You are on page 1of 45

Heroisme Arek Suroboyo Jumat, 4 Feb 2011 02:19 WIB

Setiap tanggal 22 Oktober, arek-arek Surabaya tidak bisa lepas dari ingatan fakta sejarah ihwal resolusi jihad yang terjadi 65 tahun silam, yakni 22 Oktober 1945. Resolusi jihad ini lahir 66 hari pasca kemerdekaan dan 18 hari menjelang perang besar-besaran pada 10 November 1945. Resolusi jihad yang difatwakan para kiai di bawah komando KH Hasyim Asyari ini dikarenakan penjajah masih belum mengakui kedaulatan Republik Indonesia, sehingga ingin kembali menjajah dan berkuasa seperti sedia kala. Buku bertajuk Resolusi Jihad Paling Syari karya Gugun El-Guyanie ini mengulas gerak heroisme arek Suroboyo yang teguh menegakkan kedaulatan NKRI. Sejarah mengabarkan bahwa heroisme arek Suroboyo ini sebagai jihad yang menggelorkan semangat perjuangan anak bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Jenderal Soedirman makin membara perjuangannya karena terlecut oleh heroisme yang dikobarkan arek Suroboyo. Heroisme ini lahir tersebab spirit nasionalisme para kiai. Dalam resolusi jihad ini, umat Islam wajib mengangkat senjata melawan penjajah yang hendak kembali menjajah Indonesia, kaum muslimin Indonesia dilarang untuk melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda, dan bagi kaum Muslimin yang berjarak lingkaran 94 kilometer dari posisi musuh wajib melakukan jihad. Kewajiban ini mengikat bagi setiap individu, alias fardlu ain. Sementara bagi yang berada di radius di luar 94 kilometer, hukum jihadnya bersifat sekunder dan kolektif, atau biasa dikenal dengan istilah fadlu kifayah. Resolusi jihad inilah yang membakar semangat nasionalisme arek-arek Surabaya dan sekitarnya untuk bertempur habis-habisan. Atas restu Kiai Hasyim Asyari, Bung Tomo memimpin gelora perjuangan arek Surabaya untuk menghadang Belanda dan sekutunya. Pecahlah perang besar-besaran pada 10 November 1945. Perjuangan arek Surabaya kemudian dikenal bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Resolusi jihad yang lahir di Surabaya ini merupakan babakan perjuangan anak bangsa yang sedang berjuang mempertahankan kedaualatan NKRI. Kemerdekaan yang diraih Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah kemerdekaan cuma-cuma, bukan pula hadiah dari Jepang atau Belanda. Kemerdekaan Indonesia merupakan manifestasi atas perjuangan anak bangsa yang mengobarkan seluruh jiwa-raganya demi tegaknya kedaualatan RI. Jejak

historis mengabarkan bahwa anak bangsa tidak rela dengan kehadiran kembali Belanda yang hendak kembali berkuasa. Resolusi jihad ini merupakan sumbangan fatwa sangat berharga dari Surabaya untuk Indonesia. Perjuangan arek Surabaya juga menjadi ilham perjuangan kaum santri dan bala tentara Indonesia di berbagai penjuru Nusantara untuk menegakkan NKRI sampai detik terakhir. Spirit arek Surabaya menjadi salah satu fondasi bangsa Indonesia membangun etos perjuangan di tengah keterjepitan penjajahan. Etos arek-arek Surabaya yang demikian dahsyat menjadi penanda krusial dalam jejak perjuangan Indonesia. Kalau bangsa Indonesia secara formal mengakui perjuangan arek Surabaya, sudah selayaknya arek Surabaya sendiri menjadikan kisah heroik pendahulunya ini sebagai motivasi besar dalam menumbuhkan etos nasionalisme membela NKRI. Berjuang menegakkan Indonesia yang telah diteladankan pada pendahulu tidak boleh terlewat begitu saja dalam lembaran sejarah, tetapi harus menjadi monumen yang selalu menegakkan semangat yang berkobar dalam melestarikan dan meneguhkan etos perjuangan bangsa. Jejak penuh makna yang terkandung dalam resolusi jihad 22 Oktober 1945 perlu diterjemahkan lebih kontekstual oleh anak jaman saat ini. Kalau saat itu perjuangan dengan menjadi kobaran yang luar biasa, saatnya penerus perjuangan arek Surabaya harus bisa hadir dengan model berbeda, tetapi dengan visi dan semangat berkobar yang tidak boleh kendur, bahkan harus lebih besar dibandingkan pendahulunya. Nasionalisme membela Indonesia jaman sekarang bisa diwujudkan dengan terus meningkatkan kreativitas dan karya dalam membela saudara yang masih terbelakang, bodoh, dan dililit kemiskinan. Itulah tantangan konkrit yang layak dijawab untuk jaman ini. Di tengah euforia teknologi informasi yang demikian canggih, saatnya arek Surabaya membuktikan jejak perjuangan masa lalu yang masih aktual sampai sekarang dengan langkah konkret dalam menggerakkan perubahan sosial di masyarakat. Jangan sampai saudara kita yang masih dililit ketiga hal tersebut terus ditindas oleh rezim keserakahan yang maunya menang sendiri. Keserakahan harus dilenyapkan dari bumi Surabaya, kemajuan selalu ditunggu saudara-saudara yang masih berada di pinggir jalan, kolong jembatan, dan tempat-tempat kumuh. Sementara bagi para ulama, kiai, dan kaum santri, resolusi jihad yang dikomandoni Kiai Hasyim Asyari bukti bukti nyata ihwal keharusan keterlibatan kaum santri dalam menumbuhkan nasionalisme kebangsaan. Spirit Kiai Hasyim tidak mengajarkan kaum santri hanya mengaji kitab kuning di pesantren, rajin shalat di masjid, dan wiridan di musolla, apalagi mengeluarkan fakta yang tak ada ujungnya. Sang maha guru, Kiai Hasyim tidak mengajarkan demikian. Tetapi mengajarkan kaum santri untuk terjun langsung menjawab persoalan jamanhya dengan teguh dan ikhlas. Etos perjuangan yang dipahatkan Kiai Hasyim yang direkam dalam buku ini bukan pula mengajarkan kiai untuk sibuk dengan politik kemudian lalai dengan santri dan umatnya.

Tetapi tetap setia menemani umat serta menjawab berbagai persoalan umat di tengah tantangan jaman yang begitu berkecamuk. Nasionalisme kebangsaan para kiai dan arek Suroboyo dalam jejak resolusi jihad tetap tegak dengan begitu gagah untuk menjaga kedaulatan NKRI. Hari Pahlawan, GANEFO dan Nasionalisme Kita November8 Tanggal 10 November dikenal dengan Hari Pahlawan, di mana peringatannya ditujukan pada perjuangan dan pengorbanan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran dengan pasukan Inggris. Pertempuran itu dipicu penolakan ultimatum yang diberikan pasukan Inggris agar pejuang Indonesia menyerah sebelum pagi tanggal 10 November 1945. Inggris mengultimatum sebagai buntut perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato oleh arekarek Suroboyo. Rakyat Indonesia di Surabaya menolak untuk menyerah, akibatnya penjajah mengerahkan 30 ribu serdadu dengan puluhan pesawat terbang dan kapal perang untuk memborbardir Surabaya. Perkiraan Inggris bahwa Surabaya akan dikuasai dalam hitungan jam ternyata meleset. Agaknya ada faktor non-teknis di luar perkiraan penjajah: semangat kepahlawanan. Semangat ini membuat perlawanan rakyat Surabaya berlangsung berharihari, dengan pengobaran semangat takbir dari Bung Tomo dan tokoh pesantren pertempuran berlangsung sebulan, sebelum akhirnya pejuang kalah dan Surabaya jatuh ke tangan Inggris. 23 Tahun kemudian pada bulan yang sama, Presiden Sukarno mengguncang dunia dengan membuat tandingan dari Olimpiade Tokyo, yakni penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Penyelenggaraan GANEFO dipicu kemarahan Sukarno akibat skorsing Komite Olimpiade Internasional (KOI) pada Indonesia dalam Olimpiade Tokyo karena Sukarno melarang Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games 1962 di Jakarta. Larangan ini merupakan bentuk dukungan Indonesia pada Republik Rakyat China (RRC) dan Negara-negara Arab yang sedang berkonflik dengan Taiwan dan Israel, padahal Taiwal dan Israel adalah anggota resmi PBB. GANEFO sukses diselenggarakan dengan partisipasi 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Tidak kurang dari 450 wartawan dari berbagai belahan dunia datang ke Senayan. Meski diboikot negara-negara Barat, GANEFO sukses diadakan. GANEFO 1963 menjadi perhelatan pertama dan terakhir karena penyelenggaraan berikutnya gagal akibat persoalan politik. Apa yang kita tangkap dari dua peristiwa besar di atas adalah bagaimana rakyat (dalam peristiwa Surabaya) dan pemimpin bangsa (dalam peristiwa GANEFO) memandang nasionalisme sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Persoalan keberhasilan adalah urusan belakang, yang penting nasionalisme itu mesti diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar slogan semata.

Kedua peristiwa di atas juga mengajarkan kita akan nilai-nilai kepahlawanan. Bahwa pahlawan adalah keberanian menyatakan kebenaran dan membelanya sampai titik darah penghabisan benar-benar dilakukan oleh arek-arek Suroboyo dan Sukarno dulu. Pahlawan tidak peduli siapa yang dilawan dan apakah ia mendapat keuntungan dari sikapnya itu. Kini setelah berpuluh-puluh tahun kita merdeka, rasa nasionalisme dan kepahlawanan cenderung menjadi simbol semata yang kurang makna dan sulit diwujudkan. GANEFO kini hanya berwujud tugu di lokasi api abadi Mrapen dan perjuangan arek-arek Suroboyo mewujud sebatas adanya hari besar nasional. Adakah keinginan, misalnya, pada para petinggi KONI untuk kembali mewujudkan nasionalisme dalam bidang olahraga dengan menyelenggarakan kembali GANEFO dan memunculkan Indonesia sebagai ikon olahraga dunia? Adakah juga kesadaran masyarakat pada Hari Pahlawan ini untuk tidak sekedar mengikuti upacara atau mengadakan lomba-lomba sepele dan sejenak menyempatkan diri pergi ke Taman Makam Pahlawan terdekat. Membangun kesadaran bahwa banyak jasad terpendam di sana tanpa nama, tanpa tanda jasa dan tidak diketahui oleh sanak keluarganya. Mereka menjadi bagian dari modal kemerdekaan yang kita nikmati ini tanpa berharap kita yang mengambil buah perjuangan untuk mengenal dan mengenangnya. Banyak pihak menyatakan bahwa nasionalisme kita diujung tanduk. Kedaulatan kita sebagai bangsa yang besar seolah tidak tampak lagi di mata dunia Internasional. Indonesia seolah menjadi sasaran empuk imperialisme modern. Ada negara yang menancapkan kolonialisme mereka dalam bidang ekonomi dengan menyetir penuh kebijakan perekonomian kita yang berpihak pada asing dan membuat kamuflase kebijakan prorakyat. Secara budaya kita juga terjajah. Klaim-klaim negara tetangga mantan sahabat kita akan budaya-budaya bangsa juga merupakan bentuk imperialisme. Belum lagi budaya secara luas dalam pengertian life style, mode, fashion, komunikasi dan lain sebagainya yang gencar dilancarkan melalui serangan media. Dalam bidang kehidupan lain juga tidak jauh berbeda, imperialisme modern menggerogoti diperparah dengan rendahnya nasionalisme kita yang sebatas slogan saja. Padahal, seperti sudah kita singgung di atas, nasionalisme bukan sebatas slogan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, nusantara sudah berdaulat. Ketika Meng Chiutusan Kaisar Kubilai Khandari Mongol membawa perintah membayar upeti, Kertanegara Raja Singosari memotong daun telinganya dan mengusirnya pergi. Sebuah tindakan yang berbuah kemarahan penguasa Asia Tengah yang akhirnya mengirimkan armada 1000 kapal perang dengan 20.000 pasukannya. Pasukan yang mendarat di Pantai Tuban ini akhirnya ditipu oleh Raden Wijaya dan membuat kekalahan besar Mongol oleh Singosari. Di tengah gempuran imperialisme modern dengan segala mutasi bentuk-bentuknya, sungguh nasionalisme kita perlu dikaji ulang. Kadaulatan bangsa mesti diletakkan diatas segala kepentingan lain, kita jangan takut kepada negara asing yang memiliki tendensi imperialis dalam tipu muslihat dibalik bantuan-bantuannya.

Ada baiknya kita kembali menghayati slogan yang dikumandangkan Sukarno saat menghelat GANEFO sebagai bentuk perlawanan dan ketegasan kedaulatan, Onward! No Retreat!, Maju Terus Pantang Mundur! [] posted under Humanis Bab III

NASIONALISME BARU INDONESIA

Tidak mungkin adalah kata yang hanya dikenal dalam kamus orang tolol. (Napoleon Bonaparte).

