral adalah esensi dan ruh dari hukum. Maka, terdapat pepatah there is no law without morality. Yang oleh Prof. Senoadji disempurnakan menjadi there is no morality without religion. Pepatah klasik harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, bisa dielaborasikan dalam pandangan yang sedikit lsafati. Yaitu, Polisi, Jaksa, Hakim dan Lawyer mati meninggalkan contoh penegakan hukum yang berkeadaban. Suatu putusan hakim yang merupakan produk bersama secara etis-profesional dari pemberfungsian suara nurani yang bening dan akal budi yang sehat oleh empat profesi terpuji di atas dalam keseluruhan proses peradilan. Putusan yang teruji secara moral dan hukum disertai asupan yurisprudensi dan doktrin hukum yang selektif yang kemudian melahirkan situasi hukum yaitu menyelesaikan sengketa dan tegaknya hukum dan keadilan terhadap siapapun. Putusan semacam inilah yang memenuhi kriteria ranah-ranah demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Tentu, untuk menuju kearah mimpi indah itu, selalu saja ada pihak-pihak yang melakukan perlawanan. Ini lumrah secara sosiologis dalam masyarakat kita yang untuk sebagian telah terwarisi budaya suap menyuap dalam bentuk dan dalih apapun juga. Namun, untuk kedepan, memang harus dimulai dari sekarang. Tak salah jika kita berobsesi, akan haknya di Amerika Serikat, seperti ditulis oleh Prof. Satjip-to Rahardjo mengutip penelitian Dirk dan Bridwell, bahwa Amerika Serikat adalah merupakan a society designed by the judiciary, dimana pengadilan melahirkan putusan-putusan sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan-perubahan penting dalam masyarakat. Di Indonesia, untuk menuju pada putusan hakim yang mengkarakterkan sebagaian instrument of social engineering atau social reconstruction, masih memerlukan pembenahan yang tidak sederhana. Penormaan moral menjadi hukum positif bukan saja masih terkendala dari berbagai faktor penyebabnya. Mendesain putusan yang memenuhi ajakan kedua ekonomi kerakyatan di atas, agar dengan putusan hakim dapat diperoleh suatu tatanan baru dimana proses

vii

pendemokratisasian hukum bisa berdampak konstruktif pada terciptanya keadilan sosial, bukan perkara mudah. Ia memerlukan pendekatan kemampuan intelektualitas tinggi, dalam dan komprehensif serta transdisipliner, tapi juga memerlukan kondisi psikologis dimana para penegak hukum memiliki dan merasakan makna dari hakekat diri yang tri, yang memerlukan asupan spiritualitas dosis tinggi serta lingkungan keluarga dan budaya organisasi di instansi dimana ia berhikmat dengan profesi luhurnya itu. Maka, berbagai himpunan pemikiran yang menuju pada bagaimana agenda reformasi peradilan dapat dipersepsi dan diusung bersama, adalah merupakan misi Komisi Yudisial. Kita amat memerlukan kontribusi pemikiran dan aktualisasi komitmen moral bersama menuju kearah terdorongnya proses pencapaian lahirnya putusan hakim yang memiliki utilitas atau kemaslahatan bagi pemerdekaan anak bangsa ini dari himpitan kemiskinan masif, yang salah satu penyebabnya bisa datang dari produk legislasi dan kebijakan nasional maupun putusan hakim yang tercerabut dari kesadaran nurani dan akal sehat serta rasa keadilan masyarakat. Dalam kerangka demikian, langkah untuk mendemokratiskan secara berkeadaban proses-proses peradilan, hendaknya menjadi komitmen dan agenda sistemik dan simultan. Dari sisi legislasi di DPR, semua pihak yang pro pembebasan rakyat dari lilitan kemiskinan masif tentu berharap lahirnya revisi Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam satu nafas baru. Yaitu terwujudnya proses penguatan dan sekaligus pengawasan terhadap badan peradilan melalui mekanisme undang-undang yang akan diiringi dengan pemeranan seluruh elemen masyarakat madani sebagai bagian terpenting bagi terwujudnya peradilan yang Jujur, Bersih dan Profesional. Dimintakannya para penulis dari berbagai latar belakang akademisi, tokoh agama dan masyarakat, anggota DPR, para pengamat dan aktivis NGO dalam Buku Bunga Rampai Komisi Yudisial edisi kedua ini, dikandung maksud untuk memperoleh pandangan-pandangan yang komprehensif dan komplementer untuk memperoleh pandangan mengenai gagasan dan langkah menuju bagaimana proses reformasi peradilan bisa segera dimulai dengan pemeranan elemen masyarakat madani, pengefektifan pengawasan yang lebih proporsional

viii

baik oleh Komisi Yudisial sebagai wujud amanat reformasi bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat madani. Kita berkepentingan akan lahirnya putusan-putusan hakim yang berkeadaban, yang mencerminkan suara dan hakekat keadilan bagi terwujudnya perlindungan hukum terhadap para pencari keadilan tetapi juga sekaligus dalam rangka perubahan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih berkeadilan. Semoga tulisan dalam Buku Bunga Rampai ini memberikan wacana yang lebih luas kearah pembenahan peradilan kita kedepan. Jakarta, 2 Agustus 2007

M. Busyro Muqoddas

ix

Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih


Program penyusunan buku Bunga Rampai Dua Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia ini adalah salah satu program yang diamanatkan oleh Rapat Kerja Komisi Yudisial Republik Indonesia pada bulan Februari 2007 di Bandung. Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam proses penyusunan buku ini, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Ucapan terima kasih kepada Bapak M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum., Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia yang telah memberikan kontribusi pemikiran, dukungan dan motivasi, serta membuat kata pengantar dalam buku ini. Secara khusus, kami menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada para penulis (kontributor) yang telah memberikan artikel untuk materi buku ini. Untuk itu, diucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Bapak Arbab Paproeka, S.H., Bapak Firmansyah Arin, S.H., Bapak Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Bapak M. Hatta Ali, S.H., M.H., Ibu Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., Bapak M. Ali Zaidan, S.H., M.H., Bapak A. Pandupraja, S.H., Sp.N., LL.M., Bapak Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Bapak Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA., Bapak Trimedya Panjaitan, S.H., Bapak F.X. Soekarno, S.H., Bapak Dr. John Pieris, S.H., Bapak Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., MS., M.H., Bapak Dr. Marwan Mas, S.H., M.H., Bapak Asep Rahmat Fajar, S.H. dan Bapak Ir. Andi Djalal Latief, MS. Penghargaan yang tinggi, atas dukungan dan kontribusi pemikiran dalam proses penyusunan buku ini, juga disampaikan kepada Bapak Wakil Ketua, Bapak-bapak Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia, para Tenaga Ahli dan

xi

Bapak Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia. Buku Bunga Rampai ini dapat diselesaikan adalah tidak terlepas dari dukungan dan dedikasi yang sangat tinggi dari Sekretariat Tim Penyusun Buku Bunga Rampai, serta dukungan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Semoga dengan hadirnya buku ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Jakarta,

2 Agustus 2007

Hermansyah Redaktur

xii

Daftar Isi
Prakata Ketua Komisi Yudisial M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Daftar Isi iii xi xiii

Bagian Kesatu Reformasi Peradilan


1. Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. 2. Perubahan Bidang Politik dan Pengaruhnya Terhadap Reformasi Peradilan Arbab Paproeka, S.H. 3. Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Pengadilan Mendayung diantara Simpati dan Resistensi Firmansyah Arin, S.H. 4. Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradialn Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. 1 21

43 65

5. Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi M. Hatta Ali, S.H., M.H. 83 6. Hakim Agung dan Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Pada Era Reformasi dan Transformasi Hukum Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. 7. Kontribusi Lembaga Kejaksaan Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan M. Ali Zaidan, S.H., M.H. 8. Kontribusi Komisi Kepolisian Nasional Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan A. Pandupraja, S.H., Sp.N., LL.M.

95

107

135

xiii

9. Peran Serta Elemen Masyarakat Sipil Dalam Mendorong Proses Reformasi Peradilan dan Penegakan Hukum Prof. Dr. M. Din Syamsuddin 10. Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan SDM Penegak Hukum Yang Kompeten dan Profesional Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.

155

165

Bagian Kedua Penguatan Kelembagaan


1. Komisi Yudisial Yang dicita-citakan Oleh Masyarakat dan Pencari Keadilan Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA. 2. Sinkronisasi Sistem Perundang-undangan Lembaga Peradilan Dalam Menciptakan Peradilan Yang Lebih Baik Trimedya Panjaitan, S.H. 3. DPR dan Perubahan Atas Undang-Undang Komisi Yudisial F.X. Soekarno, S.H. 4. Gerak dan Langkah Nyata Komisi Yudisial Dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Dr. John Pieris, S.H. 5. Pentingnya Peran Komisi Yudisial Berdasarkan Pendekatan Geopolitik dan Geostrategi Indonesia Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., M.S., M.H. 6. Memulihkan Kewenangan Komisi Yudisial Dengan Melibatkan Kemitraan (Jejaring) di Daerah Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. 7. Urgensi dan Fungsi Pembentukan Jejaring di Daerah Oleh Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar, S.H. 8. Urgensi Pembuatan Data Base Hakim Sebagai Media Penunjang Pelaksanaan Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial Ir. Andi Djalal Latief, MS. Redaksi

185

197 221

249

259

275

287

301 319

xiv

Bagian Kesatu

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

xv

xvi

Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita


Moh. Mahfud MD

Pujian dan cercaan Kehadiran Komisi Yudisial (KY) di Indonesia telah memperkaya khazanah kita tentang pembangun hukum, pengayaan mana dibangun oleh banyaknya kontroversi atas langkah-langkah KY yang begitu dibentuk langsung tancap gas tinggi untuk mengawasi perilaku dan moralitas hakim. Pujian dan cercaan terus bermunculan yang sampai saat ini (Juli 2007) menyebabkan KY berada pada posisi yang menggantung karena setelah wewenangnya untuk melaksanakan fungsi pengawasan dipangkas melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Agustus 2006, praktis pekerjaannya hanya menyeleksi calon hakim agung. Itu pun masih menimbulkan kontroversi karena produknya tentang calon hakim agung tahun 2007 banyak yang menilainya tidak berkualitas apalagi Irawady Joenoes, salah seorang anggotanya, memprotes karena keputusan KY ditetapkan dalam rapat yang, katanya, sengaja dilakukan tanpa kehadirannya. Meskipun sudah pernah menulis tentang KY dari aspek politik hukum untuk buku peringatan Satu Tahun Komisi Yudisial (2006), penulis diminta mengelaborasi lebih lanjut optik politik hukum tentang KY tersebut berkenaan dengan perkembangan-perkembangan baru menyusul putusan MK pada akhir Agustus 2006 yang memangkas hampir seluruh kewenangan KY yang semula diberikan oleh UU No. 22 Tahun 2004 berdasar atribusi kewenangan legislasi yang sah. Kontroversi sambutan atas kehadiran KY dapat ditelusuri dari latar belakang kehadirannya di dalam sistem
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

ketatanegaraan kita. Saat kita melakukan reformasi pada tahun 1998 bermunculan wacana untuk memperbaiki penegakan hukum kita dengan asumsi bahwa terjerumusnya Indonesia ke dalam krisis multidimensi yang sulit disembuhkan disebabkan oleh bobroknya dunia peradilan. Maa peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim terasa menyengat tetapi tak dapat terlihat atau dibuktikan secara formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orangorang yang pandai memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Pada saat yang sama dirasakan juga bahwa banyak produk UU yang secara substantif bertentangan dengan UUD 1945 sehingga isinya banyak yang lahir dari korupsi politik tetapi tidak ada instrumen hukum dan lembaga yang dapat mengoreksinya melalui pengujian kecuali pengujian legislatif (legislative review) yang sudah pasti sangat bergantung pada kehendak lembaga-lembaga poltik yang korup. Itulah sebabnya dua hal untuk memmperbaiki kinerja hukum kita segera menyeruak ke dalam wacana yang kemudian diterima dengan baik di dalam proses politik yang lahir di awal reformasi. Pertama, untuk mengawasi perilaku hakim agar tidak melakukan judicial corruption harus dibentuk Komisi Yudisial (KY). Kedua, untuk menguji UU terhadap UUD dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara baru pemegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Gagasan tentang kedua lembaga ini mendapat sambutan posistif baik dari kampus-kampus dan LSM maupun dari parpol dan Fraksi-fraksi di DPR dan MPR. Bahkan orang-orang yang sekarang duduk di MA maupun MK yang terkesan ikut menghantam KY, pada waktu itu memberi dukungan kuat dengan argumen-argumennya yang sangat meyakinkan tentang KY dan segala kewenangannya yang kemudian dituangkan di dalam UU No. 22 Tahun 2004. Perubahan Positif Ketika gagasan tentang pembentukan KY dan MK ini diproses secara legislasi di DPR kewewenangan yang diberikan kepada keduanya ternyata berkembang secara lebih baik. KY diberi tugas melakukan pengawasan terhadap hakim baik secara preventif maupun represif. Secara preventif KY dapat mengusulkan calon hakim agung agar tampil hakim agung-

Bunga Rampai

hakim agung yang baik melalui seleksi yang ketat dan obyektif; sedangkan secara represif KY dapat mengawasi perilaku hakim dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sekaligus memutuskan tindakan yang dapat direkomendasikan kepada MA. Begitu pun dengan MK, lembaga kekuasaan kehakiman yang baru ini bukan hanya diberi wewenang melakukan pengujian UU terhadap UUD tetapi juga diberi wewenangwewenang lain yakni memutus sengketa antar lembaga negara yang wewenangnya ditentukan di dalam UUD, memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa Presiden telah melakukan salah satu atau lebih dari lima hal yang ditentukan di dalam UUD yang dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Presiden/Wapres dalam masa jabatannya, memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres tak lagi menuhi syarat, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus pembubaran partai politik. Dalam pada itu pembuat Konstitusi menetapkan juga bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Sebelum reformasi ketentuan ini oleh beberapa peraturan perundang-undangan memang sudah dijadikan wewenang MA tetapi karena pengaturannya kacau secara teoretis maka ketentuan itu tak pernah dapat diimplementasikan.1 Itulah sebabnya ketentuan tentang itu ditegaskan di dalam UUD hasil amandemen sehingga pengaturan operasionalnya dengan atribusi kewenangan legislasi menjadi jelas dan dapat diimplementasikan. Kemajuan nyata Harus diakui secara jujur bahwa mosaik lembaga peradilan, terutama kekuasaan kehakiman, menjadi lebih baik setelah perubahan UUD 1945 yang menegaskan fungsi-fungsi konstitusional dengan proliferasi kelembagaan dalam bidang ini. Kita mencatat sampai sekarang MK sudah memeriksa dan memutus lebih dari 100 kasus pengujian UU terhadap UUD. Terlepas dari soal, apakah kita setuju atau tidak setu-

Bahasan meluas tentang ini lihat dalam buku saya, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

ju dengan sebagian putusan MK, ini harus dicatat sebagai kemajuan karena membuktikan bahwa memang benar banyak UU yang dapat dipermasalahkan konstitusionalitasnya dan MK telah menjadi lembaga yang tepat untuk melakukan itu. Benar juga ketika kita menguatkan wewenang MA untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi, terbukti sekarang MA telah menguji dan membatalkan beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Langkah KY pun sudah mendorong ke arah kemajuan, sebab dengan gebrakannya menyorot dan memeriksa hakimhakim yang dilaporkan dan diduga nakal, mulai dari hakim pengadilan negeri sampai ke hakim agung ternyata meningkatkan gairah masyarakat untuk menyorot dan melaporkan hakim-hakim nakal, meski tak semua laporan itu benar adanya.2 Banyak hakim yang kemudian lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melakukan seleksi terhadap calon hakim agung pun, terlepas dari kritik dan kontroversi atas produknya, KY sudah memberi sumbangan yang cukup baik terutama untuk memilih yang terbaik dari jelek-jelek serta dalam membuat kontrak moral agar kalau sudah menjadi hakim agung seseorang dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas. Ini sudah tentu jauh berbeda dengan zaman sebelumnya di mana hakim agung diangkat berdasar kontrak politik dan ditengarai kuat hanya berdasar kedekatan dengan pimpinan MA. Kebenaran relatif putusan MK Tetapi langkah-langkah KY yang cukup memberi harapan ternyata telah menjadi bumerang yang sama sekali tidak diharapkan baik oleh KY sendiri maupun oleh masyarakat. MA yang merasa kewibawaannya diobrak-abrik merasa tersinggung, terutama ketika KY mengundang ketua

Denny Indrayana, seorang ahli Hukum Tata Negara dari UGM, menyatakan bahwa maraknya kontroversi yang muncul dari konik antara MA dan KY yang disusul dengan putusan MK yang sangat kontroversial yang memangkas wewenang-wewenang KY justru menunjukkan adanya kemajuan dalam sistem ketatanegaraan kita sebab kegiatan saling kontrol menjadi tumbuh.

Bunga Rampai

MA untuk dimintai keterangan dan ketika KY mengundang beberapa hakim agung untuk diperiksa berkenaan dengan masuknya beberapa laporan dari masyarakat. Kalangan hakim banyak yang mengatakan bahwa KY bukannya menjaga martabat hakim melainkan justru menjatuhkan martabat hakim, bahkan mengintervensi kemandirian hakim. 30 orang hakim agung kemudian menggugat judicial review UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY terhadap UUD. Bahwa yang menggugat adalah pribadi-pribadi hakim agung itu hanyalah taktik saja, sebab jika dilihat dari suasana dan sikap-sikap petinggi MA tampak jelas bahwa MA memang merasa gerah dengan sepak terjang KY, hanya saja karena MA secara institusi tidak mempunyai legal standing atau tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa di MK maka yang dimajukan (sekurang-kurangnya dibiarkan dan didorong maju) adalah para hakim agung secara perseorangan. Isi gugatan itu pada pokoknya berkisar pada tiga hal. Pertama, meminta MK memutus bahwa hakim agung bukanlah bagian dari hakim yang dapat diawasi oleh KY sebab menurut pasal 24B ayat (1) untuk hakim agung sudah disebutkan KY hanya mengusulkan pencalonannya, sedangkan untuk mengawasi perilaku disebutkan berlaku untuk hakim. Jadi bagi para penggugat harus dibedakan pengertian antara hakim agung dan hakim sehingga isi UU No. 22 Tahun 2004 yang menyamakan keduanya harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Kedua, para penggugat meminta agar hakim konstitusi tidak dijadikan bagian dari pengertian hakim yang dapat diawasi oleh KY karena hakim konstitusi berbeda dari hakim lain dan baru dimasukkan di dalam UUD lebih belakang dari pengaturan tentang KY.3 Argumennya, ketika KY ditentukan di dalam UUD belum ada gagasan tentang hakim konstitusi, sehingga tak mungkin ketika KY dibentuk sudah terpikir untuk mengawasi hakim konstitusi. Ketiga, wewenang-wewenang KY untuk mengawasi para hakim harus dinyatakan bertentangan dengan UUD karena kriterianya tidak jelas dan bersifat eksesif apalagi dalam prakteknya

Seperti diketahui pengaturan tentang KY dicantumkan di dalam pasal 24B sedangkan pengaturan tentang MK dicantumkan dalam pasal 24C.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

KY sering memeriksa hakim dengan mempersoalkan isi putusan.4 Putusan judicial review MK pada Agustus 2006 tentang UU No. 22 Tahun 2004 itu memang agak kompromistis tetapi juga dapat dipersoalkan karena selain dianggap mengandung ultra petita5 juga bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua sekaligus juga tidak sesuai dengan konsepsi hakim yang dimaksud dalam UUD. Pertama, dinilai kompromistis karena karena menolak gugatan bahwa hakim agung berada di luar subyek yang dapat diawasi oleh KY, namun hampir semua pedoman pengawasan untuk mengawasi para hakim sebagaimana diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2004 dipangkas sehingga meskipun boleh mengawasi tetapi terjadi kekosongan hukum dalam operasionalisasi pengawasan itu sendiri. Kedua, dinilai ultra petita dan bias karena salah satu dasar pertimbangan pemangkasan wewenang-wewenang KY itu didasarkan pada pertentangan (tidak sinkronnya) ketentuan yang ada antar UU yakni pertentangan UU KY (yang dapat merekomendasikan pemberian sanksi pada hakim) dengan UU lain seperti UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum yang menentukan bahwa pemberhentian hakim agung dan hakim dilakukan setelah melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Bias terjadi dan dapat dianggap ultra petita di sini karena MK hanya boleh menguji UU terhadap UUD bukan UU terhadap UU lainnya. Persoalan belum adanya ketentuan tentang kriteria pelanggaran moral oleh hakim mestinya tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan kewenangan KY sebab masalah tersebut merupakan ranah legislatif. Lagi pula jika UU tentang KY bertentangan dengan UU lain mengapa isi

KY sendiri memberikan argumen yang dapat dipahami ketika menyatakan bahwa sulit untuk tidak membaca dan menilai putusan hakim sebab pengaduan yang masuk pada umumnya menyangkut kejanggalan dalam pemeriksaan perkara dan putusan hakim. Tentang ini dapat dibaca secara lebih rinci di dalam buku saya, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, LP3ES, Jakarta, 2007.

Bunga Rampai

UU KY yang dibatalkan? Mengapa tidak diberlakukan ketentuan bahwa hukum yang datang kemudian (UU No. 22 Tahun 2004) menghapus hukum yang terdahulu yakni UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum sesuai dengan asas lex posteriori derogat lex anteriori? Ketiga, putusan MK tersebut agak berbenturan juga dengan asas nemo judex in causa sua karena MK memutus hal-hal yang menyangkut kepentingannya sendiri yakni meletakkan hakim konstitusi sebagai subyek yang berada di luar pengawasan KY . Di dalam asas ini ditentukan bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang menyangkut diri-nya sendiri. Dalam saya catatan sudah dua kali MK memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri. Selain memutus bahwa hakim konstitusi bukanlah bagian dari hakim yang dapat diawasi KY, MK juga pernah membatalkan ketentuan UU tentang MK yang menentukan bahwa MK hanya boleh melakukan pengujian atas UU yang lahir setelah terbentuknya MK. Putusan MK menyatakan bahwa MK boleh menguji semua UU termasuk semua UU yang sudah ada sebelum terbentuknya MK. Selain berbenturan dengan asas nemo judex in causa sua bias putusan MK tidak sesuai dengan ide dan konsep tentang hakim di dalam konstitusi dan tata hukum kita sebab ide dan konsep dasar hakim adalah semua pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Putusan MK, belum tentu benar tapi mengikat Meskipun begitu harus diingat bahwa, terlepas dari soal benar atau salah, menurut pasal 24C ayat (1) putusan MK itu bersifat mengikat, nal and binding, tak dapat dilawan lagi secara hukum. Tegasnya, putusan MK itu belum tentu benar, tetapi sudah pasti mengikat. Kebenaran putusan MK itu bersifat relatif, tergantung pada pilihan perspektif, dalil, atau pasal-pasal yang dipergunakan untuk memutus; artinya sebuah putusan MK bisa salah jika yang dipakai untuk memutus adalah perspektif, dalil, dan pasal-pasal lain. Dengan kata lain, seandainya yang menjadi hakim pada Mahkamah Konstitusi itu adalah hakim lain yang menggunakan atau mengikuti paradigma,
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

perspektif teori, dan dalil-dalil lain maka putusan bisa berbeda. Kalau soal rasionalitas, paradigma apa pun yang dipergunakan pasti bisa dibangun rasionalitas untuk membenarkan pilihan perpspektif dan paradigma. Tidak sulit untuk mencontohkan ini. Dalam kasus putusan MK yang memangkas hampir semua kewenangan KY seandainya kita memakai perspektif, dalil, dan teori yang dipergunakan oleh pihak termohon atau pihak terkait langsung, Tim Hukum KY misalnya, maka semua dalil yang dipergunakan oleh MK bisa salah. Dalam bahasa sehari-hari dapatlah dikatakan bahwa putusan MK itu bisa sesuka-suka MK dengan kebenaran yang relatif karena logikanya hanya dibangun dari perspektif tertentu yang hanya bisa logis dari perspektif itu sendiri. Dari perspektif teori tertentu misalnya, bisa benar ketika MK mengatakan bahwa KY adalah auxiliary agent (lembaga negara penunjang) karena ia merupakan lembaga negara yang bukan pemegang kekuasaan kehakiman tetapi memiliki tugas yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan karenanya KY tidak bisa dijadikan bandul checks and balances dengan MK maupun MA. Tetapi dari segi lain bisa ditegaskan bahwa tak ada satu pun ketentuan UUD kita maupun dalam sejarah pembahasan ketika membentuk KY bahwa KY adalah lembaga penunjang. Itu hanya pendapat MK berdasar teori yang dipilihnya sendiri untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan vonis. Menurut UUD sendiri dan berdasar latar belakang pembahasannya di PAH I MPR tak pernah ada gagasan KY dijadikan sebagai lembaga penunjang. Dengan demikian jika dilihat dari perspektif lain maka KY bukanlah lembaga penunjang lembaga lain. Ia adalah lembaga negara yang otonom sebagai lembaga pengawas eksternal. Sebagai lembaga negara pengawas eksternal ia bukan penunjang, tetapi bidang tugasnya memang berkaitan dengan kekuasaan lembaga negara yang lain yakni kekuasaan kehakiman. Begitu juga putusan MK bahwa hakim MK tak bisa diawasi oleh KY karena KY lahir lebih dulu dari MK itu bisa benar dari perspektif tertentu sebab tak mungkin sesuatu yang dipikirkan dan lahir kemudian sudah dicakup untuk diawasi oleh lembaga yang ada lebih dulu. Tetapi jika konsep hakim dilihat dari teori tentang tugas-tugas untuk mengadili, siapa pun yang melakukan dan kapan pun dibentuk,

Bunga Rampai

maka hakim konstitusi pun harus dipandang sebagai hakim yang juga harus diawasi oleh KY. Jadi tampak jelas bahwa ini tinggal pilihan paradigma dan perspektif teorianya serta tergantung pada siapa, dan apa yang dimainkan hakim-hakim yang memeriksa dan memutus. Meskipun begitu, seperti dikemukakan di atas, putusan MK bersifat nal dan mengikat dan harus dilaksanakan. Bukan karena benar, tetapi karena hal itu sudah diputuskan oleh lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk memutus sengketa tentang itu. Di sini berlaku prinsip hukmul haakim yarfaul khilaaf, putusan hakim menyelesaikan semua pertentangan, terlepas dari soal kita senang atau tidak senang. Namun agar putusan hakim dapat diterima dan tidak menimbulkan persoalan baru di dalam sistem hukum kita sebenarnya sudah ada penggarisan bahwa penegakan hukum di Indonesia haruslah mengintegrasikan secara padu tiga asas yakni asas kepastian hukum dan asas keadilan sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) dan asas kemanfaatan sesuai dengan ketentuan pasal 28H ayat (2). Jika hanya mendasarkan pada asas kepastian hukum, tepatnya pada formal dan prosedural semata, maka manipulasi bisa dilakukan oleh pihak yang punya otoritas untuk memutus dengan cara memilih perspektif dan teori serta dalil-dalil sesuai dengan selera dan kehendaknya sendiri. Oleh sebab itu di dalam konstitusi kita juga dianut asas keadilan dan kemanfaatan yang harus bersumber dari jeritan hati nurani masyarakat serta manfaat bagi masyarakat. Berdasar ini, setidak-tidaknya menurut penulis, maka putusan MK tentang KY lebih merupakan pilihan selera hakim konstitusi yang tentu bisa lain putusannya kalau hakim-hakim dan pilihan perspektifnya juga lain dengan argumen yang juga bisa kuat. Untuk banyak pihak putusan MK tentang KY itu memang mengikat tetapi tidak sejalan dengan latar belakang sejarah politik hukum, rasa keadilan, dan manfaat bagi masyarakat sebagaimana digagas ketika KY akan dijadikan bagian di dalam mosaik ketatanegaraan kita. Pilihan politik, tak terikat teori Seperti dikemukakan di atas, salah satu pertimbangan
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

putusan MK ketika memangkas hampir semua wewenang pengawasan KY terhadap hakim adalah karena KY bukan main organ melainkan hanya auxiliary organ, bukan lembaga negara utama seperti MA dan MK melainkan hanya lembaga pembantu atau penunjang. Pandangan seperti ini dapat dipertanyakan, sebab di dalam UUD sendiri tidak disebutkan tentang itu. Memang dapat diterima pandangan bahwa KY bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas yang berkaitan dengan kekuasaan tersebut. Namun sebagai lembaga pengawas eksternal lembaga ini dapat dipandang sebagai lemabaga negara yang sejajar dengan MK maupun MA meski pun kompetensi tugas-tugasnya membantu kekuasaan kedua lembaga tersebut. Jadi jika dilihat dari sudut lembaga negara maka KY ini tidak pernah dimaksudkan sebagai lembaga pembantu atau penunjang lembaga lain, melainkan merupakan lembaga pengawas eksternal yang berdiri sendiri; tetapi jika dilihat dari tugasnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman maka bidang tugas KY memang hanya menunjang lembaga yudikatif dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Selain itu harus diingat bahwa Hukum Tata Negara itu bukanlah apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku di negara lain. Hukum Tata Negara adalah apa yang digagas dan kemudian ditulis di dalam konstitusi oleh bangsa suatu negara. Jadi Hukum Tata Negara itu adalah apa yang diperdebatkan dan ditulis sebagai pilihan politik di dalam konstitusi, bukan apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku di negara lain betapa pun dianggap sudah mapan. Meminjam ungkapan KC Wheare di dalam bukunya, the Modern Constitution, konstitusi adalah resultante atau kesepakatan yang dibuat oleh bangsa yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu serta situasi. Harus juga diingat bahwa dalam kenyataannya tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang benar-benar asli dan tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang secara persis dianut oleh lebih dari satu negara karena setiap negara memberikan sentuhan-sentuhan atau warna khusus sesuai dengan kebutuhan dan pilihan politiknya. Tidak ada teori Trias Politika asli dan tidak ada sistem pemerintahan yang murni karena hampir semua negara membuat sistem dengan sentuhan

10

Bunga Rampai

dan modikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan domistiknya. Teori Trias Politika yang selalu dikaitkan dengan Montesquieu misalnya, sebenarnya berasal dari John Locke ketika mengajarkan pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan federatif namun kemudian dimodikasi oleh Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hasil modikasi oleh Montesquieu inilah yang umumnya dianggap sebagai dasar teori Trias Politika padahal Montesquieu sendiri mengambilnya dari John Locke; sedangkan nama dan uraian teoresasi tentang Trias Politika itu selanjutnya diberikan oleh Emmanuel Kant. Trias Politika yang dikira berasal dari Montesquieu itu pun kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang berbeda-beda yang juga dapat dipertanyakan keasliannya. Amerika Serikat melahirkan sistem Presidensial yang memisahkan secara tegas antara legislatif dan eksekutif dengan mekanisme checks and balances antar poros-porosnya. Inggris melahirkan sistem Parlementer yang menganut supremasi parlemen, sedangkan di Swiss lahir sistem badan pekerja. Uniknya di negara Montesquieu sendiri, Perancis, dianut hybrid parliamentary-presidential system. Montesquieu sendiri mengatakan, penerapan yang benar adalah sistem parlementer seperti yang berlaku di Inggris. Tampak jelas bahwa sistem ketatanegaraan yang asli atau murni itu tidak ada karena semuanya merupakan penafsiran dan modikasi sendiri-sendiri. Amerika, Inggris, Perancis, Swiss, dan lain-lain membuat sistem ketatanegaraan berdasar pilihan politiknya sendiri. Berbagai contoh kasus6 Antara April dan Juli tahun 2007 ini penulis mengunjungi beberapa negara demokrasi di Asia dan Eropa yang ternyata mengatur sistem ketatanegaraannya secara berbeda-beda meskipun mengatakan menganut sistem terten-

Lihat dalam tulisan saya, Tak Ada Sistem Ketatanegaraan Asli, dalam Jawa Pos, 2 Mei 2007. Juga tulisan saya, Mencontoh Kehidupan Beragama di Lebanon, Harian Seputar Indonesia, 2 Mei 2007.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

11

tu dari Trias Politika. Libanon yang secara resmi menganut sistem Parlementer ternyata menyerahkan kekuasaan tertentu kepada Presiden yakni kekuasaan bidang pertahanan dan intelijen; jadi pemerintahan dilakukan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri tetapi untuk masalah pemerintahan tertentu dilakukan oleh Presiden. Di Yordania juga dianut sistem parlementer tetapi yang sangat menentukan jabatan perdana menteri adalah raja, bukan parlemen. Di Suriah pemilu untuk 250 kursi parlemen hanya dilakukan untuk memperebutkan 70 kursi karena nama wakil rakyat yang untuk 180 kursi sudah ditentukan lebih dulu oleh pemerintah dari partai yang berkuasa. Polandia juga menganut sistem parlementer tetapi uniknya Presiden dapat membubarkan parlemen dengan dua alasan yakni jika sampai waktu tertentu parlemen tidak mensahkan anggaran yang diajukan oleh pemerintah atau jika parlemen tidak menyetujui susunan kabinet yang diajukan oleh pemerintah dan sampai waktu tertentu parlemen tidak mengajukan alternatif untuk menggantikan penolakannya itu. Yang juga menarik di Polandia adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial preview atau menilai satu RUU sebelum disahkan oleh (dan atas permintaan) Presiden; tetapi MK juga dapat melakukan judicial review atas UU yang sudah disahkan oleh Presiden jika ada gugatan, termasuk UU yang sudah dimintakan judicial preview sebelum diundangkan. Ini unik karena berarti MK dapat menilai kembali UU yang telah dinyatakan konstitusional oleh MK sendiri sebelum UU itu disahkan. Tapi itulah sistem yang dipilih oleh Polandia. Sistem presidensial di Indonesia juga tidak mengikuti pola yang umum meski pola umum itu tidak murni juga. Pada umumnya di dalam sistem presidensial kekuasaan membentuk UU hanya ada di parlemen tetapi Presiden mempunyai hak veto (hak menolak) yang kemudian dapat diuji kembali melalui sejumlah dukungan minimal tertentu di parlemen. Namun di Indonesia Presiden mempunyai hak bersama DPR untuk membentuk UU. Sistem Presidensial seperti yang dianut di Indonesia ini hanya dipakai oleh satu negara lain di dunia, yakni Puerto Rico. Di Republik Rakyat Cina (RRC) yang menganut sistem yang agak unik, Socialist Democratic

12

Bunga Rampai

Dictatorship,7 Kejaksaan Agung dijadikan lembaga yang sejajar dengan Mahkamah Agung dan lembaga negara yang lainnya. Jadi di RRC kejaksaan bukan bagian dari Pemerintah dan bukan bagian dari Mahkamah Agung melainkan dijadikan lembaga yang sejajar dengan kedua lembaga negara itu. Namun seperti dikenal luas penegakan hukum dan pemerintahan di RRC berjalan sangat efektif. Itu pun merupakan pilihan politik atau resultante bangsa Cina dalam membuat konstitusinya. Desain Komisi Yudisial Uraian di atas bermaksud meyakinkan kita bahwa sistem ketatanegaraan kita pun adalah sistem yang dapat kita buat sendiri, bukan sistem yang harus dipaksakan untuk sama atau menganut teori atau sistem yang berlaku di negara lain, termasuk ketika kita menempatkan KY di dalam mosaik ketatanegaraan kita. Dalam kaitan dengan KY ini penulis dapat mengatakan bahwa menurut risalah persidangan-persidangan MPR yang merancang perubahan UUD 1945 tidak muncul sama sekali pemikiran untuk menjadikan KY sebagai supporting atau auxiliary organ. Yang menonjol ketika itu adalah pemikiran tentang perlunya lembaga pengawas eksternal yang dapat menyeleksi hakim agung dan mengawasi perilaku hakim sebab lembaga pengawas internal yang ada di lembaga yudikatif sampai saat itu sama sekali tidak efektif. Sebagai pilihan politik penempatan posisi KY yang seperti itu sah saja dan mengikat secara konstitusional, sebab seperti dikemukakan di atas setiap konstitusi dapat menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Di berbagai negara pun pemosisian KY bervariasi, tergantung pada kebutuhan masing-masing, bahkan ada negara yang menempatkan KY sebagai lembaga yang bukan di ranah yuridis melainkan bersifat politis. Di Polandia, misalnya, Dewan Yudisial Nasional atau the National Council of the Judiciary berfungsi untuk

Bagi penulis konsep ini terasa unik, sebab pada umumnya agak sulit menyatukan sosialis-komunis dengan demokrasi, juga agak sulit memahami demokrasi yang dikatatorship. Ternyata konsep ini berjalan efektif karena dictatorship di sana diartikan kekuasan hukum (dikatatorial hukum) secara mutlak, siapa pun harus tunduk kepada hukum.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

13

menjaga dan melindungi kebebasan/kemandirian pengadilan dan hakim. Lembaga ini lebih bersifat politis karena keanggotaannya terdiri dari Ketua I Mahkamah Agung, Ketua I Mahkamah Tinggi Tata Usaha Negara, Menteri Kehakiman, 6 orang anggota Parlemen yang masing-masing 4 orang dari Majelis Rendah dan 2 orang dari Majelis Tinggi, 15 orang hakim, dan seorang lain yang ditunjuk oleh Presiden. Jadi posisi konstitusional KY dengan berbagai kewenangan yang kemudian dituangkan ke dalam UU No. 22 Tahun 2004 sebagai pilihan politik yang khas Indonesia sebenarnya sudah cukup baik, tak ada hal-hal yang bertentangan dengan UUD baik secara semantik maupun secara historik dalam garis politik hukum kita. Tetapi MK dengan pilihan paradigma dan dalil serta pasal-pasal yang dipilihnya sendiri telah memangkas hampir semua kewenangan KY. MK menyatakan bahwa KY bukan lembaga negara utama padahal ketentuan yang seperti itu hanyalah tafsir teoretis dari MK yang bisa dibantah dengan tafsir teoretis lain. MK mengatakan bahwa KY hanyalah supporting atau auxiliary organ sehingga tak bisa melakukan peran checks and balances padahal tak ada sama sekali pemosisian yang seperti itu ketika MPR membahas dan merumuskan fungsi KY di dalam konstitusi kita. MK juga menyatakan bahwa ketentuan kewenangan KY untuk mengawasi tingkah laku hakim tumpang tindih dengan berbagai UU lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sehingga karena itu MK membatalkan berbagai kewenangan KY, padahal MK hanya boleh memutus atau membatalkan isi UU jika bertentangan dengan isi UUD, bukan bertentangan dengan UU lain yang sejajar. Namun seperti dikemukakan di atas, terlepas dari soal benar atau salah, kita suka atau tak suka, putusan MK itu bersifat nal dan mengikat yang karenanya harus diterima dan dilaksanakan. Setelah terjadi kekosongan hukum dalam bidang pengawasan perilaku hakim oleh KY kini kita dituntut untuk segera membentuk UU baru yang memuat dan mengatur kewenangan KY ini. Yang harus diperhatikan dalam pembentukan UU baru ini adalah bahwa kita harus kembali ke semangat atau garis politik hukum tentang KY itu sebagaimana diperdebatkan di MPR pada saat masalah KY itu dibicarakan dan diputuskan. Pada saat itu ada semangat bahwa KY dibentuk un-

14

Bunga Rampai

tuk memenuhi kebutuhan akan lembaga pengawas ekternal yang mandiri untuk mengawasi perilaku hakim dan hakim yang dimaksud ketika itu adalah semua hakim yang bekerja di lembaga kekuasaan kehakiman. Terkait dengan ini maka di dalam disain baru nanti harus tetap dibuka kemungkinan KY membaca dan mendalami putusan hakim jika terkait dengan dugaan penyimpangan perilaku hakim. Di sini meskipun KY boleh membaca putusan hakim tidaklah dapat diartikan bahwa KY boleh melanggar independensi hakim sebab KY tetap tidak boleh mempengaruhi apalagi mengubah putusan hakim. Hakim tetap bebas memeriksa dan memutus perkara dan putusannya tetap mengikat, KY hanya boleh membaca dan menilai putusan setelah ada vonis tanpa boleh mengubah putusan hakim. Adalah sulit untuk tidak membolehkan KY membaca dan menilai suatu kasus pengaduan tentang pelanggaran perilaku oleh hakim sebab pada umumnya pengaduan perilaku hakim itu terkait dengan perkara yang kemudian diputus oleh hakim. Berdasar diskusi-diskusi di Badan Legislasi (Baleg) DPRRI8 yang kini sedang menyiapkan RUU tentang KY yang baru ada beberapa hal yang sudah dimasukkan di dalam buram (draft mentah) berkaitan dengan lingkup kewenangan KY di masa depan yang beberapa hal di antaranya dapat dikemukakan seperti di bawah ini: 1. Istilah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (pasal 1 butir 6 draft Juli 2007) diartikan sebagai upaya yang meliputi pencegahan dan penindakan atas perbuatan hakim, baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Dalam cakupan pengertian yang seperti ini maka pengawasan atas hakim mencakup pengawasan preventif (misalnya dalam hal seleksi hakim) dan pengawasan represif (misalnya pemeriksaan dan penindakan atau penjatuhan sanksi).

Penulis adalah anggota Badan Legislasi DPR-RI yang saat tulisan ini dibuat sedang menyiapkan tiga RUU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman yakni RUU tentang MA, RUU tentang MK, dan RUU tentang KY.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

15

2.

3.

4.

Dalam upaya melakukan seleksi atas kualitas dan kepribadian calon hakim agung KY, antara lain, dapat mewajibkan calon hakim agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan (pasal 18 ayat (2) draft Juli 2007). Mungkin perlu ditekankan agar pembuatan karya ilmiah tersebut dilakukan seketika di tempat seleksi, bukan dibuat di rumah atau diserahkan beberapa hari sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga orisinalitas dan menyaring kemampuan artikulatif setiap calon hakim agung. Selain itu perlu juga ditentukan pembacaan rekam jejak (track record) melalui telaah atas semua putusan yang pernah dibuat disertai investigasi secara diam-diam tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Untuk melaksanakan wewenang konstitusional (menurut pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (3) draft Juli 2007) KY mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk tugas ini KY dapat melakukan pengawasan atas perilaku hakim serta memeriksa dan memutus terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan keharusan perilaku baik atas pengaduan masyarakat maupun atas temuan KY sendiri. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan atau ditegaskan tentang apa yang dimaksud hasil temuan KY sendiri, sebab konsep dasar yang dianut adalah sikap pasif bagi KY dalam arti KY hanya memproses laporan dari masyarakat tanpa boleh mencari-cari kasus sendiri. Selain itu perlu juga diperhatikan dalam kaitan ini tentang pemberian peluang bagi KY untuk membaca dan menilai putusan hakim yang diadukan atau dilaporkan oleh masyarakat dengan penekanan bahwa hal itu tak boleh bertendensi intervensif yang dapat mempengaruhi putusan berikutnya apalagi sampai mengubah putusan hakim. Memang di dalam pasal 22 ayat (2) draft Juli 2007 sudah dicantumkan ketentuan bahwa dalam melaksanakan tugas KY tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tetapi ketentuan pasal 22 ayat (2) ini tidak terkait secara spesik bagi kemungkinan pembacaan dan penilaian putusan hakim oleh KY. Tentang sifat putusan KY yang berupa penjatuhan sanksi tertentu seperti pemberhentian, sebagaimana dimuat
Bunga Rampai

16

5.

di dalam pasal 22B ayat (4) draft Juli 2007, dinyatakan mengikat dan disampaikan oleh KY kepada Presiden dengan tembusan kepada pimpinan MA, pimpinan DPR, dan pimpinan badan peradilan dimana hakim yang bersangkutan bertugas. Ketentuan ini sangat penting agar maksud keberadaan KY untuk mengawasi dan menentukan sanksi dan tindakan dapat terpenuhi. Tetapi ketentuan ini harus disertai dengan pemosisian ketentuan di dalam UU lain yang menyatakan bahwa pemberhentian dilakukan setelah melalui pembelaan dan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Mungkin dapat diatur bahwa dengan adanya KY tidak diperlukan lagi pemberian kompetensi bagi Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim untuk memutus/merekomendasikan pemberhentian hakim. Mungkin juga dapat diatur bahwa keputusan KY tentang pemberhentian dapat dilaksanakan tanpa pemeriksaan ulang di Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim, sedangkan pemberhentian hakim berdasar hasil pengawasan internal MA sendiri tetap harus melalui Majelis Kehormatan Hakim. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (pasal 25B ayat (2) draft Juli 2007) ditentukan beberapa larangan bagi hakim, tetapi tidak tercantum larangan bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya (asas nemo judex in causa sua). Meskipun ini sudah menjadi asas di dalam hukum tetapi perlu juga dicantumkan di dalam bagian ketentuan tentang kode etik bahwa hakim tidak boleh atau harus mengundurkan diri dari (penanganan) perkara yang ada kaitan dengan dirinya. Ini penting juga karena dalam praktik selama ini masih banyak hakim yang menangani perkara yang ada kaitan dengan kepentingan dirinya.

Pengawasan atas MK Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan KY menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh KY mencakup semua hakim yang mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Tetapi ketentuan

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

17

tentang ini yang sudah dimuat dengan tegas di dalam UU tentang KY dibatalkan oleh putusan MK yang menyatakan bahwa hakim dalam pengertian pasal 24B UUD 1945 tidak mencakup hakim konstitusi karena selain konteksnya hanya dengan hakim agung pasal 24B yang menentukan pembentukan KY itu lahir lebih dulu daripada pasal 24C yang menentukan pembentukan MK sebagai lembaga negara. Putusan MK tentang cakupan pengertian hakim ini, sesuai dengan ketentuan pasal 24C UUD 1945, bersifat nal dan mengikat sehingga tak bisa dimasukkan lagi di dalam UU tentang KY yang baru nanti. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan masalah ini ke garis politik hukum yang benar hanyalah melalui amandemen konstitusi yang harus menegaskan tentang itu secara eksplisit; sebab kita tak bisa membiarkan MK dan hakim-hakimnya menjadi lembaga super yang tak bisa diawasi. Memang setelah empat tahun perjalanan MK, selain banyak memberi angin segar bagi kehidupan ketatanegaraan yang lebih sehat, juga menimbulkan komplikasi berkait dengan wewenangnya dalam memutus yang harus diterima secara nal dan mengikat; padahal selain sering berdasar pilihan perspektif sepihak putusan MK itu bisa berlawanan dengan fakta hukum lain yang diputus oleh pengadilan. Contohnya, MK pernah menyatakan menolak gugatan permohonan pembatalan hasil perhitungan suara dalam pemilu di suatu daerah karena terjadi kecurangan, namun di dalam peradilan umum kecurangan itu terbukti dan pelakunya dijatuhi hukuman pidana. Karena putusan MK bersifat nal dan mengikat maka fakta hukum di pengadilan umum itu tidak dapat mengubah lagi putusan MK yang secara substantif nyata-nyata salah. Itulah sebabnya dalam Amandemen UUD 1945 berikutnya9 kita harus merumuskan dengan cermat tentang pengawasan terhadap hakim konstitusi dan tentang cara mengatasi jika putusan MK yang bersifat nal dan mengikat itu ternyata tidak sesuai dengan politik hukum di dalam konstitusi dan bertentangan dengan fakta hukum yang kemudian muncul.
9

Wacana untuk melakukan amandemen kelima atas UUD 1945 pada saat ini sedang gencar; ada yang ingin segera dan ada yang menghendaki ditunda dulu, ada yang ingin partial dan ada yang ingin komprehensif.

18

Bunga Rampai

Bahan Pustaka AV Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, English Language Book Society and Mac Millan, London, 1971. Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Company, 5th edition, 1967. David Kairys, The Politics of Law, a Progressive Critique, Pantheon Books, New York, 1982. C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society, Sidgwick and Jackson Limited, London, 1966. Erwin Chemerinsky, Constitutional Law, Principles and Policies, Aspen Law and Business, New York, 1997. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell and Russell, New York, 1973. Jimly Asshiddiqie, Telaah Akademis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Volume 1 No.4 Tahun 2001. K.C. Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-Toronto, 3rd Impression, 1975. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, Gama Media-Ford Foundation, Yogyakarta dan Jakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media- the Ford Foundation, Yogyakarta dan Jakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka ReformasiTata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999. Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT Rinneke Cipta, Jakarta, 2000. Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rinneke Cipta, Jakarta, 2001. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, LP3ES, Jakarta, 2007.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

19

Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung. 2007. RM AB Kusuma, Lahirnya Undang Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Sri Soemantri M, Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1 No. 4 Tahun 2001. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan Kesatu, 2006.

20

Bunga Rampai

Perubahan Bidang Politik dan Pengaruhnya Terhadap Reformasi Peradilan


Arbab Paproeka, S.H.
1

Pengantar Semangat egalitarian warga negara bangsa berdampak signikan terhadap diskursus-diskursus intelektual dan pembentukan sistem politik Indonesia ketika euforia reformasi dan demokrasi mulai mengemuka di semua ruang publik. Kesadaran diskursif seperti itu menjadi konsensus bersama bagi perwujudan res publica (kepentingan bersama) dalam menata tata kehidupan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Atas semua itu, reformasi dan demokrasi dengan ragam pemaknaannya dinilai sebagai tujuan yang harus dicapai ketimbang sekadar menjadi sebuah sarana merebut hasrat kuasa. Dalam banyak pandangan, reformasi dan demokrasi, sejatinya dipahami sebagai imaji ideal kebangsaan yang akan menggiring negara bangsa ke dalam kebajikan dan keadaban. Reformasi dan demokrasi kadang juga diletakkan sebagai nonstrum - obat bagi segala masalah kebangsaan. Kondisi ini memiliki implikasi pada tindakan yang mengarah pada cita ideal tata hidup kebangsaan yang dipandang sebagai ekspresi reformasi dan demokrasi. Namun, dalam sisi yang berbeda, reformasi dan demokrasi sering juga diperspepsikan sebagai imaji yang justru memunculkan sinisme yang tinggi dari entitas negara bangsa. Kondisi ini adalah sebuah reeksi dimana cita ideal mengalami kontradiksi

Anggota Komisi III DPR RI

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

21

dengan ekspektasi pada situasi faktualnya. Tuntutan untuk melakukan pendalaman demokrasi (a deepening democracy) terhadap negara bangsa yang sementara mengalami masa transisi memang pelik. Terlebih pada sebuah komunitas yang karakter bangsanya cukup heterogen atau plural semisal Indonesia. Sebagaimana Snyder (2000), menjelaskan bahwa sentimen nasionalisme menjadi salah satu faktor yang bisa mengganggu proses demokratisasi. Tesis ini cukup mudah dikenali. Bahwa demokrasi tidak selamanya akan menguntungkan semua kelompok elit politik. Ia bergerak seperti pendulum. Namun biasanya, kelompok elit yang senantiasa berupaya mencegah berlangsungnya proses demokratisasi adalah kelompok elit yang merasa dirugikan dari proses demokratisasi. Modus yang sering digunakan adalah show power melalui pengumpulan kekuat-an inti dengan penguatan isu sentimen nasionalisme. Sentimen nasionalisme ini setidaknya dapat dijelaskan lewat pengkultusan nilai tatanan dalam sebuah komunitas. Atau mungkin juga bisa dijelaskan dalam gugusan negara bangsa. Sentimen nasionalisme dalam gugusan komunitas terpola melalui penuturan klasik, dimana ia terjelma menjadi suatu nilai (value) sebagai suatu bentuk kebaikan umum dalam makna totalitasnya. Lain halnya dengan, Arend Lijphart dalam Latif (2006), justru memberikan ulasan yang optimistik bahwa adalah mungkin untuk mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dalam sebuah masyarakat plural sepanjang elit-elitnya bersedia bekerja sama. Namun, kerja sama itu tidak akan tercipta dengan sendirinya. Dibutuhkan sebuah kerangka solidaritas bersama yang baru, yang bergantung secara inter alia pada nasionalisme kewargaan (civic nasionalisme). Perspektif ini memang cukup relevan dalam merepresentasikan bahwa demokrasi tidak jatuh dari langit, tetapi melakukan pendalaman demokrasi dibutuhkan konsensus politik dari semua entitas kewargaan untuk membangun komitmen intelektual bagi keberlanjutannya. Nasionalisme yang berakar dari ikatan nation, pada akhirnya begitu untuk didefenisikan. Namun dalam rangka jelajah pemaknaan tentangnya, mungkin dapat dirunut bahwa nation adalah sesuatu yang direkayabayangkan (imagined). Sebagai bentuk direkayabayangkan, maka variannya

22

Bunga Rampai

pun menjadi sangat beragam. Snyder, menyebut ada empat bentuk utama nasionalisme; nasionalisme sipil, nasionalisme SARA, nasionalisme revolusioner dan nasionalisme kontra revolusioner. Nasionalisme sipil terbentuk jika elite politik yang ada tidak merasa terancam oleh proses demokratisasi, dan kelembagaan negara yang ada cukup kuat untuk menampung proses ini. Ia mendasarkan pada usahanya mempertahankan proses demokratisasi karena dianggap bisa memberikan keadilan. Pada sisi ini, negara menganut prinsip kesetaraan warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, agama dan keturunannya. Nasionalisme SARA sebuah solidalitas yang dibangkitkan berdasarkan budaya, agama, bahasa, sejarah dan yang sejenisnya. Nasionalisme SARA terbentuk jika elite politik yang ada merasa terancam oleh proses demokratisasi, dan kelembagaan negara juga masih lemah. Jika terdapat kelompok dominan lebih dari satu maka proses demokratisasi mungkin akan mengakibatkan terjadinya perpecahan di negara tersebut, dan sebagai gantinya akan muncul satu negara federal, atau bahkan beberapa negara baru. Nasionalisme revolusioner merupakan usaha untuk mempertahankan suatu perubahan politik yang melahirkan rezim baru yang dinilai lebih baik dari rezim sebelumnya. Disini terdapat kecenderungan bahwa kekuatan baru mempertahankan perubahan senantiasa menggunakan nasionalisme revolusioner. Nasionalisme terjadi kalau elit politik yang ada tidak dirugikan oleh proses demokratisasi, dan lembaga-lembaga negara yang mau mempertahankan rezim lama lemah. Sedangkan nasionalisme kontra revolusioner merupakan upaya membangun solidaritas untuk mempertahankan kelembagaan negara yang ada terhadap perubahan. Biasanya nasionalisme kontra revolusioner digunakan sebagai instrumen untuk mengembalikan militer ke pentas politik dengan mengatakan bahwa di bawah rezim sebelumnya jauh lebih baik dibanding rezim yang ada sekarang. Masalahnya adalah civil society yang dijadikan sebagai gugus konsep paling mondial belakangan bagi pembelajaran sosial secara kolektif dan produksi simbol-simbol politik secara dominan justru disuplai oleh kelompok komunal. Sehingga demikian, Indonesia pada kurun waktu ini masih merupakan sebuah masyarakat komunal, bukan asosiasio-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

23

nal. Padahal ekspektasi mengenai civil society adalah ketika asosiasi-asosiasi ini terbentuk menjadi sebuah komunitas produktif sebagai katalis bagi proses transformasi masyarakat dari semangat komunalisme menuju kewarganegaraan yang lebih beradab. Di sisi lain, intelegensia-politisi yang diharapkan membimbing komunitas politik ke arah keadaban politik (political civility) dalam kenyataannya justru menyuburkan tradisi komunalisme. Kondisi ini kian diperparah dengan eksistensi kaum komunitas epistemik sebagai penyangga dalam melahirkan gagasan orisinalitas tampaknya juga harus terjebak dengan gugusan pragmatisme yang luar biasa. Penuturan Gunawan (2006) mungkin benar bahwa pragmatisme sendiri memang lahir sebagai anak haram dari sebuah pergulatan panjang, untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi di abad lalu. Fundamen pemikirannya yang meletakkan pada benar tidaknya suatu dalil tergantung pada manfaatnya bagi manusia, dan tentu saja manfaat pertama yang menikmatinya adalah diri sendiri. Sebetulnya, pragmatisme tidak memiliki perbedaan yang cukup jauh dengan patron Machiavelli, the end justies the means. Keduanya memiliki konsekuensi bagi lahirnya keserakahan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moralitas. Bahkan oleh Juliean Benda dalam Gunawan (2006) justru memandang pragmatis lebih radikal. Bahwa pragmatisme merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai moral yang universal. Pragmatisme dituding sebagai pabrik nilainilai moral yang semu dan artisial, yang diproduksi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan kekuasaan. Tak heran juga bila pelacur-pelacur intelektual kian marak bermunculan, yang bekerja berdasarkan permintaan pasar. Praktek ini seolah mirip panggadaian intelektual, yang menularkan efek cukup luar biasa. Efek yang patut dipelajari tradisi pencerahan yang melekat pada komunitas epistemik sebagai karakter pokoknya pada gilirannya makin absurd. Padahal dalam tataran normatif-etis, masa transisi seperti ini, justru keberadaan komunitas epistemik diharapkan menjadi avantgarde bagi terciptanya tatanan bangsa yang lebih beradab, bukannya harus ikut dengan permainan kuasa politik, yang senantiasa berada dalam pusaran seni merekayasa. Kegundahan lain yang kerap juga menjadi mo-

24

Bunga Rampai

mok bagi komunitas epistemik ini adalah ketika tidak mampu menempatkan dirinya sebagai medium perekat bangsa. Malah yang muncul justru memperlihatkan gejala sebagai kekuatan yang sangat pasif terhadap isu-isu kebangsaan. Padahal salah satu prasyarat lahirnya konsolidasi demokrasi adalah perlunya masyarakat sipil yang bebas dan aktif dalam mengontrol tata kerja demokrasi. Dalam Gunawan (2006) antara sisi intelektualitas dengan kekuasaan memang memiliki korelasi. Walau dalam banyak pemikiran, keduanya melihatnya dalam sisi yang berlawanan. Dua mashab, yakni mashab Bendaian dan mashab Gramscian membedahnya seperti berikut. Mashab bendaian menilai bahwa intelektual harus merentangkan jarak dengan kekuasaan. Sehingga demikian, dosa terbesar yang tak terampunkan dari seorang cendekiawan adalah bila yang bersangkutan turut berputar, menjadi pelumas dalam mesin pemerintahan. Persekutuan ini dinilai mengkhianati jati diri intelektual (La Trahison Des Clercs), sementara mashab Gramscian malah melihat dalam sisi yang terbalik. Baginya cendekiawan harus memihak pada kelas tertentu. Baginya justru menuding ilmuwan yang steril dari persoalan aktual di masyarakat, sekadar mendengungkan kebenaran dari pucuk menara gading, adalah para pengkhianat intelektual (La Trahison de la Trahison de clercs). Bahkan Ivan Illich dalam Gunawan (2006) menyebut Deschooling Society, yang memberikan sindiran halus bahwa buat apa sekolah kalau hanya untuk mengeruk uang. Pergulatan panjang ini tentu saja bukan menjadi sebuah jebakan untuk harus memihak. Justru soal seperti ini, pada gilirannya juga menggiring kita untuk berpikir dan bertindak secara pragmatis. Pada perspektif yang berbeda, antara intelektualitas dan kekuasaan sebetulnya bukanlah dualisme yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan. Keduanya adalah dualitas yang saling membentuk. Kekuasaan menjadi cukup penting bagi kelompok-kelompok intelektual sebagai medium transformasi dalam membentuk komitmen-komitmen baru bagi kepentingan negara bangsa. Yang mungkin dipersalahkan ketika kekuasaan dan intelektual diintegrasikan sebagai perusak nilai tatanan. Sehingga yang terjadi bukan lagi kadar pragmatisme, tetapi kepicikan.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

25

Dalam belantara politik, karakter picik bagi seorang politisi kadang ditemukan, ketika politik ditempatkan sebagai sarana agregasi kepentingan personal. Ia kemudian menjelma menjadi leviathan yang teramat beringas karena meleburnya nilai-nilai intelektualitas dalam kekuasaan, sehingga semakin menjauhkan sisi keadaban publik. Celakanya, karakteristik politisi seperti ini malah mendapat pembenaran oleh Richard Smith dalam Gunawan (2006), ketika mengatakan bahwa pengkhianatan merupakan esensi dari politikus yang sukses. Sisi lainnya adalah kesetiaan, sesuatu kualitas yang sangat mulia namun tak menjadikan dirimu apa-apa. Tetapi semoga saja, tuturan bahasa ini tidak berlabuh dalam tradisi politisi kita untuk menggiring reformasi peradilan ke dalam laboratorium kehancuran. Transformasi Politik: Sebagai Pelatuk Perubahan Ketika tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, bayangan indah sempat memukau imajinasi orang Amerika. Liberalisme telah mengalahkan dua lawan tangguhnya: komunisme dan nasionalisme fasis. Imperium dan kediktatoran telah runtuh. Ketika rezim otoritarianisme Orde Baru runtuh, demokrasi pun tampil sebagai pemenang. Pendulum ke arah demokratisasi terjadi pasca isu reformasi meledak tahun 1998. Demokrasi dianggap sebagai pemenang karena berhasil melumpuhkan lawan tangguhnya otoritarianisme. Segera setelah itu, maka isu demokratisasi kian marak dibicarakan dan tampil sebagai euphoria politik yang tak tertandingi. Gagasan demokratisasi senantitasa terikut dengan wacana berkembangnya konsep konsolidasi demokrasi. Isu konsolidasi demokrasi berakar dari sebuah konsep transisi antara berakhirnya rezim otoritarianisme ke demokratisasi. Namun, rute perjalanan transisi, kadang dipahami sebagai fase yang serba memungkinkan. Dalam satu sisi, transisi boleh jadi mengarah pada otoritarianisme baru (re-otoritarianisme), sementara di sisi lain, transisi boleh juga mengarah pada lahirnya konsolidasi demokrasi. Dalam menjelaskan gejala ini, oleh banyak pemikiran menjelaskan dua rumus yang bisa diklasikasi; kapan suatu negara dikatakan sudah terkonsolidasi? Beberapa sarjana bersepakat bahwa untuk menandai demokrasi telah terkonsolidasi, ketika terjadi dua kali pergantian kekuasaan (two turnover

26

Bunga Rampai

rule). Bagi yang menganut rumus ini, mereka menilai bahwa demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila kekuasaan sudah dua kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Tetapi, ada pula yang menyebut bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi jika ia merupakan permainan satu-satunya (the only game in town) untuk memilih pejabat publik. Bila menggunakan ukuran pertama, maka fase transisi demokrasi dapat dikualikasi telah terkonsolidasi karena sirkulasi kekuasaan melalui pemilu sudah berlangsung sejak pemerintahan Abdurrachman Wahid walau dalam perjalanan pemerintahannya berhenti ditengah jalan setelah impeacht oleh MPR yang kemudian digantikan Megawati Soekarno Putri untuk melanjutkan episode pemerintahan yang tersisa hingga pemilu 2004. Lain halnya bila menggunakan ukuran kedua, maka fase transisi belum dapat disebut telah terkonsolidasi karena prasyarat-prasyarat tersebut belum memenuhi secara memadai. Indikatornya adalah rule of law sebagai syarat mestinya belum dapat diapresiasi secara memadai dalam mengartikulasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam melakukan penataan kelembagaan. Alasan lain juga yang relevan dengan itu adalah kualitas partisipasi publik dalam mengakses lembaga politik formal maupun institusi hukum masih terbilang sangat lemah. Praktek demokrasi yang sementara berlangsung, memang baru sebatas belajar merangkak. Fase perjalanannya baru mencapai pada pemenuhan prosedur-prosedur demokrasi formal, sehingga demokrasi substantif yang sejatinya menjadi buruan kaum demokratik masih jauh dari memadai. Kontrol demokratis yang sejatinya menjadi kunci dalam penerapan demokrasi substantif, pada kadar tertentu bahkan belum menunjukkan suatu perubahan yang signikan. Penuturan Latif (2006) meneragkan secara memadai bahwa dari sisi prosedur demokrasi, transisi demokrasi Indonesia telah siap untuk dikonsolidasikan. Namun, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Demokrasi bukan hanya sekadar menjadi medium penghapusan institusi institusi politik yang represif dan sarana pergantian regime yang otoriter, tetapi demokrasi men-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

27

coba merepresentasikan momentum bagi perbaikan kualitas bangsa yang lebih adil dan beradab. Sehingga demikian, demokrasi harus menjadi jaminan bagi terwujudnya esensi pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness) (Latif; 2006). Sebagai pemantiknya, konsolidasi demokrasi mempersyaratkan perlunya dilakukan transformasi struktural dan kultural secara mendasar. Gelombang demokratisasi ini kian menunjukkan perkembangan yang cukup positif dari semua entitas bangsa untuk membangun konsensus-konsensus baru. Konsensus tersebut kemudian diwujudkan melalui sebuah kesepakatan untuk melakukan amandemen konstitusi secara mendasar. Kepenatan dan kegelisahan yang selama ini hidup dengan belenggu otoritarianisme, seolah kembali memberi energi baru. Amendemen konstitusi yang dilakukan, paling tidak menjadi momentum penting dalam memulai babakan baru dalam menata negara bangsa. Ini adalah sebuah fase sejarah yang patut direkam sebagai memoar penyegaran kembali dalam tata hidup berbangsa dan bernegara. Rentetan peristiwa ini tentu menjadi kisah menarik untuk dipelajari karena memiliki pesan mulia untuk segera diartikulasikan ke ruang publik, yakni adanya transformasi struktural dan kultural dalam sistem ketatanegaraan di republik ini yang harus segera dikomunikasikan. Namun disisi yang berbeda, babakan baru ini patut menjadi referensi awal untuk tidak terjebak pada kepongahan sejarah. Begitulah titahnya bahwa amendemen konstitusi, kini menjadi pelatuk perubahan dalam menata pola hubungan kelembagaan negara. Dan setidaknya, amendemen konstitusi telah meletakkan sebuah kerangka pikir untuk beberapa hal. Pertama, menghendaki adanya proses checks and balances terhadap tiga lembaga negara, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Distribusi kekuasaan (distribution of power) yang disangga oleh tiga lembaga negara berbeda, tentu memiliki karakter fungsi, tugas dan wewenang yang berbeda. Prinsip checks and balances ini, tentu juga menjadi penting untuk mencegah terjadinya sentralisasi kekuasaan pada institusi negara-negara tertentu. Sehingga praktek abuse of power, yang kerap menjadi virus bila tidak ingin

28

Bunga Rampai

disebut penyakit tidak menggerogoti praktek penyelenggaraan negara secara bar barian. Kedua, munculnya lembagalembaga baru (new institutions) dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang memiliki kerangka kerja secara berbeda. Bila Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan loso penjaga konstitusi, maka Komisi Yudisial dihadirkan sebagai penjaga maa peradilan dengan menyandang predikat sebagai lembaga yang hanya sifatnya auxiliary. Ketiga, memungkinkan adanya aksesibilitas publik yang tinggi dalam pencapaianpencapaian demokrasi substantif. Keempat, dalam wilayah legislatif dimunculkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan perseorangan yang dipilih berdasarkan region, walaupun keberadaannya belum dapat dikualikasi memiliki hubungan yang sifatnya joint session. Kelima, adanya transformasi sistemik, yang dari sistem pemerintahan sentralistik ke sistem pemerintahan desentralistik, yang konsekuensi logisnya berimplikasi pada perubahan pola hubungan kelembagaan pusat daerah. Rentetan perubahan ini, tentu saja muaranya adalah penghormatan nilai-nilai keadilan (justice), memburu keberadaban publik, penciptaan pertanggungjawaban publik yang akuntabel dan transparan serta menghapus segala keserakahan dalam penyelenggaraan tata negara bangsa. Namun demikian, mewujudkan cita ideal ini tentu saja mesti dibarengi dengan pemapanan institusi-institusi demokrasi. Prasyarat dalam memapankan institusi demokrasi, baru dapat mencapai titik maksimun ketika infrastruktur institusional demokrasi eksis, dan didukung oleh adanya masyarakat madani yang berdaya, partai politik yang berfungsi, budaya politik yang independen, pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum dan ekonomi yang esien (Latif, 2006). Ini pun juga dapat dikonsolidasikan bila transisi demokrasi bertransformasi menjadi satu kerangka institusional mapan yang terinternalisasi mendalam pada para aktor sosial dan politik. Derajat pemapanan institusi demokrasi dan sekaligus menjadikan institusi demokrasi lebih berwibawa adalah ketika pejabat publik menempatkan rule of law sebagai dasar pijakannya. Bagaimanapun juga, prinsip rule of law harus terinternalisasi ke dalam institusi-institusi negara sebagai

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

29

kerangka menghadirkan institusi negara yang kuat, demokratis, transparan, akuntabel dan responsif di mata publik. Prinsip rule of law, juga harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan dalam mengatur tata laku pejabat publik untuk membedakannya dengan negara bar barian. Di negara manapun yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi modern, rule of law selalu menjadi instrumen khusus dan menjadi indikator utama dalam menilai demokrasi telah dikonsolidasikan. Sayangnya, pada konteks kekinian penerapan rule of law sebagai aturan main (rule game) dalam berbangsa dan bernegara, tampaknya masih jauh dari memadai. Aparatur penegak hukum yang terintegrasi dalam konsep criminal justice system (kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan) belum menunjukkan suatu kinerja yang menggembirakan. Adanya praktek diskriminasi atau tebang pilih dan tebang pesanan serta maraknya praktek maa peradilan di tubuh kekuasaan kehakiman adalah contoh kecil dari sekian banyak kisah yang dapat disajikan. Padahal kegagalan menegakkan prinsip rule of law dalam penegakan hukum dengan gilirannya akan menjadi kerikil-kerikil tajam dalam memapankan institusi institusi demokrasi. Judicative Power: Sebuah Cermin yang Retak Sebuah pepatah latin kuno, mungkin cukup relevan menggambarkan mengenai mulianya sebuah lembaga peradilan. Bahwa pengadilan adalah nec curia deceret in justitia exhibenda (pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti). Pepatah ini sejatinya mencoba mereeksikan eksistensi dunia peradilan yang teramat mulia, berwibawa dan tempat bersemayamnya prinsip prinsip ke-tauhidan sebagai asas universal yang suci. Ketika para hakim harus menjelma dan bertindak sebagai mahluk yang suci karena menjadi wali Tuhan di muka bumi ini. Beban moral ini memang cukup berat karena pertanggungjawabannya bukan hanya bersifat horizontal tetapi yang jauh lebih dalam adalah tanggung jawab vertikal kepada Tuhan. Inilah sisi lain yang harus dipertaruhkan sebagai seorang hakim. Kekuasaan kehakiman (judicative power) memang asa bagi pencari keadilan. Tersimpan sejuta harap dari masyara-

30

Bunga Rampai

kat agar keadilan melebur dan menyatu dengan dambaannya. Sayangnya, ekspektasi ini tampaknya akan terkikis dengan sendirinya ketika menyaksikan drama peradilan yang terlalu bobrok. Mereka lupa bahwa disisi lain, ada celah yang menganga di insitusi peradilan yang bisa disusupi. Celakanya, moralitas yang selalu diperdengarkan dengan nyaring oleh penegak hukum dan dipandang cukup mulia, malah berubah bentuk menjadi sesuatu yang utopis. Moralitas hanya diperlakukan bak jubah untuk melakukan penyusupan dan sekaligus sebagai pembenaran atas putusan-putusannya. Pada konteks ini, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Jeremy Bentham (Gunawan; 2006) ketika mengatakan bahwa para aparat penegak hukum adalah segerombolan orang yang dapat mengangkangi hukum tanpa konsekuensi hukum. Pada sisi inilah kekuasaan kehakiman tampil sebagai sebuah cermin yang retak karena belum mampu merekatkan nilai-nilai keadilan masyarakat yang masih berserak. Kegelisahan mengenai tata kerja kekuasaan kehakiman (judicative power) di Indonesia sebetulnya bukan cerita baru. Keprihatinan terhadap sisi gelap penegakan hukum pada ruang publik sudah menjadi momok yang senantiasa terus dipersoalkan. Sisi keadilan (justice) masyarakat yang terus terbelenggu dengan maraknya praktek maa yang berlangsung disekitar proses penegakan hukum. Institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman yang seharusnya menjadi corong bagi terciptanya keadilan bagi semua, gilirannya pun tak bisa berbuat banyak menghadapi derasnya permainan kotor di dunia institusi hukum. Kegundahan ini sebetulnya sudah lama berlangsung. Bahkan para pakar kriminolog pernah melakukan penelitian mengenai penyimpangan dalam dunia peradilan. William J. Chamblis dan Robert B. Seidman dalam Gunawan (2006) dalam bukunya yang berjudul Law, Order, and Power, menuliskan bahwa kebengkokan itu sudah dimulai dari segi hukumnya, yakni karena adanya hukum yang menjadi reeksi dari kepentingan kelompok elite yang berkuasa (the higher a groups political and economic position). Bahkan keduanya mempertegas bahwa penyimpangan dalam dunia peradilan terjadi karena judges must rely on their personal values when they make decisions in trouble cases. Sisi lain yang paling potensial melahirkan kejahatan (judicial crime),

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

31

yakni adanya kecenderungan serta upaya hakim meraup kekayaan dan kekuasaan dari pekerjaan yang diembannya. Sejalan dengan itu, Global Corruption Report 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International, sebuah koalisi global antikorupsi memilih tema Corruption in Judicial Systems. Korupsi dianggap melumpuhkan sistem yudisial di seluruh dunia serta menghalangi hak asasi manusia akan peradilan yang adil dan tidak berpihak. Huguette Labelle, ketua Transparency International menegaskan dengan adanya korupsi lembaga peradilan, mereka yang berada di pihak yang benar kehilangan hak didengar sedangkan yang bersalah tidak tersentuh hukum. Uang serta pengaruh politik dalam hukum memecah sistem keadilan sosial: satu sistem bagi si kaya, pada sisi lain bagi si miskin. Jika uang dan pengaruh politik menjadi dasar keadilan, mereka yang miskin tidak dapat berkompetisi (http://www.ti.or.id). Relevansi Indonesia yang dilaporkan Global Corruption Report 2007 telah menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat korup dan bobrok. Hal ini sangat relevan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2006 yang dirilis oleh Transparency International (TI) Indonesia. Survey IPK itu menemukan bahwa lembaga vertikal (Polisi, Peradilan, Pajak, BPN, Imigrasi, Bea & Cukai, Militer dll) masih dipersepsikan sangat korup. Lebih memalukan lagi, mereka tidak canggung-canggung dalam meminta suap, hal ini dikonrmasikan oleh laporan para pelaku usaha bahwa inisiatif suap lebih banyak dilakukan oleh aparat. Pengadilan dilaporkan merupakan lembaga yang paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap hingga 100%, disusul Bea dan cukai 95%, Imigrasi 90%, BPN 84%, Polisi 78%, dan Pajak 76%. Dua katagori korupsi peradilan yakni campur tangan politik dan penyuapan juga sangat jelas terlihat. (http:// www.ti.or.id). Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia memiliki ranking paling tinggi di antara negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya. Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for Governance Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat.

