You are on page 1of 5

G.

PENGANGKATAN LETJEN SOEHARTO SEBAGAI PEJABAT PRESIDEN DENGAN TAP MPR XXXIII/MPRS/1967 Dengan alasan konstitusi, Presiden Soekarno harus mempertanggungjawabkan mandat MPRS yang telah diberikan kepadanya. Presiden Soekarno kemudian mempertanggungjawabkan segala kebijakannya dalam mengemban mandat itu dalam sebuah pidato pertanggungjawabannya di hadapan MPRS yang berjudul NAWAKSARA pada Sidang Umum MPRS tanggal 22 Juni 1966. Pidato Nawaksara itu kemudian ditolak oleh MPRS yang dipimpin oleh A.H. Nasution (ketua), Osa Maliki, H.M. Subchan Z.E., M.Siregar, dan Mashudi (masing-masing wakil ketua). Tanggal 10 Januari 1967 Soekarno mengirimkan surat Presiden Mandataris MPR No.01/Pres/1967 tentang perlengkapan Pertanggungjawaban Presiden yang kemudian dikenal PELENGKAP NAWAKSARA, namun oleh MPRS juga ditolak dengan keluarnya surat Keputusan No.13/B/1967 tentang Tanggapan terhadap Perlengkapan Pidato Nawaksara tanggal 13 Januari 1967 . Penolakan terhadap pertanggungjawaban Presiden oleh MPRS ini berakibat pada lahirnya TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Presiden Soekarno tidak memenuhi harapan bangsa pada umumnya, anggotaanggota MPRS pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijaksanaan Presiden pengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/PKI [sic!] beserta epilognya, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak. Kedua, karena Presiden/Mandataris MPRS telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara kepada pengemban Tap MPRS No IX/MPRS/1966 seperti yang dinyatakan dalam Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967. Dasar ini merupakan bagian dari permanainan politik pada masa itu, karena sifatnya hanya berputarputar pada ketentuan yang dibuat berdasarkan kekuasaan. TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, seperti yang telah dijelaskan diatas, adalah dasar untuk melegitimasi peralihan kekuasaan presiden agar seolah-olah berdasarkan konstutusi, maka itu disebut juga kudeta konstitusi, padahal sebenarnya peralihan kekuasaan itu dilakukan dengan surat perintah dari Presiden yang seharusnya bersifat sementara (ad interim). Ketiga, berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/ Pengemban Tap MPRS No IX/ MPRS/1966 dalam suratnya No R-032/67 tanggal 1 Februari 1967, yang dilengkapi dengan pidato laporannya di hadapan Sidang Istimewa MPRS berpendapat bahwa ada petunjuk-petunjuk yang secara tidak langsung Presiden telah menguntungkan G30S/PKI [sic!] dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI . Artinya, Kejatuhan Presiden Soekarno dibakukan dalam sebuah TAP MPRS XXXIII/1967 yang bermasalah . Pada alasan ketiga dikeluarkannya ketetapan itu, disebutkan bahwa ada petundjuk-petunjuk, jang Presiden Soekarno telah melakukan kebidjakan jang setjara tidak langsung