LSL:

Menurut anda apa yang dimaksud dengan nasionalisme?

SK: Secara umum nasionalisme atau rasa kebangsaan adalah rasa cinta warga bangsa dalam bentuk kesediaan untuk menjaga dan mempertahankan negara. Istilah ini sesungguhnya ciptaan elit semata, karena bagi rakyat kecil dari dahulu sampai kapanpun tahunya bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Bagi mereka soal kepedulian terhadap negara sesungguhnya karena dipaksa oleh negara dengan peraturanperaturan yang bila dilanggarnya akan terkena sanksi. Bahkan menurut pendapat Ben Anderson nasionalisme sesungguhnya adalah imagined community Dalam era kekinian, rasa nasionalisme hanya akan tumbuh manakala negara membawa manfaat bagi segenap warga bangsanya. Dan sebaliknya ketika negara tidak lagi membawa manfaat bagi warga bangsanya, secara perlahan ia akan dikalahkan oleh kekuatan pasar akibat globalisasi dalam trendnya menuju stateless. Oleh karena itu untuk membangun nasionalisme kedepan haruslah dalam kerangka nation and state building, sehingga negara terus bisa menjadi fasilitator dan regulator bagi warga bangsanya sesuai kebutuhan jaman kekinian.

LSL: Menurut anda bagaimana perkembangan nasionalisme di Indonesia saat ini? Bukankah banyak pihak menyimpulkan bahwa nasionalisme kita sedang melemah. Dan apa yang menjadi ciri khas nasionalisme kita? SK: Kesimpulan tersebut sama sekali tidak salah, itu adalah kenyataan. Hal ini tidak bisa terlepas dari menurunnya manfaat keberadaan negara (Indonesia) bagi sebagian besar anak bangsa dan entitas pembentuk negara. Dalam banyak hal rakyat malah dibikin repot dan bahkan dirugikan pemerintah yang mengatas namakan negara. Munculnya perasaan publik bahwa saat ini tidak lagi merasakan adanya pemerintahan, adalah tanda-tanda awal lemahnya nasionalisme. Belum lagi munculnya tuntutan untuk memisahkan diri dalam berbagai bentuk dan wujudnya, adalah bukti lemahnya rasa kebangsaan kita. Sedang bicara perkembangan nasionalisme, haruslah kita simak ke belakang. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah ikrar sekaligus proklamasi Kebangsaan Indonesia. Rasa kebangsaan ini terus berkembang seiring perjalanan perjuangan untuk merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah berdirinya negara Republik Indonesia. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur yang sekaligus sebagai ciri khasnya: Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, ketuhanan, agama dan budaya. Kedua, kesadaran-bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia.

LSL: Apakah hal tersebut terkait dengan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan atas nama bangsa Indonesia, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, bahwa Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dapatkah anda jelaskan keterkaitan kedua pernyataan tersebut dengan semangat kebangsaan kita? SK: Sudah barang tentu nilai kedua pernyataan tidak bisa lepas dari proses pengembangan nasionalisme kita. Sejarah kelahiran rasa kebangsaan kita sangat diwarnai oleh kepeloporan (utamanya) Bung Karno. Sejak masa mudanya, ia berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, ketuhanan, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut. Hal-hal yang

seperti ini bisa dibaca pada buku Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang ditulis Bung Karno 1926. Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nation dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teoriteori atau analisis-analisis apapun. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

LSL: Bicara nasionalisme di Indonesia, tidak bisa lepas dari peran tokoh-tokoh Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Tapi belakangan muncul opini seolah ada permasalahan antara Islam dengan nasionalisme. Bagaimana menurut anda tentang Islam dalam kaitan dengan nasionalisme kita? SK: Islam dan nasionalisme di Indonesia satu-kesatuan. Bahkan nasionalisme berkembang tahun 1910 an itu kan karena peran tokoh-tokoh Islam. Dalam perkembangannya hingga berhasil membentuk negara, Islam juga berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Artinya Islam tak bertentangan dengan nasionalisme dan bukan pula hal yang perlu dihadaphadapkan seperti dituduhkan banyak orang. Karena keduanya memang menyatu. Hanya saja, karena bangsa ini majemuk maka semua agama-agama dan persoalan Ketuhanan Yang Maha Esa perlu diwadahi dalam demokrasi, agar seluruh kelompok yang beragama dan mereka yang berketuhanan diluar agama secara keseluruhan bisa bersatu. Lalu bicara tentang nasionalisme Indonesia, tak mungkin bisa dipadankan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berfondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Sosio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke chauvinisme alias nasionalisme sempit. Nasionalisme yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, dan lain-lain sesuai dengan individualisme Barat lah. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya yakni state building. Pada tahap nation building memang sempat terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building adalah perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state

building, ternyata terpangkas oleh peristiwa G30S/PKI dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru. Dampak yang tidak bisa dihindari, nasionalisme yang berkembang pada era Orde Baru telah kehilangan roh aslinya. SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) yang awalnya menjadi kekuatan bangsa yang memang majemuk, justru ditempatkan sebagai sumber ancaman. Lebih dari itu intrik dan konflik menjadi model utama dalam pengelolaan negara. Disanalah maka muncul stigma Ektrim kanan, kiri dan bahkan ektrim lainnya. Tidak hanya itu, konflik antar komponen bangsa yang satu dan lainnya kemudian berkembang. Sementara perjuangan tokoh-tokoh Islam yang awalnya bersatu padu untuk merebut kemerdekaan, diera Orde Baru seolah perjuangan tokoh Islam lepas dari kerangka Indonesia. Hal hal inilah saat ini perlu diluruskan, agar kedepan segenap komponen bangsa dengan coraknya masing-masing tetap dalam satu naungan yaitu Indonesia.

LSL: Apa masalah yang dihadapi nasionalisme kita dewasa ini? SK: Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, dan itu semua jelas-jelas menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekuasaan yang militeristik, sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat. Singkatnya, dan yang pasti memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba itu menumbuhkan kebencian rakyat mendasar kepada pusat. Terutama rakyat luar Jawa yang kaya sumber daya alam. Mereka merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayanya dieliminasi oleh pusat. Maka tidaklah salah kalau dikatakan selama era Orde Baru telah terjadi penjajahan oleh bangsanya sendiri yaitu oleh rezim Orba. Kolonialisme Orba ini meskipun singkat yaitu hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda), tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multidimensional yang luar biasa, hutang yang begitu besar, lingkungan hidup yang rusak berat, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga, belum lagi karakter bangsa yang terlanjur rusak. Belanda sendiri, sama sekali tidak meninggalkan residu yang separah peninggalan Orde Baru. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidakadilan yang sangat mendalam. Pada keadaan itulah benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara

Indonesia tumbuh subur. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, misalnya antara suku Dayak dan suku Madura (di Kalimantan), antara umat Kristen dan umat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan harta benda dan dibarengi pemerkosaan etnik Tionghoa (di sejumlah kota di Jawa utamanya Jakarta) pada Mei 1998, dll adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia. Sesungguhnya ketidak adilan bukan hanya dirasakan oleh rakyat diluar Jawa, di Jawa pun perlakuan pemerintahan sama, namun karena peredaran uang hasil eksploitasi sumber daya alam tersebut banyak berada di Jawa, maka akhirnya di pinggiran kota-kota besar di Jawa muncul pemukiman kumuh tempat pelarian rakyat desa dan daerah untuk mengkais sedikit rezeki.

LSL: Jadi menurut anda sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut adalah kekuasaan rezim Orde Baru? SK: Barangkali bisa dikatakan begitu. Namun cara memahaminya harus utuh. Apa yang dikerjakan Soeharto adalah tuntutan sistem kenegaraan. Bicara sistem kenegaraan jelas bukan Soeharto pribadi atau TNI saja. Penyusun sistem Orde Baru kan tidak hanya militer, bukankah perancang dan juga pendukungnya justru dari lingkungan intelektual (teknokrat). Maka kita harus jujur dulu menemukan sumber masalah. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki atau menyehatkan nasionalisme Indonesia yang kini sedang sakit. Sedang hujatan-hujatan terhadap Pusat tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme itu sendiri. Mengacu pada uraian di atas, Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur, Megawati dan juga SBY dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur, Megawati dan SBY adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Ketiga pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kedepan, kecuali dengan paradigma baru niscaya akan bernasib sama. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu kategorinya sudah tergolong kemajuan dan keberhasilan. Begitu pula terhadap pemlintiran kata pusat diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa) sesungguhnya bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidak senangan, kebencian, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada rezim Orde Baru.

LSL: Tapi, bukankah ada pendapat yang bilang bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi. Apa pendapat andal? SK: Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, hukum, humanisme, keadilan, Pancasila pun demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekuensi logis atau akibat dari proses demokrasi yang belum mantap, dan bahkan budaya Orba sendiri hingga kini masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim Orde Baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan dan manajemen konflik, serta pecah belah. Sehingga akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison detre yang sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (Orde Baru). Manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim Orde Baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun diseluruh aspek kehidupan seperti hukum, keadilan, HAM, ekonomi, karakter dan moral serta budaya bangsa. Dengan demikian, ketika seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini. Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negarabagian yang lain terdapat republik-otonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan.

LSL: Tapi rasanya kalau melihat dasar masalah hanya karena sistem kenegaraan, agaknya tidak obyektif. Tentu ada faktor lain mengapa rasa kebangsaan kita masih

lemah, bahkan sesama saudara satu tanah air masih ada perasaan asing. Orang Sunda, misalnya, merasa asing dengan orang Flores, orang Batak dengan orang Kalimantan, dll. Jadi apakah faktor kedekatan emosional antar masyarakat juga salah satu sebab mengapa rasa kebangsaan kita masih lemah? SK: Anda sama sekali tidak salah, kelahiran kita sebagai Indonesia lebih dikarenakan kesamaan nasib akibat penjajahan Belanda. Sebetulnya kalau mau jujur, ikatan kejiwaan kita sebagai Indonesia, masih sangat rapuh. Masa lalu kita yang terdiri dari kerajaankerajaan kecil yang sering mengalami konflik. Sentimen kedaerahan, etnis dan bahkan agama dengan mudah dibangkitkan, belum lagi persoalan kesenjangan baik vertikal maupun horizontal dalam hal ekonomi. Kondisi yang penuh potensi kerawanan ini memperlemah semangat kebangsaan. Makanya hanya dengan sistem kenegaraan yang kuat sajalah yang bisa mengatasinya. Pemahaman sistem kenegaraan yang kuat disini diartikan sistem yang mendapat dukungan secara kuat dari segenap warga bangsanya tanpa kecuali, karenanya ia haruslah responsif terhadap setiap aspirasi yang berkembang. Itu sebabnya, kita perlu sistem kenegaraan yang bisa diterima oleh seluruh anak bangsa. Sistem kenegaraan yang bisa menghargai dan mengakui keragaman yang menjadi ciri bangsa kita. Kita perlu segera membuktikan kebenaran niat dan tekad para pendiri republik untuk membentuk Indonesia yang majemuk namun satu. Benar tidak dulu para pendiri kita mau membangun Indonesia untuk melindungi segenap bangsa tanpa kecuali? Benar tidak Indonesia ini untuk semua? Kan itu yang kedepan perlu diempowering (diberdayakan). Disana manfaat keberadaan negara akan dirasakan oleh seluruh kelompok dan setiap orang warga bangsa. Kalau tidak, Indonesia akan selalu kerepotan dengan masyarakatnya yang bhineka. Mengapa sistem kenegaraan itu penting karena sistem kenegaraan itulah yang mengikat masyarakat yang majemuk ini, dan sistem itulah yang menjamin adanya negara ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian sistem kenegaraan yang ada akan dipertahankan oleh semua pihak, karena segenap anak bangsa ini merasakan manfaat atas keberadaan Indonesia, sehingga secara otomatis akan menjadi sistem yang kuat. Kalau sistem tidak kuat, matilah kita semua, dan bubarlah juga bangsa ini.

LSL: Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia bukan solusi yang tepat? SK: Untuk saat ini ya. Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia: (1) Dalam situasi

kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius. (2) Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa sistem dan kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, Orde Baru dengan semboyan mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI), semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar. Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimisik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Saya yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia niscaya bisa sehat, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius dalam pengelolaan negara khususnya untuk: (pertama) Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas. (kedua) Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokratik. (ketiga) Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, ketuhanan, suku, etnik dan budaya.

LSL: Bukankah kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inikah tugas berat pemerintahan dewasa ini, pendapat anda? SK: Satu catatan untuk SBY-JK. Sebagai pemerintahan transisional mereka tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas dan cepat. Hal ini tidak bisa lepas dari kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba memang begitu dasyat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan sudah berhasil menentramkan gejolak di Maluku dan Papua, kalau ia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, menstabilkan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan.

