You are on page 1of 28

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI LARVA ORGANISME LAUT

Oleh: Kelompok 15 Irwan Badriyanto H1K008010 Robyyana Mahindra HIK008019 Wulan Nurkhasanah H1K009021 Irvan Adi Pratomo H1K009018 Adi Lutfi Hanafi H1K009035

JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

LEMBAR PENGESAHAN

Disusun oleh: Kelompok 15

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian responsi mata kuliah Biologi Larva Organisme Laut Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan Pada tanggal, Juni 2011

Dosen Pengampu

Asisten

Drs. Sugiharto, M. Sc NIP.

Arbi Mei G NIM. H1G007031

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Biologi Larva. Laporan praktikum ini dibuat sebagai syarat untuk mengikuti responsi praktikum dan juga sebagai salah satu komponen nilai mata kuliah Biologi Larva. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Sugiharto, selaku dosen pengampu mata kuliah Biologi Larva, 2. Arbi Mei G dan Mardiyana, selaku asisten kelompok 15 yang telah banyak membimbing dan membantu sampai tersusunnya laporan praktikum Biologi Larva 3. Semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya laporan yang namanya tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Purwokerto, Juni 2011

Penulis

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Wilayah perairan dibedakan menjadi Perairan Darat dan Perairan Laut. Perairan Laut adalah wilayah permukaan bumi yang tertutup oleh air asin. Perairan laut dari pantai sampai ke dasar laut sampai ke dasar laut. Ilmu yang mempelajari tentang keadaan lautan disebut oceanografi. Luas laut dibandingkan dengan daratan adalah 7 : 3 (Kusnadi, 2010). Di Cilacap, potensi sumber daya alam yang ada meliputi dalam kawasan pesisir. Daerah pesisir kabupaten Cilacap merupakan kawasan yang mempunyai suatu ekosistem yang sangat unik yang ada dibagian selatan Pulau Jawa. Kawasan perairan pesisir yang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan eksternal dari aktivitas daratan, pengaruh massa air sungai dan muatan sendimen melalui proses hidro-oseanografis yang terjadi hingga ketengah laut pada radius kurang lebih 5 mill, sehingga terjadi proses pengkayaan unsur hara seperti nitrat dan fosfat yang penting bagi fotosintesis biomassa fitoplankton perairan (Himacita, 2010). Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dikawasan pesisir dan laut adalah melalui pengembangan perikanan tangkap serta pengembangan budidaya ditambak. Potensi sumber daya perikanan tangkap dicilacap sangat besar dikarenakan letaknya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, yang mana

mempunyai keunggulan yang kompetitif seperti ikan tuna dan jenis

udang, yang merupakan komoditas eksport perikanan kabupaten Cilacap. Sedangkan potensi sumberdaya perikanan budidaya

diwilayah pesisir adalah budidaya tambak udang, bandeng, serta kepiting. Disamping itu masih banyak potensi sumber daya perikanan yang memiliki nilai ekonomis dan prospektif untuk dikembangkan dimasa yang akan datang misalnya sidat, rumput laut serta kerang (Himacita, 2010). Berdasarkan cara hidupnya, organisme laut dibedakan menjadi nekton, plankton dan benthos. Nekton adalah organisme laut yang dapat bergerak bebas, misalnya ikan, cumi-cumi dan paus. Organisme plankton berukuran sangat kecil atau mikroskopis. Plankton bergerak pasif mengikuti arus. Benthos adalah organisme yang hidup didasar lautan, mencangkup bentuk sessil, (misalnya spon, kerang, koral), merangkak (misalnya kepiting, siput), dan menggali (misalnya cacing) (Anneahira, 2011). Penyebaran organisme laut bergantung pada sifat kimia dan fisika air laut (suhu, salinitas dan nutrisi terlarut) arus laut (membawa oksigen ke permukaan dan menyebarkan nutrisi, kotoran, telur, larva dan plankton) dan penetrasi cahaya matahari. Organisme fotosintetik (tumbuhan, alga, dan cyanobakteria)

