You are on page 1of 38

KEPERCAYAAN ORANG DAYAK TENTANG KESAKTIAN

Kalimat tentang adanya kesaktian/kepercayaan tidak saja hanya dipakai sebagai hiasan kesusastraan belaka melainkan dapat dipandang sebagai pendapat yang berakar-akar dalam bumi kepercayaan bangsa Indonesia, dari masa lampau sampai sekarang masih mempercayai akan adanya benda halus yang bernama kesaktian, termasuk pengetahuan bathin orang-orang Dayak. Adapun nama-nama pengetahuan bathin orang-orang Dayak tersebut diantaranya sebagai berikut: 1. Parang-maya, yaitu orang yang kena mati badan separo, atau leher seakan-akan ada bekas luka, atau tangan mendadak tak bisa bergerak, atau badan biru, tangan sepotong. 2. Pipit Berunai, yaitu semacam binatang kecil seperti busuk dipelihara dalam botol, dikasih makan timah atau waja/besi, menurut kepercayaan binatang tersebut dapat diperintahkan menyerang musuh. 3. Tumbak Gahan, yaitu pengetahuan ini biasanya terdapat di daerah Barito Selatan, Barito Timur dan Pasir (Tanah Grogot). 4. Awoh, yaitu khusus pengetahuan untuk membengkak atau merusak mata jadi buta, atau koreng yang tak dapat diobati lagi, daging lepas-lepas. 5. Kiwang, Kibang, Pakihang, yaitu khusus untuk memelihara kebun, ladang, rumah dll, orang yang kena dapat bengkak, sakit perut, berak-berak mendadak, badan lemas. Ada juga yang dinamai Pakihang Leket, orang yang terkena lemas tak dapat berjalan/berpindah tempat. 6. Panikam Jantung, yaitu khusus kekuatan bathin menikam jantung, orang terus hilang nafas dan kelihatan bekas dibelakang atau didepan bersamaan tempat jantung. 7. Petak Malai, yaitu tanah malai, tanah yang berkhasiat untuk menjinak binatang-binatang yang liar, menjinak manusia. Tanah ini didapat dari Bukit Bondang, Bukit Raya, Bukit Kaminting, Gunung Kelam dan disungai Samba dekat kampung jala hulu sungai Katingan. 8. Dll..

TANDING TUNTANG TAMPENGAN BAHASA DAYAK NGAJU (PRIBAHASA DALAM BAHASA DAYAK NGAJU) 1. ANTANG TEMPUN TANDAK, SABARU TEMPUN TALATAK (Ruji) ARTINYA : Diibaratkan kepada seseorang yang bekerja keras, tetapi orang lain yang menikmati hasil atau nama baiknya. 2. KANGAJU DIA KUMAN MANUK, KANGAWA DIA KUMAN TABUAN (Linda Kristianei) ARTINYA : Diumpamakan kepada seseorang yang sedang sial 3. KILAU TANTELUH NYANGKELANG BATU (Sahdin Hasan) ARTINYA : Diumpamakan kepada seseorang yang hidup sebatang kara dan setiap saat berhadapan dengan bahaya.

4.

KILAU DANUM HUANG DAWEN KUJANG. (H. Arbaidi) ARTINYA : Diumpamakan kepada seseorang yang sulit menerima nasehat orang lain.

5.

PULAU ILUNG JADI BAHANTUNG (Atie Dieni) ARTINYA : Diumpamakan kepada seseorang yang sudah tidur nyenyak

6.

KARAS NYAHU TAPI JATUN UJAN (Perdinanset) ARTINYA : Diumpamakan kepada seseorang yang suka sesumbar, tetapi tidak ada buktinya.

7.

LAJU ALUR DARI KELOTOK (Ali Iswandi) ARTINYA : Anak buah atau bawahan harus tau diri

8.

LALAMPAR BAIWAK RABUK (Sugito)

ARTINYA ; Parut lapar mata mangantuk 9. BAKAHING ATEI (Effendy) ARTINYA ; Mempunyai tekat yang kuat 10. LAYA-LAYA KOTAM TAME BUWU (Asliman) ARTINYA; Diumpamakan kepada seseorang yang lengah di masa mudanya, pada masa tua akan sengsara. LAGU KEBANGSAAN KELOMPOK BERUANG

K LOMPOK BRUANG MAJU TERUS K LOMPOK BRUANG PANTANG MUNDUR TIDAK PERNAH BERSEDIH, TIDAK PERNAH MENGELUH K LOMPOK BRUANG JAYA SLALU K LOMPOK BRUANG JAYA SLALU

YEL-YEL KELOMPOK BERUANG

BRUANG - BRUANG - BRUANG MAJU .... SERBU .... MADU.....

PUISI HARI DEMI HARI KAMI LEWATI SATU PERSATU SATU MATERI KAMI IKUTI WALAUPUN PENAT RASA DIHATI TAPI TAK ADA KATA MENYERAH

KELUARGA DAN PEKERJAAN DITINGGALKAN DEMI MENGIKUTI DILATPIM III TIADA HARI TANPA BELAJAR MENUNTUT ILMU YANG SANGAT BERHARGA

LAGU DAYAK JUDUL : HAMPAHARI HUANG HETUH, ITAH HAMPAHARI HAMPAHARI NETEI JALAN, ITAH HAYA-HAYAK HAYA-HAYAK

PINTAR TUNTANG HA..RATI ELA ITAH HAKALIHI 2 x BESEI JUKUNG, AYU TUTU-TUTU TUTU-TUTU DIKLAT PIM TE..LU JALAN JE INYURU JE INYURU MANGAT ITAH MANGGATANG UTUS AYUN TATU HIANG 2 X

ARTI LAGU DALAM BAHASA INDONESIA

DISINI KITA BERSAUDARA BERSAUDARA MELALUI JALAN, KITA SAMA-SAMA SAMA-SAMA CERDAS DAN BERBUDI JANGAN KITA SALING TIDAK PEDULI 2 x

Jika mendengar sebutan kata Dayak pasti akan teringat akan nama sebuah suku yang hidup dan menetap di pulau Kalimantan. Suku Dayak adalah nama suku yang memiliki budaya yang bersifat daratan bukan budaya maritim. Budaya daratan yang dimaksud disini adalah sebuah budaya yang hampir di setiap segi kehidupan suku tersebut dilakukan di daratan bukan di daerah pesisir apalagi di lautan seperti budaya maritim. Hal itu dapat dilihat dari kegiatan sehari-harinya suku Dayak, seperti berburu, bertani, dan berkebun.

Tentang Dayak: Nila-Riwut.com


Oleh Rudy Gunawan Tokoh Senin, 14 Desember 2009 pukul 20:10 WIB 17 Komentar 1.079 dilihat Jika tahun 2009 dapat dikatakan sebagai era keemasan jejaring sosial di internet, maka boleh dikatakan pula bahwa tahun 2009 merupakan masa kebangkitan situs-situs internet yang mengangkat soal kebudayaan dan kearifan lokal. Salah satunya yang baru saja diluncurkan bulan Novermber lalu, sebuah situs berbahasa Inggris yang memuat segala informasi mengenai kebudayaan Dayak. Situs ini dikelola oleh putri Tjilik Riwut yang menjadi penyunting buku Maneser Panatau Tatu Hiang, mina Nila Riwut.

Saya, Nila Riwut, seorang perempuan dayak, ibu, dan juga nenek. Saya menetap di Yogyakarta, Indonesia; mencoba memberi makna dalam hidup dengan memperkenalkan kebudayaan Dayak, Kalimantan, Indonesia. Minat saya pada kebudayaan Dayak dimulai ketika masih remaja, saya diajarkan oleh almarhum ayah dan langsung jatuh cinta lalu memutuskan untuk lebih mendalaminya. Semua yang saya lakukan, dilakukan dengan hati dan rasa terimakasih sebagai dedikasi kepada mendiang kedua orangtua saya. Pengertian mengenai kebudayaan nenek moyang saya benar-benar diperkaya oleh catatan dan dokumentasi pribadi almarhum ayah saya, Tjilik Riwut. Dengan tujuan agar dokumendokumen tersebut dapat menjadi bahan akademis dan dapat memberikan kontribusi kepada ilmu pengetahuan, dalam prosesnya saya didampingi oleh Dr. G. Budi Subanar, dosen pascasarjana pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dengan bimbingannya, beberapa buku telah diterbitkan. Sebagaimana adanya untuk situs ini, ditulis berdasarkan pengetahuan saya mengenai kebudayaan Dayak yang antara lain berasal dari catatan dan dokumentasi Tjilik Riwut. Sejarah dan kebudayaan sebuah bangsa adalah salah satu aset dunia yang tak ternilai harganya. Agar hal semacam itu tidak lantas punah, mari kita memberikan kontribusi padanya. Meskipun itu hanya sebagian kecil dan tak berarti, saya benar-benar berharap agar upaya ini tidak sia-sia. (diterjemahkan literal dari kalimat pembuka pada www.nila-riwut.com) Situs ini diluncurkan pada tanggal 17 November 2009. Tanggal tersebut dipilih karena merupakan nomor favorit dan keramat bagi Tjilik Riwut. Situs ini antara lain berisi mengenai kebudayaan, sejarah, obat tradisional, kuliner, dan lain sebagainya tentang Dayak. Juga akan dilengkapi dengan kamus bahasa Dayak Ngaju. Silahkan mengunjungi situs ini dengan mengakses alamat: www.nila-riwut.com