Memang disayangkan perubahan sistem kenegaraan serba tanggung sehingga membuat pemerintahan yang berkuasa siapapun presidennya akan cenderung tidak mempunyai sense of crisis, sehingga menganggap seolah bangsa ini tidak sedang sekarat. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan ini dalam memperbaiki kerusakankerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan saat ini, apalagi seruan penggulingan, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan, yang hanya akan menguntungkan kekuatan kekuatan eksternal dan status quo yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan ini memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini.

LSL: Belakangan ini sejumlah pihak begitu militan berjuang diberbagai forum dengan mengatas namakan kepentingan bangsa dan negara. Dibanyak tempat mereka juga berusaha membangkitkan militansi bangsa. Tapi betul kah yang mereka perjuangkan benar-benar hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Terkadang juga lucu, waktu berkuasa memusuhi rakyat, begitu pensiun malah menjadi pahlawan pembela rakyat. Komentar anda? SK: Yaa, setidaknya syukurlah kalau mereka insyaf, walaupun sangat-sangat terlambat. Moga-moga saja niatnya tulus untuk rakyat, bukan untuk cuci tangan atau untuk menyelamatkan diri karena masa lampaunya yang berdarah-darah atau kotor akibat kekuasaan politik. Jujur saja sesungguhnya memang aneh, dulu waktu menjabat ikut korupsi atau setidaknya membiarkan terjadinya korupsi, namun sekarang kok nyaring dan bahkan ada yang menabuh genderang perang melawan korupsi. Dahulu waktu berkuasa menjadi bagian yang melaksanakan atau membiarkan terjadinya penindasan kepada rakyat kecil, sekarang setelah pensiun kok menjadi pejuang yang katanya akan membela rakyat kecil. Begitu juga soal militansi bangsa, dalam arti value tentang semangat sebuah bangsa. Sesungguhnya soal militansi bersifat universal, dikenal disemua negara baik yang menganut paham demokrasi maupun yang bukan demokrasi. Bagi bangsa kita barangkali persoalannya tinggal bagimana nilai tersebut diformulasikan ulang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan era kekinian. Persoalan militansi bangsa dalam kaitan struktural kenegaraan apalagi yang berhubungan dengan keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara, saya lebih memilih penggunaan istilah semangat nasionalisme dari pada istilah militansi bangsa. Dalam praktek pengelolaan negara, militansi bangsa lazimnya dikembangkan oleh negara-negara Fasis dan juga negara-negara Agama, karena paham yang digunakan dalam mengatur negara penganut paham ini memanglah top-down. Sedang semangat nasionalis biasanya digunakan dilingkungan negara-negara penganut paham demokrasi.

Adapun perbedaan yang mencolok dalam upaya menjaga stabilitas keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa pada negara-negara Fasis ditempuh dengan cara-cara refresi dan kontrol secara ketat terhadap kehidupan sosial rakyatnya. Untuk melahirkan militansi rakyat nya, negara menempuh cara-cara indoktrinasi, propaganda dan juga mobilisasi. Sedang pada negara-negara penganut paham demokrasi (terlebih setelah melewati tahap konsolidasi sebagai negara) persoalan stabilitas keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa justru diposisikan sebagai out put atau produk dari sistem sipil (kenegaraan) itu sendiri. Sedang kadar rasa atau semangat nasionalisme (militansi) sangat ditentukan oleh kemanfaatan dari keberadaan negara itu sendiri.

LSL: Yang jadi soal apakah dalam membangun nasionalisme kita harus melupakan harga diri dan budaya bangsa? SK: Sebaiknya kita jernih mengartikan harga diri dan budaya bangsa. Dengan mengambil perbandingan yang dilaksanakan oleh sejumlah pemimpin negara sahabat, kiranya kita akan lebih mudah menarik kesimpulan makna harga diri dan budaya bangsa. Betapa kecermatan dan keberanian seorang pemimpin bangsa mampu mengubah peradaban bangsanya dan mampu membangkitkan kembali rasa nasionalisme bangsa nya. Margaret Tacher umpamanya, ia telah mengesampingkan cemoohan banyak pihak tentang harga diri bangsa karena ia mengundang Sonny dan Honda yang notabene berasal dari timur. Namun ia tahu dan meyakini bahwa yang dibutuhkan rakyatnya saat itu adalah aspek kesejahteraan. Bill Clinton dalam dua kali pemerintahannya sama sekali tidak mengalami inflasi, hal ini karena penilaian adanya gap dimana kebutuhan atas kesejahteraan berada jauh diatas kepentingan rasa aman. Maka dengan program memotong bugdet sektor Pertahanan, ia telah berhasil membangun kembali ekonomi Amerika.

LSL: Dari uraian anda terdahulu bisa jadi dewasa ini banyak elite yang meneriakkan slogan nasionalisme untuk melindungi kepentingannya sendiri, terutama di bidang bisnis. Seolah nasionalisme disederhanakan dengan melindungi korporasi milik pengusaha nasional yang ternyata tidak kalah rakusnya bahkan lebih menyesengsarakan rakyat (misal kasus Lapindo) namun dilindungi oleh bendera nasionalisme. SK: Dalam prakteknya tidak sedikit pemimpin bangsa yang menggunakan slogan nasionalisme hanyalah sebagai tameng atas kelemahannya atau bahkan sebagai upaya menyembunyikan dosa masa lalunya. Cara ini antara lain dengan menempatkan bangsa

lain sebagai penyebab kerusakan yang tengah terjadi di negara nya. Model yang demikian ini lazim terjadi pada negara-negara otoriter atau penganut paham fasisme dan negaranegara yang peradaban nya belum tinggi sehingga dalam pergaulan internasional tidak berpegang teguh pada fatsun dan kaidah-kaidah internasional. Nasionalisme juga haruslah ditafsirkan secara common sense dan tidak boleh ditafsirkan secara sempit sesuai kepentingan penguasa. Dalam kasus Jerman dibawah Hitler, nasionalisme dengan sengaja ditafsirkan secara sempit sehingga melahirkan nasionalisme yang chauvinistik, sejarah mencatat bahwa hal tersebut tidak hanya membuahkan mala petaka bagi bangsanya saja, tapi juga mala petaka kemanusiaan bagi bangsa bangsa lainnya. Dalam banyak kasus, karena parktek-praktek ekonomi biaya tinggi termasuk kolusi antara pengusaha nasional dengan pejabat negara yang bertanggung jawab dalam pengurusan perijinan (lisensi) membuat beban pengembalian pinjaman yang melebihi hitungan ekonomis (kelayakan bisnis). Dalam kaitan ini tidak sedikit hubungan gelap yang demikian itu diatas namakan kepentingan nasional dan karenanya dibentengi dengan slogan nasionalisme. Padahal praktek kong kalikong yang demikian ini justru bertentangan dengan kepentingan rakyat, karena secara langsung malah membebani rakyat. Publik juga tidak boleh terkecoh dengan ajakan sejumlah elit untuk nasionalisasi perusahaan- perusahaan asing yang mengelola tambang, kalau tujuannya hanya sekedar ganti kepemilikan saham dari Londo kulit putih menjadi milik Londo kulit hitam. Kedepan yang diperlukan adalah perubahan model pengelolaan agar benar-benar langsung diraskan manfaatnya oleh segenap rakyat tanpa kecuali. Sama sekali bukan masalah kepemilikan saham, karena biar yang memiliki saham orang Indonesia bahkan pribumi sekalipun sepanjang model pengelolaan seperti yang ada saat ini, maka yang menikmati berkah Sumber Daya Alam sama sekali bukan rakyat, tapi anggota keluarga, istri, anak dan keturunan pemegang saham.

LSL: Bila begitu adanya, sesungguhnya apa yang salah tentang pemahaman nasionalisme yang kini populer dijadikan pijakan perjuangan bangsa kita dewasa ini? SK: Yang terjadi, nasionalisme lebih hanya dijadikan slogan oleh banyak kalangan. Bahkan pihak-pihak yang bermasalah dan yang akan membuat masalah kini sedang mencoba menempatkan rasa nasioanlisme sebagai pijakan perjuangan dengan menempatkan sejumlah negara asing sebagai musuh bangsa. Diantara mereka lupa bahwa dirinya dimasa lalu adalah bagian dari rezim yang berkuasa yang begitu mesra dengan negara-negara tersebut. Berkat kemesraannya itu dahulu rezimnya mendapatkan bantuan dan pinjaman dalam jumlah yang begitu besar dari negara-negara yang kini dihujatnya. Dan yang jelas sebagian dari pinjaman tersebut tidak dikelola dengan baik, bahkan

sebagian lagi dikemplang ramai-ramai oleh kroni dan anggota rezimnya. Mereka pula yang dahulu menyetujui persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara kita dengan negara atau lembaga-lembaga donor yang kini nyata-nyata dirasakan sangat memberatkan bangsa kita. Yang pasti generasi penerusnya yang harus menanggung residu masa lalu dan juga warisan hutang yang begitu besarnya.

LSL: Apa yang sebernarnya perlu dilakukan oleh pemerintahan paska Soeharto dalam membangun nasionalisme baru seperti yang anda maksudkan? SK: Sangat disayangkan Pemerintahan terdahulu pasca Soeharto lengser tidak mengawali dengan mapping (pemetaan) dengan sungguh-sungguh tentang kondisi nyata atas persoalan yang dihadapi bangsa dan negara nya. Maka menjadi wajar kalau rezim terus berganti, tapi disorientasi bangsa ini terus tidak kunjung berakhir. Dan belakangan publik juga tahu bahwa anggota rezim pengganti juga terlibat dalam permasalahan serius utamanya dalam pengelolaan keuangan negara (korupsi). Dalam perpolitikan mereka juga mengabaikan etika. Maka tarik menarik kepentingan menjadi sangat menonjol daripada. Sesungguhnya semua itu adalah perang berlarut yang sedang dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu, untuk kembali memperoleh kekuasaan atau setidaknya membeli waktu agar segala persoalan yang melingkupi dirinya khsusunya dalam kaiatan KKN (sebagian termasuk pendatang baru) tidak lagi mengancam dirinya lagi. Disanalah maka kita dapat ditengarai menurunnya harapan dan sekaligus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan kesejahteraan. Kondisi yang demikian ini jelas membebani Pemerintahan yang sekarang siapapun pemimpinnya karena tidaklah mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena kadarnya begitu rendahnya) untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat ancaman yang saat ini nyata-nyata kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita.

LSL: Sesuai penjelasan anda diatas bahwa rasa nasionalisme terkait langsung dengan azas kemanfaatan bagi rakyat, sementara keterpurukan terus membelit kita. Lantas bagaimana sebaiknya bangsa ini merespond tuntutan pemisahan diri? SK: Karena kadar rasa nasionalisme sangat ditentukan oleh azas manfaat atas keberadaan negara, maka untuk era sekarang dan terlebih kedepan para elit sebaiknya tidak terus menyalahkan sikap sebagian warga bangsa kita yang tidak lagi peduli terhadap keutuhan negara Republik Indonesia. Apalagi kalau malah memusuhi mereka yang menginginkan memisahkan diri dari Republik tercinta ini. Hal yang demikian itu sama

sekali tidak berarti bahwa kita lantas membiarkan begitu saja mereka yang menginginkan untuk memisahkan diri dengan membentuk negara sendiri. Terlebih kalau upaya yang ditempuhnya nyata-nyata melanggar hukum dan keluar dari koridor demokrasi. Karena negara mempunyai kwajiban untuk mencegah dan atau menindaknya. Dalam kaitan membangun rasa nasionalisme kedepan, munculnya aspirasi yang demikian itu haruslah ditempatkan sebagai penomena ketidak berhasilan bahkan kegagalan negara dalam menjamin terwujudnya ketiga unsur pokok pembentuk rasa nasionalisme itu sendiri. Oleh karenanya kedepan negara termasuk alat kelengkapannya tak terkecuali juga TNI tidak perlu lagi menuntut rakyatnya untuk menumbuhkan rasa patriotisme, kerelaan berkorban, dan juga pantang menyerah dan apalagi dipersiapkan untuk ikut dalam perjuangan pisik. Tapi sebaliknya bagaimana negara ini segera keluar dari keteterpurukan, dan segera membangun kesejahteraan.