32

Bunga Rampai

Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi, yakni 45% dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not protect them), 38% tidak ada persamaan di muka hukum (there is no such thing as equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been problem). http://ahmadirfan. wordpress.com/ Kondisi ini tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran dalam menjustikasi dan terus membiarkan maraknya praktek korupsi dalam dunia peradilan. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam dunia peradilan, sejatinya mampu menempatkan posisinya pada kerangka yang lebih intensif melakukan pengawasan internal terhadap perilaku koruptif dalam dunia peradilan. Fakta-fakta faktual yang telah dibeberkan seperti di atas, setidaknya menjadi unsur korektif bagi Mahkamah Agung untuk menata kembali berbagai sisi gelap yang menyelimuti institusi peradilan. Di tengah buruknya kinerja peradilan saat ini, tidak serta merta harus dilakukan pembiaran. Episode waktu yang tersisa masih terlalu panjang untuk memperbaikinya, walau butuh energi banyak untuk menafasinya. Sehingga demikian, upaya sistemik mesti dilakukan, terutama dalam kerangka melakukan harmonisasi dan pembenahan sistem hukum kekuasaan kehakiman menjadi mutlak diprioritaskan. Upaya pembenahan dan penataan ini dilakukan, terutama dalam kaitan melakukan reformasi peradilan secara komprehensif sebagai upaya mengembalikan keprcayaan masyarakat terhadap sistem peradilan yang sekarang mengalami keterpurukan.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

33

Pada sisi regulasi, arah untuk melakukan perbaikan sudah mulai ditunjukkan, walaupun belum terlalu memadai. Sebut saja perubahan berbagai kebijakan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Perubahan UU pokok-pokok kekuasaan kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Tata Usaha Negara, UU Peradilan Agama dan sementara berjalan adalah perbaikan UU Peradilan Militer, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Komisi Yudisial. Kemudian pada aspek kelembagaan, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 dan Pembentukan Timtas Tipikor melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2005. Tapi sayangnya, pembentukan kedua lembaga ini seperti harus bergerak tanpa amunisi, setidaknya karena beberapa hal. Pertama, Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002, mengenai kehadiran pengadilan tindak pidana korupsi harus dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Celakanya, putusan Mahkamah Konstitusi ini justru diinterpretasi lain oleh pihak-pihak tertentu, yang menginginkan agar pengadilan tindak pidana korupsi sebaiknya dihilangkan. Sebagaimana Andi Hamzah berpendapat bahwa korupsi bukanlah extra-ordinary crime artinya, korupsi hanya kejahatan biasa saja, yang sama kelasnya dengan pencurian. Kedua, Timtas Tipikor dengan resmi harus dibubarkan karena masa pembentukannya sudah berakhir hanya dua tahun. Perjalanan panjang untuk memberantas tindak pidana korupsi pada gilirannya pupus sudah. Padahal kinerja lembaga ad hoc dinilai cukup memberi nilai lebih bagi kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam laporan korupsi global tahun 2007, eksistensi Pengadilan ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu diperkuat. Sebab selama dua tahun terakhir (2005-2006) sedikitnya 29 perkara telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tipikor secara lebih cepat. Seluruh kasus korupsi divonis bersalah dan tidak ada satupun yang vonis bebas. Sebaliknya sepanjang periode tahun 2005-2006 ada kurang lebih 203 perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan. 72 perkara korupsi dengan 171 terdakwa korupsi (36%) telah divonis bebas oleh pengadilan, dan sele-

34

Bunga Rampai

bihnya lebih banyak divonis ringan. Fakta tersebut menunjukan koruptor lebih banyak dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan ad hoc Tipikor daripada di pengadilan negeri biasa (Lubis; 2007) Dalam sisi yang berbeda, juga ditemukan adanya struktur lembaga baru dalam konstitusi, dimana dihadirkannya sebuah institusi baru yang populer dengan Komisi Yudisial. Kehadiran Komisi Yudisial dalam lingkaran kekuasaan kehakiman, setidaknya membawa spirit baru dalam menyingkap sisi gelap dunia peradilan saat ini. Sebagai institusi yang memiliki sifat khas state auxiliary, sudah tentu diperlukan dalam memberikan assessment yang lebih obyektif sebagai kerangka mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia kekuasaan kehakiman yang telah kehilangan wibawa. Komisi Yudisial: The Musketter Kekuasaan Kehakiman The musketter sebetulnya sebuah istilah yang digunakan dalam menjelaskan keterkaitan antara keberadaan Komisi Yudisial dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Bahasa semantik ini terinspirasi dari sebuah ilustrasi lm, dimana the musketter ini memiliki tugas pokok dalam menjaga wibawa kekuasaan. The musketter adalah sejenis tentara sebagai pasukan khusus istana kerajaan yang bertugas untuk mencegah adanya bahaya laten dalam kerajaan Perancis di saat itu. Orang-orang yang terpilih menjadi the musketter adalah mereka yang memiliki keterampilan (skill) khusus, yang pola kerjanya seolah bertindak seperti spionase dan penjaga raja untuk mencegah terjadinya penyimpangan oleh pejabat-pejabat istana. Posisinya cukup mulia dan tidak mudah diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk oleh raja sendiri. Perumpamaan ini bukan ditujukan untuk menyebut Komisi Yudisial sejenis tentara, tetapi pada konteks ini lebih menggambarkan adanya instrumen kelembagaan yang memiliki spirit untuk berbuat kebajikan, terutama perilaku pejabat kekuasaan kehakiman yang dinilai menyimpang. Secara imperatif etis, Komisi Yudisial berfungsi sebagai the musketter yang bertugas menjaga kehormatan dan kewibawaan kekuasaan kehakiman. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia, pada sisi normatif sudah diamini dalam
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

35

konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menjadi landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Dalam makna ketat walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu fungsi pengawasan. Jadi jelaslah bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang salah satu wewenangnya adalah melakukan pengawasan terhadap hakim. Menurut Ahsin Thohari (2004), argumen utama bagi terwujudnya (raison datre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah: (1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal, (2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah, (3) dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat esiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman, (4) terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), dan (5) dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik. Kehadiran Komisi Yudisial sebetulnya menjadi salah satu jawaban atas gagalnya institusi Mahkamah Agung dalam menjadikan kekuasaan kehakiman lebih berwibawa dan in-

36

Bunga Rampai

dependen. Masalah pokok hilangnya wibawa kekuasaan kehakiman adalah terutama tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan. www.transparansi.or.id Namun demikian, kehadiran Komisi Yudisial, dalam faktanya tidak serta merta dapat diterima oleh pihak-pihak tertentu. Sebut saja Mahkamah Agung dalam banyak kisah belakangan ini, justru menunjukkan sikap yang sangat resisten terhadap keberadaan Komisi Yudisial. Umumnya perspektif mereka malah memandang Komisi Yudisial sebagai lembaga yang akan menggerogoti dan mengintervensi institusi peradilan. Terutama ketika Komisi Yudisial meminta agar putusan pengadilan menjadi objek pengawasannya. Pergulatan ini semakin diperparah, ketika Komisi Yudisial meminta perluasan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang dinilai bermasalah. Begitu juga disaat munculnya isu penyusunan kode etik hakim, kedua lembaga ini saling berebut terhadap siapa yang lebih berwenang untuk menyusunnya. Cukup aneh juga ketika Ketua Mahkamah Agung, secara terbuka mempublikasikan dirinya untuk menjabat ketua Komisi Yudisial secara ex ofcio. Di beberapa negara yang mengakui keberadaan adanya Komisi Yudisial, jabatan ketua Komisi Yudisial memang dijabat secara ex ofcio oleh Ketua Mahkamah Agung. Sayangnya, soal seperti ini tidak serta

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

37

merta harus diadopsi secara mentah-mentah mengingat dalam beberapa hal. Pertama, karakteristik pejabat negara kita, punya tradisi cukup buruk dalam soal penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dan biasanya kekuasaan lembaga yang tersentralisasi sangat rentan mencipta oligarki kekuasaan. Kedua, memakai logika kuasa, justru mengaburkan makna pengawasan secara subtil, terutama dalam soal antara yang mengawasi dan diawasi. Ketiga, sangat mencenderai makna demokrasi substantif, dimana aspek kontestasi justru dikebiri sebagai salah satu indikator demokrasi. Di tengah pergulatan panjang ini, dengan sejenak terhenti ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap judicial review atas Pasal 13 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa: 1. Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UUKY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid); UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya; Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan checks and balances antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga menimbul-

2.

3.

38

Bunga Rampai

kan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY dan MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya. Oleh karena itu, segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, Undang-Undang Komisi Yudisial segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan Undang-Undang Komisi Yudisial. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Tugas legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah. MA, KY, dan juga MK merupakan lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang. Bahwa MA, KY, dan juga MK dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan sesuatu undangundang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga MK untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung. www.mahkamahkonstitusi.go.id

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

39

Rekomendasi Mahkamah Konstitusi ini tentu saja menjadi pegangan bagi legislatif maupun eksekutif agar melakukan upaya konkret untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Penyempurnaan terhadap ketentuan ini setidaknya diharapkan dapat memberikan penguatan kelembagaan terhadap Komisi Yudisial sebagai the musketter kekuasaan kehakiman di Indonesia. Menempatkan Komisi Yudisial pada kerangka yang tepat sebagai lembaga pengawas eksternal setidaknya memberi jaminan adanya sisi obyektitas dan memiliki makna yang subtil bagi reformasi peradilan. Sehingga demikian, ke depan Komisi Yudisial bukan lagi menjadi sebuah institusi yang sifatnya auxiliary tetapi harus diletakkan sebagai kekuatan inti dalam penyelenggaraan kekuasan kehakiman. Nasib Komisi Yudisial memang tengah dipertaruhkan; antara menguatkan atau memperlemah. Menguatkan berarti mencipta oase untuk menghidupi kekinian dan masa depan, tetapi melemahkan berarti memberi gerak lahirnya preman tribal atau maa berdasi yang akan melahirkan bangsa barbarism atau manusia penghancur dalam dunia kekuasaan kehakiman. Semua ini akan ditentukan dalam tuturan semantik dari legislatif maupun pemerintah lewat regulasinya. Dengan penuh harap semoga gagasan dan bahasa undang-undang dapat menyibakkan tabirnya untuk suatu keadaban dan keadilan bagi semuanya. Premis di atas kesannya memang sangat dilematis. Menguatkan Komisi Yudisial melalui perluasan wewenang, justru dikhawatirkan akan menggerogoti independensi kekuasaan kehakiman. Ini sangat berpotensial, apalagi bila objek pengawasannya adalah putusan hakim pengadilan. Boleh jadi, pengawasannya terhadap putusan hakim pengadilan justru diinterpretasi atau dipelintir sebagai tindakan intervensi terhadap kemerdekaan hakim. Sementara, memperlemah keberadaan Komisi Yudisial, dikhawatirkan justru semakin memperburuk citra dan menghilangkan wibawa kekuasaan kehakiman di mata publik. Semua ini tentu harus disikapi secara simultan. Dalam makna ketat bahwa pilihan memperkuat atau memperlemah posisi Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan bukan hanya harus mengandalkan perlunya transformasi politik dalam tubuh legislatif maupun eksekutif, tetapi perlunya

40

Bunga Rampai

sinergitas hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam memperbaiki kinerjanya. Transformasi politik yang berlangsung di legislatif maupun eksekutif, tentu saja tidak dilakukan dengan amburadul, yang sekadar melakukan revisi terhadap sejumlah regulasi terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi yang lebih mendasar adalah perlunya melihat kinerja (performance) kedua institusi negara tersebut. Penuturan ini bukan untuk menggiring kedua institusi negara tersebut ke labirin arogansi institusional. Atau menjebaknya ke dalam perebutan kredit point terhadap mana yang lebih baik, tetapi setidaknya sebagai kerangka untuk evaluasi akan makna keberadaannyadi mata publik. Dengan demikian, isu reformasi peradilan sangat relevan kiranya memperhatikan sisi keterkaitan antara transformasi politik dengan tingkat kinerja pelaksana kekuasaan kehakiman selama ini. Rentetan pemikiran ini, sudah tentu bukanlah jalan terakhir bagi sebuah perjuangan. Sisi penjelahan akan konsep Komisi Yudisial yang ideal mesti terus diusung. Walau, butuh energi banyak untuk selalu menafasinya. Pelintasan ruang dan waktu yang terus terbentang, sejatinya cukup penting digunakan untuk membangun ruang-ruang dialogis dalam menemukan makna perubahan yang signikan dalam dunia kekuasaan kehakiman. Dengan segala harap, semoga rute perubahan ini, justru tidak melahirkan kacung-kacung baru dalam dunia kekuasaan kehakiman.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

41

Daftar Pustaka Dahl Robert. 1961. Who Governs? Democracy and Power in an American City. Yale University Press. New Haven Gunawan, Budi. 2006. Koloni Keadilan; Kumpulan Analisis di Majalah Forum. Forum Media Utama. Jakarta Latif, Yudi. 2006. Demokrasi Minus.Visi Volume V, No. 6, 2006 Linz. Juan, Stepan Alfred. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation. Jhon Hopkins University Press. Baltimore Thohari, A. Ahsin. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, hlm. XIII XIV. (http://www.ti.or.id). http://ahmadirfan.wordpress.com www.transparansi.or.id www.mahkamahkonstitusi.go.id

42

Bunga Rampai

Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan Mendayung Diantara Simpati dan Resistensi
Firmansyah Arin*

Pengantar Reformasi peradilan merupakan sebuah keniscayaan. Ia bukan lagi sebuah momentum, tetapi spirit yang terus menggelora ditengah kegalauan publik yang senantiasa mendambakan rasa keadilan. Reformasi peradilan menjadi bagian penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses demokrasi dan gerakan sosial (social movement) yang lebih luas. Karena reformasi peradilan menghendaki lembaga peradilan idealnya dapat dimanfaatkan untuk menjamin perlindungan terhadap kebebasan sipil-politik serta perlindungan sosial-ekonomi rakyat. Bisa jadi, meninggalkan reformasi peradilan mengakibatkan proses demokrasi berjalan tanpa arah, dan gerakan sosial menjadi tertatih-tatih. Sebaliknya, reformasi peradilan akan kehilangan moralitas dan legitimasinya jika mengabaikan issue dan kepentingan hak-hak masyarakat. Pada titik ini, reformasi peradilan perlu diupayakan agar mampu bersinergi dengan kekuatan/kelompok sosial-politik dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang pro-reformasi peradilan. Sejauh ini reformasi peradilan memang telah menghasilkan berbagai perubahan, baik pada tataran kebijakan
* Penulis adalah: Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

43

sampai pembentukan mekanisme dan institusi baru. Termasuk dalam hal ini adalah Komisi Yudisial (KY) yang diperlukan untuk mengawal reformasi peradilan, khususnya yang berkenaan dengan hakim. Namun hampir satu dasawarsa, reformasi peradilan (judicial) berjalan lambat jika dibandingkan proses reformasi pada ranah legislatif dan eksekutif. Bahkan dalam beberapa hal mengalami proses maju mundur (back-forward). Hal itu dapat dilihat pada Komisi Yudisial ketika menjalankan tugas dan kewenangannya. Kehadiran KY memang memberikan harapan akan institusi peradilan yang bersih dan berwibawa, serta bebas dari maa peradilan (judicial corruption). Sepak terjang KY selama 2 tahun terakhir, setidaknya mampu menuai simpati ketika mengusik eksistensi dan kemapanan para hakim. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula resistensi terhadap KY yang hendak mendelegitimasi posisi dan peranan KY, hingga membubarkan KY. Tulisan ini mencoba mereeksikan kembali peranan KY dalam konteks reformasi peradilan. Sejauh mana upaya yang telah dilakukan, apakah cukup efektif untuk mendorong dan memperkuat reformasi peradilan, atau malah sebaliknya. Selanjutnya, mencoba merumuskan kembali peranan dan langkah strategis KY kedepan. Dengan harapan resistensi dapat dieliminir, dan simpati dapat terus diraih dan dikembangkan dalam mengawal reformasi peradilan menuju Negara demokrasi dan rule of law yang dicita-citakan. Misi Penting Reformasi Peradilan Reformasi peradilan mempunyai tujuan dan tugas utama untuk menjamin dan mempertahankan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Gagasan negara hukum mempunyai akar historis dalam perjuangan menegakkan demokrasi. Dalam pengertian yang sederhana, di negara hukum tidak ada warga negara yang berada di atas hukum dan karenanya semua warga negara harus patuh pada hukum. Hukum itu sendiri harus ditentukan oleh warga negara yang tidak lain merupakan pengaturan hubungan di antara sesama warga negara melalui cara dan mekanisme demokrasi (parlemen). Sebagai sebuah sistem politik dan pemerintahan, gagasan demokrasi dan negara hukum dalam perkembangannya

44

Bunga Rampai

didasari gerakan atau dorongan masalah bagaimana melindungi kebebasan individual atau hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang para penguasa. Fokus pada hak asasi itu menjadi dasar normatif bagi gagasan demokrasi dan negara hukum. Dalam pelaksanaannya, menjadi fungsi utama dari pemerintahan demokratis dan pemerintahan berdasarkan atas hukum untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Dengan pengertian lain, demokrasi bukan hanya soal kebebasan sipil dan politik, tetapi mutlak mensyaratkan adanya rule of law. Hukum dibutuhkan untuk memastikan adanya jaminan kapasitas kontrol rakyat terhadap berbagai urusan publik. Lebih dari itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya praktek penegakan hukum yang jelas dan tegas. Tanpa kedua hal tersebut, maka demokrasi hanya akan menjadi sekadar proyek liberalisasi politik, tak bermakna, dan kehilangan esensi keberadaannya. Gagasan negara hukum demokratis tidak hanya menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman (judicial power) adalah kekuasaan yang merdeka (independent) dan tidak memihak (impartial). Tetapi juga ditambah dengan perlunya prosedur perlindungan terhadap hak-hak yang telah dijamin dalam konstitusi. Prosedur yang dimaksudkan salah satunya adalah melalui kewenangan judicial review/constitutional review oleh kekuasaan kehakiman. Melalui peranan para hakim sebagai pelaksana utama dari kekuasaan kehakiman, keadilan yang paling esensiil dapat disentuh berdasarkan atas hak asasi dari warga negara. Independensi kekuasaan kehakiman sebagai sesuatu hal yang prinsipil di dalam negara hukum yang demokratis. Tanpa kehadiran kekuasaan kehakiman yang independen, maka tidak ada demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum (demokratische rechsstaat). Independensi atau kebebasan tersebut dimaksudkan tidak adanya campur tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan. Termasuk pula campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri serta kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara. Independensi di sini sekaligus merupakan independensi personal setiap hakim untuk menjalankan tugasnya tanpa ketakutan dan keberpihakan. Sebab kelengkapan pertama

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

45

dan utama untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independen ada pada hakim. Kedua jenis independensi ini tidak sekedar menuntut jaminan-jaminan konstitusional formal, tetapi juga cara-cara penunjukkan atau pengangkatan hakim dan jaminan keberlangsungan mereka dalam melaksanakan jabatannya (Beetham & Boyle, 2000). Hanya saja sebagaimana mulai dirasakan, independensi tanpa akuntabilitas bisa melangkah terlalu jauh, dan pada akhirnya bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Sebab bukan mustahil ketika independensi kekuasaan kehakiman meningkat, maka akuntabilitas dan legitimasinya menurun. Dalam hal ini dapat dibedakan bahwa independensi merupakan mekanisme kontrol sebelum suatu tindakan yudisial dilakukan yaitu meminimalisir masuknya pengaruh pihak luar terhadap proses pengambilan putusan yang imparsial oleh pengadilan. Sedangkan akuntabilitas diperlukan sebagai mekanisme kontrol setelah suatu tindakan yudisial diambil. Bahwa lembaga peradilan wajib mempertanggungjawabkan baik pelaksanaan fungsi yudisial maupun penyelenggaraan administrasinya. Kedua prinsip tersebut tidaklah bertentangan secara diametral, justru saling menunjang dan memperkuat. Akuntabilitas diperlukan untuk memperkuat independensi, sebaliknya kewajiban lembaga peradilan untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada publik akan dapat mengurangi kerentanan lembaga peradilan dari tekanan pihak luar. Pengawasan sebagai wujud dari akuntabilitas dan bagian dari checks and balances, diperlukan untuk mencapai independensi dan impartialitas peradilan. Karena mengingat belum semuanya para hakim mempraktikkan judicial discretion, yaitu sikap independen dan imparsial dalam memutus suatu perkara. Dalam memutus perkara, seorang hakim harus didasarkan pada intelenjensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin dan bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati dan prasangka, kecuali keinginan besar untuk menegakkan keadilan (Felix Frankfurter, 1993) Oleh karena itu, misi penting bagi reformasi peradilan tidak hanya sebatas menegakkan independensi dan impar-

46

Bunga Rampai

tialitas peradilan sebagai suatu prinsip dalam Negara hukum yang demokratis. Tetapi penting juga bagaimana membangun dan menjaga sistem akuntabilitas dan mekanisme kontrol bagi para hakim agar peradilan tidak memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Setidaknya akuntabilitas dari segi politik, segi sosial/publik, segi hukum bagi hakim baik pejabat negara maupun secara personal (Mauro Cappeletti, 1989). Peradilan Yang Belum Berubah Maa peradilan (judicial corruption) menjadi problem besar yang menimbulkan bobroknya institusi peradilan. Disamping problem lainnya seperti, penumpukan perkara, managemen dan administrasi peradilan yang tidak transparan, minimnya hakim yang berkualitas dan berintegritas, serta putusan yang janggal dan mencederai rasa keadilan. Beberapa studi (Lev, 1990; BK Harman, 1997; KRHN-Leip, 1999; ICW, 2001, Asrun, 2004; Pompe, 2005) telah mendiagnosis, bobroknya institusi peradilan sebagai akibat dari intervensi politik yang begitu panjang yang telah mereduksi independensi dan impartialitas peradilan. Belakangan disadari bahwa intervensi yang bersifat ekonomi juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Intervensi politik, terutama dari eksekutif, tidak lepas dari praktek sistem pemerintahan otoritarian yang diterapkan. Karakter dalam sistem pemerintahan otoritarian selalu menolak adanya checks and balances dan tidak mau mengakui adanya hak asasi manusia. Sedangkan lembaga peradilan hanya menjadi alat untuk menjustikasi dan melegitimasi perilaku kekuasaan eksekutif. Tidak adanya jaminan independensi dalam konstitusi, semakin memudahkan intervensi politik yang membuat lemah kekuasaan peradilan ketika harus vis a vis dengan kekuasaan eksekutif. Pengadilan hanya menjadi abdi kekuasaan ketimbang berpihak pada rakyat, kebenaran dan keadilan. Pada masa-masa itu jangan berharap ada banyak putusan-putusan pengadilan yang progresif dan memberi rasa keadilan. Sangat jarang pula hakim yang punya keberanian untuk melawan setiap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. Yang ada adalah cerita sukses intervensi politik yang dimulai ketika urusan organisasi, administrasi
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

47

dan nansial peradilan berada dalam kekuasaan eksekutif. Selanjutnya putusan-putusan pengadilan mesti mengikuti langgam pembangunan pemerintah, dan para hakim yang lebih disibukkan dengan urusan kesejahteraan dan kepentingan sendiri. Perlahan tapi pasti, pengadilan menjadi institusi yang tertutup, korup dan tidak berwibawa. Ketika momentum perubahan datang, reformasi peradilan dimulai dengan revisi kebijakan satu atap (UU No. 14/1970) yang menempatkan urusan organisasi, administrasi dan nancial menjadi urusan Mahkamah Agung. Revisi tersebut selanjutnya dipertegas, dilengkapi dan diimplementasikan melalui revisi paket UU Bidang Hukum (UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, UU Pengadilan Umum) pada tahun 2004. Revisi terakhir ini dipengaruhi oleh hasil Amandemen UUD 1945, yang telah memberikan jaminan konstitusional prinsip kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman. Selain itu lewat amandemen konstitusi dibentuk lembaga Komisi Yudisial untuk rekruitmen hakim agung dan pengawasan hakim, serta Mahkamah Konstitusi. Bersamaan dengan revisi kebijakan, seleksi hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya sangat tertutup, mulai dilakukan secara terbuka oleh DPR pada 2000 - 2003. Dalam seleksi ini, sejumlah hakim agung non karier yang berasal dari kalangan akademi dan praktisi hukum dipilih dan ditetapkan. Tujuannya bukan hanya sekedar mengisi kekosongan kursi hakim agung, tetapi untuk mendorong perubahan di tubuh internal MA. Seakan tidak mau ketinggalan, MA pun kemudian membuat dan merumuskan sejumlah paket rencana pembaruan yang akan dilakukannya (Blue Print MA, 2003). Sejumlah pengadilan khusus untuk mengadili perkara-perkara seperti pelanggaran HAM, Korupsi, Anak, juga dibentuk melalui undang-undang. Meski berbagai perubahan telah terjadi, fakta lain memperlihatkan kondisi lembaga peradilan masih ditengarai berbagai persoalan yang sangat kontras dengan spirit dan agenda perubahan. Praktik-praktik maa peradilan disinyalir masih berjalan di setiap tahapan, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), sampai MA. Beberapa kasus hanya sebagian kecil yang berhasil terungkap. Seperti kasus panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan yang memeras saksi dalam kasus korupsi PT Jamsostek, dan kasus advo-

48

Bunga Rampai

kat Syaifudin Popon, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh, dua panitera PT Jakarta. Serta kasus Probosutedjo yang mencoba menyuap majelis hakim di MA dengan uang milyaran rupiah, dengan tersangka Harini Wijoso dan beberapa pegawai MA. Dari sejumlah kasus yang terungkap nampaknya belum membuat kapok para Maoso peradilan. Sementara pengawasan internal oleh MA sudah terbukti tidak efektif memberikan efek jera bagi para hakim dan pegawai pengadilan, apalagi dilakukan secara tidak transparan. Putusan-putusan pengadilan, terutama dalam kasus korupsi dan HAM, belum bisa memberikan rasa keadilan karena seringkali dengan mudah memberikan putusan bebas bagi para pelakunya. Malah dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, hampir semua terdakwanya kemudian diputus bebas oleh MA. Fakta-fakta tersebut semakin membuat institusi peradilan terperosok dalam lubang kegelapan yang seakan-akan sulit untuk keluar. Pada Mei 2007, Transparancy International Indonesia (TII) mengeluarkan hasil survey tentang korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan. Dari survey tersebut, pengadilan menempati urutan teratas untuk inisiatif melakukan suap. Posisi ini nampaknya tidak beranjak jauh dari hasil survey TII sebelumnya, yang dilakukan secara rutin setiap tahun. Hasil survey ini melengkapi sejumlah survey atau polling yang telah dilakukan berbagai pihak, yang masih menunjukkan bobroknya institusi peradilan. Dan itu berarti bahwa lembaga peradilan memang belum mengalami perubahan yang signikan. Masih terjadi krisis kepercayaan, meski berbagai upaya perubahan telah dilakukan sejak reformasi 1998. Memaknai Kehadiran Komisi Yudisial Komisi Yudisial (KY) lahir dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pasal 24B UUD 1945 menempatkan KY sebagai Lembaga Negara yang bersifat mandiri, dan memiliki kewenangan mengusulkan calon hakim agung serta kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi KY untuk memainkan peranan yang sangat penting dan strategis dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka didalam
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

49

konteks negara hukum. Meski KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu fungsi pengawasan. Lahirnya KY dari rahim konstitusi dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk membangun sistem pengawasan hakim yang lebih efektif dan konstruktif. Alasannya, mekanisme pengawasan hakim yang ada mengandung sejumlah kelemahan. Pengawasan hakim yang dijalankan MA sangat tertutup, tidak accountable, dan cenderung mengedepankan esprit decorps. Kondisi pengawasan seperti itu diakui sendiri oleh MA, yang pada gilirannya menyuburkan judicial corruption di tubuh institusi pengadilan. Faktor lain yang mendorong kelahiran KY adalah kebutuhan untuk membangun sistem seleksi hakim agung yang lebih obyektif, transparan dan partisipatif. Dalam sistem seleksi semacam ini diharapkan dapat dieliminir politisasi dalam penentuan calon hakim agung. Masyarakat pun dapat terlibat secara aktif untuk memantau dan menilai secara kritis terhadap proses serta track record para calon hakim agung. Sehingga hakim agung yang dihasilkan memiliki integritas, kredible dan dapat memegang teguh prinsip independensi dan imparsial dalam membuat putusan (Blue Print MA, 2003; Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial, 2004). Intinya, kebutuhan KY dilandasi oleh spirit untuk mendorong dan membangun sistem dan pelaksana kekuasaan kehakiman lebih bersih, independen dan bertanggungjawab (accountable). UU No. 22/2004 tentang KY kemudian menambahkan bahwa, obyek pengawasan KY terhadap hakim meliputi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, serta hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu dalam konteks wewenang pengawasan, KY dapat menerima laporan dari masyarakat, meminta laporan tentang perilaku hakim, melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap hakim, dan memberikan usul pemberian sanksi (punishment) dan penghargaan (reward). Dapat dikatakan bahwa fungsi pengawasan inilah yang paling sering akan dilakukan oleh KY. Jika memperhatikan alasan-alasan pembentukan Komisi Yudisial tersebut di atas, jelas bahwa Komisi Yudisial memi-

50

Bunga Rampai

liki dua fungsi penting dalam upaya penegakan hukum dan keadilan di Indonesia: pertama, Komisi Yudisial berfungsi untuk merepresentasikan kontrol publik ke dalam lembaga peradilan. Kedua, bersama-sama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial berperan untuk membentuk (reshaping) peradilan di Indonesia. Mengembalikan rasa percaya publik pada kemampuan lembaga peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan. Komisi Yudisial diberi tanggung jawab konstitusional untuk mengontrol kinerja dan perilaku para hakim; sang ujung tombak penegakan hukum di lembaga peradilan (A. Nababan, 2006). Pembentukan KY ini sejalan dengan spirit dari perubahan (amandemen) UUD 1945. Spirit perubahan yang hendak memperkuat checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Spirit perubahan ini mengubah paradigma dan praktek kekuasaan negara yang selama ini cenderung executive heavy atau legislative heavy. Perubahan paradigma konstitusi tersebut, telah mendudukan posisi dan kekuasaan lembaga-lembaga negara menjadi setara dan seimbang. Tidak ada lagi lembaga tertinggi dan tinggi negara. Yang dilihat adalah fungsi dan kewenangan yang telah diberikan, dan diperlukan dalam menjalankan checks and balances. Dalam kerangka perubahan itu, kewajiban untuk menjaga dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independency of judiciary) bukanlah semata-mata menjadi tugas dan tanggungjawab MA dan MK. Tugas dan tanggungjawab itu juga menjadi kewajiban DPR bersama Presiden. Ini adalah sebuah moralitas konstitusi dari kedua lembaga tersebut, yang tercermin dari sumpah jabatan dan representasi suara rakyat yang telah memilih secara langsung. Tugas dan tanggungjawab tersebut tidaklah berakhir ketika DPR bersama Presiden telah memilih dan menetapkan calon hakim agung, ataupun keduanya telah membuat UU yang mendukung independensi peradilan. Akan tetapi tugas dan tanggungjawab itu, haruslah senantiasa hadir ketika citacita atau ideologi independensi dan imparsialitas peradilan tidak bisa dijaga dan ditegakkan sendiri oleh MA dan MK. Dalam hal itu, KY sesungguhnya merupakan mitra strategis dari DPR dan Presiden untuk melakukan dan mem-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

51

perkuat kontrol (checks and balances) terhadap MA dan MK. Pembentukan KY dan juga Komisi-Komisi independen lainnya adalah dimaksudkan sebagai Institutional Watchdog. Fungsinya adalah untuk memperkuat checks and balances, membangun akuntabilitas dan memperluas partisipasi masyarakat. Melalui kewenangannya, KY punya peran sinergis bersama DPR dan Presiden untuk mendapatkan calon hakim agung yang kredibel dan berintegritas. Melalui KY diharapkan pula harkat, martabat dan perilaku para hakim dapat terjaga. Dengan berpijak pada kerangka konstitusional di atas, kehadiran dan wewenang yang diberikan kepada KY merupakan mosi tidak percaya terhadap institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, khususnya MA. Jika dijabarkan mosi tidak percaya itu, pengawasan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, harkat martabat dan perilaku hakim oleh KY merupakan bentuk penolakan terhadap pengawasan internal yang sebelumnya dinilai tidak efektif. Dalam pengertian lain, hanya KY satu-satunya lembaga yang diberi mandat oleh konstitusi untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Dalam batas-batas tertentu, mosi tidak percaya itu dapat dilihat bahwa pemberian wewenang KY merupakan atribusi kewenangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol atau checks and balances terhadap kekuasaan yudikatif. Fungsi kontrol yang sedapat mungkin bisa menyeimbangkan terjaganya independensi hakim dengan akuntabilitas yang mesti dibangun, guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh institusi peradilan. KY dimaksudkan untuk memperkuat checks and balances bagi kekuasaan kehakiman. Mosi tidak percaya itu dapat ditunjukkan pula dari posisi Ketua MA yang bukan sekaligus ex ofcio Ketua KY sebagaimana Judisial Commission di berbagai negara. Jelas terlihat bahwa KY memiliki peranan penting untuk mendorong para hakim menjadi lebih bermartabat, professional dan terpuji. Dalam hal ini KY menjadi lembaga eksternal yang selalu melakukan pengawasan para hakim, selain rekruitmen bagi hakim agung. KY harus menjamin judicial discretion bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus bebas dari intervensi baik berupa ancaman, tekanan, janji-

52

Bunga Rampai

janji, dan simpati. Semua itu bertujuan untuk menegakkan keadilan. Dengan legitimasi dari konstitusi, KY memiliki peranan strategis untuk memperkuat proses reformasi peradilan yang belum selesai. Keberadaan dan kehadiran KY memberikan harapan kembali akan peradilan yang bersih, berwibawa dan memberikan rasa keadilan dengan hakim yang berintegritas dan progressif. Setelah sekian lama institusi peradilan mengalami krisis kepercayaan sebagai akibat penyakit judicial corruption yang sudah demikian akut. KY Menuai Simpati dan Resistensi Komisi Yudisial terbentuk pada 2 Agustus 2005, sejak tujuh (7) orang anggotanya diangkat dan disahkan oleh Presiden. Keanggotaan KY terdiri atas unsur akademisi, praktisi hukum, mantan hakim dan jaksa serta masyarakat. Dan untuk pertama kali, KY dipimpin oleh M. Busyro Muqoddas seorang akademisi sekaligus advokat yang mendapat suara terbanyak dalam proses pemilihan di DPR. Setelah terbentuk, KY mulai membangun perangkat-perangkat organisasi, diantaranya menyusun visi-misi organisasi, pembentukan peraturan yang diperlukan sebagai landasan, serta pembentukan sekretariat jenderal beserta struktur organisasi maupun personalianya. Intinya, KY sudah mulai membangun capacity building yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Sebagai landasan bagi pelaksanaan kewenangan dan pengembangan organisasi, KY merumuskan visinya Menjadikan hakim sebagai insan pengabdi dan penegak keadilan. Sedangkan misinya; (1) Menyiapkan Hakim Agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten; (2) Melaksanakan pengawasan peradilan yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya; (3) Mengembangkan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan keadilan. Visi-misi itu nampaknya sejalan dengan mandat yang diberikan konstitusi, bahwa tugas pokok yang akan dijalankan secara rutin oleh KY adalah melakukan pengawasan atau kontrol bagi hakim. Namun demikian, bukan suatu hal yang mudah bagi KY ketika menjalankan fungsi dan kewenangannya ataupun mewujudkan visi-misinya. Disatu sisi langkah-langkah dan kebijakan yang diambil KY dapat memberikan inspirasi dan
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

53

simpati yang mendapat dukungan dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan akademisi, NGO dan sebagian anggota DPR. Tetapi bersamaan dengan itu, muncul resistensi yang tidak bisa dihindarkan, baik yang bersifat individual maupun organisasional. Simpati dan resistensi ini dapat tergambar dari sejumlah issue atau masalah yang muncul ke publik selama kurang lebih 2 tahun belakangan ini; 1. Issue Kocok Ulang Hakim Agung Pada awal Januari 2006, KY melontarkan ide seleksi ulang (kocok ulang) hakim agung. Ide ini berangkat dari pemikiran KY yang melihat bahwa problem riil maa peradilan yang menjadi penyebab keterpurukan lembaga peradilan adalah tidak berjalannya managemen kepemimpinan di MA. Atau dengan kata lain, leadership di MA sangat lemah. Oleh karena itu, solusinya adalah perlu ada penguatan kepemimpinan di MA melalui seleksi ulang hakim agung. Melalui kocok ulang hakim agung ini diharapkan akan ada regenerasi dan refresh kepemimpinan MA. Ide kocok ulang ini sempat disampaikan kepada Presiden SBY. Dikabarkan presiden menyetujui dan telah memerintahkan Mentri Hukum dan HAM (Menhuk-HAM) Hamid Awaluddin untuk membuatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nya sebagai payung hukumnya. Seakan gayung bersambut, KY pun menyiapkan pula draft Perpu untuk Seleksi Ulang Hakim Agung. Tentu saja ide kocok ulang ini mengundang pro-kontra. Sebagian publik, termasuk penulis, menilai bahwa ide ini sangat progressif. Karena memang sama-sama disadari bahwa tidak ada perubahan yang signikan dari kepemimpinan MA terhadap problem-problem peradilan, meski para pemimpin ataupun Ketua MA merupakan buah dari proses reformasi. Dan melalui Perpu, karena setidaknya ini merupakan terobosan yang harus dilakukan Presiden kemudian disahkan oleh DPR, sebagai bagian dari checks and balances terhadap kekuasaan yudisial. Sebagian yang kontra menilai bahwa ide ini tidak mendasar, dan mempertanyakan apa alasannya bahwa hakim agung yang ada sekarang ini harus diseleksi ulang. Tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk melakukan itu. Dan menyerahkan proses seleksi ulang hakim agung ini melalui Perpu, akan mendorong presiden menjadi otoriter. Bisa

54

Bunga Rampai

jadi ide kocok ulang ini menjadi bibit awal permusuhan atau resistensi dari kalangan hakim agung. Ide kocok ulang hakim agung memang sempat membuat kejutan banyak pihak, termasuk para hakim agung yang jelas dan pasti menolak. Ide ini pada akhirnya tidak sempat direalisasikan. Meski KY telah menyerahkan draft Perpu ke tangan pemerintah, Presiden tidak jelas sikapnya dan Menhuk-HAM belakangan membantah bahwa dirinya telah diminta presiden untuk membuat Perpu Seleksi Ulang Hakim Agung. 2. Issue Pengawasan Hakim Sejak KY terbentuk, masyarakat dengan antusias melaporkan hakim-hakim yang dinilai menyimpang dan tidak sensitif terhadap rasa keadilan. Dari Agustus 2005 - Juni 2006 (sebelum putusan MK), KY telah menerima 754 laporan dari berbagai kalangan masyarakat. Sedangkan sampai Desember 2006 (pascaputusan MK), diinformasikan bahwa KY telah menerima 28 laporan. Dari 754 laporan tersebut, KY telah memeriksa dan memproses 333 laporan atau pengaduan hakim. Sebagian lainnya tidak ditindaklanjuti, sedang dalam proses, dan ada yang dicabut kembali. Dari 333 laporan tersebut, 18 hakim telah direkomendasikan KY kepada Pimpinan/Ketua MA (Laporan Tahunan KY, 2006).
Jumlah Hakim 4 3 1 3 2 2 Asal Pengadilan PN Bogor PT Banten PN Stabat PN Jakarta Selatan PN Jakarta Pusat PT Bandung

Tabel: Jumlah Hakim Yang Mendapat Rekomendasi

Selain laporan tersebut, KY secara proaktif melakukan penanganan beberapa kasus dugaan pelanggaran perilaku hakim, antara lain: Pemeriksaan terhadap hakim yang mengadili kasus
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

55

sengketa Pilkada (Depok, Bandung, Sukabumi, Selayar, Sumbawa, Musi Rawas, Banyuwangi) Pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Tinggi Banten yang mengadili kasus korupsi di Lingkungan DPRD Propinsi Banten Pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang mengadili kasus narkoba dengan terdakwa Michellle Leslie. Pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Tipikor yang mengadili kasus korupsi dengan terdakwa Harini Wijoso Pemeriksaan terhadap hakim Pengadilan Negeri Stabat yang mengadili kasus anak dengan terdakwa Raju. Pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili kasus korupsi dengan terdakwa ECW Neloe. Pemeriksaan terhadap majelis hakim PN Semarang yang mengadili kasus korupsi, yang menjatuhkan hukuman di bawah hukuman minimal.

Sepak terjang KY dalam melakukan pengawasan, bisa dikatakan sangat positif, karena setidaknya bisa menimbulkan shock therapy dikalangan hakim. Dalam hal ini KY cukup berhasil meraih simpati dari publik, dan mengajak publik untuk senantiasa memusuhi hakim yang berperilaku menyimpang. Kendati demikian, simpati dari berbagai kalangan juga dibarengi dengan sikap sebaliknya yang secara terang-terangan diperlihakan oleh kalangan hakim, terutama hakim agung. Setidaknya ada 2 hal yang selalu dipersoalkan para hakim kepada KY dalam melakukan pengawasan ini, yaitu obyek yang diperiksa dan cara pemeriksaan yang dilakukan. Para hakim berpendapat bahwa putusan tidak bisa menjadi obyek pengawasan KY. KY tidak berwenang memeriksa putusan hakim. Sedangkan KY bersikap sebaliknya, bahwa putusan itu dapat menjadi pintu masuk (entry point) untuk melihat ada tidaknya penyimpangan atau tidak. Sudah menjadi rahasia umum kalau putusan itu dapat disesuaikan dengan keinginan yang memesan, dengan memainkan norma-norma hukum dan penafsiran hukum. Sedangkan dalam hal cara, KY dinilai telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik hakim. Karena

56

Bunga Rampai

kerapkali nama-nama hakim yang dilaporkan dan sedang dalam proses pemeriksaan terpublikasikan ke media massa. Untuk mencari titik temu dalam soal obyek dan metode pengawasan, dilakukan pertemuan antara KY dengan MA. Namun nampaknya tidak membawa hasil. Yang terjadi malah konik terbuka antara MA-KY. Semua rekomendasi yang disampaikan KY kepada MA, tidak ada satupun yang ditindaklanjuti oleh MA. Bahkan secara terang-terangan pimpinan MA menolak dan mengabaikan rekomendasi dari KY. Tidak cukup dengan hal itu, sejumlah hakim agung yang merasa nama baiknya tercemar oleh KY, sempat mengadukan anggota KY ke Kepolisian, meski pada akhirnya bisa berdamai. Namun gesekan antara MA-KY tetap berlanjut, dan puncaknya adalah ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU KY ke Mahkamah Konstitusi. Para hakim agung itu dengan didampingi sejumlah advokat (OC Kaligis, Indriyanto Seno Adji, dll) meminta MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU KY terkait dengan fungsi pengawasan hakim karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pengajuan judicial review ini dikhawatirkan meniadakan fungsi pengawasan hakim dan jelas menghambat upaya pemberantasan maa peradilan. Kekhawatiran ini mengundang sejumlah lembaga swadaya masyarakat (KRHN, ICW, LBH Jakarta dan Kontras) mengajukan permohonan menjadi pihak terkait tidak langsung. Sayangnya putusan MK berbicara lain. MK dalam putusannya mengabulkan hampir semua permohonan. Akibatnya, KY kehilangan kekuatan untuk melakukan pengawasan hakim. KY untuk sementara tidak bisa lagi melakukan usul penjatuhan sanksi, membuat laporan hasil pemeriksaan, memaksa badan peradilan lain atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta, usul pemberhentian hakim kepada presiden sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. Termasuk dalam putusan ini, MK juga menolak hakim konstitusi menjadi bagian dari pengawasan KY. Putusan MK itu tidak hanya menghambat kerja-kerja KY dalam pengawasan hakim, tapi juga merugikan para pencari keadilan. Meski demikian, putusan MK ini mendorong simpati publik terhadap KY. Setidaknya pasca putusan MK, KY se-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

57

perti mendapat energi baru untuk menggalang berbagai potensi kekuatan dalam masyarakat, dan hal ini posititif. KY terlihat begitu rajin membuat kegiatan dan perjanjian kerjasama (MoU) dengan berbagai pihak (akademisi/PT, lembaga Negara, ormas, NGO, lembaga keagamaan, organisasi profesi). Tercatat sudah lebih dari 100 perjanjian kerjasama yang ditandatangani. Setidaknya itu bisa menjadi kekuatan potensial untuk memperkuat peranan KY, terutama dalam mengawal revisi UU KY. Issue Revisi UU KY Sebagai akibat dari putusan MK, UU KY bersama sejumlah UU lain yang terkait (UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU MK) mesti direvisi. Setidaknya perintah langsung putusan MK adalah meminta DPR dan Pemerintah untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undang-undang tersebut. Revisi UU KY ini bisa menjadi peluang untuk memperbaiki dan memperkuat kembali wewenang pengawasan KY. Sayangnya sampai saat ini tidak jelas kapan revisi UU KY akan diproses, padahal putusan MK telah dijatuhkan sejak Agustus 2006. KY sendiri telah menyiapkan usulan pasal-pasal yang harus direvisi, lengkap dengan naskah akademisnya. Dalam konteks ini dukungan juga bermunculan, seperti rekomendasi dari Lokakarya Dosen HTN Indonesia Wilayah Barat pada 22 Maret 2007. Butir-butir penting dari rekomendasi itu yang dapat memperkuat peranan KY diantaranya adalah; putusan dapat ditelaah oleh KY sebagai entry point ada tidaknya pelanggaran hakim, sanksi dari KY bersifat mengikat dan disampaikan langsung kepada Presiden, meminta pembentukan KY di daerah-daerah untuk mempercepat reformasi peradilan dan mendukung sepenuhnya percepatan revisi UU No. 22/2004 tentang KY (Buletin KY, Vol I No. 5, April 2007) Disisi lain, MA sempat beberapa kali mengeluarkan statement atau pernyataan lewat media masa. Misalnya, usul tentang sebaiknya pengawasan KY hanya untuk hakim dan tidak untuk mengawasi hakim agung. Atau Ketua MA sebaiknya ex ofcio sebagai Ketua KY, dan pengawasan KY diintegrasikan dalam pengawasan internal di MA. Usul atau pandangan ini memang terkesan hendak memdelegitimasi posisi dan peranan KY. Namun bisa jadi kemungkinan itu 3.

58

Bunga Rampai

berhasil jika tidak ada pengawalan yang baik terhadap revisi UU KY, mengingat tidak semua anggota DPR pro terhadap reformasi peradilan. Sebagaimana pernah diakui sendiri oleh seorang anggota DPR yang menyatakan hampir 80% anggota DPR tidak pro-reformasi peradilan, lainnya menyatakan hanya 50%. (F. Arin, makalah, 2006). 4. Issue Seleksi Hakim Agung Proses seleksi Hakim Agung diawali dengan surat dari MA yang memberitahukan tentang Hakim Agung yang akan pensiun pada tahun 2006. Dan selanjutnya sesuai kesepakatan dengan pimpinan MA, akan diusulkan sejumlah calon Hakim Agung untuk mengisi formasi 6 orang Hakim Agung. KY harus mengusulkan 3 kali lipatnya kepada DPR, sebagaimana ditentukan dalam UU KY. Kemudian DPR memilih dan memutuskan 6 dari 18 calon hakim agung, dan selanjutnya diserahkan kepada Presiden untuk ditetapkan. Kewenangan dalam menyeleksi Hakim Agung ini merupakan kali pertama dilakukan lewat KY, yang diharapkan dapat lebih baik dari proses seleksi yang sebelumnya dilakukan oleh DPR. Ini tentu saja taruhan besar bagi KY. Jika hasil seleksi hakim agung KY lebih baik, KY tentunya mendapat appreciate yang tinggi. Jika sebaliknya, bisa jadi performance dan kredibilitas KY akan diragukan publik. Berbeda dengan proses sebelumnya, seleksi hakim agung kali ini terdiri dari beberapa tahapan; seleksi administratif, penilaian karya ilmiah, dan kesehatan, seleksi kepribadian/prole assessment, dan seleksi kualitas/wawancara. Kecuali tahap seleksi wawancara, dalam setiap tahapan lainnya, KY melibatkan sejumlah pihak yang dianggap kompeten untuk menangani hal itu. Termasuk dalam hal ini usul dan laporan dari masyarakat tentang track record masing-masing calon. Dengan mengedepankan soal integritas dan kualitas, KY kemudian mengabaikan soal kuantitas dalam menentukan hasilnya. Dari 130 bakal calon yang mendaftar, pada akhirnya KY memutus 6 orang calon yang dinilai layak untuk disampaikan kepada DPR. Hasil ini mengundang kontroversi, karena KY meloloskan Ahmad Ali seorang calon yang dianggap berperilaku tidak terpuji dan diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi. Apalagi keputusan meloloskan Ahmad Ali ini dilakukan dengan cara voting, 2 menolak dan 5 meloloskan. Akibatnya KY mendapat banyak kritik yang memperKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

59

tanyakan metode dan keputusan dalam seleksi hakim agung ini. Hasil itu juga tidak sepenuhnya diterima oleh DPR. DPR meminta KY untuk melengkapi kekurangannya bahwa KY harus mengusulkan 3 kali lipat dari yang dibutuhkan. DPR tidak akan memilih dan memutuskan hasil dari KY sebelum KY melengkapinya. Sikap DPR ini memaksa KY untuk melakukan seleksi hakim agung tahap kedua. Walaupun kemudian KY telah melengkapi jumlah kekurangannya, namun nampaknya DPR tidak cukup puas dengan calon hakim yang dihasilkan KY. Sejumlah anggota komisi hukum DPR yang melakukan t and proper test calon hakim agung, beranggapan calon hakim agung yang dihasilkan KY tidak berkualitas. Kritik juga terlontar terhadap anggaran sebesar + Rp. 4 miliar yang digunakan dalam seluruh proses seleksi hakim agung. Issue anggaran ini menjadi bola panas, dan menuai kritik dari sejumlah pihak (DPR dan MA). Mereka mempertanyakan besarnya anggaran yang digunakan, dan mengganggap tidak sebanding dengan hasilnya. Meski telah dijelaskan secara terbuka, dan pada seleksi kedua terjadi perubahan metode/tahapan agar bisa mengurangi anggaran yang digunakan, tapi nampaknya tidak cukup berhasil untuk menepis issue anggaran yang dianggap terlalu boros. Bagi sejumlah kalangan, peranan KY dalam melakukan seleksi hakim agung ini memang diluar harapan. Ada sejumlah persoalan yang tidak bisa dijelaskan dan dijawab dengan baik, terutama menyangkut soal konsistensi antara tujuan dengan hasil seleksi. Dalam hal ini KY selalu menyatakan lebih mengedepankan integritas dan kualitas. Namun ternyata, ada beberapa calon Hakim Agung yang kemudian diragukan kapasitas dan integritasnya. Nampaknya peranan KY dalam seleksi Hakim Agung ini, menggoyahkan simpati terhadap KY yang sudah terbangun. Mengelola Simpati, Meminimalisir Resistensi Keberadaan dan kehadiran KY dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia, memang memberikan harapan akan perbaikan sistem peradilan. Dalam dua tahun KY menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya, menunjukkan bahwa KY memiliki peranan yang signikan dan strate-

60

Bunga Rampai

gis untuk mendorong dan memperkuat reformasi peradilan. Dengan kata lain, KY akan menjadi pengawal setia reformasi peradilan, khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan integritas para hakim. Meski terbatas, selama ini KY cukup berhasil untuk meng-entertaint fungsi dan kewenangannya. Setidaknya hal itu dapat terlihat dari pemberitaan yang muncul mengenai sepak terjang KY lengkap dengan konik yang terjadi diseputarnya. Ini suatu hal yang positif bagi sebuah lembaga baru, sehingga publik banyak mengenal dan mengetahui tentang KY. Ditambah upaya dari KY sendiri yang memperluas jejaring kelembagaannya dengan banyak lembaga/organisasi. Sehingga KY tidak hanya menuai simpati, tetapi juga dukungan riil dari berbagai kalangan. Simpati dan dukungan itu setidaknya dapat terlihat dari NGO, akademisi, kampus, praktisi/pengamat hukum, tokoh masyarakat/agama, ormas, sebagian anggota DPR, lembaga Negara/pemerintah, organisasi profesi serta pers. Pada saat yang bersamaan upaya perlawanan atau resistensi terhadap KY juga bermunculan. Resistensi muncul terutama dari kalangan hakim dan unsur/pihak MA, yang merasa eksistensi dan kemapanannya terusik dengan kehadiran KY. Sebagaimana tergambar di atas, upaya perlawanan itu dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari membangun opini, penolakan rekomendasi sampai langkah dan upaya hukum untuk mendelegitimasi keberadaan KY. Dalam hal-hal tertentu, resistensi juga muncul dari sebagian anggota legislatif dan kalangan advokat, yang khawatir dengan peranan KY dapat mengganggu kepentingan mereka. Resistensi dari sejumlah pihak dengan berbagai bentuknya itu, nampaknya sudah menunjukkan watak sesungguhnya yang anti terhadap perubahan. Terhadap resistensi itu, nampaknya KY belum bisa sepenuhnya meng-counter dan menjadikan hal itu menjadi issue publik. Misalnya, penolakan terhadap rekomendasi KY dapat dijadikan issue pejabat Negara yang tidak patuh pada aturan hukum. Lambannya revisi UU KY dapat dikemas menjadi issue hambatan dalam pemberantasan maa peradilan. Juga terhadap issue anggaran seleksi Hakim Agung, dapat dilawan dengan minimnya anggaran untuk bidang hukum atau peradilan. Karena selama ini terjadi diskriminasi angga-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

61

ran untuk kekuasaan yudisial jika dibandingkan anggaran untuk legislatif dan eksekutif. Pada sejumlah issue-issue tersebut di atas, KY juga tidak memaksimalkan simpati dan jejaring yang telah didapat untuk memberikan dukungan yang diperlukan. Entah dikemanakan banyak pihak yang telah mengikat kerjasama dengan KY. KY belum cukup berhasil mengelola simpati dan jejaring untuk melegitimasi dan memperkuat peranan KY. Disamping itu, nampaknya kondisi internal KY belum cukup kuat dan solid untuk memanage potensi kekuatan dengan tantangan yang ada, dan menjadikannya sebuah peluang yang dapat diambil. Termasuk dalam hal ini dalam memanage potensi konik, membangun opini publik dan memaksimalkan kapasitas sumber daya manusia yang ada. Sebagai lembaga komisi independen yang baru terbentuk, memang tidak mudah untuk menjalankan fungsi dan kewenangannya. Umumnya hal ini terjadi pada lembagalembaga komisi independen yang telah terbentuk. Apalagi dengan kewenangan yang terbatas, lemahnya komitmen dan political will, serta arus balik anti reformasi yang sudah mulai melakukan konsolidasi dan menguat. Kebanyakan tidak cukup berhasil untuk mengelola kewenangannya dengan baik, bahkan ada beberapa diantaranya mengalami krisis kelembagaan dan terancam bubar. Tetapi hal itu nampaknya tidak demikian bagi KY. Perlu diingat, bahwa KY memiliki legitimasi yang kuat sebagai satu-satunya lembaga komisi independen yang diatur tegas dalam konstitusi. Pengaturan dalam konstitusi membuat keberadaan KY lebih terjamin. Karena itu kecil kemungkinan KY dapat mengalami seperti halnya lembaga komisi independen lainnya. KY harus menghindari itu, dan menjadi lembaga yang seolah-olah ada, serta cenderung birokratis. Kedepan KY perlu mengelola simpati lebih baik lagi agar menjadi lebih produktif dan mendukung kerja-kerja KY. Sejalan dengan hal itu, perlu diminimalisir hal-hal yang dapat menuai resistensi dari berbagai kalangan terutama para hakim. Sekalipun terjadi, sedapat mungkin dieliminasi agar tidak mendelegitimasi posisi dan peranan KY Usaha tersebut mengharuskan peran serta dari sejumlah pihak yang punya kewajiban dan kewenangan memperbaiki dan men-support peranan KY. Tidak bisa dilakukan oleh KY

62

Bunga Rampai

sendiri. Oleh karena itu, agar performance KY lebih baik lagi, yang perlu dilakukan kedepan adalah sebagai berikut; 1. 2. mendorong dan menjadikan issue/masalah KY menjadi issue publik, sehingga simpati yang telah diraih dapat lebih konkrit dan diperluas. memaksimalkan peranan jejaring yang telah ada dengan men-desentralisasi kewenangan KY terutama kewenangan mengawasi hakim. Untuk hal ini setidaknya dapat dibentuk segera perwakilan KY di sejumlah daerah yang rawan maa peradilan, serta terdapat jejaring yang cukup potensial dan mampu menjalankan desentralisasi kewenangan itu. menyiapkan perangkat-perangkat organisasi, terutama regulasi internal yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan kewenangan KY, terlebih penting dapat membuat KY lebih transparan, akuntable dan legitimate dimata publik. menyusun code of conduct yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan indikator dalam hal pengawasan hakim. Untuk hal ini ada baiknya disusun secara bersama dengan MA. memperkuat fungsi dan peranan KY di dalam revisi UU KY, terutama menyangkut soal pengawasan hakim dapat dilakukan secara efektif. Dalam hal ini setidaknya KY dapat memberikan sanksi yang bersifat mengikat kepada Presiden tentang hakim yang terbukti melanggar perilaku. melakukan kampaye dan pendidikan kepada publik untuk terus-menerus secara konsisten memerangi dan melawan maa peradilan. Termasuk dalam hal ini meminta kepada DPR dan Presiden agar sungguh-sungguh melakukan pemberantasan maa peradilan sebagai bagian dari upaya memberantas korupsi.

3.

4.

5.

6.

Epilog Sungguhpun disadari dan dirasakan bahwa membangun sistem peradilan yang baik dan bersih dengan melawan judicial corruption yang telah berurat akar didalamnya, tidak semudah membalik telapan tangan. Tidak segampang yang telah dibayangkan dan direncanakan, akan tetapi upaya ini harus tetap terus dilakukan. Keberadaan dan kehadiran
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

63

Komisi Yudisial memberikan harapan dan arti penting untuk tetap menjaga dan merawat upaya reformasi peradilan. Upaya yang barangkali tidak pernah diketahui kapan akan berhenti, demi tujuan mulia menegakkan kebenaran dan keadilan. Sejauh ini peranan Komisi Yudisial dapat menjadi spirit dan inspirasi dalam melanjutkan reformasi peradilan. Setidaknya melalui pengawasan para hakim dan menyiapkan hakim agar lebih berkualitas, professional, terpuji dan berpihak pada keadilan. Betapapun kemudian upaya yang dilakukan KY tidak mulus, karena adanya resistensi yang menghambat kerja-kerja KY sekalipun simpati dan dukungan juga bermunculan. Terlihat tidak mudah bagi KY untuk mendayung diantara simpati dan resistensi dalam mengawal reformasi peradilan. Namun yang jelas dan pasti para pencari keadilan masih tertindas dan merasakan ketidakadilan. Suatu kondisi yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus dihentikan. Mengingat KY memiliki peranan strategis dalam mengawal reformasi peradilan, maka sudah sepatutnya peranan KY perlu diperkuat kedepan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan tidak hanya ditujukan kepada KY, tetapi juga DPR dan Presiden sebagai penerima langsung mandat rakyat yang sudah rindu akan penegakan hukum dan keadilan. Semoga tidak menjadi sebatas harapan.

