You are on page 1of 28

1

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Dalam masa pembangunan di negara sedang berkembang kota mengalami pertambahan jumlah penduduk dengan sangat pesatnya, hal ini diakibatkan oleh adanya migrasi yaitu berpindahnya penduduk dari desa ke kota yang tidak terkendali. Alasan utama yang menyebabkan perpindahan ini adalah faktor ekonomi, mereka menganggap bahwa prospek ekonomi di perkotaan lebih baik dibandingkan di desa. Selain karena faktor ekonomi ada faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya migrasi yaitu terjadinya bencana alam periodis, gagalnya pembangunan di pedesaan, terjadinya konflik kekerasan yang berkepanjangan di desa dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya migrasi. Akan tetapi arus migrasi masuk kota dapat berkurang pada saat kota kurang menawarkan tawaran kerja yang menguntungkan. Selain itu ada juga migrasi musiman, hal ini terjadi sewaktu di desa tidak ada pekerjaan bagi kaum buruh tani sedangkan di kota menawarkan aneka pekerjaan meskipun serabutan, sehingga pengangguran yang sementara tadi dapat diatasi. Orang-orang desa yang datang ke kota sering tidak memikirkan keahlian apa yang mereka miliki untuk hidup di kota akibatnya kota dipenuhi orang-orang yang tidak jelas pekerjaannya, kemudian dengan kemampuan yang minimalis mereka berusaha survive dengan

hidupnya.

Namun, selain karena adanya migrasi perlu kita ingat bahwa

penduduk kota juga mengalami pertumbuhan yang alami. Adapun dampak yang ditimbulkan dari migrasi itu antara lain kemiskinan, terjadinya kesenjangan sosial ekonomi antara kaum miskin kota dengan kaum kaya kota yang memiliki kemewahan, dan dampak yang bisa kita lihat dan sering kita temui di kota-kota besar dalah munculnya slum area atau perkampungan kumuh yang merupakan tempat tinggal bagi kaum miskin kota yang menjadi komunitas termarginalkan di kota. Slum area dalah perumahan atau pemukinan kumuh atau lingkungan hunian yang tidak layak huni, karena keadaannya yang tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan, kenyamanan, persyaratan ekologis dan persyaratan administrasi. Mereka tumbuh secara sporadis, anarkis, tak terorganisir dan tumbuh menjadi hunian kota yang tak terencana. Sehingga proses kekumuhan banyak terjadi di pusat kota (inner-city), dampaknya adalah pada terjadinya kerusakan lingkungan, kepadatan penduduk yang tinggi, segregasi sosial, kesejahteraan dan kesehatan pada konteks skala kota. Pada gilirannya akan menimbulkan konflik yang tidak hanya pada pembangunan fisik tetapi juga dalam sistem transportasi, utilitas maupun pelayanan umum. Proses kekumuhan sering kali muncul dari latar belakang masalah ekonomi dan cenderung berkembang di pusat-pusat aktivitas perekonomian kota, terutama daerah perumahan yang semakin tinggi intensitas kegiatannya sehingga terjadi

pergeseran fungsi dari daerah perumahan yang padat, berubah menjadi daerah perdagangan/usaha. Kekumuhan pada kawasan dengan tingkat aktivitas perekonomian tinggi dimulai dari tuntutan akan lahan hunian yang mendesak, terutama bagi pelaku aktivitas ekonomi. Menurut hasil penelitian Community Development Strategy (CDS) tahun 2003, sejumlah 83% penghuni pemukiman kumuh di Surakarta merupakan penduduk urban dari luar kota, dan 33% diantaranya dalah penduduk yang telah menetap lebih dari 10 tahun di Surakarta. Mayoritas dari mereka merupakan masyarakat berpenghasilan rendah, yang sulit memperoleh perumahan layak huni secara manusiawi. Mengingat tingginya harga tanah yang tidak sebanding dengan kemampuan daya beli, serta efisiensi jarak, waktu dengan biaya transportasi kegiatan, mambawa dampak jaringan kerja maupun pola pergerakan kawasan menjadi kacau. Kondisi tersebut, menciptakan kantong-kantong kawasan lingkungan kumuh, terutama di pusat kota. Potensi kekumuhan kota Surakarta juga muncul dari DAS (Daerah Aliran