Diharapkan dengan memakai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, situs ini dapat memperkenalkan kebudayaan Dayak tidak hanya terbatas pada warga Indonesia, tetapi ke seluruh penjuru dunia.

www.kualalumpurcentral.com/Kuala%20Lumpur%20National%20Museum%20Dayak%20Head%20Hunter%20from%20Sarawak.jpg

Kata Dayak menurut R. Sunardi dan O. K. Rahmat, keduanya menyatakan bahwa Dayak adalah sebuah kata untuk menyatakan suatu kelompok yang tidak menganut agama Islam dan hidup menetap di pedalaman Kalimantan. Istilah ini juga yang diberikan oleh bangsa Melayu yang hidup di daerah pesisir Kalimantan yang berarti gunung. Bangsa Melayu pada waktu itu adalah sekelompok masyarakat yang tidak lain dan tidak bukan adalah masyarakat yang berasal dari daerah Melayu dan berbahasa Melayu pula. Tetapi akan lain pengertiannya jika yang disebut orang Melayu adalah orang Dayak yang sudah memeluk agama Islam. Jika dilihat dari pandangan orang Dayak sendiri, yang disebut sebagai orang Melayu adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah Melayu dan para pendatang lain yang berdatangan ke Kalimantan, kecuali kelompok Tionghoa, yang mendiami Kalimantan. Orang-orang Melayu mengatakan bahwa Dayak itu berarti orang gunung. Tidak ada kamus atau para ahli yang menyatakan bahwa kata Dayak itu berarti orang gunung, hal itu disebabkan karena sebagian besar dari orang Dayak menetap di daerah hulu sungai dan topografi tanahnya bergunung-gunung tetapi tidak berarti orang Dayak adalah orang gunung. Di samping nama Dayak ada juga istilah Dyak. Istilah Dyak ini diberikan oleh orang Inggris dulu kepada suku-suku Dayak di Kalimantan Utara (Malaysia).

bolaeropa.kompas.com/photos/MATA%20AIR/5balian.jpg

Suku Dayak yang Menetap di pulau Kalimantan itu tersebar di seluruh bagian Kalimantan dan hidup tersebar-sebar, di daerah hulu sungai, di daerah yang tofografinya gunung-gunung, lembah-lembah, dan di kaki bukit. Untuk menyebut jati diri mereka, orang Dayak biasanya memakai nama aliran sungai besar yang daerah pesisirnya mereka diami. Misalnya orang Dayak yang mendiami daerah pesisir sungai Kahayan, mereka menyebut jati diri mereka sebagai uluh Kahayan (orang Kahayan). Ada uluh Katingan, uluh Barito, dan lain sebagainya. Di antara orang-orang Dayak itu sendiri, ada sekelompok orang yang berkeberatan memakai kata Dayak sehingga muncullah istilah yang lain, yairu Daya. Istilah Daya ini sangat populer di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Kata Dayak dan Daya sebenarnya merujuk pada satu suku saja, yaitu suku Dayak. Dan dalam bahasa Dayak Ngaju kedua kata itu merupakan sebuah kata sifat yang menunjuk pada suatu kekuatan. Dalam bahasa Sangen kata Dayak dan Daya itu berarti bakena (gagah).
PEPATAH-PETITIH DAN UNGKAPAN-UNGKAPAN BAHASA DAYAK NGAJU KALIMANTAN TENGAH Posted May 5, 2009 Filed under: jurnal | Jurnal Toddopuli 34 (Cerita Untuk Andriani S. Kusni Dan Anak-Anakku) Ada yang lebih memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, ada pula yang memilih dunia bahasa, sejarah, budaya Kaharingan, tekhnologi atau musik sebagai bidang tekunan. Mulai nampak adanya spesialisasi masalah yang ditekuni dan ditangani secara sungguh-sungguh. Berharap saja bahwa spesialisasi tidak membuat orang menutup mata dan telinga terhadap bidangbidang lain, lalu merasa bidang tekunannya sendiri yang paling wah sehingga kurang memahami arti penting pendekatan multi disipliner dan makna saling hubungan dalam suatu perkembangan dialektis hal-ikhwal. Di samping gejala mulai terjadinya spesialisasi bidang tekunan, terdapat tidak sedikit pula bidang-bidang yang belum terjamah baik. Bidang sastra, seni lukis, teater, misalnya masih belum memperlihatkan perkembangan berarti dibandingkan dengan 7 tahun silam saat saya masih bekerja di propinsi ini. Dunia eterntainment masih jauh dari perhatian, padahal masyarakat berbagai kalangan sangat kekurangan dan memerlukan hiburan. Sejak 1957 saat berdirinya Palangka Raya sampai hari ini, tak ada sebuah gedung bioskop pun terdapat di ibukota propinsi ke-17 ini.

Terdengar berita bahwa dalam waktu dekat Bioskop 21 akan diadakan di Palma (Palangka Raya Mall). Apakah Palangka Raya kekurangan gedung-gedung pertunjukan? Aneh jika demikian, sementara banyak gedung-gedung yang mubazir tak dimanfaatkan tapi gedung-gedung baru terus dibangun, mungkin atas nama proyek. Kehausan akan tempat bersantai begini kemudian menjadi sebuah arus manusia menuju restoran-restoran tenda dan Monumen Nilai-Nilai Juang 1945 dengan nilai-nilai dan pandangan sejarah yang membangkitkan polemis terletak di depan Kantor Gubernur yang megah indah. Narkoba dan miras, kekerasan dan agresivitas seksual mengisi kolomkolom koran hampir saban hari. Secara garis besar, bisa dikatakan adalah sebuah kota kering tanpa kegiatan kesenian yang berarti. Ini disebabkan karena kota sedang berkembang, ujar seorang pejabat dari Kejaksaan Tinggi yang kebetulan menginap di satu wisma. O ya, kota memang tengah berkembang tapi tidak seimbang dan bergaya pop konsumptif. Demikianlah perkembangan baru di Kalimantan Tengah yang saya lihat saat pulang kampung kali ini. Di tengah ketimpangan-ketimpangan di atas, hal menarik adalah kegiatan-kegiatan fokus yang dilakukan oleh dua budayawan muda Dayak Anthony Nyahu dan Marko Mahin. Yang terakhir adalah seorang antropolog lulusan S2 universitas di Leiden, sedang menulis tesis S3 pada Universitas Indonesia, Jakarta. Sedangkan Anthony Nyahu seorang pegawai pada Pusat Bahasa yang sesuai dengan bidang kerjanya banyak menekuni permasalahan dan pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Marko dan Mahin sedang berencana untuk menerbitkan Buletin Tamuei yang sepenuhnya berbahasa Dayak Ngaju. Dalam kerangka pengembangan bahasa Dayak Ngaju ini, Anthony Nyahu aktif melakukan penelitian, penulisan, pengumpulan khazanah bahasa Dayak Ngaju serta menganalisanya. Kegiatan Nyahu dalam bidang bahasa, nampaknya agak berbeda dengan pekerjaan besar dan penting Institut Dayakologi Pontianak yang membuat peta bahasa di Kalimantan Barat. Selain membuat peta linguistik di Kalteng, Nyahu juga menganalisa, membahas ejaan dan tatabahasa kegiatan lengkap-melengkapi dengan kegiatan Nila Riwut yang telah berhasil menyusun kamus bahasa Dayak-Indonesia terlengkap sampai sekarang dan masih mencari penerbit. Salah satu kegiatan Anthony Nyahu adalah mengumpulkan kembali pepatah-petitih dan ungkapan bahasa Dayak Ngaju yang selama ini kurang diindahkan terutama oleh generasi muda, mulai dari angkatan Anthony dan angkatan yang di bawahynya. Jangankan menaruh perhatian, dalam berkomunikasi sesama diri mereka, angkatan muda Dayak Kalteng nampak lebih banyak menggunakan bahasa Banjar daripada bahasa Dayak Ngaju, sekalipun mereka adalah orang Dayak Ngaju. Penggunaan bahasa Banjar sebagai alat komunikasi bahkan oleh tak sedikit keluarga digunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Apakah hal begini merupakan petunjuk akan adanya masalah dalam soal identitas dan kompleks psikhologis di kalangan masyarakat Dayak Ngaju? Apakah secara budaya, orang Dayak Ngaju, mengalami sejenis penyakit? Kalau pun mereka berbahasa Banjar, saya juga tidak yakin bahwa mereka yang memakainya sebagai bahasa komunikasi hingga di lingkungan keluarga mereka, memahami pesan filosofis dan nilai-nilai yang terungkap dalam pepatah-petitih serta ungkapan bahasa Banjar. Jika bahasa etniknya sendiri dilecehkan secara tidak sadar, sedangkan bahasa Banjar digunakan sebatas bahasa kmunikasi, saya khawatir, akhirnya manusia Dayak Kalteng sekarang, menjadi sejenis manusia hampa nilai budaya. Padahal jika memperhatikan sejumlah pepatah-petitih dan ungkapan bahasa Dayak Ngaju (Lihat: Lampiran) yang telah dikumpulkan oleh Anthony Nyahu, pepatah-petitih dan ungkapan tersebut merupakan kesimpulan para tetua tentang pengalaman hidup mereka. Kecuali itu, pepatah-petitih dan ungkapan-ungkapan mencerminkan evaluasi mereka terhadap perangai atau watak manusia Dayak. Dari pepatah-petitih dan ungkapan Dayak Ngaju yant dikumpulkan oleh Nyahu, tercermin juga

