You are on page 1of 14

Haji, Definisi dan Latar Belakangnya

Juli 17, 2008 pada 6:20 am (Panduan Manasik)


Tags: Definisi Haji, Haji, Latar Belakang Haji, Nabi Ibrahim, Umrah
Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat
dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan
umat Islam sedunia yang mampu (secara material, fisik, dan keilmuan) dengan
berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi
pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini
berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam
bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah, bermalam di Muzdalifah, dan berakhir setelah melempar jumrah
(melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah.
Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya
Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
Definisi
Secara lughawi (bahasa), haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi.
Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan,
maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara, haji ialah menuju ke Baitullah dan
tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula.
Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi di atas, selain Kabah
dan Masa(tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan
waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sai, wukuf,
mabit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Latar Belakang Ibadah haji
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka
warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini.
Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sai,
wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai
lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-
segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk
syara (syariat), sebagaimana yang diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang
dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama Nabi Ibrahim (nabinya
agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan
oleh umat-umat sebelum Nabi Ibarahim. Ritual sai, yakni berlari antara bukit Shafa
dan Marwah (daerah tinggi di sekitar Kabah yang sekarang sudah menjadi satu
dengan Masjidil Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri
Nabi Ibrahim bernama Siti Hajar ketika mencari air untuk anaknya, Nabi Ismail.
Haji (Bahasa Arab:

