You are on page 1of 37

MERGER & CULTURAL CLASH

Elga Andina & Dian Yuniarti

dipresentasikan pada seminar psikologi industri dan organisasi


April 2005
Fakultas Psikologi
universitas airlangga
2005
Outline
PENDAHULUAN…………………………………………………………………2
A. LATAR BELAKANG................................................................................ 3
Yang seharusnya………………………………………………………2
Yang sebenarnya………………………………………………………2
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................... 6
WHEN............................................................................................................. 7
WHO ............................................................................................................... 7
WHY ............................................................................................................... 8
WHERE .......................................................................................................... 8
HOW ............................................................................................................... 8
C. BAGAN KONSEPTUAL......................................................................... 10
KAJIAN TEORI.................................................................................................... 11
A. MERGER DAN AKUSISI....................................................................... 11
Tujuan Merger............................................................................................... 11
Pembagian Merger ........................................................................................ 12
B. BUDAYA ORGANISASI........................................................................ 14
Peran Budaya Organisasi .............................................................................. 14
Pembentukan Budaya Organisasi.................................................................. 15
C. TEORI HOFSTEDE................................................................................. 21
D. MINTZBERG’S FRAMEWORK ........................................................... 24
ANALISA ............................................................................................................. 28
A.Dimensi Hofstede...................................................................................... 28
B. Minzberg .................................................................................................. 32
PERBANDINGAN TEORI .............................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

2
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“Pelajaran manajemen paling penting yang saya pelajari dalam 25 tahun


terakhir adalah bahwa kesuksesan tidak banyak digerakkan oleh
teknologi atau satu ide,tetapi oleh manusia”
George Fisher, CEO Eastman KODAK

Karyawan di seluruh organisasi dunia tidak asing dengan perubahan.


Selama dua dekade terakhir, banyak yang telah bertahan atau mengalami
pergeseran struktur yang signifikan. Merger, akusisi, downsizing, privatisasi dan
outsourcing telah menciptakan lingkungan transisi berkelanjutan yang menuntut
karyawan untuk beradaptasi.
Penelitian mengindikasikan perubahan ini berakhir pada disrupsi dan
distress yang signifikan bukan hanya bagi anggota organisasi (mis, Brockner &
Greenberg, 1990; Cobb, Wooten, & Folger, 1995; Kilbourne, O’leary-kelly, &
Williams, 1996; Weber, 1996, dalam Logan, 2003) tapi juga bagi organisasinya
sendiri (KPMG 1999; Marchington, Cooke, & Hebson, 2003, dalam Logan,2003).
Dinamika kerja inilah yang mendorong riset mengenai perubahan kerja dan kerja
masa depan. Sekarang suatu pekerjaan tidak lagi dijamin oleh suatu perusahaan
saja. Karyawan harus lebih fleksibel dan mampu bekerja pada bermacam
pengusaha, seiring berjubelnya perubahan yang tidak dapat dihindari (Logan,
2003:1)
Bagi organisasi, perubahan harus disikapi dengan bijaksana. Perubahan
adalah kesempatan untuk berkreasi mengubah pola yang selama ini sudah
dibentuk. Perubahan dapat menjadi sarana peningkatan efektivitas jika ditangani
dengan hati-hati. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik, perubahan bisa
menjadi batu sandungan bagi organisasi kedepan.

3
Robbins & Barnwell menyatakan ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan perubahan struktural dalam organisasi (Robbins & Barnwell,
2002:358), yaitu:
1. Merger dan akusisi
Penggandaan fungsi akan dihilangkan, dan posisi koordinasi baru akan
terbentuk. Dapat terjadi aktivitas politik yang intensif.
2. Perubahan tujuan
3. Pembelian peralatan baru.
4. Implementasi sistem pengolahan informasi yang lebih canggih.
5. Peraturan pemerintah.
6. Perubahan dalam hubungan industrial
7. Meningkatnya tekanan dari konsumen, kuasa hukum dan kelompok
masyarakat.
8. Tindakan pesaing
9. Menurunnya laba.
10. Reduksi lapisan manajemen.
Perubahan organisasi berhubungan erat dengan perubahan budaya
organisasi yang selama ini dianut. Seperti yang kita ketahui setiap organisasi
menerapkan budaya yang berbeda yang memperlihatkan keunikannya.
Dengan melakukan merger perusahaan-perusahaan seharusnya dapat

4
Perubahan teknologi memaksa organisasi untuk maju dan mencari
keahlian baru
menggabungkan budaya organisasinya sehingga dapat memperkuat posisi mereka
dalam jajaran perindustrian. Karena dengan budaya organisasi yang dimiliki oleh
perusahaan masing-masing dapat digunakan dan digabungkan guna mewujudkan
budaya organisasi yang lebih kuat bagi kedua perusahaan. Perbedaan budaya
organisasi yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan dapat saling memperkuat
budaya organisasi satu sama lainnya, sehingga mereka dapat memperkaya budaya
organisasi yang dimiliki.
Namun kenyataannya justru sebaliknya, ditemukan banyak sekali
perusahaan-perusahaan yang bermasalah setelah melakukan merger dan akusisi.
Banyak sekali faktor-faktor yang bisa menimbulkan permasalahan tersebut. Salah
satunya adalah perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh masing-msing
perusahaan. Karena kedua perusahaan benar-benar berbeda budaya organisasinya,
sehingga kedua pihak bersikukuh untuk tetap menjunjung tinggi budaya
organisasinya masing-masing. Pihak perusahaan yang melakukan merger dan
akusisi tersebut menganggap bahwa budaya organisasi yang dimilikinya itu
merupakan budaya organisasi yang terbaik, sehingga mau tidak mau pihak
perusahaan yang satunya harus mau menerima budaya organisasi tersebut.
Sedangkan pihak perusahaan satunya ternyata juga memiliki pendirian yang sama,
dimana mereka juga menganggap bahwa budaya organisasinya adalah budaya
organisasi yang terbaik bagi keduanya. Oleh karena itu, pemaksaan budaya
organisasi yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan untuk bisa diterima oleh
pihak yang melakukan merger dan akusisi tersebut menimbulkan permasalahan
inti dalam melakukan tindakan merger dan akusisi.
Telah banyak berita tentang merger antara perusahaan, baik dilingkup
nasional maupun internasional. Berikut sejumlah perusahaan merger yang dapat
kami himpun:
1. Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Danamon
2. PT Unilever Indonesia Tbk. dengan PT Knorr Indonesia.
3. Daimler Benz-Chrysler-Mistsubishi ( AS )
4. Pengambil-alihan Nissan oleh Renault ( AS )
5. Mobil-Exxon ( AS )