kedekatan manusia Dayak dengan lingkungan, bagaimana basis tercermin pada bangunan atas yang bernama pepatah-petitih dan ungkapan-ungkapan. Kesimpulan tetua tentang pengalaman hidup mereka menjawab tantangan zaman mereka misalnya tersirat dari pepatah-petitih dan ungkapan berikut:
Buju-bujur ikoh aso (Lurus selurus ekor anjing) Rimae (artinya): Tampayahe bahalap padahal pananjaru (Nampaknya baik, tapi nyatanya pembohong) Bisa bulue dia belange (Basah kulit tidak belangnya) Rimae (artinya): Taloh gawi je dia mandinun hasil (Pekerjaan yang tidak mendatangkan hasil) Baka-bakas bua rangas (tua(tua buah rangas) Rimae (artinya): Oloh jadi bakas baya gawie kilau anak tabela (Walau pun sudah tua, tapi kerjanya seperti anak-anak). Karas nyaho jaton ujan (Deras petir tanpa hujan= Rimae (artinyanya):Are pander jatun katotoe (besar mulut tanpa bukti). Kalah batang awi sampange (kalau sungai karena anak sungainya) Rimae (artinya): Nihau tintu je solake tagal panggawi rahian (Hilang arah semula karena ulah yang kemudian). Dia tau pisang handue mamua (Pisang tak bisa berbuah dua kali). Rimae (artinya): Kabakas tuntang kagancang dia tau haluli akan tampara (Kedewasaan dan kekuatan tak bisa kembali ke awal). Tingang manganderang into bitie (Enggang menggema di dalam tubuhnya saja) Rimae (artinya):Tamam pander baya jaton gawie (Hebat omongnya saja, tanpa kerja). Ampit manak tingang(Pipit beranak enggang). Rimae (artinya): Oloh je tau menggatang tarung oloh bakase. (Seseorang yang bisa mengangkat martabat orangtua).

Berbagai perangai manusia di dalam pepatah-petitih dan ungkapan juga tercermin, misalnya :
Aku raja aku tamanggung aku damang(Saya raja, saya temenggung saya damang).

Rimae (artinya):Dia maku marandah arep awi keme arepe oloh hai. (Tidak mau rendahhati karena merasa dirinya orang besar) Duan kulate ilihi batange (Ambil jamur tinggalkan pohon) Rimae (artinya):Baya handak kamangate, pehe dia hakun (Mau enaknya saja, sakitnya tidak mau). Lepah anise kuas inganan (Habis manis sepah dibuang). Rimae (artinya):Amon tege gunae inyayang, amon dia palus inganan. (Saat berguna disayangi, saat tak berguna dibuang).

Pepatah-petitih yang lahir sebagai kesimpulan pengalaman angkatan pendahulu oleh Anthony Nyahu disebut sebagai pandehen utus (pengokoh ketahanan suku dan bangsa) melalui teguran ingatan dan kesadaran pada setiap saat dalam mengharungi kehidupan (gunae kan indu pampingat tuntang parendeng itah hong pambelom sining katika). Dari pepatah-petitih dan ungkapan dalam sebuah bahasa, barangkali bisa terbaca juga keadaan masyarakat pada suatu kurun waktu, mimpi dan nilai-nilai dominan serta romantisme zaman tertentu. Berangkat dari hipotesa begini, saya jadi bertanya-tanya tentang keadaan atau latarbelakang lahirnya ungkapan mengingatkan berikut: Tempun kajang bisa puat = Tempun uyah batawah belai = Tempun petak manana sare, punya atap
basah muatan, punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa.

Kata-kata peringatan ini terpampang dengan huruf-huruf besar di salah sebuah batu Bukit Batu dengan tandatangan Tjilik Riwut, bisa jelas terbaca dari kejauhan. Pertanyaan saya: Apakah keadaan terpinggir begini telah berlangsung lama di Tanah Dayak? Berapa lama, sejak kapan? Tentu ungkapan peringatan begini bukanlah ungkapan baru, tapi sudah berlangsung lama. Mengapa terjadi keadaan terpinggir untuk kurun waktu yang lama, pada katanya manusia Dayak itu adalah Utus Panarung (turunan manusia pelaga). Apakah ada perobahan pola pikir dan mentalitas pada Utus Panarung sejak Pertemuan Tumbang Anoi 22 Mei 1894 1), pertemuan yang mengawali kekalahan politik komunitas Dayak? Faktor-faktor apa yang membuat keterpurukan komunitas Dayak berlangsung demikian lama dan sampai sekarang masih belum juga teratasi sekali pun orang pertama propinsi adalah seorang Dayak juga, baik ia bernama Teras Narang, Gara, Reynault Sylvanus atau pun Asmawi A Gani? Apa yang salah? Menjawab pertanyaan-pertanyaan begini, agaknya kita niscaya menelusur sejarah Dayak dari masa ke masa, menyimak konsep pemberdayaan dan pembangunan yang dipilih dan diterapkan dari saat ke saat oleh penyelenggara kekuasaan politik propinsi, mencermati kesungguhan keberpihakan yang mengatasinamai pemberdayaan dan pembangunan daerah. Dengan demikian maka belajar bahasa, belajar pepatah-petitih dan ungkapan-ungkapan, barangkali mengandung makna dan meniscayakan kita juga belajar sejarah perkembangan masyarakat, sejarah pemikiran dan nilai-nilai dominan pada suatu kurun waktu. Barangkali dalam kaitannya dengan titik-titik demikian, usaha awal Anthony

Nyahu menghimpun pepatah-petitih dan ungkapan bahasa Dayak Ngaju Dayak mempunyai arti yang melampaui sekedar bisa dijadikan isi muatan lokal dalam proses ajar-mengajar di Kalteng (baca: daerah). Titik-titik demikian tentu mengungkapkan diri dalam berbagai sektor, termasuk seni rupa, puisi, dan arsitektur, dan sebagainya. Penanganan khusus arsitektur menjadi fokus perhatian Andriani S. Kusni dalam rangka kajiannya terhadap arsitektur tradisional nusantara. Spesialisasi kajian menandai perkembangan baru dalam usaha melangkah di jalan pemberdayaan dan pembangunan yang oleh Prof. Dr. Sajogyo disebut Jalan Kalimantan (Kalimantan bisa digantikan dengan nama pulau-pulau lain).****
Palangka Raya, Mei 2009 JJ. Kusni

Catatan: 1). Lihat: JJ. Kusni, Masalah Etnis Dan Pembangunan. Kasus Dayak Kalimantan Tengah, PT Paragon, Jakarta ,Agustus 1994, hlm-hlm. 30-38. Kata Pengantar DR. Djohan Effendi. LAMPIRAN:
PADEHEN UTUS JETOH GUNAE AKAN INDU PAMPINGAT TUNTANG PARENDENG ITAH HONG PAMBELOM SINING KATIKA Dikumpulkan Dan Disusun Oleh ANTHONY NYAHU Kahem badue bisa ije Rimae: Badue manggawi, kabuat nyarena Tempun kajang bisa puat = Tempun uyah batawah belai = Tempun petak manana sare. Rimae: Tempun ramo, oloh mahapae, Munduk lelep mendeng tambukep Rimae: Saraba sala Mahimes ujau ije kapulau Rimae: Oloh hatue je manduan uras oloh bawi ije kalambutan akan sawae

Kongkong saran tewang teah belai, antang saran langit bisa belai Rimae: Arep je tempon petak danum, oloh beken je manduae Bapinding rinjing baatei butong Rimae: Oloh je dia maku mahining peteh oloh bakas Buju-bujur ikoh aso Rimae: Tampayahe bahalap padahal pananjaru Bisa bulue dia belange Rimae: Taloh gawi je dia mandinun hasil Baka-bakas bua rangas Rimae: Oloh jadi bakas baya gawie kilau anak tabela Karas nyaho jaton ujan Rimae: Are pander jatun katotoe Kalah batang awi sampange Rimae: Nihau tintu je solake tagal panggawi rahian Dia tau pisang handue mamua Rimae: Kabakas tuntang kagancang dia tau haluli akan tampara Tingang manganderang into bitie Rimae: Tamam pander baya jaton gawie Ampit manak tingang Rimae: Oloh je tau menggatang tarung oloh bakase. Ampit biti, tingang kanderange Rimae: Kutak pander tuntang taloh gawi dia satimbang. Jaton tau kambing maobah belange Rimae: Jaton ati oloh je tau maobah tabiate Nyamae ewau madu, parae mimbit puntut