64

Bunga Rampai

Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan


Oleh Satjipto Rahardjo

Latar Belakang Reformasi Reformasi suatu peradilan tentu memiliki alasan mengapa peradilan harus direformasi. Sejak peradilan itu memiliki beberapa komponen, maka reformasi tentunya akan menyangkut pula sekalian komponen dari peradilan, seperti pengadilan sendiri, kejaksaan dan advokat. Kecuali alasan empirik, reformasi juga terkait pada masalah sistem. Alasan empirik bergerak pada ranah praksis peradilan sehari-hari, seperti produk, kinerja (performance), serta tingkat kepuasan publik. Sekalian institut dalam peradilan memiliki standar masing-masing yang digunakan untuk melakukan penilaian. Ini dinamakan standar internal. Sejak suatu institut tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan berada dalam jagat yang lebih luas, maka penilaian berdasar standar internal saja tidaklah cukup. Terdapat interaksi antara institut dan publik, oleh karena institut itu ada untuk melayani publik. Interaksi ada secara laten (latent), kapanpun juga. Tetapi ia menjadi lebih intensif sejak kelahiran apa yang dinamakan Orde Reformasi dengan kredo demokratisasi, desentralisasi kekuasaan, serta transparansi. Di sini peranan publik makin mendapat angin dan terus merangsek maju, sehingga hampir tidak ada putusan publik yang tidak didemo. Alasan empirik yang didorong oleh keterbukaan tersebut, menemukan banyak kekurangan dan hal-hal negatif di peradilan. Tuntutan transparansi tersebut membuka keKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

65

sempatan yang luas untuk melakukan eksaminasi terhadap praksis dan jalannya peradilan, sehingga tidak ada borok yang bagaimana kecilpun yang tidak menerima sorotan dari masyarakat. Sejumlah besar kejadian telah berhasil dihimpun oleh institut-institut independen, seperti ICW, Lembaga Pemantau Peradilan dan Transparensi Internasional, yang memberi alasan kuat untuk melakukan reformasi peradilan. Pada ranah dan aras sistem, maka reformasi dikaitkan kepada rancangan sistem atau bangunan peradilan yang berawal dari Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan bagaimana sistem peradilan di negeri ini akan dibangun. Momentum reformasi peradilan memberi kesempatan kepada kita untuk memikirkan kembali tentang rancangan peradilan menurut Undang-Undang Dasar dan apakah pesan serta amanat dalam Konstitusi itu sudah diselesaikan dengan baik. Lembaga Sosial Sebagaimana diuraikan di atas, peran masyarakat atau publik ke dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, sekarang bertambah besar dan kuat. Otonomi kekuatankekuatan dalam masyarakat tampil menjadi semakin perkasa, akibat demokratisasi. Sejak jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu suatu tipe pemerintahan yang berbasis kekuasaan hampir-mutlak, untuk kemudian berubah menuju pemerintahan yang lebih bersifat kerakyatan, berbagai tembok atau bastion dari orde pemerintah lama telah diruntuhkan. Dari suatu state-based society, Indonesia pelan-pelan bergerak menuju, apa yang dikenal sebagai, civil society, masyarakat madani. Tidak semua berlangsung secara ideal, bahkan mungkin untuk sementara secara jujur harus dikatakan, bahwa tampilan yang buruk dan negatif lebih menonjol daripada yang diidam-idamkan oleh perubahan tersebut. Bukan demokrat-demokrat sejati yang muncul, melainkan banyak juga para preman. Meminjam istilah Jose Ortega y Gasset (y Gasset, 1957), bukan de opstand der democratie, melainkan opstand der horden (bangkitnya massa, atau dalam istilah Indonesia, para preman). Bukan pemilihan oleh rakyat yang jujur yang terjadi, melainkan

66

Bunga Rampai

pemilihan berdasarkan kekuatan uang. Bukan penalaran nurani rakyat, melainkan penalaran oleh uang atau kapital. Otonomi daerah tidak menyumbang kepada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melainkan lebih merupakan suatu otonomi yang didasarkan pada penalaran apa yang kelompok saya bisa dapat. Peradilan sekarang tidak dapat lebih lama berlindung di bawah wibawa pemerintah, seperti di jaman pemerintahan Soeharto, melainkan harus berani menghadapi berbagai eksaminasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga sosial yang makin menjamur itu. Memang rupa-rupanya tidak sekalian lembaga sosial itu baik dan jujur serta beramanah, melainkan tercatat pula lembaga yang tidak demikan. Hal itu memang memprihatinkan, oleh karena dapat merusak reputasi lembaga sosial yang memang bersungguh-sungguh ingin menjadikan rakyat sebagai raja. Tetapi keadaan seperti itu tak perlu terlalu dirisaukan, oleh karena pada akhirnya akan terjadi seleksi alami, sehingga lembaga yang benar-benar berkualitas saja yang akan bertahan. Lembaga sosial boleh disebut sebagai presentasi persepsi masyarakat yang relatif jujur atau tidak terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Terkadang ada seloroh mengenai adanya lembaga sosial pelat merah, yaitu lembaga yang disponsori oleh pemerintah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) generasi pertama (1993-2001) sering mendapat sebutan yang demikian itu, namun secara cukup mengejutkan ternyata mampu menjaga independensi dan integritas serta mengambil jarak dari pemerintah. Karena reputasinya itu maka di tengah-tengah kuatnya cengkeraman pemerintah, Komnas sempat menjadi ikon dan tumpuan harapan masyarakat. Ia cukup cepat merespons setiap kejadian dugaan pelanggaran HAM, turun ke lapangan dan membuat simpulan serta pernyataan yang cukup berani, seperti dalam Kasus Marsinah, penembakan di Irian, dan penyerbuan terhadap Kantor Pusat PDI-P. Selama keberadaannya, Komnas belum pernah sekalipun bertemu dan menerima pesan dari Presiden Soeharto. Baharudin Lopa, sebagai Sekretaris Jenderal, berperan besar dalam memotori gerakan-gerakan Komnas. Sebagai Direktur Jenderal Pemasyarakatan pada waktu itu, ia justru memanfaatkan jabatannya itu, sehingga

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

67

Komnas sering dengan relatif mudah dapat memasuki ranah yang dikuasai pemerintah. Rupa-rupanya kalangan pemerintahan belum dapat membedakan secara baik antara Lopa sebagai Dirjen dan sebagai anggota Komnas yang mandiri. Peluang ini digunakan oleh Komnas untuk menggedor jajaran pemerintah dan ABRI yang melakukan pelanggaran HAM. Komunitas Akademi Satu kekuatan sosial yang belum termanfaatkan dengan baik adalah dunia akademi, yang terdiri dari para scholar dan peneliti. Komunitas ini melakukan pengamatan (observe) terhadap sekalian hal yang terjadi di masyarakat, didasarkan pada kaidah keilmuan yang obyektif, jujur dan membuat simpulannya sendiri yang secara relatif tidak dicemari oleh kepentingan tertentu. Komunitas akademi memiliki sekalian persyaratan untuk dimasukkan juga ke dalam barisan lembaga sosial. Kendati suatu universitas negeri dibiayai dari anggaran belanja negara, tetapi ia tetap memiliki watak untuk disebut sebagai lembaga mandiri dan karena itu dapat digolongkan ke dalam lembaga sosial. Universitas yang sarat dengan watak keilmuan, tak dapat disetir dan dikooptasi oleh pemerintah. Komunitas akademi yang ideal adalah independen. Di Indonesia, kekuatan tersebut belum benar-benar tampil sebagai suatu kekuatan sosial aset bangsa, tetapi masih lebih berada dalam apa yang sering disebut sebagai sebuah menara gading. Sesekali mereka turun dari gunung, apabila diminta sebagai pembicara dalam seminar, menjadi konsultan dan lain-lain. Penampilan yang lebih maju dilakukan melalui pembentukan pusat-pusat kajian, seperti Pusat Studi Anti Korupsi pada Universitas Gajah Mada. Selebihnya mereka sangat disibukkan oleh kegiatan mengajar, menguji dan meneliti. Dengan mempertahankan posisi yang demikian itu memang komunitas akademi dapat mempertahankan kejujurannya dalam menelaah berbagai permasalahan dan kalau perlu membuat solusi tindakan. Namun demikian, dengan begitu ia tetap merupakan aset bangsa yang belum dapat memberikan kontribusi secara optimal terhadap penyelesaian permasalahan masyarakat, bangsa dan negara. Itu meru-

68

Bunga Rampai

pakan kemubaziran yang disayangkan. Penelitian Sebastiaan Pompe Sebastiaan Pompe telah melakukan penelitian yang sangat intensif terhadap dunia pengadilan di Indonesia, khususnya Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penelitian tersebut selesai ditulis sebagai disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden, negeri Belanda, pada tahun 1996. Metode yang digunakan sangat kuat berdasarkan fakta, baik dokumen maupun catatan-catatan wawancara (fact-based research). Disertasi tersebut (Fifty Years Indonesian Supreme Court, 1996) kemudian diterbitkan sebagai buku pada tahun 2005 berjudul The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse (Pompe, 2005). Dengan data yang kaya, Pompe menuliskan seluk beluk perjalanan sejarah Mahkamah Agung yang menyoroti aspek-aspek pengaruh dan intervensi politik terhadap Mahkamah, organisasi pengadilan, fungsi pengadilan, serta kualitas para hakim. Dalam hal perekrutan hakim, tidak terdapat keterbukaan dan peranan birokrasi sangat kuat (effectively controlled by the bureaucracy). Oleh karena ketiadaan keterbukaan, maka banyak peluang bagi terjadinya hal-hal yang tidak baik (improprieties). Dikatakan oleh Pompe, This lack of transparency is an important factor in obscuring the personalities of the judges who are recruited and the views which they hold. Banyak Ketua Mahkamah yang tidak menjalankan kepemimpinannya dengan ideal. The leadership standards of many Supreme Court Chairmen have fallen far short of the ideal, ... as a number of chairmen have failed to impose institutional values on the Courts environment and have also failed to enhance internal cohesion and morale. Kelemahan dan kekurangan tersebut muncul dari proses penerimaan (recruitment) hakim yang terlalu melihat kepada kedekatan seseorang calon dengan eksekutif. Dikatakan oleh Pompe, This condition, characterized by weak leadership, sprang naturally from the nature of recruitment process, which has been largerly directed toward recruiting leaders who have either strong ties to the executive branch of the government or accomodating dispositions. Komentarnya terhadap standar profesionalitas adalah, makin menurunnya pengetahuan dan kesepakatan mengenai hukum yang berlaku, menurunnya perbandingan penge-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

69

tahuan mengenai hukum (comparative legal knowledge) serta menurunnya kedisiplinan pribadi (personal strictness). Para hakim diumpamakan isi dari sebuah kantong yang bermacam-macam. Sebagian hanya ingin mempertahankan keadaan sekarang, tetapi sebagian lain terdiri dari orangorang yang serius ingin melakukan pembaruan, menyelamatkan keadaan dan menuju masa depan yang lebih baik. Dalam dunia pengadilan ada dua kubu, yang satu menutup pintu bagi masuknya orang luar, sedang yang lain menerima gagasan untuk merekrut orang-orang dari luar menjadi hakim. Mereka yang menolak pembukaan pintu bagi hakimhakim (opening up recruitment) yang direkrut dari luar pengadilan beralasan, bukan karena tidak ada orang luar yang mampu duduk di kursi hakim, melainkan karena rekrutmen secara terbuka itu akan membawa persoalan politik masuk ke pengadilan (cut across the political spectrum). Dunia pengadilan percaya, bahwa mereka akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri. Pada bagian akhir dari analisisnya mengenai para hakim, Pompe, menyimpulkan limapuluh tahun sejarah Mahkamah Agung R.I. ke dalam kata-kata yang padat, dimana telah terjadi sejumlah kemerosotan, yaitu courage turn to cowardice, capability to incompetence, integrity to structural corruption, and respect to contempt. Melihat Pengadilan Dari Luar Optik sosiologi akan mengatakan, bahwa lembaga itu mempunyai kecenderungan kuat untuk berusaha mempertahankan eksistensinya dan dengan demikian juga menyimpan keinginan kuat untuk dengan berbagai cara memberikan legitimasi terhadap eksistensinya itu. Sindrom ketertutupan itu menghinggapi setiap lembaga apapun. Dalam sosiologi, ini dinamakan kesadaran atau perasaan in-group yang membedakan dan mengambil jarak terhadap out-group. Ada semacam resistensi terhadap penyerbuan dari luar yang akan mengguncang kenyamanan kelangsungan hidup lembaga dan para anggota di dalamnya. Barangkali pembubaran Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) merupakan contoh tentang usaha untuk mempertahankan Iembaga sendiri. Pada waktu TGPTPK, pada tahun 2000, ingin membawa beberapa Ha-

70

Bunga Rampai

kim Agung ke pengadilan, dengan dakwaan korupsi, maka melalui sebuah judicial review, TGPTPK, yang bersemangat tinggi untuk memberantas korupsi, justru dibubarkan. Alasan bagi kehadiran tim-tim yang disebut independen di negeri kita dewasa ini, untuk sebagian dapat dijelaskan dari hal-hal yang diuraikan di atas. Tidak mudah untuk melakukan penilaian yang jujur terhadap lembaga sendiri, karena adanya berbagai sindrom tersebut di atas. Oleh sebab itu diperlukan suatu kekuatan-dari-luar untuk dapat memberikan penilaian yang lebih jujur. Dalam konteks itu, maka, merupakan suatu peristiwa yang cukup luar biasa, pada waktu Kepolisian Daerah Jawa Barat, pada tahun 80-an (?), mengadakan satu seminar yang menyoroti pungutan liar poIisi di jalan-jalan. Dalam seminar tersebut, melalui data yang ditemukan di lapangan, Polri bagaikan membuka boroknya sendiri. Ini memang satu kekecualian, karena umumnya lembaga-lembaga publik lebih suka melegitimasi diri sendiri. Banyak kekuasaan diberikan kepada lembaga-Iembaga, seperti pengadilan dan kepolisian, berupa kekuasaan eksklusif tertentu. Pengadilan diberi kekuasaan untuk memutus suatu perkara, sedang polisi untuk menangkap, menahan, menginterogasi dan akhirnya menyerahkannya kepada jaksa untuk diajukan ke pengadilan. Tidak ada lembaga yang diberi kekuasaan seperti itu. Pertanyaan mendasar selanjutnya adalah, apakah hakim dan polisi tidak dapat melakukan kesalahan? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut cenderung memastikan. Kalau demikian lalu siapa mengawasi pengadilan? dan siapa mengawasi polisi?. Di Indonesia, jawaban itu diberikan dengan membentuk Komisi Yudisial dan Komisi Kepolisian Nasional. Kendati demikian, melihat komposisi keanggotaannya, komisi-komisi tersebut beIum mandiri benar. Pimpinan Komisi Kepolisian Nasional (Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris), misalnya, masih dipegang oleh pejabat tinggi dalam pemerintahan. Ini merupakan cacat yang tidak kecil. Kediktatoran Pengadilan Putusan hakim menjadi krusial, karena ditentukan oleh pikiran atau mindset sang hakim. Hakim yang memiliki kecenderungan legalistik akan memutus berdasarkan kacamaKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

71

ta yang digunakannya itu. Apapun kacamata yang dipakainya, hakim memiliki kekuasaan besar untuk memonopoli pembuatan putusan. Bukan jaksa atau polisi. Oleh sebab itu muncul sebutan-sebutan formal justice, substantial justice, police justice, street justice dan lain-lain. Sekalian penyebutan itu menggambarkan semacam protes terhadap kekuasaan hakim untuk menentukan siapa salah dan benar. Menarik untuk membicarakan kediktatoran pengadilan dalam kaitan dengan Victors Justice. Sebutan pengadilan tersebut diberikan kepada pengadilan Negara-negara Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II terhadap para pemimpin Nazi Jerman, yang kalah perang, di Nuremberg. Pada waktu Herman Goring melakukan pembelaan, orang kedua sesudah Hitler itu mengatakan, Anda mengadili kami, karena kalah perang. Andaikata kami yang menang, maka andalah yang akan diadili. Itulah esensi Victors Justice. Saya kira, pengadilan yang demikian itu dapat juga ditarik ke arah yang lebih tinggi dan menjadi suatu masalah yang bersifat akademis. Penamaan pengadilan dan peradilan yang demikian itu dapat digunakan untuk menggambarkan, betapa medan pengadilan menjadi ajang pertemuan antara dua alam pikiran. Situasi yang demikian itu terjadi, manakala pikiran hukum hakim berbeda dengan terdakwa. Maka terjadilah suatu pengadilan, dimana alam pikiran yang satu mengadili alam pikiran yang lain. Konik yang demikian itu dapat juga dilihat dari perspektif sosiologis, atau sosiologi pengadilan. Penelitian Donald Black di Amerika Serikat menemukan, bahwa pengadilan itu melakukan diskriminasi sosial, sehingga (putusan) hukum itu berbanding lurus dengan status sosial (law varies directly with social status) (Black, 1989). Apabila seseorang dengan status sosial rendah menyerang orang dengan status sosial tinggi, maka perkaranya akan ditangani dengan keras dan demikian sebaliknya. Dengan demikian, maka saat seorang kulit hitam diadili karena membunuh kulit putih di Amerika Serikat, maka risiko untuk dijatuhi hukuman mati melonjak tinggi. Di Ohio, risiko itu adalah 15% lebih tinggi daripada baku bunuh antara sesama kulit hitam; Di Georgia, di atas 30% lebih tinggi; di Florida 40% dan di Texas hampir 90% lebih tinggi. Potret yang demikian itu memancing pendapat,

72

Bunga Rampai

bahwa yang terjadi di Amerika Serikat adalah whites justice. Pengadilan dan hakim sering dianggap diktator, karena memiliki kekuasaan besar untuk menentukan siapa salah dan siapa benar. Kekuasaan itu dapat mematahkan usahausaha untuk mencari kebenaran, karena, misalnya, sang hakim berpegangan kepada peraturan, doktrin dan tidak berselera untuk melihat kenyataan. Namun bagaimanapun, hanya hakimlah yang boleh memutus dan yang lain harus diam. Diceritakan adegan menarik dari sebuah lm yang didasari oleh semangat menggugat kediktatoran hakim tersebut, melalui dialog antara polisi dan hakim (Quirk & Bridwell, 1997). Hakim: Pada hemat saya, penggeledahan terhadap rumah tersangka adalah tidak sah, sehingga bukti yang diperoleh dari situ, tidak dapat dibawa ke pengadilan. Anda seharusnya berusaha lebih dulu untuk mendapat hak untuk menggeledah (search warrant). Ya, maaf saja, segalanya sebetulnya sederhana saja. Polisi: Surat penggeledahan? Pada waktu itu saya dihadapkan kepada seorang anak perempuan yang tengah sekarat. Jaksa: Gadis itu sudah mati, menurut laporan ahli. Polisi: Tapi saya tidak tahu hal itu. Hakim: Pengadilan mengakui kepedulian polisi terhadap nyawa gadis itu, tetapi tidak ada alasan untuk membenarkan kekerasan hukum yang telah dilakukan oleh polisi. Semua bukti mengenai gadis itu, pengakuan terdakwa, semua bukti sik, harus dikesampingkan. Hak tersangka yang dijamin oleh Amandemen ke-4 dan ke- 5, dan mungkin ke-6 dan ke14 telah dilanggar. Ilustrasi dari lm tersebut menggambarkan betapa pengadilan itu tidak hanya menjadi medan pergulatan hukum, melainkan juga pergulatan kemanusiaan dan dengan demikian, juga pergulatan ideologi. Ilmu Hukum yang Terintegrasi llmu hukum niscaya merupakan sumber penting yang perlu ditengok, pada saat kita berpikir untuk melakukan

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

73

reformasi peradilan. llmu hukum merupakan pundi-pundi yang menghimpun sekalian pemikiran dan perkembangan baru dalam pemikiran hukum. Langkah dan tindakan konkret dalam hukum memerlukan pencerahan yang datang dari the state of the art dalam ilmu hukum. Ilmu hukum tidak berhenti, melainkan berkembang dan bergerak dinamis. llmu hukum abad ke-21 niscaya jauh berbeda daripada abad ke-19. Abad ke-19 menampilkan dinamika luar biasa dalam perkembangan hukum positif. Bidang-bidang hukum baru muncul sebagai bagian dari perkembangan masyarakat yang berkembang cepat pada masa itu. Industri, perdagangan, transportasi berkembang dengan cepat yang membutuhkan dukungan hukum. Puncaknya adalah pada saat sekalian massa perundang-undangan tersebut dihimpun dalam kitab-kitab hukum. Maka abad ke-19 pun dikenal sebagai Era Kodikasi. Perkembangan dalam hukum positif akhirnya memacu pengusaan ilmu hukum. Persoalan besar pertama yang dihadapi adalah apa sesudah kodikasi?. Ilmu hukum merespons perkembangan tersebut dengan melakukan konsolidasi untuk mengamankan prestasi yang telah dicapai. Siasat tersebut dilakukan dengan mengintensifkan pemahaman terhadap jagat hukum yang telah menjadi demikian luas. Hal tersebut dilakukan dengan pengorganisasian dan sistematisasi bahan hukum yang tersedia. Ilmu hukum menjadi terfokus ke dalam. Ia tidak boleh keluar dari medan perundang-undangan. Ilmu hukum menjadi identik dengan analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Ilmu hukum memusatkan perhatiannya terhadap hukum positif, dengan catatan penting, ilmu hukum tidak boleh keluar dari batas perundangundangan (alles binnen de kader van de wet). Pengadilan atau hakimpun tidak boleh berbuat lain, kecuali menjadi corong dari undang-undang (Les juges de la nation ne sont que les bouches, qui prononcent les paroles de la loi, des etres inanimes, qui peuvent moderer ni la force ni la rigeur, demikian Montesquieu). Hakim sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun untuk mengubah dan menafsirkan undang-undang. Kepastian hukum pun muncul sebagai suatu barang yang nyata dan menjadi ikon. Berbicara hukum adalah berbicara mengenai suatu kepastian. Dalam atmosfer seperti itu, maka

74

Bunga Rampai

cara berhukum pun sudah seperti mesin dan tidak berbeda daripada mengerjakan soal matematika. Paul Scholten mengatakan tentang cara berhukum seperti itu, sebagai het hanteren van logische jiguren (Scholten, 1954). Ilmu hukum juga sibuk untuk membangun struktur dan dari situ disusun bangunan hukum yang didasarkan pada pemisahan sub-disiplin secara ketat (hukum-hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan lain-lain). Memasuki abad ke-20, ilmu hukum pun mengalami perkembangan dan perubahan penting. Suasana kepastian dan kekakuan abad ke-19 tidak dapat dipertahankan 1ebih lama 1agi. Perubahan penting juga terjadi di bidang peradilan yang semula dianggap sekedar sebagai mesin otomat yang menerapkan undang-undang. Dikatakan oleh Scholten, Van de rustige verzekerdheid van velen in de 19 de eeuw, dat rechtsvinding is wetstoepassing, is niet zo heel veel overgebleven. (Kepastian, bahwa penemuan hukum adalah penerapan hukum, seperti diterima banyak orang di abad ke-19, tidak banyak lagi sisanya). Perubahan penting terjadi, mengakhiri ilmu hukum abad ke-19. Perkembangan terakhir dalam ilmu hukum menunjukkan kecenderungan ke arah struktur yang tidak lagi terkotak-kotak secara ketat. Program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro telah mencoba untuk mencairkan batas-batas yang demikian itu, sejak mulai rekrutmen para calon doktor (Program doktor, 1995). Sejumlah dokter, insinyur dan sarjana dari ilmu-ilmu sosial, telah menyelesaikan disertasinya pada program tersebut. Seorang insinyur geologi telah menganalisis kerusuhan sosial dengan menggunakan disiplin ke-insinyuran-nya. Hukum harus mengikuti masyarakat dan perkembangannya. Program doktor tersebut menuangkannya ke dalam paradigma Hukum untuk Manusia, bukan sebaliknya (Rahardjo, 2004). Fakultas hukum Erasmus, Rotterdam, Belanda, dalam memperingati 30 tahun usianya (1993), telah menerbitkan sebuah buku berjudul Geintegreerde rchtswetenschap (Ilmu hukum yang terintegrasi, Foque et al, 1993). Buku yang berisi kumpulan karangan tersebut menggugat kemapanan pembagian ke dalam berbagai sub disiplin hukum dan menyebutnya sebagai ketinggalan zaman. Salah satu artikel, misalnya menggugat, bahwa pengkotakan hukum se-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

75

cara klasik ke dalam hukum publik dan hukum privat telah kehilangan legitimasinya. Kehidupan sosial dan hubungan-hubungan dalam masyarakat dewasa ini sudah demikian rumit atau kompleksnya, sehingga untuk menghadapinya, tidak dapat lagi dilayani oleh pembidangan hukum secara klasik demikian itu. Pengkotak-kotakan ke dalam hukum perdata dan hukum pidana, tidak mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat yang demkian kompleks itu. Dengan mengutip implicit philosophy Ronald Dworkin, pikiran-pikiran tentang ilmu hukum yang terintegrasi itu menolak rule-book-model of society. Kehidupan masyarakat tidak berjalan karena mematuhi hukum yang datang dari perintah penguasa. Suatu kehidupan bersama yang benarbenar bertahan lama (duurzame samenleving) hanyalah ada manakala didasarkan pada kesadaran para anggota masyarakat terhadap asas-asas dasar dalam kehidupan bersama itu, baik terhadap orang lain, maupun terhadap masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam implicit philosophy seperti itu, tidak ada tempat bagi pemisahan klasik ke dalam hukum publik dan privat abad ke-19. Perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan ilmu hukum pada khususnya yang demikian itu, memberi ilham kepada kita pada waktu berpikir untuk melakukan reformasi peradilan. Cara berhukum dalam peradilan yang lama bukan sesuatu yang tak dapat dirombak, bukan suatu kebenaran absolut yang harus diterima dan dijalankan begitu saja. Sejak konstitusi kehidupan kita didasarkan pada visi dan kosmologi yang berbeda dengan yang menjadi dasar bagi penataan peradilan selama ini, maka perombakan bukan sesuatu yang ditabukan. Indonesia Memilih Sejak pengadilan dan peradilan itu tidak kedap ideologi, maka di tengah-tengah lalu lintas ideologi hukum di dunia ini, mau tidak mau, Indonesia harus membuat pilihan. Secara garis besar, dunia kita dibelah oleh dua ideologi, yaitu liberal-individual di satu pihak dan kolektif-kontekstual di pihak yang lain (Rahardjo, 2006). Pembelahan tersebut didasarkan pada kosmologi yang berbeda dan yang pada

76

Bunga Rampai

akhirnya memunculkan cara berhukum yang beda puIa. Hukum modern yang melalui berbagai jalan, menyebar ke seluruh penjuru dunia, pada dasarnya berwatak liberalindividual. Dengan demikian, maka sekalian struktur, asas dan doktrin, juga dirancang untuk menjaga dan mempertahankan ideologi tersebut. Hal yang demikian itu menyebabkan bahwa bangsa-bangsa dengan kosmologi dan cara berhukum yang beda, mengalami banyak kesulitan, pada waktu menggunakan hukum modern tersebut. Bangsa-bangsa di kawasan Asia Timur, merupakan contoh yang baik tentang bagaimana kesulitan yang harus dihadapi tersebut. Hahm Pyong-Choon, misalnya mengatakan sebagai berikut, Any institution that leaves its indigenous habitat and gets transplanted to an alien culture invariably undergoes a fundamental change in the process of transplantation. An institution that originally served one purpose may nd itself twisted around to serve a host of totally different purposes in the adopting culture. (Pyong-Choon, 1971). Penggunaan hukum modern di Korea, disebut oleh PyongChoon sebagai, medievalization of modern institutions of the West. Jepang adalah salah satu bangsa di Asia Timur yang sangat siap untuk menerima penggunaan hukum modern (dan lain-lain) dari Barat, dengan tetap mempertahankan keJepang-annya. Cara pembengkokan oleh Jepang ini disebut the Japanese twist (Ozak, 1978). Sebuah survai mengenai penggunaan hukum kontrak modern di Jepang pada tahun 1970, di Tokyo, menemukan, bahwa kendatipun Jepang menerima hukum kontrak modern, tetapi pada penerapannya, bangsa itu lebih mendahulukan penyelesaian secara Jepang, yaitu yang mengedepankan musyawarah (the contract could be abrogated by simply renegotiating with the other party when circumstances dictated). Baru kalau cara ini gagal, digunakanlah kontrak yang sudah dibuat (Parker, 1984). Indonesia telah memilih dan pilihan itu tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di kawasan Asia Timur, yaitu pada dasamya menolak liberalisme-individual dan menerima cara kolektif-kontekstual. Daniel S. Lev, yang melakukan penelitian tentang cara berhukum bangsa Indonesia di pengadilan, memastikan pilihan tersebut (Lev, 1972). Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga

Reformasi Peradilan: Harapan dan Kenyataan

77

dikatakan, bahwa dibuat Undang-Undang Dasar yang bersifat kekeluargaan. Selama ini kita terlalu berpaling ke Barat, baik Leiden, Harvard, atau yang lain, tetapi hampir tidak pernah ke Jepang. Dengan demikan kita kurang mendapat ilham untuk melakukan reformasi hukum, khususnya peradilan, yang berbasis nilai dan kosmologi Timur. Kesenjangan tersebut menimbulkan berbagai komplikasi sewaktu hukum modern itu diterapkan. Di waktu-waktu mendatang, sebaiknya orientasi kita lebih seimbang, bahkan di waktu seperti sekarang ini, pandangan ke Timur lebih diutamakan. Reformasi Peradilan Berdasarkan uraian di atas, maka pengadilan dan peradilan kita memang membutuhkan reformasi, yaitu agar berakar pada kosmologi dan habitat Indonesia. Sampai hari ini, watak liberal-individual dari peradilan kita masih kuat. Kalau kita melihat kepada pembelajaran hukum kita, maka fakultas-fakultas hukum kita masih belum memiliki kesadaran untuk berubah menuju cara berhukum di pengadilan berdasarkan pembacaan terhadap Undang-Undang Dasar kita, khususnya bagian Pembukaan. Fakultas-fakultas hukum kita belum dapat diandalkan untuk menjadi avant-garde. Reformasi peradilan sebaiknya dilakukan dengan cukup mendasar, karena memang itulah amanat Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana diuraikan di muka penataan peradilan kita sekarang masih didasarkan pada ideologi liberal-individual. Maka dihadapkan kepada amanat UndangUndang Dasar, penataan yang demikian itu perlu dirombak secara mendasar. Beberapa penelitian dan disertasi yang ditulis pada Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro memang sedikit banyak telah meyakinkan, bahwa suatu perubahan mendasar hendaknya dilakukan. Kata-kata yang dilontarkan, seperti peradilan rekonsiliatif, peradilan restoratif, menunjukkan, bahwa memang dirasakan keperluan untuk membangun satu model peradilan lain yang lebih berakar pada kosmologi Indonesia. Selama ini kita hampir tidak merisaukan amanat yang dipesankan oleh Undang-Undang Dasar kepada kita. Pera-

78

Bunga Rampai

dilan di Indonesia, selama enampuluh tahun lebih, tetap bekerja, seolah-olah segala sesuatunya memang harus berjalan seperti itu. Padahal pemerintah kolonial Belanda sejak semula sudah melihat risiko penggunaan peradilan modern itu bagi banyak komunitas lokal di Indonesia, yang memiliki struktur dan watak sosial beda. Sejak tahun 1945, kita memiliki alasan lebih kuat untuk membangun suatu tatanan peradilan yang baru, karena tidak lain harus didasarkan pada asas kekeluargaan, yang beda sekali dari pikiran sosial atau ideologi yang mendasari peradilan modern. Setiap kali masyarakat setempat menjalankan praksis yang beda, maka kita belum dapat menghargai apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Padahal, seperti ditulis oleh Bernard L. Tanya, penggunaan hukum modern itu merupakan suatu beban bagi komunitas lokal (Tanya, 2006). Praksis yang beda tersebut mencerminkan perlawanan dari suatu pikiran yang lebih mengakar pada habitat sosial asli, sewaktu dihadapkan pada penggunaan hukum modern. Di Sabu, sebagaimana ditulis oleh Bernard L. Tanya sudah ada pranata uku, pranata asli Sabu yang bersifat religius. Uku merangkum semua lapangan kehidupan, religi, peristiwa hubungan-hubungan keluarga, kehidupan, sampai kepada kematian. Pranata yang demikan itu kemudian harus berhadapan dengan hukum nasional, yang notabene adalah hukum modern. Dikatakan oleh Tanya, Realitas obyektif komunitas masyarakat lokal di Sabu yang masih terbilang sederhana, membuat kehadiran hukum negara sebagai sebuah inovasi terasa kian bermasalah. Lebih lanjut Tanya menulis, Sebagai sesuatu yang baru, dalam arti sesuatu yang didatangkan dari luar, daya tarik dan manfaat yang ditawarkan lembaga/hukum negara tidak segera diterima, karena masyarakat harus belajar lagi mengenal dan memahaminya. Dalam proses belajar ini mereka menghadapi masalah yang kompleks .... Apabila kita belum mampu menata peradilan kita berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar secara benar-benar terstruktur, setidaknya kita tidak menghambat penyelenggaraan peradilan yang berbasis kearifan lokal Indonesia itu. Perkembangan ilmu hukum yang baru, sebagaimana diuraikan di muka, lebih menuju kepada integrasi dan dengan

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

79

demikian mengurangi pengkotak-kotakan dalam displin dan sub-disiplin. Lebih daripada itu pembagian, penggolongan dan nomenklatur lama juga digugat. Pembagian ke dalam hukum publik dan privat yang selama beratus-ratus tahun diterima sebagai sesuatu yang absolut dan sakral, juga dikehendaki untuk diubah. Dengan demikian, maka pikiran kita untuk mereformasi peradilan di Indonesia memiliki legitimasi yang tinggi. Sudah diuraikan, bahwa sistem peradilan kita dan umumnya negara-negara di dunia, mewarisi suatu sistem yang hakekatnya bersifat liberal-individual. Perlindungan dan penyelamatan individu serta kemerdekaan indvidu menjadi ideologi. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengikuti ideologi tersebut, melainkan menghendaki sistem peradilan didasarkan pada asas kekeluargaan. Pembangunan suatu sistem peradilan baru tersebut merupakan pekerjaan raksasa. Ia dimulai dari perubahan paradigma, penyiapan doktrin dan asas, komponen-komponen sistem peradilan, sampai ke pengaturan baru dalam beracara. Ideologi kekeluargaan menjadi penentu arah kemana tujuan reformasi peradilan negeri ini. Posisi komponen-komponen peradilan yang berhadaphadapan, seperti dalam arsitektur peradilan sekarang, tidak menggambarkan arsitektur kekeluargaan yang dikehendaki. Dengan demikian, posisi hakim, jaksa, polisi, advokat, dalam sistem peradilan memerlukan penataan kembali. Sekalian pekerjaan tersebut tidak dapat hanya dibebankan kepada pengemban kekuasaan formal saja, melainkan menjadi hajat seluruh bangsa. Disinilah masyarakat ikut serta, yang antara lain diwakili oleh 1embaga-lembaga sosial.

80

Bunga Rampai

Daftar Pustaka Black, Donald, Sociological Justice, N.Y., Oxford University Press, 1989. Foque, Rene, R. Ladan, E. Rood Pijpers, A.C. Zijderveld (red.), Geintegreerde rechtswetenschap, Arnhem, Gouda Quint, 1994. Lev, Daniel S., Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia, dalam Culture and Politics in Indonesia (Claire Holt ed.), Ithaca, Cornell University Press, 1972, pp. 246-316. Ozaki, Robert S., The Japanese, A Cultural Portrait, Rutland, Vermont, Charles E. Tuttle, 1978. Parker, L. Craig, Jr., The Japanese Police System Today, An American Perspective, Tokyo, Kodansha International, 1984. Pompe, Sebatiaan, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, Ithaca, N.Y., Cornell University, 2005. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Merintis Visi Program Doktor Hukum, Semarang, Program Doktor Ilmu Hukum, 1995. Pyong-Choon, Hahm, The Korean Political Tradition and Law, Seoul Hollym Corporation, 1971. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum - Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2004. ----------------------, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan Progresif, dalam Bunga Rampai Reeksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, Komisi Yudisial RI, 2006, hlm. 297-328. Scholten, Paul, Algemeen deer dari Mr. Assers Handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch burgerlijk recht, Zwolle, W.E.J., Tjeenk Willink, 1954. Tanya, Bernard L., Hukum dalam Ruang Sosial, Surabaya, Penerbit Srikandi, 2006. Quirk, William J, & Bridwell, R.Randall, Judicial Dictatorship, New Brunswick, Transaction Publishers, 1997. Y Gasset, Jose Ortega, The Revolt of the Masses, N.Y., W.W.Norton, 1957.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

81

82

Bunga Rampai

Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi
M. Hatta Ali, S.H., M.H.

Pendahuluan Dalam suatu negara hukum maka setiap sengketa hukum atau perkara diadili dan diputus oleh suatu Badan Kekuasaan Kehakiman. Institusi yang bersifat mandiri, merdeka serta netral yang diberi otoritas dan kewibawaan untuk secara bebas mempertimbangkan segala sesuatunya secara adil dan obyektif serta tidak memihak. Putusannya bersifat mengikat apabila telah berkekuatan hukum tetap. Dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan guna ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Oleh karena itu Komisi Yudisial berwenang untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung (Pasal 24B ayat (1)). Dengan demikian Badan ini turut mempersiapkan Calon Hakim Agung yang berkualitas. Tugas hakim/badan peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Sesuai Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

83

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1) 2) Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan kasasi dan peninjauan kembali; Fungsi menguji peraturan perundang-undangan, yaitu untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Fungsi pengaturan, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum; Fungsi memberi nasehat dan pertimbangan hukum, yaitu memberikan nasehat hukum kepada Presiden dalam hal permohonan grasi dan rehabilitasi serta memberi pertimbangan hukum ke lembaga tinggi negara lain; Fungsi membina dan mengawasi, yaitu membina dan mengawasi peradilan dan hakim dibawahnya;

3) 4)

5) 6)

Fungsi administrasi, yaitu mengelola administrasi, keuangan dan organisasinya sendiri. Dalam fungsi mengadili, hakim sering dihadapkan pada suatu ketentuan yang belum diatur, disebabkan karena terhambatnya upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap. Banyak peraturan perundang-undangan warisan kolonial maupun yang baru tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang penuh dengan dinamika perubahan dan semakin kompleks. Produk peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan dinamika perubahan yang terjadi. Di lain pihak hakim/badan peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Dalam menjalankan fungsi tersebut, hakim sering dihadapkan kepada suatu ketentuan yang belum diatur, yang menyebabkan terhambatnya upaya mewujudkan penegakan hukum. Maksudnya adalah jika tidak ditemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasar hukum. Pokok Masalah Dasar hukum peran hakim dapat dilihat pada pasal 28

84

Bunga Rampai

ayat (l) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menggali berarti hakim harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai institusi, Mahkamah Agung tidak boleh berhenti melakukan inovasi terhadap berbagai ketertinggalan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun agar hakim agung dalam melaksanakan perannya sebagai benteng terakhir penegakan hukum harus didukung pula adanya kemauan politik negara untuk menegakkan supremasi hukum yang berarti bahwa hukum bertindak sebagai panglima. Maksudnya adalah supremasi hukum merupakan pilar negara hukum. Seluruh komponen masyarakat sampai kepada penguasa tunduk sepenuhnya kepada hukum. Dengan kata lain, tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan undangundang dengan perkembangan yang hidup di dalam masyarakat. Jika tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim wajib menafsirkan sehingga dibuat suatu putusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu adanya kepastian hukum. Supremasi Hukum di dalam negara hukum mempunyai 3 (tiga) ciri (menurut Muchsan - dikutip dari Panggabean, Henry. P 2002:12). Pertama adalah hukum harus berperan sebagai panglima, sehingga penegakan hukum (law enforcement) dapat diwujudkan tanpa memandang suku/agama/ ras/golongan. Yang kedua hukum harus berperan sebagai titik tolak kegiatan (center of action). Yang berarti bahwa perbuatan hukum oleh penguasa atau individu harus dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Lalu yang terakhir bahwa perlakuan kepada semua orang adalah sama dimuka hukum (equality before the law). Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara Hakim Agung menggali dan menemukan sesuatu yang dapat menjadi hukum? Institusi Mahkamah Agung yang merupakan instrumen dalam upaya menegakkan hukum dan kebenaran agar tidak terpaku pada peraturan perundang-un-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

85

dangan yang telah usang. Juga sebagai pengadilan tingkat terakhir diharapkan mampu melahirkan putusan-putusan (yurisprudensi) yang inovatif yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hakim Agung sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum mengatur, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya untuk menyelesaikan perkara. Dalam arti menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundangundangan tidak dapat membantunya. Oleh karena hakim (secara general) merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka seharusnya dapat mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dapat memberi putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pembahasan Bertitik tolak dari pandangan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili merupakan antisipasi bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap dan jelas. Konik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan dan untuk itu perlu dicarikan landasan hukumnya. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka Hakim Agung harus memahami jalan keluar melalui penemuan hukum (Rechtsvinding). Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencari atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Disamping itu, hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan sumber hukum juga (yurisprudensi). Sistem hukum Indonesia tidak menentukan jenis klasikasi yurisprudensi tertentu untuk dijadikan sumber hukum,

86

Bunga Rampai

tetapi dalam praktek peradilan dikenal adanya klasikasi yurisprudensi biasa dan yurisprudensi tetap. Kedua klasikasi yurisprudensi itu memerlukan kriteria sendiri agar dengan cara itu dapat ditelusuri sejauh mana hubungan kedua klasikasi yurisprudensi itu dalam proses penegakan hukum. Sudikno Martokusumo (2001:52) memberikan 2 (dua) kategori, sebagai yurisprudensi tetap, yaitu: 1. bahwa dalam putusan hakim ditemukan adanya kaedah hukum yang dapat dianggap sebagai - landmark decision karena kaidah hukum itu diterima masyarakat luas sebagai terobosan yang nyata atas suatu konik hukum yang sudah lama berlangsung.

2.

kaidah hukum atau ketentuan dalam suatu keputusan kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para hakim dalam putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum yang umum. Dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kriteria yurisprudensi tetap adalah telah mentransformasi secara konstan hukum yang hidup dalam suatu masyarakat dan telah diikuti oleh berbagai putusan sebelumnya, sehingga yurisprudensi tetap tersebut telah melakukan penciptaan hukum (rechtsschepping). Sebagai Hakim Agung, harus menguasai metode yang dapat dipergunakan, yaitu melalui penerapan hukum penafsiran dan konstruksi hukum. Penafsiran atau interpretasi adalah usaha memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum. Mengikuti sistematika J.A. Pontier (dikutip dari Bagir Manan 2004:73), didapat bermacam-macam metode penafsiran (penafsiran berdasarkan tata bahasa atau ilmu bahasa, penafsiran sistematik, penafsiran berdasarkan sejarah peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, penafsiran berdasarkan sejarah hukum, penafsiran teleologis, penafsiran antisipatif dan penafsiran dinamika-evolutif). Yang kedua adalah konstruksi hukum. Artinya adalah, didalam suatu perkara di pengadilan, sekalipun hakim dapat menafsirkan, namun tidak ada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang dapat diterapkan, juga tidak ada ketentuan dalam hukum kebiasaan dan hukum adat yang dapat diterapkan, maka keadaan ini
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

87

mulai menyangkut pada keadaan kekosongan hukum dalam sistem formil hukum. Berdasar beberapa ketentuan yang mempunyai persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip). Dengan kata lain, menurut pendapat hakim yang bersangkutan bahwa pengertian hukum itulah yang menjadi dasar. Konstruksi hukum ini terdiri dari analogi (hakim memperluas penerapan hukum pada keadaan atau peristiwa yang tidak secara eksplisit disebut dalam ketentuan yang berlaku), penghalusan hukum Rechtsvervijning (suatu kaedah hukum dapat dirasakan terlalu keras pada saat diterapkan pada keadaan konkrit tertentu, sehingga memerlukan penghalusan agar tetap terasa adil, wajar dan tidak berlebihan), serta Argumentum a contrario (mempersempit jangkauan berlaku suatu peraturan perundang-undangan). Hakim bukanlah mulut undang-undang atau mulut hukum positif pada umumnya. Demikian pula hakim tidak sekedar menerapkan bunyi suatu perjanjian yang merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Hakim adalah mulut kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan bertentangan, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Asas ini menunjukkan bahwa sebagai Hakim Agung tidak boleh semata-mata mencari dan menemukan kebenaran formal. Termasuk dalam perkara-perkara perdata, hakim harus mencari dan menemukan kebenaran materiil. Hingga saat ini sebagian masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat formalistik. Masyarakat Indonesia meminjam pendapat Holleman - (dikutip dari Bagir Manan 2004:64) adalah masyarakat konkrit. Segala hubungan dan peristiwa hukum dinyatakan dalam wujud yang nyata. Seseorang memiliki sebidang tanah, dibuktikan dengan pohon-pohon yang ditanam oleh orang tuanya dan seterusnya. Kenyataan yang bersangkutan menempati sebidang tanah dengan cara-cara yang dibenarkan oleh tradisi yang berlaku disekelilingnya, apabila bertahun-tahun akan diakui telah menimbulkan hubungan hak atas tanah tersebut. Walaupun demikian apabila hakim dihadapkan pada pilihan antara ketentuan hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, hakim atau siapapun juga yang menerapkan

88

Bunga Rampai

hukum, harus mengutamakan atau mendahulukan ketentuan hukum tertulis. Namun penerapan ini harus mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis apabila diketahui atau secara rasional dipahami bahwa ketentuan hukum tertulis merupakan pembaharuan terhadap hukum tidak tertulis atau terjadi transformasi ketentuan hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis.

Mengutamakan atau mendahulukan hukum tidak tertulis dilakukan apabila ketentuan hukum tidak tertulis merupakan suatu yang tumbuh kemudian sebagai koreksi atau penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum tertulis. Koreksi merupakan kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat terjadi karena hukum tertulis telah usang atau ada kekosongan tertentu dalam ketentuan hukum tertulis. Pada era reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan. Jadi reformasi itu timbul secara simultan mencakup aspek kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomi dan hukum. Program reformasi hukum harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat. Hakim Agung harus mampu menghasilkan putusan-putusan yang mengarah kepada pembaharuan penemuan hukum berupa yurisprudensi. Contoh kasus adalah pengertian barang dalam pidana pencurian termasuk pencurian listrik. Lalu pengertian Onrechtmatigedaad hanya dapat dipahami setelah mempelajari yurisprudensi (Arrest H.R. 1919). Kemudian makin banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi praperadilan, yang berhadapan dengan ketentuan hukum positif yang menyatakan tidak ada kasasi untuk praperadilan. Serta ketentuan Jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, yang oleh yurisprudensi diperluas menjadi asas pengasingan (vervreending) tidak memutuskan sewa-menyewa, sehingga termasuk hibah, pewarisan, dan lain-lain bentuk pengasingan. Juga hubungan kelamin diluar nikah laki-Iaki dewasa dan perempuan dewasa atas dasar suka sama suka, dimana laki-Iaki si pelaku tidak mau bertanggung jawab ketika perempuan tersebut hamil. Pada situasi ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur, tetapi berdasar hukum
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

b.

89

adat merupakan perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan dan harus diberi sanksi. Menurut Gustav Radbruch (dikutip dari Bambang Sutiyoso 2006: 6) idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 (tiga) unsur yaitu: keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit). Ketiga unsur ini harus dipertimbangkan Hakim dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan. Dalam implementasinya terkadang tidak mudah untuk mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang bisa saja saling bertentangan. Kasus yang relevan untuk menggambarkan adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukum, yaitu dalam kasus Kedung Ombo di Jawa Tengah dan kasus sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Depok. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Kedung Ombo pada pokoknya melebihi daripada ganti rugi yang dimohon para penggugat, padahal pasal 178 ayat (3) HIR berbunyi: Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan putusan lebih dari pada yang dituntut. Tetapi sayangnya putusan Mahkamah Agung tersebut pada tingkat peninjauan kembali telah dikoreksi/ diperbaiki. Sedangkan dalam kasus Pilkada Depok apabila menoleh pada pasal 106 ayat(7) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2004, ditafsirkan putusan Pengadilan Tinggi bersifat nal dan mengikat, sehingga mestinya tidak ada upaya hukum lagi yang dapat digunakan, tetapi ketika KPUD Depok mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut pada akhirnya Mahkamah Agung dalam putusannya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari KPUD Depok dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Paparan kedua kasus di atas, sangat relevan menggambarkan adanya benturan-benturan antara aspek kepastian hukum dengan keadilan. Mahkamah Agung sendiri dalam instruksinya Nomor KMA/015/lnst/VI/1998 tanggal 1 Juni

90

Bunga Rampai

1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutable berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), losos (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dalam setiap penemuan hukum seyogyanya putusanputusan badan peradilan disosialisasikan dengan memberi kesempatan kepada publik untuk mengakses putusan-putusan tersebut. Dengan akses ini mendorong para hakim membuat putusan yang berkualitas dan diterima oleh masyarakat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Selain itu fungsi Pengaturan Mahkamah Agung diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang atau terdapat kekurangan, atau kekosongan hukum dengan menerbitkan Surat Edaran atau Peraturan Mahkamah Agung, terutama dalam hukum acara sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan dan kekosongan tadi. Bentuk pengaturan itu dikenal dalam 2 (dua) bentuk produk yaitu: 1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu satu bentuk edaran dari pimpinan Mahkamah Agung, keseluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi.

2.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu suatu bentuk peraturan dari Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara. Fungsi pengaturan ini ternyata sangat efektif memperlancar jalannya peradilan. Sebelum ada ketentuan KUHAP dan Undang-undang, PERMA No. 1 Tahun 1977 (tentang permohonan kasasi) telah menjadi sarana hukum yang menentukan masuknya perkara peradilan agama dan militer ke tingkat perkara kasasi oleh Mahkamah Agung. PERMA No. 1 Tahun 1980 telah digunakan menampung perkara peninjauan kembali karena pada saat itu belum ada peraturan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Undang-undang
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

91

Pokok Kekuasaan Kehakiman. PERMA No. 1 Tahun 2000 tentang paksa badan dapat dijadikan contoh tentang efektitas Fungsi Pengaturan Mahkamah Agung mendukung penegakan hukum khususnya untuk mengatasi kebutuhan hukum acara yang saat ini sangat diperlukan menghadapi perilaku para debitur nakal yang sengaja menghindar dari kewajiban melunasi hutang-hutangnya. Yang tidak kalah pentingnya suatu hal yang perlu diperhatikan fungsi pembentukan hukum itu sendiri harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat dan tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat sehingga pada akhirnya menciptakan kesadaran hukum baru sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Kesimpulan 1. Perekrutan Hakim Agung harus memiliki kemampuan di bidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik. Meningkatkan kualitas hakim dalam melakukan penemuan hukum baru melalui putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum, yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum di lingkungan peradilan. Bahwa setiap putusan pengadilan harus mengandung unsur kemanfaatan bahwa isi putusan itu tidak hanya bermanfaat bagi pihak berperkara tapi juga bagi masyarakat luas. Masyarakat berkepentingan atas keputusan hakim itu karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Dalam melakukan penemuan hukum hakim menggunakan metode penafsiran dan konstruksi hukum. Pada dasarnya Hakim Agung yang baik bukan sekedar menguasai hukum positif melainkan mengusai pula dengan baik berbagai teori dan doktrin hukum. Hakim Agung harus mengisi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas dengan melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) yang pada gilirannya akan menjadi yurisprudensi tetap menuju penciptaan hukum
Bunga Rampai

2.

3.

4. 5.

6.

92

(Rechtsschepping). 7. Meningkatkan mekanisme pertanggung jawaban lembaga pengadilan kepada publik dengan kemudahan akses masyarakat untuk memperoleh putusan pengadilan dan publikasi terhadap setiap pengambilan putusan. Fungsi Pengaturan Mahkamah Agung berupa Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung masih diperlukan guna mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara.

8.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

93

Daftar Pustaka Van Apeldoorn, L.J - ; 1957, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan kedua, Noordhoff - Kolff N.V Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo. A ; 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, cetakan kesatu, PT. Citra Aditya Bakti Mertokusumo, Sudikno -; 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, edisi kedua cetakan kedua, Liberty Yogyakarta Panggabean, Henry P -; 2002, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari,cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan Komisi Hukum Nasional -; 2002, Transisi Di Bawah Bayang-Bayang Negara Manan, Bagir -; 2004, Hukum Positif Indonesia, cetakan pertama, FH UH Press Salman, Otje dan Susantho, Anton ; 2004, Beberapa aspek Sosiologi Hukum, edisi pertama, PT Alumni Panggabean, Henry P-; 2005, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power) Tahun 19662003, edisi pertama cetakan pertama, Liberty Yogyakarta Sutiyoso, Bambang-; 2006, Metode Penemuan Hukum,cetakan pertama, UH Press Yogyakarta Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Undangundang Dasar 1945 dan Perubahannya Kitab Undangundang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang No. 1 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan terhadap Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang No. 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum Undang-undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

94

Bunga Rampai

Hakim Agung dan Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Pada Era Reformasi dan Transformasi Hukum
Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H.*

Latar Belakang Pernyataan-pernyataan bahwa dunia seakan-akan tidak lagi mengenal batas-batas wilayah Negara, telah menjadi kenyataan. Arus informasi menyebabkan permasalahan di dalam suatu negara dapat dibaca bagaikan dalam buku terbuka. Suatu negara bahkan tidak dapat mengisolasi dirinya dari pergaulan internasionnal. Perjanjian-perjanjian internasional dan dampak ratikasi konvensi internasional, lebih mengentalkan kenyataan bahwa hukum nasional suatu negara tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri tanpa menghiraukan perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia internasional, terlebih lagi ketika perkembangan teknologi yang semakin canggih. Di dalam era transformasi dan informasi, seperti itu permasalahan-permasalahan di dalam masyarakat menjadi lebih rumit dan kompleks. Perkembangan di dalam masyarakat ini juga mempengaruhi perkembangan hukum di suatu negara, khususnya di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun. Apabila kita teliti maka semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendenisikan pembangunan itu dan apapun yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

95

dalam pembangunan adalah menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur1 Selanjutnya dikatakan juga oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa: Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya.2 Tetapi selalu saja terjadi bahwa undang-undang ketinggalan dari kenyataan-kenyataan masyarakat (het recht hink achter de feiten aan). Beberapa contoh mengemuka yang menjadi pemikiran dari para ahli hukum sekarang, misalnya, kloning, bayi tabung, kejahatan cyber, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mungkin banyak lagi masalah-masalah di dalam masyarakat yang perlu mendapat pemecahan hukumnya. Khususnya bagi persoalan-persoalan yang menjadi kasus konkrit yang dihadapkan kepada seorang hakim untuk mendapatkan penyelesaian, maka seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.3 (psl. 6 UUPK) Disinilah letak peran hakim (Agung) dalam penemuan hukum (rechtsvinding) dan pembentukan hukum (rechtsschepping), dalam kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat yang sedang bereformasi dan transformasi. Pokok Masalah 1. 2. Bagaimanakah syarat-syarat suatu penemuan hukum (rechtsvinding) dan pembentukan hukum (rechtsschepping)? Sejauh manakah hakim, dalam kebebasannya, melakukan penemuan hukum sehingga tidak melakukan kesewenang-wenangan hukum yang pada akhirnya justru

2 3

Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Lcmbaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976, hlm.3. Ibid Lihat pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 2004 Tentang Kckuasaan Kehakiman

96

Bunga Rampai

menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian, atau ketidakmanfatan? Pembahasan Masalah 1. Arti penemuan hukum dan mengapa (seringkali) diperlukan Rechtsvinding menjadi sangat terkenal terutama setelah perang dunia kedua, pandangan tentang penemuan hukum yang dikemukakan oleh Paul Scholten memperoleh banyak pengikut.4 Sudikno Mertokusumo mengatakan Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.5 J.A. Pontier mendenisikan penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Ia berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum, konik-konik hukum atau sengketa-sengketa yuridis. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penye1esaianpenyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkrit. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum, berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian dan jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum, yang lebih atau kurang, secara cermat dan teliti mengemukakan bagaimana terhadap situasi-situasi problematik tertentu seyogyanya harus diberikan reaksi.6 Asumsi dasar yang melandasi penemuan hukum tersebut adalah berkaitan dengan pengakuan bahwa tidak semua hukum dapat ditemukan dalam undang-undang.7
4

5 6 7

J.A.Pontier, Rechtsvinding. diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta, Labotatorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2001, hlm. 95 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum. Liberty, Yogyakarta. 2001, hlm. 37. J.A. Pontier, op cit, hlm. 1. Ibid, hlm.16

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

97

Hal tersebut telah mengemuka sejak lama, seperti dikatakan oleh Bregstein8 yang berpendapat: In woorden belichaamt de wetgever zijn will. Slechts die woorden hebben aanspraak op absoluut gezag. Het maatschappelijk leven, dat op deze woorden reageert, brengt deze woorden, de dode teksten, tot leven, geeft er aan hun zin. [Pembuat undang-undang melahirkan kehendaknya dengan kata-kata. Hanya katakata itulah yang berhak atas wibawa yang mutlak. Kehidupan sosial yang mereaksi kata-kata ini, membuat kata-kata ini, tanda-tanda mati itu menjadi hidup, memberikan pada kata-kata itu arti], dan apabila dilanjutkan dengan kata-kata dan Suijling:9 behoort hij de abstract geredigeerde wet met de prescripten der volksmoraal aan te vullen en dus altijd de gerechtigheid te oefenen, welke de wet in vereneging met de volksmoraal aan de Justitiabelen waarborgt. [... hakim harus melengkapi undang-undang yang dirumuskan secara abstrak dengan ketentuan-ketentuan dari moral rakyat, dan karena itu selalu menyelenggarakan keadilan, yang adanya dijamin oleh undang-undang bersama dengan moral rakyat untuk melindungi para pencari keadilan. Dalam hukum pidana yang sangat legistis karena secara fundamental didasarkan pada prinsip legalitas, di mana sangat ditentukan oleh unsur-unsur yang terdapat di dalam perumusan deliknya, Schaffmeister10 menyatakan: De in delictsomschrijvingen geimpliceerde gedragsnormen zijn geen omvattende weersplegelingen van de gehele materiele norm. De delictsomscrijvingen vormen ten opzichte van de gedragsnormen veeler deelstukken van het geheel. Het strafrecht handhaaft de materiele norm jragmentarisch [Norma-norma perilaku yang tersirat dalam perumusan delik bukan pencerminan yang mencakup seluruh noma-norma materiel. Perumusan delik lebih banyak membentuk bagian-bagian daripada merumuskan keseluruhan norma perilaku. Hukum pidana mempertahankan norma-norma secara fragmentaris].

9 10

M.H.Bregstein, dalam Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 16 Ibid, hlm. 17. Ibid, hlm. 22

98

Bunga Rampai

Dengan demikian, di dalam situasi masyarakat dengan tingkat perkembangan di segala bidangnya sangat tinggi dan kompleks, seringkali undang-undang tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan itu, tetapi disinilah letak peranan hakim selaku penjaga hukum dan keadilan memainkan peranannya. Oleh karena itu Bregstein11 pernah mengatakan: Tegenover de worden der wet komt hem echter een vrijheid toe. Hij is dus niet la bouche de la loi, tenzij men daaronder verstaat la bouche de lesprit de la loi [Terhadap kata-kata undang-undang penerap undang-undang memiliki suatu kebebasan yang luas. Jadi dia bukanlah mulut undang-undang tetapi mulut jiwa undang-undang]. 2. Teknik/metode penemuan hukum dan kebebasan hakim

Penemuan hukum dapat dilakukan melalui beberapa cara/teknik/metode. Menurut Pontier12, penemuan hukum dapat dilakukan melalui metode, antara lain: a. metode interpretasi; (penulis tidak akan menguraikan secara mendalam tentang metode interpretasi karena dalam pelajaran tentang Pengantar Ilmu Hukum telah diperkenalkan metode penafsiran berupa penafsiran gramatikal, sistematis, sejarah undang-undang, sejarah hukum, teleologis, antisipatif, evolutif dinamikal) b. penghalusan hukum, interpretasi restriktif dan interpretasi ekstensif c. penalaran hukum d. teknik penemuan hukum lain berupa: i. penerapan atau penafsiran undang-undang secara rasional ii. penimbangan kepentingan e. Motivering vonnis Walaupun demikian hakim tidaklah sebebas-bebasnya dapat menggunakan seluruh metode penemuan hukum

11 12

Ibid, hlm. 16 Pontier, op.cit. hlm. 34

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

99

tersebut untuk menyelesaikan kasus konkrit yang dihadapkan kepadanya. Pertama hendaknya diperhatikan landasan/ norma hukum yang menjadi dasar kasus tersebut (dalam perkara perdata biasanya dapat dilihat dari dasar-dasar gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat sedangkan dalam perkara pidana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sedangkan dalam perkara tata usaha negara dapat dilihat dari permohonan pemohon). Selain itu harus diperhatikan pula fakta konkrit yang diperoleh dari dasar penyelidikannya, yang biasanya diperoleh dari fakta yang terungkap di muka persidangan. Barulah apabila undang-undang yang menjadi dasar kasus tersebut tidak jelas, hakim dapat melakukan penafsiran. Pertama-tama hendaknya digunakan penafsiran gramatikal, dan dilanjutkan dengan penelusuran sejarah perundang-undangan untuk mengetahui maksud dari pembuat undang-undang tentang diterbitkannya undang-undang tersebut. Dengan menggunakan penafsiran sosiologis dan teleologis, barulah hakim dapat menemukan hukum yang harus dikemukakan dalam putusan yang denitif. Penemuan hukum dengan menggunakan metode seperti itu ditemukan dalam kasus Mochtar Pakpahan, di mana dijelaskan bahwa hatzaai artikelen yang menjadi dasar dakwaan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi. Demikian juga dalam kasus BNI 46 New York, pasal 362 KUHP tidak mungkin dapat diterapkan, apabila melihat kepada kecanggihan alat-alat yang digunakannya. Khususnya penemuan hukum yang hanya didasarkan pada nalar hakim saja dapat menimbulkan kesewenangwenangan terhadap undang-undang itu sendiri. Di bidang hukum pidana, J.J.M. van der Veen, telah memperingatkan bahaya penggunaan logika secara berlebihIebihan dalam upaya menerangkan undang-undang.13 Juga Jescheck14 mengingatkan bahwa penafsiran bisa jadi akan sangat melebar, padahal tujuan akhir dari setiap aturan hukum pidana adalah perlindungan tertib hukum.

13

14

J.J.M.van der Veen, dalam Jan Remmelink, Hukum Pidana, terjemahan oleh Tristam Moeliono dan DR.Marjanne Termorshuizen, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 47 Ibid, hIm. 54

100

Bunga Rampai

3.

Prinsip-prinsip penyelenggaraan peradilan dan Kedudukan serta Peranan Hakim Agung Prinsip penyelenggaraan peradilan telah ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Dilakukan Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa - pasal 4 ayat (1); 2. Dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan - pasal 4 ayat (2); 3. Independent - pasal 4 ayat (3); 4. non- diskriminasi dan imparsial - pasal 5 ayat (1); 5. Dilaksanakan sesuai dengan prinsip ne bis in idem pasal 6 ayat (1); 6. Putusan tentang kesalahan seseorang didasarkan pada keyakinan hakim dengan alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang - pasal 6 ayat (2); 7. Prinsip legalitas - pasal 7; 8. Prinsip presumption of innocence - pasal 8; 9. Hak untuk memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi - pasal 9. 10. Terbuka untuk umum - pasal 20 Demikian pula dengan kedudukan hakim, telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut, bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-undang (pasal 31), dengan syarat-syarat bahwa seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (pasal 32), dan wajib menjaga kemandirian peradilan (pasal 33) Khusus berkenaan dengan Mahkamah Agung, yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menetapkankan bahwa: Kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang tersebut adalah: Pasal 28: Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

101

dan a. b. c.

memutus: permohonan kasasi; sengketa tentang kewenangan mengadili; permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 30:

(1)

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Pasal 31: (1) ... menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-undang . Pasal 35: ... memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi Pasal 37: ... dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain Melihat kepada peraturan perundang-undangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada seorang Hakim Agung, maka peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas memberikan tugas-tugas mulia yang diembankan kepadanya, sekaligus pedoman perilaku bagi mereka. Terlebih-lebih apabila dikaitkan dengan Kedudukan Mahkamah Agung, seperti dimuat dalam pasal 2: Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruhpengaruh lain. Hal tersebut mengisyaratkan pula bahwa putusan Mahkamah Agung adalah putusan yang memberikan penyelesaian denitif sesuai dengan asas lites niri oportet, yang berarti tidak membiarkan sengketa hukum berlarut-

102

Bunga Rampai

larut tanpa akhir. Dengan demikian Hakim Agung dalam menjalankan tugasnya telah memberikan kepastian hukum dari kasus tersebut. Oleh karena itu, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Oemar Seno Adji, S.H., (alm.)15 pernah mengatakan: Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indipensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislati dalam menjalankan fungsi yudiciair. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia sub-ordinated, terikat pada hukum. Kesewenang-wenangan seorang Hakim Agung, sekalipun harus menemukan hukum, tidak diperbolehkan . Francis Bacon pemah menyatakan: there is no worse torture than the torture of laws Penemuan hukum dan pembentukan hukum Indonesia yang mengemuka. Beberapa penemuan hukum yang pernah ada, dan menjadikannya suatu pembentukan hukum baru melalui yurisprudensi yang terkenal, antara lain: a. Dalam bidang hukum perdata, antara lain: 1. Dikukuhkannya janda sebagai ahli waris, 2. Anak angkat yang memperoleh bagian waris yang sama dengan anak kandung, 3. Diperkenankannya seorang wanita yang belum menikah mengangkat anak melalui adopsi; 4. Mahkamah Agung menolak gugatan Presiden Suharto atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh New York Times dengan pemuatan gambar presiden sebagai joker dalam kartu remi, tetapi menyatakannya sebagai perwujudan kebebasan pers. Dalam bidang hukum pidana, antara lain: 1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 275K/Pid/1982, yang memberi arti terhadap kata perbuatan tidak 4.

b.

15

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum,Cctakan Kedua, Pcnerbit Erlangga, Jakarta, 1985, him. 46

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

103

2.

3. 4.

5.

patut dan terce1a dari suatu tindak pidana korupsi, Dalam kasus pembobolan dana Bank BNI New York, hakim memberikan penafsiran luas terhadap unsur mengambil dalam tindak pidana pencurian, sehingga penggunaan alat komputer (dengan menekan satu panel/tombol pada key board komputer) disamakan dengan lichamelijk gedraging. Dalam kasus Rahardi Ramelan, dan Adam Damiri di Pengadilan HAM hakim menerima teleconference sebagai cara yang sah dari kehadiran saksi; Dalam kasus Mochtar Pakpahan hakim menyatakan bahwa demonstrasi (waktu itu sedang terjadi era reformasi) bukanlah sebagai pemyataan permusuhan terhadap negara sebagaimana terdapat dalam unsur pasal 154 KUHP yang terkenal dengan haatzaai artikelen. Dalam kasus Bambang Harymurti Tempo Mahkamah Agung menyatakan bahwa UU No. 40/1998 tentang Pers adalah lex speciali dan karenanya dalam kasus tersebut tidak dapat digunakan pasal 310 KUHP tentang penghinaan.

Simpulan 1. Penemuan hukum pada dasarnya merupakan kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum baik oleh hakim, pembentuk undang-undang, bahkan ilmuwan hukum. Penemuan hukum adalah sebuah aspek penting dari ilmu hukum (teori hukum) dan praktek hukum. Tetapi berbeda dengan penemuan hukum oleh para ilmuwan hukum sebagai hasil dari penelitiannya, yang bersifat teoritis terhadap suatu masalah hukum tertentu serta tidak terikat dalam batas-batas waktu, dalam praktek hukum hakim harus memberikannya di dalam putusannya dalam jangka waktu yang masuk akal. Agar tidak menjadi suatu kesewenang-wenangan hukum dan tertibnya pembentukan hukum yang dciptakan karena penemuan hukum, dalam kebebasannya, penemuan hukum oleh hakim harus selalu dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip penyelenggaraan peradiBunga Rampai

2.