LSL: Wujud patriotisme kekinian yang seperti apa yang dapat mencerminkan adanya rasa nasionalisme yang tidak semu? SK: Haruslah disadari bersama bahwa beda yang mendasar pendekatan negara otoriter dan negara demokrasi dalam urusan menjaga kedaulatannya dengan perjuangan bersenjata terletak pada pilihan model rekruitmen kekuatan tentara nya. Untuk negara otoriter kekuatan tentaranya diperoleh dengan mobilisasi, sedang dalam negara demokrasi dilaksanakan dengan wajib militer. Disanalahlah maka pada negara Fasis rakyat harus militan, oleh karenanya negara terus membangkitkan rasa patriotisme, kerelaan berkorban, dan semangat pantang menyerah, dengan indroktinasi dan propaganda, agar sewaktu-waktu terjadi mobilisasi tidak menghadapi kendala. Sedang di negara demokrasi, kekuatan tentara sebanyak mungkin diperoleh dengan wajib militer, sehingga dikalangan masyarakat luas telah tersedia cadangan militer dalam jumlah besar, disamping itu terbentuk pula agen-agen tentara yang dapat mempengaruhi masyarakat sekelilingnya tentang pentingnya perjuangan pisik bersenjata. Dari sana pulalah maka militansi yang perlu kita kembangkan kedepan adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran segenap warga bangsa ini ikut berpartisipasi dalam mengelola negara sesuai bidang pekerjaan dan pilihan hidupnya masing-masing. Oleh karena itu rasa patriotisme kedepan barangkali bisa diwujudkan dalam bentuk membayar pajak tepat pada waktunya. Sedang pantang menyerah dalam alam demokrasi bukan lagi sikap untuk terus berjuang melawan musuh sampai titik darah penghabisan dengan mengangkat senjata, tapi barangkali semangat untuk terus hidup dalam kesederhanaan tanpa harus ikut-ikutan untuk korupsi.

Dengan mengasumsikan suatu saat bangsa ini berperang dengan negara lain, sesungguhnya persoalan patriotisme, kerelaan berkorban dan bahkan semangat patang menyerah yang diperlukan dalam perjuangan pisik otomatis akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, manakala segenap warga bangsa ini menempatkan keberadaan Indonesia sebagai pilihan yang paling menguntungkan.

LSL: Sehubungan dengan derasnya arus globalisasi, nasionalisme yang seperti apa yang tepat untuk dikembangkan buat bangsa Indonesia dalam pemerintahan kini dan masa depan? SK: Nasionalisme yang kita kembangkan kedepan juga tidak boleh bersifat eksklusif, tapi haruslah nasionalisme yang inklusif, karena bangsa ini telah bersepakat menjadi bangsa dan negara yang terbuka. Karenanya dalam mengembangkan nasionalisme tidaklah perlu para elit bangsa ini mengajak rakyatnya untuk memusuhi bangsa lain. Dengan semangat nasionalisme, bangsa kita mestinya justru bisa menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa kita adalah bangsa yang lebih beradab, yang memegang teguh kehormatan, keadilan dan persamaan hak sebagai prinsip dasar dalam pergaulan internasional. Bangsa ini juga harus mampu memberi cotoh kepada masyarakat dunia pentingnya fatsun pergaulan internasional. Nasionalisme kedepan juga harus menjunjung tinggi hak-hak politik segenap warga negara tanpa kecuali. Kedepan kita tidaklah perlu membuat bangsa lain bingung seperti yang terjadi dalam kasus pemberian suaka (visa) oleh Pemerintah Australia bagi saudarasaudara kita dari Irian Jaya beberapa tahun yang silam. Barangkali dalam sejarah peradaban modern baru pertama kali terjadi kasus, sebuah kemarahan bangsa yang dicoba dibangkitkan oleh elitnya untuk memusuhi negara lain yang justru memberi perlindungan kepada sejumlah warga bangsa nya yang minta suaka kepadanya. Bukankah secara universal dimanapun, justru negara yang didatangilah yang biasanya keberatan dan bisa jadi marah-marah. Bukankah mereka minta suaka karena tidak lagi merasa stay at home di negara nya sendiri. Ibarat anak yang terpaksa minggat dan numpang tidur ditetangga, seharusnyalah kita minta maaf kepada tetangga karena direpoti oleh ulah anak kita, dan sama sekali bukan malah marah-marah kepada tetangga yang telah menampungnya. Negara manapun tidaklah berhak mencegah bagi warga negara untuk meminta suaka ke negara lain. Sebaliknya dengan adanya globalisasi, bangsa yang begitu banyak mempunyai kearifan lokal, budaya, pamandangan alam, dan bahkan sumber daya alam seharusnya malah makin mengokohkan rasa nasionalisme kita. Karena kita bisa mengenalkan keunggulan lokal dan

kreatifitas sumber daya manusia kedunia luar, sehingga menambah kebanggaan segenap anak bangsa dalam ber Indonesia.

LSL: Bagi bangsa Indonesia persoalan nasionalisme menjadi persoalan yang pelik, hal ini terjadi akibat proses pertumbuhan dan perkembangannya penuh dinamika dan pasang surut yang sangat fluktuatif. Menurut anda? SK: Hal ini tidak bisa lepas dari kurangnya pengintegrasian dari ketiga unsur pembentuk kadar nasionalisme itu sendiri yaitu rasa aman, kesejahteraan, dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Maka hal yang terpenting bagi bangsa Indonesia kedepan adalah bagaimana membangun Nasionalisme Baru yang secara proper dan hanya diabdikan untuk kepentingan segenap bangsa dan negara. Nasionalisme kita kedepan bukanlah nasionalisme yang eksklusif maupun sempit, tapi nasionalisme yang inklusif yang memegang teguh fatsun serta persamaan hak, keadilan dan harga diri sebagai prinsip dasar pergaulan internasional. Nasionalisme kita juga bukan nasionalisme yang borju tapi nasionalisme untuk segenap warga bangsa. Baik dalam hubungan individu, kelompok, maupun dalam kaitan bangsa secara keseluruhan. Dan untuk mendukung proses menuju Nasionalisme Baru tersebut bangsa ini perlu merumuskan kembali sejarahnya secara jujur dan lengkap dari semua aspek yang nyata telah melingkupi perjalanan bangsa kita dimasa lalu. Sedang hal yang perlu diwaspadai dalam proses membangun Nasionalisme Baru kedepan ini adalah banyaknya pihak-pihak yang menggunakan slogan nasionalisme yang sebenarnya hanyalah demi kepentingan pribadi dan juga golongannya sendiri saja.

Selamat Datang Register | Login Wayan Sudirpa mengomentari artikel Raafi Anak Oky-Anggi - KOMPAS.com Sano Yoga mengomentari artikel Tentara Afganistan Tembak Tiga Tentara Australia KOMPAS.com mochamad-hilman sukagalih mengomentari artikel Punya Pemimpin Tak Disukai Memang Memalukan - KOMPAS.com Petrus Widyahartaya mengomentari artikel Kantin Unik SMPN 26 Surabaya: Terapung, Bebas Plastik! - KOMPAS.com

FELISA SAMOSIR mengomentari artikel Kekerasan di Papua karena Perebutan "Rezeki" - KOMPAS.com Setiawan mengirimkan tautan artikel Keislaman Indonesia ke facebook Apollo mengomentari artikel Dalam Razia, Ditemukan Rekaman Duel dan Video Porno - KOMPAS.com Paul Sukro mengomentari artikel Stoner Ciamik, Honda Masih Terdepan KOMPAS.com

Petrus Widyahartaya mengomentari artikel Kantin Unik SMPN 26 Surabaya: Terapung, Bebas Plastik! - KOMPAS.com 7 menit yang lalu FELISA SAMOSIR mengomentari artikel Kekerasan di Papua karena Perebutan "Rezeki" - KOMPAS.com 7 menit yang lalu Setiawan mengirimkan tautan artikel Keislaman Indonesia ke facebook 7 menit yang lalu Apollo mengomentari artikel Dalam Razia, Ditemukan Rekaman Duel dan Video Porno - KOMPAS.com 7 menit yang lalu Paul Sukro mengomentari artikel Stoner Ciamik, Honda Masih Terdepan KOMPAS.com 8 menit yang lalu Wayan Sudirpa mengomentari artikel Raafi Anak Oky-Anggi - KOMPAS.com 8 menit yang lalu Sano Yoga mengomentari artikel Tentara Afganistan Tembak Tiga Tentara Australia - KOMPAS.com 8 menit yang lalu mochamad-hilman sukagalih mengomentari artikel Punya Pemimpin Tak Disukai Memang Memalukan - KOMPAS.com 9 menit yang lalu

<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a0c31ca7&amp;cb=INS ERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=17&amp;cb=INSE RT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a0c31ca7' border='0' alt='' /></a> KOMPAS.comCetakePaperKompas TVBolaEntertainmentTeknoOtomotifFemaleHealthPropertiKompasianaUrban SerpongImagesMore

Rabu, 9 November 2011 | 11:53 WIB <a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=ac293ca0&amp;cb=INS ERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=18&amp;cb=INSE RT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=ac293ca0' border='0' alt='' /></a>

Home

Nasional Regional Internasional Megapolitan Bisnis Olahraga Sains Travel Oase Edukasi Infografis Video More
o o o o o o o o o o o o o o o o o o

Forum Eksplisitasi Nasionalisme bagi Pelajar | Senin, 20 September 2010 | 11:43 WIB Dibaca: 163 Komentar: 0 |

Share: Oleh FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Tulisan Nur Sahid "Menyemai Nasionalisme Pelajar Yogya" (Kompas Jateng, 19/8/10) sebagai dukungan kebijakan Wali Kota Yogyakarta harus diembuskan lebih jauh. Kasat mata, degradasi semangat nasionalisme pelajar sudah mendekati titik nadir. Wujud nyata mewajibkan menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Padamu Negeri setiap hari serasa kurang eksplisit, gencar, dan membumi. Lagu kebangsaan sebagai bentuk entitas kebanggaan akan bangsa dan negara demi menujukkan semangat heroisme, patriotisme, mempunyai nilai kesakralan (keagungan). Maka, pelajar juga wajib mengerti, memahami, menghayati, dan mampu menyanyikan (kembali) lagu kebangsaan yang lain. Lagu kebangsaan menumbuhkan semangat, menunjukkan identitas, nilai, ruh, jiwa dan budaya bangsa. Semangat berkobar dari lagu Hari Merdeka, Maju Tak Gentar, KebyarKebyar, Jayalah Indonesiaku. Kecintaan akan tanah air dari Bagimu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Bandung Selatan, Indonesia Pusaka, Syukur, Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Tercinta. Sampai lagu kebangsaan sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan seperti Pahlawan Merdeka, Selendang Sutera, Sepasang Mata Bola, Bunga Anggrek, Gugur Bunga, dan Aryati. Tahun 2008, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo juga mewacanakan bahwa tiap sekolah diwajibkan memutar lagu kebangsaan. Ini upaya kristalisasi nilai nasionalisme pada para pelajar. Paling tidak setiap jam istirahat, lagu kebangsaan itu berkumandang demi menyemai, menumbuhkan, dan menyuburkan nasionalisme bagi pelajar di sekolah. Berbagai kasus menimpa pelajar seperti degradasi moral, etika, tingkah laku, semangat belajar, perkelahian, pembentukan geng, vandalisme, dan tindakan anarkis lainnya sehingga pelajar semakin jauh dari harapan dan jati diri bangsa Indonesia. Jiwa semangat perjuangan pelajar untuk dapat eksis dalam berbagai bidang kehidupan luntur. Hedonisme, materialisme, individualisme, egoistik menyerukan semakin menjulang ditengah keterpurukan moral dan beretika. Masih melekat dalam ingatan penulis saat kejadian lupanya menyanyikan lagu Indonesia Raya saat sidang Paripurna DPR tanggal 14 Agustus 2009 merupakan bentuk keprihatinan bersama. Sebuah acara kenegaraan sebagai patron kehidupan berbangsa dan bernegara sebuah kelalaian fatal dan menjadi miris. Mewajibkan sekolah menyanyikan lagu kebangsaan dan memutar lagu perjuangan menjadikan bentuk pencanangan nasionalisme. Makna pemutaran lagu perjuangan agar pelajar mampu mencintai bangsa dan negaranya secara utuh. Paling hal itu tidak meminimalkan upaya gerakan destruktif, anarkis, separatisme, terorisme yang melawan keutuhan negara.