5
6. BP-Amoco-Arco ( AS )
7. AOL dengan Time-Warner ( AS )
8. Dibelinya perusahaan SLJJ MCI oleh WorldCom ( AS )
9. Hewlett-Packard (HP) dengan Compaq
10. Bank of Tokyo (BOT) Ltd dan Mitsubishi Bank Ltd menjadi bank terbesar
di dunia dengan nama baru Tokyo Mitsubishi Bank. ( Jepang )
11. Chase Manhattan Corp mengakuisisi JP Morgan menjadi JP Morgan
Chase and Co. ( AS )
12. Bumiputera Bank bergabung dengan Commerce Bank menjadi
Bumiputera-Commerce. Mereka lalu melakukan ekspansi ke luar negeri
dengan membeli Bank Niaga di Indonesia. ( Malaysia )
13. DBS Bank merger dengan POS Bank menjadi DBS-POS. Mereka juga
melakukan ekspansi-lagi-lagi ke Indonesia-dengan membeli Bank
Danamon. Bank Internasional Indonesia (BII) juga dibelinya dengan
menggandeng Kookmin Bank, Korea. ( Singapura )
14. Kookmin Bank merger dengan H&CB menjadi Kookmin - H&CB,
merupakan bank komersial terbesar di negara itu. Bersama Temasek
Group membeli BII. (KorSel )

B. RUMUSAN MASALAH
Dua perusahaan yang kemudian bersatu guna meningkatkan hasil produksi
mereka, maupun dalam menguatkan posisi perusahaan mereka, sudah seringkali
kita ketahui di berbagai media masaa. Bersatunya dua perusahaan tersebut yang
disebut sebagai merger, merupakan salah satu alternative yang diambil oleh
beberapa perusahaan ketika mereka mengalami kesulitan dalam kegiatan
produksinya. Tentu saja penyatuan kedua perusahaan tersebut sebelumnya harus
melalui berbagai pemikiran-pemikiran mengenai sebab akibat yang bisa
ditimbulkan dari mereger yang akan dilakukan. Baik terhadap perusahaan yang
meminta merger, maupun pada perusahaan yang diajak merger dan akusisi.

6
Ketika satu perusahaan digabungkan dengan perusahaan lain, maka tentu
saja akan terjadi banyak sekali perubahan-perubahan di dalamnya. Misalnya saja
mengenai kinerja para karyawan masing-masing perusahaan. Dimana ketika
kinerja karyawan perusahaan yang satunya sudah dikondisikan dalam keadaan
yang cepat dan on time, namun begitu terjadi merger dengan perusahaan lain,
kinerja mereka menjadi lambat. Hal tersebut terjadi karena rupanya terjadi
perbedaan kinerja karyawan antara satu perusahaan dengan perusahaan mereger
lainnya.
Tentunya bukan permalahan kinerja karyawan itu saja yang menjadi batu
sandungan ketika terjadi merger di antara perusahaan-perusahaan. Ada banyak
kasus-kasus merger yang menjadi mimpi buruk.
Untuk itulah dalam kesempatan ini kami ini ingin mengangkat
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan ketika mereka
melakukan merger. Sehingga rumusan masalah yang yang timbul di dalamnya
adalah “Mengapa merger selalu menimbulkan masalah ?”.

WHEN
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini timbul ketika terjadi
perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh dua atau lebih perusahaan yang
melakukan merger maupun akuisisi. Sehingga ketikan kedua perusahaan tersebut
mulai merumuskan visi, misi, tujuan maupun aturan-aturan yang akan dianut
untuk kedua perusahaan tersebut, maka keduanya akan mengalami hambatan.

WHO
Hambatan dalam menyatukan atau perbedaan budaya organisasi yang
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan merger akan sangat
dirasakan oleh para pekerja masing-masing perusahaan. Dimana para pekerja akan
sangat merasakan ketika mereka mulai bekerja sama atau bergabung dengan para
pekerja pada perusahaan yang satunya. Apalagi ketika situasi, aturan, value yang
mereka anut sangat berbeda atau berseberang di antara kedua perusahaan tersebut.

7
WHY
Perbedaan yang signifikan terjadi ketika dua atau lebih perusahaan
berbeda value. Baik itu karena budaya organisasinya yang berbeda, gaya
kepemimpinannya, komunikasi, ataupun individu-individu yang bekerja pada
masing-masing perusahaan.

WHERE
Masalah tersebut muncul di perusahaan-perusahaan yang mengalami atau
melakukan merger dan akuisisi. Menurut Hofstede, setiap organisasi
mengembangkan budaya yang membedakannya dengan organisais lain. Saat dua
organisasi bergabung, maka cultural clash sulit dihindarkan dalam organisasi
‘baru’ itu.

HOW
Rumusan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini terjadi ppada
waktu terjadi gap atau perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh masing-
masing perusahaan yang melakukan merger dan akusisi. Masing-masing
perusahaan tersebut ingin menggunakan budaya organisasinya untuk membentuk
perusahaan baru hasil dari merger. Namun karena keduanya berpikiran bahwa
budaya organisasi yang dimilikinya merupakan budaya organisasi yang terbaik,
sehingga satu sama lain tidak ingin mengalah untuk menerima budaya organisasi
perusahaan lainnya. Sehingga hal tersebut membuat kedua perusahaan yang telah
melakukan merger dan akusisi tersebut seharunya bisa saling memperkuat satu
sama lain, namun yang terjadi justru mereka tidak bisa melanjutkan kegiatan
produksinya hanya karena keegoisan masing-masing perusahaan untuk
menomorsatukan budaya organisasi yang dimilikinya.Tentu saja tidak bisa
dipungkiri bahwa memang masing-masing perusahaan mempunyai hak untuk
memiliki budaya organisasi sesuai dengan misi, visi yang diembannya.
Akibat yang ditimbulkan dari permasalahan yang diangkat dalam makalah
ini adalah akan terhentinya kegiatan produksi yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang melakukan merger dan akusisi. Karena tidak ada kecocokan atau
ditemukan kata kesepakatan diantara kedua perusahaan yang melakukan merger

8
dan akusisi, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa perusahaan tersebut akan
menghentikan kegiatan produksinya lebih dulu untuk mencari budaya organisasi
yang menjadi kesepakatan diantara keduanya. Karena budaya organisasi ini sangat
penting dimiliki oleh suatu perusahaan bagi kelangsungan organisasinya, maka
mau tidak mau kedua perusahaan tersebut harus mencari alternatif budaya
organisasi yang baru ataupun meleburkan budaya organiasi yang dimiliki oleh
salah satu perusahaan untuk menggabungkannya dengan budaya organisasi miliki
perusahaan lainnya.