menguntungkan G30S/PKI , bila kita cermati disini terdapat suatu pertanyaan atas ketidaklogisan keadaan yang dikembangkan, apakah mungkin seorang presiden yang sedang berkuasa membantu pemberontak yang akan menggulingkan kekuasaannya? H. PENGISIAN JABATAN PRESIDEN DENGAN KETETAPAN MPRS NO.XLIV/ MPRS/1968 Setelah dicabutnya Kekuasaan Eksekutif pada Soekarno selaku Mandataris MPRS dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, Soeharto menjabat sebagai pejabat presiden sementara sampai sidang MPRS berikutnya. Pada sidang berikutnya, MPRS bukan memilih presiden baru namun justri mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XLIV tentang pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan dasar legitimasi pengangkatan Soeharto sebagai Presiden RI. I. KAJIAN PENGISIAN JABATAN PRESIDEN : PERGANTIAN SOEKARNO-SOEHARTO Peralihan kekuasaan memang merupakan persoalan politik, tapi proses peralihan tersebut harus didasarkan pada hukum secara konstitusional. Wacana tentang proses peralihan kekuasaan sarat akan muatan politik, namun persoalan itu dapat dikaji secara yuridis. Peralihan kekuasaan ini penuh intrik dan berlumuran darah , beberapa pihak banyak menyebutnya sebagai kudeta merangkak karena proses kudeta ini bertahap tidak serta merta. Ada pula yang menyebutnya kudeta konstitusi karena terdapat proses peralihan kewenangan eksekutif berdasarkan kekuatan dan kekuasaan bukan berdasarkan hukum. Keluarnya surat Perintah Presiden yang kemudian disebut Supersemar, pada dasarnya bukanlah peralihan kekuasaan sebagaimana didengung-dengungkan pada masa Orde Baru, melainkan hanya berupa Perwakilan, salah satu bentuk pengisian jabatan presiden yang dikenal pada sistem ketatanegaraan RI. Perwakilan dapat terjadi bila terdapat kondisi dimana terdapat peristiwa yang menyebabkan inkongruensi antara kebutuhan bertindak dengan kemampuan Presiden untuk bertindak. Peristiwa itu adalah Gerakan tanggal 30 September yang menewaskan beberapa Jenderal yang di-blow up secara sepihak oleh Angkatan Darat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada Soekarno. Sehingga Presiden terpaksa memberikan perintah/kuasa (mandat) kepada pejabat lain untuk melaksanakan tugas dan wewenang Jabatan Presiden. Artinya, Surat perintah itu pada dasarnya dapat dianalogikan sebagai surat kuasa yang dapat dicabut kembali. Kemudian MPR mengukuhkan Surat perintah itu ke dalam ketetapan MPR No.IX/MPRS/1966. Akibat pengukuhan itu, Presiden Soekarno tidak dapat mencabut kembali mandat tersebut, dan Soeharto bukan lagi sebagai pengemban Surat Perintah Presiden, namun juga pengemban TAP MPR IX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS No.IX tersebut memuat SUPERSEMAR sebagai materi muatan dasar berlakunya ketetapan tersebut. Hal ini yang sebenarnya merupakan lack dalam hukum ketatanegaraan serta konstitusi Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. Dalam UUD 1945 sebelum

perubahan, MPR merupakan lembaga egara yang melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat, karena itu memegang kekuasaan Negara tertinggi. Hal ini juga dicantumkan secara eksplisit pada Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945. Pada Penjelasan Pasal 3 UUD 1945, dikatakan oleh karena MPR memegang kedaulatan Negara kekuasaanya tidak terbatas. MPR mempunyai wewenang lain yang tidak diatur tegas dalam UUD, yaitu: 1. memuat putusanputusan yag tidak dapat dibatalkan oleh lembaga-lembaga Negara lain; 2. memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran atas putusanputusan majelis; 3. menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden; 4. meminta pertanggungjawaban Presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut; 5. mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabbila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau UUD; 6. menetapkan Tata Tertib Majelis; 7. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota; 8. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melangar sumpah/janji. Diangkatnya Supersemar dalam TAP MPRS No.IX/MPRS/1966 dianggap merupakan perbuatan ketatanegaraan yang legal, karena MPRS dianggap memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang memuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga Negara lainnya. Dengan ditolaknya pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno pada sidang MPRS, maka mandat MPRS kepada Presiden Soekarno selaku pejabat presiden dicabut dengan keluarnya TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, untuk mencegah kekosongan kekuasaan Soeharto sebagai pengemban Tap MPRS No.IX/MPRS/1966 menjadi pemangku sementara Jabatan Presiden, dan kemudian diangkat menjadi Presiden dengan Tap MPRS No.XLIV/MPRS/1968. Dengan dikeluarkannya TAP-TAP MPRS ini, seolaholah Peralihan Jabatan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto terjadi secara konstitusional, meskipun dengan cara yang merangkak. Dalam hal ini MPRS dianggap memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris mengenai pertanggungjawaban tersebut, dan apabila dinilai Presiden/Mandataris tidak dapat mempertanggungjawabkannya, MPRS berwenang untuk mencabut mandat dan memberhentikan presiden pada masa jabatannya, sebagaimana dilakukan oleh MPRS dengan TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut mandat atas Presiden Soekarno sebagai Presiden RI. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Peralihan Kekuasaan Presiden dari Soekarno ke Soeharto terjadi secara bertahap. Peristiwa berdarah pada 30 September malam menjelang 1 Oktober 1965 yang menewaskan 6 orang Jendral, 1 orang perwira pertama, dan satu orang anak perempuan Jendral A.H Nasution merupakan pemicu meledaknya konflik berdarah yang mengakibatkan ketidakstabilan politik dan keamanan, serta lunturnya kepercayaan