merupakan sumber makanan. Mereka hanya terdapat di zona fotik atau eufotik, yaitu sinar matahari menembus masuk dan berperan dalam proses fotosintesis. Hanya 2 % dasar laut yang termasuk zona fotik. Oleh karena itu jumlah organisme fotosintesis benthos

lebih sedikit daripada plankton fotosintesis yang terdistribusi dipermukaan laut (Anneahira, 2011). Larva adalah anak ikan yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil dan membawa cadangan makanan pada tubuhnya berupa kuning telur dan butiran minyak. Pada fase larva, organ organ tubuhnya belum sempurna karena masih dalam proses perkembangan. Pada fase ini jika larva tidak menemukan makanan dari luar pada saat cadangan makanan didalam tubuhnya habis maka larva tersebut akan mati. Oleh karena itu pada fase ini harus dapat diberikan pakan yang tepat jenisnya, tepat ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi karena pada fase larva masih dalam proses

perkembangan seluruh organ-organ tubuh larva (Kusnadi, 2010). Pada fase larva pakan yang dikonsumsi oleh larva digunakan untuk proses morfogenesis, organogenesis dan metamorfosis. Oleh karena itu pakan yang diberikan pada larva harus benar-benar sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva, mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Pada fase larva belum banyak terjadi pertumbuhan karena seluruh energi yang diperoleh digunakan untuk ketiga proses tersebut (Kusnadi, 2010). I.2. Teori I.2.1. Larva Udang Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut, atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua

"genangan" air yang berukuran besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood). Dalam bahasa Banjar disebut hundang (Anonim, 2011). Udang menjadi dewasa dan bertelur hanya di habitat air laut. Betina mampu menelurkan 50.000 hingga 1 juta telur, yang akan menetas setelah 24 jam menjadi larva (nauplius). Nauplius kemudian bermetamorfosis memasuki fase ke dua yaitu zoea (jamak zoeae). Zoea memakan ganggang liar. Setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis (jamak myses). Mysis memakan ganggang dan zooplankton. Setelah tiga sampai empat hari kemudian mereka bermetamorfosis terakhir kali memasuki tahap pascalarva: udang muda yang sudah memiliki ciri-ciri hewan dewasa. Seluruh proses memakan waktu sekitar 12 hari dari pertama kali menetas. Pada tahap ini, udang budidaya siap untuk diperdagangkan, dan disebut sebagai benur. Di alam liar,

postlarvae kemudian bermigrasi ke estuari, yang sangat kaya akan nutrisi dan bersalinitas rendah. Di sana mereka tumbuh dan kadang-kadang bermigrasi lagi ke perairan terbuka di mana mereka menjadi dewasa. Udang dewasa merupakan hewan bentik yang utamanya tinggal di dasar laut (Anonim, 2011). I.2.2. Larva Ikan

Tahap larva diikuti oleh tahap transformasi. Tahap ini dicirikan oleh perubahan dalam bentuk umum dan struktural detail yang dapat secara bertahap untuk tiba-tiba. Pada sebagian besar spesies ikan, bentuk larva dan bentuk sangat berbeda pada saat juvenil. Pada periode larva, ikan mengalami dua fase perkembangan, yaitu prolarva dan pasca larva. Ciri-ciri prolarva adalah masih adanya kuning telur, tubuh transfaran dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya, serta adanya sirip dada dan sirip ekor walaupun bentuknya belum sempurna. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung halus, pada saat tersebut makanan didapatkan dari kuning telur yang belum habis terserap. Biasanya larva ikan yang baru menetas berada dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya masih mengandung minyak. Gerakan larva hanya terjadi sewaktu-waktu dengan menggerakan ekornya ke kiri dan ke kanan (Syazili, 2011). Larva yang baru ditetasi memiliki panjang total 1,21 hingga 1,65 mm dengan rata-rata 1,49 mm. Rata-rata panjang kantong kuning telur 0,86 mm. Pigmentasi awal tidak seragam, mata, saluran pencernaan, kloaka dan sirip kaudal transparant. Tiga hari setelah menetas, sebagian besar kuning telur diserap dan butir minyak berkurang hingga ukuran yang tidak signifikan. Pada tahap ini, mulut terbuka dan rahang mulai bergerak saat larva mulai makan. Terdapat kurang lebih 2 tahap pigmentasi pada larva ikan baramundi. Pada umur 10-12 sesudah penetasan, pigmentasi larva