Founding fathers (pendiri negara) pasti menangis bila melihat, mendengar, dan merasakan betapa kurang pedulinya pelajar dalam memaknai nasionalisme era kekinian yang sangat bertolak belakang dari semangat perjuangan pahlawan bangsa. Mereka tanpa pamrih, tulus, rela mati, rela berkorban dalam berjuang demi eksistensi martabat dan derajat bangsa. Kontekstualitas pelajar agar tidak melupakan semangat perjuangan dengan mampu menyanyikan lagu perjuangan secara benar Janganlah terdengar generasi muda enggan mendarmabaktikan keunggulannya kepada tanah air. Mereka akan menerima dengan tulus seberapa besar negara mampu memberi imbalan karena rasa nasionalisme yang sudah terpupuk sejak usia sekolah. Ungkapan right or wrong is my country (baik buruk adalah negaraku) harus mengakar dan membumi di hati kaum muda. Parameter Nasionalisme sebagai produk entitas politik negara-bangsa kerap dijadikan parameter loyalitas seorang warga terhadap negara sekaligus bangsanya. Ibarat menjadi tungku untuk membuat masakan matang. Nasionalisme pun diyakini sebagai soko guru ideologi negarabangsa untuk menjamin keberadaannya. Sebab, bila sudah luntur semangat nasionalismenya, bangsa ini akan dengan mudah terkoyak- koyak yang menjadikan disintegrasi bangsa. Mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, langkah program penanaman lagu perjuangan sebagai bentuk program peningkatan semangat nasionalisme. Muatan lokal ini merupakan tanggung jawab gubernur dan jajarannya (pemkot dan pemkab) agar program ini sangat tepat sebagai pendidikan hati di dada. Kelanjutan program ini semakin melengkapi berbagai program pendidikan nasionalisme lain di sekolah. Gagasan yang tidak boleh berhenti di tengah jalan. Internalisasi nilai dan generalisasi kepada pelajar akan makna lagu perjuangan segera digerakkan bersama. Sebagai langkah apresiasi dengan perencanaan, sosialisasi terprogram, terarah, dan fokus. Tidak sekadar menyanyikan, mendengarkan, tanpa peresapan makna dan ungkapan. Sebab, hal itu hanya sebatas konteks tanpa dibarengi sebuah substansi pokok. Bila kita simak setiap bulan Ramadhan, grup band tanah air ramai- ramai membuat lagu relegius. Sungguh membanggakan pula bila tiap Agustus juga ramai menyanyikan, mengaransemen ulang dan menciptakan lagu nasionalisme yang menumbuhkan semangat juang. Mulai gerakkan ajang kreativitas dalam pengemasan lagu perjuangan yang ada. Berbagai bentuk inovasi gubahan yang menarik didengarkan dan dinyanyikan. Gebrakan dengan aransemen sesuai selera generasi muda (pop, dangdut, slow rock, regeae). Penciptaan lagu "nasionalisme" baru yang dinyanyikan grup Band Coklat Bendera, maupun Netral Band Garuda di Dadaku menjadi inspirasi bersama. Pun pula kewajiban warga sekolah mengimbangi sebagai dukungan kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan yang lahir akan bersinergi sebab dukungan muncul secara holistik tanpa

paksaan. Gerakan nasionalisme kalangan pelajar sebagai kontekstualitas nilai kebutuhan masa depan bangsa. Intensitaskan program menyanyikan lagu perjuangan tiap hari dengan penjadwalan pemutaran lagu. Dibarengi pemasangan gambar pahlawan bangsa, peta wilayah Indonesia dan simbol-simbol perjuangan di tiap kelas. Seperti teks Sumpah Pemuda, teks proklamasi kemerdekaan, dan kata-kata mutiara para pejuang bangsa. Eksplisitasi nasionalisme kalangan pelajar dengan gerakan masif dari lagu kebangsaan sehingga tumbuh rasa empati, humanisasi, persaudaraan, gotong royong, tepa slira, rela berkorban, handarbeni (memiliki), ikut merasakan pahit-getirnya sebuah perjuangan hidup dan kokoh dalam prinsip. Eksplisitasi nasionalisme memang perlu diwujudnyatakan dalam aksi konkret bagi kaum muda. Aktualisasi lain dengan lomba menyanyikan lagu perjuangan, gerak jalan, napak tilas, debat, pidato, kemah dan simulasi dengan tema semangat kebangsaan. Harapannya, pelajar tidak mudah termakan isu perpecahan, provokasi, vandalisme, anarkisme, demonstrasi destruktif sehingga mampu menghilangkan sekat-sekat pragmatisme, primordialisme sebagai parameter. Semoga! FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

NASIONALISME GENERASI MUDA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI A.PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia . Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak

menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan , seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme , pengasingan dan sebagainya. B.ISI Indonesia saat ini memerlukan genre baru untuk mereinterpretasikan ide nasionalisme yang secara fundamental telah dibangun oleh founding father seperti Soekarno. Soekarno kita akui sebagai individu yang mampu membentuk nasionalisme Indonesia dengan membangun satu sistem berantai melalui penyatuan kepentingan. Dari kalangan Islam dan sekuler pada saat itu. Namun, dalam proses pembangunan tahap awal ideologi nasionalisme nampak terjadi dikotomi antara Islam dan Nasionalisme itu sendiri. Kita harus mengakui sebuah gagasan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tentu memerlukan proses. Di mana proses tersebut tentunya merupakan proses bersejarah dalam suatu bangsa. Saat ini nasionalisme sudah menjadi rapuh. Tentu kita harus mulai menghidupkan kembali spirit dan etika nasionalisme sebagai sebuah praktek politik negara dan masyarakat dalam konteks Indonesia kekinian di tengah-tengah arus milenium ke-3. Sumber dari kekuatan ideologi nasionalis saat ini memang belum ditemukan oleh banyak orang Indonesia sehingga ketika kita mencari arus apa yang seharusnya berada di depan kita sebagai energi yang menuntun kemajuan nasional negara dan masyarakat kita seringkali bimbang dan gelap. Oleh karena itu untuk menjawab tantangan ini sebuah organisasi politik harus mampu menemukan sumber ideologi nasionalisme. Sekaligus mampu menggerakkan menjadi kekuatan utama dalam pencapaian tujuan politiknya. Sebenarnya sangat mudah kita temukan di mana sumber ideologi tersebut jika kita telah mencapai kesadaran penuh dengan kualitas yang sehat. Karena ideologi nasionalisme itu bersumber pada mainstream persatuan dan kesatuan. Namun, pemahaman akan persatuan dan kesatuan sering kali menjadi kesalahan dalam ide dan prakteknya sehingga ketika kita berbicara tentang nilai tersebut kita tidak mampu mengambil kekuatan intinya. Persatuan dan Kesatuan memiliki arti independen organik, atau sosial liberal dalam konteks manifestasinya. Independen organik ini berarti sebuah penyatuan sosial secara individual dan kolektif Ketika kita sebagai manusia tersadarkan melalui nalar, perasaan, dan gerakan kemanusiaan untuk suatu keadilan, kemakmuran, dan kemajuan. Dari sumber kekuatan nasionalisme ini kita akan bergerak ke arah revolusi nasional sebagai gerakan perlawanan terhadap kejahatan dan ketidakadilan sistem yang mengatur manusia untuk kepentingan nafsu dan syahwat.

Namun, dalam memaknai revolusi kita harus menyadari juga bahwa revolusi nasionalisme yang dimaksud di sini bukanlah revolusi berdarah yang menghadirkan konflik dan perpecahan nasional, karena kembali pada sumber ide nasionalisme itu sendiri yaitu "persatuan dan kesatuan". Lantas revolusi seperti apakah yang seharusnya dicapai. Pertama kalinya adalah revolusi mental. Mental merupakan kekuataan utama yang akan menjadi motor penggerak kekuatan perubahan yang manifestasinya menuju pada kemajuan ekonomi, politik, pertahanan, sosial, dan budaya. Kemudian jika dipertanyakan lagi apa yang menjadi obyek ideologi nasionalisme Indonesia tersebut. Tentu obyek pelaksanaan proyeknya adalah menghapuskan kemiskinan, kebodohan, kemalasan, dan ketertindasan rakyat Indonesia. Karena begaimana pun ideologi nasionalisme memiliki dua organ penting dalam kehidupannya, yaitu Rakyat dan Negara. Dua organ penting ini dalam gagasan gerakan politik ketika kita mengkategorikan dalam ruang strukstur politik maka terbentuk rumusan politik untuk merangkai menjadi dua sistem yaitu sistem masyarakat dan sistem negara. Dua sistem negara dan masyarakat ini harus dimulai dari pembentukan sistem masyarakat secara civil society, yang mampu melahirkan berbagai ide ekonomi, politik, pertahanan, sosial, dan budaya dalam sebuah sistem yang benar-benar solid dan siap ketika sistem ini bertransformasi menjadi sistem negara. Dari basis gerakan civil society tersebut ketika terjadi transformasi politik ke arah sistem negara akan menghasilkan sistem negara secara civil state. Ide ini akan mampu menjadi realistis ketika instrumen politiknya pun merupakan instrumen politik yang rasional yaitu partai politik. Karena partai politik dalam berbagai kajian ilmu politik modern merupakan organisasi politik yang legal untuk menjadi kekuatan signifikan dalam proses perubahan negara dan masyarakat. Saat ini kita sedang dalam proses menuju pemilihan umum sebagai sebuah prosesi suksesi politik yang konstitusional. Untuk mendorong terbentuknya Indonesia Masa Depan saat ini rakyat tengah menunggu munculnya partai yang mampu dan berani melahirkan kembali ideologi nasionalisme. Dan, bergerak melalui praktek revolusi. Baik sebelum dan sesudah terbentuknya Kepemimpinan Nasional Indonesia Masa Depan, yang ditentukan oleh dukungan massa yang akan memenangkannya pada Pemilu 2009. Beberapa bentuk dari nasionalisme Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara , etnis , budaya , keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak

rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial"). Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder , yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat"). Nasionalisme romantic (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme . Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman . Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit , ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok . Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa . Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme . Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan , selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi . Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme , serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol , serta sikap 'Jacobin ' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis , seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia , yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika . Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi , pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat

nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik ; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu . Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18 , nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan . Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia . Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan. Nasionalisme Indonesia yang Kian Memudar Sama seperti agama, nasionalisme diprediksikan akan lenyap sejalan dengan semakin sebuah negara menjadi modern. Menurut Ian Adams, para ilmuwan politik Amerika Serikat era 19701980-an mempertahankan tesis semacam ini karena mereka melihat bahwa pertama, hasrat untuk bersatu sebagai bangsa (nationalist passion) hanyalah salah satu tahap menuju sebuah negara modern yang liberal dan demokratis di mana kepentingankepentingan yang lebih pragmatik dan individual akan lebih mendominasi corak kehidupan masyarakat dibanding kebutuhan akan penegasan diri dalam sebuah identitas nasional (Ian Adams, Political Ideology Today, 1995: 83). Kedua, nationalist passion kalah bersaing dengan menguatnya politik identitas di mana orang mengidentifikasi diri tidak lagi dengan sebuah bangsa, tetapi dengan sebuah etnis atau agama tertentu. Tesis ini seakan menemukan kebenaran ketika satu persatu negara bagian Uni Soviet melepaskan diri dan menjadi negara merdeka berdasarkan kesamaan etnis dan agama. Ketiga, hasrat untuk bersatu sebagai bangsa kehilangan raison dtre ketika diterjang gelombang globalisasi. Di sini orang mempertanyakan relevansi nasionalisme ketika batasbatas wilayah negara menjadi semakin kabur dan negara-negara terpaksa masuk menjadi anggota dari a borderless society karena tuntutan atau dikte pasar bebas dan liberalisasi ekonomi (bdk I Wibowo dkk, Neoliberalisme, Cindelaras, 2003: 326331). Dalam konteks pemikiran semacam ini, apakah nasionalisme Indonesia pun akan segera berakhir? Pertanyaan ini relevan untuk didiskusikan ketika kita akan merayakan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, ketika para pemuda Indonesia bertekad untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu, Indonesia. C.PENUTUP KESIMPULAN Nasionalisme adalah sebuah ideologi yang tergolong paling mutakhir dalam pemahaman politik nasional. Dalam puncak pencapaian ide politiknya akan menghasilkan sebuah sistem politik nation state (negara bangsa) sebagai sebuah entitas politik yang kuat di tengah-tengah lingkungan umat manusia di dunia kehidupan ini.Namun, nasionalisme harus dibentuk dan dibangun secara manifestasi melalui berbagai teori dan praktek