Sungai/bantaran), tanah kosong, areal PJKA, bekas kuburan, bantaran rel dan tanah negara/Pemkot yang tidak terawat. Dari data pengamatan lapangan yang diperoleh tim CDS (Community Development Strategy) tahun 2003 sejumlah 41.607 Ha wilayah Surakarta memiliki kawasan kumuh yang dihuni sekitar 3.421 KK atau 15.850 jiwa. Kondisi perumahan kumuh tersebut 39,45% rumah permanen; 31,6% rumah semi permanen dan sisanya 28,9% rumah tidak permanen. Pemukiman kumuh di Surakarta letaknya menyebar, titik-titik kumuh tersebut antara lain :

1. Pemukiman kumuh di lokasi strategis yang mempunyai potensi komersial (kategori A) terdapat di wilayah Kepatihan Wetan, Kleco dan Gilingan. 2. Pemukiman di lokasi kurang strategis untuk kepentingan komersial

namun cocok untuk fasilitas umum (kategori B) terdapat di Pasar Besi (Sumodilagan). 3. Pemukiman kumuh di lokasi tidak strategis dan dalam rencana kota

memang diperuntukkan untuk perumahan (kategori C) terdapat di Bayan, Balapan, Sumber, Begalon, Sambeng, Cokronegaran, Sangkrah dan Lojiwetan. 4. Pemukiman kumuh di lokasi sekitar pasar dan kawasan perdagangan

yang sudah sangat padat dan untuk hunian sementara (kategori D) terdapat di Cinderejo, Mangkubumen (timur eks Rumah Sakit Pusat). Berikut ini adalah banyaknya persebaran pemukiman kumuh yang berada di masing-masing kecamatan di Surakarta. Tabel 1 Persebaran Pemukiman Kumuh di Masing-masing Kecamatan di Surakarta No 1. Kecamatan Jebres Kelurahan Gandekan Lokasi Kadirejo Bangunharjo Butuh Jebres Kepatihan Wetan Kentingan RT.01/RW.01 RT.06/RW.01 Jml. Status Tanah Penghuni (KK) 36 Tanah 33 59 257 15 30 negara

RT.04/RW.02 2. Pasar Kliwon Joyosuran RT.06/RW.02 Menangan Tempen Baturono Harjodipuran Kusumodilagan Gabudan Sangkrah 3. Laweyan Panularan RT. 04/RW. 13 RT. 05/RW. 13 Bekas kuburan Begalon RT.05/RW.03 RT.03/RW.02 RT.04/RW.03 4. Banjarsari Kadipiro Nusukan Gilingan RT.08/RW.24 RT.10/RW.20 RT.03/RW.12 RT.04,05,06,07/ RW.11 RT.04/RW.14 RT.02,03/RW.06 RT.06/RW.09 RT.01/RW.13 Setabelan RT.01/RW.05 RT.01/RW.06 RT. 03/RW.07 RT.01/RW.07 RT.04/RW.09

35 40 2 1 1 5 10 37 48 51 HM/HP HM/HP Tanah negara 55 51 50 20 37 100 35 70 35 35 61 57 59 67 83 HP HM/HP HM HM HM HP HP HM

Kestalan Keprabon

RT.02/RW.04 RT.03/RW.04 RT.01/RW.01 RT.01/RW.03 RT.02/RW.03 RT.05/RW.04 RT.02/RW.04 RT.04/RW.05 RT.03/RW.05

40 27 26 25 20 32 25 34 42 20 25 417 91 78 36 73 HM HM

Timuran Punggawan Sumber

RT.03/RW.04 RT.01/RW.01 RT.01,02,03,04, 10/RW.03 RT.01,02,03/ RW.14 RT.01,02,03/ RW.15 Bantaran Pringgolayan

5.