Rimae: Oloh ije kotak pander bahalap tapi papa ateie Handak neweng jaton baliung, handak nyakei tangkalau gantung Rimae: Gawi je ngahus, are katapase Neweng kayu hapa pisau, mandirik hapa baliyong Rimae: Mahapa pakakas dia tumon ekae Menggunakan segala alat tidak pada tempatnya Mikeh tapuhus kinyak, tepa buah duhi Rimae: Mikeh bara kapehe je kurik, buah kapehe je hai Jaton utuse kelep tau mandai Rimae: Manggawi je dia mungkin Inti-intih bua rihat halawu bua ruku Rimae: Mintih je bahalap halawu mandino je papa Jaton pusa nalua laok je langa-langai Rimae: Jaton aton oloh je mananrtalua ytaloh je mangat Jaton danum tau maleket hunjon dawen kujang Rimae: Dia tau mahapan ramo atawa rajaki bua-buah Mamparingkung bawoi lewu, manyeput bawoi himba Rimae: Tau/bahalap dengan oloh beken Mamuno lauk talimbas kambues Rimae: Manampa kare gawi barangkah bara wayahe Laya-laya katam tatame buwu Rimae: Haranan laya, tapajok tame tingkes Mambelom tingang manutok mate Rimae: Mambelom oloh, jadi sampai katika, ie tulas dengan oloh je mambelom ie Makang hejan limbah balawo = Manutup rumbak jadi tambohos

Rimae: Harue batawat limbah jadi mandino kapehe Dia katawan kasak kulat Rimae: Oloh je dia katawan auh pander saritae kabuat Pandang andau jari halemei Rimae: Malalus gawi jari talimbas Mandop bawoi paheka aso = Misi laok palepah umpan Rimae: Manggawi kare gawi je jaton hasile Dus dahian dus nangkarap Rimae: Oloh je malalus taloh gawie dia imarima helo Hong kueh batang lembut hete ie tege Rimae: Oloh je baya manggau kamangat ih Hore-horeh aso tapangkit pinding kolae Rimae: Bara horeh mampalembut kalahi/karidu Anak kambing dia tau manjadi anak haramaung Rimae: Anak oloh humong dia tau manjadi anak oloh pintar Ite anak nanture mananto Rimae: Genep gawi kahandake irima bua-buah. Inti-intih bua rihat Rimae: Handak mendinum je bahalap dia katawa dinun je papa Antang tarawang manari, manok hadari manyahukan Rimae: Amon dumah pangawas bara hunjun, uras pagawai bagawi intu eka ewen. Panginan antang dia akan kinan munyin Rimae: Rajaki itah dia akan induan oloh beken. Hong kueh tingen lepah hete apoi belep Rimae: Into kueh itah matei into hete ingubur.

Mausik apoi balupak Rimae: Genep gawi aton akibate Kahandak atei handak dimpah, jukung tege besei jatun Rimae: Handak bagawi tapi pakakas jaton Atei bagatel mate inggayau Rimae: Oloh je dia ulih manggawi taloh gawie je puna iharape. Manakau atei oloh. Rimae: mangat oloh manyinta dengae benye-benyem tuntang halus. Babilem inyewut baputi, baputi inyewut babilem Rimae: Bahalap inyewut papa, papa inyewut bahalap; dia mander ije katutu/pananjaru Keleh babilas bara babute Rimae: Keleh aton bara jaton sama sinde Lalau papoi tatepa bakeho Rimae: Eweh bewei je lalau mampagantung arep, kajaria manjatu kea. Kuman bari angat bulu, mihop danum angat duhi Rimae: Pangkeme pehe atei je tamam toto awi are je dia manyanang. Antang tempon tandak, sabaru tempon talatak Rimae: Itah tempon aran, oloh beken je mangkeme kamangate Batekang kilau batu, gantung kilau langit Rimae: Batekang ateie Ali-alim bawang, padahal paham bahewau Rimae: Oloh je tampayahe panyuni, padahal balinga. Tambohos pai tau injawut, tambohos pander bahali nangkaluli Rimae: Pander je jadi ingutak dia mungkin tau injawut Betung bulat jatun lapake, ampit jagau dia basarangan

Rimae: Oloh je lapas-liwus pambelume Baatei butung badaha danum Rimae: Oloh je jaton pangkeme/perasaan Ije gawang intu itah, ije depe intu oloh Rimae: Masalah je korik akan itah, tapi puna hai akan oloh. Babilem bulu Kak awi oloh bawi barapi Rimae: Manyuman kakare bawi je puna are. Kahem dia badanum Rimae: Dinon musibah jaton katawan buku sababe. Tekap sambil tekap gantau Rimae: Oloh je badaham Akan ngaju dia kuman manok, akan ngawa dia kuman tabuan Rimae: Kare rancana uras dia bahasil atawa jaton bara tinto, uras sala Aku raja aku tamanggung aku damang Rimae: Dia maku marandah arep awi keme arepe oloh hai. Duan kulate ilihi batange Rimae: Baya handak kamangate, pehe dia hakun Helo nupi bara batiroh Rimae: Sahelo masalah jete lembut, ie jadi tawan Lepah anise kuas inganan Rimae: Amon tege gunae inyayang, amon dia palus inganan. Halaku dia hatenga, hapili dia hajual Rimae: Kaadaan je sama, jaton je labih. (Dokumentasi: Andriani S. Kusni dan JJ.Kusni)

Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian Kemanapun pergi, dimanapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki. Salah satu contoh sikap mamut menteng dan keberpihakan para pemimpin Dayak kepada warga sukunya jelas terlihat dalam kisah perempuan pejuang Dayak. Namanya Nyai Undang. Merasa harga diri dilecehkan oleh sikap sewenang-wenang lelaki kaya raya yang berasal dari seberang, ia mampu mengkoordinir kekuatan para pangkalima atau panglima suku yang tersohor kemampuannya. Bukan saja mengkoordinir, tetapi ia juga mampu mengontak dan melobi mereka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam sekejap, para pangkalima yang diundang datang dan berkumpul di pulau Kupang. Sarana komunikasi yang digunakan adalah Lunjo Buno atau Ranying Pandereh Bunu atau Renteng Nanggalung Bulau yaitu tombak yang diberi kapur sirih pada mata tombak. Lunju Bunu adalah totok bakakak. Totok bakakak berarti sandi atau kode atau bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak. Dalam bahasa isyarat apabila mengirimkan lunjo buno berarti minta bantuan karena akan ada serangan. Tombak bunu tersebut dikirimkan ke segala penjuru untuk mengundang para pangkalima untuk segera hadir ditempatnya. Sesungguhnya Nyai Undang telah memiliki kekasih hati. Namun akibat kecantikannya yang sangat tersohor, ia dilamar lengkap dengan emas kawin yang memukau, oleh seorang lelaki kaya raya. Lamaran tersebut juga diiringi ancaman bahwa apabila ditolak maka peperangan tidak dapat dihindarkan. Singkat kata, pertempuranpun meletus di Pulau Kupang, kota Pamatang Sawang yang terletak di wilayah Kalimatan Tengah sekarang ( Disini kota artinya benteng pertahanan yang terbuat dari kayu tabalien/kayu ulin/kayu besi atau dapat pula terbuat dari batu ). Pasukan Nyai Undang yang didukung oleh para pangkalima handal berhasil memenangkan pertempuran. Demi keberpihakan kepada warga sukunya, para pemimpin dan pangkalima perang dengan tulus dan ihklas siap bergabung untuk bersama maju perang menanggapi ajakan seorang warga suku yang merasa dilecehkan. Pemimpin yang berjiwa mamut menteng siap serahkan jiwa raga demi mengayomi dan keberpihakan kepada warga masyarakatnya. Mereka tidak takut ditertawakan, tidak takut pula akan adanya penghianatan, karena pada dirinyapun tidak terbersit sedikitpun niat untuk berkhianat pada warganya. Segalanya dilakukan dengan tulus dan kesungguhan sehingga kelecakan atau kesombongan rontok berkeping-keping. Harati berarti pandai. Disamping pandai ia juga seorang yang cerdik dalam arti positif. Kecerdikannya mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemberi inspirasi bahkan sebagai seorang the greatest inspirator bagi warganya. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan warganya, keakraban yang tidak dibuat-buat, menjadikan seorang pemimpin suku Dayak memiliki kepekaan yang tajam. Peka maksudnya sebelum peristiwa terjadi, ia telah terlebih dahulu menditeksi segala kemungkinan yang bakal terjadi dilingkungannya. Mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah. Sebagai contoh, seorang pemimpin Dayak dalam kesibukannya selalu berusaha meluangkan waktu maja atau mengunjungi rumah warganya dengan keakraban yang tidak dibuat-buat. Maksudnya mereka tidak bersikap sok akrab untuk mendapatkan dukungan, tetapi maja atau berkunjung tersebut dilakukan karena memang mereka senang melakukannya. Terkadang tanpa diduga kunjungan mendadak tersebut dibarengi permintaan makan kepada keluarga tersebut. Sikap demikian tentu saja