sehingga mampu menghasilkan sebuah paradigma dan realita. Dalam membangun ide nasionalisme secara utuh memerlukan pemahaman dan organisasi berbasis gerakan untuk bertransaksi secara sosial dengan masyarakat, sehingga pada akhirnya terjadi interaksi kuat antara organisasi dan massa dalam satu ide, yaitu nasionalisme.Begitupun dengan GENERASI MUDA,sebagai tonggak kemajuan sebuah Negara harus ikut berperan aktif membangun negeri kita tercinta INDONESIA.Menumbuhkan rasa NASIONALISME disetiap darah generasi muda,tidak perlu dengan berperang melawan penjajah,tapi lebih condong berperang melawan kebodohan,menciptakan karya-karya atau kretifitas,begitu juga prestasi sehingga bisa diakui Negara lainnya(sejajar dengan Negara maju). Tidak Cukup Hanya Hasrat Untuk Bersatu Kita belajar dari sejarah bahwa telah ada banyak sekali organisasi kepemudaan sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, sebut saja Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Ambon, dan sebagainya. Meskipun demikian, nationalist passion yang sifatnya etnis dan kedaerahan ini justru semakin melemah sejalan dengan mengentalnya kesadaran akan keindonesiaan sebagai sebuah identitas baru vis-a-vis pengalaman kolektif berada di bawah kekuasaan bangsa penjajah. Perjuangan organisasi-organisasi seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) di Indonesia dan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda yang eksplisit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia jelas menunjukkan adanya kristalisasi pengalaman keindonesian ini, dengan puncaknya adalah pernyataan tekad satu bangsa, satu tanah air dan satu bangsa Indonesia. Demikianlah, pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh pemerintah Hindia Belanda, terutama selama tahun 18301870, telah melahirkan sebuah kesadaran dan pengalaman bersama sebagai masyarakat terjajah, kemudian berkembang menjadi sebuah bangsa terjajah (Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. 1993: 58-64). Karena itu, nasionalisme Indonesia adalah sebuah nasionalisme bentukan, sebuah kesadaran akan identitas bangsa sebagai hasil konstruksi karena pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh bangsa kolonial Belanda. Itulah nasionalisme Indonesia, yakni sebuah penegasan akan identitas diri versus kolonialismeimperialisme. Kesadaran sebagai bangsa yang adalah hasil konstruksi atau bentukan mengandung kelemahan internal yang serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme kita akan ikut lenyap jika kita berhenti mengkonstruksi atau membentuknyatanpa harus menyebutnya sebagai sebuah nasionalisme baru. Pertama, beberapa pengalaman kolektif seharusnya menjadi roh baru pembangkit semangat nasionalisme Indonesia. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di tingkat regional dan internasional, keberhasilan atlet menjadi juara dunia (tinju), prestasi pemimpin kita menjadi menteri ekonomi terbaik di Asia (Dr. Sri Mulyani Indrawati) dan seterusnya. Sebaliknya, pengalaman dicemoh dan

direndahkan sebagai bangsa terkorup, sarang teroris atau bangsa pengekspor asap terbesar seharusnya memicu kita untuk berubah dan tampil sebagai bangsa terpandang. Kedua, negara Indonesia sangat plural. Identifikasi sebuah kelompok etnis atau agama pada identitas kolektif sebagai bangsa hanya mungkin terjadi kalau negara mengakui, menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup mereka. Masyarakat akan merasa lebih aman dan diterima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika negara gagal menjamin kebebasan beragamatermasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan di hadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya. Nasionalisme Kita Harus Bersifat Liberal Nasionalisme bisa dipraktikkan dalam sebuah sistem pemerintahan sosialis, komunis, ultranasionalis, etnis, atau liberal-demokratis. Masyarakat Indonesia yang sangat plural ini akan menjadi ancaman serius bagi nasionalisme jika negara kebangsaan yang kita bangun bersifat sosialis, ultranasionalis a la nazisme Jerman dan fasisme Italia, atau komunis. Alasannya sederhana, hak individu akan kebebasan, otonomi dan kesetaraan (equality) dalam masyarakat dirampas oleh negara dalam sistem pemerintahan sosialis, komunis, dan ultranasionalis (Ian Adams, 1995: 82). Sementara itu, nasionalisme etnis hanya akan menghasilkan sebuah sistem pemerintahan etnosentris yang anti pluralisme, anti hak-hak liberal dan demokratis warga negara sebagaimana termuat dalam pasal 28A 28J UUD 1945. Nasionalisme etnis juga akan melahirkan praktik politik yang diwarnai oleh diktator mayoritas dan pembelengguan hak-hak kaum minoritas (Roger Eatwell dkk, Political Ideologies Today, 2001: 162166). Tantangan bagi nasionalisme Indonesia ke depan adalah bagaimana kita mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang bersifat liberal-demokratis di mana hak-hak dasar setiap warga negara diakui, dihormati, dan dijamin, di mana hukum ditegakkan secara pasti dan adil, di mana negara mewujudkan kesejahteraan umum, dan sebagainya. Itulah alasan dasar tekad para pemuda 78 tahun yang lalu, yakni menjadi satu Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. D.DAFTAR PUSTAKA

http://jeremiasjena.wordpress.com/2007/03/23/nasionalisme-indonesia/ http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/28/173328/996440/471/foto/index.html Globalisasi, Pancasila dan Runtuhnya Nasionalisme Bangkapos.com - Selasa, 14 Juni 2011 09:45 WIB

Oleh: Mahasiswa

Prodi

Ari Agroteknologi

Lansa Universitas

Bangka

Nambela Belitung

FUTURULOG menyebut arus globalisasi berlangsung begitu cepat dan tak terkendali melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Oleh karenanya, gelombang globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Berdasarkan fakta, tak dipungkiri bahwa globalisasi memberi pengaruh positif terhadap nilainilai nasionalisme dan bidang lainnya bagi suatu bangsa. Pertama, globalisasi memberi ruang terciptanya pemerintahan yang terbuka dan demokratis. Jika pemerintahan dijalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut akan meningkatkan rasa nasionalisme bangsanya. Kedua, globalisasi cenderung membuka ruang ekonomi yang dikenal dengan munculnya era pasar bebas. Dengan pasar bebas ini kesempatan kerja akan semakin meningkat, dan yang terpenting juga akan mendongkrak devisa negara. Maka imbasnya, kehidupan ekonomi bangsa turut pula menunjang kehidupan nasional. Ketiga, dibidang sosial budaya, globalisasi memberikan pengaruh terhadap berkembangnya pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin serta Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa ini. Namun di sisi lain, globaliasi tentu tak terlepas dari dampak negatif bahkan ancaman bagi kehidupan berbangsa. Beberapa ancaman yang saat ini sedang dihadapai adalah: Pertama, globalisasi dapat meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme akan membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan Ideologi Pancasila akan berubah menjadi ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi maka akan menghilangkan rasa nasionalisme bangsa. Kedua, globalisasi di bidang ekonomi dapat dirasakan dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut dan lain-lain. Ketiga, mayarakat Indonesia khususnya anak muda banyak yang lupa ataupun melupakan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya Barat. Inilah dampak terbesar yang saat ini melanda Indonesia, yakni runtuhnya nilai-nilai budaya lokal akibat gerusan nilai-nilai budaya Barat. Keempat, mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin,

karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. Kelima, munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. Hal tersebut diatas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika hal tersebut terjadi maka akan menimbulkan dilematis bangsa. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ruh Pancasila Kendati eksistensi Pancasila sempat diperdebatkan (bahkan sempat dilupakan) sebagai suatu kekuatan dan pemertahanan nilai-nilai nasionalisme anak bangsa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini, namun faktanya Pancasila tetap saja diharapkan sebagai kekuatan baru mempersatukan bangsa yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan arah. Seruan sejumlah tokoh nasional untuk melirik kembali Pancasila sebagai bahan ajar di sekolah, merupakan suatu mementum bahwa ideologi Pancasila masih dianggap sakti untuk menyelesaikan serentetan perkara yang saat ini sedang dihadapi bangsa tercinta. Kembali kepada Pancasila mengingatkan kita kepada Dekrit Presiden Soekarno yang mengajak seluruh elemen bangsa ini untuk kembali kepada UUD 45. Demikian pentingnya Pancasila, sehingga seruan untuk kembali memahami, meneladani dan mengayomi kelima pasal yang terkandung di dalamnya adalah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi. Pancasila tak saja mengajarkan tentang bagaimana hubungan vertikal maupun horizontal berlangsung sempurna. Akan tetapi, Pancasila juga memberikan ruh bagaimana bangsa ini mampu menumbuhkan rasa cintanya terhadap bangsa dan negara. Era globalisasi yang terus menggerus berbagai sisi kehidupan, paling tidak dapat diperhambat (diperluntur) sisi negatifnya dengan menjadikan Pancasila sebagai perisai. Semoga!

Indonesia Lemah Malaysia Agresif, Caplok Tanah Air


Posted on Oktober 10, 2011 by The Children Indonesia 2 Votes Kisah lepasnya Ligitan dan Sipadan tampaknya akan terulang lagi. Kali ini sengketa klasik perbatasan dengan Malaysia tentang daerah Wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan memanas lagi. Cerita tersebut pasti akan membuat darah bangsa ini memanas ketika daerah Status Quo itu sudah dikangkangi Malaysia. Kali ini kembali seperti sebelumnya, Indonesia mengalah dan diam saja. Bila ini terus terjadi maka Malaysia dengan tenang dan pasti akan selalu bermanuver dan mencaplok setiap jengkal tanah air Indonesia. Tampaknya kisah lepasnya satu persatu wilayah Indonesia akan terjadi perlahan dan pasti ketika Indonesia lemah dan Malaysia agresif. Siapapun warga Indonesia pasti mendidih geram dan selalu mengorbarkan kalimat perang dengan Malaysia. Tetapi tampaknya Indonesia impoten, semangat tinggi itu selalu diikuti dengan perilaku dan sikap melunak ketika berhadapan langsung dengan Malaysia. Semangat ganyang malaysia tampaknya harus terus digelorakan dalam menghadapi Malaysia yang agresif dan tidak beretika Internasional itu. Masalah perbatasan antara RI-Malaysia di Camar bulan memanas setelah Gubernur Kalbar, Cornelis, meradang begitu mengetahui patok-patok perbatasan di Camar Bulan telah mengangkangi wilayah RI seluas 1.499 hektare. Wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan di Kalimantan Barat ramai dibicarakan gara-gara diduga dicaplok oleh Malaysia dari RI. Sebenarnya daerah itu masih dalam sengketa atau status quo. Dua wilayah Indonesia, yakni Camar Bulan seluas 1.449 ha dan Tanjung Datu seluas 8.000 m3 di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), diberitakan diklaim Malaysia sebagai wilayah negeri itu. Peristiwa tersebut, telah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Langkah Malaysia itu adalah hal serius yang harus segera disikapi. Karena akibatnya kita kehilangan garis pantai dan ribuan hektare wilayah laut. Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, juga menemukan bahwa terdapat sejumlah warga yang diusir dari kedua wilayah ini oleh patroli Malaysia. Malaysia bilang, itu kampung Malaysia. Menurut Kementerian Pertahanan RI menyatakan wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan merupakan salah satu Outstanding Boundary Problems (OBP) yang masih dalam proses perundingan RI-Malaysia atau masih status Quo. Tanjung Datu sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee on The Demarcation and Survey International Boundary) antara Delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri dan Malaysia. Jika wilayah itu masih status quo maka tidak boleh dilakukan kegiatan-kegiatan fisik yang dilakukan oleh salah satu negara. Namun karena wilayah Tanjung Datu, salah satu wilayah yang masih bersengketa tapal batas dengan IndonesiaMalaysia rupanya tempat pariwisata yang menarik, malaysia berusha mencaploknya. Menteri

Pelancongan dan Warisan Negeri, Datuk Seri Abang Johari Tun Openg mengatakan, kerajaan telah merogoh kocek sebesar 20 juta ringgit mmbangun kawasan Santubong.Tanjung Datu masuk ke dalam kawasan Santubong tersebut. Malaysia berusaha menjadikan Santubong dan Tanjung Datu sebagai salah satu unggulan pariwisata mereka. Kerajaan negeri juga berusaha meningkatkan segala kemudahan infrastruktur dan logistik di kawasan tersebut. Ini supaya sejumlah obyek wisata seperti Telaga Air, Santubong dan Tanjung Datu bisa saling berhubungan. Kerajaan juga berupaya menggaet investor untuk membuka rute penerbangan ke daerah tersebut. Wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat sebenarnya tak ada masalah. Selama ini kedua negara sepakat menggunakan peta Belanda Van Doorn tahun 1906. Malayasia pun tak mempermasalahkannya apabila mengacu kepada garis batas peta Belanda Van Doorn tahunn 1906 , peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malay State Survey tahun 1935. Masalah baru timbul dalam MoU antara team Border Comeete Indonesia dengan pihak Malayasia. Garis batas itu dirubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai dengan peta tua tersebut di atas. Dan akibat kelalaian team ini, Indonesia akan kehilangan 1490 Ha di wilayah Camar Bulan, dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu. Pangkal masalah kasus ini muncul karena Indonesia dan Malaysia menggunakan alat bukti perbatasan yang berbeda. Jika Indonesia menggunakan Traktat London, maka Malaysia memggunakan batas alur sungai. Menurut Traktat London 1824, yakni perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara, Camar Bulan masuk wilayah Indonesia. Batas negara didasarkan pada watershead. Artinya, pemisahan aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai tanda pemisah. Sedangkan sesuai MoU dalam pertemuan RIMalaysia di Semarang 1978, disepakati batas wilayah mengalami perubahan, yakni sesuai dengan patok yang ada sekarang. Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1978 menyepakati penentuan koordinat batas wilayah tersebut tidak menggunakan metode devide watershed. Alasannya, Camar Bulan bertopografi landai atau datar. Jadi, penentuan koordinat dipatok dari dataran tertinggi di wilayah itu, dan kemudian ditarik lurus. Ini merupakan keputusan politik yang telah disepakati kedua negara. Devide wathershed merupakan metode penentuan titik koordinat berdasarkan pemisah air. Metode ini jamak digunakan dalam penentuan batas wilayah daratan antara Indonesia dan Malaysia. Penggunaan metode tersebut merujuk pada traktat 1891 antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris. Berdasarkan ketentuan itu, seluruh wilayah Camar Bulan seharusnya masuk ke wilayah Indonesia. Legalitas ini juga diperkuat dengan Traktat London pada 1824. Namun, penggunaan metode devide watershed dianulir dalam pertemuan terakhir di Semarang. Perubahan metode dalam penentuan batas wilayah ini merugikan Indonesia. Sebab, kawasan seluas 1.499 hektare (ha) di Camar Bulan, yang sebelumnya menjadi wilayah Indonesia akhirnya masuk bagian teritorial Malaysia. Wilayah NKRI mempunyai dasar daerah yang dulunya negara jajahan Hindia-Belanda yang kini jadi NKRI merupakan suatu konsep yang sah untuk diakui negara lain. Selama ini Indonesia menggunakan Traktat London, sedangkan mereka menggunakan pengukuran batas yang

