You are on page 1of 9

Topik Utama_________________________________________________________131

ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA


Oleh : A. Gani*) ABSTRAK Dalam banyak konflik kekerasan dan kerusuhan, agama acapkali muncul sebagai faktor pemicu. Tak jarang, orang melakukan aksi kekerasan atas nama agama. Kenyataan tersebut memunculkan petanyaan-pertanyaan; betulkah keberagamaan dan keberagaman agama (pluralisme) memiliki andil terhadap merebaknya cultur of violence, adakah yang salah dengan pluralitas ? dalam masyarakat yang plural , tidak adakah mekanisme pengaman dari konflik ? pertanyaan lebih lanjut; bagaimana peran agama (agama Islam) yang mayoritas di Repbulik Indonesia ini ? Upaya mengurangi ketegangan dan konflik pada masyarakat yang pluralis serta pencarian solusi dari benturan dan dilematis antar negara dan agama di indonesia, dapat dicari dalam konsep dan imlementasi ide nasionlisme keberagmaaan. Konsep tersebut merupakan titik temu antara ide-ide nasionlisme serta keberagaman sedemikian rupa sehingga praksis di antara keduanya tidak berbenturan. Kata kunci : Pluralisme A. PENDAHULUAN Wacana tentang Islam dan Pluralisme merupakan tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendekiawan Muslim Indonesia pada dekade tahun 1980-an dan saat ini. Penting tema ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi obyektif bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan tinggi baik secara fisik, maupun sosial , budaya, dan agama.1 Secara fisik, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, baik yang dihuni ataupun tidak. Selain itu, Indonesia terdiri berbagai suku, bahasa, adat-istiadat, serta agama yag menunjukan heteroginitas sosio-kultural. Di samping itu, secara integral, pada masing-msing agama yang ada (misalnya Islam) juga terdapat keragaman pemahaman dan pelaksanaan ajaran.2 *Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Bandar Lampung

132

Volume 1, Nomor 2, Juni 2005

Dilihat dari kondisi yang serba plural ini, tidak salah apabila dikatakan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia menyimpan potensi konflik yang tinggi. Beberapa peristiwa yang belakangan terjadi di berbagai daerah menunjukan hal itu. Konflik Ambon, Poso walaupun diyakini oleh para tokoh bukan disebabkan oleh faktor agama, tetapi ketika yang menjadi tumpuan untuk menyelesaikan konflik ini adalah tokoh-tokoh agama, maka menjadi jelas bahwa agama memiliki peran yang sangat signifikan bagi terjadinya konflik secara berkepanjangan. Peran agama disini, menyangkut bagaimana nilai-nilai agama yang diyakini oleh seseorang dalam memandang orang lain yang berbeda agama mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap orang itu. Sebagaimana tersebut diatas bahwa diskursus tentang pluralisme di Indonesia tidak hanya dilatarbelakngi oleh adanya pluralitas agama, tetapi juga oleh pluralitas suku, budaya, bahkan juga politik. Namun demikian, tulisan ini hanya akan memfokuskan pada isu-isu di seputar pluralitas agama di Indonesia dan bagaimana Islam berperan di dalamnya. B. KONSEP PLURALISME Kata pluralis berasal dari bahasa Latin plures yang berarti beberapa dengan implilaksi perbedaan.3 Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural, poitik dan agama.4 Terhadap pengertian yang bias dengan relativisme ini, tentu saja orang yang beragama tidak dapat menerima sepenuhnya. Oleh karena itu pemahaman yang berbeda terhadap ide pluralisme akan selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama. Nurcholis Madjid memaknai : pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyatan itu.5 Alwi Shihab memberikan bebeapa pengertian dan catatan mengenai pluralisme sebagai berikut : Pertama, pluralisme tidak semata-mata menujuk pada kenyataan adanya kemajemukan, tatapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang baik ditempat kerja, di kampus, maupun di tempat berbelanja. Akan tetapi dengan melihat pengertian yang petama ini, orang tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat pluralis apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan hak agama
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam A. GANI

Topik Utama_________________________________________________________133

lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Ke-empat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama. 6

C. PLURALISME DALAM ISLAM Secara normatif, dalam al-Quran teradpat bebeapa ayat yang isinya mengarah pada nilai-nilai pluralisme. Misalnya ayat 13 dari surat al-Hujarat : Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suka supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antar kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal(QS. 49 : 13). Ayat ini dapat dipahami sebagai konsep kemajemukan umat manusia secara univeral dalam Islam. Selanjutnya dalam hal kehidupan keberagamaan manusia, al-Quran juga telah menerapkan beberapa prinsip kebebasan, dan toleransi beragama, antara lain dapat digali dari ayat-atat berikut : Tidak ada paksaan untuk(memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah (QS. 2 : 256) Dan jika Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. 10 : 99). Dan katakanlah :Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman silakan beriman, dan barang siapa yang
ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