; transliterasi: Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima


setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan
yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan
berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada
suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah
umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di
Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah
melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat
Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan
dengan perayaan ibadah haji ini.
Definisi
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi.
[1]
Menurut etimologi
bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja.
Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk
melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat
tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah,
dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari
Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah
thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
[2]
Latar belakang ibadah haji
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi
dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk
umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah.
Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya.
Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa
yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an
dan sunnah rasul.
[2]
Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang
dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama
Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat
sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak
tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga
didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk
anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat
bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh
umat manusia.
Jenis ibadah haji
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah
SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam
tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan
ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul
ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia
mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan
selesai dari nahar.
[3][1]
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.
[1]
Haji ifrad , berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang
bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah.
Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan
pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu.
Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali
untuk melaksanakan umrah.
Haji tamattu' , mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan
melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian
mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama.
Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam
tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
Haji qiran , mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan.
Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk
melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian
ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai
selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah,
melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji berdasarkan urutan waktu:
Sebelum 8 Zulhijah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong untuk
melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
8 Zulhijah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Zulhijah, semua umat Islam
memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji),
kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat
menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.
9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah
melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga
Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam
Muzdalifah.
10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk
melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke
tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau
sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di
Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan
tugu ketiga.
12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan
tugu ketiga.
Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan Thawaf Wada'
(thawaf perpisahan).
B. PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH
Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah al-
qashdu atau menyengaja. Sedangkan arti haji dilihat dari segi istilah
(terminology) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (kabah) untuk melakukan
beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada
waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara, semata-
mata mencari ridho Allah.
Adapun umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Sedangkan menurut syara
umrah ialah menziarahi kabah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersayu
antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut.
C. Tujuan Haji dan Umrah
Al-baqarah 189
# {# ( _ %} %
9 , 9 # 3 }, 9 9 , 9 # / (# ? 1 ?
6 , 9 # 3 9 9 , 9 #
4 + ?# 3 (# ? 1 & 7 , 9 # ( / _ / & 4
(#) ?# !# _ 6 9 , ?
189. mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Ali-imron 97
1 7 # / ) _ / ) (
&# % . # 3 ! ? 9#
, 7 , 9 # ' # , 9 ) 6 4
. 1 !# ; ] , 9 #
97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.
Ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji.
Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT.
Ketika menjalankan ibadah haji, semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia,
dengan beraneka ragam perbedaan berkumpul menjadi satu untuk
mengagungkan kebesaran Allah SWT, menyaksikan tempat dimana ayat-ayat
suci turun, tempat para nabi yang siddiq dan orang-orang yang saleh pernah
berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.
D. Dasar Hukum Perintah Haji dan Umrah
Ali-imron 97
! ? 9# , 7 , 9 # ' #
, 9 ) 6 4 . 1 !# ;
] , 9 #
97. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi)
orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Ayat di atas merupakan dalil naqli dari diwajibkannya ibadah haji bagi setiap
muslim yang memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.
Haji hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan sebutan haji wada
pada tahun ke-10 hijriah.
D. Syarat, Rukun dan Wajib Haji dan Umrah
1. Syarat-Syarat Melakukan Haji
Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah:
a) Islam
b) Baligh
c) Berakal
d) Orang Merdeka
e) Mampu (Istithaah)
a)Islam
Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melaksanakan
ibadah haji dan umrah. Karena itu orang-orang kafir tidak mempunyai kewajiban
haji dan umrah. Demikian pula orang yang murtad.
b) Baligh
Anak kecil tidak wajib haji dan umrah. Sebagaimana dikatakan oleh nabi
Muhammad SAW: yang artinya Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak kecil
sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila
sampai ia sembuh.
c) Berakal
Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak wajib haji.
d) Merdeka
Budak tidak wajib melakukan ibadah haji karena ia bertugas melakukan
kewajiban yang dibebankan oleh tuannya. Padahal menunaikan ibadah haji
memerlukan waktu. Disamping itu budak itu termasuk orang yang tidak mampu
dari segi biaya, waktu dan lain-lain.
e) Kemampuan (Isthithoah)
Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam hal kendaraan, bekal,
pengongkosan, dan keamanan di dalam perjalanan. Demikian pula kesehatan
badan tentu saja bagi mereka yang dekat dengan makkah dan tempat-tempat
sekitarnya yang bersangkut paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah
kendaraan tidak menjadi soal. Dengan berjalan kaki pun bias dilakukan.
Pengertian mampu, istithaah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali,