tampak abu-abu gelap atau hitam. Tahap kedua terjadi antara umur 25-30 hari dimana larva berkembang menjadi anakan. Pada tahap ini, pigmentasi berubah menjadi warna perak. Diamati bahwa hanya anakan yang sehat pada tahap ini berenag secara aktif. Mereka selalu berwarna terang. Larva yang tidak sehat berwarna gelap atau berwarna tubuh hitam (Syazili, 2011). Larva yang baru menetas bersifat pasif karena mulut dan matanya belum membuka sehingga pergerakannya tergantung arus air.Larva yang baru ditetaskan biasanya disebut larva berumur 0 hari (D-0) dengan membawa cadangan kuning telur dan gelembung minyak. Ukuran cadangan kuning telur dan gelembung minyak serta letak gelembung minyak pada kuning telur

tergantung pada jenis ikan. Pada ikan kakap dan beronang, letak gelembung minyak cenderung berada pada ujung mendekati bagian kepala atau bagian depan, sedangkan pada larva ikan kerapu cenderung berada lebih jauh dari bagian kepala atau lebih dekat ke arah bagian belakang (Syazili, 2011). Selama pertumbuhan larva mengalami beberapa perubahan yang cukup mendasar, yaitu pada saat larva umur 1 - 3 hari (D1 D3) kuning telur dan butir minyak akan berkurang yang akhirnya terserap habis dalam tubuhnya yang kemudian terbentuk mulut dan saluran anus. Dari hasil ini dapat diasumsikan bahwa kemampuan daya cerna pada larva cukup terbatas dalam masa awal larva mengingat pada kelompok ikan karnivora ini, larva ikan

kerapu pasir memiliki usus yang baru terbentuk dan pendek sehingga usus berfungsi sebagai pencerna makanan dalam jumlah yang relatif kecil dan waktu yang relatif tidak lama. Untuk itu supaya usus terus dalam kondisi terisi disarankan frekuensi pemberian pakan buatan maupun alami sesering mungkin. Namun demikian kapasitas lambung juga turut menentukan banyak sedikitnya jumlah pakan yang dikonsumsi.Tampak bahwa pakan buatan sangat mendukung dimana dalam kelangsungan pakan hidup dan

pertumbuhannya substitusi

penggunaan

buatan

sebagai

sebagian

atau

keseluruhan

untuk

menambah,

mengganti, atau melengkapi nutrisi pakan alami pada saat dibutuhkan oleh larva.pakan buatan harus diberikan tepat waktu agar pakan dapat dicerna dan diserap oleh larva secara efisien sesuai dengan perkembangannya. pemberian pakan buatan yang terlambat (lebih dari D25) bisa berakibat tingkat kematian tinggi yang disebabkan kurangnya kandungan nutrisi pada pakan alami untuk memenuhi kebutuhan hidup larva (Syazili, 2011). Masa post larva ikan ialah masa dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuk organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang ada. Pada akhir fase tersebut, secara morfologis larva telah memiliki bentuk tubuh hampir seperti induknya. Pada tahap pascalarva ini sirip dorsal (punggung) sudah mulai dapat dibedakan, sudah ada garis bentuk sirip ekor dan anak ikan sudah lebih aktif berenang. Kadang-kadang anak ini

memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya. Setelah masa pascalarva ini berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile (Syazili, 2011). I.2.3. Sampling Larva di Alam