9
C. BAGAN KONSEPTUAL

Artifak Asumsi
Nilai Nilai

Asumsi Merger Artifak

Culture acquiring firm Culture Acquired firm

Budaya baru

Dampak

Positif Negatif

10
KAJIAN TEORI

A. MERGER DAN AKUSISI

Many people lead bad lives that would gladly lead good ones, but do not
know how to make the change
- Lord Kames, 1760

Merger terjadi saat dua perusahaan atau lebih menggabungkan diri. Pada
saat itu terjadi proses interaksi antara budaya organisasi yang mungkin berbeda,
bahkan berlawanan sehingga memunculkan budaya baru.
Pada konteks makalah ini akan dibicarakan pengaruh merger dan akusisi
terhadap perubahan budaya organisasi. Merger dan akusisi adalah dua proses yang
sering terjadi dalam dunia bisnis. Konsep penggabungan dua atau lebih
perusahaan ini menjadi topik yang masih hangat dibicarakan tertutama karena
dampaknya yang mencengangkan. Masih jelas dalam ingatan kita saat berpuluh
karyawan satelindo melakukan unjuk rasa akibat merger yang dilakukan BUMN
tersebut dengan Singapore-tech tahun lalu. Masyarakat ikut bertanya-tanya saat
putra sampoerna memutuskan menjual sebagian besar sahamnya pda produsen
rokok asing, phillip morris beberapa bulan yang lalu. Rasanya merger masih
menjadi topik yang layak diperbincangkan.
Telah banyak penelitian yang memfokuskan pada komplemen peran
sukarela di level individual yang menekankan pada motif dan memunculkan
konsep seperti identitas peran, peran orang yang merger, komitmen dan
kepemilikan psikologis. Kenyataannya perubahan seperti yang terjadi pada merger
menggeser gaya hidup karyawan di organisasi.

Tujuan Merger
Tujuan atas dilakukannya merger dan akusisi pada perusahaan-perusahaan
yaitu ingin meningkatkan efisiensi, untuk mendapatkan posisi yang baik di pangsa

11
pasar dan meningkatkan pendapatan dan menggabungkan kekuatan di antara dua
organisasi.

Pembagian Merger
Merger dapat dibedakan atas:
1. Vertical Merger
Pada jenis ini suatu perusahaan membeli salah satu supliernya atau merger
dengan pelanggannya. Karena itu kebanyakan interaksinya berlangsung pada level
organisasi. Kompleksitasnya pun meningkat seiring menurunnya self-
determination. Hal ini menurut Nord dapat meningkatkan turnover eksekutif,
terutama jika eksekutif perusahaan yang diambil diperlakukan seolah-olah mereka
telah ditaklukan, yang menyebabkan perasaaan inferior dan kehilangan pegangan
sosial.
2. Horizontal Merger
Pada jenis ini suatu perusahaan menggabungkan diri dengan perusahaan
lain yang produknya hampir sama dengan yang dibuatnya. Misalnya merger
phillip moris dengan sampoerna baru-baru ini.
Interaksi instensif antara karyawan kedua perusahaan dapat menimbulkan konflik
dan keseimbangan gaya dan nilai antara manajemen dan staff menjadi titik
penting dalam pengambilan keputusan.
Nahavandi dan Malekzadeh menyatakan jika budaya organisasi keduanya
jauh berbeda maka dapat terjadi penurunan produktivitas selama beberapa tahun
pertama dan yang lebih parah merger akan gagal!
3.Concentric Merger
Jenis merger ini terjadi antara dua perusahaan yang produksi dan teknologi
distribusinya sama dengan tujuan meningkatkan produktivitas dengan
menggabungkan kekuatan yang ada. Kecenderungan menggabungkan operasi
yang sama terjadi terutama pada bagian teknologi dan pemasaran. Akibatnya
terjadi pembagian keahlian yang mungkin ditolak oleh karyawan masing-masing
perusahaan. Cara terbaik mengatasinya adalah dengan mengelola manajemen
sumber daya manusia perusahaan yang akan diambil sebelum dilakukan merger.

12
4. Conglomerate Merger
Meliputi akusisi bisnis yang tidak berhubungan dengan lapangan
perusahaan. Biasanya perusahaan utama akan mengirimkan tim baru ke
perusahaan yang diambil untuk mengatur unit disana. Hal ini dapat berbuntut
konflik diantara eksekutif senior perusahaan yang diambil. Meningkatkan jumlah
pengunduran diri karyawan juga termasuk dampak yang sering terjadi.
Suksesnya merger dan akusisi bergantung pada kecocokan budaya yang
harus digabungkan. Dalam prosesnya dapat terjadi tiga bentuk penggabungan,
yaitu:
1. The Open Marriage
Disini perusahaan yang mengambil alih menerima perbedaan kepribadian
atua budaya organisasi tanpa ragu-ragu. Perusahaan utama membiarkan
perusahaan yang diambil untuk beroperasi secara otonomi tapi mencampuri
kontrol keuangan dalam bentuk prosedur dan sistem pelaporan.
2. Traditional/ Redesign Marriage
Pada bentuk ini, perusahaan yang mengambil alih menganggap aturannya
dominan dan berusaha merancang ulang perusahaan yang diambilnya. Hal ini
menyebabkan perubahan radikal dan luas pada perusahaan kedua ini.
Keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan perusahaan utama mengubah
dan mengganti budaya perusahaan yang diambilnya.
3. The Modern/Collaborative Marriage
Merger sangat bergantung pada kemampuan integrasi budaya kedua
perusahaan.

Doko made ikeru kana mirai e tsuzuku basho


Tooku de kagayaite sekai o tsutsumikomu
Yoake mae
I wonder how far we can go, in this place that extends to the future
Shining in the distance, engulfing the whole world
Before dawn
('Before Dawn',OST One Piece)

13
B. BUDAYA ORGANISASI
Dalam setiap organisasi atau perusahaan pasti akan memiliki suatu budaya
organisasi sebagai pijakan atau pedoman dalam melakukan segala kegiatan-
kegiatan organisasi oleh para pelaku organisasi. Karena budaya organisasi
merupakan akar atau dasar dari pembentukan suatu organisasi atau sebuah
perusahaan. Budaya organisasi memiliki banyak definisi-definisi yang
dikemukakan oleh para ahli-ahli organisasi. Salah satu definisinya adalah bahwa
budaya organisasi merupakan suatu kerangka kognitif yang terdiri atas sikap
(attitudes), nilai (values), norma-norma perilaku (behavioral norms) dan harapan-
harapan (expectations) yang dijalankan oleh semua anggota-anggota organisasi.
Dengan menjalankan budaya organisasi ini yaitu mempertahankan, keyakinan
yang dimiliki, harapan
dan nilai yang relatif
stabil memiliki
pengaruh yang sangat
kuat dalam
menjalankan suatu
organisasi dan juga
orang-orang yang
bekerja di dalamnya.
Hofstede
mendefinisikan budaya sebagai software otak yang menuntun interaksi kita.
Menurutnya setiap orang memiliki pola berpikir, merasa, dan potensi bertindak
yang dipelajari sepanjang hidup. Banyak diantaranya didapat dari masa kanak-
kanak, karena pada saat itu manusia paling mudah menerima dan menyerap
informasi.