mengagetkan pemilik rumah namun meninggalkan kenangan indah kepada keluarga yang dikunjungi. Bakena berarti tampan/cantik, menarik, dan bijaksana. Lebih luas maksudnnya Inner beauty yaitu ketampanan/kecantikan yang terpancar dari dalam jiwa. Cahaya matanya memancarkan keadilan, perlindungan, rasa aman dan bakti. Dimanapun berada, ia akan selalu disenangi dan disegani. Semua ini secara otomatis akan muncul apabila segala tugas dan tanggung jawab dilaksanakan dengan ihklas tanpa pamrih. Bahadat maksudnya beradat. Bukan hanya mengerti dan memahami hukum adat dan hukum pali dengan baik, namun nyata terlihat dalam tindakan sehari-hari. Ranying Hatalla atau Allah Yang Maha Kuasa turut serta mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin, sehingga kendali diri pegang peranan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Berani berlaku tidak adil konsekwensinya hukuman akhirat akan diterima setelah kematian terjadi. Bakaji maksudnya berilmu tinggi dalam bidang spiritual. Ia selalu berusaha untuk mencapai hening, serta membersihkan dan menyucikan jiwa, raga dengan rutin dan berkala. Saat hening adalah saat yang paling tepat untuk berdialog dengan diri sendiri, menata sikap untuk tetap kokoh berpegang pada tujuan agar tidak mudah terombang ambing. Kokoh kilau sanaman yang artinya sekokoh besi. Barendeng berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya. Telinganya selalu terbuka bagi siapapun. Hal ini bukan berarti bahwa pemimpin suku Dayak hanya menghabiskan waktunya dengan menerima kunjungan warga untuk berkeluh kesah dan bersilaturahmi dengannya. Tanpa bertemu langsung dengan orang perorang, pemimpin Dayak mengetahui banyak situasi dan kondisi setiap keluarga. Ia telah menyediakan hati dan telinganya untuk menampung dan mendengarkan lalu mengolahnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan dalam tradisi mihup baram atau minum tuak, babusau atau mabuk atau minum minuman yang mengandung alcohol hingga mabuk. Sekalipun dalam keadaan mabuk, pemimpin Dayak selalu berusaha mengendalikan kesadarannya sehingga dengan sarana mihup baram sampai babusau atau minum baram hingga mabuk, seorang pemimpin mampu menangkap dan merekam luka, kekecewaan, dan kemarahan terpendam warganya. Hal ini terjadi dimasa lalu. zaman telah berganti. Tradisi babusau sebagai sarana merekam isi hati warga masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan karena terlalu besar resikonya. Apa yang tertulis disini hanya sebagai kisah masa lalu. A. Suku Dayak Jika kita membicarakan tentang Kalimantan pastilah tidak akan terlepas dari penduduk asli Pulau Kalimantan yakni Suku Dayak.

Keluarga Inti. ( Dokumentasi Tjilik Riwut )

Perahu atau Jukung, transportasi utama masyarakat Dayak dimasa lalu. ( Dokumentasi Tjilik Riwut ) Ada berbagai pendapat berberedar mengenai asal usul Suku Dayak. Tjilik Riwut dalam Bukunya Maneser Panatau Tatu Hiang, menyatakan bahwa orang Dayak percaya bahwa mereka berasal dari langit ke tujuh dan diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau ( tempat sesajian yang terbuat dari emas) oleh Ranying Hatalla (Allah)[1]. Secara ilmiah dikatakan sekitar 200 tahun SM terjadilah perpindahan Bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia, yang kemudian datang secara bergelombang dari Yunan. Pada awalnya mereka mendiami daerah pantai, namun karena kedatangan bangsa Melayu Muda, maka bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, terdesak dan masuk ke pedalaman. Hal ini bisa saja terjadi akibat kalah perang atau karena kebudayaan Melayu Tua lebih rendah bila dibandingkan dengan kebudayaan Melayu Muda.

Seorang Antropolog bernama Kohlbrugge membagi suku Dayak menjadi 2 bagian yakni, suku Dayak yang berkepala panjang atau dolichocehaall yang mendiami sepanjang Sungai Kapuas dan bermuara di sebelah barat kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kedua adalah Suku Dayak yang berkepala bulat atau brachyoephal, antara lain Suku Dayak Kayan.[2] Suku Dayak di Kalimantan terdiri atas 7 suku. Ketujuh suku ini terdiri dari 18 anak suku sedatuk yang terdiri dari 405 suku kekeluargaan.[3] Di masa lalu sering sekali terjadi perang antar sesama Suku Dayak sendiri. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa Suku Dayak sampai tersebar di seluruh Kalimantan, karena mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan suku lain. Hal ini mengakibatkan walau sama-sama orang Dayak namun kebudayaan antar suku menjadi berbeda. Karena maraknya peperangan antar suku pada masa lalu, maka suku Dayak membangun rumah betang atau lamin, rumah yang dibangun dengan ukuran besar dengan panjang mencapai 30-150 meter, dan lebarnya antara 10-30 meter, bertiang tinggi antara 3-4 meter dari tanah. Lantai terbuat dari kayu, berdinding kayu dan atap rumah terbuat dari bahan sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun rumah adalah kayu ulin. Selain anti rayap kayu ulin juga berdaya tahan sangat tinggi, bahkan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Rumah betang dihuni bersama-sama beberapa keluarga inti dalam satu rumah dapat ditinggali hingga lebih dari 200 orang. Hal tersebut dilakukan demi alasan keamanan. Karena pada masa lalu orang Dayak mengenal mengayau atau memotong kepala musuh. Dalam tradisi mengayau wanita dan anak-anak dilarang keras untuk dikayau atau dipotong kepalanya, namun bagi wanita yang ikut berjuang dalam peperangan hanya diperkenankan untuk dijadikan jipen atau budak.Kebiasaan mengayau, Kayau, habunu atau mambalah adalah kebiasaan memenggal kepala yang dilakukan oleh Suku Dayak dalam peperangan. Mereka yang mampu memotong kepala lawannya dalam sebuah peperangan berarti adalah seorang ksatria. Semakin banyak mereka berhasil memenggal kepala lawannya orang tersebut akan semakin dihargai dan disegani baik dari pihak sendiri ataupun dari pihak musuh. Untuk membangun rumah betang mereka selalu memilih lokasi dipinggir sungai. Rumah betang dapat pula dikatakan sebagai rumah suku karena didalamnya dihuni oleh satu keluarga besar yang dipimpin oleh seorang Bakas Lewu atau Kepala suku. Setiap keluarga inti memiliki kamar sendiri berbentuk ruangan petak-petak, serta dapur sendiri-sendiri. Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat Balai atau pasanggrahan yang digunakan

sebagai tempat menerima tamu atau sebagai ruang pertemuan. Meskipun ukuran rumah betang sangat besar namun pintu dan tangga hanya tersedia satu buah saja yang terletak dibagian depan rumah. Tangga tersebut dinamakan hejan atau hejot. Di bagian sebelah belakang rumah betang biasanya terdapat sebuah balai berukuran kecil yang digunakan untuk menyimpan alat perladangan. Sedangkan di halaman depan rumah biasanya terdapat sapundu yaitu patung berukuran tinggi yang fungsinya untuk tiang pengikat binatang-binatang yang dikorbankan pada saat upacara adat. Sedangkan di halaman depan atau kadang kala di halaman belakang rumah betang biasanya terdapat sandung, yaitu tempat untuk menyimpan kerangka keluarga mereka yang telah meninggal dan telah mengalami ritual tiwah. Hingga saat ini tradisi tinggal bersama-sama dalam rumah betang masih dibertahan walau sudah sangat jarang sekali.

Rumah Betang ( Dokumentasi Tjilik Riwut )

Hejan atau Hejot ( Dokumentasi Tjilik Riwut )

Sapundu ( Dokumentasi Tjilik Riwut )

B. Masa Kolonial Masa penjajahan Belanda juga banyak membawa perubahan di Kalimantan, antara lain pergeseran pada sistem masyarakat, religi dan sistem pengobatan mereka. Sebelum masa kolonial Belanda, Suku Dayak sudah mempunyai perkampungan sendiri yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Kepala suku tersebut bertindak sebagai hakim di daerahnya. Namun setelah masuknya kolonial Belanda, kedudukan kepala suku diubah menjadi pembakal atau juru tulis. Sedangkan untuk tingkat yang lebih tinggi disebut Damang atau Tumenggung. Perkembangan selanjutnya, kekuasaan kepala suku semakin hari semakin dipersempit. Hingga pada akhirnya kepala suku hanya menjalankan perintah demi kepentingan pemerintahan kolonial Belanda, seperti sebagai pemungut pajak atau tukang dayung untuk mengantarkan pegawai kolonial dalam melakukan perjalanan ke pedalaman.

Di masa kolonial, baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang perkembangan Kaharingan sebagai agama atau kepercayaan asli Suku Dayak banyak mengalami hambatan dan tekanan. Para penjajah tanpa mempedulikan perasaan orang Dayak mengatakan bahwa agama Kaharingan adalah kafir, menyembah berhala. Padahal segala ritual kaharingan yang dijalani Suku Dayak merupakan ekspresi sesuai dengan keadaan alam sekitar mereka yang dikelilingi dengan hutan lebat serta sungai yang sangat panjang dan luas. Meskipun demikian, pihak penjajah masih tetap memberikan izin pada masyarakat setempat untuk melakukan berbagai ritual upacara adat yang wajib mereka laksanakan. Orang Dayak mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga keharmonisannya, yaitu : 1. Hubungan manusia dengan Ranying Hatalla[4]. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit. 2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya baik secara kelompok, maupun individu. Hatamuei Lingu Nalata. Artinya saling kenal mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong. Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. Artinya berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan. 3. Hubungan manusia dengan alam semesta. Ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna adalah manusia. Oleh karena itu manusia wajib menjadi suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban- keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala mahluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah. Alam merupakan suatu tatanan harmoni, dan terjadinya keharmonisan merupakan tanggung jawab manusia. Masyarakat Suku Dayak percaya bahwa Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Hal tersebut sangat diyakini oleh orang Dayak selama berabad-abad lamanya. Dalam siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu melakukan apa yang digariskan oleh Ranying Hatalla yaitu ritual adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh masyarakat Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada upacara Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang tahan panas dan tahan air.