104

lan yang baik, tetap memperhatikan fakta hukumnya, dasar-dasar/norma, kaidah hukum yang menjadi dasar kasus konkrit yang dihadapkan kepadanya, mengharmonisasikan antara fakta dan kaidah hukum tersebut dengan menggunakan metode yang diperkenankan, serta mengabstrasikannya.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

105

Daftar Pustaka Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002 Moehtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Panel Diskusi V yang diselenggarakan oleh MAHINDO di Jakarta -bulan Maret 1972, Binacipta, Bandung, 1972 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, cetakan kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985. Pontier, J.A., Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta, Penemuan Hukum, Universitas Parahyangan, Bandung, tanpa tahun. Remmelink. Jan, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, diterjemahkan oleh Tristam P.Moeliono, Marjanne - Termorshuizen, dan Widati Wulandari, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2003 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, eetakan kedua, Liberty, Yogyakarta, 2001

106

Bunga Rampai

Kontribusi Lembaga Kejaksaan Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan


M. Ali Zaidan, S.H., MH,
1

SPP Bejana Berhubungan Secara dogmatik, Sistem Peradilan Pidana (SPP) terdiri atas sub-sistem yang saling berhubungan antar sub-sistem kepolisian (yang melaksanakan tugas-tugas penyidikan), kejaksaan (yang melaksanakan tugas penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan) dan Pengadilan (yang mengadili) sehingga membentuk jaringan kerja terpadu yang dikenal dengan integreted criminal justice system. Semua sub-sistem diarahkan kepada tujuan untuk menegakkan tata hukum pidana. Dalam pandangan ini, penyelenggaraan tata hukum pidana berpusat dan berpuncak pada pengadilan.2 Menurut pandangan ini, pengadilan merupakan institusi penting dalam mengkonkritkan hukum melalui putusan-putusan yang ditetapkannya. Pada sisi lain, institusi pengadilan melakukan pengawasan (kontrol) terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang instansi sebelumnya seperti penyidikan dan penuntutan. Dalam hal ini muncullah pandangan bahwa pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan. Tugas-tugas penyidikan dan penuntutan bermuara pada pengadilan. Pengadilanlah yang mengkonkritkan hukum. Putusan pengadilan merupakan produk badan peradilan yang dimulai dari input

1 2

Anggota Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 1981 halaman 120

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

107

(yakni kasus hukum), processing (penyidikan, penuntutan dan pengadilan) dan berakhir pada out put yakni putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan hasil akhir (product) proses hukum sebelumnya. Oleh karena itu, antar subsistem peradilan terdapat hubungan saling berhubungan. Keterpaduan antar sub-sistem menjadi jaminan bahwa produk yang dihasilkan akan dijamin obyektitasnya. Tanpa keterpaduan dalam sistem akan diperoleh kesulitan dalam mengukur tingkat keberhasilan maupun kegagalan sistem sebelumnya.3 Hubungan antar sub-sistem peradilan tersebut membentuk suatu jaringan laksana bejana berhubungan. Kegagalan suatu sub-sistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Sebaliknya, menurut pandangan sosiologis, sub-sub sistem peradilan pidana itu sendiri merupakan sub-sistem yang diikat oleh ketentuan perundang-undangannya masingmasing. Akibat pengaturan demikian, hasil yang diperoleh tidak akan selalu selaras dengan tujuan sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu kegiatan penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat sebagaimana tertera dalam perundangundangan, akan tetapi hendaklah dilihat dari persepektif yang lebih luas, penegakan hukum hendaklah dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan oleh institusi hukum dalam keseluruhan kerangka sosial yang lebih besar. Sistem Peradilan Pidana hendaklah dipandang sebagai bagian dari sistem yang lebih besar yakni Sistem Sosial yang lebih rumit dan canggih. Konsekuensinya, sub-sub sistem peradilan itu akan menentukan sendiri hukum dalam bidang dan tugasnya masing-masing dalam mengejar tujuannya. Penegakan hukum tidak lagi dilihat sebagai penegakan undang-undang an-sich. Akan tetapi sebagai proses sosial yang melibatkan lingkungannya.4 Konsekuensi pernyataan di atas bahwa rumusan-rumusan abstrak dalam undang-undang hanya dipakai seb-

B. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1994 halaman 85 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, tanpa tahun, halaman 15

108

Bunga Rampai

agai petunjuk saja, yang ingin diketahui lebih jauh adalah bagaimana hukum itu dijalankan, tingkah laku yang menjadi latar belakang penegakan hukum dan sejenisnya. Begitu juga hendaknya dilihat kenyataan faktual hubungan interdependensi antara kepolisian dengan kejaksaan, antara kejaksaan dengan pengadilan, dengan lembaga pemasyarakatan, kepengacaraan dan dengan hukum itu sendiri. Tanpa memperhatikan interrelationship antara sub-sistem di atas, akan mengakibatkan kerawanan yang mengarah kepada fragmentasi dan ketidakefektifan sistem peradilan pidana itu sendiri.5 Dengan demikian menurut pandangan ini terlihat bahwa adanya undang-undang tidak menjadi jaminan bahwa sistem itu akan berjalan dengan baik. Terlalu banyak faktor yang tidak terungkap jika hanya membaca peraturan hukum tertulis semata. Keterpaduan sistem itu sendiri akan tercipta manakala semua pihak yang menjadi bagian dari sistem itu bekerja untuk mencapai tujuan tertentu dalam kenyataan. Keterpaduan atau sinkronisasi itu sendiri meliputi sinkronisasi struktural, substansial maupun kultural.6 Pemahaman terhadap ketiga sinkronisasi ini penting, disebabkan karena apa yang dikatakan sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang terbuka (open system), hal ini ditimbulkan karena besarnya pengaruh lingkungan sosial terhadap pencapaian tujuan Sistem Peradilan Pidana tersebut. Adanya independensi antara sistem peradilan pidana dengan sistem sosial, digambarkan oleh La Patra sebagai berikut:7 Level 1: Masyarakat (society) Level 2: ekonomi, teknologi, pendidikan dan politik Level 3: sub-sistem Peradilan Pidana. Dengan demikian, tidak mungkin Sistem Peradilan Pidana tidak terpengaruh atau kedap terhadap pengaruh sub-sistem sosial di luarnya. Bahkan pengaruh luar itu sendiri akan menjadikan Sistem Peradilan Pidana menjadi unik.
5

Alan Coey et al, An Introduction to the Criminal Justice System and Process, Prentice Hall Inc, Englewood Clis, New Jersey, 1974 halaman 5 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 halaman 1 La Patra, Analizing the Criminal Justice System, Lexington Books, 1978, halaman 86

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

109

Suatu contoh pengaruh sub-sistem politik terhadap bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, dapat diasumsikan bahwa proses peradilan merupakan suatu sub-sistem dari sistem politik yang lebih luas, dalam hal mana konik diselesaikan. Pertimbangan-pertimbangan politik merupakan faktor dalam pengambilan keputusannya.8 Dengan tepat Soedarto mengemukakan bahwa membicarakan masalah penegakan hukum di sini tidak membicarakan bagaimana hukumnya, melainkan apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam penegakan hukum.9 Faktor-faktor eksternal seperti politik, ekonomi dan budaya tidak dapat diabaikannya ketika proses penegakan hukum itu dijalankan. Dalam perspektif ini, penegakan hukum hendaklah dilihat sebagai suatu proses sosial yang melibatkan lingkungannya, dalam pengertian bahwa penegakan hukum sebagai kegiatan yang menarik lingkungan ke dalam proses tersebut, maupun yang harus menerima pembatasan-pembatasan dalam bekerjanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Penegakan hukum tidak lagi didenisikan sebagai penegakan undang-undang belaka, akan tetapi dilihat sebagai kegiatan untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.10 Mewujudkan keinginan-keinginan hukum dalam kenyataan dapat diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan nilai-nilai dasar di dalam hukum seperti keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Nilai-nilai dasar ini merupakan fundamental hukum yang esensiil. Kita tidak dapat berbicara penegakan hukum apabila keadilan tiGeorge F. Cole, Politics and the Administration of Justice, Sage Publications, Beverly Hill, London halaman 20. Sejalan dengan pernyataan ini dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa subsistem politik menggarap masalah penentuan tujuantujuan yang harus dicapai oleh masyarakat serta bagaimana mengorganisasikan dan memobilisasikan sumber daya-sumber daya yang ada untuk mencapainya keputusan-keputusan politik sering dimasukkan atau dirumuskan ke dalam hukum positif.pengadilan menerima masukan dari sektor politik ini dalam bentuk petunjuk tentang apa dan bagaimana ia harus menjalankan fungsinya, khususnya dalam hubungan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dikejar oleh masyarakat. Di lain pihak, dengan penerimaan oleh pengadilan, maka keputusan-keputusan politik itupun menjadi sah atau memperoleh legitimasinya, lihat buku Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit CV Sinar Baru, Bandung, 1985 halaman 26 9 op cit halaman 113 10 Satjipto Rahardjo, op cit halaman 14
8

110

Bunga Rampai

dak terwujud, bahkan dalam batas tertentu nilai-nilai dasar tersebut hendaklah dilihat sebagai nilai antinomik. Demi sebuah kepastian hukum terkadang keadilan dikorbankan, sebaliknya untuk mewujudkan keadilan terkadang kepastian hukum diabaikan. Pernyataan ini tentu akan mendapat sanggahan dari mereka yang berpendirian normatif, bahwa keadilan dan kemanfaatan itu harus dicapai melalui kepastian hukum. Padahal dalam bingkai sosiologis, nilai kepastian hukum itu sendiri mengandung masalah yang substansial. Kepastian hukum --- yang menjadi tujuan dibuatnya undang-undang- tidak dapat dipandang sebagai kepastian yang hakiki, akan tetapi tidak lain dari kepastian akan peraturan belaka. Undang-undang dibuat untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan, akan tetapi dalam waktu tertentu nilai kepastian dapat dikorbankan demi mencapai tujuan keadilan, begitu juga nilai kemanfaatan. Sungguh suatu ironi, apabila demi menjaga suatu kepastian hukum, nilai keadilan harus dikorbankan. Hukum dengan berbagai pranatanya dibuat untuk memaslahatkan umat manusia dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental manusia pula. Dengan demikian nilai daya guna hendaknya menjadi perhatian dalam setiap upaya law enforcement. Sistem Peradilan Pidana hendaklah dilihat dalam bingkai yang lebih luas sebagaimana disebutkan di atas. Kita tidak dapat berbicara penegakan hukum tanpa melibatkan sub-sub SPP secara keseluruhan. Pendekatan sistemik harus menjadi acuan bekerjanya sistem itu dalam rangka penanggulangan kejahatan. SPP itu sendiri diartikan sebagai sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Makna menanggulangi di sini diartikan sebagai usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sebagai suatu sistem sosial yang lebih besar, SPP terkadang menimbulkan faktor kriminogen. Diantaranya SPP menimbulkan penderitaan, tidak dapat bekerja menurut tujuan yang dicita-citakannya dan SPP memiliki cacat yang
11

L.A. Louk Hulsman, The Criminal Justice System as a social problem : an abolitionist persepective, Part One, John R Blad (ed) Erasmus Universiteit Rotterdam, hlm 8

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

111

mendasar.11 Faktor kriminogen ini hendaknya menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dalam sub-SPP kita apabila tujuan akhir penegakan hukum (pidana) adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare). Law enforcement yang dilakukan melalui SPP melibatkan sistem birokrasi yang rumit dan canggih. Diantara karakteristik birokrasi (peradilan) misalnya sifat yang non personal, kekakuan, kelambanan menjadi faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Misalnya kelambanan dalam salah satu sub-sistem peradilan disebabkan beban kerja yang berat dan sumberdaya yang terbatas merupakan penyebab pelayanan kepada pencari keadilan menjadi tidak optimal, tidak tanggap dan tidak cepat. Pembicaraan tentang hal ini akan membawa kepada wacana keadilan yang birokratik, hal ini disebabkan karena usaha pemberian keadilan kepada warga tidak dapat dilakukan oleh warga masyarakat dengan cara-caranya sendiri, akan tetapi dilakukan melalui sistem birokrasi yang rumit dan canggih. Keadilan birokratik ini terkadang terlalu prosedural sehingga dalam hal-hal tertentu tidak sejalan dengan keadilan substantif. Birokrasi lebih berpegang kepada normanorma yang bersifat formal sehingga terkadang terbelenggu oleh prosedur, konsep, doktrin adagium dan sejenisnya, sehingga terkadang kepentingan justisiabelen diabaikan. Pada sisi yang lain terdapat ungkapan tegakkan hukum dengan cara-cara menurut hukum terkadang dalam hal-hal tertentu justru membawa dampak yang tidak produktif. Nilainilai yang menjadi dasar masing-masing pihak terkadang merupakan nilai-nilai antinomik, seperti nilai keadilan dan kepastian hukum, kepentingan pribadi dengan kepentingan umum dan sebagainya. Tugas SPP adalah meramu atau melakukan sintesis antara kedua nilai yang antinomi tersebut. Oleh karena itu pekerjaan penegakan hukum yang dilakukan melalui SPP bukanlah pekerjaan subsumptie otomat alias teknologi pencet tombol. Akan tetapi tindakan untuk merealisasikan nilai-nilai yang terkandung atau yang berada di belakang norma hukum yang hendak ditegakkan itu. Sebuah pekerjaan besar yang membutuhkan dedikasi dan determinasi. Dengan tepat Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pekerjaan mengadili (dalam perkara pidana) merupakan pekerjaan pergulatan

112

Bunga Rampai

kemanusiaan. Semua faktor internal (pribadi hakim) dan faktor eksternal (yang diadili) berbaur menjadi satu, di dalam tarik menarik berbagai faktor internal maupun eksternal itulah hakim harus memberikan putusan yang seadil-adilnya. Meskipun unsur keyakinan hakim menjadi faktor yang determinan dalam pembuatan putusan akan tetapi ketentuan hukum acara dan hal hal lain yang relevan hendaklah pula diindahkan. Aparat penyidik, penuntut umum maupun hakim bekerja dalam suatu keterpaduan yang harmonis. Mereka tidak bekerja dalam ruangan yang hampa. Dalam hal ini gagasan untuk tetap menghidupkan forum-forum seperti Makehjapol di tingkat pusat maupun Diljapol di tingkat daerah perlu didukung secara proporsional. Forum yang demikian itu untuk melakukan koreksi dan pengayaan terhadap segala sesuatu yang telah dan akan dilaksanakan ke depan. Pertemuan dalam forum tersebut dilandasi oleh semangat profesionalisme, integritas dan komitmen untuk menegakkan hukum seadil-adilnya, perlindungan hak-hak warganegara dan kerjasama yang produktif. Di samping itu dapat digunakan untuk meminimalisasi berbagai conict of interest yang mungkin timbul yang disebabkan oleh egoisme sektoral yang berlebihan. Laksana bejana berhubungan, keterpaduan tersebut tidak hanya meliputi hubungan antar sub-sistem dalam SPP tersebut secara tertutup, akan tetapi membentuk hubungan yang dinamis dengan sistem sosial yang lebih besar yang berada di luarnya. Diharapkan dengan cara demikian SPP tidak menjadi lembaga yang terasing dalam lingkungan sosialnya, akan tetapi merupakan lembaga sosial yang bermakna, populis dan holistik. Kesadaran seperti inilah hendaknya menjadi semangat aparatur yang mengemban tugas penegakan hukum dalam tiap sub Sistem Peradilan Pidana kita. Kejaksaan Kekuasaan Eksekutif Penegasan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia merupakan bagian eksekutif power di negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Hal ini disebabkan karena kekuasaan untuk menuntut dan mengeksekusi putusan pengadilan merupakan wewenang absolut kejaksaan. Pembagian tradisionil dalam sistem ketatanegaraan legislatif, eksekutif dan yudiKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

113

katif telah menempatkan kejaksaan dalam hal ini sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.12 Meskipun dapat dipahami bahwa kedudukan institusi dalam posisi yang demikian itu, dapat menempatkan kejaksaan dalam posisi yang dilematik dan vulnerable. Dalam penanganan kasus korupsi maupun illegal logging misalnya, di mana melibatkan orang-orang yang mempunyai kuasa politik atau ekonomi terkadang menjadikan kejaksaan sebagai sasaran kritik. Dalam dilematik itu kejaksaan harus menentukan sikapnya. Ketika itu kesan tebang pilih yang muncul di masyarakat tidak dapat dihindarkan. Sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif kejaksaan harus mampu mengambil sikap dalam posisi yang sulit sekalipun. Untuk hal itu, wacana agar Kejaksaan dilepaskan dari kekuasaan pemerintahan sepatutnya diperhatikan. Hal ini disebabkan karena selama kejaksaan berada di bawah bayang-bayang pemerintah, selama itu pula obyektitas kejaksaan terus menerus dipertanyakan. Di lain pihak, munculnya lembaga-lembaga lain dengan kewenangan yang berpotensi mereduksi tugas dan wewenang kejaksaan, merupakan faktor yang menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dalam rangka penegakan hukum. Ketidakmandirian kejaksaan dalam melaksanakan tugas penuntutan lebih disebabkan karena faktor perundang-undangan yang dijadikan landasannya.13 Landasan perundang-undangan dalam tataran konsepsional tadi, menjadi realitas dalam tataran aplikasinya di lapangan. Sehingga kesan ketidakmandirian

12

13

Pengaturan ini dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, begitu pula dalam undang-undang kejaksaan sebelumnya. Pengaturan seperti ini terkadang menimbulkan indikasi ketidakmandirian kejaksaan di tengah-tengah arus pusaran kepentingan eksekutif. Dengan demikian terjadi hubungan interdependensi antara kebakan pemerintah dengan tugas-tugas kejaksaan. Kebakan demikian membawa kesan bahwa kejaksaan melakukan tebang pilih dalam melakukan tuntutan dalam kasus-kasus tertentu. Secara jujur harus dikatakan bahwa kebakan yang berkaitan dengan penegakan hukum, yang menjadi sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan semata-mata karena perilaku aparatur kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan. Lihat Marwan Eendi, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 2005 halaman 50

114

Bunga Rampai

tidak dapat dielakkan. Meskipun bukan alasan untuk menjustikasi kedudukan yang demikian untuk menjadikan kejaksaan tidak independen. Semuanya tergantung kepada niat, tekad dan keberanian pimpinan kejaksaan untuk keluar dari kungkungan kekuasaan eksekutif yang mempengaruhi netralitasnya. Institusi ini pernah dipimpin oleh Jaksa Agung Soeprapto yang menunjukkan kemandirian dan keberaniannya menegakkan hukum. Begitu juga dengan Alm Baharuddin Lopa yang dengan keberaniannya menyeret pelanggar hukum ke pengadilan dan mengeksekusi terpidana secara cepat.14 Kesemuanya tergantung tekad dan keberanian jaksa dalam menjalankan tugasnya secara mandiri, jaminan undang-undang yang memberi kemandirian jaksa dalam melaksanakan tugasnya di lapangan tidak berarti banyak jika tidak diikuti dengan semangat mengabdikan segenap jiwa raganya untuk kepentingan tugas penegakan hukum yang diembannya. Pada pihak lain pengaruh sosial politik hendaknya memberikan ruang gerak yang luas kepada kejaksaan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara mandiri. Selama ini kesan bahwa kejaksaan dapat diintervensi oleh kekuasaan atau partai politik sulit dihindarkan. Oleh karena itu pengangkatan jabatan strategis di lingkungan kejaksaan bahkan Jaksa Agung haruslah bersandarkan kepada merit system. Sebagai bagian kekuasaan eksekutif, tentu bukanlah alasan pembenar bagi pemerintah untuk mengintervensi pengisian jabatan-jabatan strategis di tubuh kejaksaan, karena apabila campur tangan itu dilakukan berarti menjadikan lembaga ini berada di bawah bayang-bayang pemerintah. Oleh sebab itu terwujudnya due process of law sulit direalisasikan. Sebagai lembaga yang mengemban tugas penegakan hukum, kewajiban bagi jaksa dan aparat kejaksaan dalam
14

Kita tentu masih ingat dengan kebakan alm Baharuddin Lopa yang menusakambangankan terpidana korupsi. Kebakan demikian mengundang simpati publik. Bahkan Lopa berhasil membebaskan kejaksaan dari belenggu formalisme ketika ia mengatakan bahwa untuk menyeret seorang tersangka korupsi, tidak perlu setumpuk bukti yang saya butuhkan, cukup dengan beberapa lembar kertas saya sudah dapat menjadikan seseorang sebagai terdakwa, demikan katanya pada suatu waktu.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

115

melaksanakan tugasnya mengindahkan norma-norma kesopanan, kesusilaan dan keharusan menjaga kehormatan dan martabat profesinya di samping terus menerus menggali nilai-nilai hukum yang berkembang merupakan suatu keniscayaan. Kewajiban demikian akan mengontrol kejaksaan agar tidak terjebak kepada pertarungan kepentingan yang sempit dan sesaat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tugas penegakan hukum tidak tergantung kepada kepentingan penguasa atau kepentingan apapun, kecuali kepentingan keadilan, kemanusiaan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, hal mendesak untuk dilakukan saat ini misalnya sistem pertanggung jawaban yang berlaku di kejaksaan perlu dilakukan peninjauan kembali. Sistem demikian dapat menyebabkan kejaksaan akan dengan mudah diintervensi oleh kekuasaan.15 Pada sisi lain jaksa tidak dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalismenya secara optimal. Petunjuk-petunjuk atasan, instruksi dan sejenisnya merupakan hambatan nyata bagi jaksa dalam melaksanakan tugas-tugas penuntutan. Di samping itu kemandirian jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan hendaklah dijamin secara utuh. Begitu juga sistem keamanan dirinya hendaknya dijamin. Dalam Guidelines on the Role of Prosecutor terdapat ketentuan mengenai hal ini, antara lain jaksa adalah unsur utama dari agent of the administration of justice yang harus menjaga martabat profesinya. Di samping itu, negara harus menjamin keamanan jaksa agar bebas dari pelbagai gangguan dalam melaksanakan tugas profesinya. Dengan adanya jaminan demikian diharapkan jaksa dan kejaksaan pada umumnya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu penetapan kebijakan yang menyangkut institusi kejaksaan hendaklah selain mengacu kepada tuntutan nasional juga harus mengindahkan aspirasi masyarakat yang berkembang secara universal, seperti

15

Doktrin Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan (een an ondelbaar) layak untuk dipertimbangkan karena mempengaruhi independensi jaksa ketika menjalankan tugas-tugas penuntutan. Doktrin demikian tidak selaras dengan tuntutan kemandirian dan profesionalisme kejaksaan dalam melaksanakan tugas-tugas penuntutan. Lihat Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 121.

116

Bunga Rampai

penetapan standar minimum tugas profesi jaksa atau penyusunan kode perilaku jaksa mendesak untuk direalisasikan dengan mengacu pada Guidlines di atas. Sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang yang luas dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara begitu juga tugas dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, wewenang kejaksaan untuk juga mengemban tugas-tugas lain jika ditetapkan dengan undang-undang terkait kedudukan sebagai lembaga pemerintahan layak dipertimbangkan. Dalam undang-undang sebelumnya di sebutkan bahwa Kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.16 Akan tetapi dalam undang-undang yang menggantikannya ditegaskan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kedudukan sebagai lembaga pemerintahan ini mengakibatkan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan berbeda dengan sebelumnya. Di samping masalah yang bersifat struktural tersebut, faktor nansial juga menentukan tingkat capaian-capaian yang diperoleh instansi ini. Keterbatasan sarana, prasarana dan faktor nansial ini menyebabkan kejaksaan kalah berpacu dengan tuntutan perkembangan zaman. Keadaan sarana dan prasarana yang masih minim begitu juga dukungan sumber daya manusia yang tidak proporsional membuat kejaksaan sebagai lembaga yang rentan. Kritik yang dialamatkan kepada institusi kejaksaan, terkadang didasarkan kepada pengamatan yang tidak cermat. Anggaran operasional dan anggaran pembangunan yang masih terbatas merupakan kendala yang serius dan hendaknya menjadi prioritas ke depan untuk segera diantisipasi. Kedudukan yang strategis yakni menentukan perkaraperkara apa yang akan dilimpahkan ke pengadilan, besarnya tuntutan pidana dan cara bagaimana putusan hakim dijalankan menjadi tanggung jawab kejaksaan sepenuhnya, di sisi lain keterbatasan-keterbatasan sebagaimana disebutkan
16

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 ini bisa jadi merupakan faktor yang menimbulkan kemandirian kejaksaan pada waktu itu, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara independen.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

117

di atas memerlukan tindakan konkrit untuk dilakukan pembenahan sesuai dengan tuntutan yang berkembang saat ini. Masyarakat tidak boleh membiarkan atau menjadikan kejaksaan sebagai bulan-bulanan ketidakpuasan, akan tetapi hendaknya menjadikan institusi ini berdaya. Kekurangan dan kesalahan di sana-sini tentu tidak akan diabaikan. Sistem reward dan punisment tentu harus dilakukan secara transparan dan konsisten. Konsistensi ini akan menimbulkan gairah kerja jaksa dan pegawai kejaksaan untuk memberikan darma bakti yang sebaik-baiknya kepada bangsa melalui institusi kejaksaan ini. Selama ini sistem reward dan punisment belum terpolakan secara jelas, sehingga kesan subyektif tidak dapat dihindarkan. Kondisi yang lebih trasparan dan obyektif harus diciptakan dan dibakukan secara konkrit, sehingga merit system dapat berjalan dengan baik. Sebagai suatu institusi sosial, kejaksaan tidak dapat lepas dari pengaruh-pengaruh sekelilingnya. Kedudukan sebagai lembaga pemerintahan tersebut, dapat menyebabkan kejaksaan berada dalam ranah politik. Kondisi demikian tidak hanya terjadi di negeri kita sebagaimana dikemukakan oleh Cole bahwa SPP dalam hal ini juga kejaksaan merupakan lembaga politik.17 Melalui kewenangan yang dimilikinya, kejaksaan dapat menentukan perkara-perkara mana yang akan dituntut. Sebagaimana legislator dan hakim, kejaksaan memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk membuat kebijakan-kebijakan politik.18 Jaksa memiliki kekuasaan diskresioner yang berpengaruh dalam usaha penegakan hukum. Kebijakan yang ditetapkan oleh kejaksaan merupakan reeksi prioritas nilai-nilai politik yang

17 18

19

George F. Cole, op cit halaman 3 George F. Cole, Politics and the Administration of Justice, Sage Publications, Beverly Hills/London, 1973 halaman 112 Kebakan seperti ini dapat kita lihat misalnya dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberatasan Korupsi, diantaranya terdapat instruksi agar kebakan untuk memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka.

118

Bunga Rampai

ditetapkan ketika itu.19 Di sinilah kejaksaan ternyata tidak cukup bekerja dengan menggunakan norma-norma hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dibutuhkan keberanian untuk melaksanakan tugas di tengah-tengah tarik menarik berbagai kepentingan yang dominan pada waktu itu. Oleh karena itu menurut Harkristuti Harkrisnowo, yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat lembaga kejaksaan harus selalu memiliki komitmen pada hukum dan keadilan. Untuk itu, akuntabilitas kejaksaan harus lebih banyak ditekankan kepada kepentingan publik, bukan kepentingan politik kelompok tertentu. Di sinilah pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung hendaknya dilepaskan dari berbagai kepentingan politik sesaat. Karena apabila kebijakan tersebut tidak diindahkan dapat mengakibatkan kejaksaan terperosok dalam kepentingan kekuasaan yang sempit. Kepentingan untuk menegakkan hukum, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan keadilan akan terabaikan. Pengangkatan Jaksa Agung begitu pula pengisian jabatan-jabatan strategis di lingkungan kejaksaan haruslah didasarkan kepada kepentingan untuk menegakkan nilainilai keadilan dan kemanusiaan yang hakiki, di samping untuk mengisi jabatan sesuai dengan kebutuhan. Begitu pentingnya tujuan tersebut, sehingga keberanian dan integritas seorang pimpinan kejaksaan menjadi syarat mutlak di samping keahlian tehnis yuridis yang dimiliki jaksa pada umumnya. Itu semua diharapkan akan terwujud, manakala institusi kejaksaan menjadi lembaga negara. Kedudukan sebagai lembaga negara itu akan menciptakan kemandirian yang sesungguhnya bagi kejaksaan untuk melakukan tugas dan wewenangnya tanpa intervensi kekuasaan eksekutif. Di samping kemandirian organisasi/institusional, kemandirian personal/individual dapat pula ditumbuhkan. Dalam melaksanakan tugas penuntutan, apabila kemandirian personal ini terwujud seorang jaksa akan memiliki kemandirian yang sepenuhnya tanpa ada intervensi atasan atau pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Begitu juga harus ada jaminan bagi jaksa terhadap keselamatan diri dan keluarganya dari berbagai ancaman yang mengganggu kemandiriannya sebagai aparatur penegak hukum.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

119

Masalah di atas merupakan salah satu diantara sekian masalah yang dihadapi oleh jaksa dan kejaksaan pada umumnya pada waktu menjalankan tugas penuntutan dan tugas-tugas lainnya yang membutuhkan integritas. Untuk itu perhatian atas semua ini harus dipusatkan agar kemandirian jaksa terwujud. Kita tidak dapat menunggu perubahan undang-undang kejaksaan untuk menciptakan kemandirian demikian, penguatan civil society saat ini merupakan momentum yang bagus untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Penguatan masyarakat sipil saat ini dapat digunakan untuk meningkatkan harkat dan martabat kejaksaan ke arah kemandirian yang sesungguhnya. Pemberdayaan sektor publik dan sektor privat yang tengah berlangsung saat ini hendak-lah dimanfaatkan sebaik-baiknya guna menuju tegaknya supremasi hukum. Perubahan politik apapun yang terjadi tidak akan membawa arti yang signikan, apabila tidak diikuti dengan usahausaha untuk memandirikan kejaksaan sebagai bagian dalam Sistem Peradilan Pidana pada umumnya sehingga menjadi institusi penegak hukum yang terpercaya. Reformasi Peradilan, Tuntutan Publik Jika kita mempersempit makna peradilan dengan pengadilan, kita dapat melihat bahwa salah satu tuntutan reformasi yang bergulir hampir satu dasawarsa yang lalu yakni kemandirian badan-badan peradilan yang puncaknya pada Mahkamah Agung (MA). Sebagai benteng terakhir keadilan, MA diharapkan dapat mengemban amanah reformasi yang merupakan tuntutan publik yang disuarakan oleh mahasiswa dan segenap lapisan masyarakat yang menginginkan hukum ditegakkan seadil-adilnya. MA sebagai puncak tertinggi dalam peradilan kita menjadi tumpuan harapan publik terutama dalam penanganan perkara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN sebagai virus yang menggerogoti pembangunan merupakan musuh nyata masyarakat yang harus diberantas hingga ke akarakarnya. Ekspektasi masyarakat yang begitu kuat selayaknya direspon oleh lembaga ini secara konsisten. Akan tetapi kenyataan yang berkembang sesudahnya menunjukkan lembaga ini belum dapat menjawab tuntutan reformasi

120

Bunga Rampai

yang begitu kuat. MA justru menjadi lembaga yang menghambat tuntutan publik untuk tegaknya supremasi hukum.20 Meskipun reformasi yang dalam hakikatnya menghendaki perbaikan di semua bidang kehidupan, lembaga-lembaga peradilan masih asik dengan masalahnya sendiri. Fenomena ini jelas menunjukkan resistensi lembaga peradilan terhadap tuntutan reformasi. Alih-alih melaksanakan reformasi di tubuh dunia peradilan, wajah peradilan melalui MA seakan tidak tersentuh reformasi. Bahkan terkesan justru counter produktive maupun over protective terhadap tuntutan publik bagi reformasi peradilan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, fakta menunjukkan bahwa lembaga peradilan tidak dapat melepaskan diri dari kongurasi politik yang terus menerus berkembang. Berbagai kritik dan saran telah disampaikan. Kesemua itu menunjukkan betapa masyarakat mempunyai kepedulian yang besar terhadap lembaga ini. Oleh karena itu ungkapan yang dialamatkan kepada mereka yang kritis terhadap peradilan seperti melakukan contempt of court layak dipertanyakan. Realitas menunjukkan bahwa kongurasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang pemerintah yang tengah berkuasa. Pengalaman dalam dua sistem pemerintahan yang pernah dianut oleh Indonesia, baik ketika Orde Lama dengan demokrasi terpimpin juga Orde Baru dengan demokrasi Pancasila mempunyai standar-standar yang dapat diperbandingkan. Kedua rezim memiliki kesamaan-kesamaan dalam memberdayakan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman tidak otonom dari pengaruh rezim yang berkuasa ketika itu. Di bawah rezim demokrasi terpimpin, kekuasaan kehakiman ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif; begitu juga di era Orde Baru kekuasaan kehakiman justu dikukuhkan dengan undang-undang sehingga menjadi bagian dari mesin kekuasaan politik Orde

20

Banyak fakta yang menunjukkan bahwa MA merupakan lembaga yang tidak responsif terhadap tuntutan publik demikian, hal ini terlihat dari putusan-putusannya yang kontroversial, terungkapnya isu suap di kalangan hakim agung, perpanjangan usia pensiun Ketua MA sampai kepada perseteruannya dengan Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

121

Baru. Lembaga peradilan dilumpuhkan sedemikian rupa sehingga tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan terlena di bawah bayang-bayang kekuasaan pemerintahan.21 Secara khusus Benny K Harman menyatakan bahwa kongurasi politik yang demokratis akan melahirkan kekuasaan kehakiman yang independen, memiliki wewenang judicial review, tidak legalistis, melaksanakan cita hukum, tidak memiliki kewajiban untuk tunduk pada visi dan kepentingan politik pemerintah. Sebaliknya jika kongurasi politiknya otoriter, maka kekuasaan kehakiman cenderung memiliki karakter tidak independen, memiliki wewenang judicial review yang terbatas, para hakim sangat legalistis/positivisme dalam memutus perkara dan para hakim akan mendukung serta terikat pada visi dan kepentingan politik pemerintah.22 Dalam kasus Hanoch Abee Ohee, MA menganulir putusannya melalui surat sakti Ketua MA yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan di Jayapura untuk menunda eksekusi putusan yang telah in kracht van gewijsde. Begitu juga dalam kasus Gandhi Memorial School, pemalsuan vonis, hingga isu suap yang melanda badan peradilan tertinggi ini merupakan contoh bahwa lembaga yang disebut sebagai benteng terakhir keadilan ini tidak steril dari korupsi, kolusi dan nepotisme.23 Begitu juga penelitian A Mohammad Asrun yang mengkritisi peranan badan peradilan di bawah bayang-bayang rezim Orde Baru, menurut beliau, pemerintahan di era ini telah menghambat independensi kekuasaan kehakiman yang mandiri. Malahan diciptakan dualisme ditubuh badan peradilan, dengan menempatkan sisi teknis peradilan di bahwa MA, tetapi sisi administratif dan nansial di bawah eksekutif. Menurut Asrun.24 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan kekalahan kaum reformis yang ketika

21

22 23

24

Hal ini dapat dilihat dari penelitian Benny K Harman, Kongurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, penerbit Elsam, Jakarta 1997. Ibid, halaman 450 Salah satu ulasan yang menarik tentang KKN dilingkungan badan Peradilan kita lihatlah buku Menyingkap Kabut Peradilan Kita, Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung, Aldentua Siringoringo dan Tumpal Sihite (Penyunting), Penerbit Pustaka Forum Adil Sejahtera, Jakarta, 1996 A Muhammad Asrun, Krisis Peradilan, Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Penerbit Elsam, Jakarta, 2004, halaman 4

122

Bunga Rampai

itu bekerja keras untuk mencegah terulangnya pengebirian kekuasaan di masa rezim Demokrasi Terpimpin. Dengan adanya kenyataan tentang masalah organisasi, administrasi dan keuangan, para hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tergantung sepenuhnya pada Departemen Kehakiman ketika itu, akibatnya akan sulit diharapkan kemandirian mereka ketika menjalankan tugas-tugas yudisial mereka. Tak terkecuali pula dengan MA, meskipun lembaga ini tidak seratus persen berada di bawah pemerintahan, akan tetapi dalam menentukan personalianya tergantung kepada presiden.25 Penentuan Ketua dan Wakil Ketua MA merupakan kewenangan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara. Walaupun kedudukan sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini sukar untuk diabaikan. Karut marut wajah peradilan memperoleh bentuknya yang sempurna manakala kekuasaan eksekutif berhasil merasuki wilayah yudikatif dengan menodai kemandiriannya.26 Tindakan demikian jelas melukai perasaan keadilan masyarakat. Reformasi dalam tubuh peradilan menjadi conditio sine qua non untuk memenuhi tuntutan publik tersebut. Sebastian Pompe mengemukakan bahwa untuk mereformasi dunia peradilan di Indonesia tidak dapat dilakukan secara fragmentaris akan tetapi meliputi reformasi kebijakan yang bersifat institusional, kontrak sosial dan reformasi manajemen instrumental. Usaha reformasi di dunia peradilan diantaranya mencakup reformasi di MA, manajemen keuangan, personel, pendidikan, komisi yudisial, peradilan niaga dan peradilan hak asasi manusia. Keterpurukan dunia peradilan disebabkan karena sistem sosial yang karut marut, sehingga lembaga peradilan

25

26

Lihat Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Hukum & Peradilan, Penerbit Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2007 halaman 57 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Penerbit RajaGrando Persada, Jakarta, 2006, bahwa:kebebasan yang dimiliki lembaga pengadilan tidak lain merupakan suatu kemandirian yang sangat diperlukan (indispenseble) dan Conditio Sine Quanon (harus tidak boleh tidak adanya) karena selain menunjukkan bahwa negara ini adalah Rechtsstaat juga menunjukkan akan adanya jaminan terselengaranya peradilan yang independen guna menegakkan hukum yang berintikan keadilan. Halaman 199 200.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

123

ikut menjadi korbannya. Oleh karena itu, upaya pembenahan ditubuh peradilan harus dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Sebastian Pompe mengingatkan bahwa reformasi lembaga peradilan ini hendaknya menjadi keprihatinan kita semua.27 Keterpurukan peradilan haruslah menjadi concern masyarakat seluruhnya. Keterlibatan semua komponen sosial agar menjadikan lembaga peradilan menghasilkan daya guna dan hasil guna yang maksimal untuk mewujudkan prinsip negara hukum merupakan sebuah keniscayaan. Di era reformasi ini kita membutuhkan lembaga-lembaga peradilan yang reformis pula. Pendekatan tradisional yang selama ini dipraktikkan hendaklah ditinggalkan. Saat ini kita membutuhkan suatu penegakan hukum yang progresif, bukan penegakan undang-undang yang secara linear diartikan sebagai penegakan hukum.28 Gagasan peradilan progresif sebagaimana dilontarkan oleh Satjipto Rahardjo hendaklah dilihat sebagai eksemplar atau alternatif keluar dari krisis peradilan saat ini. Peradilan yang progresif ditandai dengan cara-cara yang progresif dalam memandang hukum. Penegakan hukum hendaklah berpijak kepada kepentingan nilai-nilai kemanusiaan, oleh karena itu belenggu formalisme, prosedur dan sekalian doktrin konvensional hendaklah ditanggalkan karena akan menimbulkan kesengsaraan, ketidak adilan dan kesewenangwenangan. Lembaga-lembaga hukum seperti pengadilan hendaklah membantu manusia untuk menyelesaikan koniknya sendiri

27

28

Sebastian Pompe, Managing Court Reform, Understanding the Indonesian Blueprints for Court Reform dalam Jentera, Edisi 15 Tahun IV Januari Maret 2007, halaman 60. tentang peranan MA dan urgensi reformasi di tubuh MA dapat dibaca buku Henry P Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 2001. meskipun kajian terbatas kepada fungsi MA dalam upaya penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi Pengawasan Mahkamah Agung akan tetapi buku ini dapat memberikan kontribusi positif bagi reformasi peradilan. Tentang gagasan ini dapat dibaca tulisan-tulisan Satjipto Rahardjo, diantaranya Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif harian Kompas, juga Mahkamah Agung Reformasi harian Kompas, Jumat, 18 September 1998 dapat dadikan referensi untuk merintis sistem peradilan progresif itu.

124

Bunga Rampai

dengan menggunakan seluruh kapasitas kemanusiaannya. Peranan hakim menjadi sentral dalam hubungan kemanusiaan ini. Oleh karena itu, semua pihak harus berjuang untuk mengembalikan hukum kepada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya.29 Dengan cara demikian, diharapkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan terwujud. Kepatuhan hukum yang bersandarkan kepada kesadaran hukum yang hakiki. MA sebagai lembaga peradilan yang tertinggi di Republik ini, hendaklah memulai langkah-langkah progresif ini, sehingga pengadilan di bawahnya akan melakukan hal yang sama. Secara keseluruhan, tindakan reformis itu akan diikuti juga oleh kepolisian dan kejaksaan secara berkesinambungan. Dalam rangka menciptakan independensi peradilan beberapa hal hendaklah menjadi perhatian, antara lain: menjauhi hal-hal yang bersifat fragmentaris dan mengedepankan pendekatan sistemik, mengutamakan kebenaran dan keadilan, melakukan promosi dan perlindungan hak asasi manusia, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan kekuasaan politik, sistem hukum yang kondusif untuk terciptanya supremasi hukum, konsep kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa dan perasaan hukum masyarakat. Prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman ini merupakan prinsip yang diakui secara universil, seperti UN Basic Principles on the Independence of Judiciary (1985). Oleh karena itu, reformasi di badan peradilan harus dilakukan secara menyeluruh dan integral. Reformasi itu meliputi elemen struktural (kelembagaan yang terkait pada sistem), elemen substansial (hukum positif yang mendasari jalannya sistem tersebut) dan elemen kultural (pandangan, sikap, bahkan loso yang mendukung efektivitas sistem tersebut). Untuk mencapai tujuan yang demikian luas itu, reformasi di jajaran kekuasaan kehakiman yang dimulai dari MA hendaklah mengikuti skala prioritas yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam jangka pendek, reformasi struktural dan

29

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, halaman 27.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

125

substansial harus diprioritaskan dan dalam jangka panjang melakukan reformasi kultural. Reformasi struktural tersebut meliputi reformasi kelembagaan di wilayah eksekutif seperti kepolisian, kejaksaan dan juga wilayah legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat.30 Melalui pendekatan sistemik ini, reformasi hukum dan peradilan akan memperoleh bentuk yang sesungguhnya. Sinkronisasi atau harmonisasi antar sub-sistem secara keseluruhan akan tercipta. Dengan demikian terjadinya conict of interest antar sub-sistem dapat dihindari. Pendekatan fragmentaris dan sektoral akan diminimalisasikan. Begitu pula pendekatan legalistik selama ini harus ditinggalkan. Untuk memenuhi harapan itu dibutuhkan kemampuan hakim dalam memahami hukum melampaui batas-batas teks perundang-undangan. Kecerdasan intelektual harus diimbangi pula dengan kematangan spritual, konsekuensinya akuntabilitas hakim tidak hanya sebatas undang-undang akan tetapi secara moral dan sosial. Moral and social accountability ini merupakan salah satu karakteristik peradilan yang reformis. Untuk itu pula, tugas hakim tidak hanya menerapkan undang-undang terhadap perkara yang tengah diadilinya, akan tetapi suatu kegiatan yang merupakan proyek besar untuk menciptakan keadilan (sosial), keadilan yang dapat diterima semua pihak karena didasari oleh tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana kepala putusan yang dibacakannya. Apabila lembaga peradilan diartikan secara luas, maka meliputi juga kekuasaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian semangat itu harus menjiwai semua lingkungan badan peradilan di atas. Hakekat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, hendaklah dilihat dalam perspektif yang luas. Kekuasaan kehakiman dalam arti ini hendaklah dilihat sebagai suatu bagian yang integral antar sub-sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) sebagaimana disebutkan di muka yang meliputi subsistem penyidikan, penuntutan, peradilan dan pema-

30

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit The Habibie Center, Jakarta 2002, halaman 10

126

Bunga Rampai

syarakatan. Kemandirian dan kemerdekaan itu tidak akan berarti banyak apabila hanya dimiliki oleh salah satu subsistem dalam SPP di atas.31 Dalam ide ini, kebijakan legislatif atau perundang-undangan merupakan tahap awal untuk menentukan kemandirian lembaga ini yang nantinya diikuti oleh taraf aplikatif di lapangan ketika wilayah penegakan hukum in concreto dijalankan. Kebijakan legislatif atau perundang-undang merupakan wilayah yang strategis untuk menentukan kemandirian kekuasaan kehakiman dalam tataran aplikatif di semua lingkungan peradilan nantinya. Walaupun harus tetap dipahami bahwa kebijakan legislatif ini tidak secara taken for granted terwujud di lapangan. Penegakan hukum bukanlah pekerjaan penerapan peraturan dan logika yang secara tradisionil sebagaimana diterapkan selama ini. Pengadilan dalam arti luas, berupaya untuk mewujudkan peradilan progresif di mana kegiatan tersebut hendaklah dilihat sebagai suatu proses yang sarat dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Ketika yang menjalankan kekuasaan kehakiman itu terdiri atas manusia, maka predisposisi sebagai subyek untuk menentukan pilihan dalam berbagai alternatif tidak dapat diabaikan. Reformasi peradilan sesungguhnya tergantung kepada predisposisi subyek yang melakukan penegakan hukum (pidana) mulai penyidik, penuntut umum dan hakim. Ungkapan Taverne layak dikemukakan di sini ketika ia mengatakan: berikan saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun, saya akan menghasilkan putusan yang adil. Apakah makna semuanya ini? tidak lain predisposisi subyek akan menentukan kemandirian badan peradilan, lepas dari kungkungan pemikiran yang legalistik. Keadilan menjadi tujuan akhir penegakan hukum, jika tidak, ungkapan Immanuel Kant layak dikemukakan di sini: If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth oleh karena itu keadilan hendaklah menjadi roh penegakan hukum yang sesungguhnya.

31

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakah Hukum dan Kebakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007 halaman 35

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

127

Untuk menegakkan hukum secara adil, paling tidak harus dipenuhi beberapa syarat misalnya: pertama,32 hukum yang akan ditegakkan haruslah benar dan adil. Suatu aturan hukum akan tidak benar dan tidak adil apabila hanya dibuat untuk kepentingan kekuasaan belaka dan mengandung kesewenang-wenangan. Kedua, pelaku penegakan hukum yang merupakan kunci utama untuk terwujudnya substantive justice. Unsur pelaku penegakan hukum ini tidak bisa diabaikan, karena menyangkut kompetensi dan independensi. Di atas telah dikemukakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman meliputi independensi kelembagaan dan independensi personal/individual. Kedua independensi ini harus dilihat sebagai hubungan dialektik. Karena di satu pihak independensi atau impartially kelembagaan hanya dapat terwujud melalui perilaku nyata personal/individu penegakan hukum; di sisi lain independensi personal/individual terkadang diidentikkan dengan independensi kelembagaan. Ibarat nila setitik rusaklah susu sebelanga, merupakan ungkapan tepat untuk menggambarkan bahwa perilaku kelembagaan dimanifestasi melalui perilaku individu. Penyimpangan yang dilakukan oleh oknum peradilan dapat menjadi cermin korupnya lembaga itu secara keseluruhan. Dan pada akhirnya keterpurukan dunia peradilan menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Reformasi yang sejatinya menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik daripada sebelumnya, kalau tidak dikelola secara rasional dapat berbalik menjadi deformasi hukum.33 Keadaan deformasi hukum itu merupakan bentuk kesewenang-wenangan secara telanjang, penyalahgunaan kekuasaan dipraktikkan secara terang-terangan bahkan dibungkus secara rapi melalui slogan hukum seperti asas legalitas, perlindungan hak asasi manusia dan asas praduga tidak bersalah. Keadaan itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena

32

33

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (suatu Pencarian) FH UII Press Yogyakarta, 2005, halaman 9 J.E Sahetapy, yang memberi teladan dan menjaga nurani hukum & politik, Komisi Hukum Nasional, Jakarta 2007 halaman 29

128

Bunga Rampai

prinsip negara hukum akan runtuh. Supremasi hukum akan tumbang dan kesewenang-wenangan akan terjadi dimanamana. Reformasi hendaknya dijadikan pintu masuk ke arah pembenahan komponen substantif, struktural dan kultural penegakan hukum ke arah yang lebih baik. Kekuasaan harus ditundukkan kepada hukum bukan sebaliknya. Penegak hukum harus mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran dengan resiko terberat sekalipun. Polisi, Jaksa dan Hakim harus diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas pribadi yang kokoh dalam pengabdian tugas-tugasnya demi bangsa, negara dan darma sejarahnya disamping kemampuan intelektual yang mumpuni, ketangguhan moral yang tahan uji dan semangat pengabdian yang tinggi. Kontribusi Kejaksaan Dari paparan di atas, secara implisit dapat disimpulkan bahwa independensi kekuasaan kehakiman/peradilan merupakan suatu sistem yang integral. Kemandirian suatu sub-sistem peradilan tidak akan berarti banyak jika tidak diikuti kemandirian sub-sistem lain secara menyeluruh. Dalam kedudukan sebagai lembaga pemerintahan, iklim politik yang tengah berkembang janganlah justru menjadikan kejaksaan kehilangan independensinya. Politisasi lembaga kejaksaan dalam melakukan penuntutan perkara pidana hendaklah dihindarkan oleh siapapun juga dengan motivasi apapun. Masih terlalu dini untuk menilai kinerja Jaksa Agung saat ini, akan tetapi dapat dikemukakan bahwa apa yang telah dirintis oleh Hendarman Supandji merupakan langkah yang terbilang berani. Upaya untuk memproses secara hukum tersangka korupsi dalam skala yang besar membutuhkan dukungan dari sub-sistem politik dan sosial keseluruhan, sebab jika tidak Kejaksaan Agung hanya bekerja untuk dirinya sendiri alias tidak membawa daya guna dan hasil guna. Lembaga politik seperti lembaga perwakilan dan juga partai-partai politik harus memberi dukungan yang setulus-tulusnya terhadap langkah-langkah yang telah diayunkan oleh kejaksaan hatta menyangkut dirinya sendiri sekalipun. Secara konseptual, kontribusi lembaga kejaksaan untuk mempercepat reformasi peradilan dimulai dengan kebijakan
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

129

dalam tataran legislatif atau perundang-undangan dengan menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang independen dari pengaruh kekuasaan apapun. Independensi itu tidak dalam tataran konsepsi akan tetapi hingga tataran realitas atau operasional di lapangan harus diwujudkan. Melakukan penataan terhadap lembaga hukum yang lain secara sistemik termasuk juga lembaga kepengacaraan sehingga tercapai integrated criminal justice system yang sesungguhnya. Penguatan masyarakat madani (Civil Society) harus diikuti dengan penguatan sistem kelembagaan penegakan hukum ke arah pembentukan kultur hukum yang lebih baik. Penggarapan komponen substantif dan struktural hendaklah diarahkan kepada pembentukan kultur hukum yang bertujuan untuk menegakkan substantive justice bersandarkan kepada profesionalisme dan integritas yang teruji. Untuk itu sikap vigilantisme hukum harus ditumbuhkan. Mereka, para jaksa yang bertugas di daerah terpencil jauh dari sorotan media massa dan dengan penuh dedikasi dalam tugasnya merupakan vigilantee yang berjuang untuk kejayaan dan kehormatan profesinya. Mereka jauh dari tindakantindakan yang bertujuan mencari sensasi atau popularitas untuk dirinya sendiri. Mereka yang mengabdikan segenap kemampuannya bagi kejayaan bangsa ini. Mereka-mereka inilah pendekar hukum yang sesungguhnya, oleh karena itu pimpinan kejaksaan hendaklah memberikan perhatian yang besar baik menyangkut promosi maupun kompensasi-kompensasi lainnya. Kebijakan undang-undang yang menentukan jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan tugas-tugas penuntutan, walaupun dalam tataran empiris menimbulkan permasalahan, akan tetapi mengandung nilai yang positif apabila dikelola, karena itu semua pihak harus melepaskan kepentingannya. Terjadinya ketidakmandirian itu dapat dihindarkan manakala kejaksaan mampu mengambil jarak dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam penyelesaian suatu perkara. Hal ini disebabkan karena, mereka yang mempunyai kekuasaan akan berusaha sekuat mungkin untuk menghambat dan atau mempengaruhi kinerja kejaksaan dalam melaksanakan penegakan hukum secara konsisten. Untuk itulah kemandirian personal harus dilindungi sebaik-baiknya oleh pimpinan kejaksaan,

130

Bunga Rampai

maupun pemerintah dan negara pada umumnya. Meskipun harus diakui pula bahwa sistem renumerasi di lingkungan kejaksaan masih membutuhkan perbaikan, akan tetapi bukan suatu alasan pembenar bagi jaksa atau pegawai kejaksaan untuk melakukan penyimpangan. Tidak ada hubungan yang liner antara perbaikan penghasilan dengan integritas jaksa ketika melakukan tugas-tugasnya di lapangan. Semuanya berpulang kepada niat dan ketulusan masing-masing. Kebijakan anggaran keuangan yang berbasiskan kinerja hendaklah pula dilihat secara proporsionil dengan mempertimbangkan beban kerja dan tuntutan-tuntutan publik serta besarnya tanggung jawab yang diemban. Di samping kelemahan-kelemahan yang masih ada, keberhasilan-keberhasilan kejaksaan dalam menuntaskan berbagai kasus hendaknya menjadi perhatian semua pihak sehingga penilaian atas kinerja kejaksaan menjadi obyektif. Penanganan perkara-perkara yang tergolong perkara penting seperti korupsi, money loundering, illegal logging/ shing, cyber crime yang terkadang melintasi batas-batas negara, membutuhkan kinerja, tanggung jawab dan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, di samping kerja sama lintas sektoral, regional dan global. Oleh sebab itu, alokasi anggaran untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan di atas, hendaknya dilakukan secara proporsional dan bijaksana. Mempertimbangkan tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang ditangani. Di samping kejahatan konvensional yang terus menerus meningkat membutuhkan penanganan oleh kejaksaan secara optimal. Optimalisasi tersebut membutuhkan dukungan nansial dan sarana serta prasarana yang tidak sedikit serta sumber daya manusia yang baik. Permasalahan yang bersifat substantif seperti pembenahan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan jiwa/semangat undang-undang kejaksaan yang baru baik menyangkut struktur kelembagaan kejaksaan maupun pelaksanaan tugas dan wewenangnya hendaklah dilakukan secara simultan. Begitu juga penyusunan rule of conduct seperti Code Perilaku Jaksa mendesak untuk dilakukan saat ini untuk memenuhi tuntutan profesionalisme sebaik-baiknya. Begitu juga aspek struktural perlu mendapat perhatian
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

131

yang sungguh-sungguh. Meskipun kejaksaan tidak dapat dilepaskan sebagai lembaga publik yang harus mengakomodasi prinsip-prinsip good government juga harus memperhatikan kebutuhan yang spesik sebagai suatu lembaga penegakan hukum yang mengemban tugas-tugas yang khusus (legal professional organization). Keunikan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah yang membidangi penataan aparatur negara. Pembenahan yang bersifat struktural meliputi organisasi dan tata kerja kejaksaan diarahkan kepada upaya untuk mewujudkan lembaga kejaksaan sebagai institusi yang sederhana dan esien. Kesederhanaan dan esiensi tersebut tidak boleh mengurangi produktivitas kerja yang optimal. Optimalisasi produktivitas itu merupakan tuntutan publik yang harus direspon oleh kejaksaan secara bijaksana. Semua pihak harus dilibatkan guna menumbuhkan sense of belonging terhadap institusi kejaksaan. Dan pembentukan kultur di lingkungan kejaksaan harus dibangun secara utuh sehingga kejaksaan menjadi lembaga yang solid. Kultur yang dibangun itu hendaklah berangkat dari kesadaran untuk melaksanakan tugas secara profesional, transparan dan akuntabel sesuai dengan visi dan misi kejaksaan. Begitu juga dalam pengelolaan sumber daya manusia harus dilakukan perencanaan dan perhitungan yang matang, mulai sistem rekruitmen pegawai kejaksaan, sistem pendidikan yang menunjang tugas-tugas profesional jaksa, kebijakan pembinaan karier, mutasi dan promosi, sistem penggajian dan tunjangan jabatan harus dilakukan sejalan dengan kebutuhan yang berkembang dan dilakukan secara cermat, esien dan simultan. Apabila sebagian kecil permasalahan ini telah dituntaskan, maka pengawasan terhadap jalannya program-program yang telah digariskan harus dilakukan pula secara transparan dan akuntabel. Oleh sebab itu fungsi pengawasan internal baik meliputi pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional dengan pengawasan eksternal dalam hal ini Komisi Kejaksaan perlu dilakukan secara sinergis. Komisi Kejaksaan sebagai state auxiliary institution hendaklah dilihat sebagai mitra guna membenahi institusi kejaksaan baik di dalam pengawasan perilaku, kinerja, struktur organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber

132

Bunga Rampai

daya manusia di lingkungan kejaksaan. Penutup Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh peradilan sesungguhnya merupakan perjuangan yang tiada mengenal kata berhenti. Reformasi merupakan sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa ke arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman tergantung kepada faktor-faktor internal lembaga peradilan dan political sphare di sekelilingnya. Politisasi lembaga peradilan mutlak harus diakhiri. Dukungan publik untuk menciptakan kemandirian lembaga peradilan merupakan qonditio sine qua non. Kejaksaan tidak hanya dituntut untuk merespon tuntutan publik secara cepat tepat dan independen. Akan tetapi kondisi-kondisi internal dan eksternalnya sendiri harus pula diperhitungkan, faktor-faktor itu merupakan variabel yang mempengaruhi kinerja dan hasil yang akan dicapai oleh kejaksaan guna memenuhi ekspektasi publik Dukungan publik terhadap upaya yang dilakukan oleh kejaksaan haruslah diarahkan kepada upaya untuk memberdayakan kejaksaan agar menjadi sub-sistem peradilan yang mandiri dan akuntabel. Kemandirian dan akuntabilitas itu menjadi standar bagi keberhasilan kejaksaan dalam memenuhi harapan publik dan pelaksanaan tugas dan wewenangnya secara baik. Pembenahan yang tengah dilakukan oleh kejaksaan diarahkan kepada tujuan untuk mencapai sasaran tuntutan reformasi itu. Jika reformasi di tubuh kejaksaan telah terwujud, maka usaha perbaikan di dalam sistem peradilan kita secara keseluruhan akan pula menjadi kenyataan. Optimisme itu harus menjadi komitmen nyata kita semua, sebab jika tidak, reformasi peradilan menjadi sekedar wacana yang tak bermakna.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

133

134

Bunga Rampai

Kontribusi Komisi Kepolisian Nasional Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan


A. Pandupraja S.H., Sp.N., LL.M.*

Pendahuluan Salah satu wujud reformasi di bidang penegakan hukum yang cukup signikan adalah terputusnya hubungan eksekutif dan yudikatif dengan kembalinya pembinaan dan pengawasan hakim di bawah Mahkamah Agung. Efek yang kurang menguntungkan adalah hilangnya forum koordinasi Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk mengesienkan kinerja antar instansi penegak hukum. Saat ini kehadiran forum tersebut sangat dibutuhkan khususnya pada saat KUHAP sedang dalam revisi karena dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan pencari keadilan pasca reformasi. Terputusnya koordinasi di antara para penegak hukum lebih disebabkan karena trauma oleh intervensi pihak yang tidak bertanggung jawab dimasa lalu, sehingga mengganggu independensi instansi peradilan. Lebih dari itu, atas nama koordinasi tidak jarang keadilan dikebiri untuk mendukung kepentingan pemerintah atau yang mengatas namakan kepentingan pemerintah. Bukti terputusnya koordinasi SPP dapat digambarkan dari permintaan petinggi Polri kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengkritisi kinerja peradilan terhadap kasus pembalakan liar (illegal logging) yang cenderung mengabaikan kinerja Polri. Dengan biaya yang tidak sedikit Polri telah bersusah payah menangkap dan memeriksa tersangka pembalakan liar, tetapi kemudian dibebaskan oleh Pengadilan. Sikap pengadilan tersebut dianggap men-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

135

jatuhkan wibawa Polri dalam memberantas pembalakan liar. Polri terkesan sembrono dan tidak profesional dalam melaksanakan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Percepatannya di Seluruh Indonesia. Kompolnas tidak memiliki hubungan langsung dengan institusi peradilan, namun dapat menginisiasi pembentukan forum antar tiga komisi negara di bidang SPP, yaitu Kompolnas, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Ketiganya, yang sama-sama menjalankan fungsi pengawasan diharapkan dapat bersinergi untuk turut mereformasi SPP dengan tetap memperhatikan independensi masing-masing. Sebagai sebuah sistem, problem kinerja pada instansi Polri akan berdampak pada kinerja instansi kejaksaan dan instansi peradilan. Sebaliknya problem di instansi peradilan tidak lepas dari problem masukan yang diterima dari instansi Kejaksaan dan Polri. Sebuah mata rantai yang saling terkait satu sama lain (garbage in garbage out). Tulisan ini akan menguraikan tentang Kompolnas dan peran strategisnya dalam turut membangun Polri yang professional dan mandiri sebagai bagian dari SPP. Pada bagian akhir dari tulisan ini akan menekankan pada upaya strategis yang dapat diperankan oleh Community Policing untuk mereduksi gelombang perkara yang melanda lembaga peradilan. Eksistensi Kompolnas Sejarah lahirnya Kompolnas didominasi oleh isu keluarnya Polri dari ABRI yang tercermin pada Instruksi Presiden No.2/1999 tentang pemisahan TNI-Polri. Pemisahan yang ingin mengembalikan Polri ke khittah-nya adalah sebagai akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap TNI-Polri yang telah disalahgunakan oleh rezim Orde Baru. Kondisi tersebut dinilai oleh banyak kalangan menjadi latar belakang mengapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki kesamaan visi mengenai reformasi SPP melalui komisi-komisi. Ketidaksamaan visi ini nampak dari perbedaan mendasar pada kewenangan memeriksa (subpoena power) yang tidak dimiliki oleh Kompolnas tetapi dimiliki oleh Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan. Padahal kewenangan tersebut sangatlah mendasar dan sekaligus penting untuk menun-

136

Bunga Rampai

jang kewibawaan lembaga pengawas eksternal. Setelah Polri dipisahkan dari TNI, muncul persoalan subordinasi mengapa Polri ditempatkan di bawah Presiden berdasarkan Keputusan Presiden No.89/2000, sedangkan TNI berada di bawah Depertemen Pertahanan. Berbagai spekulasi sempat mencuat ke permukaan bersamaan dengan pembahasan RUU Polri. Jawabannya Polri disubordinasikan oleh Kompolnas dengan keberadaan tiga menteri ex ofcio sebagai anggota yaitu; Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM), ditambah tiga pakar kepolisian dan tiga wakil masyarakat. Keberadaan menteri ex ofcio tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk menjawab persoalan subordinasi semata, tetapi lebih ditujukan untuk memperkaya masukan sebagai pertimbangan Kompolnas dalam merumuskan arah kebijakan Polri (policy maker) bersama-sama dengan pakar kepolisian dan wakil masyarakat (tidak satu pun anggota Kompolnas berasal dari unsur Polri). Dalam merumuskan arah kebijakan Polri, seyogyanya masukan menteri ex ofcio meliputi pula portofolio departemen yang menjadi kompetensinya masing-masing. Misalnya, persoalan persoalan yang menghambat sinergi kelambagaan antara Polri dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dilatarbelakangi oleh perbedaan asas. Polri menggunakan asas dekonsentrasi sementara Satpol PP yang berinduk kepada Pemerintah Daerah menggunakan asas desentralisasi. Atau persoalan yang menghambat sinergi antara Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), seperti Polisi Khusus Kehutanan (Polsus Kehutanan) yang izinnya dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Hasil evaluasi kinerja Polri terkait relasi kelembagaan sesuai portofolio masing-masing departemen tersebut dapat menjadi masukan dalam menyusun arah kebijakan Polri yang menjadi kewenangan Kompolnas untuk diajukan kepada Presiden dalam rangka membangun Polri yang profesional dan mandiri (Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2002). Arah kebijakan yang telah dirumuskan agar tidak diarahkan untuk memberi peluang kooptasi satu lembaga terhadap lembaga lain. Rumusan tersebut lebih diarahkan untuk mendudukan secara

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

137

proporsional peranan Polri selaku penjuru dan pengendali urusan keamanan dan mengeliminasi potensi arogansi sektoral yang dapat memposisikan Polri sebagai lembaga superbody. Sejak arah kebijakan Polri yang dipersiapkan oleh Kompolnas berubah bentuk menjadi Peraturan Presiden (atau Instruksi Presiden), maka ia akan menjadi pedoman bagi Polri dalam membuat kebijakan teknis kepolisian (Pasal 38 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002), Termasuk menteri terkait lain sesuai dengan materi muatan kebijakan Presiden tersebut. Misalnya mengandung materi muatan yang menginstruksikan pemerintah daerah untuk mendukung kinerja Polri dalam mengamankan Pilkada, atau menginstruksikan pemerintah daerah untuk mendukung program program community policing (Polmas). Posisi strategis Kompolnas sebagai policy maker tersebut diharapkan dapat menjawab persoalan subordinasi posisi TNI di bawah Departemen Pertahanan. Karena setidaknya ada dua departemen dengan portofolionya masingmasing turut merumuskan arah kebijakan Polri yang akan menjadi panduan pimpinan Polri dalam membuat kebijakan teknis kepolisian. Peran policy maker bagi Kompolnas tersebut tentu bukan persoalan yang bisa dianggap sepele oleh Polri, karena berbagai kepentingan dapat berpotensi untuk menunggangi Kompolnas (atau dianggap menunggangi Kompolnas) dalam membuat disain strategis Polri masa datang. Dan Polri tidak memilliki pilihan lain selain menjabarkannya pada level kebijakan teknis. Peraturan Kompolnas Dalam menjalankan mandatnya, Kompolnas telah mengeluarkan beberapa peraturan tentang: i) Organisasi dan tata kerja (OTK) ii) Kode Etik iii) Tata Cara Penanganan Saran dan Keluhan Masyarakat (SKM). Ada 5 jenis keluhan masyarakat yang diatur secara limitative oleh UU Polri: 1) Penyalahgunaan wewenang 2) Dugaan korupsi 3) Pelayanan yang buruk, 4) Perlakuan diskriminatif, 5) Penggunaan diskresi yang keliru. Beberapa ketentuan penting yang diatur dalam OTK; 1. Kesetaraan posisi sesama anggota Kompolnas.

138

Bunga Rampai

Meskipun Ketua Kompolnas adalah Eks Ofcio Menkopolhukam dan Wakil Ketua Kompolnas adalah Eks Ofcio Mendagri, namun forum tertinggi yang dapat mengambil keputusan penting Kompolnas adalah Pertemuan Anggota Kompolnas; - pasal 33 ayat 2 OTK: Pertemuan Anggota Kompolnas dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurangkurangnya 5 (lima) orang anggota Kompolnas termasuk Pejabat Penghubung liaison ofcer/LO (L.O. adalah pejabat yang ditunjuk untuk mewakili menteri manakala yang bersangkutan berhalangan hadir). - pasal 33 ayat 3 OTK: Pengambilan keputusan dalam pertemuan anggota Kompolnas dinyatakan sah apabila disetujui oleh sekurang kurangnya 5 (lima) orang anggota Kompolnas. Ketentuan di atas menggambarkan bahwa sebagai sesama anggota komisi, kedudukan menteri tidak lebih tinggi dari anggota non menteri dalam pengambilan keputusan pada Rapat Anggota Kompolnas. 2. Kompolnas dapat berhubungan langsung dengan satuan Polri terkait. Pasal 38 ayat (2) c UU Polri mengatur bahwa Kompolnas menyampaikan Saran dan Keluhan Masyarakat (SKM) kepada Presiden. UU tidak mengatur hubungan kelembagaan Kompolnas dengan Polri sebelum SKM disampaikan kepada Presiden. Kesenjangan tersebut telah dijembatani pada pasal 25 ayat 2 OTK yang berbunyi Saran dan Keluhan Masyarakat yang diterima oleh Kompolnas disampaikan kepada satuan Polri terkait untuk ditindaklanjuti dan hasilnya disampaikan kepada Kompolnas. Pasal tersebut menggambarkan bahwa Kompolnas sangat bergantung dari hasil pemeriksaan internal Polri terhadap SKM yang diterima oleh Kompolnas. Apabila Kompolnas tidak dapat menerima atau keberatan terhadap hasil tindak lanjut SKM oleh satuan Polri terkait, maka Kompolnas dapat meminta gelar perkara sesuai ketentuan pasal 25 ayat 3 OTK yang menyatakan Kompolnas dapat meminta Polri untuk memberikan penjelasan yang berkaitan dengan keluhan masyarakat dalam pertemuan Kompolnas.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

139

Pasal tersebut menunjukan bahwa Polri sudah kooperatif dalam mendukung eksistensi Kompolnas, namun belum dijembatani dengan MoU atau Skep Kapolri untuk menindaklanjuti permintaan Kompolnas kepada satuan Polri terkait. Pengaduan Masyarakat Kompolnas memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan dari masyarakat mengenai kinerja aparat Polri. Sebagian pengaduan masyarakat yang berjenis penyalahgunaan wewenang oleh aparat penyidik berupa kriminalisasi masalah perdata, mengubah posisi pelapor menjadi tersangka dan lain-lain. Modus operandi yang digemari aparat dalam menakut-nakuti korban adalah ancaman penahanan. Manakala tidak hadir setelah dipanggil dengan cukup, korban didaftarkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan dua bukti tersebut, aparat merasa punya cukup alasan untuk menjebloskan korban dalam tahanan. Penyalahgunaan wewenang dapat dibuktikan dengan dibebaskannya tahanan setelah menjalani hukuman selama 60 hari dalam tahanan Contoh kasus DR Chairuddin. Potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat Penyidik Polri sangat besar. Hal ini disebabkan karena buruknya manajemen penyidikan dan dapat dilihat dari; (i) Tidak jarang objek perkara yang sama, tetapi ditangani oleh beberapa instansi di lingkungan Polri dengan alasan karena dilaporkan oleh orang yang berbeda sehingga tersangkanya menjadi berbeda pula. Sebuah penerapan prinsip kemandirian yang keliru dan cenderung mencederai asas dekonsentrasi. (ii) Terabaikannya prosedur penanganan perkara dengan berkoordinasi dengan instansi Kejaksaan. (iii) Akuntabilitas penyidikan sangat rendah sehingga memungkinkan terjadinya diskriminasi terhadap tersangka. Laporan penelitian mahasiswa PTIK angkatan XXXIX-A telah menemukan 11 jenis KKN pada Satuan Organisasi Reserse Kriminal (Reskrim) Polri, Yaitu: 1. 2. 3. 4. Penyimpangan prosedur penangguhan penahanan; Rekayasa penanganan/penindakan kasus pembalakan liar; Kolusi dalam penyelenggaraan perjudian; Penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti;
Bunga Rampai

140

5.

