You are on page 1of 15

MAKALAH PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN IMPLEMENTASI PROGRAM MUTU

Disusun Oleh: Sinta Dwi Condroputri PN/11855

JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

I. PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi program mutu

II. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Implementasi Kebijaksanaan Anderson (1979) mendefinisikan kebijaksanaan dalam pengertian yang sangat luas sebagai the relationship of goverment unit to its environment. Selanjutnya Anderson menunjukkan komponen-komponen yang ada dalam kebijaksanaan publik: 1). Kebijaksanaan Publik adalah kebijaksanaan yang dikembangkan oleh pejabat atau pun badan-badan pemerintah; 2). Tuntutan kebijaksanaan adalah tuntutan yang ditujukan kepada para pejabat publik oleh aktor-aktor lainnya untuk melakukan sesuatu yang didasarkan atas masalah; 3). Keputusan Kebijaksanaan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan memberikan isi pada tindakan kebijaksanaan publik. 4). Pernyataan Kebijaksanaan adalah pernyataan atau artikulasi kebijaksanaan publik secara resmi. 5). Hasil Kebijaksanaan yaitu manifestasi kebijaksanaan publik yang nampak secara nyata. 6). Dampak Kebijaksanaan adalah konskuensi yang timbul pada masyarakat baik disengaja maupun tidak yang diakibatkan oleh tindakan yang dilakukan pemerintah.

Anderson mencoba memilahkan tahap-tahap kebijaksanaan ke dalam 6 tahap : 1. Problem formulation : Apa yang menjadi masalah publik? Apa yang membuat hal itu menjadi masalah publik? Bagaimana masalah itu dapat menjadi agenda pemerintah? 2. Selektion Bagaimana alternatif-alternatif yang berkaitan dengan masalah dapat dikembangkan? Siapa yang terlibat di dalam perumusan kebijaksanaan? 3. Adaptation : Bagaimana alternatif kebijaksanaan diadopsi? Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi? Siapa yang mengadopsi kebijaksanaan? Proses apa yang akan digunakan? Apa isi dari kebijaksanaan yang diadopsi 4. Implementation: Siapa saja yang terlibat? Apa yang dilakukan, agar kebijaksanaan memiliki efek? Dampak apa yang diakibatkan oleh isi kebijaksanaan? 5. Evaluation : Bagaimana efektifitas dan dampak dari kebijaksanaan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijaksanaan ? Adakah tuntutan baru yang akan merubah kebijaksanaan? (Samodra Wibawa,1992,hal. 10-12).

Kebijaksanaan publik secara epistemologis berasal dari istilah policy yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kebijaksanaan yang berasal dari bahasa Yunani kuno. Dengan istilah Polios yang dapat diartikan sebagai negara kota, dengan istilah (negara) yang apabila kembali diartikan pada bahasa Inggris berarti pengendalian masalah-masalah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan kebijaksanaan negara adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada suatu tujuan tertentu demi kepentingan publik. Dengan demikian pengertian kebijaksanaan negara seperti di atas, maka suatu kebijaksanaan belum cukup untuk dapat dioperasionalkan, karena dalam suatu kebijaksanaan belum disebutkan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas maka kebijaksanaan diterjemahkan lagi kedalam bentuk program. Seperti yang diungkapkan oleh Wahab, bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan publik pada umumnya masih merupakan pernyataan-pernyataan umum yang berisikan tujuan, sasaran dan berbagai sarana, diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih operasional yang dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran yang telah dinyatakan dalam kebijaksanaan. Tujuan dari program-program adalah untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam lingkungan tertentu yaitu suatu perubahan yang diperhitungkan sebagai hasil akhir dari program (Wahab, 1990,hal.124). PBB mengartikan program sebagai suatu bentuk kegiatan sosial yang teroganisir dengan tujuan yang spesifik, terbatas pada ruang dan waktu. Program biasanya terdiri dari suatu kelompok proyek-proyek yang terhubungkan dari satu atau lebih organisasi pelaksana