I.2.4. Identifikasi Larva

I.2.5. Hatchery Hatchery adalah pemeliharaan larva atau pembenihan larva ikan yang kondisinya disesuaikan atau buatan. Tujuannya adalah sebagai usaha untuk menjaga dan mengembangbiakan spesies yang langka atau terancam punah. Pembenihan ikan digunakan

untuk menumbuhkan dan berkembang biak sejumlah besar ikan dalam lingkungan tertutup. peternakan Ikan menggunakan tempat penetasan untuk membudidayakan ikan untuk menjual makanan, atau keperluan pajangan, menghilangkan kebutuhan untuk

menemukan ikan di alam liar dan bahkan menyediakan beberapa spesies luar musim alami mereka. Mereka meningkatkan ikan sampai mereka siap untuk dimakan atau dijual ke toko-toko akuarium. Hatchery lain melepaskan ikan muda ke sungai, danau atau laut untuk dukungan komersial, suku, atau rekreasi

memancing atau untuk melengkapi nomor alami terancam atau

spesies yang terancam punah , sebuah praktek yang dikenal sebagai tebar ikan (Anonim, 2010). I.3. Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan berdasarkan kondisi fisik, kimia, dan biologi di perairan Cilacap yang menjadi tempat berbagai aktifitas manusia dan mengetahui standar baku untuk biota akuatik.

II. MATERI DAN METODA 3.1. Materi

3.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi larvae net, botol film, toples kaca 250 ml,, mikroskop, plastik, cawan petri, kamera, makrometer dan karet gelang. 3.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel larva, formalin 4%, akuades. 3.2. Metoda

3.2.1. Pengambilan Sampel di Laut Siapkan larva net yang dilengkapi paralon pada bagian ujung belakangnya untuk menampung sampel, kemudian ikatkan larva net dengan tali yang dihubungkan ke kapal. Setelah itu

tenggalamkan larve net dan tarik menggunakan bantuan kapal selama 10 menit. Air sampel yang tertampung pada paralon, kemudian dipindahkan ke toples kaca 250 ml dan diberi larutan formalin 4%. 3.2.2. Pengambilan Sampel di Hatcery Siapkan botol toples kaca 250 ml, kemudian ambil sampel larva yang terdapat pada kolam pembenihan dengan

menggunakkan toples kaca 250 ml, beri formalin 4%. Sampel larva yang terdapat dalam botol gelas kemudian di bawa ke laboratorium untuk di identifikasi. 3.3. Waktu dan Tempat Praktikum lapangan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 05 Mei 2011, di Tegal Katilayu Cilacap, PPSC dan untuk praktikum laboratorium dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 13 Mei dan dari Senin, tanggal 16 Mei 2011, di laboratorium Perikanan dan

Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil

Telur

Nauplius

Mysis

Gambar 1. Tahap perkembangan larva Udang Windu

Larva Ubur-ubur mbar 2.

Larva Udang

Ga

Larva organisme laut di stasiun 3 4.2 Pembahasan

4.2.1. Biologi Larva Udang Windu Udang windu (Penaeus monodon Fab.) dalam bahasa daerah udang ini dinamakan sebagai udang ekspor, udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palapas, udang tapus dan udang wewedi. Namum dipasaran atau dalam dunia perdagangan udang ini biasa dikenal dengan nama Tiger Prawn atau terkadang juga dikenal dengan nama Jumbo Tiger Prawn. Udang windu dewasa yang hidup di laut biasa berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang

dibadannya. Kaki renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan pada udang dewasa berwarna merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat titik-titik hijau ditubuhnya (Murtidjo , 2003). Udang windu biasanya hidup di perairan pantai yang