Serengan

Tipes

TN

Sumber : hasil penelitian CDS tahun 2003

Dari tabel di atas terlihat bahwa setiap kecamatan memiliki pemukiman kumuh, hanya saja jumlahnya berbeda-beda tiap kecamatan. Dari tabel di atas terlihat juga status kepemilikan tanah ada yang hak milik (HM), tapi juga ada yang hanya hak pakai (HP), bahkan ada yang menggunakan tanah negara (TN) seperti di kecamatan Serengan tepatnya di kelurahan Tipes daerah Pringgolayan, kecamatan Laweyan kelurahan Panularan, dan kecamatan Jebres kelurahan Gandekan.

Semakin maju peradaban sebuah kota, maka slum area pun semakin bertambah, hal ini menyebabkan kota menjadi kelihatan kotor dan semrawut. Namun kondisi seperti ini tidak dapat dipungkiri, karena ini merupakan dua hal yang saling bertautan, dan selama ini slum area selalu pula identik dengan kemiskinan. Kemiskinan sendiri merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia; walaupun seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka seharihari; karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian belum tentu mereka itu sadar akan kemiskinan yang mereka jalani. Kesadaran akan kemiskinan yang mereka miliki itu, baru terasa pada waktu mereka membandingkan kehidupan yang mereka jalani dengan kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai tingkat kehidupan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Kondisi kemiskinan di Indonesia sudah dikenal sejak dahulu. Dari jaman kolonial sampai jaman pembangunan. Pada masa pembangunan ini seolah kita telah mengalami kemajuan yang luar biasa mengarah pada kehidupan modern. Pola pendekatan pembangunan yang mengedapankan pertumbuhan ekonomi dalam konsep trycle down effect dengan fokus kebijakan meningkatkan sektor dan

kelompok pelaku ekonomi yang memiliki profitabilitas tinggi, industri besar diletakkan sebagai sektor unggulan (leading sector) serta swasta sebagai agen utama penggerak perekonomian nasional bertentangan dengan cita-cita

pembukaan UUD 1945 yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh bangsa Indonesia. Yang ditegaskan pada pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34 bahwa seluruh masyarakat Indonesia memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Tetapi kenyataannya hanya segelintir orang yang diuntungkan oleh sistem tersebut, sehingga hidup dalam kemewahan. Sementara sebagian besar sisanya hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan dalam masyarakat kota menjadi problem sosial, hal ini terjadi karena masyarakat kita masih menilai seseorang dari kehidupan ekonominya, masyarakat lebih menghormati seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi mapan daripada seseorang yang kehidupan ekonominya paspasan atau bahkan kekurangan. Kesenjangan antara kaya dan miskin pun terpampang secara nyata. Hal demikian berbeda dengan kemiskinan di pedesaan. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, kemiskinan bukan masalah sosial karena ada anggapan semua telah ditakdirkan. Mereka tidak terlalu

memperhatikan hal tersebut kecuali mereka benar-benar menderita karenanya. Adapun faktor-faktor yang membuat mereka membenci kemiskinan dalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah

dimilikinya,

sehingga

mereka

berupaya

dengan

pengharapan

kondisi

kehidupannya akan lebih baik (Soerjono Soekanto, 2002:366). Data BKKBN tahun 2003 menunjukkan bahwa penghasilan penduduk miskin kota di Indonesia adalah 40-60 ribu rupiah perbulan perorang. Dari prosentase penduduk miskin di Indonesia, di desa dalah lebih besar dibandingkan di kota. Maka wajar jika muncul anggapan bahwa hidup di kota lebih menjanjikan. Akibatnya mereka yang datang ke kota tanpa memiliki bekal ketrampilan yang memadai hanya akan menjadi tuna karya di kota. Kalaupun mereka bekerja biasanya hanya menjadi buruh serabutan, pengemis, pengamen, pemulung dan bahkan ada juga yang pada akhirnya menjadi penjahat di kota. Salah satu pekerjaan yang masih sedikit dihargai oleh masyarakat kita adalah pemulung, walaupun masyarakat kita masih menganggap rendah pekerjaan tersebut. Masyarakat kita selama ini menganggap bahwa pemulung selalu hidup di bawah garis kemiskinan, anggapan ini muncul karena selama ini masyarakat kita melihat para pemulung tersebut tinggal di lingkungan kumuh yang padat penduduknya dan tidak layak huni. Keberadaan pemulung di masyarakat kita juga masih dilematis. Satu sisi dengan adanya pemulung masyarakat kita diuntungkan karena mereka mengambil barang-barang bekas yang sudah tidak dipakai lagi dan mereka mengolahnya kembali, sehingga barang-barang bekas tersebut tidak menumpuk di tempat pembuangan sampah. Tapi di satu sisi lainnya keberadaan pemulung juga kurang

10

bisa diterima oleh masyarakat kita, masyarakat merasa diresahkan apabila lingkungan tempat tinggal mereka dimasuki oleh pemulung, karena tak jarang mereka kehilangan barang-barang berharga seperti jemuran pakaian maupun sepatu atau barang-barang lain yang letaknya di sekitar halaman rumah. Hal ini terlihat dari adanya tulisan yang sering kita temui di lingkungan pemukiman yang melarang pemulung untuk masuk ke kawasan pemukiman. Kondisi masyarakat yang resah dengan keberadaan pemulung ini tidak hanya dirasakan oleh kalangan menengah ke atas saja tapi masyarakat menengah ke bawah pun merasa resah dengan keberadaan pemulung ini. Pandangan-pandangan masyarakat inilah yang membuat pemulung menjadi salah satu komunitas termarjinalkan. Mereka menjadi tersisih dalam pergaulan di masyarakat, mereka lebih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena ketidakmampuan mereka dalam hal asset, kekuatan membela diri dan hanya hidup dalam sektor-sektor yang tidak banyak menentukan pembangunan kota. Mereka tidak hanya dimarjinalkan dalam pengertian fisik (lokasi tempat tinggal yang tidak memadai baik keadaan maupun jarak), tapi juga politik dalam arti kesejahteraan secara struktural fungsional. Hanya beberapa orang saja dari masyarakat kita yang menyadari betapa besar sesungguhnya peran pemulung dalam pengelolaan sampah. Apa yang dilakukan oleh pemulung merupakan salah satu bentuk nyata dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena sampah-sampah yang diambil oleh pemulung rata-rata merupakan sampah anorganik seperti botol/gelas minuman dari plastik, kardus-

11

kardus bekas, besi rongsokan, kaca dan sebagainya yang kesemuanya itu masih mempunyai nilai jual. Jadi yang disisakan oleh pemulung adalah sampah-sampah organik yang bagian pengelolaannya adalah tugas dari Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah tugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota.

PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat dirumuskan, sebagai berikut : Bagaimana karakteristik kehidupan sosial dan ekonomi komunitas pemulung di kampung Dadapan, Kalurahan Sangkrah?

A. TUJUAN PENELITIAN Untuk mendiskripsikan karakteristik kehidupan sosial

dan ekonomi komunitas pemulung di Kampung Dadapan, Kalurahan Sangkrah.

B. MANFAAT PENELITIAN Ada dua manfaat dari penelitian ini, yaitu : 1. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan atau masukan informasi bagi masyarakat umum terutama yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai pemulung itu

12

merupakan pekerjaan kasar dan rendahan serta menganggap bahwa keberadaan pemulung itu hanya menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat saja. Sehingga dengan penelitian ini masyarakat menjadi mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan pemulung tersebut. 2. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi pemikiran bagi dunia akademis dan agar dapat menjadi acuan dasar bagi penelitian selanjutnya, yaitu penelitian yang berkaitan dengan kaum marginal terutama yang berkaitan dengan komunitas pemulung.