dan kegiatan-kegiatan (Tjokroamidjojo,1977,hal.178). Walaupun suatu program sudah direncanakan dengan bagus, tetapi belum akan terwujud sebelum adanya proses implementasi dari program yang bersangkutan. Seperti dinyatakan oleh Muhajir dan Djarot (1993), bahwa suatu kebijakan publik diadakan untuk memecahkan masalah publik tertentu. Kebijakan yang sudah diputuskan perlu dilaksanakan agar dapat memberikan akibat tertentu pada masyarakat. Proses yang kemudian berlangsung adalah proses implementasi kebijakan. Proses ini dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelaksana, utamanya birokrasi pemerintah. Dalam proses implementasi ini berlangsung upaya-upaya pendayagunaan risorsis, interpretasi terhadap keputusan kebijakan, manajeman program dan penyediaan layanan kepada sasaran kebijakan. Proses ini menghasilkan program, proyek atau langkah-langkah nyata dari aparat pelaksana. Tindakan-tindakan nyata inilah yang kemudian menimbulkan dampak tertentu pada masyarakat. Tetapi dapat terjadi suatu kebijakan menimbulkan dampak negatif tertentu dalam masyarakat yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh para pengambil kebijakan. Implementasi kebijakan, jika dilakukan secara tidak efektif, dapat pula gagal menciptakan perubahan yang signifikan dalam masyarakat (Muhajir Darwin dan Djarot,1993,hal.47). Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan dikatakan oleh Udoji bahwa pelaksanaan kebijaksanaan adalah suatu yang penting dalam pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kecuali kalau diimplementasikan (Udoji, dalam Abdul Wahab,1990,hal.45). Pembangunan yang bertujuan mengatasi berbagai kemiskinan, keterbelakangan dan sebagainya untuk mencapainya perlu kegiatan-kegiatan pembangunan yang dituangkan dalam program-program. Untuk mewujudkan program atau proyek secara nyata perlu adanya pelaksanaan. Maka dapat dikatakan pelaksanaan atau implementasi program atau proyek merupakan usaha mendasar dalam pembangunan. Program-program dipandang sebagai sebuah proses kebijaksanaan pemerintah yang ditetapkan, dilaksanakan dan dievaluasi sebagai sebuah proses kebijaksanaan pemerintah, yang dilaksanakan melalui tahap-tahap; problem identification, formulation, legitimation, implementation dan evaluation. Seperti pendefinisian implementasi menurut Ewards: implementasi merupakan salah satu tahap dari keseluruhan proses kebijaksanaan publik, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi, dan implementasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan kebijaksanaan yang membawa konsekuensi langsung pada masyarakat yang terkena kebijaksanaan (Ewards,1980,hal.10) Menurut Grindle (1980) implementasi dipandang sebagai kaitan antara tujuan kebijaksanaan dan hasil-hasil kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, implementasi kebijaksanaan membutuhkan adanya sistem pelaksanaan kebijaksanaan dimana perangkat khusus didesain dengan maksud untuk mencapai tujuan akhir, atau dengan kata lain implementasi dipandang sebagai proses politik dan administrasi.