berlumpur atau berpasir. Udang ini banyak terdapat diperairan laut antara Afrika Selatan dan Jepang, dan juga ada di antara Pakistan Barat sampai Australia bagian utara. Apabila ditinjau dari daya tahannya terhadap pengaruh lingkungan, udang windu ini juga salah satu udang yang paling unggul, walaupun menempati posisi ke dua setelah udang werus. Dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan memungkinkan kita untuk memlihara udang windu ini dalam waktu yang cukup (5-6 bulan) untuk dapat mencapai ukuran yang besar (King Size) yaitu antara 80 - 100 gram/ekor. Disamping daya tahan yang tinggi pada saat pemeliharaan, benih udang windu juga cukup tahan selama dalam penampungan dan pengangkutan (Kontara, 1990). Udang windu bersifat noktural yaitu binatang yang aktif mencari makan pada malam hari. Dan pada siang hari udang windu ini biasanya lebih suka menempel pada suatu benda atau membenamkan tubuhnya pada lumpur disekitar tambak.

Sedangkan sifat lain dari udang windu adalah sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya mucul pada udang-udang yang sehat dan tidak sedang dalam keadaan

molting atau ganti kulit dan sifat kanibal ini akan sangat nampak apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan mangsanya bisanya udang yang pada saat itu sedang ganti kulit. Sifat kanibal pada udang biasanya muncul saat masih tingkatan (Webber, 1991). pada mysis pada

Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu Udang windu digolongkan ke dalam keluarga Penaeid pada filum Arthropoda. Terdapat ribuan spesies dalam filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subfillum Crustacea. Berikut tata nama udang windu kompilasi dari Motoh (1981) dan Landau (1992): Kingdom : Animalia

Fillum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

: Arthropoda : Malacostraca : Decapoda : Penaeidae : Penaeus : Penaeus monodon

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut (abdomen). Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersamasama telson (Motoh, 1981). Tubuh udang windu dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik yang biasa disebut dengan istilah molting (Landau, 1992). Udang penaeid dibedakan satu dengan lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Motoh, 1981). Udang windu betina mempunyai thellycum tertutup yakni adanya lapisan atau seminal reseptakel (Landau, 1992) Sebagian besar udang dewasa dari famili Penaeid mengalami siklus hidupnya di daerah lepas pantai. Pada daerah ini udang akan menjadi dewasa kemudian mengalami perkawinan sampai menetaskan telur. Akan tetapi, setelah telur

mengalami perubahan stadia menjadi mysis, maka udang akan melakukan migrasi menuju perairan pantai hingga menjadi juvenil (Whetstone et al, 2002). Menurut Djunaidah (1989) dan Mudjiman. A (1981),

perkembangan stadia pada udang penaeid yaitu : 1. Naupli, naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayang-layang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat makanan demersal. yang naupli masih oleh menggunakan cadangan tidak

dimiliki

tubuhnya

sehingga

memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama diatom). 2. Zoea, stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang aktif ke lapisan

permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3 stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan asupan pakan ini didapatkan dari media

pemeliharaan berupa fitoplankton. Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp., Pavlova lutheri,

Nannochloris

oculata,

Skeletonema

costatum,

Thalassiosira

pseudonana dan Tetraselmis sp. 3. Mysis, stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada 3 stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum dan artemia stadia instar 1. 4. Post larva, perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang dewasa. waktu Pada stadia kolam ini udang menyukai banyak untuk

menghabiskan

didasar

dan

memakan hewan-hewan kecil yang hidup di dasar laut (benthos)

Gambar 4. Siklus Hidup P. monodon Setelah dibuahi, telur udang windu akan menetas dalam jangka waktu 18-24 jam tergantung suhu dan oksigen. Perbedaan suhu 4 0C (28 dan 32 0C) dapat berakibat penundaan penetasan sampai 6 jam dan kekurangan oksigen dapat mengakibatkan larva cacat atau telur tidak menetas. Telur udang yang baru menetas, biasa disebut larva karena mengalami beberapa kali perubahan

bentuk sebelum mirip secara morfologis dengan udang dewasa. Perubahan stadia dan substadia larva udang (metamorfosis) menunjukkan perubahan morfologi yang berakibat pada perubahan cara makan, jenis makanan dan ukurannya. 4.2.2. Biologi Larva Ikan Teri Menurut Lacepede (1803) in www.fishbase.com (2008) ikan teri di klasifikasikan berdasarkan tingkat sistematikanya sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies : : : : : : Animalia Chordata Pisces Actinopterygii Clupeiformes (herrings) Engraulididae : Stolephorus : Stolephorus spp.