Peran Budaya Organisasi


Budaya organisasi memiliki banyak peran penting di dalam suatu
organisasi atau perusahaan. Yaitu yang pertama, sebagai identitas organisasi yang
menjadi keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan organisasi lainnya.

14
Terlebih lagi budaya organisasi dapat menjadi identitas khusus bagi para anggota-
anggota organisasi.
Peran budaya organisasi yang kedua adalah sebagai komitmen terhadap
misi yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan. Peran budaya organisasi yang
ketiga yaitu sebagai kejelasan dan reinforce dalam standard perilaku yang dimiliki
suatu organisasi atau perusahaan.

Pembentukan Budaya Organisasi


Dalam membentuk budaya organisasi pada suatu organisasi atau
perusahaan bukankah suatu hal yang mudah. Karena terdapat berbagai macam
factor yang bisa menumbuhkan budaya orgainisasi. Budaya organisasi bisa
terwujud dari company founders, organizational experience dan internal
interaction. Company founders di sini merupakan pemilik atau orang yang
mendirikan dari suatu organisasi atau perusahaan. Dimana dirinya mengetahui
tentang misi, visi maupun tujuan dari perusahaan atau organisasi yang
dibentuknya. Sehingga dari pemikiran-pemikirannyalah budaya organisasi pada
organisasinya itu terbentuk.
Kemudian lagi yaitu bahwa budaya organisasi terbentuk karena adanya
organizational experience. Dimana organizational experience adalah budaya
organisasi merupakan hasil interaksi antara organisasi atau perusahaan dengan
lingkungan eksternalnya. Suatu organisasi pasti akan melakukan interaksi dengan
berbagai macam bentuk organisasi atau perusahaan, dan di dalam interaksi
tersebut akan menjumpai berbagai macam bentuk value-value dan hal-hal lain
yang lebih baik dari apa yang dimiliki oleh organisasinya. Sehingga dari sini
akhirnya suatu organisasi bisa menumbuhkan budaya organisasinya sendiri untuk
membedakan dengan organisasi lainnya.
Budaya organisasi juga dapat dibentuk dari internal interaction. Yaitu
budaya organisasi merupakan hasil dari interaksi internal yang dilakukan antar
anggota satu dengan anggota organisasi lainnya. Sehingga dari interaksi internal
itu muncul value-value yang telah disepakati oleh semua anggota organisasi untuk
dijadikan sebagai budaya organisasinya.

15
Efek yang bisa ditimbulkan oleh budaya organisasi adalah :
Budaya organisasi berdampak pada proses jalannya suatu organisasi dan
proses individu di dalamnya. Yaitu :
- Organizational performance
Budaya organisasi yang dimiliki oleh suatu organisasi haruslah kuat. Di
dalam budaya organisasi terdapat konsisten tidaknya aksi organisasi pada
berbagai macam kondisi, dan juga di dalamnya terdapat value-value yang
dimiliki oleh organisasi tersebut.
- Length of employment
Bahwa budaya organisasi berpengaruh pada sikap dan performance yang
ditunjukkan oleh semua anggota organisasi
- Person-organization fit
Dengan adanya budaya organisasi yang dimiliki oleh suatu organisasi
dapat membuat seseorang untuk memilih organisasi mana yang akan
dikutinya. Yaitu dengan menyesuaikan budaya organisasinya sesuai
dengan value yang dimilikinya.
Bagaimanapun juga menciptakan suatu budaya yang kuat bukan perkara
gampang. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menginternalisasi nilai yang
diinginkan. Robbins dan Barnwell mengartikan budaya yang kuat sebagai nilai
inti yang dipegang teguh, teratur dengan jelas serat tersebar secara luas (Robbins
& Barnwell,2002:382).ada tiga elemen yang menentukan kuatnya budaya
organisasi menurut pikula, yaitu:
1. Jumlah nilai, keyakinan dan asumsi yang disebarkan.
2. Jumlah anggota yang menerima nilai tersebut.
Robbins dan Barnwell menyatakan bahwa semakin banyak anggota
organisasi yang menerimanya maka semakin kuatlah suatu budaya(Robbins &
Barnwell,2002:382).
3. Semakin tinggi jumlah keyakinan, nilai dan asumsi yang disebarkan, semakin
kuatlah budaya organisasi.

16
Perubahan ini dapat berbuah
kemajuan signifikan, atau sebaliknya
menjadi batu sandungan bagi
organisasi terssebut. Telah banyak
literatur yang menyebutkan bahwa
perubahan organisasi dapat
menghasilkan kecemasan,
kehilangan, stress, dan pudarnya
kepercayaan terhadap atasan (Logan,- Budaya menempatkan perusahaan
pada jalur tertentu untuk mencapai
-:3).
tujuan bersama
Suatu kebudayaan tidak
mungkin berada dalam posisi statis. Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan
karya manusia sehingga senantiasa berubah mengikuti perkembangan manusia.
Dalam konteks organisasi, budaya menjadi aspek yang sangat penting
dalam proses pencapaian tujuan perusahaan. Sebagaimana budaya dapat dibuat,
maka iapun juga dapat diubah. Ada beberapa faktor yang dapat mengubah budaya
organisasi, yaitu:
1. Komposisi tenaga kerja
semakin banyaknya tenaga kerja yang masuk ke suatu perusahaan, maka akan
semakin mudah terjadi pergeseran nilai yang dianut perusahaan tersebut. Hal ini
terjadi karena setiap orang membawa nilai-nilai pribadi yang terintegrasi pada
pola kerjanya di perusahaan.
2. Mergers dan akusisi
Merger terjadi saat dua perusahaan atau lebih menggabungkan diri. Pada saat itu
terjadi proses interaksi antara budaya organisasi yang mungkin berbeda ,bahkan
berlawanan sehingga memunculkan budaya baru.
3. Perubahan organisasi yang telah direncanakan
Perusahaan mungkin telah menggariskan strategi untuk mengubah struktur dan
operasi dasar organisasi. Saat itu terjadi, maka pergeseran budaya organisasi tidak
dapat dihalangi.

17
Bagi Scholtz pembentukan budaya terjadi dalam beberapa dimensi, yaitu
(Hodge, Anthony & Gales.2003:251-252):
1. Dimensi evolusioner
Organisasi merepon perubahan dengan mengubah budayanya menjadi budaya
yang diinginkan. Ada lima tahap dalam proses ini, yaitu:
a. Tahap stabil dimana
perubahan mulai
berkontemplasi.
b. Tahap reaktif terjadi
saat perubahan mulai
sedikit diterima oleh
anggota organisasi.
c. Tahap antisipasi
adalah ketika
perubahan lebih jauh
diterima.
d. Tahap eksplorasi
memperlihatkan
penerimaan
perubahan dalam
jumlah besar.
e. Tahap kreatif akan
membuka peluang
bagi perubahan lebih
lanjut dan lebih
panjang. Saat perubahan terjadi, karyawan merasa
seperti ditutup matanya, tanpa tahu apa
2. Dimensi internal yang akan terjadi berikutnya
adalah kondisi khusus yang terjadi dalam organisasi yang mempengaruhi
budayanya.