Penyimpangan penerbitan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi; 6. Penyimpangan dalam penanganan kasus-kasus narkoba; 7. Penyimpangan dalam penanganan kasus depo bahan bakar minyak (BBM) illegal; 8. Penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana; 9. Kolusi pengelolaan kegiatan prostitusi; 10. Terjadinya sindikat tindak pidana bidang pertanahan; 11. Penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan perdaran VCD bajakan. Ibarat dokter yang sedang mendiagnose penyakit polisi, temuan berharga tersebut dapat diibaratkan sebagai jenis penyakit polisi yang harus disembuhkan atau dieliminasi oleh Kompolnas ketika merumuskan arah kebijakan Polri untuk disampaikan kepada Presiden. Potensi KKN polisi di lembaga peradilan Upaya hukum untuk melindungi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam pemeriksaan penyidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penyidik Polri adalah melalui gugatan praperadilan (pasal 77 KUHAP). Gugatan praperadilan bertujuan untuk menguji: 1. 2. Sah atau tidaknya suatu upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan; Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

Apabila gugatan praperadilan diterima oleh pengadilan, tentu akan berakibat buruk bagi masa depan karir Penyidik. Karena itu Penyidik akan berupaya keras agar gugatan praperadilan gugur. Upaya yang dapat dilakukan oleh Penyidik adalah; (i) menunda-nunda acara persidangan praperadilan, dalam rangka menunggu agar persidangan pokok perkara dapat segera dimulai sebelum acara putusan gugatan praperadilan. Contohnya adalah persidangan kasus Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, atau (ii) mempercepat mulainya proses pemeriksaan pokok perkara sebelum selesainya pemeriksaan gugatan praperadilan (pasal 82 ayat 1
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

141

KUHAP). Untuk upaya yang kedua Penyidik harus berkolaborasi dengan Jaksa Penuntut. Lalu mempercepat penunjukan hakim dan selanjutnya mempercepat mulainya proses pemeriksaan pokok perkara. Cara di atas agak berbelit-belit dan melibatkan beberapa pihak yang belum tentu berpihak pada kepentingan penyidik. Cara lain yang relatif lebih ringan adalah; (i) melobi hakim agar berpihak pada kepentingan penyidik yang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat dan LSM. Contohnya adalah kasus Suherman di Pengadilan Negeri Medan. (ii) membuat gaduh suasana persidangan seolah-oleh akan terjadi keributan dengan tujuan agar hakim yang mengadili gugatan praperadilan menjadi terprovokasi atau ketakutan. Contohnya adalah sidang gugatan praperadilan kasus Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. (iii) Tidak segera mengamankan pengadilan manakala dibutuhkan pada saat pengadilan menghadapi demonstran yang brutal. Kerjasama dengan Komisi Negara Lembaga pengaduan eksternal terhadap kinerja Polri sudah ada dan tersebar di beberapa instansi pemerintah maupun di lembaga kepresidenan, lembaga departemen seperti Menteri Penertiban Aparatur Negara maupun non departemen seperti Kejaksaan, untuk masalah dugaan korupsi. Selain itu, lembaga pengaduan eksternal yang menangani masalah-masalah khusus terdapat pada berbagai komisi negara seperti KPK dan Komnas HAM. Yang membedakan di antara seluruh lembaga pengaduan tersebut adalah kewenangannya untuk menyelidik dan menyidik (subpoena power), menuntut dan mengadili. Semakin banyak kewenangan yang dimilikinya akan semakin berperan dalam merespon keluhan masyarakat sehingga akan sangat disegani oleh pihak yang diadukan. Kompolnas tidak memiliki salah satu dari kewenangan tersebut. Oleh karenanya, rekomendasi pengaduan masyarakat yang diberikan Kompolnas kepada Polri untuk ditindaklanjuti berpotensi untuk diabaikan. Misalnya, kasus penembak tersangka yang sedang ditangkap oleh aparat Polri, seperti yang terjadi di Medan dan Jakarta beberapa waktu lalu. Upaya hukum yang dilakukan oleh kedua keluarga korban yang telah diatur dalam KUHAP adalah melakukan gugatan praperadilan perihal prosedur

142

Bunga Rampai

penangkapan. Namun, upaya ini ditolak oleh Pengadilan Negeri di masing-masing wilayah. Penolakan ini seolah-olah turut mengubur akuntabilitas aparat yang menembak korban. Padahal antara masalah prosedur penangkapan dan masalah akuntabilitas penembakan korban adalah dua persoalan yang berbeda secara substansi. Selanjutnya, keluarga korban mengadukan hal itu kepada Kompolnas guna meminta akuntabilitas aparat Polri yang menembak korban. Menanggapi pengaduan tersebut, Kompolnas telah meminta agar Polri memeriksa aparat yang bertanggung jawab terhadap pengaduan tersebut. Karena keterbatasan kewenangan, Kompolnas tidak dapat memanggil paksa aparat tersebut untuk diperiksa. Tindak lanjut dari permintaan ini tentu sangat tergantung dari kemauan Polri. Manakala diperlukan Kompolnas layak untuk bersinergi dengan Komnas HAM berkaitan dengan kewenangannya untuk memanggil dan memeriksa pihak yang diadukan (Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Contoh lain, perihal pengaduan dugaan korupsi oleh anggota Polri yang disampaikan kepada Kompolnas. Kompolnas memiliki beberapa pilihan untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut. Apakah akan berkoordinasi dengan instansi Polri, Kejaksaan atau KPK. Kalau mencermati kesetaraan posisi sebagai komisi negara, Kompolnas seyogyanya mendahulukan untuk berkoordinasi dengan KPK untuk dapat mengetahui tingkat keseriusan masalah korupsi di tubuh Polri sebagai salah satu penegak hukum. Kerjasama dengan KPK layak ditingkatkan manakala Kompolnas diabaikan atau bahkan tidak dihargai sebagai lembaga pengawas ekternal. Yang terpenting dalam menempatkan KPK sebagai mitra kerja Kompolnas adalah saran KPK dalam membangun Polri yang bebas dari korupsi, sesuai kewenangan Kompolnas dalam menerima saran dan keluhan masyarakat. Dalam pemberantasan korupsi, KPK menjadi penjuru yang merancang secara bertahap reformasi birokrasi yang menghambat pemberantasan korupsi. Misal lain adalah pengaduan yang terkait dengan pelanggaran administrasi anggota Polri yang merupakan wewenangan Kompolnas dan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Ketika kedua lembaga tersebut sama-sama meneri-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

143

ma pengaduan, maka selayaknya mereka perlu untuk saling berkoordinasi. Karena pada umumnya pengaduan dikirim kepada hampir seluruh lembaga terkait. Kompolnas sangat perlu belajar banyak dari KON dalam menangani pengaduan masyarakat, karena telah dinilai sukses oleh masyarakat meski memiliki wewenang yang terbatas seperti Kompolnas. Koordinasi antar komisi negara mendesak untuk dilaksanakan dalam rangka mengesienkan kinerja komisi-komisi negara dalam mengoptimalkan sinergi di antara mereka. Kewenangan memeriksa (subpoena power) yang dimiliki oleh beberapa komisi negara seperti Komnas HAM dan KPK sangat penting untuk disinergikan oleh komisi negara yang membutuhkan kewenangan tersebut. Kata kunci pemborosan seyogyanya menjadi momok bersama. Desakan dan kritik masyarakat untuk merestrukturisasi komisi negara agar penjadi perhatian kita semua. Koordinasi juga penting untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dalam menerima dan menangani pengaduan. Juga untuk menegakkan asas nebis in idem. Jangan sampai polisi terlapor akan diperiksa berkali-kali untuk materi pengaduan yang sama oleh instansi yang berbeda-beda. Di samping alasan pemborosan anggaran juga masalah efektitas penyidikan. Persoalan yang harus disikapi sejak dini oleh para lembaga penerima pengaduan tersebut. Beberapa pasal menarik Cukup banyak peraturan dalam rangka mengkoreksi kinerja penegak hukum, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri maupun peraturan yang dikeluarkan oleh pimpinan instansi masingmasing. Sebagian dari peraturan tersebut sayangnya sangat jarang digunakan secara benar. 1. Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman Pasal 9 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti rugi kerugian dan rehabilitasi; (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan
Bunga Rampai

144

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana. Pasal di atas sepertinya belum pernah diterapkan secara utuh terhadap aparat penegak hukum. Ketentuan yang umum digunakan adalah PP 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Instansi yang konsisten dalam menerapkan aturan PP 30 Tahun 1980 tersebut adalah kejaksaan. Apabila dakwaan jaksa dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim, pada umumnya Jaksa Penuntut kasus tersebut langsung dieksaminasi atau diperiksa oleh Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi. Bagaimana dengan akuntabilitas aparat polisi apabila yang bersangkutan telah ditangkap dan ditahan? Apakah polisi yang menangkap dan menahan tidak perlu turut bertanggung jawab, sementara Jaksa Penuntut diperiksa? Jawaban atas persoalan tersebut bergantung pemahaman Polri terhadap profesionalisme penyidikan dan konsekuensi logis dari sebuah profesi. Kata profesional, mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan karena belum ada kesamaan visi mengenai apa yang dimaksud dengan profesional. Profesional merupakan kemahiran dan kemampuan tinggi yang didukung oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan kematangan emosional dalam melaksanakan tugas di bidang masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan standard pekerjaannya (SOP). Menurut buku panduan HAM untuk anggota Polri, ada 4 (empat) indikator kapan seorang polisi disebut profesional: Kompeten (compentence), yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap emosional yang matang. 2. Keterkaitan (connection), yaitu keterkaitan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan pekerjaan yang dilakukan. 3. Konsisten (consistence), yaitu satu kata dengan perbuatan secara berkesinambungan. 4. Komitmen (commitment), yaitu mencintai bidang tugas yang dilakukan. Konsekuensi logis bagi seorang notaris/PPAT yang membuat akta adalah yang bersangkutan harus bisa mempertanggungjawabkan setiap kata atau kalimat yang terdapat pada akta notaril yang telah dibuatnya. Konsekuensi apapun baik perdata, pidana maupun administratif harus siap dihadapi
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

1.

145

oleh yang bersangkutan. Meskipun uang yang didapat tidak sebanding dengan tanggung jawabnya. Kalangan penyidikpenyidik Polri sangat paham bagaimana menginterogasi notaris/PPAT dalam meminta pertanggungjawaban sebagai notaris/PPAT. Sayangnya pada saat bersamaan penyidik Polri tidak berpikir bahwa sebagai sesama profesi dirinya juga harus dapat mempertanggungjawabkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuatnya. Begitu pula dengan profesi dokter. Setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter juga membawa konsekuensi baik perdata, pidana maupun administratif. Ketika seorang dokter diduga melakukan mal praktek. Konsil Kedokteran akan memeriksa pengaduan tersebut apakah terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika. Yang menarik, komposisi Konsil Kedokteran terdiri dari perwakilan stakeholder: akademisi, dokter, pemerintah dan konsumen. Prinsip partisipasi sebagai salah satu unsur masyarakat madani telah berlaku bagi dunia kedokteran. Sungguh menjadi dambaan masyarakat madani apabila prinsip partisipasi yang ada pada Konsil Kedokteran juga diadopsi oleh Polri dalam menangani pengaduan masyarakat terhadap anggotanya. Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemeritah No.17 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 PP 71/2000 berbunyi sebagai berikut: (1) Informasi, saran atau pendapat dari masyarakat harus disampaikan secara tertulis . (2) Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum. Selanjutnya pasal 4 dari peraturan tersebut memberi batas waktu bagi aparat untuk memproses sebelum klarikasi selama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat diterima. Community Justice melalui Community Policing Sampai saat ini masyarakat yang tinggal di Meruya masih tetap siaga melakukan perlawanan terhadap segala upa2.

146

Bunga Rampai

ya untuk menangkal eksekusi Putusan Mahkamah Agung. Segala daya upaya dikerahkan agar putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena mereka merasa telah membeli secara sah tanah mereka dihadapan pejabat yang sah dan mendapat bukti kepemilikan berupa sertikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN. Mereka telah tinggal berpuluh tahun di Meruya tanpa ada gangguan dan teguran perihal status hukum kepemilikan tanah mereka. Tiba-tiba muncul putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kepemilikan tanah mereka. Kasus Meruya hanya salah satu dari segudang putusan Mahkamah Agung pasca reformasi yang jauh dari rasa keadilan yang menjadi tujuan dari kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan oleh UU No. 4 Tahun 2004. Cara pandang hakim dalam memutuskan kasus tersebut disebut legalisme yang dikomandani oleh Hans Kelsen dan Jhon Austin. Faham ini berpendapat bahwa hukum sebagai sistem yang otonom alias lebih superior dibanding dengan sistem lain seperti ekonomi, sosial dan politik. Hukum di atas segalanya. Hukum dianggap selalu benar dan adil. Hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Untuk mensakralkan putusan hakim, setiap putusan menggunakan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Stigma yang melekat terhadap dunia peradilan, kasus yang masuk pengadilan dianggap sebagai komoditas. Tidak heran kalau kemudian ada peribahasa Jawa yang berbunyi, ngurus cempe kelangan sapi, maksudnya mengurus perkara senilai anak kambing tapi biaya yang harus dikeluarkan senilai sapi. Pandangan seperti itu tercermin pula dari hasil penelitian Kompas tanggal 17 Maret 2003 bahwa 86,6% responden tidak percaya terhadap kinerja penegakan hukum. Bahkan tidak satupun responden yang berpendapat penegakan hukum di Indonesia sudah berjalan baik. Pencari keadilan yang memasuki arena peradilan diibaratkan menceburkan diri dalam gelombang samudra yang menakan eksistensi kemanusiaan pencari keadilan. Ia akan kehilangan arah mengadu nasib diantara badai ombak samudra, tidak jelas mana Utara mana Selatan. Bahkan ia akan tergulung oleh ganasnya ombak samudra peradilan. Meskipun demikian, jumlah perkara yang masuk ke pengadilan setiap tahun selalu meningkat sejalan dengan

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

147

peningkatan kesadaran hukum masyarakat, sehingga jumlah kasus di Mahkamah Agung sudah menggunung. Untuk menanggulangi penumpukan perkara di lembaga peradilan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 dengan judul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Dalam Menerapkan Lembaga Damai. Upaya tersebut ternyata tidak berhasil menyurutkan gelombang perkara ditingkat banding dan Kasasi. Karena itu Mahkamah Agung lalu merubah Surat Edaran tersebut menjadi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 dengan judul Prosedur Mediasi di Pengadilan (PERMA). PERMA tersebut dimaksudkan memberi peluang terakhir (meskipun bukan yang paling akhir) bagi para pihak yang bersengketa untuk damai. Dengan harapan agar para pihak yang berperkara akan mencabut gugatannya. Upaya untuk mengurangi volume perkara di luar pengadilan, negara sejak lama telah mengakomodir melalui UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk urusan arbitrase dan Pusat Mediasi Nasional (PMN) untuk urusan mediasi sengketa perdata. Mediasi sengketa perdata lebih dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR). Namun kenyataannya tetap saja mekanisme tersebut tidak berhasil mengurangi secara berarti volume perkara di pengadilan. Upaya terbaru yang dilansir pemerintah untuk mengurangi volume perkara di pengadilan adalah lembaga community policing yang disebut dengan Perpolisian Masyarakat (Polmas) melalui Keputusan Kapolri No. Pol: SKEP/737/ X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Modal Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Ketentuan tersebut diperkuat lagi dengan Keputusan Kapolri No. Pol: SKEP/432/VII/2006 tentang Panduan Fungsi Samapta Dengan Pendekatan Perpolisian Masyarakat (Polmas). Polmas antara lain bertujuan menyelesaikan pertikaian antar warga dengan difasilitasi oleh petugas kepolisian yang menggunakan mekanisme informal dengan berpegang pada norma-norma sosial setempat dan kesepakatan-kesepakatan lokal oleh masyarakat sekitar (community justice).

148

Bunga Rampai

Community Policing Kata community atau masyarakat tidak dapat didenisikan secara sederhana karena memiliki makna yang berbeda beda dan lingkup yang berbeda-beda untuk setiap orang yang mendenisikannya. Setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara budaya, nilai dan masalah yang beraneka ragam di suatu lingkungan pada suatu wilayah tertentu. Derasnya arus modernisasi mendorong masyarakat dimanapun untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah mengakar kuat dalam satu komunitas. Misalnya nilai nilai kebersamaan, gotong royong, tolong menolong. Masyarakat cenderung keluar dari norma-norma sosial yang selama ini dijunjung tinggi, mengakibatkan pudarnya norma moral dan sosial. Teknologi media komunikasi, khususnya televisi sebagai penyumbang terbesar dalam perubahan norma sosial. Profesionalisasi juga memiliki andil dalam memisahkan masyarakat dari tatanan sosialnya. Disamping itu, penerapan asas dekonsentrasi secara rigid mendominasi alasan mengapa Polri terisolasi dari masyarakatnya. Polri sudah sangat disibukkan dengan urusan penegakan hukum ditingkat nasional dalam rangka mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya terjadi kekosongan penegakan hukum ditingkat pemerintah lokal. Reformasi tata pemerintahan telah membagi kewenangan antara pusat dan daerah. Kekosongan penegakan hukum ditingkat pemerintah lokal kabupaten/kota telah diisi dengan keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Posisi Satpol PP menjadi semakin kuat mendukung kewibawaan pemerintah lokal. Kondisi yang sama juga terjadi ditingkat teknis departemental. Dalam rangka mengamankan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999, Polisi Khusus Kehutanan menggantikan posisi Polri untuk urusan teknis kehutanan. Bahkan, untuk urusan penegakkan hukum di pelabuhan, aparat Bea Cukai telah mengambil alih posisi Polri sesuai UU Bea Cukai. Hasil penyidikan aparat Bea Cukai langsung diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum tanpa koordinasi dengan Polri. Meskipun UU Otonomi Daerah telah memberi peluang bagi Satpol PP untuk mengambil peran dalam penegakkan hukum lokal, namun tetap saja belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Keterbatasan jumlah, mengakibatkan
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

149

Satpol PP hanya bisa menjaga areal pertokoan dan fasilitas Pemda. Mereka aktif membersihkan papan reklame yang melanggar aturan apabila tidak membayar pajak papan reklame. Kinerja Satpol PP sarat dengan kepentingan Pemda. Padahal berbagai peraturan daerah membutuhkan penegak hukum untuk menciptakan lingkungan yang aman, tertib dan bersih. Seperti masalah membuang sampah sembarangan, merokok di sembarang tempat, bangunan liar dan lain lain yang tidak kalah penting daripada urusan menertibkan papan reklame. Polmas melalui Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) baru sebatas memecahkan konik antar warga maupun antar warga dengan polisi/pejabat setempat. Seperti misalnya; program Police Goes To Kampung, Patroli Komunitas (Ronda), Program Polisi Simpatik. Belum terlihat orientasi program ke arah penegakkan peraturan daerah dalam rangka membantu kinerja Satpol PP. Situasi tersebut cukup bisa dipahami karena Polmas baru dihidupkan kembali. Program serupa dulu dikenal dengan nama Siskamling. Saat ini Polmas sedang mencari legitimasi politik dan dukungan pendanaan dari pemerintah daerah. Hasil Evaluasi Polmas 2005 oleh Polri telah merekomendasikan agar dukungan pemerintah setempat menjadi variable penting dalam perumusan maupun pengembangan program Polmas. Dukungan pemerintah lokal sangat diperlukan dalam rangka menjaga kesinambungan maupun keberlanjutan program Polmas. Dukungan dapat berupa anggaran maupun legitimasi program dalam bentuk Peraturan Daerah. Legitimasi sangat diperlukan dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat lokal. Pelanggaran hukum dan Perda Penegakan hukum oleh komunitas telah dapat diselesaikan dengan menggunakan kearifan lokal sesuai kondisi (baca: kebutuhan) masyarakat sekitar. Penelitian LP3ES telah mengangkat temuan bagaimana masyarakat lokal telah berhasil menindak pelanggaran pidana dengan menggunakan kearifan lokal melalui mekanisme Alternatif Dispute Resolution (ADR). Misalnya terhadap penebangan liar di kawasan hutan lindung. Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) di Desa Sesaot, Lombok Barat telah merumuskan pelanggaran dan sanksi bagi perambah hutan lindung sebagai berikut:

150

Bunga Rampai

Bila menebang (mencuri kayu) sekali karena alasan pemenuhan ekonomi keluarga, sanksinya cukup meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi di depan warga masyarakat. Bila menebang (mencuri) lebih dari sekali karena alasan pemenuhan ekonomi keluarga, maka didenda menanam pohon 50 kali lipat dari jumlah pohon yang ditebang.

Bila menebang (mencuri) lebih dari 3 (tiga) kali dengan motif komersial, maka dikeluarkan dari tempat tinggalnya di desa. Demikian halnya dengan perzinahan yang diatur dalam pasal 284 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan penjara. Sanksi pidana perzinahan oleh masyarakat adat di Lombok telah diubah menjadi denda seket kurang sekek kepeng bolong (uang Cina). Di desa Munggut, kasus perselingkuhan diselesaikan dengan grosok, yaitu keharusan membeli tanah grosok untuk pengerasan jalan, dengan jumlah dan volume sesuai kondisi ketika kasus tersebut terjadi. Kasus pencemaran nama baik (gila bibir) yang diancam hukum pidana penjara 9 bulan berdasarkan pasal 310 KUHP, telah diubah menjadi denda satak sekat kurang sekek kepeng bolong (Saat ini uang Cina telah dikonversi menjadi Rp.25.000). Pelajaran dari kasus-kasus di atas, pelanggaran pidana tidak harus diselesaikan dengan ancaman pidana berupa penahanan. Masyarakat telah melakukan dekriminalisasi kejahatan pidana menjadi denda. Penahanan bukan lagi cara efektif dalam menegakkan hukum. Hal tersebut juga tercermin dalam draft RUU KUHAP Baru, bahwa upaya paksa berupa penahanan cenderung dikesampingkan. Padahal upaya paksa pada pasal 216 KUHP menjadi andalan polisi dalam memanggil seseorang (baca; menakut-nakuti). Pasal ini selalu bertengger di lembar panggilan yang dikeluarkan oleh polisi, terlepas dari apakah panggilan tersebut baru panggilan pertama atau bukan. Pasal 216 KUHP berbunyi sebagai berikut barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang undang oleh Pegawai Negeri berdasarkan tugasnya diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau denda paling banyak Rp.9.000 Rupiah. Pada dasarnya penangkapan dan penahan yang tidak berdasarkan hukum
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

151

alias mengada-ada adalah melanggar HAM. Ketika polisi melakukan pelanggaran HAM dan hukum, seketika itu juga kepercayaan masyarakat langsung sirna. Polisi menjadi tidak professional karena mereka menjadi pelaku kejahatan dan tidak lagi sebagai petugas penegak hukum. Hampir bisa dipastikan tiap daerah telah mengatur dan memberi sanksi bagi warganya yang membuang sampah sembarangan, merokok di sembarang tempat, membangun bangunan liar atau membangun tanpa mengindahkan aturan sempadan jalan sehingga mengganggu jalan dan pemandangan. Sebagai contoh Peraturan Daerah DKI No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Pasal 30 ayat (1) sebagai berikut: Dilarang dengan cara dan bentuk apapun, (tanpa memperoleh izin dari Gubernur Kepala Daerah.), melakukan antara lain; usaha penyelenggaraan perparkiran, perubahan terhadap rambu, marka parkir, tanda masuk parkir. Ancamannya sanksi pidana kurungan selama lamanya 3 bulan atau denda maksimal Rp.5.000.000 dan sanksi adminstratif bagi pengemudi yang parkir sembarangan yaitu 5 kali biaya parkir. (pasal 32 ayat 1 dan 3, Perda Perpakiran DKI No. 5 tahun 1999). Contoh peraturan di atas menggambarkan bahwa Pemda telah membuat aturan masalah perparkiran dengan sanksi pidana, denda dan adminstratif, agar tercipta ketertiban masyarakat sehingga warga masyarakat merasa nyaman tinggal di Jakarta. Namun karena petugas Satpol PP sangat terbatas, maka ketertiban dan rasa nyaman tinggal di Jakarta sesuai maksud dari pembuat Perda tersebut, jauh dari yang didambakan masyarakat pengguna jalan di Jakarta. Kondisi perparkiran semrawut dan premanisme di tempat-tempat parkir merajalela. Kasus semrawutnya kondisi parkir di Jakarta tersebut menjadi salah satu contoh betapa perlunya keberadaan penegak hukum dengan nama apapun baik polisi, Satpol PP atau FKMP. Polmas diharapkan merambah ke ranah Perda yang menjadi domain pemerintah daerah. Berbagai studi kasus di Lombok tersebut di atas diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi FKPM atau lembaga apapun namanya untuk mencari formula penyelesaian masalah di perkotaan meskipun harus

152

Bunga Rampai

merubah ancaman sanksi yang diatur oleh Perda. Community Justice Konik antar warga masyarakat diselesaikan dengan cara win win solution. Namun terhadap pelanggaran hukum atau norma masyarakat (falk law), menggunakan pendekatan yang berbeda. Pelanggar hukum harus bersedia menjalankan sanksi denda yang telah ditetapkan berdasarkan kesapakatan masyarakat sekitar. Tokoh kunci dalam proses penegakan hukum sangat penting dalam menentukan keberhasilannya. Hasil survey di Kabupaten Ngawi Jawa Timur (2005) disimpulkan bahwa hampir 80% responden (dari 75 responden) menyerahkan penyelesaian konik kepada gur Kepala Desa. Demikan halnya di Desa Munggut Lombok (2005), Kepala Desa menjadi tumpuan apabila terjadi konik atau sengketa antar warga. Mereka akan mendatangi rumah Kepala Desa kapan saja walau sampai tengah malam. Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian, dianggap lebih memiliki legitimasi dibandingkan dengan tokoh informal seperti Kyai. Kepala Desa dituntut untuk memiliki pengetahuan yang lebih dan kearifan sikap agar keputusan yang diambil tidak berat sebelah dan dapat diterima para pihak yang bersengketa sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Penyelesaian konik di masyarakat perkotaan tidak dapat mengandalkan kharisma seorang Kepala Desa, karena Kepala Desa yang dipilih langsung sudah tidak ada dalam struktur pemerintahan di perkotaan. Masyarakat perkotaan akan memandang lembaga yang merepresentasi banyak kepentingan lebih memiliki legitimasi. Kalangan akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan LSM yang kinerjanya masih dapat diterima oleh publik, dipersepsikan tidak memiliki interest dibanding kelompok partisan lain. Kombinasi representasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi penting dalam mengatur komposisi lembaga yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan konik di masyarakat (community justice). Kesimpulan 1. Kompolnas memiliki posisi strategis untuk menginisisasi kerjasama antar komisi negara bidang penegakan hukum seperti Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

153

2.

Dengan keberadaan Menteri Dalam Negeri sebagai anggota Kompolnas, Kompolnas dapat berperan penting dalam memperkuat peranan Polmas dalam bersinergi dengan unsur-unsur Pemerintah Daerah untuk turut menyelesaikan atau mencegah penumpukan perkara di lembaga peradilan. Termasuk dalam mengisi ruang kosong dalam masalah penegakan peraturan daerah. Salah satu lembaga yang dapat dipromosikan oleh Kompolnas adalah Community Justice sebagai bagian dari Polmas. Yaitu lembaga yang menyelesaikan konk pada masyarakat perkotaan yang merupakan representasi dari berbagai stakeholders. Kurang lebih setara dengan fungsi jury di negara negara yang menganut sistim common law. Dengan menurunkan jumlah perkara di lembaga peradilan diharapkan peradilan dapat berbenah diri dalam mereformasi dirinya dan dapat berkonsentrasi untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

3.

4.

154

Bunga Rampai

Peran Serta Elemen Masyarakat Sipil dalam Mendorong Proses Reformasi Peradilan dan Penegakan Hukum
Prof. Dr. M. Din Syamsuddin
*

Kelembagaan Komisi Yudisial Republik Indonesia di tahun 2007 ini memasuki usia ke-2 sejak dibentuk pada Agustus 2005. Lahirnya lembaga yang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan pengawasan hakim pemegang kekuasaan kehakiman, dibentuk sebagai mandat konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Inisiasi lahirnya lembaga ini tidak lepas dari sejarah peradilan Indonesia yang semakin jauh dari visi dasarnya untuk menegakkan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara atau bagi mereka yang terenggut hak asasinya. Dalil kehadiran Komisi Yudisial di atas sangat relevan dengan reeksi bangsa Indonesia terhadap perjalanan peradilan sebelum adanya Komisi Yudisial. Sebagaimana diketahui, hukum sepanjang pemerintahan Orde Baru telah menjadi instrumen yang melegitimasi setiap tindakan penguasa, meski tindakan itu bertentangan dengan hukum. Peradilan juga telah menjadi alat bagi pembungkaman suara kritis masyarakat yang menyatakan keberbedaannya dengan negara. Desain pengadilan yang semestinya menempatkan semua orang setara di muka hukum, di masa itu tidak demikian adanya. Berbagai pengalaman yang melatari bergulirnya reformasi, telah memperkuat sumber legitimasi kehadiran

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Guru Besar Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

155

lembaga pengawas para hakim ini. Dengan demikian, tidak bisa disangkal bahwa Komisi Yudisial memainkan peranan penting dalam rangka reformasi peradilan dan penegakan hukum dalam sistem kenegaraan Indonesia. Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, dimaksudkan agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan baik dari segi hukum maupun segi etika. Argumen kehadiran dan karakter kelembagaan Komisi Yudisial sebagaimana dipaparkan di atas, jelas menuntut adanya keterlibatan masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan pengawasan. Secara eksplisit, Komisi Yudisial menempatkan masyarakat sebagai mitra utama dalam menjalankan kerja-kerjanya. Bahkan masyarakat jauh lebih utama menjadi mitra dibanding hakim-hakim yang menjadi obyek pengawasan. Keberadaan masyarakat sebagai mitra utama bukan hanya dibutuhkan oleh Komisi Yudisial melainkan juga tuntutan reformasi di mana telah menempatkan masyarakat sebagai kelompok strategis dalam memantau peradilan dan penegakan hukum. Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat jelas sangat menentukan keberhasilan reformasi peradilan. Komisi Yudisial misalnya, dalam menjalankan fungsinya sangat bergantung pada laporanlaporan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, sulit bagi Komisi Yudisial memaksimalkan fungsinya. Masyarakat yang terhimpun dalam berbagai organisasi keagamaan, organisasi masa, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat selama ini telah menunjukkan peran sertanya dalam berbagai upaya reformasi peradilan dan penegakan hukum. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bekerja sama

156

Bunga Rampai

dengan Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan yang baik misalnya, sejak tahun 2004 telah memprakarsai gerakan melawan korupsi di semua lini pemerintahan, termasuk di dunia peradilan. Terakhir Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islam kembali menggerakkan Jihad Melawan Koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Inisiatif-inisiatif seperti ini jelas dibutuhkan dalam reformasi peradilan dan penegakan hukum. Dalam tubuh lembaga-lembaga keagamaan, karena dunia peradilan dan penegakan hukum merupakan sektor yang sangat berhubungan dengan kepentingan umat dan publik secara umum, hampir di semua lembaga-lembaga tersebut terdapat bidang atau departemen yang secara khusus menangani soal reformasi peradilan dan penegakan hukum. Di samping lembaga bantuan hukum, terdapat juga pusatpusat kajian yang secara ilmiah memberikan inisiatif-inisiatif untuk menjadikan dunia peradilan lebih baik. Elemen-elemen masyarakat sipil yang berhimpun dalam lembaga swadaya masyarakat diakui memang memiliki peran yang lebih fokus, karena lembaga-lembaga itu didesain khusus untuk memainkan peran-peran tertentu. Mereka yang tergabung dalam Lembaga-lembaga Bantuan Hukum misalnya, secara terus menerus memberikan perhatian pada upaya reformasi peradilan dan penegakan hukum. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian membangun kemitraan strategis sebagai partner atau bahkan mengasistensi lembaga-lembaga peradilan. Ada juga yang berkonsentrasi dalam pemantauan pembentukan perundang-undangan, pemberantasan korupsi dan lain-lain. Bahkan peran serta itu belakangan telah diakui urgensi dan signikasinya. Kelompok masyarakat sipil lainnya adalah kalangan perguruan tinggi. Independensi para ilmuwan dan aktivis yang berhimpun dalam pusat-pusat studi telah secara nyata memberikan kontribusi bagi dunia peradilan dan penegakan hukum. Peran serta masyarakat yang paling banyak dilakukan pertama, adalah melalui kerja-kerja pemantauan dibidang peradilan dan penegakan hukum. Pemantauan memiliki arti penting dalam rangka memastikan agar setiap kehendak politik yang terakumulasi dalam suatu kebijakan negara diorientasikan sepenuh-penuhnya untuk memberikan keadilan bagi semua orang. Kerja pemantauan diharapkan mampu

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

157

menghimpun fakta-fakta yang baik maupun yang kurang baik dari segi proses penyusunan, substansi, pelaksanaan dan penegakan maupun dampak dari berbagai prosesproses peradilan dan penegakan hukum. Dalam sistem demokrasi, kerja pemantauan juga merupakan bentuk kontrol publik untuk menyeimbangkan kekuatan antara penyelenggara negara atau pemerintahan dengan publik di daerah itu. Dengan demikian prinsip checks and balances, sebagai salah satu prinsip demokrasi, dapat dijalankan. Kerja-kerja pemantauan selama ini banyak dilakukan oleh kelompok elemen sipil yang tergabung di dalam lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Mereka berhimpun dan mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya memastikan proses peradilan berjalan fair. Pemantauan yang dilakukan oleh elemen masyarakat sipil ini merupakan jawaban atas tidak adanya akuntabilitas yang terlembagakan pada lembaga-lembaga peradilan. Sekalipun pengawasan internal di tubuh lembaga peradilan sudah tersedia, kepercayaan publik belum sepenuhnya bisa tumbuh akibat minusnya penindakan jika pengawasan menemukan abuses yang dilakukan oleh para penegak hukum. Kedua, peran serta dibidang pengkajian. Peran ini biasanya banyak dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi atau lembaga-lembaga studi yang mengkonsentrasikan diri pada upaya penyediaan konsep-konsep alternatif reformasi peradilan dan penegakan hukum. Serangkaian exercise yang menerabas tradisi praktik hukum di Indonesia ditawarkan dan diujicobakan. Beberapa capaian yang telah diperoleh adalah kemungkinan justiciability yang bisa diperoleh para pihak yang dirugikan akibat lahirnya sebuah kebijakan negara yang tidak menguntungkannya. Mekanisme class action, citizen lawsuit, penetapan indikator-indikator pembangunan berbasis hak asasi manusia dan kesetaraan gender, adalah sejumlah contoh terobosan yang didorong oleh masyarakat sipil dalam rangka reformasi peradilan dan penegakan hukum. Bahkan inisiatif lahirnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya merupakan gagasan-gagasan kelompok kritis masyarakat sipil yang kemudian diadopsi oleh negara. Ketiga, peran serta lainnya adalah dalam bentuk kam-

158

Bunga Rampai

panye penyadaran hukum. Kebanyakan jenis peran serta ini dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki basis masa yang besar. Ormas-ormas keagamaan misalnya, di samping juga melakukan pemantauan dan pengkajian, adalah elemen yang sangat berpotensi melakukan kampanye penyadaran hukum dalam rangka memperkuat kultur hukum masyarakat. Keteladanan para pemimpin organisasi dan interaksi langsung yang para pemimpin dengan jamaahnya, merupakan media dan instrumen kampanye mengubah paradigma berpikir dan tata tindak yang konstruktif pada upaya-upaya penegakan hukum. Keempat, eksaminasi publik atas putusan-putusan hakim. Berangkat dari fakta bahwa judicial corruption belum sepenuhnya teratasi, lemahnya mekanisme kontrol internal lembaga-lembaga peradilan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi saat ini mempelopori praktik uji putusan hakim maupun produk kerja lembaga peradilan. Eksaminasi publik dilakukan terutama untuk melakukan penilaian apakah keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan telah memenuhi standar profesional dan prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia. Meskipun kegiatan eksaminasi publik ini tidak memberikan dampak langsung terhadap perkara yang telah divonis, akan tetapi temuan pandangan hukum kelompok di luar mejelis hakim ini akan menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi perkara-perkara lain yang sama. Eksaminasi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan examination diartikan sebagai an investigation; search; inspection; interrogation, atau yang dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia sebagai ujian atau pemeriksaan, bisa dilakukan oleh lembaga peradilan yang ada pada level di atasnya sebagai bentuk pengawasan internal atau dilakukan oleh publik sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam memantau dunia peradilan. Sejak lahirnya Komisi Yudisial, sebenarnya fungsi eksaminasi atas putusan hakim, di samping dilakukan oleh Mahkamah Agung, secara konstitusional diperankan oleh Komisi Yudisial. Akan tetapi Komisi Yudisial hanya memiliki kewenangan mengeksaminasi terkait profesionalisme hukum dan tidak masuk pada substansi perkara yang dipersoalkan. Namun demikian, dalam praktiknya, sulit sekali memeriksa profesionalisme hakim dalam sebuah

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

159

putusan tanpa menyoal substansinya. Karena itu produk Komisi Yudisial sering diabaikan. Untuk memaksimalkan upaya reformasi peradilan itulah maka publik menginisiasi praktik-praktik eksaminasi yang disebut dengan eksaminasi publik. Tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk mengetahui, sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut berkesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum dan prosedur hukum acara dengan benar, serta menakar sejauh mana sebuah putusan telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Sasaran utama dari kegiatan eksaminasi ini adalah mendorong para hakim agar membuat putusan dengan pertimbangan yang baik dan profesional. Catatan yang dapat diajukan dalam memandang peran serta masyarakat sipil dalam reformasi peradilan dan penegakan hukum ini, seringkali ekpektasi publik tidak terpenuhi oleh lembaga-lembaga peradilan. Peran serta kemudian menjadi bagian yang dianggap tidak menarik sebagian elemen masyarakat sipil. Keberbedaan pendekatan antar elemen juga sering menjadikan pilihan strategi yang berbeda. Semestinya sinergi harus bisa dibangun, sehingga meskipun dengan pendekatan dan strategi yang berbeda, tetap bisa mengarah sasaran yang sama, yakni perbaikan peradilan dan penegakan hukum. Jaminan akomodasi peran serta masyarakat sekalipun secara yuridis tidak diatur, secara sosio-politik peran serta masyarakat berimplikasi besar terhadap perubahan dunia peradilan. Reformasi yang digulirkan sejak 1998 telah membuktikan bahwa pengabaian terhadap aspirasi masyarakat telah meminggirkan kekuasaan yang selama ini dianggap kokoh. Menuntaskan kerja reformasi (termasuk di sektor peradilan) jelas tidak bisa lepas dan mengabaikan peran serta masyarakat. Dunia peradilan yang menjadi obyek peran serta juga sudah semestinya menyadari betapa membangun aliansi strategis dengan elemen masyarakat sipil adalah hal yang pokok dalam men-delivery keadilan segera sampai ke tengah masyarakat. Sikap a priori dan konfrontatif lembaga-lembaga peradilan hanya akan memperburuk citra lembaga peradilan itu sendiri. Jika eksistensi publik dalam dunia peradilan sudah disadari urgensinya, maka para anggota legislatif

160

Bunga Rampai

juga dituntut untuk bisa mengakomodasi berbagai aspirasi publik dalam setiap penyusunan perundang-undangan. Reeksi atas keberadaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan keagamaan dalam memaksimalkan peranannya mendorong reformasi peradilan dan penegakan hukum telah menjadi memicu semua pihak untuk segera berbenah diri secara lebih serius, sistematis, dan berkelanjutan. Masyarakat sipil dituntut untuk menata kerja-kerja ini bukan lagi sebagai seremonial yang berulang akan tetapi lebih implementatif. Harus diakui, salah satu penyebab tidak maksimalnya reformasi peradilan, penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia adalah minusnya kerja-kerja diseminasi publik yang menyadarkan warga tentang pentingnya kerja bersama membangun kelembagaan peradilan yang independen dan akutabel. Diseminasi tentang pentingnya peran serta masyarakat sipil yang meluas akan mampu melahirkan kekuatan kritis dan membangun kesadaran kolektif bangsa, yang akan menjadi alat efektif untuk melakukan kontrol dan pressure terhadap negara untuk berkomitmen menegakkan hukum. Jika mau diakui, diskursus dan praksis peradilan dan penegakan hukum hingga saat ini masih menjadi isu yang elitis. Hanya menjadi urusan lembaga swadaya masyarakat dan beberapa kelompok sosial kritis lainnya. Bahkan sebagian besar perguruan tinggi, meskipun di beberapa perguruan tinggi telah tumbuh pusat-pusat studi, dedikasi dan kesungguhannya masih belum optimal. Karena itu, pilihan diseminasi dan edukasi pentingnya peran serta masyarakat dalam reformasi peradilan dan penegakan hukum, sebagai salah satu kesadaran evaluatif atas ketersumbatan arus reformasi peradilan patut dipertimbangkan. Minusnya dukungan sosial, baik di kalangan perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan dan komunitas-komunitas lainnya, membuat advokasi penegakan hukum seolah-olah hanya menjadi urusan LSM. Tak jarang kemudian, mayoritas masyarakat Indonesia justru balik menuduh LSM yang melakukan provokasi untuk membuat berang sebuah rezim. Tuduhan ini tidak hanya monopoli aparat negara semata, tapi telah menjalar kepada sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika kondisi yang demikian ti-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

161

dak segera mendapat respon dan penanganan cepat, tidak hanya pressure group yang semakin terkikis tapi sinisme masyarakat akibat instabilitas yang diciptakan oleh kalangan LSM akan semakin menguat. Memperluas basis sosial untuk memperbesar dukungan reformasi peradilan dan penegakan hukum berarti membangun kesadaran kolektif bangsa akan pentingnya reformasi peradilan di Indonesia. Memang, penegakan hukum menjadi tugas dan kewajiban negara, tapi pengalaman di beberapa negara menunjukkan, tidak ada negara yang dengan cumacuma memberikan hak-hak rakyat untuk menikmati kemajuan, peradilan yang murah, kompeten, dan berkeadilan tanpa diminta dan ditekan. Karena itu signikansi perluasan basis sosial terletak pada perolehan dukungan besar masyarakat Indonesia. Membangun kesadaran kolektif dapat dilakukan dengan melakukan transformasi simultan atas gagasan dan praksis penegakan hukum di lapangan. Melalui kerja pemberdayaan dan pendampingan, pendidikan kesadaran hukum dapat disodorkan sebagai jalan merengkuh dukungan sosial itu. Jika kerja ini tidak dilakukan, dikhawatirkan LSM akan kehabisan energi dalam melakukan kerja-kerja advokasinya. Salah satu sektor yang harus mendapatkan prioritas dalam proses transformatif ini adalah kalangan perguruan tinggi dan dunia pendidikan. Kalangan perguruan tinggi, sering disebut sebagai salah satu agen perubahan. Meskipun predikat ini tidak sepenuhnya genuine, tapi paling tidak, secara formal perguruan tinggi memiliki kapasitas untuk memproduksi sumber daya manusia yang bisa didesain memiliki kapasitas dan kompetensi tertentu. Salah satu kapasitas dan kompetensi itu adalah menciptakan generasi terdidik yang peduli dan tergugah untuk melakukan advokasi, mendorong hukum progresif yang berkeadilan. Sektor lain yang perlu mendapat perhatian adalah lembaga-lembaga keagamaan. Dengan jamaah dan umat yang begitu besar, lembaga-lembaga keagamaan sebenarnya bisa menjadi kekuatan pengubah sosial yang luar biasa. Gagasan mendidik pendakwah atau misionaris dalam berbagai agama untuk menjadi pembawa suara keadilan bisa menjadi pilihan kerja yang potensial mampu menghimpun dukungan sosial reformasi peradilan dan penegakan hukum. Kedekat-

162

Bunga Rampai

an tokoh-tokoh agama dengan umatnya, akan membuat bahasa hukum dan peradilan menjadi mudah dipahami dan diterima sebagai sebuah keyakinan yang harus diperjuangkan. Tidak semata-mata karena peradilan yang baik sebagai sesuatu yang dibutuhkan, tapi juga terjustikasi oleh semua agama dan kepercayaan di dunia ini. Pilihan kerja diseminasi wacana reformasi peradilan dan penegakan hukum memang tidak memiliki daya tarik sebagaimana kerja advokasi (litigasi), yang dengan mudah mendongkrak popularitas seorang aktivis. Diseminasi merupakan kerja jangka panjang dan investasi kemanusiaan yang akan menjadikan kerja advokasi berkelanjutan, selama bumi ini masih dipijak. Perlu disadari bahwa keberadaan ormas-ormas baik yang berbasis keagamaan maupun kemasyarakatan memiliki posisi strategis di dalam proses rekayasa sosial untuk melahirkan suatu gerakan sosial dan gerakan moral dalam membangun bangsa. Karena itu tidak ada pilihan lain, proses-proses reformasi peradilan dan penegakan hukum, kecuali membangun kemitraan strategis dengan elemen masyarakat sipil. Catatan Penutup Keberadaan Komisi Yudisial di dalam ranah kekuasaan kehakiman secara langsung telah menjawab kebutuhan akses publik terhadap dunia peradilan. Komisi Yudisial telah menjadi jembatan ketidakpuasan publik atas ketidakadilan yang tercabik akibat ulah para maa peradilan. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi Komisi Yudisal untuk terus meningkatkan intensitasnya melibatkan publik dalam memantau dan memastikan keadilan dapat terberikan. Lembaga-lembaga peradilan (kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelidik independen lainnya) juga sudah semestinya menyadari pentingnya kehadiran masyarakat di tengah-tengah peran dan fungsi institusinya sebagai stakeholders yang tidak bisa ditinggalkan. Bagaimanapun kepercayaan publik terhadap keberhasilan reformasi peradilan dan penegakan hukum adalah indikator utama keberhasilan reformasi peradilan dan penegakan hukum.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

163

Daftar Bacaan Samuel P. Huntington. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press A. Ahsin Thohari. 2004. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Jakarta. Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Budiarjo, Miriam, Prof.Dr. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Neuman, Sigmund. 1963. Toward a Comparative Study of Political Parties. Chicago. Chicago University Press. Budiarjo, Miriam, Prof. Dr. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Duverger, Maurice. 1963. Caucus and Branch. Cadre Party and Mass Party. Political Parties. New York. Wiley and Sons.

164

Bunga Rampai

Reformasi Pendidikan Hukum, Untuk Menghasilkan SDM Penegak Hukum Yang Kompeten dan Profesional
Bismar Nasution*

Knowledge is power but character is more

Perdebatan mengenai sistem mana yang terbaik antara civil law dan common law telah berlangsung selama berabadabad. Pendukung civil law, Jeremy Bentham yang kemudian didukung oleh John Austin menganggap bahwa sistem common law mengandung ketidakpastian dan menyebutnya sebagai law of the dog.1 Sebaliknya salah satu pendukung sistem common law, F.V Hayek mengatakan bahwa sistem common law lebih baik dari pada civil law karena jaminannya
*

Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987 sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 20012002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang. Chaim Perelman, Legal Ontology and Legal Reasoning, dalam A.R. Blackshield, ed, Legal Change Essay in Honor of Julius Stone, (Sidney: Butterworth, 1983), hal 6. Pengadilan dalam sistem hukum common law, tidak memberikan petunjuk bagi manusia bagaimana dia harus bertindak, tetapi jika manusia itu berbuat kesalahan maka pengadilan langsung menghukumnya.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

165

pada kebebasan individu dan membatasi kekuasaan pemerintah.2 Untuk lebih memahami pemicu perdebatan di atas cara terbaik adalah dengan menghampirinya dari aspek historis sebagaimana dikatakan Benjamin N. Cordozo sejarah dalam menerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan.3 Menurut catatan, tahun 1066 dianggap sebagai tahun kelahiran tradisi common law ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli (Anglo Saxon) di Inggris. Sedangkan civil law lahir terlebih dahulu ketika Corpus Juris Civilis of Justinian diterbitkan di Constatinopel pada tahun 533 yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi.4 Akar perbedaan yang substansial diantara kedua sistem hukum itu terletak pada sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara. Sistem civil law menggunakan kodikasi sebagai sumber hukum, sedangkan sistem common law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum atau yang lebih dikenal dengan doktrin stare decisis.5 Perbedaan menonjol lainnya menyangkut peran pengadilan. Di negara civil law hakim merupakan bagian dari pemerintah.6 Hal ini tidak terlepas dari sejarah

Lebih lanjut Hayek menyatakan bahwa sistem kebebasan di Inggris berasal dari ajaran Locke dan Humme yang menekankan kepada kebebasan individu untuk mencapai tujuan masing-masing, sedangkan model kebebasan Perancis berasal dari ajaran Hobbes dan Rousseau yang menekankan pada kebebasan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama lihat Paul G. Mahoney, The Common Law and Economic Growth: Hayek Might Be Right, Journal of Legal Studies, (Vol.XXX, University of Chicago, 2001), hal 504-511 Benjamin N. Cardozo, The Nature of The Judicial Process, (London : Yale University Press, 1962), hal. 89 Lihat John Henry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, (California: Stanford University Press, 1969), hal 4-7. Istilah stare decisis berasal dari istilah stare decisis et non quieta movere, yaitu stand by the decision and do not disturb what is settled, lihat W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Roso, Business and Its Legal Environment, (New Jersey: Prentice-Hall Inc.,1999), hal, 40. sedangkan dalam Blacks Law Dictionary diartikan to adhere to precedents, and not to unsettle things which are established. Lihat Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hal 1406. Di Indonesia, adanya independensi hakim atau berada di bawah Mahkamah Agung, pindah dari naungan Departemen. Kehakiman terjadi sejak tahun 2004

166

Bunga Rampai

yang melandasi terciptanya perbedaan itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi inilah yang kemudian memicu revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah pemerintahan oleh hakim seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini membuat kekuasaan pemerintah di negara civil law menjadi sangat dominan. Sistem Hukum Romawi menggambarkan dengan jelas perbedaan antara hukum privat yang mengatur hubungan antara warga negara dan hukum publik yang mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah. Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem civil law di daerah continental yang mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan antara kasuskasus yang berhubungan dengan pemerintah dan memberlakukan hukum yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat.7 Posisi ini membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang untuk mengkaji kebijakan pemerintah.8 Sebaliknya, negara common law yang berasal dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen.9 Oleh karenanya kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.10
7

10

John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Introduction to Legal Method, (London: Sweet & Maxwell, , 1984), hal 39. Perancis memang telah mengembangkan suatu Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang men-review Keputusan Pemerintah, namun demikian Pengadilan ini berada dibawah pengawasan Eksekutif. Para hakimnya juga didik pada administrative school bersama-sama dengan pegawai negeri lainnya yang nantinya keputusan mereka akan diawasi oleh hakim tersebut. Lihat Paul G. Mahoney, Op. Cit, hal 503 512. Independensi pengadilan ini apabila ditelusuri berawal dari pertentangan antara Hakim Coke dengan King Stuart ketika Kerajaan yang memaksakan kehendaknya untuk mengubah hak properti yang merugikan rakyat. Raja Stuart kemudian membentuk sebuah pengadilan baru bernama Stuart Chamber yang berada di bawah Kerajaan dan merupakan kepanjangan tangan dari Kerajaan Inggris. Setelah revolusi Stuart Chamber ini dibubarkan. Paul G. Mahoney, Op.Cit, hal 508-509 S.H.Bailey dan M.J.Gunn, Smith & Bailey on The Modern English Legal System, (London: Sweet & Maxwell, 1996), hal 413.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

167

Dalam perjalanannya, kombinasi antara konsep Hukum Romawi dan praktik-praktik di lapangan telah membentuk dasar-dasar hukum yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini, yaitu sistem civil law dan sistem common law.11 Terlepas dari perdebatan di atas, pengalaman menunjukan bahwa negara-negara dengan sistem common law ternyata relatif lebih makmur secara ekonomi dibanding negara dengan sistem civil law.12 Arah Pendidikan Hukum Perbedaan penerapan hukum di atas berimplikasi terhadap sistem pendidikan hukum di negara-negara penganut kedua sistem hukum tersebut. Sistem pendidikan hukum di negara civil law lebih menekankan kepada metode pengajaran yang bersifat doktrinal. Materi yang diberikan adalah isi pasal-pasal dari perundangan-undangan, dengan metode pengajaran monolog. Para mahasiswa bersifat pasif dan umumnya diajarkan untuk menghapal perundang-undangan. Perdebatan dan diskusi jarang dilakukan karena selama perkuliahan berlangsung dosen biasanya hanya memberikan penjelasan mengenai teori, isi pasal serta pendapat para sarjana, dan sangat jarang perkuliahan dilakukan untuk membahas suatu kasus. Peranan dosen sangat sentral dalam memberikan pemahaman tentang hukum, dosen berfungsi sebagai narasumber, pembimbing dan legal solver terhadap pertanyaan para mahasiswa. Perbandingan suatu teori atau hukum juga jarang dilakukan, karena umumnya negara-negara civil law berpaham positivisme, sehingga landasan maupun pemikiran tentang hukum hanya berpedoman kepada perundangundangan yang telah terkodikasi. Hal ini menyebabkan perbandingan hukum dengan negara lain dianggap kurang penting dan kurang mempunyai kekuatan hukum apabila dijadikan landasan pembelaan dalam sebuah peradilan. Sebaliknya, sistem pendidikan di negara common law lebih menekankan kepada practical use. Sistem hukum yang

11 12

Paul G. Mahoney, Op. Cit, hal. 2001, hal 508. Ibid, hal 253

168

Bunga Rampai

menekankan kepada putusan hakim, membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus hukum dan putusan pengadilan. Pemahaman terhadap teori hanya diberikan di awal perkuliahan dengan metode self learning, dimana para dosen hanya memberikan pengantar dan referensi buku yang harus dipelajari serta dirangkum oleh para mahasiswa. Sedangkan sisa perkuliahan dilakukan dengan diskusi, presentasi dan pemaparan para mahasiswa mengenai suatu kasus. Hal ini membuat peran mahasiswa lebih dominan daripada peran dosen. Dosen hanya berperan sebagai pembimbing dan pengarah diskusi, sedangkan isi perkuliahan lebih banyak diisi oleh perdebatan dan pendapat dari masing-masing mahasiswa mengenai kasus-kasus yang diberikan oleh dosen. Sehingga perkuliahan bersifat terbuka, konsultasi mengenai suatu permasalahan hukum dilakukan secara individual antara dosen dan mahasiswanya. Sehingga hubungan antara dosen dan mahasiswa di negara common law umumnya sangat dekat, dan tidak jarang mereka menjadi sahabat dalam kehidupan pribadi. Adanya perbedaan dalam sistem pendidikan hukum di atas telah menyebabkan perbedaan besar dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan hukum. SDM penegak hukum dari negara civil law cenderung bersifat positis dan rigid dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Mereka hanya memandang suatu permasalahan dengan parameter perundang-undangan. Sehingga penyelesaian suatu permasalahan hukum dilakukan dengan pendekatan doktrinal. Sebaliknya SDM penegak hukum dari negara common law selalu bersifat kritis dan analistis. Perundang-undangan bukan harga mati bagi sebuah keadilan, sehingga sering sekali putusan hakim dijadikan parameter untuk menilai apakah suatu peraturan dapat diterapkan di masyarakat. Putusan pengadilan itu juga bukan hal yang mutlak harus diikuti, apabila seorang hakim menganggap suatu putusan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dia dapat membuat putusan baru tentu dengan argumentasi yang kuat. Putusan ini akhirnya akan diuji oleh Mahkamah Agung apakah diterima atau ditolak, karena adanya doktrin kalau suatu putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan di atasnya. Inilah yang membuat para SDM penegak hukum common law selalu melaku-

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

169

kan analisis dan kritis terhadap hukum. Tidak jarang mereka melakukan perbandingan hukum untuk menjustikasi argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat. Dari deskripsi di atas tentu kita dapat menyimpulkan bahwa metode pengajaran civil law membuat para SDM penegak hukum berpikir doktrinal. Kelebihan dari metode ini adalah adanya kepastian dalam pemahaman hukum. Hal ini terjadi karena pembelajaran terfokus pada kodikasi, sehingga pembelajaran relatif lebih terarah. Sedangkan kelemahannya adalah metode ini menghasilkan SDM penegak hukum yang lemah akan analisis dan kurang kritis terhadap hukum. Sehingga apabila terjadi suatu permasalahan hukum, dimana perundang-undangan yang mengaturnya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat, para SDM penegak hukum akan gagal mengimplementasikan rasa keadilan masyarakat dalam solusi hukumnya. Sebaliknya, metode pengajaran common law menekankan kepada analisis kasus dan diskusi serta untuk selalu bersikap kritis dalam menghadapi permasalahan hukum. Sehingga metode ini mempunyai kelebihan dalam menghasilkan para SDM penegak hukum yang kritis dalam menghadapi perubahan di masyarakat. Gambaran mengenai sistem pendidikan hukum di Indonesia tidak berbeda jauh dengan apa yang telah diuraikan mengenai sistem pendidikan hukum civil law di atas. Pengajaran yang bersifat doktrinal masih mewarnai pembelajaran hukum di Indonesia. Dalam menghadapi persaingan global, metode pendidikan seperti ini harus diperbaiki terutama pada negara berkembang seperti Indonesia, dimana perekonomiannya belum stabil dan tingkat penyelewengan hukum masih tinggi dan perundang-undangan belum berfungsi maksimal dalam mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga penggalian nilai-nilai keadilan juga harus dilakukan disamping pemahaman terhadap peraturan tersebut. Pandangan yang bersifat doktrinal dan positivisme mutlak harus segera diminimalkan untuk membentuk SDM penegak hukum yang kritis, analistis dan responsif terhadap permasalahan hukum, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat dipulihkan kembali. Sebagai lembaga yang menghasilkan SDM penegak hukum, peran Fakultas

170

Bunga Rampai

Hukum sangatlah penting di sini. Pembenahan menyeluruh terhadap pendidikan hukum harus segera dilakukan. Fakultas hukum di Indonesia harus kembali kepada khitahnya, yaitu sebagai professional school yang harus dapat menggabungkan unsur profesionalisme dan pendidikan hukum dalam pengajarannya. Hal ini tentu tidaklah mudah, diperlukan political will yang kuat bagi para petinggi universitas dan pemerintah untuk melakukan pembenahan yang sistematis dalam memperbaiki pendidikan hukum di Indonesia. Pembenahan tersebut harus dilakukan secara serentak, baik dari peningkatan kualitas SDM, metode pengajaran, teaching material atau kurikulum dan kesejahteraan para pengajar. SDM Penegak Hukum Yang Kompeten dan Profesional Jurang antara dunia akademis dan praktis di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir abad ke-20 semakin melebar. Kondisi ini bermula sebagai konsekuensi pendekatan pembangunan yang diterapkan pemerintah. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah menerapkan sistem pembangunan ekonomi pro pasar. Metodemetode ekonomi pro pasar umumnya diimpor dari negaranegara common law dan juga sistem ekonomi pro pasar lebih kondusif bila didekati dengan institusi hukum yang berasal dari sistem common law. Dalam sistem common law, pasarlah yang menjadi panglima, sedangkan sistem civil law peran pemerintah sangat dominan. Dalam bahasanya Walter Lippmann in a free society the states does not administer the affairs of men. It administers justice among men who conduct their own affairs. Sementara itu, metode pengajaran di kampus-kampus masih berorientasi kepada sistem civil law. Konsekuensinya tamatan Fakultas Hukum seolah terlempar ke dunia lain. Padahal L. Michael Hagger menggambarkan, bahwa jalannya suatu sistem hukum tidak akan pernah lebih baik dari mereka yang menjalankannya, seperti SDM penegak hukum. Hal ini disebabkan SDM penegak hukum yang berperan menjalankan hukum bukan hanya berdasarkan cara berpikirnya sendiri, tetapi berasal dari pendidikan yang diperolehnya dari kuliah semasa di Fakultas Hukum. Seharusnya pendidikan itu pulalah yang memperluas ruang lingkup cara berKomisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

171

pikirnya, kegiatannya dan kesiapannya yang membedakannya pula dengan kalangan lainnya.13 Kondisi di atas memaksa kita memikirkan bagaimana Fakultas Hukum dapat melahirkan SDM penegak hukum yang berpengetahuan luas dan memiliki keterampilan hukum yang sesuai dengan sistem ekonomi pro pasar yang dijalankan pemerintah tersebut. Jalan yang harus ditempuh adalah bagaimana menepis kekhawatiran bahwa apa yang diberikan dalam kuliah berbeda dengan hukum dalam kenyataan. Untuk itu, tentunya staf pengajar di Fakultas Hukum tidak hanya mengajarkan teori atau hal-hal yang normatif sifatnya, doktrinal dan deskriptif, tetapi harus pula mengajarkan keterampilan menggunakan sains (science) untuk memahami hukum disamping dan memperkenalkan hukum sesuai dengan kenyataan.14 Memperkenalkan hukum sesuai dengan kenyataan dibutuhkan mengingat Fakultas Hukum sebagai professional school diwajibkan untuk mempersiapkan keterampilan para lulusannya. Untuk perbandingan, kita dapat melihat sistem pendidikan hukum di Inggris, dimana terdapat syarat yang sangat ketat dalam penerimaan SDM penegak hukum yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan profesi yang lebih tinggi. Fakultas Hukum di Inggris dituntut untuk memberikan pemahaman hukum yang komprehensif untuk menyediakan seorang SDM penegak hukum yang kompeten dan profesional. Kriteria yang ditekankan disini bukanlah metode penilaian terhadap tugas atau lamanya pengajaran tetapi yang dituntut adalah proposi beban kerja mahasiswa dan setidak-tidaknya harus menguasai tujuh dasar pengetahuan
13

14

15

L. Michael Hagger, The role of Lawyer of development country, ABA Journal, (Vol. 58, 1972), hal. 33. Lihat Antony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession,(Cambridge: Harvard University Press, 1993), hal.166-239. Penggunaan pendekatan ekonomi terhadap hukum (law and economic) dalam pendidikan hukum di Amerika Serikat bersifat permanen yang dimulai sejak tahun 1960an. Gerakan Law and Economic telah mengubah metode dosen mengajar dan hampir di seluruh subjek hukum pengetahuan praktis ilmu ekonomi merupakan persyaratan. Terlepas setuju atau tidak setuju dengan gerakan ini. Ketujuh dasar pengetahuan hukum tersebut adalah: obligations 1, obligations 2, Foundation of Criminal Law, Foundation of Equity and the Law of Trust, Foundation of the Law of the European Union, Foundation of Property Law, dan Foundation of Public Law serta Legal Research. Lihat S.H. Bailey dan M.J.Gunn, Op.Cit, hal 182-183

172

Bunga Rampai

hukum.15 Selain itu Sistem Pendidikan Hukum Lanjutan di Inggris juga dibedakan antara Pengacara (Barrister) dan Konsultan Hukum (Solicitor), sehingga menimbulkan perbedaan persyaratan untuk dapat menekuni kedua profesi ini. Untuk dapat menjadi pengacara (Bar), seorang calon harus ikut dalam salah satu Inns of Court dan harus memenuhi dan menyelesaikan dua tahap pendidikan. Tahap pertama adalah tahap akademik dimana calon harus mempunyai gelar SDM penegak hukum atau sertikat lulus dari Common Professional Examination (CPE). Tahap kedua adalah tahapan pendidikan spesialis atau kejuruan yang dilakukan dengan mengikuti program the Bar Vocational Course yang diselenggarakan oleh Court School of Law. Kedua tahap ini menyarankan syarat untuk dapat mendaftar menjadi pengacara.16 Gambaran di atas menunjukkan bahwa Fakultas Hukum sebagai profesional school harus mempunyai suatu sistem pendidikan atau metode pengajaran yang mempunyai suatu kurikulum yang tepat untuk menghasilkan SDM penegak hukum yang kompeten dan mempunyai kemampuan profesional yaitu kemampuan praktik. Di sinilah esensi sebenarnya dari profesional school, dimana tidak ada pembedaan antara akademisi dan profesional. Kemampuan akademis merupakan dasar pengajaran sedangkan kemampuan profesional adalah pengembangan teori secara praktik. Adanya anggapan bahwa seorang SDM penegak hukum cukup dibekali kemampuan hukum di bidang tertentu saja harus ditentang. SDM penegak hukum haruslah menguasai ilmu hukum dan praktik-praktik dasar secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kompeten dan profesional. Pendidikan
16

Seorang calon masih harus mempunyai pengalaman selama 12 bulan dengan Pengacara yang mempunyai pengalaman selama 5 tahun, dimana selama 6 bulan pertama mereka tidak boleh menerima instruksi. Sedangkan untuk menjadi konsultan hukum (solicitor), seorang calon dua tahap sama seperti syarat menjadi Pengacara. Syarat pertama yaitu syarat akademik sama seperti persyaratan untuk menjadi Pengacara. Syarat kedua menuntut calon harus merupakan anggota dari the Law Society dan harus mengikuti dan lulus pelatihan Legal Practice Course Board yang diselenggarakan the Law Society. Tujuan dari pelatihan ini adalah supaya para lulusannya dapat menguasai pembuatan kontrak dengan kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk mengatasi masalah dan tantangan dengan diawasi oleh instruktur pelatihan. Lihat S.H. Bailey dan M.J.Gunn, Op.Cit, hal 184-185

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

173

lanjutan hanyalah memberikan suatu spesialisasi terhadap sebuah bidang yang ingin ditekuni oleh SDM penegak hukum tersebut. Hal ini sejalan dengan H. W. Arthur yang menyatakan bahwa, lawyers must become expert in some eld of knowledge and know little about others.17 Oleh karena itu adalah suatu kesalahan besar untuk melarang dosen melakukan praktik hukum, karena hal itu akan menghilangkan unsur profesionalisme dalam diri dosen yang pada gilirannya akan menghilangkan unsur esensial Fakultas Hukum sebagai pendidikan profesional. Kekhawatiran akan diabaikannya tugas-tugas pendidikan dapat diatasi dengan dibuatnya sebuah rule of the game dengan sanksisanksi yang jelas. Kita harus melihat pada profesional school sejenis, yaitu Fakultas Kedokteran, dimana para pengajarnya juga melakukan praktik, karena mustahil bagi sebuah profesional school mengajarkan pendidikannya jika dosennya tidak mempunyai kemampuan dalam bidang praktik seperti yang telah digambarkan oleh sistem pendidikan hukum di Inggris. Dosen Fakultas Hukum disamping berkewajiban mengajar dan menulis, juga wajib melatih mahasiswanya dengan keterampilan praktis. Mempersiapkan keterampilan praktis dapat dilakukan dengan menggunakan metode

17

18

H.W.Arthurs, A lot of Knowledge is a Dangerous Thing: Will the Legal Profession Survive the knowledge Explosion? dalam Michael Feindel dan Oliver Fuldaner, Access and Specialization in Legal Education and Practice, Dalhousie Journal of Legal Studies, hal. 286, lihat dalam Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001, hal. 13. Untuk membentuk Fakultas Hukum sebagai profesional school, maka pembenahan metode pendidikan harus dilakukan secara komprehensif dimulai dari perubahan sistem pengajaran yang selama ini bersifat doktrinal. Pengajaran dapat dilakukan dengan menggabungkan pemahaman terhadap isi pasal, lsafat hukum dan case analysis. Pemahaman terhadap doktrin, teori dan lsafat hukum dapat dilakukan di awal perkuliahan, dimana mahasiswa harus bersifat aktif dengan didampingi dan diarahkan oleh dosen agar lebih terarah. Sisa perkuliahan dilakukan dengan pemahaman suatu peraturan perundangan-undangan yang diikuti dengan pembahasan kasus-kasus yang berkaitan dengan peraturan tersebut. Hal ini dilakukan agar para mahasiswa dapat memahami akibat dan konsekwensi hukum yang timbul akibat isi suatu pasal. Kasus yang dipilih tidak hanya berasal dari dalam negeri tetapi juga diberikan kasus-kasus yang berasal dari luar negeri. Hal ini dilakukan agar mahasiswa mendapat gambaran mengenai hukum di luar Indonesia, sehingga mereka dapat membandingkan dan memperluas pandangan mereka terhadap hukum diluar Indonesia.

174

Bunga Rampai

pengajaran berbasis pembahasan kasus (case law).18 Metode case law pertama sekali digunakan di Harvard Law School yang kemudian diikuti oleh seluruh Fakultas Hukum di AS.19 Metode ini merupakan hasil dari judicial reasoning dalam menentukan sebuah kasus dalam sebuah situasi fakta tertentu. Hukum sebagai sumber pengambil keputusan merupakan hal yang mosaic dimana polanya berkembang dengan perkembangan masyarakat. Hakim-hakim di Inggris menganggap bahwa fungsi seorang hakim bukanlah menghasilkan sebuah sistem hukum atau sebuah perkerjaan institusional yang menggunakan simetri logika. Mereka menganggap tugas hakim adalah menerapkan sebuah ketentuan atau prinsip hukum terhadap sebuah situasi fakta tertentu dan berbuat yang benar terhadap situasi tersebut. Hal ini dengan tepat digambarkan oleh seorang Hakim Agung Amerika yang sangat terkenal, Oliver Wendell Holmes bahwa The life of the Law has not been logic; it has been experience (kelangsungan hidup dari hukum bukanlah melalui logika tetapi melalui pengalaman).20 Oleh sebab itu metode case law ini sangat relevan untuk diajarkan kepada para mahasiswa, karena metode ini dapat mengevaluasi sebuah hukum melebihi dari isi hukum itu sendiri. Sehingga para mahasiswa dapat memahami law behind law dan dapat memahami hukum yang mendasari isi sebuah putusan bukan hanya memahami isi putusan saja. Sehingga para mahasiswa dapat terhindar dari pemikiran yang positivis dan doktrinal, mereka dapat melihat hukum sebagai hukum yang hidup bukan sebagai black letter rules. Hal ini penting mengingat isi pasal sebuah perundang-undangan hanyalah sebuah kata-kata dalam bahasa Indonesia, untuk dapat menghidupkannya maka perlu dikaitkan dengan fakta-fakta yang timbul dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Diharapkan dengan metode ini mahasiswa dapat mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan bersikap kritis dalam menghadapi hukum. Seperti yang dikatakan oleh C.G. Weeramantry dalam tulisannya Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspec19 20

Antony T. Kronman, Op. Cit, hal. 170. John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Op.Cit, 1984, hal 81.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

175

tive, selama pengadilan kita dipenuhi dengan hakim dan pengacara yang dilatih untuk melihat hukum sebagai black letter rule, maka putusannya akan dengan cepat tidak relevan dengan zaman yang didominasi oleh sains dan tekhnologi.21 Oleh karena itu metode ini sangat penting untuk dapat membuat hukum hidup tidak hanya di pengadilan seperti yang selama ini terlihat, tetapi juga dalam ruanganruangan kelas dalam perkuliahan di Fakultas Hukum. Tepat pula di sini diusulkan agar staf pengajar melakukan empirical research,22 yang nantinya mengalihkan keahlian hukum dalam kenyataan itu kepada mahasiswa. Tidak kalah pentingnya, tim pengajar di Fakultas Hukum sekarang ini perlu pula menekankan proses belajar mengajar dengan metode legal reasoning yang didasarkan pada penelitian.23 Penting pula memperkuat muatan pengajaran perbandingan hukum dalam perkuliahan, mengingat SDM penegak hukum masa kini dalam era globalisasi, baik karena kebutuhan praktik maupun kesamaan model institusi-institusi hukum dan peraturan-peraturannya, perlu mengetahui berbagai peraturan hukum negara lain dan bagaimana ia berjalan dalam perbedaan sistem hukum, budaya dan tradisi.24 Perbandingan hukum tidak hanya dapat dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan mengenai hukum di negara lain, tetapi juga dilakukan melalui kuliah bersama dengan para mahasiswa di negara lain. Pesatnya pertumbuhan teknologi, telah memungkinkan kita untuk melakukan kuliah bersama jarak jauh melalui teleconference dengan mahasiswa di negara lain. Hal ini dapat memperluas pengetahuan hukum mahasiswa mengenai hukum di negara lain dengan
21

22

23

24

C.G. Weeramantry, Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspective Legal Change, Sidney: Butterworth, 1983, hal 158. Lihat. Erman Rajagukguk, Op. Cit, hal. 22. Lihat juga. Craig Allen Nard, Empirical Legal Scholarship: Reestablishing a Dialoque Between the Academy and Profession, Wake Forest Law Review, (Vol. 30, 1995), hal. 347-368. Robert R. Merhige Jr, Legal Education: Observation and Perception From the Bench, Wake Forest Law Review, (Vol. 30,1995), hal. 275. Lihat. Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Konik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju, Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hal. 25. Erman Rajagukguk, Op. Cit, hal. 24. Bandingkan. O. Haley, Educating Lawyers for the Global Economy, Michigan Journal of International Law, (Vol. 17, Spring 1996), hal. 746.