Ciri-ciri morfologi ikan teri (Stolephorus spp.) memiliki tanda-tanda khas yang membedakannya dari marga-marga anggota famili Engraulididae yang lain yaitu : Bentuk tubuhnya bulat memanjang (fusiform) atau termampat samping (compressed), umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, samping tubuhnya

terdapat selempang putih keperak-perakan memanjang dari kepala sampai ekor. Sisiknya kecil dan tipis sangat mudah lepas, tulang rahang atas mungkin memanjang mencapai celah insang. Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal serta duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral yang

berjumlah tidak lebih dari 7 buah. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau selurunya di belakang anus, pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16 23 buah. Jari-jari lemah teratas dari sirip pektoral tidak memanjang. Gigi-giginya terdapat pada rahang, langit-langit, palatin, pterigoid dan lidah (Hutomo et al., 1987).

Gambar 5. Ikan Teri (Indian Anchovy) (Stolephorus spp.) Teri umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan. Sepanjang tubuhnya terdapat garis putih keperak-perakan memanjang dari kepala hingga keekor. Hidupnya terutama di daerah pantai atau dekat muara. Jarang sekali ikan atau telurnya bisa tertangkap jauh dari pantai (Nontji, 2005). Ikan dari marga Stolephorus dikenal di Jawa dengan nama teri (=bilis di Sumatera dan Kalimantan, dan puri di Ambon). Sedikitnya ada sembilan jenis teri yang terdapat di Indonesia. Ikan-ikan ini umumnya berukuran kecil sekitar 6 9 cm, misalnya Stolephorus heterolobus, Stolephorus insularis, dan

Stolephorus zollingeri. Tetapi ada pula yang berukuran besar misalnya Stolephorus commersonii dan Stolephorus indicus yang

dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah yang bisa mencapai panjang 17,50 cm (Nontji, 2005). Identifikasi spesies ikan teri di perairan Selat Madura

menunjukkan adanya empat kategori jenis berdasarkan morfologi, morfometri, dan penamaan secara lokal oleh nelayan Madura. Hasil identifikasi sumberdaya ikan teri yang terdapat di perairan Selat Madura menunjukkan bahwa jenis ikan teri diklasifikasikan dalam 4 jenis, yaitu: teri nasi (Stolephorus spp.), teri putih (Stolephorus devisi), teri merah (Stolephorus heterolobus), dan teri hitam (Stolephorus buccaneri) (Setyohadi et al., 2001). Teri nasi sangat mudah dibedakan dengan jenis teri lainnya, karena warnanya putih transparan dan ukurannya lebih kecil. Sedangkan teri putih warnanya putih transparan, ukuran jauh lebih besar dari teri nasi, warna abdomen keperakan (Silvery colour), kepala lebih pendek dibandingkan teri merah, dengan selempang lateral relatif lebih kecil. Ikan teri merah mempunyai ukuran lebih besar dari teri nasi, kepala lebih pendek dibandingkan teri putih, warna daging agak kemerahan, selempang perak lateral lebih tebal, bagian abdomen berwarna keperakan. Pemberian nama teri hitam oleh nelayan dan pengepul adalah karena warnanya yang relatif lebih kotor dibandingkan teri merah dan teri putih. Dalam hasil tangkapan, ikan teri hitam mudah diidentifikasi dari warna daging yang lebih kotor dibanding teri merah, kepala panjang