Sandung ( Dokumentasi Tjilik Riwut )

Dalam kebudayaan Suku Dayak juga ada kebiasaan untuk memberikan persembahan kepala musuh hasil mengayau pada upacara Tiwah bagi orang tua si pengayau. Mereka memiliki keyakinan bahwa kelak, arwah musuh yang kepalanya dipotong tersebut akan menjadi pelayan bagi orang tua mereka kelak di Lewu Liaw (akherat) Namun di sini satu hal yang perlu diingat dan diketahui, bahwa kebiasaan tersebut bukan aturan yang digariskan oleh Ranying Hatalla. C. Masuknya Ajaran Kristen di Kalimantan Menurut Fridolin Ukur, ajaran injil diberitakan untuk pertama kalinya di Kalimantan oleh para misionaris dari Rheinische Missionsgesselschaft. Ketika para misionaris Rheinische Missionsgesselschaft dan Hallesche Mission tiba di Kalimantan sekitar tahun 1835. Injil sebenarnya sudah di bawa masuk di Kalimantan oleh seorang perwira berkebangsaan Inggris yang bernama Daniel Beekmann yang pernah menulis jurnal di tahun 1718, mengisahkan tentang ekspedisinya pada abad ke-17.[5] Jurnal tersebut mengisahkan seorang paderi dari Portugis yang berhasil masuk ke pedalaman Kalimantan, namun sebelum berhasil misinya, paderi tersebut tewas dibunuh warga setempat. Tjilik Riwut dalam bukunya Maneser Panatau Tatu Hiang menyatakan bahwa masyarakat Dayak sangat kokoh mempertahankan ajaran kaharingan, yang merupakan ajaran

yang yang telah turun temurun diwariskan oleh para leluhur mereka.[6] Di pihak lain para misionaris tidak pernah lelah dan pantang menyerah untuk mendekati warga setempat dan mulai mengenalkan ajaran injil. Berkat kegigihan para misionaris, akhirnya sedikit demi sedikit usaha mereka untuk menyebarkan injil di Pulau kalimantan akhirnya menampakkan hasil. Walau perlahan namun pada akhirnya masyarakat Dayak mulai mau menerima ajaran Kristus. Setelah masyarakat Dayak mulai mau mempelajari dan mengenal injil maka Gereja Kristen di kalimantan mengeluarkan Aturan Ungkup. Isinya antara lain menetapkan bagi warga Suku Dayak yang mau dibabtis untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam mempelajari Kristen dan wajib untuk mengikuti kebaktian setiap hari minggu, dan tidak lagi hadir pada saat ritual-ritual adat. Jika mereka melanggar aturan tersebut mereka tidak akan menerima pembabtisan. Ketaatan mereka akan aturan yang dikeluarkan pihak gereja Kristen mau tidak mau harus ditaati oleh mereka yang terpanggil untuk dibabtis. Hal tersebut mengakibatkan mereka terlepas dari kebudayaan mereka. Maka tidak mengherankan jika banyak generasi muda suku Dayak saat ini yang tidak begitu mengenal kebudayaan leluhur mereka sendiri. D. Masuknya Sistem Pengobatan Modern di Kalimantan Bagi Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, penyakit beserta pengobatannya, sangat erat kaitannya dengan alam religius mereka tentang ajaran Kaharingan. Masyarakat Dayak cenderung melihat penyebab dari suatu penyakit dengan cara metafisik. Suku Dayak mempercayai Balian sebagai penyembuh mereka. Masyarakat Dayak biasa menggunakan ritual tertentu yang dipimpin oleh seorang Balian dalam pengobatan suatu penyakit. Bagi masyarakat Dayak keberadaan Balian sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan mahluk lain yang keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata.( Riwut, 2003:259) Balian menduduki tempat yang penting dalam kebudayaan Dayak. Masyarakat Dayak percaya bahwa Balian memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh setiap orang, oleh karenanya Balian mampu mengobati penyakit terutama penyakit-penyakit yang mereka percaya disebabkan oleh mahluk halus.

Upacara Balian ( Dokumentasi Christian Bela Bangsa )

Dengan masuknya para misionaris di masa kolonial ke pedalaman Kalimantan, sedikit banyak terjadi pergeseran dalam sistem pengobatan pada masyarakat setempat. Para misionaris awal yang masuk ke Kalimantan berusaha mengenalkan sistem pengobatan modern pada masyarakat setempat. Scharer (dalam Ukur, 1971:192) menceritakan pertobatan seorang Balian setelah menerima pelayanan medis di Tumbang Lahang. Balian ini pada awalnya sangat menentang Injil masuk ke Tumbang Lahang. Ia merupakan orang yang paling gigih memperingatkan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat nenek moyang. Namun suatu saat anak tunggalnya sakit, dan setelah tidak berhasil melalui pengobatan secara Balian, sangat berat hati ia meminta bantuan dari para misionaris. Akhirnya setelah dilakukan pengobatan secara intensif anak Balian tadi sembuh dari sakit yang dideritanya. Setelah peristiwa tersebut, Balian tadi beserta keluarganya menjadi pemeluk Kristen. Setelah usaha di bidang pengobatan ditingkatkan lewat pendirian poliklinik, rumah sakit, dan dengan sosialisasi masalah sanitasi dan kebersihan, nampak sekali kemajuan yang nampak pada Suku Dayak dalam bidang kesehatan. Meskipun pengobatan moderen sudah di terima Suku Dayak, namun hingga saat ini pengobatan secara tradisional juga masih bertahan. Seperti pada masyarakat Dayak Ngaju,

yang tinggal di Desa Kasongan Baru, Kalimantan Tengah. Kebanyakan penduduk Desa Kasongan Baru memiliki pengetahuan tentang meracik obat-obatan tradisional. Hampir setiap rumah tangga di Desa Kasongan Baru salah satu anggota keluarganya memiliki kemampuan tentang obat-obatan tradisional. Penduduk Desa Kasongan Baru menyebut ramuan tradisional dengan istilah obat kampung. Obat kampung ini biasanya menggunakan daun-daunan dan kayu-kayuan yang tumbuh di sekitar tempat tinggal orang Dayak (Hintan,Mutia,2003:55) Masyarakat Dayak masih sangat percaya dengan khasiat obat kampung. Mereka masih mengkonsumsi obat kampung pada penyakit-penyakit yang biasa diderita, seperti diare dan berbagai jenis penyakit kulit. Bagi mereka obat kampung merupakan alternatif pengobatan, dan keberadaannya masih tetap bertahan hingga saat ini.. Hal tersebut terbukti bahwa di setiap desa di Kalimantan memiliki seorang Balian, atau dukun, dan Basir ( Hintan,2003:56-57). Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator antara manusia dengan mahluk halus. Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun pada masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik (Riwut, 2003:259-260).

Nepenthes atau Katupat Napu, adalah tumbuhan asli dari Kalimantan yang dapat digunakan sebagai obat ( Dokumentasi Suparta Diut)

Dalam memilih sistem pengobatan yang tepat biasanya seseorang memiliki banyak pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Seorang pria asli Suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah menceritakan pengalamannya dalam memilih sistem pengobatan.

Riggisman[7] menceritakan penyakit yang diderita ayahnya beberapa bulan yang lalu sekitar tahun 2002: Pada awalnya ayah saya sering mengeluh sakit di daerah perut bagian bawah. Namun oleh ayah saya rasa sakit yang dialaminya hanya didiamkan saja dengan harapan akan sembuh dengan sendirinya. Menurut ayah saya mungkin rasa sakit itu karena kecapean bekerja di ladang. Ayah saya tetap bekerja di ladang seperti biasanya tanpa menghiraukan rasa sakitnya. Namun setelah 2-3 minggu rasa sakit yang diderita ayah saya lebih sering muncul. Sehingga saya memutuskan untuk membawa ayah saya berobat ke dokter. Diketahui bahwa ayah saya menderita penyakit prostat yang harus segera dioperasi. Karena di Kasongan perlatan medisnya masih terbatas, maka saya dan kakak perempuan saya memutuskan untuk membawa ayah saya ke RS. Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya guna menjalani operasi. Riggisman bersama ibu dan kakaknya pergi ke Palangkaraya untuk menunggui ayahnya yang akan dioperasi. Akhirnya tiba hari di mana ayah Riggisman harus menjalani operasi, semuanya telah siap seperti prosedur yang berlaku. Namun ketika sudah berada di dalam ruang operasi , dokter mengatakan bahwa kondisi jantung ayahnya lemah dan operasi tidak mungkin dilakukan. Akhirnya mereka pulang kembali ke kampung. Dalam kondisi pasrah Riggisman sekeluarga sepakat untuk mencoba membawa ayahnya berobat ke seorang Balian yang terkenal di kampung mereka yang bernama Tambi Dawin. Dalam usaha terakhir ini ia mengaku tidak terlalu percaya pada kemampuan sang Balian, namun ia beserta keluarganya tetap membawa ayahnya ke Balian itu sebagai usaha terakhir. Karena pengobatan dengan cara medis modern sudah tidak mungkin lagi dapat dilakukan. Ia bercerita bahwa ia ikut mengantar ayahnya berobat ke Tambi Dawin: Pada saat itu saya melihat pangkal paha ayah saya hanya diurut saja oleh Tambi Dawin dengan menggunakan minyak khusus. Tiba-tiba tidak tahu dari mana asalnya keluar batu dari dalam tubuh ayah. Tambi Dawin mengatakan batu itulah yang menyebabkan ayah sakit selama ini. Setelah berobat pada balian tersebut, kondisi ayah saya berangsur-angsur membaik, dan sekarang ayah sudah bisa bekerja di ladang lagi seperti dulu. Beda dengan Riggisman, Sinah[8] seorang wanita Dayak yang masih memeluk Kaharingan, sejak awal sangat mempercayai sistem pengobatan dengan cara Balian. Menurut Sinah penyakit dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti diganggu mahluk halus, atau penyakit kiriman orang. Menurutnya jenis penyakit yang seperti itu tidak akan bisa diobati