III. PROSES IMPLEMENTASI

Pengukuran keberhasilan Sumber: (Sabatier dan Mazmanian (1986), dalam Samodra Wibawa, 1992,hal.39) dijelaskan sebagai berikut: Proses implementasi kebijaksanaan dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaransasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut (Grindle,1980,hal.7). Untuk mencapai tujuan akhir. Perlu adanya sistem pelaksanaan yang mencakup dua aspek yang harus diperhatikan dalam kegiatan implementasi kebijaksanaan yaitu isi kebijaksanaan dan konteks kebijaksanaan. Isi kebijaksanaan meliputi elemen-elemen : 1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, 2) Tipe-tipe manfaat, 3) Derajad perubahan yang diharapkan, 4) Kedudukan pembuat keputusan, 5) Pelaksanaan program, 6) Sumber daya yang dilibatkan. Implementasi kebijaksanaan akan terlihat dari kuantitas kepentingan yang terlibat. Semakin banyak kepentingan yang dipengaruhi akan semakin banyak kemungkinan muncul konflik kepentingan, yang akan menghambat implementasi program. Kebijaksanaan yang secara jelas memberikan manfaat yang mewujudkan akan lebih mudah diimplementasikan. Program-program yang menyediakan manfaat-manfaat kolektif yang dapat membangkitkan tuntutan-tuntutan bersama akan lebih mudah diimplementasikan karena tidak akan terjadi banyak konflik karena manfaat yang didapat dari program yang bersifat partikularistik, yang akan menimbulkan persaingan untuk mendapatkan manfaat program sehingga mempersulit implementasi. Perbedaan-perbedaan yang menyangkut perubahan perilaku yang dikehendaki pada pihak yang menerima manfaat dari program tertentu adalah bentuk lain bagaimana isi kebijaksanaan mempengaruhi implementasi kebijaksanaan. Program yang tidak menuntut banyak perubahan perilaku akan lebih mudah diimplementasikan. Isi kebijaksanaan kerapkali menentukan posisi implementasinya. Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun organisatoris, maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program, karena semakin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputuan yang terlibat didalamnya. Yang berperan didalam proses implementasi adalah identifikasi variabelvariabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan legal dalam keseluruhan proses implementasi

Variabel-variabel tersebut dibagi dalam tiga kategori utama : (1) Traktabilitas permasalahan (mudah tidaknya diselesaikan) (2) Kemampuan undang-undang untuk menstruktur proses implementasi dengan memuaskan (3) Variabel non peraturan yang mempengaruhi implementasi.

Pembicaraan tentang variabel-variabel yang mempengaruhi proses implementasi harus dipandang dalam beberapa fase, yaitu (1) Hasil keputusan kebijaksanaan agen-agen pelaksana (2) Dukungan kelompok-kelompok target terhadap keputusan-keputusan agen (3) Dampak yang dirasakan dari keputusan-keputusan itu (4) Dampak yang diperkirakan (5) Evaluasi sistem politik terhadap suatu undang-undang dalam arti perbaikan perbaikan terhadap isinya. Pembicaraan berbagai aspek dari proses implementasi di atas secara bersama-sama dan menggambarkannya sebagai proses dinamis, akan dihadapkan pada kesulitan dengan adanya sedikit variabel yang terlibat berlangsung di seluruh proses. Misalnya, banyaknya perubahan yang diharapkan orang untuk dapat dilakukan di dalam suatu populasi target akan mempengaruhi ketetapan yang diperlukan dalam mengartikan arah kebijaksanaan, kelayakan teori kebijaksanaan yang dibutuhkan, derajat dukungan publik yang diperlukan, berat ringannya sanksi yang diberikan dan sebagainya. Masing-masing faktor atau variabel yang mempengaruhi kebijaksanaan yang berhubungan dengan variabel-variabel lain sehingga bila satu variabel berubah, akan terjadi efek gelombang yang akan mempengaruhi seluruh sistem. Dalam ruang dua dimensi, tidak mungkin untuk menggambarkan semua pola interaksi nyata dan umpan balik yang berturutan (Sabatier dan Mazmanian,1986,hal.39) IV. HUBUNGAN ANTARA VARIABEL YANG BERPENGARUH IMPLEMENTASI Sabatier dan Mazmanian (1986), mensitesakan variabel-variabel yang mempengaruhi proses implementasi ke dalam daftar yang merupakan kondisi yang akan menentukan implementasi sasaran yang telah ditetapkan: 1.Kejelasan dan konsistensi tujuan Tujuan yang jelas dipandang sebagai tersedianya standar evaluasi dan sumber legal yang penting bagi pejabat pelaksana.

2. Ketersediaan Teori kasual yang memadai. Kebijaksanaan publik merupakan variabel yang independen yang dianggap akan berpengaruh terhadap perubahan sosial yang dikehendaki. 3. Proses implementasi disusun untuk meningkatkan kepatuhan pejabat pelaksana dan kelompok sasaran. Pada tingkat implementasi perlu adanya mekanisme legal yang mencakup hak dan sanksi agar para pejabat pelaksana maupun kelompok sasaran dapat mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan dalam kebijaksanaan. 4. Kesepakatan dan Keahlian dari Pejabat pelaksana.Pada tahap implementasi kebijaksanaan perlu adanya Discrection of power dari para pejabat pelaksana. Kondisi ini menuntut adanya kemampuan para pejabat secara inisiatif mengambil kebijaksanaan sendiri dalam rangka modifikasi kebijaksanaan yang diimplementasikan.