18
3. Dimensi eksternal meliputi bagaimana anggota organisasi
mempersepsikan dan merespon kondisi yang sangat mempengaruhi budaya
organisasinya.
Lain Scholtz, lain lagi Robbins. Ia menuliskan perubahan budaya budaya
ini dapat terjadi dalam dua proses (Robbins & Barnwell,2002:348) :

Evolutionary change Revolutionary change

Evolusi Revolusi

Mempertahankan keseimbangan Mencari keseimbangan baru

Mengubah individu/ departemen Mengubah seluruh organisasi

Memperkuat struktur dan manajemen yang Menciptakan struktur dan manejemen baru
ada

Perubahan teknologi lebih jauh terjadi dalam Mengadopsi teknologi produksi baru
proses produksi

Meningkatkan produk yang ada. Mengenalkan celah pasar baru untuk produk
baru

Organisasi harus
berusaha keras mengelola
perubahan yang terjadi
sehingga memberi dampak
positif terhadap efektivitasnya.
Untuk itu perlu mekanisme
pengelolaan perubahan yang
Mengubah pola pikir karyawan bukan hal
mudah baik pula. Robbins dan
Barnwell menyarankan suatu
model untuk mengelola
perubahan organisasi seperti yang digambarkan pada bagan di bawah:

19
Model mengelola perubahan organisasi (Robbins & Barnwell,2002:357):

Dorongan untuk
Penyebab perubahan berubah

Tindakan
Yang berinisitif manajemen/
agen perubahan
berubah

Yang akan diubah:


• Struktur
Yang diubah • Teknologi
• Prosses
• Budaya

Tipe Intervensi

Cara Mengubah
One off Ongoing

Unfreezing Æ change Æ refreezing Unfreeze Æ Change

Hasil Perubahan

Efektivitas Organisasi

20
C. TEORI HOFSTEDE

Sedikit sekali ahli yang berbicara tentang pola klasifikasi budaya sehingga
sulit untuk menilai dan memprediksikannya. Salah satu teoris yang paling terkenal
adalah antropologis Belanda, Hofstede. Ia merumuskan dimensi budayanya
setelah meneliti 72 negara dalam penelitian IBM pada tahun 1970-an.
Hofstede menemukan bahwa budaya nasional sangat menentukan sikap
dan perilaku kerja, lebih dari posisi organisasi atau karakteristik pribadi
(Greenberg& Baron,1997:42).
Dia menyatakan ada empat dimensi yang membedakan karyawan, yaitu:

1. Individualisme vs kolektivisme
a. Individualisme adalah ciri budaya dimana orang menekankan
perhatian pada diri sendiri dan keluarganya saja.
b. Kolektivisme yaitu ciri kebudayaan dimana orang berorientasi pada
kesejahteraan kelompok.
Individualisme/Kolektivisme
merupakan konsep yang paling banyak
didiskusikan karena mudah
diaplikasikan dalam berbagai konteks
perilaku budaya.
Di negara yang tinggi
individualismenya seperti Perancis,
Jerman, Afrika Selatan, Kanada, orang
dituntut untuk mengurus dirinya sendiri. Solidaritas bersifat organik daripada
mekanik. Nilai yang sering terlihat adalah waktu pribadi, kebebasan dan
tantangan.
Sedangkan di negara-negara seperti Jepang, Meksiko, Korea dan Yunani
yang lebih kolektivis, individu terikat loyalitas terhadap kelompoknya.

21
2. Power Distance
Adalah derajat dimana distribusi kekuasaan diterima atau ditolak. Power
Distance didefinisikan sebagai derajat dimana anggota institusi yang berkuasa di
negara mengharapkan dan mendapatkan kekuasaan didistribusikan tidak merata.
Konsep Power Distance sulit dicapai dalam konteks kerja dan sering
dicerminkan dalam perusahaan berjenjang, sama seperti rasa hormat yang
diharapkan guru dari murid, atasan dari bawahan.
Pada negara yang tinggi Power Distance-nya (Amerika Latin, Perancis,
Spanyol, kebanyakan negara Asia dan Afrika ), bawahan cenderung takut pada
atasannya dan bos cenderung paternalistik dan otoritas. Sebaliknya di negara yang
rendah Power Distance-nya (USA, Inggris, sebagian besar negara Eropa),
bawahan cenderung menentang bos dan bos sering menggunakan gaya
manajemen konsultatif.

3. Uncertainty Avoidance
Ialah derajat dimana orang merasa terancam dan berusaha menghindari
situasi yang ambigu. Uncertainty Avoidance diartikan sebagai derajat dimana
anggota organisasi merasa terancam oleh situasi yang tidak jelas/diketahui
(Hofstede,1994:113).
Saat Uncertainty Avoidance kuat, budaya cenderung merasakan situasi
yang tidak jelas yang ingin dihindari, seperti di Korea Selatan, Jepang dan
Amerika Latin. Sedangkan di Amerika, Belanda, Singapura, Hong Kong dan
Inggris, orang tidask terlalu terancam oleh ketidakpastian dan lebih berani
mencari peluang dan menghadapi resiko.

4. Masculinity/femininity
a. Masculine culture: budaya dimana orang lebih materialistis dan
mengagungkan asertivitas serta akusisi uang
b. Femininity culture: budaya dimana orang menekankan kepedulian
terhadap sesama dan hubungan antar manusia.

22
Maskulinitas/faminitas sama kuatnya. Dimensi ini sering diabaikan karena
nama kontroversial yang digunakannya mempengaruhi ketenarannya. Seringkali
ia bercampur dengan konsep individualisme/kolektivisme.
Hasil studi Hofstede menunjukkan tujuan laki-laki berbeda dengan wanita
dan dapat dieksresikan dalam kutub maskulin dan feminin. Dimana feminitas
penting (Swedia, Perancis, Israel, Denmark, Indonesia), orang cenderung
mempertahankan hubungan baik dengan atasannya, bekerja sama dengan baik,
hidup di area yang menyenangkan buatnya dan keluarganya. Sebaliknya di negara
yang tinggi maskulinitasnya: Amerika, Jepang, Meksiko, Hong Kong, Italia,
Inggris Raya, orang cenderung berorientasi penghasilan, punya kesempatan buat
pekerjaan yang lebih tinggi levelnya.