C. LANDASAN TEORI Dalam penelitian ini penulis menggunakan Paradigma Definisi Sosial, yang diambil dari karya Max Weber. Ada dua konsep yang dikemukakan oleh Weber, yang pertama dalah konsep tentang tindakan sosial disini dijelaskan bahwa tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Ritzer, 2002 : 38); yang kedua adalah konsep tentang antar hubungan sosial disini dijelaskan bahwa tindakan beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain (Ritzer, 2002 : 41).

13

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya menjadi empat tipe yaitu: 1. Zwerk Rational Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tetapi juga menentukan nilai dari tujuan tersebut. 2. Werkrational Action Aktor tidak dapat memilih apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan lain. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meskipun tidak serasional yang petama karena dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami. 3. Affectual Action. Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasan emosi dan kepurapuraan si aktor. 4. Traditional Action. Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja. Berdasarkan paradigma yang digunakan maka penulis menggunakan Teori Aksi yang dikemukakan oleh Talcott Parson yang merupakan pengikut Weber yang utama. Parson memisahkan antara teori aksi dengan aliran behaviorisme. Behavior secara tidak langsung menyatakan kesesuain secara mekanik antara perilaku (respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan istilah

14

action menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreatifitas, dan proses penghayatan diri individu. Tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilh, yang kesemuanya itu dibatasi kemungkinan-kemungkinan oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilan sosial. Di dalam menghadapi situasi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas. Parsons menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial karakteristik sebagai berikut : 1) Adanya individu selaku aktor, 2) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu, 3) Aktor mempunyai alternatif cara, alat-alat, serta teknik untuk mencapai tujuannya, 4) Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya kelamin dan tradisi, 5) Aktor berada dibawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Contohnya kendala kebudayaan. dengan

15

Aktor

mengejar

tujuan

dalam

situasi

di

mana

norma-norma

mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat. Tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai: voluntarism. Singkatnya voluntarisme adalah

kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.

TINJAUAN PUSTAKA a. Karakteristik Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakteristik adalah sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu (Team Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993). Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakteristik berasal dari kata dasar karakter yang berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau bidi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, tabiat, watak (Team Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993). b. Pemulung Pemulung adalah orang yang berusaha mencari nafkah dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang berasal dari sampah rumah tangga, toko, ataupun tempat-tempat hiburan untuk dijual kepada penampung (Fakhruddin, 2003:31)

16

Pemulung adalah orang-orang yang pekerjaannya memilih, memungut, dan mengumpulkan sampah atau barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan atau barang yang dapat diolah kembali untuk dijual (Sumardjoko, 2003:174). Parsudi Suparlan (1983:183) mengelompokkan pemulung menjadi dua kelompok, yaitu : a) Kelompok pemulung yang telah memiliki untuk mengumpulkan atau mencari barang

leveransir dan sumber tetap bekas. b) sumber tetap.

Kelompok pemulung yang tidak memiliki

Menurut kamus besar bahasa Indonesia pemulung berasal dari kata pe dan pulung. Jadi memulung artinya mengumpulkan barang-barang bekas (limbah yang terbuang sebagai sampah) untuk dimanfaatkan kembali. Sedangkan pemulung adalah orang yang pekerjaannya memulung, yaitu orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang-barang bekas untuk kemudian menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditi baru atau lain (Team Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993). Menurut Jhones pemulung adalah orang yang pekerjaannya memungut dan mengumpulkan barang-barang bekas dari tempat sampah kota. Barang-

17

barang bekas yang dikumpulkan berupa plastik, kertas, kardus, kaleng, pecahan kaca, besi tua, dan barang bekas lainnya (Sukiyem, 2002:35).