5. Dukungan dari berbagai kelompok kepentingan Pada saat implementasi kebijaksanaan kelompok-kelompok kepentingan akan semakin mendesakkan apa yang mereka inginkan. 6. Perubahan di dalam kondisi sosial ekonomi yang tidak secara substansial mendasari dukungan politik atau teori kausal. Berdasarkan berbagai definisi implementasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah suatu hubungan yang memungkinkan tujuan dan sasaran kebijaksanaan publik terealisasi sebagai hasil akhir kegiatan pemerintah. Fungsi implementasi tersebut mencakup penciptaan sistem pelaksanaan kebijaksanaan yang merupakan alat khusus yang disusun untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Dengan demikian kebijaksanaan publik yang pada umumnya masih berupa pernyataan-pernyataan umum yang berisikan tujuan, sasaran dan berbagai macam sarana, diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih operasional yang semua ini dimasudkan untuk mewujudkan tujuan atau sasaran yang dinyatakan dalam kebijaksanaan. Implementasi adalah upaya mewujudkan kebijaksanaan menuju hasil yang diinginkan. Selanjutnya untuk melihat apakah suatu implementasi tersebut dapat dikatakan gagal atau berhasil maka perlu diuraikan mengenai ukuran-ukuran dalam implementasi kebijaksanaan. Implementasi pada hakekatnya merupakan kinerja atau tingkat pencapaian hasil (the degree if accomplishment). Atau dengan kata lain, merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi (Rue dan Byars, dalam Keban, 1995, hal 1).

Menurut Ripley dan Franklin (1991, hal 62). ada 3 cara yang dominan untuk mengetahui keberhasilan suatu implementasi: a. Beberapa diskusi yang membahas tentang keberhasilan suatu implemenatasi, yang seharusnya diukur dari tingkat kepatuhan pada bagian birokrasi terhadap birokrasi superior atau dengan kata lain dengan birokrasi pada umumnya terhadap suatu mandat khusus yang diatur di dalam suatu undang-undang. Perspektif kepatuhan ini semata-mata hanya membicarakan masalah-masalah perilaku organisasi. b. Bahwa keberhasilan implementasi dilandasi dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak hanya masalah-masalah yang dihadapi. Maka dapat disimpulkan bahwa Keberhasilan Implementasi adalah: suatu kondisi yang secara nyata program-program diteruskan dengan lancar sesuai dengan rencana sebelumnya, sesuai kondisi yang terjadi pada tingkat pencapaian hasil akhir implementasi program yang memenuhi kelompok sasaran sebagaimana yang ditentukan dalam tujuan-tujuan kebijaksanaan

IV. KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG DAN ANCAMAN DALAM SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).

Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri dan konsumen.

PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PEMERINTAH INDUSTRI KONSUMEN Penyelidikan dan Penarikan produk Biaya pengobatan dan penyedikan kasus rehabilitasi Penutupan pabrik Biaya Kehilangan pendapatan Kerugian penyelidikan dan dan produktivitas Penelusuran analisis Sakit, penderitaan dan penyebab Kehilangan mungkin kematian Kehilangan pasar Produktivitas Kehilangan waktu dan pelanggan Penurunan ekspor Biaya Kehilangan Biaya sosial penuntutan/pelaporan kepercayaan konsumen sekuriti (domestik dan internasional) Penganguran Administrasi asuransi Biaya legalitas Biaya dan waktu rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen) Penuntutan konsumen

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund) (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).