oleh dokter. Sinah pun kemudian menceritakan pengalaman ayahnya yang pernah menderita suatu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya: Saya mencoba untuk membawa Abah (ayah) berobat ke dokter, bahkan Abah sempat rawat inap di rumah sakit. Hampir 2 minggu lamanya abah di rawat inap di rumah sakit. Abah juga sempat diinfus oleh dokter. Namun penyakit yang dialami Abah tidak sembuh-sembuh bahkan malah semakin bertambah parah. Melihat kondisi Abah yang tidak bertambah baik, maka saya mengambil keputusan untuk membawa Abah berobat ke Balian. Balian tersebut mengatakan ada roh yang mengganggu kesehatan Abah saya. Kemudian oleh Balian diadakan suatu ritual untuk mengusir roh yang mengganggu kesehatan Abah saya tadi. Setelah Balian selesai melakukan ritual pengusiran roh maka kami pulang ke rumah, dan keesokan harinya kondisi Abah saya berangsurangsur mulai membaik.. Sinah juga memiliki pengalaman yang mungkin sulit diterima dengan akal sehat. Ia bercerita bahwa ia pernah mengalami penyakit yang aneh sekali: Waktu itu paha saya bengkak sampai saya tidak dapat berjalan, sehingga saya harus merangkak. Kemudian salah seorang anak saya berjanji akan mencari uang tambahan untuk biaya berobat ke dokter, dengan cara mengumpulkan rotan di hutan untuk kemudian di jual kembali. Namun pada malam harinya saya bermimpi didatangi seorang laki-laki yang mengatakan bahwa penyakit saya akan sembuh jika saya mentaati persyaratan yang diberikannya, yaitu menanam pohon nangka dan menyalakan perapian di bawah rumah, dan ada satu syarat lagi yaitu saya harus mengadakan upacara adat. Jika hanya menanam pohon nangka dan menyalakan perapian di bawah rumah itu bisa saya lakikan dengan mudah. Keesokan harinya setelah bangun dari tidur, saya menceritakan mimpi yang baru saja saya alami pada suami saya. Kemudian suami saya membantu menanam pohon nangka dan menyalakan perapian di bawah rumah. Anehnya keesokan harnya bengkak dipaha saya menghilang. Namun untuk mengadakan upacara adat saya dan keluarga mengalami kesulitan karena terbentur masalah biaya. Namun karena takut penyakit saya kambuh lagi maka saya dan suami saya bekerja dengan lebih giat dalam mengumpulkan hasil hutan, ditambah dengan tabungan yang ada serta mencari pinjaman dana maka kami dapat mengumpulkan uang sebanya Rp.4000.000,00. Uang sebanyak itu cukup untuk mengadakan upacara adat. Dalam upacara ini ada beberapa syarat yang harus ditaati yaitu dengan memotong babi dan 7 ekor ayam. Demikianlah meskipun pengobatan moderen sudah mulai diterima oleh masyarakat Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, namun hingga kini sistem pengobatan tradisional dan Balian masih tetap bertahan.( Hintan,Mutia,2003: 77-80).

[1] [2]

Maneser Panatau Tatu Hiang, Hal. 59 Maneser Panatau Tatu Hiang. Hal 60 Maneser Panatau tatu Hiang. Hal 64 Tantang Jawab suku Dayak. Hal 87

[3] [4] [5]

Maneser Panatau Tatu Hiang. Hal 536 - 540

[6] Riggisman, seorang sarjana ekonomi lulusan Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Riggisman
tinggal bersama dengan ipar, kakak perempuan dan dua orang keponakannya. Mereka tinggal di rumah yang luas, keluarga ini juga memiliki kebun durian yang sangat luas. Keluarga mereka adalah keluarga berada di Desa Kasongan Baru. Riggisman dan keluarganya adalah pemeluk agama Kristen. [7]

Sinah hanya bersekolah hingga kelas 5 SD, sehari-harinya ia bekerja sebagai pengumpul hasil hutan yang berupa hasil bumi seperti kayu, rotan yang nantinya akan dijual kembali. Pendapatan yang diperolehnya tidak tetap, tergantung berapa banyak hasil bumi yang dapat dikumpulkannya. Pendapatnya perhari biasanya berkisar antara Rp.40.000-Rp.60.000. Ia tinggal di rumah sederhana bersama dengan suami dan ke-empat anaknya.
[8]

Dalam kehidupan di masyarakat, seorang gadis dilindungi dengan peraturan berikut:

1) Dilarang bercakap-cakap berduaan dengan seorang gadis khususnya ditempat sepi. Bila tertangkap basah akan mendapat hukuman adat dan juga diharuskan membayar denda. 2) Bila sedang berada di jalan kemudian bertemu dengan seorang gadis remaja yang belum di kenal, dilarang menatap dan mengamati sekalipun dari jarak jauh. Karena apabila salah seorang keluarga si gadis remaja menyaksikan hal tersebut, akibatnya dituntut dalam rapat. 3) Misalnya dalam perjalanan, seorang perempuan diajak bicara oleh seorang laki-laki padahal keduanya belum saling mengenal, apabila terlihat oleh ahli waris perempuan itu, maka laki-laki tersebut dapat didenda karena dianggap melanggar adat yang berlaku.

4) Apabila seorang laki-laki mengajak satu atau dua perempuan untuk berjalan-jalan, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis, akan lebih berat lagi apabila diantara mereka tidak saling mengenal, maka si laki-laki dianggap melakukan kesalahan dan dapat dituntut dalam rapat adat.( Riwut,2003:223-224).

Kamus Bahasa Dayak

Mangandahau = Mendambakan Kanahuang = Keinginan/hasrat Lunuk ramba = Beringin yang subur Mangajang = Manaungi/menutup Lewu pulu = Banyak kampung/banyak tempat Tingkap = Kemah, pondok, rumah Ingilak rakyat = Diinginkan rakyat nyaraii = aji mumpung (mumpung) ali-alis = miri-mirip mapai kea = rasa lucu / rasa aneh kalah tingkas = kalah gaya / kalah penampilan dia kalah tingkas = tidak kalah penampilan atuh = pengaturan/pengelolaan basiak = buas, ganas manyahukan = bersembunyi mamangkit = manggigit manggayar = merayap marakee = memperdulikan malekak = malepaskan mahantuk = membenturkan (kepala) nahagampang = manyepelekan kanateke = ada kalanya Layap latap = Tidak keruan/tidak terarah Inanggare = Di juluki/diberi nama Marutap = Pekerjaan yang tak terarah (cenderung pekerjaan tidak terpuji) Humung = Menyangkut kemampuan etika dan estetika yang rendah Barendeng = Sadar/waras Mipen = Mengingini Kanahuang = Kemauannya/keinginannya Ngaraen = Mengganggu Tampung puser = Anak kandung (kiasan) Pasuru kesah = Mendengar cerita/berita Lelei = Teka teki peteh = pesan sarurui = sesuai Pampingat = Peringatan Uhat = akar Ayungku = Kepunyaanku Bacurai : Adu ketahanan berpusing Ukuh : Bertahan lama Hundi : Berpusing/Berputar Manukas : Memastikan Parusik : Permainan Kacinik : Kecepatan putaran Karehu : sedang musiknya

Tatu hiang = Leluhur Impa ewen = Diintai orang Hanjak = Suka,senang. Hakarendeng = Saling mengingatkan Langena = Kepalang. Panyamkom = Pengalaman. Panyondau = Penemuan, pengalaman pribadi. Handalem = Dalam. Babehat rimae = Luas artinya. Talimbas = Terlepas. Langak = Lalai, lengah. Mahambang = Menghalang, menghambat.Iweh = Air liur. Mangat =Enak. Mangandahau =Mendambakan. Macung = Mendorong. Mahambang =Menghalang. Jawet,ramo =Harta benda. Tamunan = Gambaran, duplikat. Mayanang uhat tolang = Menyenangkan diri. Batisa = Tersisa. Maranrep Hatalla = Mendekatkan diri kepada Allah. Dia purun = Tak tega, tak sampai hati. Manalua = Membiarkan. Ilaku = Diminta. Inyuho = Disuruh. Nganya nganya = Menonjol, mengedapankan diri. Ngaku ngakun = Mengaku ngaku. Ngalingu = Terkenang kenang. Mandoi hajau (habajau) = Mandi sambil bermain main di air. Habumbun = Permainan sejenis petak umpet, menyembunyikan Sesuatu didalam air sambil menyelam dan pihak lawan Bermain berusaha mencarinya. Tembak tutus = Alat (senjata) terbuat dari ruas bambu sebesar jari Telunjuk tangan, kedua ujung ruas disumpal dengan Kertas yang sudah dilembutkan dengan air / atau Dengan biji bijian yang sebanding dengan rongga ruas Bambu, lalu ditutus (ditekan )kearah sasaran sehingga Menimbulkan suara letupan yang cukup keras. Malaok = Mencari ikan. Mambilis (bilis) = Mencari bilis, (bilis) = Kawanan besar ikan kecil. Ranen = Dan lain lain, dan sebagainya. Ingalapean = Dilupakan. Ingenang = Dikenang. Badawa = Mengira, menuduh. Are uyah kinae = banyak makan garam,banyak pengalaman.Jatuh = Manjatu Busuk = Maram Dahan = Edan