Karakteristik pemulung dapat digambarkan sebagai berikut : a) b) Mereka bukan gelandangan tetapi bekerja secara halal, Daerah asal mereka tersebar dan bukan dari kota tempat mereka

memungut sampah, c) Pada umumnya mereka bekas para buruh tani dan berlatar

belakang pendidikan rendah, d) e) Pekerjaan menjadi pemulung ini merupakan alternatif terakhir, Perasaan rendah diri dan curiga terhadap orang lain karena

pengalaman mereka digusur dan merasa diperlakukan kurang baik, f) Penghasilan tergantung pada lapak atau pengumpulan atau hasil

pulungan mereka. Pemulung di Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Tata kehidupan dan penghidupan pemulung yang mirip

dengan gelandangan demikian pula pakaian dan sarana kerjanya, b) Kehidupan pemulung hampir sama dengan gelandangan

merupakan salah satu sisi kehidupan kota yang menggugah rasa iba, manusiawi, dan dapat menimbulkan kerawanan sosial, c) Tempat tinggal yang tidak layak huni telah memperluas

daerah dan lingkungan kumuh,

18

d)

Kehidupan pemulung dengan segala kondisi objektifnya

cenderung kurang terawat dan tidak terpenuhinya kebutuhan emosional lainnya, e) Pelaksanaan pembinaan pemulung kalau tidak hati-hati

akan menimbulkan dampak negatif lain, antara lain menjadi daya tarik semakin berkembangnya urbanisasi, sikap kemanjaan, dan

penyalahgunaan oleh mereka yang mengaku sebagai pemulung. Pada umumnya pemulung mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Dari golongan penganggur 2. Kebanyakan berkeluarga 3. Berusaha memperoleh pendapatan 4. Berpendidikan rendah 5. Sukar memperoleh pekerjaan lainnya Menurut penelitian dari Center for Policy Implementation (Bambang Sumardjoko, 2003:174) mengklasifikasikan pemulung ke dalam tiga tipe, yakni : 1. Pemulung yang berkeliling dari rumah ke rumah penduduk 2. Pemulung yang mencari sampah di lokasi pembuangan sampah sementara 3. Pemulung yang mencari sampah di lokasi akhir pembuangan sampah Kegitan pemulung termasuk dalam sektor informal. Pekerjaan pemulung adalah bentuk usaha mandiri yakni mencari dan mengumpulkan barangbarang bekas kemudian dijual sebagai sumber ekonomi. Terbukanya

19

kesempatan kerja di sektor informal bagi para pemulung memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan. Pekerjaan pemulung tidak memerlukan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi serta modal yang besar. Keberadaan pemulung telah membantu mengurangi pengangguran yakni dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

D. KERANGKA PEMIKIRAN Pemulung merupakan bagian dari anggota masyarakat, mereka sama dengan anggota masyarakat lainnya yang berusaha bekerja mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap hari dari pagi sampai siang mereka mencari barang-barang bekas dari satu bak sampah ke bak sampah yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, memilah-milahnya kemudian dijual kepada penampung untuk mendapatkan sedikit uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya karena pekerjaan yang mereka geluti membuat mereka berbeda dengan anggota masyarakat lainnya. Masyarakat pun seringkali meremehkan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat, hanya sedikit orang yang bisa menerima keberadaan mereka di masyarakat. Keberadaan pemulung di masyarakat kita memang masih dilematis. Satu sisi dengan adanya pemulung masyarakat kita diuntungkan karena mereka mengambil barang-barang bekas yang sudah tidak dipakai lagi kemudian mereka memilah-milahnya antara kertas dengan kertas; plastik dengan plastik, besi dengan besi. Kemudian setelah dipilah-pilah mereka menjualnya ke lapak untuk