Konsep Implementasi Quality System dan Safety

KEKUATAN Perkembangan industri pangan yang semakin pesat

SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN KELEMAHAN PELUANG

ANCAMAN

Produk pangan Globalisasi Persaingan didominasi oleh produk internasional yang industri agroindustri semakin ketat kecil/rumah Peraturan dan tangga kesepakatan Kualitas SDM internasional Tersedianya UU belum memadai (WTO/TBT, SPS, dll) Pangan dan Kelembagaan Peraturan koordinasi belum Tersedianya terpadu sistem Penguasaan Iptek manajemen mutu yang masih dan keamanan lemah (GAP/GFP, Keterbatasan dan GHP, GMP, sumber dana GDP, GRP, ISO Kepedulian 9000, ISO 14000 produsen dan ,dll) konsumen masih rendah Keterbatasan infrastruktur (laboratorium, peraturan, pedoman, standar) KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN (Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000) IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN
JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.

HACCP, ISO 9000, ISO 140000

Produksi Bahan Baku/ Penolong

Penangana n

Pengolah an

Distribusi

Pasar

Konsume n

GAP/GEP

GHP

GMP

GDP

GRP

GCP

KEKUATAN

KELEMAHAN

Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional

V. TANGGUNG JAWAB BERSAMA DALAM IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI PEMERINTAH (Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer) Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll) Pengawasan mutu dan keamanan produk Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah lingkungan, dll) Pengembangan SDM (manager, supervisor, pekerja pengolah pangan) KONSUMEN MASYARAKAT Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang baik (GCP) Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan

Penyusunan kebijaksanaan strategi, program dan peraturan Pelakasanaan program Pemasyarakatan UU Pangan dan peraturan Pengawasan dan low enforcement Pengumpulan informasi Pengembangan Iptek dan penelitian Pengembangan SDM (pengawas pangan, penyuluh pangan, industri) Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen Penyelidikan dan penyedikan kasus penyimpangan mutu dan keamanan pangan

TANGGUNG JAWAB BERSAMA


JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997): 1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan pengembangan, pengembangan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan. 2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat. 3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat. 4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional. 5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control) pada produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan. 6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama. 7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan. 8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu. 9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional. 10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan melalui pendidikan dan latihan.

VI.

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan, standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5) Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem jaringan informasi pembinaan mutu pangan. Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2) Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.

VII. PENUTUP Implementasi adalah upaya mewujudkan kebijaksanaan menuju hasil yang diinginkan. Selanjutnya untuk melihat apakah suatu implementasi tersebut dapat dikatakan gagal atau berhasil maka perlu diuraikan mengenai ukuran-ukuran dalam implementasi kebijaksanaan. Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice)

Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 90029005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, MS., (1988), Perkembangan dan Penerapan Studi Implementasi, Makalah Disampaikan Pada Temu Kaji Posisi dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen Dalam Pembangunan, LAN, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri, Jakarta. Abdul Wahab, Solichin, (1990), Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan negara, Bumi Aksara, Jakarta. Azwar, Saifudin, (1998) Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Black James A. dan Champion Dean J., (1992), Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Penerbit PT. ERESCO Bandung. Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis sekolah, Jakarta, 2001 Faisal, Sanapiah, (1992) Format-format Penelitian sosial : Dasar-dasar dan Aplikasi, Rajawali Pers, Jakarta. Fardiaz, S, 1996. Food Control Policy, WHO national Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, September 1996. Fardiaz, S. 1996. Food Control Strategy, WHO National Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, December 1996. Grinde, Mireele S., (1980), Politic and Policy Implementation In The Third World, Princeton, Princeton University Press. Kartono, Kartini (1976), Pengantar Metodologi Research Sosial, Alumni, Bandung. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997. Kebijakan Nasional dan Program Pembinaan Mutu Pangan. Jakarta Moeleong, Lexy J., (1993), Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Surachmad, Winarno M., (1968), Research : Pengantar Metode Ilmiah, Bandung. Tim Inter Departemen Bappenas, 1996. Sistem Pembinaan Mutu Pangan (F.G. Winarno dan Surono, editor). Bappenas, Jakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, (1977), Perencanaan Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta. WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India. Wibowo Samodra, (1992), Laporan Penelitian Studi Implementasi Kebijaksanaan, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

You might also like