menggunakan alur sungai yang digunakan dan diklaim batas tertentu. Tapi seharusnya Indonesia menolak karena menggunakan Traktat yang dibuat pada 1900 an. Kasus Serupa Sipadan Dan Ligitan Kasus Tanjung Datu dan Camar Wulan tampaknya serupa dengan Sipadan-Ligitan. Awalnya posisi kita kuat dalam persengketaan itu tetapi Malaysia lebih agresif mencaplok wilayah itu. Tapi, karena Indonesia taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana. Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652.86N 1183743.52E / 4.1146833LU 118.6287556BT / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat: 49N 11853E / 4.15LU 118.883BT / 4.15; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. Sipadan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Nah, soal ini pula, antara lain, yang gaungnya sampai ke DPR pekan lalu. Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I, Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan kesepakatan status quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah tersebut dijadikan obyek pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan satu-satunya soal yang akhir-akhir ini mengganggu hubungan dua negeri sesama rumpun Melayu itu. Perundingan penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut. Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah Sabah. Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati pulau itu bersifat status quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada penyelesaian. Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai miliknya berdasar peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara tetangga itu menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga

kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Sipadan. Kasus Tanjung Datu dan Camar Wulan tampaknya cerita lama dari kisah tragis Indonesia kehilangan Sipadan-Ligitan. Awalnya posisi indonesia kuat dalam mengklaim wilayah. Tetapi karena malaysia lebih agresif dan lebih berani bermanuver maka Indonesia selalu dikangkangi. Indonesia selal;u mendewakan aturan nternasional sedangkan Malaysia tidak peduli dengan mengangkangi wilayah status Quo. Bukan hanya dengan bermanuver dengan kapal perang dan pesawat tempur tetapi yang lebih membuat geram bangsa ini Malaysia bahkan berani membangun wilayah itu. Indonesia meski kekuatan militer terbatas tidak harus kalah dalam gertak menggertak. manuver Malaysia yang menyakitkan emosi kebangsaan rakyat, harus diimbangi dengan provokasi yang lebih hebat lagi. Pemerintah Indonesia dan militer Indonesia harus lebih keras lagi dalam berseteru dengan Malaysia. Indonesia jangan sok menjadi anak alim yang patuh aturan yang bersembunyi di bawah ketiak aturan dan tata krama Internasional. Karena, Malaysia sudah terlalu kurang ajar bermanuver bahkan menduduki tanah sengketa atau wilayah status Quo. Indonesia harus berkaca pada kepemimpinan Ganyang malaysia Soekarno yang sangat garang melawan manuver Malaysia. Jangan anggap bahwa semangat Ganyang malaysia adalah sikap anarkis dan tidak berbudaya. Sikap patriotisme itu harus digelorakan ketika ada tetangga bangsa ini yang sangat agresif dan tidak bertatakrama Internasional terus menggerogoti wilayah bangsa ini. Memang dalam kehidupan masyarakat Internasional yang berbudaya harus mengedepankan perdamaian, kompromi dan menjauhkan perang. Tetapi tampaknya strategi bermoral itu tidak dapat digunakan dalam mengahdapi sikap amoral malaysia yang terus mengangkangi wilayah negeri ini. Sikap Ganyang Malaysia tidak harus berarti konfrontasi perang secara terbuka dan luas. Tetapi upaya Non Diplomasi terakhir yang harus dipilih untuk menggertak Malaysia, bila malaysia selalu tidak mengerti bahasa diplomasi. Dahulu Sipadan dan Ligitan, berikutnya Ambalat sekarang Tanjung Datu dan Camar Wulan. Setiap malaysia mencaplok wilayah baru, maka wilayah didekatnya akan menjadi incaran Malaysia karena diklaim sebagai jangkauan negerinya dengan batas wilayah baru itu. Bila sikap Indonesia yang lemah dan sok alim itu terus dipelihara, maka tidaklah heran satu persatu wilayah ini akan tercaplok oleh Malaysia yang agresif dan rajin bermanuver. Kelemahan sikap Indonesia ini tampaknya dimanfaatkan oleh Malaysia. Coba tengok ketika semangat Ganyang Malaysia terus digelorakan Soekarno, Malaysia pasti akan berpikir seribu kali bila akan menguasai bahkan melirik tanah air Indonesia. Tampaknya semangat Ganyang Malaysia harus selalu digelorakan bila melihat sikap Malaysia yang sangat agresif dan tidak beretika tatanan internasional itu terus memprovokasi Indonesia.
Sejarah Pergerakan Pemuda Indonesia

100 tahun Gerakan Pemuda Indonesia 1908-2008 oleh Masad Masrur Pemuda merupakan salah satu elemen bangsa yang selalu menjadi garda depan dalam menghadapi berbagai persoalan bersama. Dalam sejarahnya, kelompok ini selalu melahirkan berbagai pemikiran dan gerakan menuju perubahan dan perbaikan bangsa Indonesia. Peran mereka sudah dimulai jauh sebelum lahirnya negara Indonesia. Batasan pemuda di setiap negara berbeda-beda tergantung dari kebijakan pemerintahan di negara yang bersangkutan. Di Indonesia, pengertian pemuda adalah penduduk yang berusia antara 15 sampai dengan 35 tahun. Kiprah pemuda bisa kita lihat dari gerakan meraka sejak sebelum momentum kebangkitan nasional (1908) hingga pasca reformasi sekarang ini. I. Sebelum lahirnya Boedi Oetomo Kejayaan Bangsa Indonesia dapat dibuktikan dengan berjayanya pada masa silam Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram dan lain-lain. Runtuhnya kerajaan itu adalah karena terjadinya perpecahan dari dalam pemerintahan itu sendiri. Pada abad ke-16 orang Balanda datang ke Indonesia, pada mulanya mereka disambut dengan ramah tamah oleh bangsa Indonesia yang dikenal dengan keramah tamahannya. Lama kelamaan bangsa Belanda menunjukkan sifat aslinya yaitu ingin menjajah bangsa Indonesia. Walaupun demikian bangsa Belanda bukan tidak mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia, terbukti dengan adanya perlawanan di Aceh oleh rakyat Aceh, yang dipimpin oleh Panglima Polim, Cut Nyak Dien, Cut Mutia , Tengku Umar dan lain-lain, di Sumatera Barat oleh Imam Bonjol, ditanah Batak oleh Sisingamangaraja, di Pulau jawa oleh Pangeran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Untung Surapati dan lain-lain. Di Maluku oleh Pattimura di Sulawesi oleh Hasanuddin, di Kalimantan oleh Pengeran Antasari dan banyak lagi perjuangan rakyat. Para pemuda tergabung dalam gerakan melawan penjajah belanda ini. Mereka tetgabung dalam berbagai peperangan melawan pemerintah Kolonial belanda di berbagai daerah di Nusantara. Namun, perlawanan itu dapat dipatahkan oleh Belanda, karena perlawanan bangsa Indonesia pada waktu itu masih bersifat kedaerahan dan perlawanan yang satu dengan yang lainnya masih belum terorganisir, tujuan perjuangannya pun berbeda-beda, persenjataan yang dimiliki kalah modern, Belanda sudah menggunakan senjata api,sedangkan perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu masih senjata tradisionil, seperti rencong, keris, tombak, panah, pedang, golok, badik, mandau dan lain-lain senjata daerah. II. Dekade 1908-1918 Awal kebangkitan Nasional disebabkan beberapa faktor, baik dari dalam negeri maupun luar Negeri, antara lain factor dalam negeri: 1. Makin banyaknya/makin tingginya kesadaran ingin bersatu. 2. Makin mengingkatnya semangat bangsa Indonesia ingin merdeka. 3. Makin banyaknya orang pintar dan terpelajar di Indonesia. Faktor yang datang dari luar negeri adalah kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, adalah salah satu pendorong yang menimbulkan semangat bahwa bangsa kulit kuning, bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa kulit putih (Eropa). Sebagai jawaban atas rasa keprihatinan tersebut, muncullah gagasan dan tindakan dari beberapa pemuda Indonesia (Hindia Belanda) seperti Dr.Wahidin Sudirohusodo untuk mengangkat harkat

dan martabat bangsa dari belenggu kolonial Belanda. Dr. Wahidin Sudirohusodo memanfaatkan peluang ini dari jalur pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Pemuda, waktu itu masih terkotak pada golongan priyayi dan kawulo alit (rakyat kecil) yang masih belum terpelajar. Dr. Wahidin Sudirohusodo dan kawan-kawan terjun ketengah-tengah masyarakat untuk membangkitkan golongan priyayi agar bersedia mengulurkan tangan, memberi pertolongan kepada rakyat untuk meningkatkan kecerdasannya. Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan biaya sendiri mengadakan perjalanan keliling Jawa untuk mempropagandakan pendirian berdirinya Studifound, ini dilakukan pada tahun 1906-1907. Pada tanggal 20 Mei 1908, atas prakarsa Dr.Wahidin S dan para Pemuda STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan, Suradji dan Suwardi Suryaningrat mengadakan rapat pertama di Jakarta, dan berhasil mendirikan perkumpulan yang diberi nama Boedi Oetomo yang berarti kebaikan yang diutamakan. Disinilah titik awal berdirinya perkumpulan-perkumpulan yang menjurus kepada sifat nasionalisme dan patriotisme, karena setelah berdirinya Boedi Oetomo maka bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan dan pergerakan yang bersifat luas antara lain, Serikat Dagang Islam tahun 1909, Indische Party tahun 1913. Muhammadiyah tahun 1912, Nahdhatul Ulama tahun 1926. tahun ini pula, Ir. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Lahirnya Boedi Oetomo, 21 Mei 1908, mengawali gerakan pemuda Indonesia dalam sebuah organisasi modern. Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908 mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang mengharukan, semua ini membangkitkan kebanggaan pada tentang apa yang akan diperbuat pada masa yang akan datang. Tanggal itu dikenal sebagai hari Kebangkitan Nasional. Awal kebangkitan nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya, tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, ini disebabkan dari politik kolonial Belanda pada waktu itu, mereka banyak mengambil keuntungan dari bumi pertiwi ini, Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia, rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita. III. Dekade 1918-1928 Berdiri perkumpulan pemuda diluar Jawa pada tahun 1918 dan menamakan diri Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Pasundan, Jong Batak, Pemuda Betawi dan lain-lain. Perkumpulan ini juga diikuti oleh perkembangan organisasi pemuda Hindia Belanda yang sekolah di luar negeri. Para pemuda inilah yang mengadakan kongres pemuda pertama tahun 1926 yang menghasilkan perlunya mencanangkan suatu organisasi pemuda tingkat Nasional. Dan atas usul perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) sebagai organisasi kemahasiswaan pertama pada tanggal 26-28 Oktober 1928 diadakan kongres pemuda kedua. Soempah Pemoeda kedua berlangsung di Batavia, setelah mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu. Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Soempah Pemoeda yang diikrarkan pada akhir kongres yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi: kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu tanah Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Selain mengucapkan sumpah, pemuda Indonesia yang berkongres tersebut juga melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya.