5. Long Term Orientation


Hofstede menambahkan dimensi kelima setelah ia melakukan penelitian
atas riset konfusius, yaitu Long Term Orientation.
Di China, Hong Kong, Taiwan, Japan dan India terjadi persistensi dan
persevarance yang mengagungkan hubungan status dan rasa malu.
Sedangkan short-term orientation dicirikan dengan rasa keamanan dan
stabilitas,proteksi atas reputasi, menghormati tradisi dan salam timbal balik. Ini
terjadi di Inggris, Kanada, Filipina, Jerman dan Australia.

Kelebihan dan kelemahan teori Hofstede ini adalah :


KELEBIHAN KELEMAHAN
Banyak diterapkan di dunia industri Sampel penelitian perusahaan profit,
sulit digeneralisasi pada organisasi
yang berbeda tipe, misalnya non profit
organization.
Memberi kontribusi besar bagi Perlu penjelasan lebih dalam mengenai
manajemen lintas budaya. bagaimana budaya tersebut terhadap
keefektifan organisasi.

23
Mudah dimengerti dalam berbagai Terlalu menggeneralisasi budaya suatu
konteks. negara, padahal belum tentu semua
perusahaan memiliki dimensi budaya
nasional yang sama.
Menjelaskan akar budaya yang Tidak menggali dalam mengenai
melandasi dimensi kebudayaan yang dinamika dunia kerja dalam organisasi.
teraplikasi di setiap negara.
Tidak menentukan budaya terbaik bagi Tidak merumuskan sistem budaya yang
organisasi. paling efektif sehingga dapat
diaplikasikan dalam organisasi.
Tidak berpihak pada salah satu dimensi
budaya.

D. MINTZBERG’S FRAMEWORK : FIVE ORGANIZATIONAL


NORMS
Teori norma-norma organisasi ini dikemukakan oleh salah satu ahli
organisasi yang bernama Henry Mintzberg. Secara khusus Mintzberg menyatakan
bahwa organisasi terbentuk dari lima elemen, atau individu dalam kelompok.
Lima dasar elemen tersebut adalah :
1. The Operating Core
Pekerja yang menampilkan dasar pekerjaannya yang berhubungan dengan
produk atau sevice yang diberikan oleh organisasi. Misal guru yang
mengajar di sekolah, pelayan di restoran.
2. The Strategic Apex
Level executive puncak yang bertanggung jawab pada berjalannya
organisasi. Misalnya pengusaha yang menjalankan bisnis kecilnya sendiri
dan general manager yang menjadi pimpinan pad automobile-nya.
3. The Middle Line
Manager yang mentransfer informasi antara strategic apex dan operating
core. Misalnya middle manager, seperti sales manager daerah ( yang

24
menghubungan top executive dengan para sales ), chair pada masing-
masing fakultas ( yang menghubungkan antara dekan dan fakultas )
4. The Technostructure
Secara khusus bertanggung jawab pada standard aspek yang bermacam-
maca pada aktivitas organisasi. Misalnya akuntan, auditor dan analist
system computer.
5. The Support Staff
Individu yang memberikan pelayanan support secara tidak langsung pada
organisasi. Misalnya consultant pada perusahaan.

Selain itu Mintzberg juga mengidentifikasi adanya lima desain khusus


suatu organisasi : simple structure, machine bureaucracy, professional
beareaucracy, the divisonalized structure dan the adhocracy.
1. Simple structure
Suatu oganisasi yang
memiliki karakteristik yang
kecil dan informal, dengan satu
power tunggal yang dimiliki
oleh individu, seringkali
dijumpai pada pengusaha yang
mengubah segalanya.
2. Machine
bureaucracy
Suatu bentuk organisasi
dimana bekerja memiliki spesialisasi yang tinggi, pengambilan keputusan
difokuskan pada pimpinan, dan lingkungan bekerja tidak prone untuk mengalami
perubahan ( misal kantor pemerintahan ).
3. Professional bureaucracy
Organisasi yang memiliki banyak aturan-aturan yang mengikuti, tapi para
pekerja memiliki keahlian yang tinggi dan mempunyai kebebasan dalam membuat
keputusan untuk dirinya sendiri.

25
4. Divisional structure
Bentuk organisasi yang digunakan oleh organisasi-organisasi yang besar,
dimana terdapat penyebara unit-unit dan terhubungan dengan lini pemasukan
produk, focus pada top management, strategi pengambilan keputusan.
5. Adhocracy
Memiliki informal tertinggi, organisasi organic dimana khusus bekerja
dalam sebuah tim, mengkoordinasikan satu pekerja dengan pekerja lainnya pada
berbagai macam proyek ( misal perusahaan pengembangan software )

Kelimanya dapat dibandingkan dalam tabel berikut:

Design Description Dominant group Example


Simple structure simple, informal, Strategic apex small,
authority entrepreneurial
centralized in a business
single person
Machine Highly complex, Technostructure Government
bureaucracy formal offices
environment with
clear lines of
authority
Proffesional Complex, Operating core Universitas
bureaucracy decision making
authoriry is vested
in proffesional
Divisionalized large, formal Middle line Multidivision
structure organizations with business such as
several separate General Motors
divisions
Adhocracy Simple, informal, Support staff Software
with decentralized development firm
authority

26
Evaluasi Teori
Kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh teorinya Mintzberg ini adalah :
KELEBIHAN KELEMAHAN
Bisa melihat bentuk-bentuk organisasi Hanya melihat dari dalam organisasi
saja
Dapat menjadi pilihan dalam membuat Tidak menjelaskan dari faktor eksternal
organisasi atau di luar organisasi
Dapat digunakan untuk melihat Tidak menjelaskan dari faktor sosial
organisasi dari internalnya
Teraplikasi dalam berbagai jenis Hanya mementingkan struktur
organisasi organisasi
Merumuskan bentuk pekerjaan yang Tidak merumuskan anteseden struktur
sesuai dengan struktur tertentu yang dibentuk

27
ANALISA

A. Dimensi Hofstede (www.geert.hofstede)

Dalam studinya, Hofstede meneliti 72 negara, termasuk Indonesia.


Dibawah merupakan jabaran hasil penelitiannya.
Indonesia memiliki Power Distance (PDI) pada rangking Hofstede
tertinggi, yaitu 78. ini adalah indikasi tingginya tingkat ketidakmerataan power
dan kesejahteraan di masyarakat. Kondisi ini tidak disebabkan oleh populasi,
namun lebih sebagai warisan budaya masyarakat. Angka rata-rata PDI bagi
kebanyakan negara Asia adalah 71.
Dimensi Hofstede kedua tertinggi di Indonesia adalah Uncertainty
Avoidance (UAI) yaitu 48. bandingkan dengan rata-rata Negara Asia, 58 dan rata-
rata dunia,64. Hal ini mencerminkan pengaruh yang lebih moderat terjadi pada
masyarakat Indonesia. Secara umum tingginya UAI menunjukkan rendahnya
tingkat toleransi
terhadap

ketidakpastian. Untuk mengurangi tingkat ketidakpastian ini, peraturan yang ketat,


undang-undang dan regulasi diadopsi dan diimplementasikan. Tujuan utama
populasi ini adalah mengontrol segalanya untuk menghilangkan atau menghindari
yang tidak diinginkan. Tingginya level UAI ini menyebabkan masyarakat tidak
siap untuk menerima perubahan dan takut menghadapi resiko.