176

Bunga Rampai

berdikusi langsung mengenai teori maupun praktik hukum dengan mahasiswa atau para pengajar di negara tersebut. Fasilitas dan peralatan untuk teleconference ini sendiri sudah tersedia di Universitas Sumatera Utara.25 Selain itu kita juga harus menyadari bahwa bidang hukum yang semakin hari semakin luas sehingga tidak dapat dihindarkan perlunya pendekatan dengan disiplin ilmu lain. Dalam kaitannya dengan pendekatan disiplin ilmu ekonomi misalnya, terasa dalam pendidikan ilmu hukum belum menjadi kebutuhan. Hal ini ditandai sudah sejak lama pendidikan ilmu hukum mengumandangkan irama yang berbeda dengan pendidikan ilmu ekonomi. Perbedaan irama ini serupa dengan perbedaan antara gamelan Bali yang mengumandangkan tari Baris dan New York Philharmonic Orchestra yang, mengumandangkan Symphony Nomor 5 karya Betthoven. Namun demikian bukanlah tidak mungkin untuk mengumandangkan irama yang satu dengan menggunakan alat musik yang lain.26 Oleh karena itu kurikulum pendidikan di Fakultas Hukum harus dirancang untuk dapat mempersiapkan mahasiswa dengan bekal yang cukup untuk tampil di masyarakat sesuai dengan tuntutan masa kini, dimana nantinya lahir SDM penegak hukum yang kompeten dan profesional. Dalam menyusun kurikulum penting kiranya kita memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Robert Mac Create, dalam tulisannya Lecture on Legal Education, Wake Forest School of Law. Menurut Mc.Create untuk menghasilkan SDM penegak hukum yang kompeten, setidaknya ada 10 keahlian generik
25

26

27

Selain itu yang tidak kalah penting adalah penguasaan bahasa inggris oleh para dosen dan mahasiswa/i. Hal ini sangat penting karena banyak sekali isu-isu baru tentang hukum di tulis dalam jurnal yang berbahasa inggris. Kemampuan untuk mengikuti perkembangan dalam hukum di dunia internasional akan memberikan pemahaman tentang hukum lebih komprehensif, terutama dalam ketatnya persaingan di dunia global dan tingginya aktivitas perdagangan internasional. Charles Himawan, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991, hal. 6. Kesepuluh keahlian tersebut adalah problem solving, legal analysis and reasoning, legal research, factual investigation, oral and written comunicattion, counseling, negotiation, understanding of the procedures of litigation and alternative dispute resolution, organizing ang managing legal work, dan recognizing and resolving ethical dillemas. Robert Mac reate, Lecture on Legal Education , Wake Forest School of Law, Wake Forest Law Review, Vol. 30 No. 2 (1995), hal. 262-263.

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

177

yang harus dimiliki. 27 Oleh karena itu kurikulum pendidikan hukum harus benar-benar disusun untuk mendukung hal ini. SDM penegak hukum yang lulus dari Fakultas-Fakultas Hukum sekarang ini menghadapi dunia baru, termasuk hubungan yang baru di bidang ekonomi, yang menjadikan kebutuhan untuk adanya spesialisasi di bidang hukum tidak dapat dielakkan, termasuk bidang hukum ekonomi. Apalagi dari sekarang kita sedang melakukan pembangunan ekonomi. Selain bidang ekonomi, bidang teknologi yang saat ini sedang mengalami perkembangannya juga harus diperhatikan dalam menyusun kurikulum. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah mata kuliah ini yang menggabungkan kedua disiplin ilmu di Fakultas hukum. Misalnya dalam bidang teknologi kita dapat menambahkan mata kuliah wajib pengenalan dalam bidang sains dan society. Kemudian menambahkan mata kuliah khusus yang membahas kaitan antara sains dan hukum. Mata kuliah ini mengajarkan tidak hanya tentang hukum tetapi juga dasar-dasar sains seperti sika, biologi, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi kesulitan dalam mengajarkan mata kuliah ini, fakultas dapat mengundang dosen-dosen tamu dari bidang disiplin ilmu yang berbeda. Fakultas dapat juga mengadakan sebuah program khusus dimana kita mengundang pakar-pakar dari fakultas lain untuk bersama-sama melakukan sebuah research atau program tertentu yang mengaitkan hukum dengan bidang tersebut.28 Hal lain yang tidak kalah penting adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan sentral dari aktivitas di sebuah institusi pendidikan di luar kelas. Metode self learning tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh fasilitas perpustakaan yang memadai. Inilah sebabnya mengapa Law School di luar negeri menyebut perpustakaan sebagai jantungnya sebuah institusi pendidikan. Ada sebuah pepatah yang menggambarkan pentingnya perpustakaan di luar negeri yaitu, a good lawyer is one who knows where to look for the law.29 Oleh karena itu, Fakultas Hukum idealnya ha-

28 29

Lihat C.G. Wereemantry, Op.Cit, hal 163-165 John H. Farrar dan Anthony M. Dugdale, Op.Cit, hal 274

178

Bunga Rampai

rus mempunyai sebuah perpustakaan sendiri untuk membantu para mahasiswa dan pengajar untuk lebih memahami hukum. Untuk mencapai pada tingkat pendidikan hukum yang ideal seperti yang digambarkan di atas tentu tidak mudah pula, sangat ditentukan oleh kualitas dosen. Sementara itu, peningkatan kualitas dosen baru dapat tercapai apabila kesejahteraannya dapat terjamin. Peningkatan tersebut bukan hanya akan membantu para dosen untuk meningkatkan pengetahuannya, misalnya melalui kursus atau pembelian buku-buku baru, tetapi juga penting untuk keberlangsungan suatu institusi pedidikan. Selain itu perlu juga diadakan sebuah trainer for trainee untuk para dosen secara rutin dan berkala. Adanya pelatihan ini akan memberikan kemampuan praktik langsung dari para praktisi di lapangan kepada para dosen yang belum mempunyai kemampuan tersebut. Selain efektif untuk meningkatkan kualitas pengajar hal ini juga relatif tidak membutuhkan banyak dana, karena Fakultas Hukum dapat meminta bantuan para alumninya yang telah menjadi praktisi di lapangan untuk menjadi trainer secara sukarela. Sedangkan untuk mengatasi ketimpangan para tenaga pengajar, terutama dalam pengajaran hal-hal yang bersifat praktik, fakultas dapat mengundang para praktisi sebagai dosen tamu di dalam perkuliahan. Dosen tamu yang didampingi oleh dosen tetap dapat membantu para mahasiswa untuk dapat lebih memahami hal-hal yang bersifat praktis di lapangan dan sekaligus berfungsi sebagai alih pengetahuan. Sedangkan untuk meningkatkan fasilitas perpustakaan, fakultas selain harus menyediakan dana khusus untuk ini, juga dapat meminta bantuan kepada para institusi pendidikan di luar negeri untuk memberikan sumbangan berupa buku-buku ataupun jurnal-jurnal ilmiah baik yang baru maupun yang tidak lagi mereka butuhkan. Perlu diketahui bahwa tiap tahun banyak Fakultas Hukum di luar negeri mengalami over stock karena masuknya edisi-edisi baru dari koleksi buku yang mereka punyai. Inilah yang biasanya mereka sumbangkan kepada Fakultas-Fakultas hukum di negara lain. Perlu diingat bahwa walaupun buku tersebut bukan edisi terbaru, namun dari segi substansi isinya masih sangat relevan, mengingat hukum bukanlah ilmu pasti yang

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

179

apabila berubah teori-teori yang lama tidak lagi dapat digunakan. Di sinilah diperlukan jaringan atau koneksi dengan Fakultas Hukum di luar negeri. Jaringan dapat dibangun langsung oleh universitas maupun secara individu melalui para dosen-dosen yang sedang melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Penutup Momentum untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan di muka dapat dibuat sebagai pemikiran reformasi sistem pendidikan dan metode pengajaran. Sehingga harapan-harapan dalam reformasi pendidikan hukum untuk melahirkan SDM penegak hukum yang kompeten dan profesional di masa datang ini dapat terwujud. Semoga.

180

Bunga Rampai

Daftar Pustaka Bailey, S.H. dan M.J.Gunn, Smith & Bailey on The Modern English Legal System, London: Sweet & Maxwell, 1996. Black, Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990. Cardozo, Benjamin N., The Nature of The Judicial Process, London: Yale University Press, 1962. Dunfee W, et.all , Business and Its Legal Environment, New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 1999. Farrar, John H. dan Anthony M. Dugdale, Introduction to Legal Method, London: Sweet & Maxwell, 1984. Hagger, L. Michael, The role of Lawyer of development country, ABA Journal, (Vol. 58, 1972). Haley, O., Educating Lawyers for the Global Economy, Michigan Journal of International Law, (Vol. 17, Spring 1996). Himawan, Charles, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991. Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Konik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju, Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001. Kronman, Antony T., The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Cambridge: Harvard University Press, 1993. Mahoney, Paul G., The Common Law and Economic Growth: Hayek Might Be right, Journal of Legal Studies, (Vol. XXX, University of Chicago, 2001) Mc.reate, Robert, Lecture on Legal Education , Wake Forest School of Law, Wake Forest Law Review,( Vol. 30 No. 2 , 1995). Merhige Jr, Robert R., Legal Education: Observation and Perception From the Bench, Wake Forest Law Review, (Vol. 30,1995) Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, California: Stanford University Press,
Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

181

1969. Nard, Craig Allen, Empirical Legal Scholarship: Reestablishing a Dialoque Between the Academy and Profession, Wake Forest Law Review,(Vol. 30, 1995). Perelman, Chaim, Legal Ontology and Legal Reasoning, dalam A.R. Blackshield, ed, Legal Change Essay in Honor of Julius Stone, Sidney: Butterworth, 1983. Rajagukguk, Erman, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU Ke-44, Medan, 20 Nopember 2001. Weeramantry, C.G., Legal Education for the Age of technology: A Plea for an Interdisciplinary Perspective, Legal Change, Sidney: Butterworth, 1983.

182

Bunga Rampai

Bagian Kedua

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan

183

184

Bunga Rampai

Komisi Yudisial Yang Dicita-citakan Oleh Masyarakat dan Pencari Keadilan


Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA.

Undang-Undang Dasar (UUD) adalah dokumen hukum dan politik (political and legal document) resmi suatu negara, yang berisi kesepakatan pokok tentang negara, mengatur mengenai organisasi negara, kekuasaan lembaga negara, hubungan antar lembaga, hubungan lembaga negara dengan warga negara, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Secara teoritis, UUD dapat diubah, baik dari sudut pandang losos, sosiologis, politis, maupun yuridis. Dalam penyusunan suatu UUD, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD. Dengan demikian, suasana kebathinan yang menjadi latar belakang losos, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis perlu dipahami secara mendalam dan seksama sehingga dapat dipahami dan dimengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja, tetapi harus memahami konteks dan suasana kebathinan yang mempengaruhi perumusannya. Penetapan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sejak tahun 1945 telah memungkinkan penyelenggaraan negara yang sejauh mungkin mengedepankan kemakmuran masyarakat. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa dalam implementasinya banyak ditemukan kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan munculnya ide untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan UUD 1945 guna menutupi kelemahan tersebut.
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

185

Seiring dengan bergulirnya reformasi, MPR hasil Pemilu 1999 telah melakukan suatu rangkaian perubahan UUD 1945 dalam empat tahapan yang berkesinambungan, yang diputuskan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Perubahan tersebut dilakukan karena MPR-lah berdasarkan UUD 1945 berwenang untuk melakukan perubahan. Perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan MPR untuk jangka waktu yang panjang guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Apabila hasil perubahan yang dilakukan MPR terwujud dalam bentuk seperti saat ini, hal ini ditempuh MPR setelah mempertimbangkan secara seksama berbagai aliran paham dan pemikiran masyarakat tersebut. Dengan pertimbangan dan proses pembahasan tersebut, MPR memandang bahwa UUD 1945 sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah masuknya ketentuan pasal 1 ayat (3) tentang penegasan negara Indonesia adalah negara hukum dan dimuatnya rumusan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Bab XA. Masuknya rumusan Negara Indonesia adalah negara hukum mempertegas paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Konsekuensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk. Paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam

186

Bunga Rampai

ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34 UUD 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia. Dalam UUD 1945 terdapat cakupan dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali terhadap seluruh penyelenggaraan negara menuju arah dan perwujudan cita-cita kolektif bangsa sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pembukaan. Dalam UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, di dalamnya terkandung pengertian pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang. Dalam paham negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Dalam paham negara hukum, hukum ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi karena kedaulatan hukum pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat, oleh karenanya prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam UUD. Untuk menjamin peradaban bangsa di masa yang akan datang perlu dikembangkan keberdayaan dalam hubungan antara negara, masyarakat, dan penyelenggara negara dalam hubungan yang fungsional, sinergis, dan seimbang. Untuk pencapaian tersebut diperlukan adanya suatu kesadaran kolektif rakyat yang tercermin dalam upaya pembentukan masyarakat madani. Dalam masyarakat madani, rakyat diberi kebebasan untuk berkiprah sesuai dengan peradaban yang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Institusi negara dibentuk tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan esien oleh institusi masyarakat. Institusi negara dibentuk dengan maksud untuk

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

187

makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan bathin, demokratis dan berkeadilan. Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan supremasi hukum menjadi kata yang paling sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan selalu menjadi obyek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya. Hal tersebut disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi yang khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum. Sudah sepatutnya kita semua, tanpa terkecuali, ikut melibatkan diri dalam usaha bersama mencari jalan keluar memperbaiki permasalahan secara menyeluruh, melalui kiprah nyata dan berkesinambungan dalam upaya mewujudkan supremasi hukum yang kita inginkan. Jika kita telaah, sejak Indonesia merdeka tahun 1945 para pendiri bangsa dan rakyat telah sepakat bahwa negara dibentuk berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, Negara Indonesia adalah negara hukum. Rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini merupakan hasil perubahan ketiga, Penegasan Indonesia sebagai negara hukum semula tercantum pada Penjelasan UUD 1945. Mengingat Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, maka hal-hal yang bersifat normatif yang terdapat dalam Penjelasan, dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Dalam negara hukum, individu dan negara berdiri sejajar. Negara diatur oleh konstitusi dan undang-undang. Keadilan bagi semua orang harus diperoleh agar masyarakat demokratis dapat mencapai kehidupan yang adil dan damai melalui penegakan hukum. Hukum berada di atas segalanya termasuk negara. Inilah yang dinamakan supremasi hukum. Tujuannya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abus de pouvoir) dan penggunaan kekuasaan negara secara sewenang-wenang (detournement de pouvoir). Karena, kekuasaan yang tidak di-

188

Bunga Rampai

batasi oleh hukum implikasinya adalah korup. Sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Supremasi hukum tidak hanya berlaku bagi yang lemah tetapi bagi seluruh komponen bangsa termasuk negara (pejabat negara). Karenanya, persamaan di depan hukum (equality before the law), pemberian jasa hukum/penasehat hukum (access to legal counsel), dan proses hukum yang adil (due process of law) adalah merupakan prinsip-prinsip negara hukum, sebagaimana tercermin dari bunyi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya: 1) 2) 3) jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;

Khusus yang menyangkut kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakomodasikannya di dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelum perubahan, Bab tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Setelah diubah, Bab tentang Kekuasaan Kehakiman menjadi lima pasal sehingga lebih rinci dan lebih lengkap, yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Pada Perubahan Ketiga (tahun 2001) diputus Pasal 24 [kecuali ayat (3)], Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C. Pasal 24 ayat (3) diputus pada Perubahan Keempat (tahun 2002), sedangkan Pasal 25 tetap, tidak diubah. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

189

Pasal 1 ayat (3). Perubahan ketentuan mengenai Mahkamah Agung dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja Mahkamah Agung. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), Mahkamah Agung mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi; 2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; 3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pada Pasal 24 ayat (2) dibentuk satu lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi, selain badan kekuasaan kehakiman yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Wewenang dan hal lain yang terkait dengan MK diatur dalam Pasal 24C. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Mahkamah Konstitusi-lah yang bertugas menjaga konstitusionalitas hukum tersebut. Dalam praktik tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, semula disesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan setiap negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi Mahkamah Konstitusi ke dalam Mahkamah Agung; ada pula konstitusi negara yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Indonesia menganut paham yang

190

Bunga Rampai

kedua. Masih berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, lembaga negara ini juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945, antara lain Presiden, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, dan BPK. Perbedaan pendapat di dalam Mahkamah Konstitusi sendiri diputuskan melalui mekanisme internal Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh Mahkamah Konstitusi berdasarkan pertimbangan komposisi keanggotaan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi yang diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi. Komposisi hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yakni dari sembilan anggota hakim konstitusi terdiri atas tiga orang yang diajukan oleh DPR, tiga orang yang diajukan oleh Presiden, dan tiga orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses dan putusan yang diambil terhadap perkara-perkara yang menjadi wewenangnya dapat dilakukan secara lebih baik karena ditangani oleh badan peradilan yang memang khusus dibentuk untuk menangani perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada sisi lain adanya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman lebih mempertegas bahwa praktik pemerintahan selama ini yang membedakan adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi negara sudah ditinggalkan karena setiap lembaga menjalankan tugas sesuai dengan fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuPenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

191

ka partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut. Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi antara kekuasaan yudikatif, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga membentuk lembaga baru yang berada di lingkungan Kekuasaan Kehakiman, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan Komisi Yudisial ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan gur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga ia menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi Yudisial yang merupakan lembaga bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Melalui lembaga Komisi Yudisial itu diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Penegakan hukum dan supremasi hukum antara lain dapat dilihat dari kemandirian kekuasaan kehakiman dan dibersihkannya lembaga peradilan dari korupsi, kolusi, dan

192

Bunga Rampai

nepotisme. Sebagai esensi dalam penegakan hukum, kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan dalam negara memiliki hubungan yang sangat erat dengan cabang kekuasaan lainnya. Kekuasaan kehakiman berfungsi memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota masyarakat satu sama lain dan antara anggota masyarakat dengan pemerintah. Wewenang untuk memutus perkara, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan ketertiban umum di masyarakat melalui putusan yang adil. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan Undang-Undang Dasar telah menjamin adanya kemandirian kekuasaan kehakiman. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan tersebut dapat bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku sehingga pengalaman buruk implementasi kekuasaan kehakiman sebelum reformasi yang penuh dengan rekayasa penguasa dapat dihilangkan. Keadilan tidak boleh dibedakan atas dasar latar belakang (sosial, ekonomi, politik, ideologi, etnisitas, ras, warna kulit, agama, gender, keyakinan politik, dan apapun). Keadilan harus dapat diraih oleh semua orang (kaya,miskin, sipil,militer, swasta, negeri, rakyat, pemimpin, tua dan muda). Artinya, jika pejabat bersalah dapat dihukum oleh pengadilan dan dituntut ganti rugi. Begitu juga jika masyarakat biasa yang bersalah dapat dituntut dan diproses secara hukum sehingga tercapai tujuan hukum yaitu kepastian hukum dan keadilan. Terkait dengan lembaga peradilan, terdapat dua aspek wewenang pokok mengadili dari kekuasaan kehakiman, yaitu aspek institusional berupa jenis-jenis kelembagaan peradilan yang diserahi kekuasaan kehakiman dan aspek fungsional berupa ragam fungsi yang diserahkan oleh undang-undang kepada badan-badan kekuasaan kehakiman. Melalui reposisi fungsi kedudukan lembaga peradilan dalam undang-undang, saat ini terdapat kemajuan yang menggembirakan dimana seluruh kelembagaan tersebut se-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

193

cara bersama-sama telah berkomitmen untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia aparatur hukum. Wujud dari upaya tersebut, penyelenggaraan peradilan yang bersih dan bebas sudah menjadi pedoman dalam berperkara. Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini ditegaskan bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Agung, tugas Komisi Yudisial hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim Mahkamah Konstitusi tidak dikaitkan dengan Komisi Yudisial. Aparatur penegak hukum yang berperan dalam upaya penegakkan hukum penting dikedepankan independensinya dari pengaruh kekuasaan politik Presiden atau pengaruh dari intitusi manapun juga. Independensi dalam melaksanakan tugas pro-yustisia diperlukan karena jabatan pemerintahan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lima tahunan. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan dan mengawasi pengangkatan hakim agung, kedudukannya sangat penting. Kehormatan dan martabat hakim sebagai penentu dalam proses peradilan patut dijaga mengingat putusan hakim adalah mutlak dan mengikat sebagai dasar aparat penegak hukum bertindak. Komisi Yudisial diharapkan dapat membantu mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada lembaga peradilan melalui pencitraan hakim, dengan demikian dapat mendorong terwujudnya peradilan yang bersih dan berwibawa. Upaya pemilihan hakim yang kompeten melalui seleksi calon hakim agung secara ketat disertai dengan pengawasan perilaku hakim agar senantiasa menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakunya. Komisi Yudisial sebagai salah satu institusi dalam menjalankan fungsi kehakiman harus dapat menunjukkan kinerja yang profesional dan mengedepankan komitmen untuk mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para

194

Bunga Rampai

hakim sehingga para hakim dalam semua tingkat peradilan dapat menjalankan wewenang dan tugasnya secara sungguh-sungguh dengan berdasarkan kebenaran, rasa keadilan, mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bebas dari intervensi kekuasaan dan menjunjung tinggi kode etik. Dengan kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial, diharapkan dapat mewujudkan mekanisme checks and balances dalam lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, sehingga akan membantu terwujudnya peradilan Indonesia yang menegakkan supremasi hukum. Upaya mewujudkan peradilan Indonesia yang profesional dan adil perlu dikedepankan mengingat saat ini terdapat kecenderungan berkurangnya kepercayaan masyarakat dan pencari keadilan terhadap badan peradilan yang disebabkan karena proses peradilan yang dilaksanakan kurang transparan dan kurang berfungsinya organ yang bertugas dalam mengawasi perilaku hakim. Dengan kondisi demikian, melalui tugas dan fungsi, diharapkan Komisi Yudisial dapat mempelopori untuk menciptakan kondisi yang dapat membantu mengoptimalkan peran peradilan sehingga dapat mewujudkan lembaga peradilan yang bersih, bermartabat, dan berwibawa serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Adanya pengawasan melekat pada perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya akan memberikan kontrol yang effektif dalam upaya menegakkan keadilan. Komisi Yudisial harus dapat menjalankan tugasnya untuk merekrut dan mengawasi perilaku hakim agar hakim dalam lembaga peradilan benar-benar memiliki integritas, memiliki kemampuan dalam menyelesaikan kasus, serta dapat mengambil putusan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dan mandiri. Dengan fungsinya tersebut, Komisi Yudisial menjadi pengawal dalam mengoreksi semua penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim, Komisi Yudisial dapat menjadi pelopor utama guna menegakkan keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dengan adanya pengawasan yang optimal oleh Komisi Yudisial, maka akan membantu pencitraan hakim dalam penyelenggaraan peradilan. Akhirnya saya ingin menegaskan bahwa pencitraan peradilan melalui itikad dan kesungguhan dari penyeleng-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

195

gara negara dalam mengimplementasikan seluruh peraturan secara konsekuen akan mendukung pelaksanaan seluruh ketentuan UUD 1945. Peran lembaga peradilan yang menjunjung tinggi hukum dan kesetaraan dalam hukum akan membantu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum dalam lembaga peradilan. Pencitraan hakim melalui seleksi yang ketat oleh lembaga yang berwenang serta pengawasan yang intensif oleh institusi diluar pengadilan akan mendukung terwujudnya netralitas putusan hakim dan membentuk pencitraan hakim yang profesional dan berwibawa.

196

Bunga Rampai

Sinkronisasi Sistem Perundang-undangan Lembaga Peradilan Dalam Menciptakan Peradilan yang Lebih Baik
Trimedya Panjaitan, SH*

INDONESIA adalah negara hukum. Salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni dalam Perubahan (Amandemen) Ketiga UUD 1945. Dalam Pasal 24 ayat (1) dinyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebelumnya, dalam UUD 1945 praamandemen, prinsip ini diatur dalam Pasal 24 UUD 1945, dan diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 24 yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.1

*
1

Penulis adalah Ketua Komisi III DPR RI, Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Kutipan dari penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen ini untuk menunjukkan bahwa sejak awal, yaitu oleh para pendiri bangsa, telah diterima gagasan adanya lembaga yudikatif yang mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

197

Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut secara penuh paham Trias Politica dan pemisahan kekuasaan. Namun pelembagaan berbagai kekuasaan negara di Indonesia jelas menunjukkan adanya keterpengaruhan pada paham Trias Politica. Dan khusus untuk kekuasaan kehakiman, dinyatakan secara tegas oleh UUD 1945 sebagai kekuasaan negara yang terpisah dari kekuasaan-kekuasaan negara lainnya.2 Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan kompentensi yang berbeda. Pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman itu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang (pasal 24A ayat 1). Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pasal 24C ayat 1). Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara dengan tugas melakukan uji materi (judicial review, atau secara lebih spesik melakukan constitutional review) atas undang-undang terhadap UndangUndang Dasar. Mahkamah Konstitusi juga mempunyai tugas khusus lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat, memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar hal-hal

Lihat Sri Soemantri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, 1978, dan Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 2006.

198

Bunga Rampai

tertentu yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sehingga mereka dapat diproses untuk diberhentikan, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, serta memutus pembubaran partai politik dan memutus sengketa hasil pemilu. Sedangkan Mahkamah Agung mengadili perkara-perkara konvensional (perkara-perkara di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara), ditambah dengan kewenangan menguji materi perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konstitusi juga memperkenalkan lembaga baru di dalam rumpun kekuasaan kehakiman, yakni Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bukan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman, namun sebagai lembaga pembantu (state auxiliary organ). Dalam Konstitusi diatur bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (pasal 24B ayat 1). Dengan demikian konstitusi telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi di bidang hukum dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial, sebagai supporting elemen dalam kekuasan kehakiman, untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pada awalnya ide dasar pembentukan Komisi Yudisial dilatarbelakangi kekhawatiran akan timbulnya tirani yudisial pasca pemberlakuan sistem satu atap di Mahkamah Agung dan pemberian kemandirian dan kemerdekaan kepada institusi pemegang kekuasaan kehakiman ini. Sehingga para anggota DPR/MPR RI sebagai representasi dari rakyat menilai perlunya dibentuk Komisi Yudisial (judicial committee) sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap kekuasaan kehakiman.3 Hasilnya adalah pengaturan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetap-

Lihat keterangan para saksi dari mantan Anggota Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam perkara permohonan uji materi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

199

kan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2001. Perlu digarisbawahi, sistem satu atap kekuasan kehakiman merupakan unsur penting dari kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial independence). Secara konseptual, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat tercapai jika organisasi, administrasi, dan keuangan lembaga peradilan ditangani sendiri oleh institusi pemegang kekuasaan kehakiman. Dengan konsep satu atap kekuasaan kehakiman, yang dilaksanakan sejak 31 Maret Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak hanya mengurusi pembinaan para hakim, tetapi juga menangani organisasi, administrasi, dan nansial yang sebelumnya diatur oleh eksekutif (Departemen Kehakiman). Dengan kata lain, urusan teknis yudisial dan kepegawaian korps hakim di negeri ini sekarang berada di satu tangan, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung. Kebijakan atap tunggal atau one roof system diawali dengan pembuatan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif. Selanjutnya sistem satu atap diatur dan dijabarkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970, sebagaimana telah diubah dan dicabut dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tetang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang Mahkamah Agung diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985. Selanjutnya, di tingkat pelaksanaan, diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa organisasi, administrasi, dan nansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (pasal 13 ayat 1). Sedangkan dalam pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa organisasi, administrasi, dan nansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, peralihan sudah selesai paling lambat 31 Maret 2004 (pasal 42 ayat 1). Untuk peradilan agama, dan peradilan militer, peralihan harus se-

200

Bunga Rampai

lesai paling lambat 30 Juni 2004 (pasal 42 ayat 2 dan ayat 3). Namun, realisasinya terlambat. Pengadilan agama baru diserahkan oleh Departemen Agama pada 30 Juni 2004, sedangkan pengadilan militer baru diserahkan oleh Panglima TNI pada 1 September 2004. Sementara dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, struktur Mahkamah Agung mengalami perubahan, yakni ada dua wakil ketua dari sebelumnya hanya satu. Jabatan panitera dan sekretaris Mahkamah Agung juga dipisahkan. Selanjutnya pada sekretariat Mahkamah Agung dibentuk beberapa direktorat jenderal dan kepala badan. Diharapkan, struktur baru ini bisa memikul beban yang dialihkan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara, serta menangani urusan administratif yang terkait dengan teknis peradilan seperti pembagian perkara. Sedangkan soal administrasi umum termasuk pengawasan, promosi, dan mutasi hakim, diserahkan kepada wakil ketua nonyudisial yang membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Sistem satu atap kekuasaan kehakiman ini sesuai dengan tuntutan reformasi, dan diharapkan akan memudahkan pengawasan terhadap para hakim. Selama ini, hal tersebut menjadi sulit dilakukan karena adanya dualisme kendali. Selama Orde Baru, kekuasaan negara didominasi oleh kekuasaan eksekutif. Ketiadaan independensi kekuasaan kehakiman, selain karena tekanan rezim yang begitu kuat, juga berakar pada sistem pengelolaannya, yakni masih dijalankannya sistem pengelolaan kekuasaan kehakiman oleh pemerintah mengenai bidang-bidang organisasi, administratif, dan nansial. Putusan MK, Sinkronisasi UU Pengaturan lebih lanjut tentang Komisi Yudisial terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam undang-undang ini diatur secara rinci mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kePenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

201

hormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yakni Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya pelaksanaan pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial yang didasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 2004 dipersoalkan oleh para Hakim Agung. Ini merupakan buntut dari konik antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. Awalnya Komisi Yudisial merasa adanya kesulitan untuk meminta keterangan dari Ketua Mahkamah Agung dalam suatu kasus yang menarik perhatian masyarakat, kemudian Komisi Yudisial menggagas kocok ulang Hakim Agung. Konik berkembang sedemikian rupa hingga berpuncak pada pengajuan uji materi atau judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 oleh 31 orang Hakim Agung. Para Hakim Agung tersebut meminta agar pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 yang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial mengawasi Hakim Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi dibatalkan. Permohonan judicial review ini dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi membatalkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Amar putusan Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya telah memutuskan halhal yang tidak diajukan dalam permohonan judicial review, yang diputuskan adalah fungsi atau kewenangan pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial yang sama sekali tidak dimohonkan oleh para pemohon, sebab yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah tentang objek pengawasan Komisi Yudisial yaitu para Hakim Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi bukan fungsi pengawasannya itu sendiri. Terhadap permohonan terkait objek pengawasan oleh Komisi Yudisial itu Mahkamah Konstitusi hanya mengecualikan dirinya sendiri dari objek pengawasan, sedang Hakim Agung tidak dikecualikan dari objek pengawasan Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim, Mahkamah Konstitusi me-

202

Bunga Rampai

nyatakan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial harus segera disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Mahkamah Konstitusi juga menyarankan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyarankan DPR dan Presiden (yang secara bersama-sama memegang kekuasaan membentuk undang-undang) untuk melakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundanganundangan di bidang kekuasaan kehakiman ini sebenarnya tidak lazim. Sebab urusan atau kewenangan pembentukan undang-undang, baik pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan/amandemen, adalah wilayah legislatif. Namun demikian, dari segi substansi tidak ada masalah dengan saran Mahkamah Konstitusi itu karena sebenarnya wacana atau keinginan melakukan penyempurnaan, harmonisasi, serta sinkronisasi terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan di bidang kekuasaan kehakiman sudah mengemuka di berbagai kalangan, termasuk dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Menurut Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, revisi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebaiknya memang tidak secara sepotong-sepotong tapi dilakukan secara komprehensif dalam satu paket dengan revisi seluruh undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman, termasuk UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Bagir, Mahkamah Agung sedang mengkaji hal-hal yang perlu disinkronkan dari delapan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Untuk itu, Mahkamah Agung telah menugasi sejumlah Hakim Agung dan Ikatan Hakim Indonesia untuk melakukan kajian secara mendalam.4

Kompas, MA: Revisi UU KY agar Dilakukan secara Integral, Perlu Sinkronisasi Semua UU agar Tak Simpang Siur, 28 September 2006.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

203

Pendapat atau keinginan yang sama diungkapkan oleh Komisi Yudisial.5 Ketika membuat revisi atas UU Komisi Yudisial, secara keseluruhan Komisi Yudisial membahas delapan undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi, UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yudisial, UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, UU Peradilan Militer, dan UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Alasannya karena kita masih menghadapi masalah sinkronisasi hukum baik secara horisontal maupun vertikal. Terhadap UU Mahkamah Konstitusi, misalnya, diusulkan tentang perlunya beberapa perbaikan, antara lain dengan memberikan batasan tentang materi undang-undang yang dapat diajukan permohonan judicial review. Menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Badan Legislatif DPR sedang menyiapkan paket Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Draf pertama dari ketiga RUU inisiatif DPR itu sudah selesai disusun, dan kini sedang dalam tahap penyempurnaan setelah menerima masukan dari berbagai pihak terkait seperti Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan pakar hukum. RUU tentang Perubahan atas UU Komisi Yudisial dan RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi sudah masuk dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2007.6 Dengan demikian tinggal RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Agung dan RUU tentang Perubahan atas UU Kekuasaan Kehakiman yang belum masuk dalam Prioritas Prolegnas 2007, dan karenanya perlu didorong agar juga masuk dalam kategori prioritas. Sementara satu undang-undang lainnya yang masuk rumpun kekuasaan kehakiman, yaitu UU Peradilan Agama, belum lama direvisi oleh DPR bersama pemerintah, yakni
5

Disampaikan Pimpinan Komisi Yudisial dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, 19 September 2006. Lihat Prioritas Program Legislasi Nasional 2007 sesuai dengan Keputusan DPR RI Nomor: 07A/DPR RI-RI/I/2006-2007.

204

Bunga Rampai

melalui UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga menurut hemat penulis belum prioritas untuk direvisi. Sedangkan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer saat ini sedang dibahas di DPR. Dengan demikian revisi, harmonisasi, dan sinkronisasi UU Peradilan Militer terhadap berbagai undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman lainnya dapat dilakukan melalui pembahasan RUU yang sedang berlangsung di DPR. RUU KY, RUU MK, dan RUU MA Dalam draft pertama RUU tentang Perubahan atas UU Komisi Yudisial yang disusun oleh Badan Legislatif DPR (posisi draft pada 27 Desember 2006), kedudukan Komisi Yudisial diperkuat. Penguatan terhadap kedudukan Komisi Yudisial diatur dalam pasal 22C draft RUU yang menyebutkan bahwa Komisi Yudisial dapat membuat keputusan atas dugaan pelanggaran perilaku hakim dengan memberikan teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian permanen. Keputusan tersebut merupakan hasil dari pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim yang tata caranya diatur dalam pasal 22A dan 22B. Untuk jelasnya kita lihat bunyi rumusan Pasal 22C ayat (2) draf pertama RUU tentang Perubahan atas UU Komisi Yudisial (selanjutnya disingkat RUU Komisi Yudisial): Dalam hal pelanggaran aturan perilaku hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, keputusan dapat berupa: a. teguran tertulis; b. pemberhentian sementara; atau c. pemberhentian. Kemudian dalam ayat (3) diatur: Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan tembusannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Dalam draft RUU Komisi Yudisial juga dipertegas bahwa Hakim Agung termasuk objek pengawasan Komisi Yudisial bersama hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung (pasal 1 angka 4). Ketentuan ini juga diatur dalam pasal 32A draf pertama RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Agung (posisi draft pada 27 Desember 2006), atau disisipkan di antara pasal 32 dan 33 UU MahkaPenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

205

mah Agung yang berlaku saat ini, yang menyatakan bahwa pengawasan atas perilaku Hakim Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sejalan dengan itu, penyusun draft RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat RUU Mahkamah Agung) juga telah mengubah bunyi pasal 32 UU Mahkamah Agung dari semula terdiri dari lima ayat menjadi tiga ayat. Perubahan terpenting adalah menghilangkan ketentuan pasal 32 ayat (2) yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung untuk mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya, sebab pengawasan terhadap perilaku hakim merupakan kewenangan Komisi Yudisial. Ini merupakan upaya sinkronisasi tentang kewenangan pengawasan terhadap hakim dalam peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Sedangkan pencantuman pengaturan kewenangan Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung dalam draft RUU Mahkamah Agung merupakan upaya sinkronisasi UU Mahkamah Agung terhadap UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman. Untuk diketahui, selain UU Komisi Yudisial, UU Kekuasaan Kehakiman juga sudah mencantumkan tentang kedudukan Hakim Agung sebagai objek pengawasan Komisi Yudisial, yakni dalam pasal 34 ayat 3 yang berbunyi: Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang. Namun, dalam RUU Komisi Yudisial memang belum diatur tentang mekanisme pelaksanaan putusan Komisi Yudisial tersebut oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim ini termasuk yang masih perlu disinkronisasikan dan diatur teknis pelaksanaannya dalam RUU Mahkamah Agung dan RUU Kekuasaan Kehakiman. Sementara itu, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, hakim Mahkamah Konstitusi dikecualikan dari pengawasan Komisi Yudisial dan semua ketentuan yang menyangkut hakim Mahkamah Konstitusi dihapus dalam draft RUU Komisi Yudisial. Ketentuan seperti ini, menurut penulis, perlu dikaji ulang secara mendalam. Sebab sikap Mahkamah Konstitusi

206

Bunga Rampai

yang mengecualikan dirinya sendiri dari objek pengawasan Komisi Yudisial ini termasuk kontroversial dan mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan. Perlu dikaji, apakah pengecualian hakim Mahkamah Konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial sudah tepat. Apapun hasil pengkajian itu penting dicatat bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial yang dimaksud di sini adalah sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, dan bukan dalam kerangka hubungan checks and balances.7 Ketentuan penting dalam draf pertama RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat RUU Mahkamah Konstitusi) yang disusun Badan Legislatif DPR (posisi draft pada 27 Desember 2006), antara lain, terdapat dalam pasal 45A yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus perkara melebihi daripada yang diminta sebagaimana dalam surat permohonanannya (ultra petita). Larangan seperti ini dilatarbelakangi adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang melebihi permohonan, antara lain dalam kasus permohonan uji materi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial seperti sudah disinggung di atas. Pasal substantif lainnya adalah pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yakni hanya meliputi undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 (pasal 50 ayat 1 RUU Mahkamah Konstitusi). Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Pengaturan dalam pasal 50 RUU Mahkamah Konstitusi ini lebih rinci dan tegas dibandingkan pasal 50 dalam UU Mahkamah Konstitusi yang sudah dicabut atau dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan itu dilakukan Mahka-

Tentang kenapa fungsi pengawasan Komisi Yudisial harus dimaksudkan dalam posisi sebagai suppoting element dan bukan check and balances, lihat pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam perkara permohonan uji materi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

207

mah Konstitusi saat memeriksa permohonan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Pembatalan pasal 50 itu dilakukan Mahkamah Konstitusi sebagai pintu masuk untuk dapat memeriksa uji materi terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan atau amandemen UUD 1945 tersebut. Dengan membatalkan Pasal 50 yang menganut asas tidak berlaku surut tersebut juga berarti Mahkamah Konstitusi telah memberikan kewenangan kepada dirinya sendiri untuk untuk menguji seluruh undang-undang yang berlaku di Indonesia, tanpa batasan waktu. Dihidupkannya kembali pasal 50 dalam draft RUU Mahkamah Konstitusi, dengan tambahan adanya ayat (2), telah membatasi Mahkamah Konstitusi untuk menguji undangundang yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945, sekaligus menutup celah bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur dirinya sendiri melalui putusan uji materi terhadap undang-undang yang terkait Mahkamah Konstitusi. Dalam penjelasan pasal 50 ayat 2 disebutkan, Hal ini sesuai asas bahwa seorang hakim tidak dapat berlaku adil dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara di mana ia sendiri terlibat (ikut menjadi pihak) di dalamnya. Dari ketentuan pasal 50 draft RUU Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diketahui bahwa DPR, dalam hal ini Badan Legislatif, telah mengatur pembatasan undang-undang yang dapat dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi dari segi rationne temporis (keberlakuan waktu). Namun belum diatur pembatasan dari segi rationne materiae (materi pengujian) yang masuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Perlu dikaji tentang perlunya pembedaan antara judicial review dan legislative review. Judicial review merupakan wilayah kewenangan Mahkamah Konstitusi, sedangkan legislative review masuk dalam wilayah kewenangan legislatif atau pembentuk undang-undang. Termasuk dalam wilayah legislative review adalah review atau penilaian apabila tidak ada kepastian hukum karena adanya undang-undang yang saling bertentangan dengan undang-undang lain.8 Sebab jika

Lihat Mahfud MD, Pasca Putusan MK (1): Selamat Datang Kembali Maa Peradilan, Hukum Online, 27 Agustus 2006.

208

Bunga Rampai

terjadi pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya maka perlu dilakukan harmonisasi atau sinkronisasi antara undang-undang yang saling bertentangan itu melalui revisi atau perubahan terhadap undang-undang dimaksud, dan yang berwenang melakukannya adalah lembaga legislatif. RUU Peradilan Militer, HAM, dan Tipikor Selain revisi, harmonisasi, dan sinkronisasi terhadap undang-undang yang mengatur lembaga pemegang kekuasaan kehakiman (yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai principal organ) dan Komisi Yudisial (sebagai auxiliary organ dalam kekuasaan kehakiman), upaya yang sama juga harus dilakukan terhadap berbagai undang-undang yang mengatur tentang badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dari berbagai undangundang di bidang kekuasaan kehakiman, yang perlu segera dilakukan revisi, harmonisasi, dan sinkronisasi, antara lain, adalah UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang di dalamnya diatur dasar hukum tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah disinggung di atas, pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat RUU Peradilan Militer) saat ini sedang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Pembahasan terhadap RUU Peradilan Militer yang merupakan amanat reformasi ini sempat mengalami kebuntuan karena adanya perbedaan pendapat mengenai yurisdiksi peradilan militer yang diatur dalam pasal 9 RUU Peradilan Militer. Semula Departemen Pertahanan menghendaki agar semua tindak pidana yang dilakukan militer diadili di peradilan militer. Sementara Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk RUU Peradilan Militer menghendaki agar jurisdiksi peradilan militer dibatasi pada tindak pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan militer masuk jurisdiksi peradilan umum. Sikap DPR ini merujuk pada Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

209

TNI selain tunduk pada peradilan militer juga patuh pada peradilan umum. Dalam Pasal 3 ayat (4b) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 disebutkan: Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Sedangkan Pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 menyebutkan, Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 74 undang-undang yang sama disebutkan Pasal 65 ayat 2 bisa berlaku setelah undang-undang yang baru tentang Peradilan Militer diberlakukan. Akan tetapi, atas argumen tersebut, pemerintah (dalam hal ini Menteri Pertahanan) memberikan jawaban yang mengejutkan. Menurut pemerintah, Pasal 65 UU No 34 Tahun 2004 itu adalah substansi yang dipaksakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 maupun Pasal 65 jo Pasal 74 UU Nomor 34 Tahun 2004 tidak bisa dijadikan dasar penyusunan RUU Peradilan Militer. Merujuk pada argumen masing-masing pihak, DPR memiliki landasan hukum yang lebih kuat karena merujuk pada Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan UU Nomor 34 Tahun 2004. Hal ini juga sesuai dengan semangat reformasi, khususnya semangat menegakkan prinsip demokrasi dan adanya kontrol sipil pada militer. Sementara resistensi TNI (sebagaimana tergambar dalam sikap Menteri Pertahanan) untuk tunduk pada jurisdiksi peradilan sipil memiliki alasan yang lemah, dan tampaknya lebih karena persoalan kultur, yaitu ketidakrelaan militer untuk tunduk pada peradilan umum dan disidik oleh polisi. Setelah melalui perdebatan panjang lebih dari satu tahun, pemerintah akhirnya sependapat dengan DPR bahwa militer akan diadili di peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum, sedangkan apabila melanggar tindak pidana militer akan diadili di peradilan militer. Persetujuan itu disampaikan dalam Surat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kepada pimpinan DPR tanggal 30 Januari 2007, dan ditegaskan lagi oleh Menteri Pertahanan dalam Rapat

210

Bunga Rampai

Pansus RUU Peradilan Militer, 8 Februari 2007. Dalam rapat tersebut Pansus DPR dan pemerintah juga mulai menyepakati adanya masa transisi pemberlakuan UU Peradilan Militer selama dua sampai tiga tahun. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah dan DPR secara simultan akan merevisi undangundang terkait, terutama terfokus pada UU Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer berikut hukum acaranya. Tapi, tercapainya kesepakatan DPR dengan pemerintah tentang jurisdiksi peradilan militer tidak berarti pembahasan RUU Peradilan Militer akan berjalan mulus. Saat ini ada persoalan baru berkaitan dengan isi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tambahan dari pemerintah. Dalam DIM itu banyak istilah Prajurit yang kemudian diubah menjadi Militer. Perubahan istilah ini dianggap mengandung jebakan. Kata Prajurit itu berkonotasi pada individu, sedangkan Militer mengarah pada institusinya. Jika prajurit melakukan tindak pidana umum maka diadili di peradilan umum, bukan institusinya. Perubahan istilah Prajurit ke Militer itu dikhawatirkan mengarah ke institusi, bukan ke arah individu yang melakukan tindak pidana. Sehingga dikhawatirkan bisa terjadi kesulitan untuk mengadili individu prajurit yang melakukan tindak pidana umum itu ke peradilan umum.9 Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah bahwa revisi UU Peradilan Militer harus mempertimbangkan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya, jika revisi tersebut tidak mempertimbangkan UU Pengadilan HAM, Indonesia dapat dicurigai tidak mau menyesuaikan diri dengan standar internasional. Hal ini bisa mengakibatkan munculnya usulan pembentukan pengadilan internasional dalam kasus kejahatan perang atau kemanusiaan. Revisi UU Peradilan Militer perlu mempertimbangkan UU Pengadilan HAM mengingat prajurit TNI merupakan salah satu subjek hukum dari jurisdiksi Pengadilan HAM. Dalam UU Pengadilan HAM, antara lain, diatur bahwa setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok

Lihat Republika, Pansus RUU Peradilan Militer Khawatirkan Isi DIM Baru Pemerintah, 28 Juni 2007

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

211

orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual (pasal 1 ayat 3). Kemudian dalam pasal 49 (masuk dalam Bab X tentang Ketentuan Penutup) dinyatakan bahwa ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undangundang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut undang-undang ini. Terhadap UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sendiri juga perlu dilakukan revisi atau penyempurnaan. Revisi ini khususnya terhadap, namun tidak terbatas pada, ketentuan pasal 43 UU Pengadilan HAM yang mengatur tentang rekomendasi DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Selama ini terdapat perbedaan penafsiran antara DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di satu pihak, dan Kejaksaan Agung di pihak lain, mengenai dalam tahap mana dalam proses hukum kasus pelanggaran HAM berat diperlukan rekomendasi DPR sebagai syarat untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Perbedaan pendapat ini telah menyebabkan terjadinya kebuntuan dalam penindaklanjutan proses hukum kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU Nomor 26 Tahun 2000, antara lain dalam kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Dalam kasus tersebut Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan penyidikan tidak bisa dilakukan tanpa didahului pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, di mana Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk dengan Keputusan Presiden RI berdasarkan rekomendasi DPR RI. Sementara Komnas HAM berpendapat Jaksa Agung dapat menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan tanpa didahului pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pendapat ini didukung sebagian besar anggota Komisi III DPR, komisi yang membidangi hukum dan menjadi pasangan kerja Jaksa Agung RI dan Komnas HAM, yang menyatakan rekomendasi DPR RI adalah untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Secara hubungan pasal tidak ada hubungan penyelidikan dan penyidikan dengan pembentukan pengadilan Ad Hoc tersebut sehingga tidak beralasan jika Kejaksaan mengatakan harus

212

Bunga Rampai

ada keputusan politik dari DPR lebih dulu untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Keputusan politik DPR baru diperlukan jika hasil penyidikan akan dilanjutkan dengan proses penuntutan di pengadilan dan karena itu harus dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Terkait argumen Komnas HAM yang didukung DPR di atas, dapat kita lihat pasal-pasal yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Kewenangan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat berada di Komnas HAM, dan diatur pada pasal 19 dan 20 UU Nomor 26 Tahun 2000. Kewenangan penyidikan dan penuntutan ada di tangan Kejaksaan Agung, yakni pada pasal 21 dan 22 (penyidikan), serta pasal 23 dan 24 (penuntutan). Sementara pengaturan tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc diatur dalam pasal 43 yang menyatakan Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul DPR RI. Dari materi pasal-pasal tersebut diketahui kewenangan Komnas HAM ada di bidang penyelidikan, Kejaksaan Agung di bidang penyidikan dan penuntutan, dan kewenangan DPR untuk mengusulkan, mengeluarkan rekomendasi, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun atas argumen tersebut Kejaksaan Agung tetap pada sikapnya yang menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU Nomor 26 Tahun 2000 tanpa didahului oleh keluarnya rekomendasi DPR untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Terhadap perbedaan penafsiran yang meruncing dan menimbulkan kebuntuan hukum ini tentu perlu dicarikan jalan keluar dengan membuat rumusan undang-undang yang lebih tegas dan jelas, khususnya menyangkut pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, melalui amandemen atau revisi terhadap UU Nomor 26 Tahun 2000. Sementara revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak untuk dilakukan karena adanya putusan judicial review Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap memiliki kekuatan hukum mengi-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

213

kat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan diucapkan.10 Terlepas dari pro dan kontra mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan dasar hukum Pengadilan Tipikor, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilihat sebagai putusan yang bertujuan memberikan kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang. Artinya, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, bukan di dalam UU KPK seperti saat ini. Sementara putusan yang menyatakan Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada aspek manfaat. Asas manfaat dimaksud adalah dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni, pertama, agar proses peradilan Tipikor tidak terganggu atau tidak macet; kedua, agar tidak menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengacaukan penanganan perkara tipikor; ketiga, agar tidak memperlemah semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi; dan, keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan pengadilan khusus. Karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya dapat dijadikan momentum untuk menguatkan eksistensi Pengadilan Tipikor melalui dukungan terhadap terbentuknya undang-undang yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Tipikor. Sebab dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu Peradilan Umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Namun, untuk meniadakan
10

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang permohonan uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

214

Bunga Rampai

dualisme tersebut ada dua pilihan, yakni Pengadilan Tipikor dileburkan ke pengadilan umum, atau kedua, jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan undang-undang yang khusus mengaturnya. Tim Perumus Draft RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Prof. Andi Hamzah menganut pendapat yang pertama. Menurut Andi Hamzah, keberadaan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi karena kriteria kekhususan Pengadilan Tipikor menyebabkan terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkup yang sama, sehingga eksistensi Pengadilan Tipikor beserta hakim Ad Hocnya harus ditiadakan. Sehingga selanjutnya seluruh perkara korupsi disidangkan oleh hakim karier yang dididik khusus untuk menangani perkara korupsi di pengadilan umum. Isi draf RUU yang disusun tim yang dibentuk Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini memang cenderung membubarkan Pengadilan Tipikor. Hal ini tercermin pada pasal 36 draf RUU Tipikor11 yang berbunyi, Penyidikan dalam undang-undang ini dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan penyidik pada Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada pasal yang terletak setelah pasal 36 tapi belum diberi nomor disebutkan bahwa: (1) Hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum; (2) Perkara tindak pidana korupsi yang diterima oleh Jaksa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan ke pengadilan negeri setempat untuk diperiksa dan diputus oleh majelis hakim khusus tindak pidana korupsi. Kemudian dalam pasal berikutnya (juga belum diberi nomor), dinyatakan bahwa: Dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah UU ini diundangkan ditunjuk hakim khusus untuk tindak pidana korupsi pada setiap pengadilan negeri. Jika ditinjau putusan Mahkamah Konstitusi dan apa yang sedang digodok oleh Tim Perumus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya tidak ada pertentangan antara keduanya. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi tidak secara tegas memerintahkan dibentuknya Pengadilan Khusus

11

Periksa Draft RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada posisi 30 Januari 2007.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

215

Tipikor. Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan, kalau dibentuk Pengadilan Khusus, harus dengan payung hukum atau undang-undang tersendiri. Lagipula, Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tersendiri itu, kalau tidak maka akan kembali ke pengadilan umum. Tapi, draft versi pemerintah yang mengarah pada pembubaran Pengadilan Tipikor ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan, antara lain dari pakar hukum pidana Romli Atmasasmita dan para aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang gerakan antikorupsi. Mereka menilai Tim Perumus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah keliru memahami putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menghapus keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor, melainkan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk segera membuat UU Pengadilan Khusus Tipikor. Karena itu Romli dan beberapa akademisi hukum serta sejumlah LSM membuat tim untuk menyusun draf RUU Pemberantasan Korupsi tandingan. Dipastikan dalam draf itu terdapat klausul tentang pembentukan Pengadilan Tipikor. Terhadap kritik dari para pengamat dan akademisi hukum serta kalangan LSM ini tentu pemerintah harus membuka diri. Harus dilakukan kajian mendalam tentang pilihan yang akan diambil untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, apakah disatukan melalui pengadilan khusus, atau melalui peradilan umum. Apapun pilihan yang diambil harus dalam kerangka untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan yang Lebih Baik Pembenahan lembaga peradilan sangat penting karena saat ini pelayanan lembaga peradilan dianggap sebagian besar masyarakat tidak optimal. Pelayanan yang tidak optimal tersebut, antara lain, lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan, banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi, dan banyaknya perkara kasasi yang menumpuk di Mahkamah Agung.

216

Bunga Rampai

Masih buruknya wajah lembaga peradilan ini dapat dilihat dari hasil survei terkini, yaitu hasil survei Global Corruption Report 200712 yang diluncurkan oleh Transparency International Indonesia, yang menyatakan bahwa tingkat inisiatif lembaga peradilan dalam meminta suap secara langsung mencapai 100 persen dari seluruh interaksi. Hasil survei itu paling tidak merupakan indikasi bahwa praktik suap memang terjadi di lembaga peradilan, sekaligus seolah mengkonrmasikan kebenaran rahasia umum tentang adanya lingkaran penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah maa peradilan. Menurut hasil survei Global Corruption Report 2007, empat lebih di antara sepuluh keluarga Indonesia mengaku harus menyuap demi mendapatkan keadilan. Kondisi itu menempatkan peradilan Indonesia sejajar dengan Albania, Yunani, Meksiko, Moldova, Maroko, Peru, Taiwan, dan Venezuela. Temuan itu juga sesuai dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2006 yang dirilis Transparency International Indonesia pada Februari 2007. Saat itu, survei menemukan bahwa lembaga vertikal, seperti polisi, peradilan, pajak, Badan Pertanahan Nasional, imigrasi, bea dan cukai, serta militer, masih korup. Dalam IPK itu, pengadilan dipersepsikan meminta suap hingga 100 persen, disusul bea dan cukai 95 persen, imigrasi 90 persen, BPN 84 persen, polisi 78 persen, dan pajak 76 persen. Berdasarkan laporan tersebut, Transparency International Indonesia mengeluarkan tujuh rekomendasi yaitu reformasi sistem peradilan yang mencegah campur tangan eksekutif atau legislatif, mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk memperkuat fungsi pengawasan hakim, dan memperkuat eksistensi pengadilan Tipikor. Rekomendasi berikutnya adalah memperkuat seleksi Hakim Agung oleh Komisi Yudisial, penetapan gaji yang berdasarkan pengalaman dan kemampuan, kebebasan memperoleh akses informasi, dan proses peradilan yang harus dilakukan secara terbuka. Hasil survei ini oleh berbagai kalangan, khususnya
12

Periksa Tranparency International Indonesia, The Global Corruption Report 2007: Corruption in Judicial Systems, http://www.ti.or.id/news/11/tahun/2007/bulan/05/ tanggal/25/id/1125/.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

217

pengamat hukum dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, dianggap mencerminkan gagalnya reformasi peradilan di Indonesia. Sebab hakim di Indonesia dapat disuap untuk memperlambat atau mempercepat proses hukum di pengadilan, menerima atau menolak permintaan banding, mempengaruhi rekannya sesama hakim, atau menjatuhkan putusan tertentu. Sementara kalangan lain ada yang mempertanyakan akurasi dari metode survei yang dilakukan Transparency International Indonesia. Penulis sendiri berpandangan bahwa hasil survei Transparency International Indonesia harus diterima sebagai otokritik. Apalagi temuan, pendapat, sinyalemen, atau persepsi tentang buruknya kondisi peradilan sebenarnya bukan hal baru karena sudah mengemuka sejak lama. Adanya praktek suap di lembaga peradilan ini, antara lain, diungkapkan pakar hukum senior Satjipto Rahardjo dengan mengutip temuan mantan Hakim Agung Asikin Kusumah Atmaja dan Adi Andojo.13 Asikin pernah memaparkan angka yang mengejutkan, yaitu hampir separuh dari tiga ribu hakim di Indonesia berbuat tidak benar. Sedangkan Adi Andojo pernah membeberkan secara rinci praktek negatif di Mahkamah Agung. Berangkat dari titik itu, dibutuhkan komitmen bersama dari hakim, jaksa, Polri, dan advokat sebagai catur wangsa penegak hukum untuk membersihkan korupsi di dunia peradilan. Kita harus mengakui bahwa secara institusional memang telah terjadi perubahan dalam dunia peradilan. Namun, praktik korupsi tampaknya masih merupakan kebiasaan yang terus saja terjadi dan kemudian dipotret oleh Transparency International. Karena itu hakim, jaksa, polisi, dan advokat harus mempunyai komitmen dan visi yang sama tentang bagaimana mengakhiri praktik suap dan atau praktek maa peradilan lainnya di pengadilan. Komitmen dari para aparat penegak hukum ini mendukung atau seiring dengan proses revisi, harmonisasi, dan sinkronisasi berbagai perundang-undangan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman yang memiliki tujuan

13

Lihat artikel Satjipto Rahardjo berjudul Maa Pengadilan, Kompas edisi 5 Januari 1995, termuat dalam buku Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.

218

Bunga Rampai

akhir untuk mewujudkan peradilan yang lebih baik. Sebab untuk mewujudkan sistem peradilan yang transparan dan adil dapat dilakukan melalui pembenahan sistem peradilan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated criminal justice system); penyediaan sarana dan prasarana hukum yang mendukung penyelenggaraan proses peradilan yang adil dan transparan, penerapan sistem rekruitmen hakim dan Hakim Agung yang lebih transparan melalui uji kelayakan dan kepatutan (t and proper test); peningkatan kualitas moral dan integritas hakim dan aparat penegak hukum lainnya; peningkatan peran masyarakat dan lembaga legislatif dalam bentuk pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap perilaku hakim dan aparat penegak hukum lainnya; dan komitmen dari aparat penegak hukum itu sendiri dalam mewujudkan lembaga peradilan yang merdeka, bersih, dan berwibawa. Adanya upaya untuk melakukan reformasi di lingkungan lembaga peradilan diharapkan akan dapat memberikan hasil yang positif, khususnya dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Keberadaan Komisi Yudisial dan beberapa lembaga independen lainnya yang mempunyai fungsi sebagai pengawas terhadap lembaga pengadilan dan lembaga penegak hukum lainnya diharapkan dapat menciptakan lembaga peradilan yang lebih akuntabel dan bersih. Dan, terwujudnya lembaga peradilan yang transparan dan akuntabel dengan didukung oleh aparat penegak hukum yang bersih akan mendorong tercapainya penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, termasuk dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Catatan: - Artikel ini disusun untuk memenuhi permintaan Komisi Yudisial terkait penerbitan Buku Bunga Rampai Volume Dua.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

219

220

Bunga Rampai

DPR dan Perubahan Atas Undang-Undang Komisi Yudisial


Oleh : F.X. Soekarno, S.H.
1

A. Pendahuluan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) membawa konsekuensi terhadap perubahan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yang salah satunya adalah dalam bidang kekuasaan kehakiman. Dalam Amandemen ketiga, menginternalisasi kelembagaan baru di dalam Bab IX (Kekuasaan Kehakiman), tepatnya pada Pasal 24B yaitu adanya Komisi Yudisial. Komisi ini oleh konstitusi diberi kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.2 Adapun susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.3 Amanat konstitusi tersebut ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Undang-undang ini mengatur tugas dan wewenang Komisi Yudisial, yaitu mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Hakim yang dimaksud disini adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan disemua lingkungan

1 2 3

Ketua Badan Legislasi DPR RI RI Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

221

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi.4 Dalam melaksanakan kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c) menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Adapun kewenangan lain yang berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan dan pengusulan penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada Pimpinan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.5 Dalam melaksanakan pengawasan tersebut, Komisi Yudisial dapat: a) menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; b) meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; c) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; d) memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan e) membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Dalam melaksanakan tugas pengawasan tersebut, Komisi Yudisial wajib menaati norma hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial dan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Namun dalam perjalanannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dimohonkan judicial review oleh 31 Hakim Agung yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU No. 22 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan pengawasan hakim yang diatur dalam Bab III, Pasal 20 dan

Lihat pengertian hakim pada Pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Usul penjatuhan sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian.

222

Bunga Rampai

Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Pasal 1 angka 5 undang-undang tersebut. Berdasarkan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, menyatakan Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata Hakim Mahkamah Konstitusi, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi, Pasal 25 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 25 ayat (4) sepanjang mengenai kata-kata dan/ atau Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. B. Kekosongan Hukum Jika dilihat lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selain menandaskan obyek pengawasan Komisi Yudisial, juga berkaitan dengan pengaturan prosedur pengawasan hakim. Hakim sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial yang menyangkut Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, khusus yang menyangkut hakim Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alasan yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah: a. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

223

b.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, tidak lagi terganggu sebagai akibat dimasukkannya hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Beliau menyatakan bahwa ...Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan represif) kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatannya, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup Hakim Agung, Hakim Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer serta termasuk Hakim Konstitusi.6 Berkaitan Hakim Agung sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Dapat saja pembentuk undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial secara eksternal. Terlepas pro dan kontra terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dan Hakim Agung sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PPU-IV/2006, secara tegas telah menyatakan keberlakuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 sepanjang mengenai kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 254.

224

Bunga Rampai

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun yang berkaitan dengan pengaturan prosedur pengawasan hakim, dalam kesimpulan putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan: a. Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir a di atas, menyebabkan semua ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;

b.

Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan checks and balances antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Untuk hal yang terakhir ini, secara struktural kedudukan Komisi Yudisial memang diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Na-

c.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

225

mun demikian, meskipun secara struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini berurusan dengan soal kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.7 Komisi Yudisial bukan merupakan lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), melainkan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics and good conduct). Lembaga negara yang mempunyai fungsi kehakiman atau menjalankan fungsi peradilan tertinggi adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial lebih merupakan lembaga etika daripada lembaga hukum. Terhadap fungsi kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial bersifat penunjang (supporting system) terhadap dan dalam cabang kekuasaan kehakiman. Berdasarkan apa yang dinyatakan dalam kesimpulan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas, segala ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Dengan demikian terjadi kekosongan hukum yang berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim. C. Inisiasi Legislasi

Untuk mengatasi permasalahan tersebut (adanya kekosongan hukum), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai institusi yang mempunyai kewenangan
7

Lihat, Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 187-188.

226

Bunga Rampai

dan kekuasaan membentuk undang-undang,8 berinisiasi melakukan pembenahan dan perbaikan terhadap Undangundang Komisi Yudisial dimaksud. Agar perubahan ini dapat terintegrasi dengan baik terhadap undang-undang lain khususnya di lingkungan kekuasaan kehakiman, maka inisiasi perubahan terhadap Undang-undang Komisi Yudisial tersebut diikuti dengan Perubahan Undang-undang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004) dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).9 Perubahan tersebut diharapkan dapat mendudukkan fungsi, tugas dan kewenangan Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim menjadi syarat mutlak yang diperlukan dalam sistem demokrasi konstitusional. Selama ini (sebelum Amandemen III UUD 1945 dan lahirnya UU Komisi Yudisial), upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim hanya dilakukan secara internal oleh para hakim sendiri. Pengawasan internal yang dilakukan oleh majelis kehormatan hakim di Mahkamah Agung tersebut dirasakan kurang efektif. Oleh karena itu, ide pembentukan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal dimunculkan. Kelembagaan ini bersifat mandiri atau independen untuk menjamin efektitas kerjanya.10 Independen disini dimaknai: a) independensi terhadap subyek yang ia awasi, yaitu para hakim tanpa adanya intervensi dari pimpinan Mahkamah Agung; b) independen dalam menjalankan tugas yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga-lembaga lain yang mempunyai kepentingan

10

Lihat ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan : (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; (2) Setiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam Keputusan DPR RI Nomor 07 A/DPR-RI/I/2006-2007, RUU tentang Perubahan UU Komisi Yudisial dan RUU Perubahan UU Mahkamah Konstitusi menjadi prioritas pembahasan Tahun 2007. Lihat ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

227

tertentu. Mengenai independensi dari dan terhadap para hakim dan lembaga Mahkamah Agung, sangatlah penting karena para hakimlah yang harus diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Dengan dijadikannya Komisi Yudisial sebagai external auditor, diharapkan pengawasan menjadi efektif, tidak seperti sebelumnya dimana diantara sesama hakim justru terjadi hubungan saling membela dan melindungi yang menyebabkan pengawasan tidak efektif. Namun demikian tidak berarti dengan menjadi external auditor Komisi Yudisial menjadi lawan atau musuh para hakim. Komisi Yudisial adalah mitra bagi Mahkamah Agung dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Bagi Mahkamah Agung, keberadaan Komisi Yudisial justru sangat penting artinya agar kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku para hakim diseluruh Indonesia yang berjumlah lebih dari 6.000 orang dapat dijaga dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Mengenai independensi Komisi Yudisial terhadap pihak lain (yang mempunyai kepentingan tertentu), juga harus dipertahankan. Komisi Yudisial tidak boleh menjadikan dirinya alat politik bagi lembaga legislatif, eksekutif ataupun kekuatan partai politik untuk mempengaruhi kinerja kekuasaan kehakiman yang merdeka. Karena pada prinsipnya, eksistensi hakim dan lembaga kekuasaan kehakiman terletak antara lain pada independensi dan imparsialitasnya. Oleh karena itu jangan sampai Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas perilaku hakim dipergunakan atau membiarkan dirinya dipakai oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengganggu kemerdekaan hakim. Dari pemikiran inilah konstruksi perubahan Undangundang Komisi Yudisial akan dilakukan. Sejalan dengan perkembangan yang ada dan sekaligus sebagai pengayaan materi yang akan menjadi bahan kajian yang selanjutnya akan disarikan dalam norma, ada beberapa pilihan-pilihan atau alternatif konsepsi maupun paradigmatig yang nantinya akan menjadi pilihan politis maupun yuridis. Pilihanpilihan dimaksud merupakan jawaban dari permasalahanpermasalahan yang muncul dan berkembang, antara lain sebagai berikut: 1. Siapakah yang dimaksud dengan hakim dalam konstiBunga Rampai

228

tusi yang menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial? 2. Apakah arti kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim? Bagaimana pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim? Siapa yang menetapkan dan menegakkan kode etik dan perilaku hakim? Apa saja ruang lingkup pengawasan terhadap hakim? Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap hakim yang tidak bertentangan dengan prinsip independensi peradilan? Bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengawasan terhadap hakim? Apa pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim? Apakah perilaku tersebut mencakup baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan? Apa yang dijadikan pedoman dalam melakukan pengawasan atas perilaku hakim?