134

Volume 1, Nomor 2, Juni 2005

ingin ingkar silahkan ingkar (QS. 109 : 6). Juga firman Allah yang artinya Bagimu agamamu, dan bagiku agama ku (QS :109 : 6) Secara historis perjumpaan Islam dengan agama-agama lain telah berlangsung sejak Nabi Muhammad. Islam datang dalam konteks agama Yahudi dan Nasrani. Oleh karenanya, dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat baru di Madinah, Nabi tidak menafikan kelompok-kelompok di luar Islam, melainkan mengakomodir kepentingan mereka dan mengajak untuk bekerja sama. Dalam sejarah, langkah Nabi ini kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Di samping itu dalam Islam juga dikenal adanya perjanjian yang dibuat Umar Ibn Khatab dengan penduduk Yarussalem, setelah kota suci itu dibebaskan oleh tentara Muslim. Perjanjian itu memuat jaminan keamanan jiwa, harta dan agama penduduk setempat. D. KASUS INDONESIA Islam datang ke Indonesia tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya dengan kekuatan meliter. Proses Islamisasi di Indonesia berlangsung secara damai. Selain merupakan suatu kenyataaan bahwa perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh agama dan budaya yang sudah lama ada sebelumnya dan berkembang di Indonesia. Secara kronologis, kedatangan agama di Indonesia dapat diurutkan, yaitu: Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di samping itu kedatangan bangsa Cina yang membawa agama Kong Hu Chu ikut pula mewarnai dunia keagamaan di Indonesia. Kedatangan agama-agama besar ini, terutama yang tiga (Hindu, Budha, Islam) tidak hanya berpengaruh secara kerohanian, tetapi juga secara fisik dan politis, sebagaiamana terlihat dari wujud kerajaankerajaan Hindu, Budha, dan Islam. Sementara itu, Kristen datang bersamaan dengan datangnya penjajah Barat ke kepulauan Nusantara. Kenyaatan ini bagi masyarakat telah menimbulkan strereotif bahwa agama Kristen identik dengan penjajah, yang pada gilirannya membawa pengaruh yang besar terhadap perjalanaan sejarah hubungan antara agama di Indonesia, terlebih lagi ditambah dengan klaim setiap pemeluk terhadap ajarannya (trust claim).7 Terlepas dari perbedaan di atas, eksistensi agama-agama itu bagaimanapun telah diakui secara resmi dan berhak hidup di wilayah tanah air. Persoalannya kemudian adalah bahwa apakah pluralitas agama ini akan menjadi faktor integratif bangsa atau justru akan mejadi sumber konflik dan disintegrasi nasional. Semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat Indonesia tentu menginginkan alternatif yang pertama.
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam A. GANI

Topik Utama_________________________________________________________ 135

Akan tetapi untuk mewujudkan hal ini tentu bukan hal yang mudah dan diperlukan upaya kerja keras dari semua pihak, terutama para tokoh agama. Peran umat Islam, sebagai golongan mayoritas, akan sangat menentukan tercapainya cita-cita bersama ini. Disinilah letak pentinganya pengembangan wacana pluralisme di Indonesia. Untuk merespon persoalan ini, para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia. Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam. Pandangan semacam ini, menurutnya telah memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan.8 Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan. Dasar pandangan Nurcholis tentang hubungan Islam dan pluralisme, seperti telah dikemukakan, berpijak pada semangat dan universaliats Islam, sabagaimana dalam al-quran disebutkan bahwa kerasulan atau misi Nabi adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Sementara itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara
ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

136

Volume 1, Nomor 2, Juni 2005

Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah (1) Keselamatan Fisik warganegara (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, (3) Keselamatan keluarga dan keturunan, (4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan (5) Keselamatan profesi. Dalam konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai pemberi warna tunggal bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan alternatif terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikain format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa.9 Berbeda dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam dengan pluralisme dalam perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih mengaitkannya dengan setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu sendiri merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspekaspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan kepentinagan Islam.10 Kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan dua persoalan untuk dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme positif. Mengenai solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam hubungan antar agama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu adalaah dari inward looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat keluar). Setelah adanya rangkaian kesalahpahaman di antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia, pada waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970). Istilah kerukunan antar umat beragama mulai digulirkan. Sejak saat itu
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam A. GANI