20

kemudian dijual kembali ke pihak yang akan mengolah barang-barang bekas tersebut, sehingga bisa digunakan kembali, misalnya kertas bekas diolah menjadi kertas daur ulang, botol aqua bekas didaur ulang dan bisa digunakan kembali, sehingga barang-barang bekas tersebut tidak menumpuk di tempat pembuangan sampah. Tapi di satu sisi lainnya keberadaan pemulung juga kurang bisa diterima oleh masyarakat kita, masyarakat merasa diresahkan apabila lingkungan tempat tinggal mereka dimasuki oleh pemulung, karena tak jarang mereka kehilangan barang-barang berharga seperti jemuran pakaian maupun sepatu atau barangbarang lain yang letaknya di sekitar halaman rumah. Hal ini terlihat dari adanya tulisan yang sering kita temui di lingkungan pemukiman yang melarang pemulung untuk masuk ke kawasan pemukiman. Kondisi masyarakat yang resah dengan keberadaan pemulung ini tidak hanya dirasakan oleh kalangan menengah ke atas saja tapi masyarakat menengah ke bawah pun merasa resah dengan keberadaan pemulung ini. Pandangan-pandangan masyarakat inilah yang membuat pemulung menjadi salah satu komunitas termarjinalkan. Mereka menjadi tersisih dalam pergaulan di masyarakat, mereka lebih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena ketidakmampuan mereka dalam hal asset, kekuatan membela diri dan hanya hidup dalam sektor-sektor yang tidak banyak menentukan pembangunan kota. Mereka tidak hanya dimarjinalkan dalam pengertian fisik (lokasi tempat tinggal yang tidak memadai baik keadaan maupun jarak), tapi juga politik dalam arti kesejahteraan secara struktural fungsional.

21

Kalau saja kita mau melihat lebih dekat lagi kehidupan pemulung, kalau saja masyarakat mau mengenal dan membuang jauh-jauh pikiran buruk mereka terhadap pemulung maka masyarakat dapat melihat bahwa sebenarnya pemulung pun sama dengan masyarakat lainnya, pemulung pun memiliki kehidupan normal sebagai manusia. Mereka memiliki keluarga yang harus dihidupinya, mereka memiliki keinginan dan harapan, mereka pun ingin diterima sebagai layaknya anggota masyarakat yang tidak bekerja sebagai pemulung.

E. DEFINISI KONSEPTUAL 1. Pemulung Pemulung adalah orang yang berusaha mencari nafkah dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang berasal dari sampah rumah tangga, toko, ataupun tempat-tempat hiburan untuk dijual kepada penampung. 2. Komunitas Kumpulan manusia atau sekelompok masyarakat yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat istiadat dan sistem norma yang mengatur pola-pola interaksi antara manusia itu. Kumpulan orang yang memiliki beberapa atribut sama atau hubungan dengan pihak yang sama. Kelompok teritorial dimana penduduknya menyelenggarakan kegiatankegiatan hidup sepenuhnya.

22

3.

Karakteristik Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakteristik adalah sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekhasan-kekhasan yang dimiliki oleh pemulung yang berada di kampung Dadapan. Karakteristik tersebut dilihat dari kehidupan ekonomi, sosial dan kehidupan secara umumnya.

F. DEFINISI OPERASIONAL 1. Pemulung Secara Umum a) b) 2. Ekonomi a) Pekerjaan b) Kegiatan ekonomi 3. Karakteristik Kehidupan Pemulung Secara Sosial a) b) waktu luang Peran serta dalam kegiatan kemasyarakatan Kegiatan yang biasa dilakukan untuk mengisi Keadaan keluarga Sejarah tempat tinggal Karakteristik Kehidupan Pemulung Secara Karakteristik Kehidupan

23

G. METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.Kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis,yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai suasana yang utuh. Jadi penelitian deskriptif kualitatif studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. (Sutopo; 2002:110). 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Dadapan, Kalurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Lokasi ini dipilih karena di lingkungan ini terdapat satu wilayah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai pemulung. 2. Sumber Data a. 1) Data Primer Melalui wawancara atau interview

secara langsung dari sumbernya yakni informasi dari pemulung yang bermukim di kampung Dadapan Kalurahan Sangkrah.