3.

4. 5. 6.

7. 8.

9.

10. Apakah pengawasan terhadap perilaku hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan Pengadilan? 11. Apakah kewenangan melakukan pengawasan terhadap hakim, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial, berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi? 12. Bagaimana seharusnya hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial? 13. Siapa yang melakukan pengawasan terhadap (perilaku anggota) Komisi Yudisial? D. Pokok-Pokok Pikiran Perubahan Undang-Undang KY Di bawah ini akan diuraikan pokok-pokok pikiran yang dapat memperkaya pemahaman dalam perubahan Undangundang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang sedikit banyak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tersebut di atas. Namun saya menyadari hal ini
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

229

mungkin belum terlalu komprehensif dan tentunya terus akan dilakukannya pengayaan kajian dan pemutakhiran, berdasarkan masukan dan pemikiran dari semua pihak. 1 Siapakah yang dimaksud dengan hakim dalam konstitusi yang menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial? Sementara ini saya sependapat dengan apa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi bahwa hakim konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan Komisi Yudisial. Adapun Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung merupakan obyek pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini didasari pada pemikiran: Jika ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UU MK dan UU KK yang dibentuk sebelum pembentukan UU KY. Dalam UU MK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UU

230

Bunga Rampai

MK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU KK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali; Dengan menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaikbaiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; Berkaitan dengan Hakim Agung, menurut Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H. dan Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., bahwa Hakim Agung, baik dari segi legal policy pembuat UU maupun dari segi constitutional morality,

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

231

termasuk pengertian hakim yang menjadi objek pengawasan KY. Jika dimaksudkan karena MA sebagai pengawas tertinggi peradilan maupun tingkah laku dan perbuatan hakim, serta ketentuan yang mengaturnya berbeda, demikian pula Hakim Agung tidak selalu berasal dari hakim, maka penafsiran apakah hal itu bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bukanlah hanya dari teks maupun konteksnya secara gramatikal melainkan juga dari konteks sosial yang lebih luas, pengertian umum, dan terutama prinsip konstitusi itu sendiri. Jika kewenangan KY untuk mengusulkan Hakim Agung yang berkualitas dengan integritas yang tinggi dan perilaku tidak tercela, akan menghasilkan Hakim Agung yang juga mempunyai martabat dan perilaku yang tidak tercela sehingga secara moral memiliki legitimasi untuk tidak diawasi lagi dan bahkan menjadi pengawas hakim di bawahnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menjadikan Hakim Agung termasuk ke dalam objek pengawasan. Prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan non-diskriminasi tidak mendukung pendirian tersebut. Tambahan pula, seseorang yang pada saat diangkat sebagai Hakim Agung memiliki integritas yang tinggi, dalam perjalanan karier selanjutnya bisa saja berubah. Akan menjadi ganjil untuk menafsirkan bahwa Hakim Agung tidak masuk dalam kategori Hakim dan karena posisinya yang berada di puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk pada pengawasan. Bagaimanapun tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis, dan kategoris dilakukan, Hakim Agung adalah Hakim. Di samping itu, faktanya Hakim Agung sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan. Dari segi kewenangan pengawasan apakah hakim agung itu diawasi, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, tidak cukup beralasan untuk mengecualikan hakim agung. Secara universal hal demikian telah menjadi norma. Independensi harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang ideal jika hakim agung memiliki integritas dan kualitas yang sedemikian rupa sesuai dengan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, tetapi bukan berarti hakim agung terbebas dari pengawasan dalam rangka mendukung terciptanya

232

Bunga Rampai

peradilan yang bersih dan berwibawa bagi terwujudnya rule of law. 2. Berkaitan dengan Kewenangan Komisi Yudisial dapat diinternalisasi pemikiran-pemikiran sebagai berikut: Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan tersebut, walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan dan teknis justisial, melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Hakim dimaksud adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van het vonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian atau pun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya; 3. Dalam UU Komisi Yudisial yang di-judicial review kemarin memang penjabaran konsep pengawasan menimPenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

233

bulkan ketidakpastian karena yang seharusnya menjadi objek dari wewenang lain Komisi Yudisial menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Untuk itu dalam konsep perubahan UU KY seharusnya dijelaskan norma yang mengatur tentang pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim, terutama yang menyangkut kaidah-kaidah materiilnya, termasuk kepastian siapa yang membuat kode etik dan perilaku dimaksud. 4. Berkaitan dengan hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bukan merupakan hubungan dalam konsepsi checks and balances seperti layaknya hubungan antar cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Karena Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting organ, yang secara tegas tidak berwenang melakukan pengawasan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis yustisial dan teknis administratif, melainkan hanya meliputi penegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Untuk itu dalam Perubahan UU Komisi Yudisial akan dirumuskan ukuran untuk menilai kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, sehingga terdapat batasan yang jelas yang dapat dijadikan pegangan yang pasti, baik oleh pihak yang mengawasi maupun yang diawasi, dan dengan demikian dapat dihindari adanya kerancuan. Ketiadaan rumusan yang jelas tentang kehormatan, keluhuran martabat, dan terutama perilaku hakim, akan menimbulkan kerancuan dan lebih jauh akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berimplikasi lumpuhnya sistem peradilan. Dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri.... dan dalam Pasal 2 UU Komisi Yudisial diartikan bahwa Komisi Yudisial dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Hal ini harus dimaknai sebagai kemandirian kelembagaan dalam mengambil keputusan, bukan kemandirian yang
Bunga Rampai

5.

234

bersifat perorangan anggota Komisi Yudisial. Artinya, kemandirian Komisi Yudisial harus dimaknai sebagai kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim agung maupun dalam rangka pelaksanaan wewenang lain menurut UUD 1945. Oleh karena itu, Komisi Yudisial tidak dapat dikatakan tidak mandiri, atau dengan kata lain terdapat campur tangan dari pihak luar atau kekuasaan lain, hanya karena alasan bahwa pengambilan keputusan didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerjasama atau koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman sendiri (dalam hal ini adalah Mahkamah Agung). Sehingga tidak salah jika ada hubungan kerjasama yang baik dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. 6. Kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim harus merujuk kepada code of ethics dan/atau code of conduct. Dengan demikian, dalam hubungan dengan permohonan a quo, berarti merujuk pada Kode Etik Hakim Indonesia. Tetapi perlu terlebih dahulu dijawab pertanyaan, apakah ada perbedaan antara kode etik dan kode perilaku. Secara umum, dikatakan bahwa suatu code of conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

235

dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi menurut pemahaman saya, code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar dinas. Tujuan adanya kode etik ini adalah: a) sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter hakim serta pengawasan tingkah laku hakim; b) sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial dan pencegahan timbulnya kesalahpahaman antar sesama anggota dengan masyarakat; c) memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional hakim; dan d) menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. 7. Seringkali suatu perbuatan diatur tidak hanya dengan satu macam norma, tetapi oleh beberapa macam norma secara bersamaan, di mana suatu perbuatan tercela dilarang baik oleh norma hukum, norma etik, dan norma agama. Berlakunya norma secara bersamaan demikian, menambah urgensi tentang perlunya pengaturan mengenai etik dan tingkah laku (ethics and conduct) hakim dan tata cara penjagaan dan penegakannya dalam suatu Kode Etik dan Tingkah Laku Hakim sebagai tolak ukur pengawasan. Kode etik itu dalam lingkungan profesi dibuat dan disahkan oleh organisasi profesi itu sendiri, bukan oleh lembaga lain, in casu oleh organisasi profesi hakim baik oleh Mahkamah Agung ataupun oleh IKAHI, bukan oleh Komisi Yudisial. Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan

236

Bunga Rampai

Perilaku juga dilakukan oleh organisasi profesi. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh organisasi profesi, juga dapat dilakukan oleh pihak di luar profesi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada organisasi profesi, dalam hal ini Mahkamah Agung. E. Penutup

Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan dalam melihat dan mencermati Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang saat ini sedang diagendakan pembahasannya oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Republik Indonesia yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2007. Namun perlu saya sampaikan bahwa pokok-pokok pikiran ini bukan merupakan representasi pemikiran dan sikap Badan Legislasi DPR RI dalam arti kelembagaan, namun lebih merupakan hasil telaahan dan pemikiran pribadi penulis. Untuk itu saya sangat menyadari, mungkin tulisan ini belum begitu komprehensif. Namun mudah-mudahan dapat memberikan kontribusi dalam rangka pengayaan dan pendalaman materi untuk perubahan Undang-undang Komisi Yudisial pada khususnya, dan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak pada umumnya.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

237

238

Bunga Rampai

Gerak dan Langkah Nyata Komisi Yudisial Dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
John Pieris

Sebuah tulisan yang bersifat kajian kritis mengenai suatu lembaga negara yang terkait dengan UUD 1945 sebenarnya tidak terlalu sulit, sebab pada dasarnya UUD 1945 (konstitusi) telah menggariskan tugas-tugas pokok semua lembaga negara. Hal ini dapat disimak dari beberapa pendapat pakar yang secara tepat melahirkan beberapa perspektif penting tentang fungsi konstitusi. Jika K. C. Wheare menjelaskan, konstitusi adalah aturan hukum yang menetapkan kerangka dasar dari suatu negara dan mengatur tentang susunan pemerintahan, dan James Bryce menyatakan, bahwa konstitusi berfungsi menetapkan lembaga-lembaga negara dan mengatur fungsi dan batas haknya, serta Ivor Jenning mengemukakan, konstitusi berfungsi mengawasi pelaksanaan pemerintahan (pengawasan konstitusional). Selain itu, S. W. Couwenberg mengatakan, konstitusi adalah semua asas hukum, aturan hukum dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan susunan dan arah perkembangan kehidupan bersama yang terorganisasikan secara kenegaraan. Dijelaskan kemudian, hukum konstitusi merupakan basis atau landasan dari sistem hukum negara yang bersangkutan. Dari berbagai perspektif itu, maka sebenarnya UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) telah mengatur halhal penting mengenai semua lembaga negara khususnya tentang kewenangannya. Yang sulit adalah ketika tulisan itu dikaitkan dengan suatu masalah hukum dan politik yang dialami oleh satu atau beberapa lembaga negara. Yang menjadi
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

239

soal adalah, apa yang diamanatkan oleh konstitusi, belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik. Mungkin juga konstitusi tidak secara jelas merumuskan ketentuan mengenai kewenangan sebuah lembaga negara. Terlepas dari asumsi demikian, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis (written constitution) atau sebagai hukum yang tertinggi (Grundgesetz) yang kekuatan mengikatnya melebihi undang-undang biasa, dengan segala keterbatasannya, sebenarnya telah mengatur fungsi-fungsi serta pembatasan kekuasan dari semua lembaga negara, khususnya Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika berpegang pada asas legalitas dan gagasan konstitusionalitas, maka tidak dapat dihindari, semua ketentuan yang telah dirumuskan di dalam UUD 1945 harus dijalankan, walaupun ketentuan tersebut dianggap tidak sempurna. Itulah faham legalisme dan konstitusionalisme yang dianut sampai sekarang. Seperti yang dikatakan Lunshof (1989:7), asas legalitas adalah asas yang dipakai untuk menjamin asas-asas lainnya, antara lain asas pembatasan kekuasaan pemerintah dan hak-hak asasi. Juga dikatakannya, adanya pengawasan pengadilan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah, pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum terhadap yang berkuasa. Sejalan dengan itu, Carl J. Friedrich (1967) menjelaskan, konstitusionalisme adalah sebuah gagasan yang menganggap pemerintah sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, yang tunduk pada pembatasan konstitusional. Hal itu diperlukan sebagai jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pandangan Friedrich cukup menarik, sebab sekali pun pemerintah mendapat mandat dari rakyat dan bertindak atas nama rakyat, sebaiknya pemerintah itu juga harus tunduk pada pembatasan konstitusional, agar terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan. Menyimak judul tulisan yang diminta oleh KY kepada penulis, yaitu Gerak dan Langkah Nyata KY dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, terkesan ada tiga hal krusial yang menonjol. Pertama, di satu pihak UUD 1945 telah menggariskan kewenangan KY

240

Bunga Rampai

walaupun ketentuan yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi semua hakim (di MA dan MK) tidak maksimal. Kedua, pihak KY tetap bergerak mengayunkan langkah nyata, tentunya dengan segala resiko (perlawanan) yang dihadapi untuk mengemban amanat UUD 1945. Ketiga, ternyata MK telah memutuskan, bahwa kewenangan yang dimiliki KY untuk mengawasi hakim-hakim, tidak termasuk mengawasi hakim MK. MK berpendapat seperti itu karena, pengawasan terhadap hakim MK tidak diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 24B ayat (1)). Ketidaksetujuan dan penolakan MA atas beberapa ketentuan, terutama mengenai pengawasan hakim agung oleh KY telah membuktikan, bahwa terjadi pertentangan dan perbedaan signikan antara norma hukum pengawasan hakim agung antara KY dengan MA. Hal inilah yang melatarbelakangi diajukannya permohonan Penguijian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUUIV/2006 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 23 Agustus 2006. Seperti diketahui, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan: Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian: Menyatakan: Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi; Pasal 20, yang berbunyi, Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim;
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

241

Pasal 21, yang berbunyi, Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi; Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: e, membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR; Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta; Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi; Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim; Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, Dalam rangka menjaga
Bunga Rampai

242

kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan: Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi, Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e, 22 ayat (5), 23 ayat (2), 23 ayat (3), 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Amar putusan tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan, antara lain, sebagai berikut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan bahwa Hakim Konstitusi tidak diawasi oleh Komisi Yudisial, dengan pertimbangan: Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

243

pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa. Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali. Tidak berlebihan jika dikatakan, DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak begitu cermat merumuskan norma-norma hukum yang terkait secara tepat tentang pengawasan hakim. Sebagai misal, sekiranya kalau ada pasal khusus di dalam UU No. 24 Tahun 2003, yang mengatur pengawasan tentang Hakim Konstitusi, maka konik (pertentangan) antara MK dan KY tidak perlu terjadi. Atau, jika ada ketentuan pengawasan hakim agung dan hakim-hakim lain di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang diatur secara jelas di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka tidak akan terjadi konik antara KY dan MA. Itulah sebabnya, maka diperlukan keterpaduan (integrasi) dalam merumuskan norma-norma hukum yang sama pada beberapa undang-undang yang saling terkait. Karena itu Indonesia memang harus memiliki sebuah sistem pembuatan hukum terpadu (integrated law making system), misalnya keterpaduan di dalam pembuatan UU tentang KK, MK, MA dan KY mengenai pengawasan terhadap hakim-hakim pada semua lingkungan dan strata lembaga peradilan. Dengan begitu, maka proses penegakan hukum secara terpadu (integrated law enforcement process) mengenai pengawasan terhadap perilaku hakim-hakim juga akan terlaksana dengan baik.

244

Bunga Rampai

Pengawasan hakim sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 sesungguhnya adalah pengawasan yang bersifat internal. Artinya hakim agung diawasi oleh lembaga MA. Agak sulit memang, jika hakim agung diawasi oleh institusi di mana ia berada di dalamnya, sebab, bukan rahasia lagi, pengawasan internal tidak bisa diharapkan mampu membongkar maa peradilan selama ini. Mentalitas birokrasi pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain juga sulit melakukan pengawaan internal, karena budaya korupsi dan penyelewengan atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sudah sangat sulit diperbaiki. Haruslah dipahami, bahwa alasan pembentukan KY di dalam UUD 1945, adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ini merupakan sebuah upaya mendesak dan sistematik untuk mereformasi kekuasaan peradilan, khususnya peradilan umum yang selama ini tidak menjalankan fungsinya secara benar. Banyak kasus (perkara) yang ditangani hakim PN, PT dan MA, tidak bisa disangkal, banyak mendatangkan ketidakadilan bagi pencari keadilan (justice seekers). Mekanisme upaya hukum (rechtsmiddlen) terkendala oleh perilakuperilaku hakim yang tidak cukup memiliki kemampuan etik, moral dan spiritual, atau tidak memiliki akhlak mulia untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dapat diduga, salah satu faktor rendahnya mentalitas dan moralitas hakim karena para hakim terbebas dari pengawasan yang efektif. Dengan kata lain, lemahnya pengawasan terhadap hakim dapat mendorong hakim bisa berbuat apapun, apalagi yang menguntungkan dirinya. Karena itu kejahatan yudisial sulit dihindari. Banyak hakim (tidak semua) memihak kepada merekamereka yang berkedudukan penting atau orang-orang yang memiliki uang dalam jumlah yang besar, sekalipun pihakpihak itu terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, korupsi, manipulasi penyalahgunaan jabatan yang merugikan negara dan rakyat. Penjahat-penjahat korporasi dan ekonomi yang merampok uang negara acap kali dilindungi dan diberikan perlakuan khusus, sementara terpidana dari kelas bawah tidak dihargai hak asasinya. Hakim dan hukum lalu berpihak secara ekstrim dan arogan kepada kaum bor-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

245

juasi dan mencampakkan rakyat kecil yang miskin. Keberpihakan hukum bisa saja dilakukan dengan cara menyalahi teknis yudisial dan administratif yang menguntungkan orang-orang tertentu dan merugikan pihak lain yang tidak berdaya. Karena itu, perlu ada sebuah mekanisme untuk mengawasi hakim seperti itu. Tidak bisa diharapkan, hanya pengawasan internal oleh MA, karena dipastikan tidak akan efektif, karena kolusi juga bisa terjadi antar hakim dengan pimpinan MA. Seperti apa yang dikatakan Benedict Anderson, bahwa kekuasaan cenderung terpusat di tangan seseorang atau sekelompok orang. Tulisnya lebih lanjut, bukan masalah bagaimana menggunakan kekuasaan, tapi bagaimana menghimpunnya. Maka berdasarkan teori tersebut tidak dapat dielakkan, jika kekuasaan yang dipegang dan dikendalikan oleh seorang atau sekelompok orang dalam tubuh birokrasi di Indonesia memang sulit diawasi, baik secara internal, maupun eksternal. Kalau ada pilihan di antara kedua jenis pengawasan itu, mungkin ada sedikit harapan, bahwa kekuasaan eksternal bisa diandalkan untuk mengawasi birokrasi, terutama pada lembaga-lembaga peradilan. Prinsip res judicate pra veritate habetur (apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap sebagai benar) yang dipegang para hakim cukup berbahaya, sebab prinsip ini berpotensi melindungi kesalahan hakim dan ada alasan menolak untuk diawasi. Dengan begitu agak sulit untuk mengawasi birokrasi kekuasaan kehakiman. Hampir sama dengan Anderson, Karl Jackson, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat yang menulis Bureaucratic Polity tentang Indonesia berpendapat, bahwa sistem politik birokratik terpusat pada mereka yang memegang kekuasaan negara sebagai majikan. Sistem politik birokratik telah merasuk jauh menusuk sampai ke pusat-pusat kekuasaan (termasuk yudikatif), dan ini sangat sulit diawasi. Kesulitannya adalah, UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA melegitimasi kekuasaan MA sebagai kekuasaan terpusat dan personal, yang sulit diawasi dari luar (eksekutif dan legislatif), sulit juga diawasi oleh Komisi Yudisial. Bahkan ada wacana dari Bagir Manan sebagai Ketua MA, bahwa Ketua MA dapat merangkap menjadi Ketua KY. Ini merupakan sebuah indikasi, bahwa MA tidak mau diawasi oleh lembaga negara apa-

246

Bunga Rampai

pun. Masalahnya sebenarnya tidak terlalu pelik, jika Pasal 24B UUD 1945 dapat diamandemen agar KY bisa mengawasi perilaku hakim pada semua lingkungan peradilan. Tidak bisa dihindari, bahwa ada masalah-masalah teknis yudisial dan administratif yang dapat merugikan pencari keadilan. Jika ada kesalahan substansial dan mungkin prosedural yang dirancang secara sistematis oleh seorang hakim, maka dapat disimpulkan, hakim tersebut tidak memiliki perilaku yang terpuji. Hakim tersebut tidak boleh tidak, harus diperiksa. Jadi sebenarnya tidak salah seluruhnya jika KY dapat masuk pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam memeriksa hakim. Jika ada komitmen seperti itu, mengapa tidak dicoba untuk dibuat norma hukumnya? Bukankah teori, sistem dan doktrin hukum bisa berubah atau diubah untuk bisa merakit sebuah kebenaran dalam mewujudkan keadilan yang sejati, supaya hakim-hakim bisa menjadi Law Prophets. Untuk itu dapat dibenarkan dan sebaiknya demikian, KY harus mengusulkan amandemen terhadap Pasal 24B UUD 1945. Usul perubahan dari KY sebaiknya menyangkut tidak saja pengangkatan hakim agung, tetapi juga mengusulkan pemberhentian hakim agung. Hal (kewenangan) yang sama juga harus dilakukan terhadap pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Artinya adalah, bahwa kewenangan KY itu harus dilihat dalam perspektif penguatan wibawa lembaga peradilan atau perwujudan supremasi kekuasaan kehakiman. Selain itu, perlu diperluas struktur organisasi KY sampai ke daerah-daerah, agar KY daerah dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebab sesuai dengan Pasal 24B ayat (4), dijelaskan, bahwa susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan undang-undang. Jadi undang-undang tentang KY yang baru harus mengatur hal ini. KY juga harus diberikan peran untuk mengawasi panitera-panitera pada semua jenjang organisasi kekuasaan kehakiman. Hal ini penting, sebab bukan rahasia lagi, maa peradilan sulit diberantas, karena para panitera sering menjadi calo (broker) dan penagih uang dari pihak-pihak yang berperkara.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

247

Sambil menunggu amandemen terhadap UUD 1945 dan revisi UU tentang KY, MK dan MA, gerak dan langkah nyata KY dalam mengemban amanat UUD 1945 pasca putusan MK harus lebih ditingkatkan lagi. Putusan MK tidak boleh membuat KY menyurutkan peran historisnya untuk menegakkan supremasi hukum, keadilan, kebenaran serta mewujudkan supremasi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada saatnya nanti KY akan tampil sebagai sosok yang lebih berwibawa untuk menegakkan wibawa negara hukum yang berkarakter.

Penulis adalah Dosen dan Ketua Program Pascasarjana FH-UKI Mantan Anggota Komisi Konstitusi

248

Bunga Rampai

Gerak dan Langkah Nyata Komisi Yudisia Dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
John Pieris

Sebuah tulisan yang bersifat kajian kritis mengenai suatu lembaga negara yang terkait dengan UUD 1945 sebenarnya tidak terlalu sulit, sebab pada dasarnya UUD 1945 (konstitusi) telah menggariskan tugas-tugas pokok semua lembaga negara. Hal ini dapat disimak dari beberapa pendapat pakar yang secara tepat melahirkan beberapa perspektif penting tentang fungsi konstitusi. Jika K. C. Wheare menjelaskan, konstitusi adalah aturan hukum yang menetapkan kerangka dasar dari suatu negara dan mengatur tentang susunan pemerintahan, dan James Bryce menyatakan, bahwa konstitusi berfungsi menetapkan lembaga-lembaga negara dan mengatur fungsi dan batas haknya, serta Ivor Jenning mengemukakan, konstitusi berfungsi mengawasi pelaksanaan pemerintahan (pengawasan konstitusional). Selain itu, S. W. Couwenberg mengatakan, konstitusi adalah semua asas hukum, aturan hukum dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan susunan dan arah perkembangan kehidupan bersama yang terorganisasikan secara kenegaraan. Dijelaskan kemudian, hukum konstitusi merupakan basis atau landasan dari sistem hukum negara yang bersangkutan.

Penulis adalah, Dosen dan Ketua Program Pascasarjana FH-UKI Mantan Anggota Komisi Konstitusi

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

249

Dari berbagai perspektif itu, maka sebenarnya UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) telah mengatur halhal penting mengenai semua lembaga negara khususnya tentang kewenangannya. Yang sulit adalah ketika tulisan itu dikaitkan dengan suatu masalah hukum dan politik yang dialami oleh satu atau beberapa lembaga negara. Yang menjadi soal adalah, apa yang diamanatkan oleh konstitusi, belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik. Mungkin juga konstitusi tidak secara jelas merumuskan ketentuan mengenai kewenangan sebuah lembaga negara. Terlepas dari asumsi demikian, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis (written constitution) atau sebagai hukum yang tertinggi (Grundgesetz) yang kekuatan mengikatnya melebihi undang-undang biasa, dengan segala keterbatasannya, sebenarnya telah mengatur fungsi-fungsi serta pembatasan kekuasan dari semua lembaga negara, khususnya Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika berpegang pada asas legalitas dan gagasan konstitusionalitas, maka tidak dapat dihindari, semua ketentuan yang telah dirumuskan di dalam UUD 1945 harus dijalankan, walaupun ketentuan tersebut dianggap tidak sempurna. Itulah faham legalisme dan konstitusionalisme yang dianut sampai sekarang. Seperti yang dikatakan Lunshof (1989:7), asas legalitas adalah asas yang dipakai untuk menjamin asas-asas lainnya, antara lain asas pembatasan kekuasaan pemerintah dan hak-hak asasi. Juga dikatakannya, adanya pengawasan pengadil-an terhadap pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah, pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum terhadap yang berkuasa. Sejalan dengan itu, Carl J. Friedrich (1967) menjelaskan, konstitusionalisme adalah sebuah gagasan yang menganggap pemerintah sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, yang tunduk pada pembatasan konstitusional. Hal itu diperlukan sebagai jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pandangan Friedrich cukup menarik, sebab sekali pun pemerintah mendapat mandat dari rakyat dan bertindak atas nama rakyat, sebaiknya pemerintah itu juga harus tunduk pada pembatasan konstitusional,

250

Bunga Rampai

agar terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan. Menyimak judul tulisan yang diminta oleh KY kepada penulis, yaitu Gerak dan Langkah Nyata KY dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, terkesan ada tiga hal krusial yang menonjol. Pertama, di satu pihak UUD 1945 telah menggariskan kewenangan KY walaupun ketentuan yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi semua hakim (di MA dan MK) tidak maksimal. Kedua, pihak KY tetap bergerak mengayunkan langkah nyata, tentunya dengan segala resiko (perlawanan) yang dihadapi untuk mengemban amanat UUD 1945. Ketiga, ternyata MK telah memutuskan, bahwa kewenangan yang dimiliki KY untuk mengawasi hakim-hakim, tidak termasuk mengawasi hakim MK. MK berpendapat seperti itu karena, pengawasan terhadap hakim MK tidak diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 24B ayat (1)). Ketidaksetujuan dan penolakan MA atas beberapa ketentuan, terutama mengenai pengawasan hakim agung oleh KY telah membuktikan, bahwa terjadi pertentangan dan perbedaan signikan antara norma hukum pengawasan hakim agung antara KY dengan MA. Hal inilah yang melatarbelakangi diajukannya permohonan Penguijian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUUIV/2006 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 23 Agustus 2006. Seperti diketahui, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan: Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian: Menyatakan : Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi; Pasal 20, yang berbunyi, Dalam melaksanakan wePenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

251

wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim; Pasal 21, yang berbunyi, Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi; Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: e, membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR; Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta; Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi; Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim; Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndoneBunga Rampai

252

sia Tahun 1945; Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan: Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata hakim Mahkamah Konstitusi, Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e, 22 ayat (5), 23 ayat (2), 23 ayat (3), 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Amar putusan tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan, antara lain, sebagai berikut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan bahwa Hakim Konstitusi tidak diawasi oleh Komisi Yudisial, dengan pertimbangan: Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

253

menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa. Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali. Tidak berlebihan jika dikatakan, DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak begitu cermat merumuskan norma-norma hukum yang terkait secara tepat tentang pengawasan hakim. Sebagai misal, sekiranya kalau ada pasal khusus di dalam UU No. 24 Tahun 2003, yang mengatur pengawasan tentang Hakim Konstitusi, maka konik (pertentangan) antara MK dan KY tidak perlu terjadi. Atau, jika ada ketentuan pengawasan hakim agung dan hakim-hakim lain di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang diatur secara jelas di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka tidak akan terjadi konik antara KY dan MA. Itulah sebabnya, maka diperlukan keterpaduan (integrasi) dalam merumuskan norma-norma hukum yang sama pada beberapa undang-undang yang saling terkait. Karena itu Indonesia memang harus memiliki sebuah sistem pembuatan hukum terpadu (integrated law making system), misalnya keterpaduan di dalam pembuatan UU tentang KK, MK, MA dan KY mengenai pengawasan terhadap hakim-hakim pada semua lingkungan dan strata lembaga peradilan. Dengan begitu, maka proses penegakan hukum secara ter-

254

Bunga Rampai

padu (integrated law enforcement process) mengenai pengawasan terhadap perilaku hakim-hakim juga akan terlaksana dengan baik. Pengawasan hakim sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 sesungguhnya adalah pengawasan yang bersifat internal. Artinya hakim agung diawasi oleh lembaga MA. Agak sulit memang, jika hakim agung diawasi oleh institusi di mana ia berada di dalamnya, sebab, bukan rahasia lagi, pengawasan internal tidak bisa diharapkan mampu membongkar maa peradilan selama ini. Mentalitas birokrasi pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain juga sulit melakukan pengawaan internal, karena budaya korupsi dan penyelewengan atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sudah sangat sulit diperbaiki. Haruslah dipahami, bahwa alasan pembentukan KY di dalam UUD 1945, adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ini merupakan sebuah upaya mendesak dan sistematik untuk mereformasi kekuasaan peradilan, khususnya peradilan umum yang selama ini tidak menjalankan fungsinya secara benar. Banyak kasus (perkara) yang ditangani hakim PN, PT dan MA, tidak bisa disangkal, banyak mendatangkan ketidakadilan bagi pencari keadilan (justice seekers). Mekanisme upaya hukum (rechtsmiddlen) terkendala oleh perilakuperilaku hakim yang tidak cukup memiliki kemampuan etik, moral dan spiritual, atau tidak memiliki akhlak mulia untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dapat diduga, salah satu faktor rendahnya mentalitas dan moralitas hakim karena para hakim terbebas dari pengawasan yang efektif. Dengan kata lain, lemahnya pengawasan terhadap hakim dapat mendorong hakim bisa berbuat apapun, apalagi yang menguntungkan dirinya. Karena itu kejahatan yudisial sulit dihindari. Banyak hakim (tidak semua) memihak kepada merekamereka yang berkedudukan penting atau orang-orang yang memiliki uang dalam jumlah yang besar, sekalipun pihakpihak itu terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, korupsi, manipulasi penyalahgunaan jabatan yang merugikan negara dan rakyat. Penjahat-penjahat korporasi dan ekonomi yang merampok uang negara acap kali dilindungi dan diberikan perlakuan khusus, sementara terpidana dari

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

255

kelas bawah tidak dihargai hak asasinya. Hakim dan hukum lalu berpihak secara ekstrim dan arogan kepada kaum borjuasi dan mencampakkan rakyat kecil yang miskin. Keberpihakan hukum bisa saja dilakukan dengan cara menyalahi teknis yudisial dan administratif yang menguntungkan orang-orang tertentu dan merugikan pihak lain yang tidak berdaya. Karena itu, perlu ada sebuah mekanisme untuk mengawasi hakim seperti itu. Tidak bisa diharapkan, hanya pengawasan internal oleh MA, karena dipastikan tidak akan efektif, karena kolusi juga bisa terjadi antar hakim dengan pimpinan MA. Seperti apa yang dikatakan Benedict Anderson, bahwa kekuasaan cenderung terpusat di tangan seseorang atau sekelompok orang. Tulisnya lebih lanjut, bukan masalah bagaimana menggunakan kekuasaan, tapi bagaimana menghimpunnya. Maka berdasarkan teori tersebut tidak dapat dielakkan, jika kekuasaan yang dipegang dan dikendalikan oleh seorang atau sekelompok orang dalam tubuh birokrasi di Indonesia memang sulit diawasi, baik secara internal, maupun eksternal. Kalau ada pilihan di antara kedua jenis pengawasan itu, mungkin ada sedikit harapan, bahwa kekuasaan eksternal bisa diandalkan untuk mengawasi birokrasi, terutama pada lembaga-lembaga peradilan. Prinsip res judicate pra veritate habetur (apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap sebagai benar) yang dipegang para hakim cukup berbahaya, sebab prinsip ini berpotensi melindungi kesalahan hakim dan ada alasan menolak untuk diawasi. Dengan begitu agak sulit untuk mengawasi birokrasi kekuasaan kehakiman. Hampir sama dengan Anderson, Karl Jackson, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat yang menulis Bureaucratic Polity tentang Indonesia berpendapat, bahwa sistem politik birokratik terpusat pada mereka yang memegang kekuasaan negara sebagai majikan. Sistem politik birokratik telah merasuk jauh menusuk sampai ke pusat-pusat kekuasaan (termasuk yudikatif), dan ini sangat sulit diawasi. Kesulitannya adalah, UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA melegitimasi kekuasaan MA sebagai kekuasaan terpusat dan personal, yang sulit diawasi dari luar (eksekutif dan legislatif), sulit juga diawasi oleh Komisi Yudisial. Bahkan ada wacana dari Bagir Manan sebagai Ketua MA, bahwa Ketua MA dapat

256

Bunga Rampai

merangkap menjadi Ketua KY. Ini merupakan sebuah indikasi, bahwa MA tidak mau diawasi oleh lembaga negara apapun. Masalahnya sebenarnya tidak terlalu pelik, jika Pasal 24B UUD 1945 dapat diamandemen agar KY bisa mengawasi perilaku hakim pada semua lingkungan peradilan. Tidak bisa dihindari, bahwa ada masalah-masalah teknis yudisial dan administratif yang dapat merugikan pencari keadilan. Jika ada kesalahan substansial dan mungkin prosedural yang dirancang secara sistematis oleh seorang hakim, maka dapat disimpulkan, hakim tersebut tidak memiliki perilaku yang terpuji. Hakim tersebut tidak boleh tidak, harus diperiksa. Jadi sebenarnya tidak salah seluruhnya jika KY dapat masuk pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dalam memeriksa hakim. Jika ada komitmen seperti itu, mengapa tidak dicoba untuk dibuat norma hukumnya? Bukankah teori, sistem dan doktrin hukum bisa berubah atau diubah untuk bisa merakit sebuah kebenaran dalam mewujudkan keadilan yang sejati, supaya hakim-hakim bisa menjadi Law Prophets. Untuk itu dapat dibenarkan dan sebaiknya demikian, KY harus mengusulkan amandemen terhadap Pasal 24B UUD 1945. Usul perubahan dari KY sebaiknya menyangkut tidak saja pengangkatan hakim agung, tetapi juga mengusulkan pemberhentian hakim agung. Hal (kewenangan) yang sama juga harus dilakukan terhadap pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Artinya adalah, bahwa kewenangan KY itu harus dilihat dalam perspektif penguatan wibawa lembaga peradilan atau perwujudan supremasi kekuasaan kehakiman. Selain itu, perlu diperluas struktur organisasi KY sampai ke daerah-daerah, agar KY daerah dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebab sesuai dengan Pasal 24B ayat (4), dijelaskan, bahwa susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan undang-undang. Jadi undang-undang tentang KY yang baru harus mengatur hal ini. KY juga harus diberikan peran untuk mengawasi panitera-panitera pada semua jenjang organisasi kekuasaan kehakiman. Hal ini penting, sebab bukan rahasia lagi, maa peradilan sulit

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

257

diberantas, karena para panitera sering menjadi calo (broker) dan penagih uang dari pihak-pihak yang berperkara. Sambil menunggu amandemen terhadap UUD 1945 dan revisi UU tentang KY, MK dan MA, gerak dan langkah nyata KY dalam mengemban amanat UUD 1945 pasca putusan MK harus lebih ditingkatkan lagi. Putusan MK tidak boleh membuat KY menyurutkan peran historisnya untuk menegakkan supremasi hukum, keadilan, kebenaran serta mewujudkan supremasi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada saatnya nanti KY akan tampil sebagai sosok yang lebih berwibawa untuk menegakkan wibawa negara hukum yang berkarakter.

258

Bunga Rampai

Pentingnya Peran Komisi Yudisial Berdasarkan Pendekatan Geopolitik dan Geostrategi Indonesia
Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., MS, MH.

Latar Belakang. Deklarasi Kemerdekaan yang dikemukakan oleh Thomas Jefferson, adalah menetapkan suatu prinsip dasar bagi berdirinya pemerintahan negara yang demokratis, pemerintahan dalam suatu demokrasi tidak memberikan kebebasan dasar yang disebut Jefferson; yaitu pemerintahan diciptakan untuk melindungi kebebasan yang dimiliki oleh individu berdasarkan eksistensi individu itu. Sedangkan Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia, untuk menjalankan pemerintahan negara yang baik tariklah hukum yang bermoral. Rumusan kebebasan yang dikemukakan oleh para lsuf zaman pencerahan abad ke-17 dan ke-18, hak-hak alamiah yang tidak dapat dicabut adalah karunia Tuhan. Hak-hak ini tidak hancur ketika masyarakat sipil diciptakan, dan baik masyarakat maupun pemerintahan tidak dapat mencabutnya. Contoh hak-hak yang tidak dapat dicabut meliputi kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan beragama dan keyakinan, kebebasan berserikat, dan hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum. Dalam masyarakat demokratis juga menyatakan hak-hak sipil seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang jujur. Sedangkan landasan intelektual demokrasi konstitusional modern dalam geopolitik diletakan selama zaman

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

259

Pencerahan Eropa, suatu gerakkan losos abad 18 yang ditandai dengan penolakan terhadap gagasan-gagasan sosial, agama, dan politik yang tradisional yang penekanannya pada rasionalisme. Dua pemikiran yang berpengaruh adalah losuf Inggris, John Locke, dan ahli hukum dan lsuf Perancis, Montesquieu. Pada tahun 1690 Locke menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh Two Treaties of Government (Dua Risalah Tentang Pemerintahan). John Locke, dalam pernyataannya bahwa semua pemerintahan yang sah bertumpu pada persetujuan dari yang diperintah, mengubah secara besar-besaran pembahasan mengenai teori politik dan mendorong perkembangan lembaga-lembaga demokrasi. Dalam pernyataannya tentang hukum alam itu, John Locke membantah pengakuan bahwa pemerintah teristimewa monarki, adalah suatu aspek rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan, kata Locke, dan menjamin hak-hak dasar semua orang, termasuk hak atas hidup, kebebasan tertentu, dan termasuk hak untuk memiliki harta benda serta menikmati hasil kerja sendiri. Untuk mengamankan hak-hak ini, ujar Locke, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan kontrak dengan pemerintah mereka. Warga negara wajib patuh pada undang-undang dan mempertahankan kesejahteraan umum dari pelanggaran asing semuanya demi kebaikan bersama. Locke juga menyatakan jika suatu pemerintahan menjadi tanpa hukum dan sewenang-wenang, warganya berhak menggulingkan rezim itu dan membentuk suatu pemerintahan baru. Dalam teori hukum alam Locke mengilhami satu generasi lsuf zaman Pencerahan di Eropa dan dunia baru- dari Jean Jacques Rousseau di Perancis sampai David Hume di Skotlandia, Emmanuel Kant di Jerman dan Thomas Jefferson serta Benjamin Franklin di negeri yang kemudian bernama Amerika Serikat. Tapi penerusnya yang paling terkemuka adalah Montesquieu, yang seperti halnya Locke, percaya pada pemerintahah Republik berdasarkan pada persetujuan dari yang diperintah, tapi bukan pada demokrasi yang didirikan atas kekuasaan mayoritas. Dalam LEsprit des Lois (Semangat hukum), yang terbit pada tahun 1748, Montesquieu, mendukung pemisahan dan penyeimbangan kekuasaan antara cabang-cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dalam

260

Bunga Rampai

pemerintahan sebagai cara untuk menjamin kebebasan individu. Doktrin ini juga membantu membentuk landasan losos bagi konstitusi AS, dengan pembagian kekuasaan antara Presiden, Kongres, dan Kehakiman (dalam Jeannes s. Holden). Persamaan hak di depan hukum, atau perlindungan yang sama oleh hukum sebagaimana sering disebut, adalah landasan pokok bagi masyarakat yang adil dan demokratis manapun. Kaya atau miskin, mayoritas etnik, atau minoritas agama, sekutu politik negara atau lawan, semuanya berhak atas perlindungan yang sama di depan hukum. Dalam kehidupan negara yang demokratis tidak dapat menjamin bahwa kehidupan akan memperlakukan setiap orang dengan sama, dan ia tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan hal itu. Namun ahli hukum konstitusi John P. Frank menulis, Dalam keadaan apapun negara tidak boleh memaksakan ketidaksamaan tambahan; negara wajib melayani secara rata dan sama seluruh rakyatnya. Tak seorangpun berada di atas hukum yang bagaimanapun, merupakan ciptaan rakyat, bukan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka. Warga negara suatu demokrasi tunduk pada hukum karena mereka mengakui bahwa, sekalipun tidak langsung, mereka menyerahkan diri sebagai pembuat undang-undang itu. Jika undang-undang ditetapkan oleh rakyat yang selanjutnya harus mematuhinya, baik undangundang maupun demokrasi terlayani. Setiap masyarakat sepanjang sejarah, Frank menjelaskan, mereka yang menjalankan sistem peradilan pidana mempunyai kekuasaan yang berpotensi melakukan penyalahgunaan dan menjadi tirani. Atas nama negara, banyak individu, dipenjarakan, harta mereka dirampas, dan mereka disiksa, diasingkan dan dihukum mati tanpa dasar hukum, dan sering tanpa pernah dikenai tuduhan resmi. Masyarakat demokratis tidak dapat menerima penyalahgunaan seperti ini. Setiap negara harus mempunyai kekuasaan untuk memelihara ketertiban dan menghukum tindak pidana, tapi aturan prosedur yang digunakan negara untuk melaksanakan undang-undangnya harus terbuka dan jelas, tidak rahasia, sewenang-wenang atau tunduk pada manipulasi politik oleh negara. Apakah syarat pokok bagi proses hukum

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

261

yang wajar dalam demokrasi? Rumah siapa saja tidak boleh dimasuki dan digeledah oleh polisi tanpa perintah pengadilan yang menunjukkan adanya alasan kuat untuk menggeledah itu. Ketukan tengah malam oleh polisi rahasia tidak mempunyai tempat dalam demokrasi. Tak seorangpun boleh ditahan tanpa tuduhan yang jelas dan tertulis, dan merinci tuduhan pelanggaran itu. Bukan saja orang berhak mengetahui hakikat sebenarnya tuduhan itu, mereka juga harus segera dilepaskan, berdasarkan doktrin yang disebut Habeas corpus, begitu pengadilan mendapati bahwa tuduhan itu tanpa dasar atau penahanannya tidak sah. Ideologi dan konstitusi negara bagi suatu negara yang berdaulat seperti Negara Republik Indonesia ini, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dikatakan demikian karena ideologi akan memberikan warna terhadap bentukbentuk yang ada dalam konstitusi negara, dan konstitusi negara akan memberikan model terhadap implementasi ideo-logi dalam birokrasi pemerintahan dalam penyelenggaraan negara terutama penyelenggaraan fungsi lembaga negara. Dalam perjalanan sebagai bangsa yang berdaulat, implementasi ideologi dan konstitusi negara sebagaimana termuat dalam sejarah, menunjukkan adanya pasang surut. Pasang surut ini diwarnai oleh perubahan-perubahan sesuai tuntut-an politik. Reformasi politik yang terjadi sejak tahun 1997, yang bergulir bagaikan bola salju, membawa berbagai perubahan yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan-perubahan ini jelas apabila diamati kenyataan di lapangan: Pertama, sejak lengsernya Soeharto sebagai Presiden dari panggung politik, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin yang sentralistik sekaligus sangat menentukan. Berkaitan dengan perkembangan ini ruang pemerintah muncul kekuatan-kekuatan baru yang dapat menggeser kedudukan seorang Presiden. Kedua, berkembangnya kehidupan politik yang liberal, melahirkan perilaku politik yang juga liberal. Hal tersebut dapat kita lihat (DPR, DPD, MPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) yang berdampak sulitnya untuk membangun kesamaan visi dan misi Nasional antar politisi dalam me-

262

Bunga Rampai

nangani dan memahami makna NKRI. Ketiga, seiring dengan perkembangan politik tersebut, berkembang pula keinginan sebagian elit politik yang berpengaruh dengan cara yang sistemik dan damai melakukan perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945, yang sampai saat ini sudah empat kali perubahan (Tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002). Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Bunyi dan Pasal 37 ayat (1) dan (2), jelas mengindikasikan bahwa para Pendiri RI (Founding Fathers), sejak awal telah mengisaratkan adanya penyesuaian pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 dengan perkembangan yang ada, dengan kata lain ada amanat pada penerus bangsa ini untuk tidak mempermasalahkan konstitusi yang mereka buat. Memperhatikan perkembangan politik era reformasi yang berkaitan dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945, apabila merujuk pada UUD NRI tahun 1945, Pasal 37 ayat (1) tidak bertentangan. Dikatakan demikian karena dalam Pasal 37 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota harus hadir. Peranan Ideologi dan Konstitusi Negara dalam Geopolitik dan Geostrategi Indonesia. Memperhatikan peranan tersebut di atas, maka ideologi dan konstitusi negara bagi bangsa Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting, berkaitan dengan realitas dan eksistensi bangsa kita. Karena mempunyai landasan: Pertama, berperan sebagai citra jati diri bangsa. Sebagai kelompok sosial yang besar, organisasi bangsa mempunyai kebutuhan untuk memiliki citra jati dirinya. Dengan citra jati diri inilah suatu bangsa dapat memberikan ciri yang khas yang dapat dibedakan dengan negara lainnya, walaupun berasal dari satu rumpun, seperti bangsa Indonesia dan Malaysia, namun bagi bangsa Indonesia dengan kemajemukannya sangat berbeda seperti kita tahu tentang perbedaan budaya, adat maupun bahasa yang berbeda dari mulai Sabang sampai Merauke, keanekaragaman itulah ciri jati diri bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa Malaysia, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ideologi dan konstiPenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

263

tusinya melekat pada jati diri bangsa. Kedua, berperan untuk menemukan keyakinan akan kebenaran perjuangan bersama akan satu kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi dan konstitusi tersebut. Di sini ideologi dan konstitusi menjadi sumber inspirasi dan cita-cita hidup bersama. Oleh karena senantiasa berupaya untuk merealisasikan dalam kehidupan bersama, dan mematuhi segala ketentuan yang diatur dalam konstitusi, dan dipandang sebagai suatu kebesaran dan kemuliaan bersama dengan ideologi manusia mengejar keluhuran. Ketiga, berperan sebagai jembatan penghubung antara generasi tua sebagai pendiri bangsa (fouding fathers) dengan generasi penerus. Merupakan suatu hal yang alami terjadi pergantian generasi antara generasi terdahulu dengan generasi muda. Generasi muda yang telah mengalami masamasa perjuangan untuk mendirikan bangsa dengan negara, dengan ideologi dan konstitusi dapat menjembatani hubungan antara keduanya, sehingga dapat diharapkan generasi muda akan terus melanjutkan perjuangan generasi pendahulunya untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, sebagaimana telah dirumuskan dalam Ideologi dan Konstitusi (UUD Tahun 1945). Keempat, berperan sebagai hukum dasar yakni sebagai pedoman utama dalam pembuatan peraturan perundangundangan yang akan diperlakukan kepada segenap komponen bangsa. Hal tersebut diperlukan sebagai peraturan yang tertinggi karena beragamnya komponen yang juga mempunyai adat istiadat tersendiri, maka dibutuhkan suatu pedoman yang dapat memayungi dan berlaku untuk keseluruhan komponen bangsa yang ada. Dengan adanya ideologi dan konstitusi sebagai hukum dasar, maka dapat diantisipasi sedemikian adanya persepsi yang berbeda terhadap suatu peraturan perundang-undangan, yang akan dijadikan dasar pengambilan keputusan bagi para hakim. Karena itu keberadaan ideologi dan konstitusi yang berdaulat merupakan sesuatu yang mutlak, jika negara mempunyai kedaulatan yang utuh dalam menjaga eksistensinya dan mewujudkan reformasi birokrasi pemerintahan khususnya reformasi peradilan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam menyelenggarakan fungsi kenegaraan merupakan hal yang sangat pen-

264

Bunga Rampai

ting dan mendasar. Reformasi sesungguhnya memberikan ruang yang besar untuk terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, keterbukaan, dan juga akuntabilitas tinggi serta diharapkan terwujudnya Good Governance, dan keadilan, serta negara hukum yang demokratis. Menegakkan keadilan sering dianggap sebagai inti moralitas politik, dan mempertahankan demokrasi atas dasar ini bermakna bahwa demokrasi adalah sistem terbaik untuk menegakkan keadilan. Sedangkan kemungkinan terjadinya ketidak-adilan dalam negara demokrasi jauh lebih kecil dibanding pada negara dimana kebebasan politik ditindas dan tidak ada satupun jaminan politik. Demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap kelompok dan kepentingan yang cukup besar mengajukan wakilnya, kepentingan yang merasa dirugikan, karena dapat menyuarakan persoalannya dan sanggup mengumpulkan kekuatan dengan mempengaruhi para pemilih dengan berbagai cara yang diakui dan absah, dan ini jarang sekali dikesampingkan pada saat kebijaksanaan dibuat. Demokrasi juga menyangkut kompromi atau harmoni politik dengan jalan menyelesaikan tuntutan-tuntutan atau suara-suara yang saling bertentangan, yang menciptakan keadilan yang relatif. Pada akhirnya mungkin dapat dikatakan bahwa orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil dalam suatu sistem demokrasi maka akan terhibur kalau mereka memperhatikan sistem-sistem politik lain. Perkembangan Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, mengalami perubahan yang sangat fundamental, sejak perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya perubahan itu diwujudkan secara komprehensif, integral, bertahap, dan sistematis dalam empat kali perubahan UUD NRI Tahun 1945, pada empat sidang MPR sejak Tahun 1999, sampai dengan 2002. Dalam konstitusi biasanya memuat aturan minimal materi yang mencakup: 1. Pengaturan tentang hak asasi manusia; 2. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; 3. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugastugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

265

Contoh pengaturan hak asasi manusia telah ditambahkannya pasal hak asasi manusia, yaitu pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 29H, 28I, dan 28J. Sedangkan perubahan pada materi yang kedua dan ketiga, yaitu: dihapuskannya lembaga negara Dewan Pertimbangan Agung. Diubahnya kedudukan dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan dibentuknya lembaga negara baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Perubahan yang sangat mendasar dalam hukum dasar Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, antara lain perubahan pada Bab IX yang mengatur Kekuasaan Kehakiman. Awalnya dalam Bab IX hanya terdiri 2 pasal dan 3 ayat, setelah perubahan bab IX menjadi 5 pasal dan 19 ayat. Selanjutnya terbangun adanya 2 lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi, yang mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, hal tersebut sebagaimana dalam perubahan ketiga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan lembaga baru yang kedua adalah Komisi Yudisial yang merupakan pilar kehidupan untuk menentukan roh moral para hakim agung, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial, merupakan hasil reformasi khususnya di bidang peradilan, untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta untuk memberantas maraknya praktek maa peradilan, dalam kehidupan sistem kekuasaan kehakiman. Menelaah Komisi Yudisial dari satu sudut pandang Geopolitik dan Geostrategi Indonesia tidak terlepas dengan pemahaman kita tentang politik dan strategi dalam melakukan reformasi hukum/peradilan. Paradigma lama sistem paradilan kita masih kental, sehingga sebagai lembaga negara baru Komisi Yudisial masih harus menghadapi resistensi yang berat terutama dalam menghadapi hakim agung, hakim di bawah Mahkamah

266

Bunga Rampai

Agung, maupun hakim konstitusi, oleh karena itu harus solid dan dapat mendorong proses akselarasi reformasi peradilan pada tataran fungsi dan tugas serta tingkatan para hakim. Komisi Yudisial dalam Sistem Geopolitik dan Geostrategi Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem Geopolitik dan Geostrategi Indonesia adalah Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia dan Ketahanan Nasional sebagai Geostrategi Indonesia, yang hidup dan tidak berada dalam ruang hampa, melainkan selalu harus selalu berorientasi terhadap masalah-masalah rasional baik ideal maupun riil. Keduanya dikembangkan sebagai suatu konsepsi maupun sebagai realisme atas dasar perkembangan politik nasional, sistem ketatanegaraan maupun sistem pemerintahan. Jika kita kaitkan fenomena tersebut dalam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan, maka hal ini sangat terkait dengan tesis Harbermas, yang menyatakan bahwa terdapat ambivalensi dalam hukum dan demokrasi, dalam arti demokrasi dan kebebasan tidak selalu berjalan beriringan, jika kita melibatkan budaya, toleransi dan hukum. Menjawab hal ini Hans Kung, mengusulkan formula untuk menghilangkan ambivalensi dengan konsep aturan etika global yang merupakan rumusan seni politik sejati dengan menggabungkan politik riil dengan politik kontemporer dalam pembentukan civic morality suatu bangsa, untuk menjaga kedaulatan dirinya, dan sesama bangsa di dunia. Atas dasar hal tersebut, pemahaman civic morality harus dituangkan dalam bentuk kewajiban lembaga Komisi Yudisial, untuk secara antisipatif mengawal negara sebagai negara hukum dengan segala sumber daya yang kita miliki, tanpa harus menjadi lembaga yang menyendiri, serta dengan cermat menyikapi karakter dan perubahan pola interaksi peradaban manusia dalam rangka menjaga martabat kemanusiaan. Hal tersebut sejalan dengan prinsip civic morality, yang diucapkan oleh Mahatma Gandhi, Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri-kemanusiaan (My nationalism is humanity). Mengacu pada prinsip tersebut penerapan hukum yang didasarkan pada civic morality dalam kehidupan bermasyarakat, dan bernegara secara universal dituangkan ke
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

267

dalam bentuk empat pola tindak, yaitu rasionalitas, spiritual, budi pekerti dan toleransi dalam semangat rekonsiliasi, sesuai dengan tesisnya Donovan yang merujuk lsafat kata rekonsiliasi dalam kitab Vulgata. Civic morality, tersebut adalah basis geopolitik dan geostrategi suatu bangsa yang bermakna sebagai suatu upaya untuk memperoleh kekuatan bangsa dalam menjaga nasionalisme dan penegakkan hukum secara berkelanjutan, serta berpartisipasi aktif dalam hubungan kerja antar lembaga negara sebagai upaya mencapai cita-cita nasional. Dalam sistem pemerintahan selalu terkait dengan hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Lahirnya sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil, dan dikenal dalam bahasa Inggris disebut Cabinet Government dan sistem Presidential Government atau juga The xed executive system, sebagaimana dikemukakan oleh C. F Strong dan S. L. Witman & J. J.Wuest. Sistem ketatanegaran mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding dengan sistem pemerintahan, kecuali dalam sistem pemerintahan negara, yang mencakup keseluruhan lembaga-lembaga negara termasuk eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam sistem ketatanegaran terbentuk sistem hubungan antar lembaga-lembaga negara. Berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimaksud dengan lembaga negara pada pasal tersebut yaitu; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden dan Wakil Presiden, Komisi Yudisial (KY), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Institusi lembagalembaga negara tersebut, didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) yaitu menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat nal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan sumber tersebut, lembaga negara adalah institusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,

268

Bunga Rampai

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan sebutan lembaga negara tertinggi sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, didasarkan pada: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 ayat (2); Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak (Pasal 6 ayat (2); Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Penjelasan Umum tentang sistem Pemerintahan Negara); Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya setelah reformasi berjalan terjadilah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya perubahan ketiga, Pasal 1 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Berdasarkan perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2), Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. Dengan demikian juga setelah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar selain tidak ada lembaga negara tertinggi juga tidak ada lagi lembaga tinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga negara didasarkan atas tugas dan kewenangannya. Dengan demikian, kedelapan lembaga negara tersebut berkedudukan setingkat sama. Demikian juga Komisi Yudisial dan ketujuh lembaga negara lainnya berkedudukan sama setingkat/sederajat. Keberadaan kekuasan kehakiman, atau kekuasaan yudikatif mempunyai konsekuensi logis menentukan adanya hakim sebagai subyek pelaksana dari kekuasaan kehakiman, atau kekuasaan yudikatif. Ditarik dari keberadaan hakim juga terkait dengan keberadaan kekuasaan kehakiman, dan kekuasaan kehakiman juga terkait pada keberadaan cita negara hukum/Rechstaat, dan begitu seterusnya bahwa eksistensi negara hukum tergantung pada keberadaan bentuk negara republik, dan bentuk negara amat sangat tergantung oleh paham atau sistem Kedaulatan Rakyat/Volkssouvereineteit (sumber Sutjipno). Sehubungan prinsip tersebut bagaimana keterkaitannya dengan geopolitik dan geostrategi Indonesia khususnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, selaku hukum tata negara Indonesia, yang tentunya

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

269

mengalami perubahan yang sangat fundamental terutama pada pasal-pasal dan ayat-ayatnya. Selanjutnya Kewenangan Komisi Yudisial, hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat menentukan manusia sebagai hakim yang mempunyai hati nurani tinggi, namun lolosnya calon hakim agung yang diseleksi oleh Komisi Yudisial belum mendapat jaminan untuk seluruhnya diterima oleh DPR-RI terutama Komisi III. Ini menunjukkan peran politik begitu dominan, dan merupakan tantangan berat bagi Komisi Yudisial untuk menunjukkan bahwa calon hakim agung yang diusulkan betul-betul dapat dipertanggungjawabkan dan diterima sebagai calon yang telah memenuhi persyaratan termasuk persyaratan dari sisi politis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, rumusan kewenangan Komisi Yudisial (KY) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Rumusan sebagai berikut: Pasal 24B (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini didasarkan pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan gur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga ia menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan

270

Bunga Rampai

keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kwenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Melalui Komisi Yudisial diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakkan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuram martabat serta perilakunya. Ujian berat bagi Komisi Yudisial saat ini adalah untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memberikan kewenangan penuh untuk menjaring para calon hakim agung yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial, sebelumnya merupakan wewenang Mahkamah Agung, berdasarkan Pasal 80A Undang-Undang nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut ketentuan tersebut, sebelum Komisi Yudisial terbentuk, pengajuan calon hakim agung dilakukan Mahkamah Agung untuk mendapatkan persetujuan DPR dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Sedangkan pada Pasal 20A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada Komisi Yudisial merupakan tantangan besar untuk dapat mewujudkan hakim agung yang profesional dan proporsional, Outsourcing kinerja Komisi Yudisial ini dapat terwujud manakala semua anggota Komisi Yudisial solid, dan berpikir jernih untuk memutuskan calon hakim agung yang bermoral, reformis, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela adil, profesional, proporsional, komitmen untuk

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

271

memberantas maa peradilan, dan mempunyai budi pekerti luhur. Komisi Yudisial lahir dari hasil reformasi, saat ini masih dalam proses transisi dibutuhkan orientasi-orientasi baru terutama pemahaman tentang geopolitik dan geostrategi Indonesia yang begitu cepat perubahannya, dan memahami serta mengerti betul tentang cara kerja dan kultur peradilan yang lama, sehingga kerja sama dengan lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi yudikatif sangat dibutuhkan, dan perlu dipikirkan wadah konsultasi lembaga yudisial tanpa mengurangi kemandirian dari tugas dan fungsi serta tanggung jawab masing-masing lembaga. Dalam hubungannya dengan budaya, karena bangsa Indonesia ini penuh dengan keanekaragaman, maka peran budaya juga tidak bisa dilepaskan sebagai pilar kekuatan Komisi Yudisial, proses pembangunan budaya berhukum yang baru (paradigma baru budaya berhukum) yang diciptakan oleh Komisi Yudisial, sangat diperlukan karena selama ini telah terjadi dan terbentuk di Indonesia sistem hukum modern yang melahirkan watak liberal, dan menjadikan pondasi dalam sistem peradilan di Indonesia. Tentu kita sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat dan mempunyai jati diri Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, harus dijunjung tinggi norma-norma lokal sebagai pondasi kehidupan sistem peradilan Indonesia, (hal tersebut perlu dikaji lebih mendalam), untuk memperkuat kemandirian Komisi Yudisial, dalam memperkuat Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara hukum Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh pengaruh budaya liberal, tidak heran kalau masih terjadi kendala dalam sistem peradilan kita yang tentunya harus dapat diselesaikan oleh kita, agar kita dapat membangun sistem peradilan yang mandiri dan dilandasi pada jati diri bangsa kita sendiri, agar kita dapat memberikan rasa adil dan sejahtera pada seluruh komponen bangsa Indonesia. Profesionalitas tidak hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja, melainkan bisa menjadi milik siapa saja. Bukan hanya pemimpin tingkat nasional sampai pada terendah, sehingga diperlukan suatu tolak ukur apakah seseorang tadi didalam menjalankan tugasnya telah memiliki wawasan yang luas dan jauh menjangkau rasa cinta tanah air, berwa-

272

Bunga Rampai

wasan kebangsaan, kenegarawanan, selain tentu moral dan etika profesinya yang harus dijunjung. Demikian juga para anggota Komisi Yudisial, yang akan menentukan calon-calon hakim agung. Wawasan kebangsaan dan kenegarawanan, maksudnya antara lain memiliki kandungan kecintaan terhadap tanah air bangsa Indonesia yang sangat kuat, dan mempunyai komitmen tinggi terhadap keutuhan wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Penutup Hasil reformasi dan demokrasi, di bidang peradilan memberikan peluang yang besar bagi bangsa Indonesia, untuk melakukan perbaikan dan langkah strategis untuk memberantas maa peradilan yang bertentangan dengan norma dan etika peradilan, dari mulai hakim agung sampai pada hakim pengadilan negeri. Fungsi pengawasan yang dilakukam oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, mempunyai peran yang sangat vital di bidang peradilan, dan merupakan lembaga negara baru yang masih belum tersosialisasikan kepada seluruh elemen bangsa baik yang berada di dalam lembaga negara lainnya maupun di dalam masyarakat luas. Semua elemen bangsa harus dapat memahami dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi wewenang Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru yang telah diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial harus dapat membangun ideologinya sendiri, sebagai wujud nyata sifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam rangka untuk mewujudkannya diperlukan orientasi baru, yaitu melakukan revitalisasi yang sebelumnya wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga Mahkamah Agung, diperlukan suatu sharing pengalaman dan mensinergikan menjadi kekuatan wewenang Komisi Yudisial.
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

273

Daftar Pustaka Abraham, Henry J, 1996, The Judiciary, The Supreme Court in The Govermental Process, NY, New York University Press, Blout, B.W. 2005. Global Geostrategy; Mackinder and The Defence of The West, NY, Taylor & Prancis. Gray. Coins s, 1997, The Geopolitics Of The Nuclear Era New York, Crane, Russak & Company, Inc. C.F. Strong, 1966, Modern Political Constitution, The English Language Book Society, Sdigwick and Jackson Limited, London. Cooper Phillip, dan Ball, Howars, 1996, The United States Supreme Court, New Jersey, Prentice Hall. Ermaya suradinata, 2005, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi Dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Penerbit suara Bebas, Jakarta. Ermaya suradinata, 2007, Permasalahan Aktual dan pentingnya Geopolitik dan Geostrategi Indonesia. Lemhannas RI Jakarta. Moh. Mahfud MD.2000,Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT Rinneke Cipta, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2006, Menjaga Jarum Sejarah Amandemen UUD, tulisan disiapkan untuk buku HUT Mahkamah Konstitusi Tahun 2006, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif, 2005, Hukum yang Membebaskan, dalam Jurnal hokum Progresif, Vol. 1 No.1. Saragih, Bintan Regen, 2005, Demokrasi, Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta. Sri Soemantri, 2006, Prosudur dan system Perubahan Konstitusi, PT Alumni, Bandung. Wasserstrom, Richard A.,1961, The Judicial Decision, Toword a Theory of Legal Justication, Stanford, Cal Stanford University Press. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI. Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2006. Bunga Rampai Reeksi Satu Tahun.

274

Bunga Rampai

Memulihkan Kewenangan Komisi Yudisial Dengan Melibatkan Kemitraan (Jejaring) di Daerah


Marwan Mas

A. Pendahuluan Pasal 22B Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) menegaskan eksistensi Komisi Yudisial (KY) yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan hakim agung, dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan hakim, merupakan kewenangan KY yang amat krusial. Dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, sebetulnya KY telah berhasil membangun budaya kontrol yang membuat para hakim lebih berhati-hati. Kehadiran berbagai lembaga negara baru seperti KY telah menandai berjalannya proses transisi menuju demokratisasi yang sesungguhnya. Kehadiran KY pada hakikatnya dimaksudkan menjawab tuntutan masyarakat agar prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terakomodasi melalui lembaga yang akuntabel dan independen. Sayang, dalam perjalanan pelaksanaan tugas dan wewenang KY mendapat hambatan, yang justru berasal dari lembaga yang seharusnya secara bersama menegakkan harkat dan martabat peradilan. Padahal, harapan masyarakat pada KY bukan hanya mencari dan menemukan sosok calon hakim agung yang kredibel atau menjaga perilaku hakim dari perbuatan tercela, melainkan juga rekomendasi KY untuk memberi sanksi hakim-hakim nakal dapat menimbulkan efek jera.
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

275

Kiranya perlu dipahami bahwa pembentukan KY selain diarahkan untuk menciptakan sebuah lembaga pengawas dalam kekuasaan yudikatif, juga bermakna untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Di sejumlah negara, keberadaan komisi semacam ini sudah merupakan hal yang jamak dan dibutuhkan, meskipun berbeda pada pelaksanaan fungsi dan perannya. Di Afrika Selatan, KY memberikan rekomendasi untuk pemberhentian hakim, mengajukan calon ketua MA, dan memberikan masukan dalam pengangkatan ketua/wakil ketua MK. Di negara-negara Eropa Selatan seperti Perancis, Italia, dan Spanyol, kewenangan komisi ini jauh lebih signikan karena memiliki kewenangan yang cukup luas seperti rekrutmen hakim, mutasi, promosi, pengawasan, dan pendisiplinan hakim. Untuk menunjang proses peradilan yang lebih bermartabat, mestinya objek pengawasan KY tidak hanya hakim, tetapi juga panitera yang mendaftar perkara. Sebab sudah menjadi rahasia umum, penyimpangan di lingkungan peradilan yang merugikan masyarakat tidak hanya menyangkut hakim, tetapi juga panitera dan administrasi. Berbagai kasus yang terungkap ke publik, soal penyimpangan hakim tidak berdiri sendiri tetapi terdesain dalam suatu maa yang amat sulit dibuktikan. Proses tersebut berawal dari panitera yang meregister dan membagikan perkara kepada hakim, peran pegawai peradilan yang mengontak pengacara atau pencari keadilan, dan berakhir pada hakim yang memeriksa dan menjatuhkan putusan. Salah satu cara untuk mengawasi perilaku hakim, KY telah membangun kemitraan (jejaring) di daerah-daerah. Peran mitra di daerah, paling tidak diharapkan memberikan dampak positif dalam mengefektifkan pelaksanaan tugas dan wewenang KY. Kompleksitas permasalahan yang melingkupi pengadilan Indonesia, mulai dari sumber daya manusia, managemen organisasi, sumber daya penunjang dan sebagainya, maka tugas dan wewenang KY perlu ditunjang oleh mitra di daerah. Pemilahan dan penentuan prioritas pembenahan menjadi sangat penting dipahami oleh mitra yang dibangun, termasuk bagaimana peran mitra KY memberikan informasi dalam mendukung pelaksanan tugas dan wewenang KY.