Topik Utama_________________________________________________________ 137

terjadi perdebaatan mengenai makna dan praktek toleransi, apakah toleransi itu dikenakan kepada mayoritas atau minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu kedua-duanya, tatapi di lapangan, kerukunan tidak pernah terjadi. Ketakutan akan Kristenisasi di daerah Islam dan Isalmiasasi di daerah kristen saling menghantui kedua belah pihak, dan ini tidak menguntungan bagi upaya menciptakan kerukunan.11 Pada tahun 1970-1990 kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi ,menurut Kunto,karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat beagama.12 Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam hubungan antar agama. Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa (1) selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme), dan (2) masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi negatif apabila orang mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat diganti-ganti semaunya. Pluralisme positiflah yang dipraktekkan Rasul di Madinah.13 Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi Sihab menyatakan bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ada satu syarat, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. E. KESIMPULAN Tantangan yang dihadapi umat beragama di Indonesia tidak kecil. Mungkin kita boleh berbangga terhadap bangsa-bangsa lain di atas dunia atas prestasi bangsa Indonesia yang telah dicapai dalam membina kerukunan antar umat beragama. Akan tetapi sebagaiaman dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa kondisi bangsa Indonesia memiliki potensi konflik yang tinggi. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, serta dibarengi dengan loyalitas dan komitmen terhadap agama masing-masing.
ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

138

Volume 1, Nomor 2, Juni 2005

Selain diperlukan pengembangan wacana pluralisme ke luar dalam hubungan Islam dengan non-Islam di kalangan umat Islam, kita juga masih disibukkan dengan terciptanya nilai-nilai pluralisme ke dalam (internal umat Islam). Telah maklum bahwa di dalam internal umat Islam Indonesia sendiri terdapat berbagai kelompok yang masing-masing memiliki kecenderungan pemahaman keagamaan sendiri-sendiri. Secara organisatoris, hal ini dapat dilihat dari adanya representasi NU, Muhamadiyah, Persis dan lain-lain. Potensi konflik di kalangan umat Islam sendiri tidak lebih kecil dari potensi konflik diantara Islam dan agama lain.

(Endnotes) 1 M.Syafei Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1995), p. 227 2 Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1992), p. 4 3 Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dasn Pluralisme dalam Islam, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus EF (Ed), Passing Over : Melintasi batas Agama, (Jakarta : Gramedia, 1998),p. 184. 4 Lihat. Gerald O Collins and Edward G. Farrugia, Kamus Teologi penerjemah Sunaryo, (Yogyakarta : kanisius, 1996), p. 267 5 Nurcholis, Op.cit, hal. 25 6 Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Jakarta : Mizan, 1999),p. 41-42 7 Djohan Effendi dalam Syafii Anwar, Op.Cit.p. 223 8 Menurut Nurcholis Islam adalah agama yang pengalamanya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme memiliki keunikan dalam sejarah agama-agama. Hal ini terbukti bahwa berbagai masyarakat dunia, di mana Islam merupakan panutan mayoritas, agamaagama lain tidak menglami kesulitan berarti, tetapi sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan umat Islam menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan, kecuali di negaranegara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kebebasan beragama. Selanjutnya lihat Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 18. 9 Syafii, Op.Cit,hal. 234-235 10 . Lihat tulisan-tulisan Kontowijoyo dalam bukunya : Dinamika sejarah Umat Islam Indonesia, juga Paradigma Islam dan Identitas Politik Umat Islam (jakarta : Mizan, 1997 ),hal. 167-168 11 Ibid 12 Nasikun, Nasionalisme refleksi Kritis Kaum Ilmuawan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 19960, p. 25 13 Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta ; Pustaka Pirdaus, 1997), p. 39

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

A. GANI

Topik Utama_________________________________________________________139

DAFTAR KEPUSTAKAAN Alwi Sihab, Islam Inklusif, (Jakarta : 1999) Geral O Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi terj. Suharyo (Yogyakarta : Kanisius, 1996) Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, terj. Basco (Yogyakarta : Kanisius, 1992) Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, Passing Over Melintasi Batas Agama, (Jakarta : Gramedia, 1998) Kuntowijoya, Identitas Politik Umat Islam, (Jakarta : Mizan, 1997) Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta : Pustaka Pirdaus, 1997) Norcholis Madjid, Islam Doktrin dsan Peradaban, (Jakarta : paramadina, 1992) Syafii Anwar, Pemikiran dan Akasi Islam Indonesia (Jakarata : Paramadina, 1995) Syafii Anwar, Agama dan Pluralitas Masyarakat Bangsa, (Jakarata : P3M, 1994)

ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

You might also like