menyerupai

teri

merah,

serta

ukurannya

yang

lebih

besar

dibanding teri nasi (Setyohadi et al., 2001). Mula-mula Weber dan de Beaufort (1913) di dalam bukunya Fishes of the Indo-Australian Archipelago menyatakan ada lima jenis ikan teri. Tetapi berdasarkan penelitian Delsman (1931) tentang telur dan larva ikan di laut Jawa ditemukan jenis telur Stolephorus yang lebih banyak dari spesies yang dikemukakan Weber dan de Beaufort. Dari hasil tersebut Ia berpendapat seharusnya ada lebih banyak jenis Stolephorus daripada yang telah dikemukakan Weber dan de Beaufort. Hasil penelitian Hardenberg (1933 a & b; 1934) telah membuktikan dugaan Delsman tersebut. Ia mendapatkan 9 jenis Stolephorus dari perairan Indonesia. Sementara itu taksonomi Stolephorus terus berkembang sejalan dengan upaya para ahli untuk memperjelas identitas ikan ini (Hutomo et al., 1987). Ikan teri (Stolephorus sp.), bersifat pelagik dan menghuni perairan pesisir dan estuari, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas rendah antara 10 15 o/oo (Handenberg, 1934 in Hutomo et al., 1987). Kebanyakan teri hidup bergerombol, tetapi ada pula yang hidup soliter setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Teri yang berukuran kecil, misalnya Stolephorus heterolobus,

Stolephorus insularis, Stolephorus zollingeri, biasanya bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu. Sebaliknya yang berukuran besar (Stolephorus indicus, Stolephorus commersonii) cenderung

untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu mereka bisa tertangkap dalam gerombolan-gerombolan kecil sekitar 100 200 ekor (Nontji, 2005). Ikan teri hidup bergerombol terutama jenis yang berukuran kecil, jumlahnya dapat mencapai ratusan bahkan sampai ribuan ekor. Jenis ikan teri yang relatif besar seperti halnya jenis Stolephorus indicus dan Stolephorus commersoni lebih bersifat soliter. Ikan teri yang umumnya berkelompok (schooling) memiliki respon yang positif terhadap cahaya namun ikan teri memiliki kepekaan yang tinggi terhadap reaksi yang berupa gerakan yang berasal dari luar (Hutomo et al., 1987). Secara umum makanan Stolephorus didominasi oleh

Copepoda. Hardenberg (1934) in Hutomo et al. (1987) berdasarkan penelitian yang dilakukannya menyimpulkan bahwa makanan Stolephorus umumnya terdiri dari organisme pelagik berukuran kecil, meskipun komposisinya berbeda untuk masing-masing

spesies. Jenis-jenis ikan yang berukuran kecil memakan Crustacea kecil seperti Copepoda, Ostracoda, individu-individu kecil dari Mysis, Sergetes dan Euphasia serta larva Crustacea tingkat nauplius dan zoea. Selain itu, di dalam isi perutnya didapatkan larva bivalvia dan gastropoda, anelida, pteropoda dan diatomae. Sedangkan jenis-jenis besar memangsa sebagian besar larva ikan bersama dengan Sergetes dan Mysis.

Ikan teri memijah sepanjang tahun. Meskipun yang dewasa bisa dijumpai di perairan payau namun telurnya tak dapat ditemukan pada salinitas yang kurang dari 17 o/oo (Nontji, 2005). Ikan teri di laut Jawa memijah pada malam hari dan malam hari berikutnya menetas dan keluar larvanya. Puncak-puncak pemijahan ikan teri bersamaan dengan perubahan musim, dari musim barat laut ke musim tenggara antara bulan April dan Mei dan sebaliknya dari musim tenggara ke musim barat laut antara Desember dan Januari (Delsman, 1931 in Hutomo et al., 1987). Ikan teri nasi (Stolephorus devisi) memijah beberapa kali serta memiliki musim pemijahan yang panjang, bahkan sepanjang tahun. Fekunditasnya cukup bervariasi dan berkisar antara 921 2.287 butir untuk ukuran panjang ikan 64 81 mm dan 2.325 9.402 butir telur untuk ukuran panjang ikan 63 97 mm (Hasmi dan Retno, 1990 in Tumulyadi et al., 2000). Sedangkan menurut Setyohadi et al. (2001), pada sample teri nasi (Stolephorus spp.), sebagian besar spesimen masih belum terdeteksi antara jantan dan betina. Pengamatan gonad dan telur dalam pembesaran light microscopy masih belum meyakinkan untuk pembedaan jantan dan betina. Hal ini disebabkan oleh ukuran gonad masih sangat kecil, sedangkan metode