IV. Dekade 1928-1938 Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 dikenang sebagai lahirnya kesepakatan unsur-unsur bangsa yang sangat heterogen untuk menjadi bangsa yang satu. Itulah saat resmi lahirnya bangsa Indonesia, yang sebelumnya nomenklatur Indonesia belum digunakan untuk menamai suatu bangsa, suatu bahasa, dan suatu tanah air. Meskipun serupa dalam semangatnya untuk menyatukan nusantara, Soempah Pemoeda berbeda dengan Sumpah Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada. Sumpah Palapa menempatkan Kerajaan Majapahit sebagai pusat, sementara Soempah Pemoeda ingin menyatu, membangun persatuan dalam napas kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Kolonial Belanda mulai menangkapi pemimpin-pemimpin organisasi kepemudaan itu yang dinilai vokal antara lain. Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantoro dan banyak lagi pemimpin organisasi yang ditangkapi, dibuang dan diasingkasn dari rakyatnya. Akan tetapi semangat untuk merdeka tidak pernah padam dan malah bertambah subur berkat Soempah Pemoeda itu. Pada dekade ini, banyak muncul partai-partai yang berjuang di dalam parlemen (volksraad) maupun pada ranah sosial masyarakat. Partai-partai tersebut muncul dalam memperjuangkan bangsa Indonesia dalam bentuk menuju persiapan Indonesia merdeka. Pada tahun-tahun ini, juga dibentuk organisasi saya yang menghususkan pada gerakan pemuda, misalnya Pemuda Ansor (Pemuda NU tahun 1934), Pemuda Muhammadiyah tahun 1932. Pemuda Muslimin (1932), Nasyiatul aisyiyah (1931) V. Dekade 1938-1948 Munculnya banyak partai pada tahun 1930-an ini makin menunjukkan bahwa bentuk perlawanan bangsa Indonesia pada bentuk perlawanan pemikiran dibanding dengan perlawanan fisik, seperti yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada abad ke-19. partai-partai yang menonjol pada saat itu adalah PNI, Parindra, Gerindo dan lain-lain. Tahun 1942, pecah Perang Asia Timur Raya. Jepang masuk dan menguasai Nusantara. Maka dimulailah perlawanan pemuda-pemuda Indonesia kembali pada perlawanan fisik melawan penjajah. Banyak pemuda dilatih oleh tentara jepang dalam PETA dan HEIHO. Namun Jepang juga membentuk Romusha yang sangat membebani rakyat. Jepang yang saat itu menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia justru mengalami kekalahan setelah bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Dengan demikian, pemuda Indonesia (golongan muda) mendesak supaya pemimpin (golongan tua) segera memproklamirkan berdirinya Republik Indonesia. Pemuda-pemuda yang menonjol kala itu adalah Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh dan lain-lain. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibacakan oleh Soekarno dan Hatta. Hal ini dilakukan setelah pemuda mendesak mereka, bukan menunggu kompromi dnegan pemerintah Jepang. Selayaknyalah peristiwa bersejarah yang demikian penting itu diperingati dengan mendalami semangat yang terkandung dalam peristiwa itu. Pemuda-pemuda Indonesia banyak melakukan perlawanan fisik menghadapi pasukan Belanda yang datang kembali dengan membonceng Sekutu. Agresi Belanda I maupun II (tahun 1947 dan 1948). Perlawanan ini banyak berlangsung di berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Banyak pula dibentuk organisasi pemuda Islam, seperti Gerakan Pemuda Islam (Oktober 1945), Pemuda Islam (April 1947), Angkatan Puteri Al-Washliyah (Juni 1947), Ikatan Putra Putri

Indonesia (1945), Gamki (1948), Pemuda Demokrat (1947), Pemuda Katolik (1947), PMKRI (Mei 1947), Pelajar Islam Indonesia (Mei 1947) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawan pada Februari 1947 di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta. Dan organisasi lainnya. VI. Dekade 1948-1958 Perlawanan pemuda Indonesia masih dalam bentuk perlawanan fisik hingga berlangsungnya Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda. Pada saat-saat inilah para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda, baik yang nasionalis meupun keagamaan bermunculan. Hal ini adalah sesuai dengan atmosfer perjuangan pasca perang kemerdekaan, yaitu perjuangan ideologi dan mencari identitas bangsa Indonesia. Banyak lahir partai-partai politik pada dekade ini, sehingga banyak pula organisasi pemuda yang lahir sebagai underbow dari partai-partai induk yang sudah mapan. Misalnya CGMI (Pemuda PKI), GMNI (1954/pemuda PNI). Ataupun bentuk afiliasi politik organisasi pemuda terhadap partai tertentu, misalnya HMI terhadap Masyumi. Organisasi-organisasi pemuda yang lahir pada dekade ini adalah IPNU (1954) dan lain-lain sampai pada dekade berikutnya. VII. Dekade 1958-1968 Organisasi-organisasi pemuda yang lahir pada dekade ini adalah Generasi Muda Mathlaul Anwar (1956), PMII (1960), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM tahun 1964), Gema Budhis (1968) dan lain-lain. Kelahiran mereka yang secara ideologis muncul dengan asas agama merupakan strategi untuk memperkuat jaringan ideologis-sosial-politik pemuda dalam memperjuangkan identitas pada masa memasuki era revolusi 1965-1966. Masa revolusi 1966 adalah puncak gerakan mahasiswa dan pemuda dalam memperjuangkan perubahan nasib bangsa. Pemuda dan mahasiswa terlibat secara langsung pada masa revolusi tersebut, yang juga mengakibatkan beberapa konflik fisik, seperti pembantaian kader-kader (pemuda) PKI oleh pemuda-pemuda lawan ideologi-politik lain. Pada saat Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden RI, pemuda mendukung penuh. Bersama dengan ABRI, saat itu pemuda memberikan kesempatan kepada Orde Baru untuk membangun negara, meski dalam beberapa hal, pemuda sering ditinggalkan oleh pemerintah. VII. Dekade 1968-1978 Pemerintah Orde Baru mempersiapkan Pemilu 1971 dengan melakukan fusi partai hingga menjadi 10 partai peserta Pemilu. Golkar yang menang dalam pemilu ini sebelumnya sempat membentuk beberapa organisasi pemuda sayap golkar. Organisasi Pemuda yaitu Ikatan Pemuda Karya (1969) juga lahir pada saat saat ini. Pemerintah membentuk Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga untuk mengatur pemuda. Komite Nasional Pemuda Indonesia (1973) juga terbentuk. KNPI ini memudahkan pemerintah untuk memonitor gerakan mahasiswa, meski oleh pemuda tidak menguntungkan karena pengawasan oleh pemerintah tersebut. Menghadapi ini, beberapa organisasi pemuda/mahasiswa membentuk Kelompok Cipayung untuk membentuk opini bersama menghadapi kebijakan pemerintah. Mereka adalah HMI, PMII, PMKRI, KMNI dan GMKI. Gerakan pemuda kembali terkonsolidasi secara nasional pada tahun 1973-1974. Peristiwa Malari 1974 adalah puncak gerakan pemuda atas kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak transparan. Pemuda/mahasiswa merasa makin ditinggalkan oleh pemerintah, sehingga pada peristiwa Malari

ini banyak pemuda yang ditangkap oleh pemerintah Orde baru seperti Syahrir, Arif Budiman dan lain-lain. Sementara itu, pemerintah Orde Baru justru makin mengekang kebebasan pemuda/mahasiswa agar tidak terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menandatangani kebijakan NKK-BKK tahun 1978, yang isinya membatasi kegiatan mahasiswa hanya pada kegiatan akademis kampus. Banyak pula Koran dan surat kabar dibreidel oleh pemerintah pada thun-tahun ini, sehingga pemuda dan mahasiswa makin sulit bergerak melawan tekanan pemerintah. VIII. Dekade 1978-1988 Dekade ini adalah puncak kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Pemerintah memberlakukan asas tunggal pancasila sebagai asas wajib partai maupun organisasi masa di Indonesia. Partai politik yang tinggal 2 partai (PPP dan PDI) terpaksa tunduk agar tetap bisa menjadi penyeimbang Golkar pada pentas Pemilu masa Orde Baru. Organisasi masa yang juga terkena imbas dari kebijakan asas tunggal buru-buru mengambil sikap menerima agar tidak tergusur oleh aturan pemerintah. Begitu juga organisasi pemuda/mahasiswa. Ormas pemuda/mahasiswa banyak yang terpaksa mau menerima asas Pancasila. Sementara, mereka banyak yang terpaksa bergerak di bawah tanah agar tetap eksis, meski harus berurusan dengan intel pemerintah. Kebijakan asas tunggal Pancasila ini efektif memecah gerakan pemuda/mahasiswa. Efek yang sampai sekarang dirasakan adalah banyaknya potensi pemuda yang terpaksa hilang akibat ketidakmauan mereka menerima asas Pancasila. PII (Pelajar Islam Indonesia) misalnya, mereka terpaksa bubar dan bergerak illegal, karena tidak mau menerima asas pancasila. Sementara Himpunan Mahasiswa Islam pecah menjadi dua. Mulai muncul perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru dengan gerakan-gerakan konsolidasi pro-demokrasi, yang kemudian disebut oleh pemerintah sebagai Organisasi Tanpa Bentuk/OTB, dan mulai terang-terangan pada tahun 1996-1998 mulai muncul bentuknya seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan lain-lain. IX. Dekade 1988-1998 Krisis moneter yang memunculkan krisis multidimensi di Indonesia memunculkan perlawanan yang lebih kongkrit oleh pemuda/mahasiswa. Banyak gerakan pro-demokrasi yang muncul bersama gerakan pemuda/mahasiswa lainnya melakukan koordinasi nasional dengan memunculkan gerakan reformasi. Reformasi membuka kesempatan kepada ormas pemuda dan mahasiswa untuk kembali pada asas mereka semula. Booming partai politik memberikan kesempatan pada pemuda dan mahasiswa untuk membentuk dan menjadi pengurus partai dan terlibat langsung dalam perebutan kursi di parlemen. Selama ini mahasiswa merasa ditinggalkan oleh pemerintah ketika perjuangan menumbangkan rezim sudah berhasil, kesempatan masuk partai ini membuka peluang pemuda/mahasiswa tersebut. Selain partai politik, organisasi pemuda/mahasiswa banyak lahir pada kesempatan reformasi. Ormas pemuda ini biasanya adlah sayap partai politik yang lahir pada masa reformasi itu juga seperti Pemuda PAN dan lain-lain, juga seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI) dan lain-lain. Reformasi ini juga membuka kesempatan pers untuk kembali bebas dan demokratis. 1998-2008 Pemilu 1999 dan 2004 adalah momentum untuk tampilnya pemuda/mahasiswa pada pergerakan nasional. Namun, masuknya pemuda di parlemen justru dipandang banyak kalangan melenakan para pemuda pada kekuasaan dan lupa pada perjuangan reformasi sebelumnya. Sehingga tantangan yang dihadapi pada saat ini adalah bukan semata-mata pemerintah dan kebijakannya, tetapi internal pemuda sendiri yang tidak konsisten dalam memperjuangkan reformasi. Pemuda sulit independen, justru pemuda banyak yang berjuang demi kepentingan kekuasaan dan partai politik. Bukan memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa.*
Diposkan oleh Pemuda Muhammadiyah Cempaka Putih di 02:49 0 komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Selamat datang di Blog Kami

Pemuda Muhammadiyah Cempaka Putih Ortom Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cempaka Putih Lihat profil lengkapku

Kotak Pencarian Arsip Blog

2009 (9) o April (8) Nilai Positif dari Demokrasi N A R K O B A T I I I I D D D A A A A A AKKKKK... Awas Bahaya Narkoba Ke- Muhammadiyah -An FORMATUR SUSUNAN PENGURUS Sejarah Pergerakan Pemuda Indonesia Musyawarah VS Demokrasi

Musyawarah Definitifnya Maret (1)

Top Favourites
Widget by Blogger Buster

Silahkan Isi News Update


Apple Google Microsoft Apple confirms no current plans to bring Siri to older devices Apple Insider By AppleInsider Staff Apple's engineering unit has reportedly confirmed that the company currently has "no plans" to support its Siri personal assistant feature on older devices, according to a person familiar with the matter. ... Related Articles Apple to train managers on 'union awareness' (exclusive) CNET (blog) by Josh Lowensohn November 7, 2011 7:07 PM PST Follow @Josh Corrected on November 8 at 3:30 pm PT to reflect that the training program is not related to Apple's retail stores. This story has been changed throughout to reflect that. ... Related Articles Prizefight: Asus UX31 vs. Apple MacBook Air CNET Our latest Prizefight pits one of the new generation of super-thin ultrabook laptops, the Asus Zenbook UX31, against the system it was clearly designed to emulate, Apple's 13-inch MacBook Air. The Prizefight scoring system is as follows: Each judge ... Related Articles Apple notifies faulty MagSafe owners of class-action settlement Apple Insider By Slash Lane Apple has reached a settlement on a class-action lawsuit over T-shaped MagSafe connectors for MacBook and MacBook Pro models that can fray and come apart. The company on Tuesday posted a new support document detailing the Apple Adapter ...

Related Articles powered by

Silaturahmi Ke

PP Tapak Suci PP Pemuda Muhammadiyah PP Muhammadiyah

Anda Pengunjung KeTotal : 380 Today : 4 Live : 1

Country Visitor

Locate IP Address Didukung Oleh

Lencana Facebook
Profil

Buat Lencana Anda

You might also like