masyarakat terhadap Soekarno dan Nasakom. PKI menjadi satusatunya pemegang tanggung jawab mutlak atas kesalahan yang ditudingkan. Rakyat yang marah diprovokasi isu-isu yang mengguncangkan rasa kemanusiaan atas penyiksaan dan pembantaian yang dilakukan PKI, Gerwani dan Pemuda Rakyat terhadap para sandera tersebut, menuntut tiga hal kepada presiden: Pembubaran PKI, Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure PKI dan penurunan Harga. Meskipun Presiden Soekarno telah membubarkan kabinet Dwikora dan membentuk kabinet 100 menteri, belum dapat memulihkan keamanan dan stabilitas politik. Oleh karena itu, Presiden Soekarno memberikan mandat dalam bentuk Surat Perintah Presiden, yang kemudian dikenal dengan nama Supersemar, kepada Letjen Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam hal memulihkan keadaan politik dan keamanan. Supersemar ini adalah pemberian mandat, bukan peralihan kekuasaan. Artinya dalam konteks pengisian jabatan presiden, supersemar berbentuk perwakilan. Oleh karena itu, secara teori dapat ditarik kembali dan bersifat sementara. Namun, MPRS mengkukuhkan Supersemar ini dalam TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, akibatnya Presiden Soekarno selaku pemberi mandat tidak dapat mencabut kembali mandat tersebut, karena telah dikuatkan dalam TAP MPRS. Kedudukan Letjen Soeharto bukan lagi pengemban Mandat Soepersemar, tapi pengembn TAP MPRS No.IX tahun 1966. Presiden Soekarno secara konstitusional harus mempertanggungjawabkan atas terjadinya Peristiwa September 1965, dengan pidatonya Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara. Kedua pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno itu ditolak oleh Sidang Umum MPRS yang mengakibatkan dikeluarkannya TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang berisi pencabutan kewenangan Soekarno sebagai pejabat presiden dan mandataris MPRS. TAP MPRS itu kemudian dikuatkan dengan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang pengangkatan presiden Soeharto sebagai pengemban TAP MPR No.IX/MPRS/1966 menjadi Pejabat Presiden. Dengan ini, peralihan kekuasaan presiden seolah-olah menjadi konstitusional, sebatas melihat Presiden diangkat oleh MPRS dan ditetapkan oleh TAP MPRS. Tanpa melihat kudeta berdarah dibalik itu yang menewaskan hingga 3 juta jiwa. Tanpa melihat intrik-intrik yang dipergunakan. Tanpa mempedulikan kejelasan sejarah saat mematikan alur kebenaran sejarah bangsa pada kurikulum pendidikan. Tanpa mempedulikan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. B. SARAN Banyak versi bercerita mengenai SUPERSEMAR, Gerakan 30 September 1965, pembunuhan keji dan perilaku amoral yang dilakukan PKI, Gerwani, dan pemuda Rakyat di Lubang Buaya. Namun, tak satupun yang diakui secara aklamasi. Sejarah mesir yang berusia ribuan tahun lebih jelas daripada sejarah G 30S Indonesia yang baru berusia 42 tahun. Keberadaan Supersemar seolah lenyap ditelan

bumi, sedangkan tulisan bangsa Sumeria masih disimpan rapi oleh generasi penerusnya. Bangsa Indonesia seharusnya lebih menjaga kemurnian sejarahnya, bukan mengaburkan sejarah untuk menutupi kejahatan masa lalu. Kini sejarah tentang tumbuh kembangnya Komunisme dan Marxisme-Leninisme di Indonesia menjadi salah satu sejarah gelap, yang tak akan mendapat secercah cahaya sampai bangsa itu mau untuk menggalinya.

You might also like