24

2) secara langsung ke lapangan. b. Data Sekunder

Melalui pengamatan atau observasi

Melalui dokumen baik literature, laporan-laporan, arsip serta data dari penelitian terdahulu. 2. a. Teknik Pengumpulan Data Wawancara secara mendalam (indepth interview) Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara (interview guide) yang berisi hal-hal pokok yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemulung dalam kesehariannya. Dalam

pelaksanaannya metode ini dilakukan dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian. Wawancara mendalam ini berlangsung secara simultan, yang merupakan proses yang

berkesinambungan atau bersifat interaktif dan siklus. Berkesinambungan maksudnya, peneliti tidak hanya sekali melakukan wawancara tetapi bisa dilakukan lebih dari satu kali guna memperoleh keabsahan data. Selain secara terus menerus dalam pelaksanaannya peneliti juga bisa mengajukan peRTanyaan secara berulang-ulang guna mendapatkan penjelasan yang lebih lanjut tentang keterangan informan yang dianggap penting oleh peneliti. Selain itu dalam pelaksanaan wawancara peneliti tidak hanya terfokus pada materi wawancara yang sudah disiapkan tetapi juga memperhatikan mimik wajah dan reaksi informan ketika

25

memberikan jawaban dan ketika diajukan pertanyaan yang mungkin berkaitan dengan dirinya. b. Observasi atau pengamatan Dalam penelitian ini akan dilakukan observasi langsung dengan cara terbuka dan pengamatan tertutup (Moleong, 1991). Pengamatan terbuka diketahui oleh subyek dan subyek dengan sukarela memberikan

kesempatan kepada kita untuk mengamati perilaku mereka. Pengamatan tertutup adalah pengamatan dimana pengamat beroperasi tanpa diketahui oleh subyek. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam lembar observasi yang selanjutnya akan dijadikan data lapangan. c. Dokumentasi Dimaksudkan untuk menjaring data yang terdiri dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang sudah diolah menjadi studi pustaka, dengan cara melihat literature, laporan-laporan atau dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti serta pengambilan gambar-gambar secara relevan. 3. a. Teknik Pengambilan Sampel Populasi Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah pemulung yang berada di Kampung Dadapan. b. Sampel

26

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini dalah pemulung yang berada di RT. 04 dan RT. 05 RW.13. c. Cara pengambilan sampel Untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu peneliti memiliki kecenderungan untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Bahkan di dalam pelaksanaan pengumpulan data pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Sutopo; 2004:56). 4. Validitas Dalam penelitian ini untuk mencari validitas data dapat digunakan metode triangulasi data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi data yang paling banyak dilakukan adalah pemeriksaan melalui sumber lain (Moleong, 1988). Dalam hal ini metode triangulasi yang digunakan yaitu triangulasi data dengan mengunakan beberapa sumber untuk mengumpulkan data yang sama yaitu dengan melakukan kroscek dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang

27

berbeda, baik kelompok sumber sejenis maupun sumber yang berbeda jenis (Sutopo; 2004:79). 5. Analisis Data Data yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara diolah dan dianalisis supaya menghasilkan kesimpulan yang valid (Sutopo; 2004:91). Ada tiga komponen pokok dalam tahap analisis, yaitu: a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi pemfokusan, penyerderhaan dan abstraksi data yang ada dalam field note. Proses ini berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian dan saat pengumpulan data. dapat dinyatakan pula reduksi data dalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan (Sutopo; 2004:91). b. Sajian Data Karena kemampuan manusia terbatas sedangkan data yang diperoleh banyak maka perlu dibuat penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya yang berupa gambar, matriks, table,dan lain-lain (Sutopo; 2004:92) c. Penarikan Kesimpulan.

28

Sejak awal pengumpulan data, peneliti sudah harus mengerti tentang data-data yang didapatkan. Kemudian data tersebut diverifikasi untuk mendapatkan hasil riset yang baik. Ketiga komponen analisis data tersebut aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengambilan data sebagai proses siklus dan sifatnya saling berkait baik sebelum, pada waktu, maupun sesudah pelaksanaan pengumpulan data yang bergerak diantara data reduksi,data display dan penarikan kesimpulan.

Bagan model analisis interaktif.

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penarikan simpulan/verifikasi

Data display

You might also like