276

Bunga Rampai

B. Memulihkan Kewenangan KY Dalam menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim, KY dipersepsikan dalam UUKY untuk tidak mencampuri teknik yudisial. Sementara keputusan KY berkaitan dengan pelanggaran perilaku hakim hanya berupa rekomendasi yang intinya mengusulkan penjatuhan sanksi. Desain ini mirip dengan fungsi yang diberikan kepada Judicial Commission di New South Wales, Australia. Sayang, rekomendasi KY tidak mendapat respon positif MA sehingga ide awal pembentukan KY dalam UUD tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan peran masyarakat melalui mitra yang dibentuk KY untuk terlibat langsung dalam mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang KY. KY sebagai lembaga negara yang mandiri berkepentingan dan berkomitmen untuk terus menjalin kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat, terutama yang concern terhadap proses reformasi peradilan demi terciptanya sistem peradilan yang bersih, akuntabel dan berwibawa. Reformasi peradilan sebagai agenda utama KY tidak akan berhasil seperti yang diharapkan, sehingga memerlukan jaringan kerjasama dalam rekrutmen calon hakim agung dan pengawasan terhadap para hakim. Pentingnya pengawasan hakim dari pengaruh maa peradilan, karena dalam realitasnya telah menghilangkan akses keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan. Para pencari keadilan begitu sulit mendapatkan pelayanan peradilan yang jujur, termasuk proses persidangan yang murah, sederhana dan cepat. Oleh karena itu, perlu pemulihan kewenangan KY untuk mengungkapkan modus operandi dan upaya pemberantasan maa peradilan. Salah satu upaya tersebut adalah perlunya penguatan pengawasan dan peran serta masyarakat dalam mengontrol praktek peradilan. Memang secara legalistik, KY tidak berwenang memeriksa aspek teknis yudisial seperti kemampuan hakim menangani perkara, penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP), pembuatan daftar persidangan, tenggang waktu penyelesaian perkara, kualitas putusan, dan eksekusi. Begitu juga terhadap penanganan administrasi peradilan, seperti prosedur penerimaan perkara dan registrasi perkara, pembukuan keuangan perkara, kearsipan perkara, pembuatan laporan
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

277

perkara, dan eksekusi peraturan. Kedua aspek ini tetap dipegang oleh pengawas internal MA. Wewenang KY mengawasi perilaku hakim demi menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, memang tidak sampai pada soal teknis yudisial karena terkait independensi hakim (independence of judiciary) dalam memeriksa dan memutus perkara. Namun, berkas perkara dapat saja diperiksa KY, jika ada fakta-fakta perilaku hakim yang tercela dalam berkas perkara yang berakibat dikeluarkannya putusan. Pemeriksaan KY terletak pada penilaian hakim terhadap fakta-fakta persidangan yang dituangkan dalam putusan dengan menelusuri apakah terjadi penyimpangan perilaku hakim. KY dapat mengapresiasi perilaku hakim yang menyimpang dengan melakukan interpretasi, sebab memeriksa dan memutus perkara merupakan sebuah tanggung jawab seperti kemampuan menangani perkara yang memberikan keadilan. Penilaian atas perilaku hakim dalam menangani perkara yang ternyata menuai keberatan pencari keadilan merupakan bagian dari tanggung jawab hakim. Mitra atau jejaring yang ada di masyarakat dapat menjadi mata dan telinga KY, sebagai bagian dari pengawasan masyarakat terhadap hakim. Mitra (jejaring) KY yang ada di daerah merupakan representasi pengawasan masyarakat. Sukses atau tidaknya pengawasan KY, menjadi taruhan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Kesemuanya diarahkan untuk meningkatkan prestasi kerja hakim dalam menyelesaikan perkara dengan cepat, jujur, dan kualitas putusan harus dapat dirasakan oleh pencari keadilan. Penyebab maraknya korupsi di lembaga peradilan (judicial corruption) yang mesti jadi perhatian mitra KY di daerah, dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, adanya intervensi atau campur tangan dari pihak luar, khususnya eksekutif dan legislatif untuk mempengaruhi putusan hakim. Pada aspek ini, hakim bisa berkolusi dengan kekuasaan untuk memenangkan suatu perkara. Intervensi model ini telah membudaya melalui forum musyawarah pimpinan daerah (Muspida) yang memberi ruang bagi eksekutif dan legislatif untuk mempengaruhi lembaga peradilan. Kedua, penyuapan yang dapat terjadi sepanjang proses peradilan. Berdasarkan laporan 32 negara yang dimuat

278

Bunga Rampai

dalam Global Corruption Report 2007, sebagian hakim dapat disuap untuk memperlambat atau mempercepat proses pengadilan, menerima atau menolak permintaan banding, mempengaruhi rekan sesama hakim atau sekedar menjatuhkan putusan tertentu. Faktor kedua inilah yang paling krusial, yang mengakibatkan maraknya korupsi di pengadilan, tandasnya. Salah satu yang menghambat efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang KY adalah timbulnya sikap MA yang merasa kewenangan pengawasannya diambil alih KY. Padahal, pengawasan dari aspek administrasif berkaitan dengan proses peradilan tetap ada pada MA, termasuk pengawasan fungsional oleh Dewan Kehormatan Hakim Agung. Fungsi pengawasan MA bersifat internal, sedangkan KY melakukan pengawasan eksternal untuk menumbuhkan tanggung jawab hakim sebagai benteng terakhir penegakan supremasi hukum dengan memeriksa dan memutus perkara secara benar dan adil. Posisi KY sebagai pengawas eksternal yang bersifat independen, bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Efektivitas pengawasan hakim seharusnya berjalan sinergis. Temuan KY dalam memeriksa perilaku hakim yang menyimpang yang kemudian direkomendasikan kepada MA, seharusnya direspons positif. Jika yang menjadi tujuan adalah tegaknya martabat hakim, kehadiran KY tidak perlu dianggap sebagai rival. Justru MA dapat memanfaatkan KY untuk membantu menegakkan martabat hakim. Sayang, kewenangan KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim telah diamputasi oleh putusan MK Nomor: 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006. Kewenangan KY mengawasi hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UUKY), terkesan telah membonsai kewenangan KY sehingga perlu dipulihkan dengan mensinkronkan UUKY, UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA), dan UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Pemulihan kewenangan KY dalam menjaga dan mengawasi perilaku hakim harus terakomodasi dalam perubahan UUMA dan UUMK. Sinkronisasi ketiga UU selain dimaksudkan memulihkan ke-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

279

wenangan KY, juga menambal kekosongan hukum di bidang pengawasan terhadap badan peradilan dan hakim yang dilakukan KY seperti diperintahkan Pasal 24B Ayat (1) UUD. Putusan MK yang perlu diapresiasi menyangkut kewenangan KY pada Kamis 23 Agustus 2006 terdiri dari dua bagian. Pertama, KY tidak berwenang mengawasi hakim MK. MK secara arogan telah mengabaikan prinsip checks and ba-lances yang menjadi roh bangunan kelembagaan negara dengan tidak rela diawasi dan dijaga kehormatan dan perilakunya oleh lembaga lain. Padahal, pengawasan dari dalam tidak maksimal. Keberadaan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam pengertian hakim yang dapat diawasi perilaku etiknya oleh KY merupakan putusan diskriminatif. Para hakim Konstitusi tidak digolongkan sebagai hakim seperti hakim MA dengan alasan demi independensi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. Saat ini, MK adalah lembaga negara yang paling steril dari sentuhan pengawasan dari luar dirinya (pengawasan ekstern). Menurut MK, pengawasan atas pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan Majelis Kehormatan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai pelaksanaan Pasal 24C Ayat (6) UUD. Kedua, KY tidak berwenang mengawasi hakim yang berkaitan dengan teknis yudisial, yaitu mengenai putusan hakim atas suatu perkara. Dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyiratkan bahwa KY hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. MK menilai, hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang tidak tepat, bahwa penilaian perilaku dilakukan dengan penilaian putusan. Putusan MK yang mencabut pengawasan KY terhadap dirinya (hakim konstitusi) merupakan tindakan yang berlebihan. MK secara sistematis melemahkan fungsi dan peran KY dengan cara membonsai kewenangan KY dalam mengawasi perilaku hakim. Praktik maa peradilan diperkirakan akan semakin menjadi-jadi karena perilaku hakim tidak lagi diawasi dan dikontrol oleh lembaga lain (KY), tetapi hanya diawasi sendiri oleh temannya sesama hakim.

280

Bunga Rampai

C. Satu Pedoman Perilaku Hakim Pasal 14 UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial sebagai derivasi Pasal 24B UUD 1945 menegaskan, KY mempunyai wewenang menjaga dan mengawasi perilaku hakim. Di lain pihak, UUMA juga mengatur bahwa MA berwenang pula melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim. Keduanya diberi wewenang hal yang sama, dan realitas menunjukkan terciptanya potensi rivalitas yang mengarah pada krisis kelembagaan. Bila hakim terpaksa harus menaati dua versi pedoman perilaku hakim (Code of Conduct), tidak menutup kemungkinan ada hakim yang akan mencari peluang untuk keuntungan sendiri dengan melanggar salah satu pedoman perilaku hakim. Sedangkan tidak diberi peluang menerima hadiah sesuai sumpah hakim, tidak sedikit oknum hakim yang menerima suap dalam menangani perkara seperti terungkap di media, bahkan ada yang diproses di pengadilan, apalagi kalau memang diberi peluang. Hadiah sebagai penghalusan suap (gratikasi) dalam kode etik yang dibuat MA, tak pelak akan semakin menjadi-jadi di kalangan hakim. Alih-alih menjaga harkat dan martabat hakim, kalau pada aspek lain ada ketentuan yang membolehkan hakim menerima hadiah yang berlawanan dengan sumpahnya. Adanya dua versi pedoman perilaku hakim, maka rivalitas kewenangan akan kontra-produktif. Apalagi perseteruan MA-KY selama ini cukup memprihatinkan, seperti pada soal rekrutmen hakim agung atau saat Ketua MA mengabaikan enam rekomendasi KY untuk menghukum hakim yang telah diperiksa karena melakukan penyelewengan, tetapi tak satupun dari enam rekomendasi KY yang direspon MA. Termasuk saat Ketua MA dihambat ketua majelis hakim Pengadilan Khusus Korupsi untuk hadir bersaksi dalam sidang perkara suap pegawai MA oleh pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso. Penolakan Ketua MA bersaksi ternyata disikapi KY dengan memeriksa ketua majelis hakim, Kresna Menon dan hasilnya direkomendasikan kepada MA agar yang bersangkutan diberhentikan sementara selama satu tahun untuk tidak menangani perkara, tetapi lagi-lagi diabaikan MA. Malahan tiga anggota hakim non-karir diganti dan kini diperiksa Pengadilan Tinggi Jakarta karena walk out dalam lima kali
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

281

sidang yang bersikukuh agar Ketua MA dihadirkan bersaksi. Mestinya Ketua MA lebih peka atas berbagai keborokan di lingkungan peradilan. Penyatuan dalam satu atap korps hakim (tidak lagi secara administrasi berada di bawah Menteri Kehakiman dan HAM), baiknya dijadikan momentum oleh MA untuk memperbaiki institusi peradilan yang selama ini disoroti publik. Rivalitas kewenangan dalam mengawasi perilaku hakim akan semakin memperpuruk citra lembaga peradilan Indonesia. Perlu kesadaran dan keprihatinan bersama antara MA dengan KY dalam melihat dan menyikapi persoalan penegakan hukum, terlebih adanya tudingan maa peradilan. MA, KY, dan MK --yang hakimnya mestinya juga diawasi KY- perlu duduk bersama merancang dan menetapkan satu pedoman perilaku hakim. Tidak akan efektif kalau masingmasing membuat pedoman perilaku hakim, karena selain membingungkan hakim, juga akan memberi peluang untuk dimanipulasi. Penerapan dua pedoman perilaku hakim sudah pasti akan menimbulkan implikasi hukum yang pada akhirnya mengancam kewibawaan MA-KY. Tentu saja para hakim akan mengikuti kode etik yang dibuat MA sebagai lembaga yang menaunginya. Sebaliknya, kode etik versi KY akan diabaikan, meskipun nantinya bisa dipanggil untuk diperiksa KY dan kemungkinan akan direkomendasikan ke MA agar diberi sanksi. Tetapi para hakim juga sudah maklum kalau rekomendasi KY akan diabaikan MA seperti nasib enam rekomendasi KY. Dalam kondisi demikian, wibawa KY akan jatuh dan tidak lebih dari macan kertas yang tidak bergigi, padahal konstitusi dan UUKY memberi kewenangan untuk mengawasi dan memeriksa hakim-hakim nakal. Resistensi MA terhadap rekomendasi KY, termasuk nantinya pada pedoman perilaku hakim yang dibuat KY, tidak lebih dari sikap arogansi MA yang selalu berlindung di balik jubah independensi. Demi independensi, MA seakan lembaga yang kebal dari sentuhan pengawasan lembaga lain atau pengawasan masyarakat dengan mengabaikan konstitusi. Padahal, kedua lembaga negara dalam lingkungan peradilan ini diharapkan berperan aktif dalam menjaga keluhuran peradilan. Kalau pedoman perilaku hakim versi MA membolehkan

282

Bunga Rampai

hakim menerima hadiah, apalagi dari pihak yang berperkara, tentu tidak lagi proporsional di tengah upaya merebut kembali citra peradilan Indonesia. Di sinilah dituntut kesadaran keduanya (termasuk MK) untuk secara bersama membuat satu pedoman perilaku hakim, karena selain menghindari rivalitas dan krisis kelembagaan, juga mewujudkan sinergi dan saling menghormati wewenang. Jika masing-masing membuat pedoman perilaku hakim dengan subjek yang sama, akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang pada akhirnya hanya akan merugikan penegakan hukum yang bersandar pada rasa keadilan masyarakat. Pedoman perilaku hakim versi MA dikecam berbagai kalangan karena memuat ketentuan yang membolehkan seorang hakim menerima hadiah dari pihak lain. Ketua MA, Bagir Manan (Media Indonesia, 27/6/2006) menyatakan, hakim boleh saja menerima hadiah asalkan jumlahnya wajar dan tidak ada tendensi mempengaruhi hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. Pernyataan ini telah mereduksi harapan publik agar hakim memiliki integritas yang tinggi. Bahkan, bertentangan dengan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melarang penyelenggara negara, pegawai negara, dan aparat hukum menerima gratikasi. Ketua MA boleh saja beralasan tidak akan berpengaruh pada independensi hakim, tetapi alasan yang diberikan tidak sesederhana itu. Sebab, memberi peluang bagi hakim menerima hadiah (gratikasi) sangat riskan dan berbahaya, karena akan menghambat pemberantasan judicial corruption yang terstruktur dan institusional. MA mengabaikan sumpah hakim. untuk ... tidak menerima apa pun yang patut diduga berkaitan dengan jabatan .... Olehnya itu, hakim yang menerima sesuatu atau hadiah selain termasuk gratikasi juga dinilai sebagai unprofessional conduct. Pedoman perilaku hakim versi MA menetapkan 10 pedoman perilaku hakim, dan pada sub-bagian berperilaku jujur, ternyata menoleransi hakim menerima hadiah dari orang yang berperkara, misalnya sekotak kue atau sepotong kain batik biasa. Alasan membolehkan hakim menerima hadiah terkesan dibuat-buat dan menggelikan, yaitu untuk menghindari kekecewaan orang dan tidak tega menolak pembe-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

283

rian yang dapat menyakiti hati orang yang memberi. Rivalitas dan perseteruan MA-KY mestinya sudah harus berakhir dengan duduk bersama merancang satu pedoman perilaku hakim. Pedoman perilaku hakim yang masing-masing dibuat oleh KY dan MA, hanya akan menambah kekisruhan dalam mengawasi perilaku hakim. Timbul pertanyaan, mana yang harus dipatuhi para hakim? Apakah pedoman perilaku hakim yang dibuat lembaganya (MA) atau pedoman perilaku hakim yang dibuat KY sebagai lembaga yang memang diberi wewenang oleh konstitusi untuk mengawasi perilaku hakim? D. Penutup Untuk lebih memaknai tugas dan wewenang KY, perlu menyimak kritikan Charles Sampford (1998) dalam teori the disorder theory of law yang memandang hukum tidak identik dengan bangunan yang penuh keteraturan logis-rasional, tetapi sesuatu yang bersifat cair yang perlu dihidupkan oleh pelaksana hukum. Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim harus menjaga hak-hak komunitas dan konstitusionalitas rakyat. Di dalamnya selalu ada ruang ekstra (leeway) yang dapat digunakan untuk menghidupkan nilai-nilai kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat. Untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas dan wewenang KY, maka mitra (jejaring) KY yang ada di daerah harus dilibatkan secara maksimal. Paling tidak, memotivasinya untuk berani melaporkan rekam jejak para calon hakim agung yang sedang diseleksi KY dan DPR, serta perilaku hakim yang menyimpang. Hanya dengan cara itu, calon hakim agung dan para hakim dapat terjaga integritas dan kredibilitasnya dalam menyelenggarakan peradilan yang memihak pada rasa keadilan masyarakat. Berbagai survei dan pengaduan masyarakat yang terungkap di media massa menyebutkan, hakim-hakim di republik ini sering hanya mendahulukan kepentingan perutnya ketimbang mengimplementasikan rasa keadilan masyarakat. Munculnya polemik atas hasil rekrutmen KY terhadap calon hakim agung, juga perlu perhatian KY. Kendati proses seleksi calon hakim agung telah dilakukan KY, bahkan pada 6 Juli 2007, DPR telah memilih enam hakim agung dari 18

284

Bunga Rampai

calon yang diajukan KY, tidak berarti KY harus berpuas diri. Keberatan salah seorang anggota KY atas penetapan 12 calon hakim agung yang merasa tidak dilibatkan dalam rapat pleno, seyogyanya diapresiasi agar tidak terulang di kemudian hari. Termasuk jumlah dana yang amat besar digunakan dalam seleksi, serta keluhan sejumlah calon hakim agung yang berasal dari hakim karir yang mengikuti tes, bahwa mereka direndahkan oleh tim seleksi KY dari cara bertanya yang terkesan menyudutkan.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

285

286

Bunga Rampai

Urgensi dan Fungsi Pembentukan Jejaring di Daerah Oleh Komisi Yudisial


Asep Rahmat Fajar, S.H.
1

Pendahuluan Peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi kontroversi. Apabila dirangkum dalam suatu kesimpulan umum, berbagai kontroversi tersebut dapat dilihat mulai dari lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan suatu kasus, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi saat kasus telah masuk ke pengadilan, proses penundaan persidangan tanpa alasan yang jelas sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan yang kadang kala tidak jelas waktunya. Semua hal tersebut diperparah dengan sering munculnya putusan pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak heran apabila dalam sebuah media nasional pernah disebutkan bahwa seorang koruptor yang merampok uang negara milyaran rupiah hukumannya tidak beda jauh dengan seorang yang maling 4 karung bawang merah di pasar. Selain itu dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan pangkat tertinggi sampai dengan pangkat terendah di lembaga penegakan hukum, sampai dengan kalangan in-

Tenaga Ahli Komisi Yudisial

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

287

telektual yang menjadi saksi ahli. Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai laporan lembaga di dalam maupun luar negeri yang menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia menjadi cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel Kauffmann yang secara khusus menyoroti praktek korupsi di lembaga peradilan, dalam laporannya menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.2 Bentuk-bentuk korupsi di lembaga peradilan sendiri menurut deklarasi International Bar Association (IBA), secara umum adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat). Sedangkan secara khusus dapat dilakukan dalam bentuk mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, memperlambat proses pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, pertimbangan yang keliru, sikap tunduk kepada campur tangan luar/dalam pada saat memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conict of interest, favoritisme, kompromi dengan advokat serta tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik. Praktek-praktek judicial corruption ini secara kolektif dikenal dengan sebutan maa peradilan. Sebagai suatu sistem, kinerja aparat penegak hukum sekarang ini memang berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi para penegak hukum tersebut untuk kemudian melakukan berbagai perbaikan yang signikan bagi terciptanya suatu kinerja yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Katakan Tidak, Panduan Melawan Maa Peradilan.

288

Bunga Rampai

Secara praktek, teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan di satu sisi dan terciptanya suatu peradilan yang bersih, transparan dan mengedepankan nilai-nilai keadilan di sisi lain terlihat sudah sangat sulit untuk diterapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat penegak hukum yang ada saat ini. Sebagian kalangan menganggap bahwa permasalahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan. Kelemahan sistem tersebut pada gilirannya mengakibatkan pola manajemen sumber daya manusia dan manajemen administrasi di lembaga-lembaga penegak hukum tersebut menjadi berjalan tidak optimal/ obyektif. Pengawasan: Prinsip dan Aktor Yang Terlibat Menurut Fayol (salah seorang perintis ilmu manajemen) pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dapat dihindari kejadiannya di kemudian hari. Selain itu Sujamto (ahli manajemen lainnya) mendenisikan pengawasan sebagai segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Adapun unsur-unsur dari pengawasan tersebut setidaknya meliputi enam hal, yaitu: 1. subyek (pengawas atau orang yang mengawasi), 2. obyek (orang yang diawasi), 3. kebijakan dan ketentuan atau peraturan (dasar dilakukanya pengawasan berikut aturan mainnya), 4. ruang lingkup pengawasan (hal-hal yang diawasi seperti kinerja pegawai, penggunaan anggaran, dan sebagainya), 5. mekanisme (urutan, tata cara atau prosedur dalam melakukan pengawasan) dan 6. tujuan (untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu tugas maupun hasilnya sesuai dengan perencanaan) Sehubungan dengan berbagai teori pengawasan tersebut, apabila dikaitkan dengan aparat penegak hukum, maka makna yang terkandung di dalam pengertian pengawasan tersebut berhubungan erat dengan kesatuan tanggung jaPenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

289

wab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu:3 1. 2. tanggung jawab administrasi (administrative responsibility), tanggung jawab prosedural (procedural responsibility) yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan dan

tanggung jawab substansi (substantif responsibility) yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. Berdasarkan teori di atas terdapat beberapa permasalahan dalam sistem pengawasan bagi aparat penegak hukum di Indonesia, antara lain adalah: 1. solidaritas (in group feeling, esprit de corps) dari obyek pengawasan, yang mengakibatkan proses pencarian data dan informasi pendukung menjadi cukup terhambat. Pada beberapa lembaga penegak hukum belum ada ketentuan yang memadai yang mengatur pedoman bagaimana seorang aparat penegak hukum seharusnya berperilaku (code of conduct), baik perilaku di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Mekanisme pengawasan melalui proses yang sangat panjang, sehingga tidak berjalan dengan efektif. mekanisme pengawasan tidak transparan dan akuntabel sehingga masyarakat yang mengajukan laporan/ pengaduan tidak mengetahui tindak lanjut dari laporan/pengaduan mereka.

3.

2.

3. 4.

Melihat permasalahan yang masih ada sampai saat ini dalam sistem pengawasan aparat penegak hukum kita, diperlukan suatu sistem pengawasan agar dapat mendeteksi dan memeriksa pelanggaran, merespon laporan atau pengaduan masyarakat dan menindaklanjuti dengan obyektif hasil pemeriksaan dan laporan masyarakat tersebut.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi), Administrasi Peradilan : Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu.

290

Bunga Rampai

Untuk mengoptimalkan sistem pengawasan aparat penegak hukum tersebut, salah satu hal yang paling utama adalah partisipasi publik. Terdapat beberapa hal penting yang harus dijadikan sebagai prinsip, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur prinsip transparasi terdiri dari mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua prosesproses pelayanan publik, mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam sektor publik, mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan pelayanan publik. Dalam hal ini prinsip transparansi ini hanya akan menjadi wacana semata jika tidak didukung oleh adanya perlindungan hukum terutama bagi publik yang tertuang dalam suatu Undang-undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dan Perlindungan Saksi. Selanjutnya untuk akuntabilitas indikator dan parameter yang dapat menjadi acuan pada tahap proses pembuatan adalah pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap masyarakat yang membutuhkan, pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku, adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi, konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut. Sedangkan pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, maupun media komunikasi personal, akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan caracara mencapai sasaran suatu program, akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

291

dan mekanisme pengaduan masyarakat, ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. Adapun untuk prinsip partisipasi agar dapat terlaksana dibutuhkan beberapa langkah awal sebagai inisiatif dari lembaga penegak hukum yakni mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik, menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari publik dalam kegiatan publik, mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik. Sedangkan tolak ukur penilaian pelaksanaan dari prinsip partisipatif yang dapat digunakan adalah keterlibatan publik melalui terciptanya nilai dan komitmen para aparat, keterlibatan publik dalam merancang dan melaksanakan penegakan hukum, adanya wadah dan saluran untuk menampung partisipasi publik yang representatif, terarah dan dapat terkontrol, yang bersifat terbuka dan inklusif sebagai tempat publik menyampaikan keinginannya, kemampuan publik untuk terlibat dalam penegakan hukum, dan perhatian pemerintah pada pengarahan dan ajakan pada publik untuk berpartisipasi. Dalam hal ini partisipasi publik dalam pengambilan keputusan hanya dapat efektif dan berarti (meaningful) jika masyarakat memiliki informasi yang memadai.4 Logikanya cukup sederhana. Tanpa informasi, maka masyarakat tidak memiliki amunisi untuk berargumentasi, berpendapat atau memutuskan sikap secara menyakinkan dan tepat. Dan tanpa jaminan hak memperoleh informasi, masyarakat tidak dapat mengakses informasi-informasi tertentu yang penting untuk menjalankan peran di atas. Oleh karenanya, apabila kita menginginkan suatu sistem pengawasan yang cukup optimal, maka salah satu titik lemah dalam pengawasan yaitu tidak adanya parameter dan koridor yang jelas untuk melakukan pengawasan dan tidak diterapkannya prinsip-prinsip dasar good governance harus
4

Peter Davies, Public Participation, the Aarhus Convention and the European Union dalam Human Rights in Natural Resources Development, eds. by Zillman, Lucas and Pring, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hal. 157.

292

Bunga Rampai

secepatnya diperbaharui. Sebab saat ini sering kali karena tidak jelasnya kedua hal tersebut para pelaku maa peradilan senantiasa berlindung di balik klaim otoritas independensi lembaganya, Di berbagai forum yang membahas lembaga peradilan, baik di dalam maupun di luar negeri, prinsip ini paling sering dibicarakan. Prinsip ini pula yang sepertinya paling fasih dikuasai oleh para hakim, baik karena merupakan prinsip yang dianggap penting di dunia, maupun karena mungkin prinsip ini menguntungkan para hakim. Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa memang prinsip independensi peradilan adalah salah satu prinsip penting untuk melahirnya proses peradilan yang fair. Namun permasalahannya, prinsip ini sepertinya dianggap lebih penting dibandingkan prinsip pengadilan yang terbuka (prinsip yang mendorong lahirnya akuntabilitas pengadilan). Padahal kita menyadari betul bahwa independensi tanpa akuntabilitas dapat kita umpamakan sebagai cek kosong yang bisa diisi apa saja. Jangan sampai dengan alasan independensi, hakim menganggap ia dapat melakukan apa saja tanpa perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik dan pada akhirnya menjalankan proses peradilan yang sesat.5 Selain itu, sebagai wujud dari berbagai teori yang telah dipaparkan di atas, meningkatkan peran serta masyarakat dalam sistem pengawasan menjadi tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pengawasan yang dilakukan haruslah pengawasan yang berbasis masyarakat. Dalam hal ini basis masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang berkepentingan langsung yaitu korban (termasuk didalamnya kelompok masyarakat yang peduli dengan isyu ini). Namun di sini perlu disadari bahwa pengawasan berbasis masyarakat bukanlah pengawasan yang langsung jadi dan berjalan dengan sistemik, melainkan melalui proses bertahap yang mencakup pendidikan, penyadaran, dan perubahan budaya hukum.6
5
6

Rifqi S. Assegaf dan Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan. Peran serta masyarakat diakui memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini diakui dalam Konvensi PBB melawan korupsi 2003 (UN Convention Against Coruption,2003) dan dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 sendiri. Undang-undang ini memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi bahwa di suatu daerah atau instansi telah terjadi praktek korupsi.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

293

Jejaring: Mitra Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Rendahnya integritas sebagian hakim hanyalah sebagian dari masalah yang menyelimuti lembaga peradilan. Kualitas sebagian hakim yang rendah (salah satunya disebabkan karena kelemahan proses rekrutmen dan promosi hakim), aksesibilitas pengadilan, struktur organisasi, minimnya gaji hakim (pegawai) serta anggaran pengadilan, adalah beberapa ilustrasi lain permasalahan yang harus menjadi agenda pembenahan. Sebagai salah satu upaya menjawab sebagian permasalahan di atas, MPR (dengan dorongan kelompok masyarakat sipil) pada tahun 2002 menetapkan perlunya pembentukan Komisi Yudisial dalam konstitusi yang kemudian disusul dengan pengundangan UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh Pemerintah dan DPR. Konstitusi tepatnya pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan pada Komisi Yudisial untuk mewujudkan cheks and balances. Sedangkan UU No. 22 tahun 2004 memberikan wewenang bagi Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung pada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Usaha ke arah peradilan yang lebih baik tersebut sebelumnya juga dilakukan dengan menciptakan sistem satu atap (One Roof System) yaitu memberikan kewenangan di bidang administrasi, keuangan dan organisasi kepada Mahkamah Agung. Namun usaha ini dipandang belum tentu mampu menyelesaikan masalah yang ada dan bahkan dipandang dapat menimbulkan monopoli kekuasaan di lembaga tersebut.7 Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong terbentuknya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan UndangUndang Tentang Komisi Yudisial, 2003, h.23.

294

Bunga Rampai

yang berada di luar Mahkamah Agung yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli kekuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan dapat mengawasi serta mengimbangi (checks and balances) pelaksana kekuasaan kehakiman sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik di masa mendatang. Diaturnya Komisi Yudisial dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan bahwa lembaga ini merupakan lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari Undang-Undang Dasar. Sebagaimana diketahui sejak perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga negara adalah sederajat, yang membedakan satu sama lain adalah kewenangannya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah lembaga negara utama (main) dan lembaga negara penunjang (supporting). Dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi adalah sama yaitu sama-sama mendapat kewenangan atribusi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai lembaga negara yang mandiri, Komisi Yudisial diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar untuk mengawasi perilaku hakim, hakim agung dan hakim konstitusi. Upaya untuk memperbaiki dunia peradilan yang merupakan salah satu semangat kelahiran Komisi Yudisial tentu memerlukan dukungan penuh dari elemen-elemen civil society. Kehadiran peradilan yang bersih dengan putusannya yang adil merupakan kebutuhan bersama baik masyarakat maupun pemerintah. Dalam kaitan ini Komisi Yudisial telah menegaskan pentingnya peranan elemen-elemen masyarakat tersebut untuk memiliki pengetahuan, informasi, komitmen dan program aksi bersama dalam menciptakan peradilan yang bersih (clean judiciary). Buruknya dunia peradilan tentu juga terkait dengan proses rekrutmen dan peningkatan karir hakim yang lemah (yang tidak didasarkan pada basis data dan analisis kinerja/ putusan) serta tidak terlacaknya perilaku hakim. Hakim-

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

295

hakim yang putusannya tidak baik bahkan diindikasi kuat ada pengaruh pihak berperkara tentu perlu diketahui sejak dini baik untuk keperluan pembinaan ataupun penjatuhan sanksi. Terlebih lagi hakim-hakim yang akan direkrut menjadi hakim agung, semestinya bebas dari putusan-putusan bermasalah. Ketersediaan basis data hakim akan sangat membantu dalam peningkatan kinerja dan karir hakim. Hal itu hanya bisa dilakukan melalui suatu proses yang sistematis dengan metodologi yang jelas. Komisi Yudisial mungkin dapat menyusun strategi dan metode untuk melakukan riset putusan hakim atau melakukan investigasi perilaku hakim guna memperoleh basis data di atas, namun dengan keterbatasan lembaga Komisi Yudisial yang hanya ada di tingkat nasional, sementara lembaga-lembaga peradilan berada di setiap provinsi dan kabupaten dengan lebih dari 6000 orang hakim yang tersebar di lebih dari 300 kabupaten/kota,8 tentu mencari data di atas sangat sulit dicapai. Oleh sebab itu, kehadiran elemen masyarakat berbasis perguruan tinggi, LSM, dan ormas keagamaan akan dapat mendukung, mengefektifkan, dan memperkuat upaya di atas. Apalagi, hasil dari program perbaikan dunia peradilan pada akhirnya akan dan harus dirasakan secara luas dan nyata oleh seluruh masyarakat. Pembentukan jejaring berangkat dari berbagai permasalahan di atas dan pemikiran bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya penyimpangan peradilan yang muncul dalam bentuk maa peradilan- adalah kurangnya partisipasi publik dalam menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (di semua lingkungan dan jenjang pengadilan). Kesadaran terhadap pentingnya optimalisasi publik dalam menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bertolak dari dua pemikiran dasar, bahwa di satu sisi penyimpangan peradilan pada akhirnya akan menempatkan masyarakat sebagai korban dengan harga yang sangat mahal- sementara di sisi lain terwujudnya peradilan yang bersih dan berwibawa serta yang memungkinkan perlakuan yang sama bagi

Data terakhir yang dimiliki penulis adalah jumlah hakim sebanyak 6178 orang yang tersebar di 341 kabupaten/kota.

296

Bunga Rampai

semua pihak di muka hukum (equality before the law) juga menuntut adanya peran publik yang optimal. Pada saat ini, Komisi Yudisial telah berhasil membentuk jejaring di seluruh Indonesia yang pada saatnya akan merupakan elemen terdepan dalam melakukan kajian putusan hakim (untuk melihat kualitas) dan melakukan investigasi perilaku hakim (untuk melihat integritas) di seluruh Indonesia. Berdasarkan jaringan yang ada ini maka upaya yang dilakukan akan sistematis, tidak tumpang tindih, dan cukup lengkap. Berdasarkan telaah putusan hakim yang akan dijalankan, maka dapat dihasilkan analisis atas putusan-putusan yang baik yang dapat menjadi literatur penting dalam peningkatan kemampuan para hakim dalam menangani perkara. Selama ini, memang telah ada majalah yang berisi putusan pengadilan tetapi sangat deskriptif dan kurang analitis. Sementara itu ada juga majalah yang berisi analisis putusan tetapi karena dilahirkan bukan dari lembaga negara resmi maka kurang menjadi rujukan bagi para hakim. Pada kesempatan ini mungkin perlu disampaikan juga bahwa sampai saat ini telah dilakukan penyusunan nota kesepahaman dengan beberapa lembaga negara dan kalangan masyarakat yang berasal dari elemen Perguruan Tinggi, Organisasi Masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam hal ini penyusunan nota kesepahaman tersebut diawali dengan lokakarya pembentukan jejaring Komisi Yudisial di 7 regional, yaitu:9 1. 2. 3. 4. 5. 6. Medan (mencakup wilayah Aceh, Sumut, Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau) Palembang (mencakup wilayah Sumsel, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung) Malang (mencakup wilayah Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY Yogyakarta, dan Jatim) Mataram (mencakup wilayah NTB, NTT dan Bali) Pontianak (mencakup wilayah Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim) Kendari (mencakup wilayan Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulbar, Gorontalo, Sulut)

Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia tahun 2006

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

297

7.

Ambon (mencakup wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irjabar).

Dengan nota kesepahaman yang telah disepakati adalah: 1. 2. 3. 39 Fakultas Hukum PTN dan PTS. 11 Organisasi Masyarakat. 55 Lembaga Swadaya Masyarakat.

Adapun ruang lingkup kerjasama yang berhasil disepakati antara Komisi Yudisial dengan elemen-elemen tersebut di atas, antara lain meliputi bidang: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penelitian sesuai dengan tema/topik yang telah disepakati oleh kedua pihak. Penelitian putusan hakim di masing-masing daerah. Investigasi perilaku hakim di masing-masing daerah. Pembangunan jaringan advokasi masyarakat. Pertukaran informasi yang dilakukan atas dasar kesepakatan kedua pihak. Bidang-bidang lain yang dianggap perlu dan disepakati oleh masing-masing pihak.

Sedangkan hasil yang diharapkan dengan adanya jejaring dan program-programnya adalah: 1. Tersusun dan tersedianya data base hakim (baik dalam hal kualitas maupun integritas) yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi Komisi Yudisial pada saat melaksanakan: a. Seleksi calon hakim agung. b. Pengawasan perilaku hakim. c. Pemberian penghargaan bagi hakim yang berprestasi. Terintegrasinya gerakan antara negara dan kalangan masyarakat sipil yang mempunyai tujuan untuk melakukan reformasi peradilan dan pemberantasan maa peradilan. Teradvokasinya masyarakat pencari keadilan (terutama masyarakat korban) untuk dapat memperjuangkan hakhaknya.

2.

3.

Sebagai tindak lanjut dari disusunnya berbagai nota kesepahaman tersebut, Komisi Yudisial dengan jejaring dae-

298

Bunga Rampai

rah sampai saat ini telah melakukan berbagai acara untuk proses penyamaan persepsi dan penyamaan metodologi guna menyongsong berbagai program yang akan dan sekarang sedang dilaksanakan. Selain itu, sebagai bentuk penguatan kelembagaan yang lain, Komisi Yudisial juga telah melakukan penyusunan nota kesepahaman dengan beberapa lembaga negara yang wilayah tugasnya cukup terkait dengan tugas dan wewenang Komisi Yudisial. Penutup Pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), profesional, berwibawa, mampu menegakkan hukum serta dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Sebab hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut di ataslah yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai salah satu langkah untuk mewujudkan lembaga peradilan dan hakim seperti disebutkan di atas, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang diberi amanat oleh konstitusi
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

299

untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim menempatkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas negara dan masyarakat sipil yang mempunyai agenda melakukan reformasi peradilan dan pemberantasan maa peradilan. Hal tersebut selain dilandasi oleh kesadaran bahwa dua pekerjaan tersebut adalah bukan pekerjaan yang ringan, juga disebabkan pemahaman bahwa maa peradilan adalah merupakan musuh bersama yang telah memberikan dampak negatif yang luar biasa besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, gerakan bahu membahu secara sistematis dan berkesinambungan antar JEJARING dalam suatu JARINGAN kerja menjadi hal yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda lagi.

300

Bunga Rampai

Urgensi Pembuatan Database Hakim Sebagai Media Penunjang Pelaksanaan Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial
Ir. Andi Djalal Latief, MS. *

Pendahuluan Ditengah maraknya praktek maa peradilan di Bumi Pertiwi ini, lahirlah sebuah lembaga Negara baru yaitu Komisi Yudisial. Walau menuai pro dan kontra serta mendapatkan resistensi dari Mahkamah Agung (MA), tidaklah dapat dipungkiri bahwa lembaga ini ternyata memberikan secercah harapan bagi para pencari keadilan. Hal ini terbukti beberapa saat setelah anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden sebagai Kepala Negara, Komisi Yudisial sudah langsung menerima pengaduan dari masyarakat. Kandidat Pilkada kota Depok (Nur Mahmudi Ismail) adalah orang pertama yang datang untuk melaporkan buruknya kerja dan kinerja lembaga pengadilan. Untuk sampai pada pemahaman betapa pentingnya keberadaan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) beserta kewenangannya dalam struktur ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menjamin hak warga Negara, haruslah dipahami arti dari denisi Negara serta tujuan dibentuknya negara itu sendiri.

*
1

Penulis adalah Kepala Pusat Data dan Pelayanan Informasi Komisi Yudisial Republik Indonesia Prof. Drs. C.S.T Kansil, S.H., Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., Ilmu Negara, PT Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan kedua, 2004, hlm 9.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

301

Negara menurut pandangan Prof. Dr. J.H.A Logemann adalah: De Staats is een gezags organizatie (Negara ialah, suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan), sedangkan menurut Prof. R. Djokosutono, S.H. mengatakan: Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusiamanusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.1 Masih terdapat banyak denisi terhadap istilah Negara sehingga, menurut Hans Kelsen terkadang denisi Negara dibuat sangat sulit oleh aneka ragam objek yang biasa dinyatakan secara tegas oleh istilah negara itu sendiri. Istilah negara kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas untuk menunjuk masyarakat atau bentuk khusus dari masyarakat. Tetapi istilah itu pun sangat sering digunakan dalam pengertian yang sangat sempit untuk menunjuk suatu organ khusus masyarakat, misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, bangsa, atau wilayah yang mereka diami. Hal ini banyak disebabkan oleh fakta bahwa para penulis yang berbeda membahas masalahmasalah yang sangat berbeda di bawah satu nama yang sama dan bahkan penulis yang sama pun tanpa disadari menggunakan istilah yang sama dengan pengertian yang berbedabeda.2 Setelah sedikit diketahui apa yang dimaksud dengan istilah Negara maka selanjutnya dalam konteks pentingnya keberadaan Komisi Yudisial dalam sebuah negara hukum, maka haruslah pula dipahami tujuan dibentuknya sebuah Negara itu sendiri. Augustinus menyatakan, tujuan Negara adalah dihubungkan dengan cita-cita manusia hidup di alam kekal yaitu sesuai yang diinginkannya,3 sedangkan menurut Aristoteles negara yang ideal itu adalah negara yang memanusiakan manusia, dan itulah salah satu sebab mengapa negara sebagai persekutuan hidup menempati jenjang yang paling tinggi, karena negara mempunyai tugas yang paling mulia yaitu memanusiakan manusia. Oleh kodrat, negara

Hans Kelsen, alih bahasa-Drs. Somardi General Theory of Law and State, Bee Media Indonesia, Edisi revisi, 2007, hlm 225. Prof. Drs. C.S.T Kansil, S.H., Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., lmu Negara, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan kedua, 2004. hlm 36.

302

Bunga Rampai

ada dan terbentuk bukan sekedar agar manusia dapat hidup didalamnya, tetapi agar manusia itu benar-benar memanusia di dalam negara dan lewat hidup dan bernegara. Di dalam dan lewat hidup bernegara, manusia dimampukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin. Itu berarti bahwa di dalam negara manusia seyogyanya dapat mencapai tingkat kebajikan yang tertinggi. Keberhasilan manusia mencapai tingkat kebajikan tertinggi itu haruslah terlihat lewat moralitas yang terpuji, karena hanya moralitas yang demikian itulah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain, moralitaslah yang memberi kualitas khusus bagi manusia sehingga manusia itu adalah manusia yang tidak sama dengan makhluk yang lain. Manusia yang benar-benar bermoral dan yang berarti pula benar-benar berkualitas akan senantiasa siap sedia melakukan segala sesuatu yang terbaik dan mulia.4 Menjadi jelas bahwa apapun denisi dari negara itu, sebenarnya terbentuknya sebuah negara itu seharusnya dan seyogyanya adalah bertujuan untuk mensejahterakan rakyat atau manusia yang menjadi warga dari sebuah negara itu sendiri. Seperti kita ketahui bersama dan dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 adalah bahwa, Negara Indonesia berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Ini dapat berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum yang demokratis berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Lalu kemudian timbul pertanyaan apakah ciri-ciri dari cita Negara hukum Indonesia, menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M cita Negara hukum Indonesia adalah: 1) bahwa dalam Negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara popular dikatakan bahwa Negara hukum adalah Negara berdasarkan hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. 2) Ada prinsip-prinsip lain yang berkaitan dengan prinsip pokok di atas. Salah satu yang terpenting adalah

DR. J.H. Rapar, Th.D., Ph.D. Filsafat Politik Aristoles C.V. Rajawali, Jakarta, Cetakan Pertama, 1988, hlm 43.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

303

bahwa dalam Negara hukum semua orang sama di hadapan hukum. Dikatakan secara lain, berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial dan kekayaan.5 Dari pernyataan Prof. Mochtar Kusumaatmadja itu terlihat bahwa, penghayatan, pengamalan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Negara Indonesia haruslah menjamin hak asasi setiap warga negara melalui penyelenggara Negara dan lembaga negaranya. Kehadiran Komisi Yudisial di Bumi Pertiwi yang berfungsi sebagai lembaga checks and balances terhadap lembaga peradilan merupakan langkah tepat dalam rangka untuk menjamin terpenuhinya rasa keadilan bagi sebanyak-banyak warga negara. Terbentuknya Komisi Yudisial RI Perjalanan Bangsa Indonesia dimulai pada saat dikumandangkannya lagu Indonesia Raya serta berkibarnya Sang Saka Merah-Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 serta dengan disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI menjadi dasar Negara kita. Hari memang telah silih berganti sejak kemerdekaan, namun nampaknya bangsa ini belum juga beranjak dewasa dan menyadari arti dari kata merdeka itu sendiri. Masih ada di antara kita yang secara sadar telah melakukan penjajahan dalam bentuk yang lebih hina jual-beli putusan dan mengingkari hak sesama anak bangsa. Hukum sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara yang mendasari UUD 1945 telah mereka abaikan demi kepentingannya sendiri. Terungkapnya kasus-kasus penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh hakim serta pejabat peradilan lain yang banyak dipublikasikan oleh berbagai media massa seolah menjadi cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim serta pegawai lembaga peradilan. Keadaan

Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT Alumni, Cetakan kedua, 2006, Bandung, hlm 180.

304

Bunga Rampai

ini tidak saja terjadi di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah terjadi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi. Oleh karena itu, pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Keadaan ini membuat masyarakat pencari keadilan memandang bahwa lembaga peradilan sebagai suatu sistem dianggap sudah tidak bersih dan kurang berwibawa. Keadaan ini membuat masyarakat pencari keadilan menjadi patah arang dan bosan menggantungkan harapannya kepada pemerintah dan lembaga peradilan. Perlahan namun pasti keinginan untuk melakukan perubahan semakin memuncak. Akhirnya pada tahun 1998 setelah sekian lama bungkam, rakyat bicara. Reformasi total, itu tuntutan mereka. Akhirnya karena desakan yang begitu kuat Orde Baru yang menjalankan roda pemerintahan saat itu pun tumbang. Jika diperhatikan salah satu kesalahan pemerintahan Orde Baru saat itu adalah dengan ditabukan dan disakralkannya UUD 1945 untuk dirubah, seolah-olah UUD 1945 adalah sebuah karya agung tanpa kelemahan. Dengan sifat UUD 1945 yang supel, singkat dan eksibel memang membuatnya mudah mengikuti perkembangan jaman, akan tetapi hal ini juga membuat UUD 1945 dapat diinterpretasikan dan diimplementasikan ke dalam berbagai struktur politikpemerintahan yang berbeda-beda: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin serta Demokrasi Pancasila. Kenyataan ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang amat mendasar terhadap UUD 1945, apakah ada kepastian hukum dari UUD seperti itu? Apalagi bila pertanyaan itu dikaitkan dengan pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, yang dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 itu sendiri. Kelemahan ini dapat terlihat dengan singkatnya UUD

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

305

1945 (hanya terdiri dari 37 pasal, 4 Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan) dan menurut penjelasan resminya, UUD memang hanya dimaksudkan untuk mengatur hal yang pokok-pokok saja dan hanya berlaku sementara. Keadaan ini tergambarkan pula ketika Ir. Soekarno sebagai Ketua PPKI memberikan kata sambutannya, pada saat pengesahan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa UUD yang kita buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah UUD kilat! Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa UUD ini adalah UUD Sementara, UUD Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat UUD yang lebih sempurna dan lengkap.6

Terlihat jelas dalam rumusan itu bahwa sejak awal memang para penyusun UUD 1945 sudah menyadari bahwa UUD yang mereka buat secara kilat itu (hanya dalam tempo dua hari) belumlah sempurna dan harus diperbaiki. Kurang sempurnanya UUD 1945 ini sebenarnya juga dikuatkan dalam rumusan Aturan tambahan UUD 1945 itu sendiri yang berbunyi: Enam bulan sesudah berakhirnya perang Asia Timur Raya, MPR harus dibentuk, dan enam bulan sesudah dibentuk, MPR harus bersidang untuk menetapkan UUD baru.7 Kelemahan yang terdapat pada UUD 1945 ini dikatakan oleh Adnan Buyung Nasution sebagai loop hole. Beliau mengemukakan beberapa alasan, yaitu: Pertama, di dalam rumusannya, tidak memberikan tempat bagi keberadaan infrastruktur demokrasi (seperti partai politik, kelompok kepentingan dan penekan) Kedua, memberikan porsi kekuasaan yang begitu besar kepada presiden. Akibatnya, sekalipun di dalam penjelasan

Dr, Iur, Adnan Buyung Nasution. S.H., Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Buku I, Tata Negara, Kata Hasta Pustaka, Jakarta. UUD 1945

306

Bunga Rampai

UUD 1945 dikatakan bahwa pemerintahan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) dan negara Indonesia tidak berdasar kekuasaan belaka; namun dengan begitu besarnya kekuasaan Lembaga Kepresidenan, niscaya sangat sulit tercipta balance of power apalagi checks and balances diantara cabang-cabang pemerintahan. Inilah karakteristik penting lainnya dari UUD 1945, yakni memusatkan kekuasaan di tangan presiden (concentration of power upon the president) sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Ketiga, begitu banyak loop holes yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945. Ini terlihat dari rumusan yang berbunyi: ditetapkan dengan UU di akhir sejumlah pasal UUD 1945. Dalam kondisi kekuasaan Lembaga Kepresidenan yang begitu besar, rumusan seperti ini memungkinkan dominasi eksekutif dalam pembentukan dan pelaksanaan UU.8 Namun pada kenyataannya UUD 1945 dalam keadaan seperti inilah yang dipertahankan oleh pemerintahan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya. Sebenarnya setelah terjadinya revolusi oleh mahasiswa pada tahun 1998 yang mengakibatkan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, arah menuju perbaikan struktur ketatanegaraan Indonesia sudah mulai tampak dengan diperbaikinya UUD 1945 melalui empat tahapan amandemen. Seiring dengan itu untuk memberantas maa peradilan dan menjamin terpenuhinya hak rakyat dan agar beberapa kesalahan para pemimpin terdahulu tidak terulang, maka para pemimpin negeri ini berusaha melakukan perbaikan dengan melakukan perubahan terhadap beberapa UndangUndang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti: UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum serta UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Melalui UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman diterapkanlah sistem satu atap (one roof system) pada dunia

Dr, Iur, Adnan Buyung Nasution. S.H., Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Buku I, Tata Negara, Kata Hasta Pustaka, Jakarta.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

307

peradilan. Kewenangan manajemen administrasi, personalia dan keuangan yang tadinya dipegang oleh eksekutif melalui Menteri Hukum dan HAM diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun penerapan sistem satu atap sebagai salah satu upaya menciptakan independensi pengadilan dan imparsial hakim agar terhindar dari campur tangan penguasa tidak mengurangi ruang gerak maa peradilan serta tidak juga dapat meningkatkan integritas moral serta profesionalitas hakim. Malah memperparah, karena dunia pengadilan kita menjadi tidak dapat tersentuh oleh lembaga lain. Sehingga pada tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid, untuk membentuk lembaga mandiri sebagai pengawas eksternal terhadap lembaga pengadilan, agar cita-cita untuk mewujudkan pengadilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai. Oleh karena itu, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandeman ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya dibentuk Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkah di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Hukum, Keadilan serta Hakim Banyak sarjana yang mencoba untuk mendenisikan apa itu hukum dan mungkin denisi hukum itu sebanyak para pemikirnya, namun ada baiknya disimak pendapat Prof Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., tentang hukum, jika dikaitkan dengan pendapat masyarakat. Beliau berpendapat: 1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran, 2) Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi, 3) Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap

308

Bunga Rampai

tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan,9 dll. Sedangkan Hans Kelsen berpendapat, hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. Tata Perbuatan mengandung arti suatu sistem aturan. Namun hukum bukan satu peraturan semata, seperti kadang-kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat peraturan yang harus kita pahami dalam satu kesatuan yang sistemik. Tidak mungkin untuk memahami hakikat hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu tata hukum perlu dimaknai agar hakikat hukum dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat dipahami dengan sempurna.10 Sementara itu kata keadilan berasal dari kata adil yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: sama berat, tidak berat sebelah atau tidak memihak.11 Kedua kata itu, hukum dan keadilan tidak dapat dicampur-adukan jadi satu dengan yang lainnya, keduanya haruslah dilihat dari sudut ilmiah, karena bila kedua kata itu dicampur-adukan maka ia akan menjadi suatu kecenderungan ideologi serta politik, sehingga hukum itu akan tampak adil namun hanyalah bagi golongan tertentu saja. Namun demikian kedua kata itu juga tidak dapat dipisahkan karena hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep keadilan itu sendiri. Memang tidaklah mungkin menjadikan suatu tata aturan tertentu menjadi adil dan membahagiakan bagi semua pihak, apalagi di Indonesia yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa, budaya, agama, latar belakang pendidikan dsb. Dapat kita ambil contoh masyarakat pedalaman Papua, disana mereka akan menjadi amat bahagia bila dijebloskan ke penjara, hal ini terjadi karena dengan dijebloskan ke penjara, mereka akan merasakan tempat tinggal

10

11

Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Prof. Purnadi Purbacaraka,Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, S.H., PT Citra Aditya Bakti, cetakan VI, 1993, hlm 2. Hans Kelsen, alih bahasa-Drs. Somardi General Theory of Law and State, Bee Media Indonesia, Edisi revisi, 2007, hlm. 3. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua, Balai Pustaka, 2002, hlm 8.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

309

yang lebih layak dari pada tempat tinggalnya, dan mereka pun tidak perlu bersusah payah untuk mencari makan. Bagi penduduk pedalaman Papua akan lebih menyakitkan bila mereka diharuskan mengganti kerugian akibat perbuatannya dengan seekor babi. Seekor babi pada pedalaman Papua amatlah tinggi nilai ekonomisnya. Menjadi bertolak belakang bila penjeblosan ke penjara ini diterapkan pada masyarakat kota besar, yang beranggapan bahwa penjeblosan ke dalam penjara adalah bentuk perampasan hak asasi manusia yang dibenarkan oleh Undang-Undang. Demikian pula dengan delik pembunuhan, tidak akan mungkin semua pembunuh dihukum dengan hukuman yang sama, karena pembunuhan sebagai suatu tindakan penghilangan nyawa orang lain itu amat dipengaruhi sebuah peristiwa yang melatar-belakanginya. Seorang yang merampok dan membunuh karena harus membayar biaya rumah sakit anaknya, tidak sama dengan seorang yang merampok dan membunuh hanya untuk kesenangan belaka. Jadi, setiap manusia atau pencari keadilan akan mempunyai nilai sendiri tentang keadilan dan kebahagiaan. Nilai keadilan itu amat bergantung pada latar belakang diri masing-masing pencari keadilan. Oleh karena itu berkenaan dengan tugas hakim untuk menerapkan hukum secara benar serta memberikan keadilan yang sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya individu, maka seorang hakim dituntut untuk memiliki pengetahuan luas, sehingga ia dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), serta penciptaan hukum (rechtsschepping) bila tidak terdapat peraturan perundangan-undang terhadap setiap perkara yang sedang ditanganinya. Selain itu seorang hakim juga harus memiliki integritas moral yang baik, sehingga ia dapat memberikan keadilan yang sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya pencari keadilan berdasarkan hati nuraninya. Jadi jelaslah bahwa jabatan hakim tidak dapat dipisahkan dari konsep hukum dan keadilan, karena pada jabatan hakim melekat status sebagai seorang penegak hukum dan pemberi keadilan di dunia. Oleh karenanya hakim dikatakan sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Dalam kaitan itu ada baiknya pula dicermati pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. tentang jabatan hakim,

310

Bunga Rampai

hakim melaksanakan tugas bukan lagi sebagai individu, tetapi sebagai institusi. Karena itu hakim selayaknya bukan pegawai negeri. Pegawai negeri adalah pelayan sedangkan hakim itu bukan pelayan tetapi jabatan kehormatan, maka orang yang diangkat menjadi hakim adalah paling terhormat, bukan orang mencari kerja. Sehingga seharusnya hakim tidak direkrut dengan proses seperti penerimaan pegawai negeri. Yang menjadi hakim bukanlah orang yang mencaricari kerja. Yang dapat diangkat menjadi hakim adalah orang yang memiliki kehormatan, pengetahuan, dan pengalaman seperti orang yang sudah menjadi dosen atau advokat terkenal yang bekerja sungguh-sungguh dengan segala kehormatan jabatan ini. Dan oleh karena itu gajinya lebih tinggi dari eksekutif dan legislatif.12 Dari pendapat Prof. Jimly tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bila terdapat hakim yang melakukan penyimpangan terhadap hukum dan rasa keadilan maka terdapat dua kemungkinan yang mendasarinya, yaitu: 1) Kurangnya pengetahuan hakim yang bersangkutan, dan 2) Belum memuaskannya tingkat kesejahteraan hakim yang bersangkutan. Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial Dalam UUD 1945 dengan jelas dinyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa wewenang Komisi Yudisial ada dua, yaitu pertama: Mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan yang kedua: Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Agar Komisi Yudisial dapat menjalankan tugasnya maka disusunlah dengan rinci wewenang dan tugas Komisi Yudisial, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang disahkan di Ja-

12

Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The 13 Biography Institute, Cetakan Pertama, 2007, Bekasi, hlm, 85.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

311

karta pada tanggal 13 Agustus 2004 oleh Presiden Republik Indonesia serta dicatatkan pada lembaran negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 89 dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 4415. Berdasarkan pasal 20 dan pasal 23 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial maka kewenangan Komisi Yudisial meliputi: Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR RI; Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.13 Dalam kaitan dengan mengusulkan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial mempunyai tugas: Melakukan pendaftaran calon hakim agung; Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; Menetapkan calon hakim agung; Mengajukan calon hakim agung kepada DPR. Seleksi yang dimaksudkan disini adalah seleksi administratif, seleksi kualitas dan kepribadian. Seleksi administratif menyangkut kelengkapan persyaratan administrasi, sekurang-kurangnya: daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan; ijazah asli atau yang telah dilegalisir; surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah; daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan; dan Nomor Pokok Wajib Pajak. Sedangkan seleksi kualitas dan kepribadian menyangkut penilaian karya 2 tahun terakhir, karya ilmiah dan legal case problem solving yang topiknya ditentukan oleh Komisi Yudisial, serta pemeriksaan kesehatan untuk melihat keadaan kesehatan yang dapat menghambat atau meniadakan kemampuan (disability) dalam menjalankan tugas sebagai Hakim Agung. Dalam kaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim; Mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung. Pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku hakim, diwujudkan dalam bentuk: penerimaan laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim; permintaan laporan secara

13

Undang-Undang No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

312

Bunga Rampai

berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; pemanggilan dan permintaan keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; pembuatan laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi disampaikan kepada Mahkamah Agung, dan tindasannya kepada Presiden dan DPR. Sedangkan Usul Penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada Mahkamah Agung disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, dapat berupa: Teguran tertulis; Pemberhentian sementara; dan Pemberhentian. Disamping upaya pengawasan yang dikemukakan di atas yang lebih merupakan upaya represif, Komisi Yudisial juga diharapkan dapat melakukan upaya preventif agar tidak terjadi penyimpangan perilaku hakim dengan mengusulkan pemberian penghargaan bagi hakim berprestasi kepada Mahkamah Agung. Pemberian penghargaan maupun sanksi dimaksudkan untuk memotivasi hakim agar mempunyai kinerja lebih baik serta mampu menjaga kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya, sehingga rasa keadilan yang didambakan masyarakat dapat lebih terpenuhi. Disinilah pentingnya dukungan data base hakim yang akurat, agar Komisi Yudisial dapat melakukan pemetaan terhadap hakim, sehingga dapat diketahui secara pasti tingkat pengetahuan (skill) dan profesionalitas serta integritas dari setiap hakim. Dengan demikian Komisi Yudisial dapat memberikan dukungan untuk melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan pengetahuan, profesionalitas dan integritas hakim serta pengajuan usul pemberian penghargaan terhadap hakim berprestasi. Disamping itu, juga sangat bermanfaat dalam melakukan seleksi calon hakim agung. Database Hakim sebagai Elemen Pendukung Penting Dalam rangka melaksanakan tugas serta wewenang yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang penjabarannya di dalam UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, lembaga Negara ini perlu didukung oleh database hakim yang dapat menyajikan informasi secara cepat dan akurat. Tidak hanya untuk kepentingan melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan pengetahuan, profesionalitas dan integritas hakim serta pengajuan usul pemberian penghargaan atau promosi terhadap hakim berprestasi saja. tetapi juga untuk mePenguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

313

lihat rekam jejak hakim dalam rangka seleksi calon hakim agung. Dari database inilah akan mudah kita telusuri hakimhakim mana yang layak berdasarkan kemampuan pengetahuan (skill), profesionalitas dan integritas, dari rekam jejak (track record) yang ada pada dirinya. Hakim-hakim yang memiliki track record baik, menjadi program komisi ini untuk mempromosikan hakim tersebut. Oleh karena itu, penentuan data item yang membentuk database rekam jejak hakim harus dibuat memenuhi kebutuhan di atas. Data base hakim yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan wewenang dan tugas Komisi Yudisial, minimal dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu: Data primer mengenai pribadi hakim; Data Keluarga; Data Kekayaan; Informasi tentang aktivitas hakim dan keluarga; Data dan informasi mengenai integritas, skill dan profesionalitas. Data primer mengenai pribadi hakim Adalah data dan informasi yang ada hubungan langsung dengan diri hakim tersebut, baik mengenai jati dirinya maupun yang terkait dengan data kedinasan hakim, seperti biodata, riwayat pendidikan dan pekerjaan kedinasannya. Data Keluarga Adalah data dan informasi yang ada kaitannya dengan keluarga hakim, untuk menggambarkan keadaan hakim secara utuh sangat diperlukan. Sesuai dengan pepatah, bahwa untuk melihat perilaku seseorang maka dapat dilihat bagaimana ia berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu informasi tentang keluarga ini sangat penting untuk melihat kondisi sesungguhnya dari kehidupan keluarga hakim yang bersangkutan. Dalam hal ini keluarga memegang peranan penting untuk membentuk karakter jiwa maupun perilaku termasuk pribadi hakim. Data dan informasi tersebut meliputi suami atau isteri, anak, pekerjaan isteri atau suami, pekerjaan anak, dan data serta informasi lainnya yang terkait isteri atau suami dan anak. Data Kekayaan Adalah data kekayaan hakim ditujukan untuk mengetahui besaran kekayaan yang dimiliki oleh hakim yang

314

Bunga Rampai

bersangkutan. Adagium bahwa kekayaan seseorang dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) dari orang tersebut agaknya sangat melekat dalam budaya hidup di Indonesia. Unjuk kekayaan menjadi sebuah gaya hidup tersendiri untuk memperlihatkan gengsi seseorang, meskipun terkadang kekayaan tersebut didapat dengan cara yang tidak halal. Namun demikian, acap kali orang tersebut lupa akan kewajiban sebagai warga negara dalam mengelola kekayaan yang dimilikinya. Ketidaktaatan dalam membayar pajak merupakan cermin kelalaian dari warganegara untuk menyumbangkan kekayaannya bagi pembangunan bangsa. Data atau informasi yang perlu direkam dalam hal ini adalah terkait dengan harta hakim, untuk mengetahui bagaimana kekayaan dan sumber-sumber kekayaan yang dimiliki oleh hakim. Bila hakim memiliki kekayaan yang besar, maka perlu diketahui darimana dan dengan cara bagaimana kekayaan tersebut diperoleh? Selain itu, apakah Hakim juga memiliki kesadaran/ ketaatan untuk membayar pajak dari kekayaan yang dimilikinya? Informasi tentang aktivitas hakim dan keluarga Adalah informasi mengenai aktivitas di luar kedinasan yang biasa dilakukan oleh hakim dan keluarganya baik yang positif maupun yang negatif. Dengan memiliki informasi aktitas ini setidaknya dapat diperoleh gambaran mengenai perilaku yang bersangkutan dan keluarganya (orang tua, istri mapun anak). Kebiasaan keluarga ini ada kemungkinan mempunyai kaitan dengan pembentukan sifat dan karakter hakim tersebut. Hal ini secara tidak langsung dapat mencerminkan integritas yang dimiliki oleh Hakim. Data atau informasi yang perlu direkam dalam database antara lain meliputi: kebiasaan yang sering dilakukan oleh hakim maupun keluarga (orang tua, istri, anak) kesenangan terhadap mahluk hidup atau benda-benda tertentu gaya hidup hakim atau keluarga kedekatan (aliasi) dan bentuk keterlibatannya pada sebuah organisasi politik tertentu, jika ada jaringan bisnis dan keterlibatan hakim dalam jaringan bisnis tersebut
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

315

Data dan informasi mengenai integritas, skill dan profesionalitas Kualitas dan integritas (moral) adalah materi paling penting untuk menilai bagaimana pribadi seorang hakim. Kualitas berhubungan dengan kemampuan (capability) teknis yudisial maupun manajerial hakim tersebut dalam menangani persoalan, khususnya perkara hukum. Sedangkan integritas berkaitan dengan erat dengan karakter kejiwaan (perilaku) yang diterjemahkan dalam perilaku hidup sehari-hari. Keduanya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dan menjadi prasyarat utama yang harus dimiliki oleh hakim. Kualitas tanpa integritas bisa membuahkan kerusakan, sedangkan integritas tanpa kualitas tidak akan terlalu banyak memberi perubahan dalam memperbaiki kondisi lingkungan (peradilan). Untuk mengukur tingkat kualitas dan integritas seseorang bukan hal yang mudah. Meski demikian keduanya bukan sesuatu yang tidak dapat dinilai. Bila kualitas berkenaan dengan masalah kemampuan, khususnya dalam penanganan perkara hukum, maka salah satunya bisa dilihat dari pengalaman dari hakim pada saat menangani perkara. Sedangkan untuk menilai bagaimana integritas hakim, kurang lebih alat (instrument) untuk menilainya adalah apakah hakim pernah terlibat kasus (skandal) yang melanggar norma baik norma hukum maupun kesusilaan? Selain persoalan kualitas dan integritas, informasi penting lain yang perlu di dapat dari seorang hakim adalah mengenai profesionalitasnya selama menjalankan pekerjaan di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Profesionalitas hakim tidak hanya diukur pada saat hakim mengemban pekerjaannya di dalam kedinasan, melainkan juga dilihat bagaimana hakim pada saat di luar kedinasan. Prinsipnya, hakim yang profesional senantiasa taat azas baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Data atau informasi yang perlu direkam dalam data base rekam jejak hakim terkait dengan hal di atas, antara lain meliputi: informasi mengenai pernah tidaknya hakim terlibat sebuah kasus (hukum maupun kesusilaan); Informasi lain yang berkaitan dengan hakim, baik yang bersumber dari media maupun dari lingkungan kerja mengenai sepak terjang si hakim; pengalaman hakim terhadap penanganan

316

Bunga Rampai

kasus; hasil karya ilmiah yang pernah dihasilkan; prestasi kerja atau penghargaan yang pernah diperoleh; kepatuhan hakim dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya di dalam pembuatan putusan; kehadiran hakim di kantor; disiplin dalam sidang (apakah hakim tersebut tepat waktu dalam melaksanakan sidang atau sebaliknya, hakim lebih sering mengulur-ulur jadwal sidang?); kebiasaan hakim dalam memanfaatkan barang-barang inventarisasi kantor (misalnya apakah kendaraan dinas/jabatan sering digunakan untuk keperluan di luar kantor: arisan, belanja, jalan-jalan, dsb). Urgensi pembangunan Database (rekam jejak) hakim Kebutuhan akan database ini sangat penting sifatnya, karena dengan tersedianya database hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan pemetaan terhadap hakim, dalam hal tingkat pengetahuan (skill) dan profesionalitas serta integritas moral dari setiap hakim. Dengan terbangunnya database hakim ini, Komisi Yudisial dapat dengan secara akurat menentukan bentuk dukungan yang perlu diberikan kepada hakim untuk melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan pengetahuan, profesionalitas dan integritas hakim. Bentuk dukungan yang bisa diberikan dapat berupa pelatihan, buku bacaan, pengajuan usul pemberian penghargaan terhadap hakim berprestasi dan lain sebagainya, guna meningkatkan kualitas atau pengetahuan, profesionalisme dan integritas hakim. Selain itu, database ini juga dapat menjadi sumber informasi rekam jejak hakim yang sangat bermanfaat di dalam mendukung pelaksanaan kewenangan dan tugas-tugas Komisi Yudisial yaitu, melakukan seleksi calon hakim agung dan pengawasan terhadap hakim guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Penutup Akhir kata ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan pembangunan database (rekam jejak) hakim. Pertama, penentuan data item perlu dilakukan dengan sangat cermat, agar data atau informasi yang disimpan dalam database tersebut, memang merupakan data atau
Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

317

informasi yang penting dan diperlukan di dalam mendukung pelaksanaan kewenangan dan tugas Komisi Yudisial. Kedua, data dan/atau informasi yang simpan di dalam database harus betul-betul diperhatikan tingkat akurasinya, agar informasi yang disajikan terpercaya. Ketiga, keamanan data dan informasi yang tersimpan dalam database merupakan hal yang sangat penting diperhatikan, agar data atau informasi hanya dapat diakses oleh orang yang berhak, sesuai dengan tingkat kewenangannya. Pengamanan yang diterapkan tidak hanya di level aplikasi atau perangkat lunak dan jaringannya, tetapi juga pengaman secara sik perlu diperhatikan. Dengan demikian data atau informasi yang tersimpan dapat dijamin akurasi dan integritasnya.

318

Bunga Rampai

Redaksi
Penanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M. Si. Redaktur : Hermansyah, S.H. Editor/Penyunting : 1. H. M. Saiful Rachman, S.H. 2. Amir Syarifudin, S.H. 3. H. Achmad Dardiri, S.H. 4. Arnoldus Johannis Day, S.H. 5. Asep Rachmat Fajar, S.H. 6. Drs. Danardono, S.E., M. Si. 7. Ir. Andi Djalal Latief, M.S. 8. Drs. Eddy Hary Susanto, Ak 9. H. M. Abdy Koro, S.H., M.H., M.M. Redaktur Pelaksana : M. Hasyim, S.E., S. IP. Wakil Redaksi Pelaksana : Tatang Suryaman Sekretariat : 1. Arnis Duwita Purnama, S. Kom. 2. Niniek Ariyani, S.H. 3. Berthine Sumarah Sudiono, S.H. 4. Frida Aprilia, S. Kom 5. Hendro Sukmono, S.H. 6. Anna Suhanah 7. Romlah Pelupessy, S.E. 8. Arif Budiman, S. Sos 9. Sulasman, Ak.

Penguatan Kelembagaan Komisi Yudisial

319

320

Bunga Rampai

You might also like