Daun = Dawen Akar = Uhat Buah = Bua Rumput = Uru Mengalir = Mahasur Garam = Uyah Keasinan = Bakahing Dingin = Sadingen Panas = Balasut Kering = Keang Basah = Bisa Berat = Babehat Ringan = Mahian Membakar = Mamapoi Asap =Asep Abu = Kawu Arang = Buring Besar = Hai Kecil = Kurik Lebar = Lumbah Sakit = Pehe Malu = Mahamen Berani = Bahanyi Tua = Bakas Baru = Haru Lama = Tahi Bagus = Bahalap Jelek = Papa Malam = Hamalem Siang = Andau Tahun = Nyelu Kapan = Hamparea Sembunyi = Manyahukan Naik = Mandai Di Atas = Hung Hunjun/Ngambu Di Bawah = Hung Penda Ini = Jituh Itu = Jete Dekat = Tukep Jauh = Kejau Dimana = Hung Kueh Apa = Narai Siapa = Eweh Bukan =Beken Semua = Uras Dan = En Jika/Bila = Amun Bagaimana = Kilenampi Tidak = Dia Menghitung = Mise

Masak =Mampakasak Minum =Mihup Mengigit = Mangirut/Mamangkit Menyedot = Minyup Mendengar = Mahining Tidur = Batiruh Bangun = Misik Mimpi = Nupi Duduk = Munduk Berdiri = Mendeng Orang = Uluh Suami = Bana Istri = Sawa Nama = Aran Berbicara/Bersuara = Hamauh Mengikat = Mameteng Jarum = Pilus Berburu = Mengan (khusus berburu burung) Berburu = Mandup (berburu hewan berkaki empat) Mencuri = Manakau Membunuh = Mampatei Mati = Matei Hidup = Belum Memotong = Manetek Membelah = Manyila Tajam = Batajim Tumpul = Kadian Menanam = Mimbul Memilih = Mintih Membeli = Mamili Membuka = Mukei Membuang = Manjakah/manganan Atas = Hunjun/Ngambu Bawah =Penda/Ngiwa Mengetahui = Mangatawan Berpikir =Bapikir Takut = Mikeh Darah = Daha Kepala = Takuluk Leher = Uyat Rambut = Balau Hidung = Urung Bernafas = Manahaseng Mulut = Nyama Gigi = Kasinga Telinga = Pinding Lidah = Jela Tertawa = Tatawe Menangis = Manangis

Diam = Benyem Muntah = Muta Meludah = Maluja Makan = Kuman Mengunyah = Manyipa Manuk = ayam Bawui = babi Hadangan = Kerbau Pusa = Kucing Balawau = Tikus Bakei = Kera Lakang = betina Jagao = jantan Danum = Air Apui = Api Petak = Tanah Riwut = Angin Kiri = Sambil Kanan = Gantau Kaki = Pai Tangan = Lenge Berjalan = Mananjung Jalan = Karatak Datang = Dumah Berenang = Hanangoi Kotor = Papa Kulit = Upak Belakang = Likut Samping = Balikat Hati = APasah = rumah huma = lebih kecil dari pasah (rumah) puduk = lebih kecil lagi dari huma sama dengan pondok dukuh = rumah yang ada di ladang, kadang kata dukuh bisa di artikan tempat berladang. Kadang sebuah dukuh bisa menjadi desa karena banyak yang ikut tinggal di daerah tersebut Hatue = laki=laki Bawie = perempuan Bue = kakek Tambie = nenek Mama = Paman Mina = Bibi Kaka = kakak Andi = adik Apang/bapa = ayah Indang/indu = ibu Aken = keponakan Durang Pahari = Sanak Saudara Pahari = saudara

Nama-nama di bagian tubuh Balaw (baca: ba-law) = rambut Urung (baca: u-rung) = hidung Pinding (baca: pin-ding) = telinga Mata (baca: ma-ta) = mata Uyat (baca: u-yat) = leher Takuluk / kuluk (baca: ta-ku-luk / ku - luk) = kepala Usuk (baca: u-suk) = dada Toso (baca: to-so) = dada wanita Ijang (baca: i-jang) = dagu Jela (baca:je-la; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = lidah Kasinga (baca: ka-sing-nga) = gigi Balengkung (baca: ba-leng-kung; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = tenggorokan Biweh (baca: bi-weh; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = bibir Lenge (baca: leng-nge; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = tangan Pai (baca: pai; disambung; bukan pay) = kaki Silu (baca: si-lu) = kuku Utut (baca: u-tut) = lutut Sapak (baca: sa-pak) = paha Penang (baca: pe-nang; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = betis Para (baca: pa-ra) = pantat Bahandang = merah Bahenda = kuning Babilem = hitam Baputi = putih ije = satu due = dua telo = tiga epat = empat lime = lima jahawen = enam uju = tujuh hanya = delapan jalatien = sembilan sapuluh = sapuluh hitungan berikutnya sama saja misalnya sebalas, duebalas, telobalas dst hitungan sampai ratusan sama saja misalnya saratus, dueratus dst Sakuyan = seribu Uras = Semua Toh (Jitoh) = ini Auh = suara - (bisa bunyi, bisa juga kata-kata) Iye = Dia Maimbit = Membawa Awie = Karena Riam = Jeram

Tuntang = Dengan Eka = Tempat Keleh = Sebaiknya Itih-itih = Pilih-pilih Arep = Diri Sendiri Hetoh = Sini Sanan = Kasih Tahu/memberi tahu Keton = Kalian Atei = hati Aloh = Meskipun Aku = aku Ikau = Kamu Ikei = Kami Ketun = Kalian Itah = Kita Kuman = makan Mihup = Minum Nanjung = Jalan Menter = berbaring Batiruh = tidur Misik = bangun Hanjewu - Sunsung = Pagi Handau = Siang Halemei = Sore Hamalem = Malam

Ampit Manak Tingang = Burung Pipit beranakan Tingang (biasanya disebut enggang). Kalau tidak salah, pribahasa ini artinya adalah walaupun orang tuanya miskin dahuluya, telah bekerja keras meyekolahkan anaknya sampai berhasil dan anaknya di kemudian hari sukses dan mengakat derajat keluarga dari yang papa hina menjadi orang terpandang. Semua itu di lakukan dengan kerja keras tidak di dapat secara instan. Nawan lapas, nekap talimbas = dirangkul/yang sudah di dalam tangan lepas, hendak menangkap kembali namun terlambat. Kalau tidak salah, pribahasa artinya ini artinya bila kita punya kesempatan, janganlah kesempatan itu di sia-siakan apalagi sampai terlepas, lebih baik pegang kuat-kuat dan seriuslah menjalankannya sesuai dengan kekuatan dan keahlian masing-masing, sebab bila sudah terlepas akan sulit kembali untuk mendapatkanya. Ela Kuman Nanselo Batu = Jangan makan mendahului batu. Kalau tidak salah, artinya adalah sebagai manusia yang paling muda adalah wajib menghormati orang yang lebih tua, atau wajib juga kita mensyukuri apa yang telah kita dapat sebelum kita menikmati apa yang telah diberikan kepada kita. Utamakan kepentingan orang lain dahulu bila kepentingan kita masih bisa di tunda. Jaman dulu sampai sekarang salah satu acara sakral yang dilakukan oleh masyarakat dayak setelah memanen padi dan sebelum menikmatinya, terlebih dahulu pasti akan dilaksanakan acara "Pakanan Batu" yaitu upacara ucapan terima kasih kepada batu asah,

yang telah menajamkan pisau beliung, pisau langgei, gentu ranen dan segala perkakas untuk berladang ( ini dilakukan oleh masyarakat Kaharingan) dan mereka biasanya tidak akan memakan hasil panennya bila tidak melasanakan acara "pakanan batu" tersebut. Makang Limbah Lawu = Mencari pegangan setelah jatuh. Kalau tidak salah artinya seperti ini, janganlah kita membuat sebuah pengokoh setelah kita jatuh, sebaiknya sebelum jatuh harus sudah pegangan yang kuat, dan kita harus waspada terhadap hal yang sekecil apapun, contohnya seperti narkoba, dimana-mana selalu ada sosialisasi untuk menjauhi narkoba itu merupakan salah satu pegangan bagi kita bahwa narkoba itu berbahaya, juga Hukum yang menangani hal tersbut merupakan pengokoh bagi kita. jadi jangan sampai terjadi seperti pribahasa 'Makang Limbah Lawu', tetapi sediakan lah pakang ( tempat berpegang kalau naik turun tangga) telebih dahulu agar kita tidak jatuh.(TuaGila) demikian saya sampaikan. NB : mohon koreksi bilamana ada kesalahan pengartian oleh saya. trims Isen Mulang Petehku

You might also like