pemisahan jenis kelamin masih bersifat visual. Di samping itu, gonad pada sebagian besar sample masih belum terdeteksi. 4.2.3. Tentang Hatchery

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahsan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Siklus hidup atau perkembangan larva dari udang windu (Paeneus moodon ) adalah naupli, zoea, mysis dan post larva. 2. Siklus hidup dari larva ikan teri adalah 5.2. Saran Praktikum biologi larva akuatik ini sudah cukup baik, tetapi akan lebih baik lagi jika tersedia panduan petunjuk praktikum (diktat) dan asistensi sebelum praktikum dimulai agar praktikan lebih memahami lagi saat praktikum dan pembuatan laporan

DAFTAR PUSTAKA
Hutomo, M., Burhanuddin, A. Djamali, dan S. Martosewojo, 1987. Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Kontara, E. K. 1990. Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Stadium Postlarva Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak Omega3. Fakultas Pancasarjana IPB. Thesis. Murtidjo, A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil, Dalam Seri Penangkapan, Kanisius, Yogyakarta. 60 hal Nontji, A. 2005. Laut Nusantara, Cetakan ke empat (edisi revisi). Djambatan. Jakarta. Setyohadi, D., D.O. Sucipto, dan D.G.R. Wiadnya 1998. Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru di Perairan Selat Bali serta Alternatif Pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmuilmu Hayati Vol. 10 No. 1. Setyohadi, D., J. Widodo, D. Nugroho, D.G.R. Wiadnya, dan A.M. Hariati. 2001. Identifikasi, Biologi, Komposisi, dan Daerah Penyebaran Sumberdaya Ikan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Selat Madura. Jurnal Ilmu Hayati Vol. 13. Tumulyadi, A., P. Purwanti, dan A. Qoid. 2000. Intensifikasi Alat Tangkap Payang Melalui Perbaikan Perbandingan Gaya Apung dan Tenggelam yang Sesuai, di Selat Madura, Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ilmu-ilmu Teknik Vol. 12 No. 1. Webber, H.W and H.V. Thurman. 1991. Marine Biology. Second Edition. Harpher Collins Publishers. New York.

DAFTAR PUSTAKA WEBSITE

Anonim.

2010. Tempat Penetasan. http://id.wikipedia/wiki/tempatpenetasan. Diakses tanggal 18 Juni 2011.

Anonim. 2011. Udang. http://id.wikipedia.org/wiki/Udang. Diakses tanggal 18 Juni 2011. Anneahira. 2011. Biologi Laut. http://www.anneahira.com/biologilaut.htm. diakses tanggal 18 Juni 2011. Himachita. 2010. Profil Cilacap. tanggal 18 Juni 2011. http://himacita.or.id. Diakses

Kusnadi. R. 2010. Perairan Laut. http://rahmatkusnadi6.blogspot.com/2010/10/perairanlaut.html. Diakses tanggal 17 Juni 2011. Lacepede. 1803. http://www.fishbase.Sinica.edu.tw. Diakses tanggal 17 Juni 2011. Syazili. A. 2011. Larva Ikan. http://akuakultur.blogspot.com/2011/04/larva-ikan.html. Diakses tanggal 18 Juni 2011.

You might also like