28
Indonesia memiliki tingkatan terendah untuk individualisme yaitu sekitar 14, jika
dibandingkan dengan rata-rata rangking negara Asia 23 dan dunia, 43. Skor ini
diartikan sebagai
karakteristik negara
Indonesia yang
kolektivis. Ini
menyebabkan
komitmen jangka
panjang terhadap
kelompok, baik itu
keluarga, keluarga
besar atau hubungan
lainnya. Kesetiaan dalam budaya kolektivis adalah puncak dan mendominasi
kebanyakan peraturan dan norma sosial. Masyarakat mendukung hubungan yang
kuat dimana setiap orang bertanggung jawab atas anggota lainnya.
Indonesia merupakan negara dengan penganut Islam terbesar di dunia. 88%
populasinya merupakan muslim.(The World Fact Book).

Kombinasi dua skor tertinggi tadi menciptakan masyarakat yang sangat


terpaku pada peraturan, undang-undang dan kontrol agar dapat mengurangi
jumlah ketidakpastian, sementara ketidakrataan kekuasaan dan kesejahteraan
dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat. Budaya ini cenderung mengikuti sistem
kasta yang tidak memperbolehkan mobilitas keatas.
Saat keduanya
digabungkan,
terciptalah situasi
dimana pemimpin
memiliki kekuasaan dan
otoritas utama, dan
aturan, hukum dan
undang-undang dibuat

29
oleh mereka yang berkuasa, untuk memperkuat kekuatannya. Tidaklah lazim
kemunculan pemimpin dari kalangan bersenjata-kekuatan terbesar, daripada dari
perubahan diplomatik atau demokratik.
PDI menekankan pada derajat kesamaan atau ketidaksamaan, antara orang dalam
tatanan masyarakat. Rangking PDI yang tinggi menunjukkan ketidaksamaan
kekuasaan dan kesejahteraan telah dibiarkan tumbuh kembang. Masyarakat ini
cenderung mengikuti sistim kasta dimana anggota kelompok tidak diperbolehkan
naik ke kasta yang diatasnya. Rangking Power Distance yang rendah
menunjukkan
penekanan ulang
perbedaan antara
kekuatan dan
kesejahteraan warga.
Dengan kata lain
kesamarataan dan
kesempatan ditekan
bagi setiap orang.

Individualisme (IDV) menekankan pada derajat penekanan masyarakat


terhadap pencapaian individu atau kelompok dan hubungan interpersonal.
Rangking yang rendah mengelompokkan suatu budaya yang bersifat lebih
kolektivis dimana setiap orang bertanggung jawab atas anggota kelompok lain.

Masculinity (MAS)
memfokuskan pada tingkat
penekanan masyarakat atas model
peran maskulinitas: prestasi,
kontrol dan kekuatan pria.
Tingginya rangking MAS
mengelompokkan negara sebagai
tempat yang melakukan diferensiasi

30
gender. Pada budaya ini, pria mendominasi porsi penting dalam struktur
masyarakat dan kekuasaan, dimana wanita dibawah kontrol dominasi pria.
Uncertainty Avoidance Index (UAI) menyoroti tingkat toleransi terhadap
ketidakpastian dan ambiguitas dalam masyarakat, misalnya situasi tak berstruktur.
Rangking UAI tinggi menunjukkan rendahnya toleransi terhadap ketidakpastian
dan ambiguitas. Hal ini menciptakan masyarakat yang berorientasi pada aturan
untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Sebaliknya rangkin UAI rendah akan
membuat orang mengabaikan ketidakpastian dan lebih terbuka terhadap berbagai
pendapat, siap menerima perubahan, dan mau mengabil lebih banyak resiko.
Long Term Orientation (LTO) memfokuskan pada tingkat ikatan nilai
tradisional masyarakat. Tingginya LTO menunjukkan kesetiaan terhadap tradisi
dan memiliki komitmen jangka panjang. Ini menunjang etos kerja dimana
sekarang hadiah jangka panjang lebih diharapkan sebagai hasil kerja. Meskipun
begitu, mungkin sulit untuk membentuk masyarakat seperti ini, terutama bagi
‘orang luar’. Sedangkan
rendahnya LTO menyebabkan
mudahnya perubahan terjadi
karena orang tidak lagi
berorientasi pada nilai
tradisional jangka panjang.
Penggabungan dua
perusahaan akan dipengaruhi
budaya yang dibawa nya.
Seperti yang telah ditekankan
Hofstede, setiap organisasi
menumbuhkan budaya yang
berbeda dengan organisasi
lain. Untuk itu proses akulturasi sangat penting. empat mode akulturasi menurut
Cartwright dan Cooper, yaitu:
1. Asimilasi yaitu melebarkan budaya salah satu perusahaan terhadap kebudayaan
perusahaan lain yang lebih lemah, disfungsional dan kurang diinginkan.

31
2. Integrasi adalah penggabungan dua budaya untuk mendapatkan budaya terbaik
dari kedua organisasi yang melakukan merger.
3. Separasi merupakan penolakan salah satu perusahaan atas budaya organisasi
perusahaan lain karena budayanya lebih kuat dan ia ingin mempertahankannya.
akibatnya dapat terjadi konflik dan sulitnya implementasi.
4. dekulturasi terjadi jika budaya organisasi perusahaan yang digabung lemah,
namun tidak ingin mengadopsi budaya perusahaan lain yang lebih kuat. hal ini
dapat berujung pada konflik, kebingungan dan alienasi.

B. Minzberg

Bila dihubungkan dengan permasalahan yang diangkat di dalam makalah


ini, maka ada banyak hal yang ada di dalam kerangka teorinya Mintzberg yang
mempengaruhi budaya organisasi pada perusahaan-perusahaan yang melakuakan
merger. Apabila di antara kedua atau lebih perusahaan yang melakukan merger
tersebut tidak sesuai atau berbeda bentuk organisasinya maka sudah pasti bahwa
perusahaan-perusahaan yang mengalami merger tersebut akan mengalami
kendala. Karena seperti apa yang telah kita ketahui di dalam kerangka teorinya
Mintzberg ini bahwa antara bentuk organisasi satu dengan organisasi lainnya
sangat jauh berbeda. Meskipun terdapat satu atau dua kesamaan diantaranya,
namun hal tersebut tetap saja tidak dapat merubah budaya organisasi yang dimiliki
oleh masing-masing perusahaan.
Pola pekerjaan yang berbeda akan menghasilkan budaya organisasi yang
berbeda pula. Pada
merger Horizontal,
Concentric dan
Conglomerate hal
ini rentan terjadi
karena perbedaan
konsep produksi

32
Membuat struktur yang lebih sederhana dan dekat akan
memudahkan asimilasi budaya
akan menyebabkan perbedaan pola kerja.
Untuk itu dibutuhkan proses asimilasi yang labih terarah dan lebih hati-
hati. Beberapa tugas baru mungkin akan tercipta dan outsourcing tidak dapat
dihindari. Dengan berbagai perubahan tersebut, cepat atau lambat organisasi akan
menumbuhkan budaya yang baru.
Tentunya hal ini akan berdampak baik bagi karyawan maupun organisasi.
Asimilasi yang berjalan lambat atau tidak sempurna dapat berakhir pada stres
kerja, kebingungan dan ketidakpastian, seperti yang telah dirumuskan banyak
peneliti. Bagi organisasi sendiri, pembentukan struktur yang kurang tepat akan
menghambat efektivitas.

33
PERBANDINGAN TEORI
PERBANDINGAN HOFSTEDE MINTZBERG
Dimensi teori 5 5
Sudut pandang teori Budaya sosial masyarakat struktur organisasi
Penelitian Studi IBM meliputi 72 --
negara
Aplikasi Berbagai konteks sosial, Organisasi
bukan hanya dunia
perusahaan.
Konsep Nilai yang tertanam pada Pembentukan organisi
karyawan dalam yang mempengaruhi pola
organisasi yang kerja.
mempengaruhi pola
kerja.
Sudut pandang Sosiologi Manajemen

34
PENUTUP
Membutuhkan keberanian untuk menyadari bahwa Anda lebih berkuasa
daripada suasana hati Anda, lebih berkuasa daripada pikiran Anda, dan
bahwa Anda dapat mengendalikan suasana hati dan pikiran Anda
~Stephen Covey, First Things First

Merger dan akusisi telah menjadi tantangan alami bagi setiap perusahaan di dunia.
Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang matang agar tujuan merger dapat dicapai
dengan sempurna. Telah banyak kasus-kasus buruk yang mewarnai kegagalan
merger yang berujung pada penurunan kinerja perusahaan dan dampat psikologis
pada karyawan.
Kami akan menutup makalah ini dengan sebuah cerita tentang keberhasilan KFC
sebagai perusahaan waralaba yang mendunia. Para petingginya tahu benar
perbedaan budaya yang melatarbelakangi pola konsumerisme setiap negara.
Untuk itu mereka mengirimkan peneliti sebelum membuka cabang di negara
tertentu.
KFC mencatat bahwa hamburger, dengan daging babi tidak akan laku di negara-
negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia karena mayoritas
penduduknya yang menganut agama Islam. sebaliknya komoditas ini akan
menjadi unggulan di negara Eropa dan Asia Timur, seperti Hong Kong. Lain lagi
dengan di India, KFC merancang menu yang tidak menggunakan daging sapi,
karena hewan tersebut dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
KFC melakukan perbandingan dan beradaptasi dengan budaya setempat untuk
meluncurkan produk yang sesuai.
Bisa dikatakan KFC melakukan merger dengan budaya tuan rumah.

35
DAFTAR PUSTAKA

Perry,Ronald W. 2004.Review of Public Personnel Administration, Vol. 24


no.2.The Relationship of Affective Organizational Commitment with Supervisory
Trust. London : Sage Publications.

Popper,Micha, Lipshitz, Raanan.2000. Organizational Learning, Mechanism,


Culture , and Feasibility. Management Learning Volume 31(2):181-196.London :
Sage Publications.

Muchinsky, Paul M. 1993. Psychology Applied to Work. An Introduction to


Industrial and Organizational Psychology (4th edition). California : Brooks/Cole
Publishing Company.

Greenberg, Jerald,. Dan Baron, Robert A. 1997. Behavior in Organization. 6th


edition. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.

Hassard, John & Kelemen, Mihaela .(2002). Production and Consumption in


Organizational Knowledge: The Case of the ‘Paradigms Debate’.Organizations
Article. 9(2): 331–355

Haslam, S.Alexander.2001. Psychology in Organization: The Social Identity


Approach. London: Sage Publications.

Hodge, B.J., Anthony, W.P., Gales, L.M.(2003). Organization Theory: A


Strategic Approach (6th ed).)New Jersey: Prentice-Hall.

Hofstede,G.(1991).Cultures and Organization: Software of the Mind. New York:


McGraw-Hill.

Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo.(2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: Penerbit


Salemba Empat.

Robbins, Stephen P.& Barnwell, Neill.(2002).Organizational Theory (4th edition).


Australia: Prentice-Hall.

Pikula, Deborah A..(1999).Mergers & Acquisitions:Organizational Culture & HR


Issues.Industrial Relations Centre.

Le Queux, Stéphane & Fajertag, Giuseppe.(2001).Towards Europeanization of


Collective Bargaining?: Insights from the European Chemical Industry. European
Journal of Industrial Relations, 7 (2): 117–136

36
Jeffcutt, Paul & Pratt, Andy C.(2002).Managing Creativity in the Cultural
Industries (Editorial). Blackwell Publisher, 11(4),225-232.

Jaskyte, Kristina &Dressler, William w..(2004). Studying Culture as an Integral


Aggregate Variable: Organizational Culture and Innovation in a Group of
Nonprofit Organizations. Field Methods, 6 (3), 265–284.

Steven P. Feldman.(1999).The Leveling of Organizational Culture: Egalitarianism


in Critical Postmodern Organization Theory. THE JOURNAL OF APPLIED
BEHAVIORAL SCIENCE, 35 (2),228-244.

--.Socialization Tactics and Newcomer Adjustment: The Role of Organizational


Culture, Team Dynamics, and Personality Dimensions. (Proposed Doctorate
Research).

Cooperrider, David L. &Whitney, Diana.(). A Positive Revolution in Change:


Appreciative Inquiry.

Peters,Abby Day .(--).Managing the Soul

Schneider, Benjamin, Hanges, Paul J., Smith, D. Brent, and Salvaggio, Amy
Nicole.(2003).Which Comes First: Employee Attitudes or Organizational
Financial and Market Performance?Journal of Applied Psychology, 88(5), 836–
851.

Logan, Mary S.(2003). Using Knowledge to Facilitate Change: The Roles of


Social Identity and Organizational Culture:1

Mac Neela, Pádraig.(--). Individuals and Organisations: An Exploration of the


Volunteering Process in Health and Social Care Groups Final Report to the Third
Sector Research Programme, Royal Irish Academy Dublin City University

37

You might also like