mencakup juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak
atau bahan bakar untuk kendaraan.
Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni Anar ra. Terdapat
percakapan sebagai berikut: yang artinya Rasulullah SAW ditanya: Apa yang
dimaksud jalan (as-sabil, mampu melakukan perjalanan) itu ya Rasulullah?
Beliau menjawab: Yaitu bekal dan kendaraan.
Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fat-Hul Qorib disebutkan: Dan
diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan prasarananya) hal mana
telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah (cukup) melebihi dari (untuk
membayar) hutangnya, dan dari (anggaran) pembiayaan orang-orang, dimana
biaya hidupnya menjadi tanggung jawab orang yang hendak pergi haji tersebut.
Selama masa keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah
airnya).
Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah tempat
tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari (biaya pengadaan)
seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah, dan budak disini, apabila
benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut).
2. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah
Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan / perbuatan-perbuatan
yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya
salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah. Adapun rukun-rukun haji
dan umrah itu adalah sebagai berikut:
Rukun Haji
1) Ihram
Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan memakai pakaian
ihram.
Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua helai kain putih yang tak terjahit dan
tidak bersambung semacam sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang
serta satu helai lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup
aurat. Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian yang
menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit) dengan muka dan
telapak tangan tetap terbuka.
2) Wukuf di Padang Arafah
Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (kea rah Barat) jatuh
pada hari ke-9 bulan dzulhijjah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan
kurban yakni tanggal 10 dzulhijjah.
3) Thawaf
Yang dimaksud dengan Thawaf adalah mengelilingi kabah sebayak tujuh kali,
dimulai dari tempat hajar aswad (batu hitam) tepat pada garis lantai yang
berwarna coklat, dengan posisi kabah berada di sebelah kiri dirinya (kebalikan
arah jarum jam).
Macam-macam Thawaf
a. Thawaf Qudum yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil
Haram dari negerinya.
b. Thawaf Tamattu yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari keutamaan
(thawaf sunnah)
c. Thawaf Wada yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan
Makkah menuju tempat tinggalnya.
d. Thawaf Ifadha yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di
Arafah. Thawaf Ifadha merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji.
4) Sai antara Shafa dan Marwah
Sai adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa dan berakhir
di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter.
Sai dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail yang
mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya, karena usaha
dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah memberinya nikmat berupa
mengalirnya mata air zam-zam.
5) Tahallul
Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya diharamkan
bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai dengan memotong rambut
kepala beberapa helai atau mencukurnya sampai habis (lebih afdol)
6) tertib
Berurutan
Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang membedakan adalah
dalam umrah tidak terdapat wukuf.
3. Wajib Haji dan Umrah
Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dikerjakan dalam
ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji dan umrah tetap sah
namun harus mambayar dam atau denda.
Adapun Wajib-wajib haji adalah
a. Ihram dari miqat
Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram itu dikenakan
dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai. Persoalan yang
membicarakan tentang kapan dan dimana ihram tersebut dikenakan disebut
miqat atau batas yaitu batas-batas peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.
Macam-macam miqat menurut Fah-hul Qarib
1.Miqat zamani (batas waktu) pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat
ibadah haji, adalah bulan Syawal, Dzulqadah dan 10 malam dari bulan dzilhijjah
(hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani) pada konteks
untuk niat melaksanakan Umrah maka sepanjang tahun itu, waktu untuk
melaksanakan ihram umrah.
2.Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat) untuk dimulainya niat
haji bagi hak orang yang bermukim (menetap) di negeri makkah, ialah kota
makkah itu sendiri. Baik orang itu penduduk asli makkah, atau orang
perantauan. Adapun bagi orang yang tidak menetap di negeri makkah, maka:
o Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-syarifah, maka miqatnya ialah
berada di (daerah) Dzul Halifah
o Orang yang (datang) dari arah negeri Syam (syiria), Mesir dan Maghribi, maka
miqatnya ialah di (daerah) Juhfah
o Orang yang (datang) dari arah Thihamatil Yaman, maka miqatnya berada di
daerah Yulamlam.
o Orang yang (datang) dari arah daerah dataran tinggi Hijaz dan daerah dataran
tinggi Yaman, maka miqatnya ialah berada di bukit Qaarn.
o Orang yang (datang) dari arah negeri Masyrik, maka miqatnya berada di desa
Dzatu Irq.
b. Melempar Jumrah
Wajib haji yang ketiga adalah melempar jumrah Aqabah, yang dilaksanakan
pada tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah bermalam di Mudzalifah. Jumrah sendiri
artinya bata kecil atau kerikil, yaitu kerikil yang dipergunakan untuk melempar
tugu yang ada di daerah Mina. Tugu yang ada di Mina itu ada tiga buah, yang
dikenal dengan nama jamratulAqabah, Al-Wustha, dan ash-Shughra (yang kecil).
Ketiga tugu ini menandai tepat berdirinya Ifrit (iblis) ketika menggoda nabi
Ibrahim sewaktu akan melaksanakan perintah menyembeliih putra tersayangnya
Ismail a.s. di jabal-qurban semata-mata karena mentaati perintah Allah SWT.
Di antara ketiga tugu tersebut maka tugu jumratul Aqabah atau sering juga
disebut sebagai jumratul-kubra adalah tugu yang terbesar dan terpenting yang
wajib untuk dilempari dengan tujuh buah kerikil pada tanggal 10 Dzulhijjah.
c. Mabit di Mudzalifah
Wajib haji yang kedua adalah bermalam (mabit) di mudzalifah pada malam
tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah menjalankan wuquf di Arafah.
d. Mabid di Mina
Wajib haji keempat adalah bermalam (mabid) di mina pada hari Tasyrik, yaitu
pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
e. Thawaf Wada
Thawaf Wada yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan
Makkah menuju tempat tinggalnya.
Sedangkan wajib umrah adalah sebagai berikut:
1. Ihram dari tempat yang telah ditentukan (miqat makani). Sedang miqat
zamaninya tidak ditentukan karena ibadah umrah dapat dikerjakan sepanjang
tahun.
2. Menjauhkan diri dari segala yang diharamkan bagi orang yang sedang
melaksanakan umrah atau haji.
E. Hal-Hal yang Membatalkan Haji
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 503 -- 504.
Ibadah haji bisa batal disebabkan oleh salah satu dari kedua hal berikut:
a. Jima, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah aqabah.
Adapun jima yang dilakukan pasca melontar jamrah aqabah dan sebelum
thawaf ifadhah, maka tidak dapat membatalkan ibadah haji, sekalipun yang
bersangkutan berdosa. Namun sebagian di antara mereka berpandapat bahwa
ibadah haji tidak bisa dianggap batal karena melakukan jima, sebab belum
didapati dalil yang menegaskan kesimpulan ini.
b. Meninggalkan salah satu rukun haji.
Manakala ibadah haji kita batal disebabkan oleh salah satu dari dua sebab ini,
maka pada tahun berikutnya masih diwajibkan menunaikan ibadah haji, bila
mampu.
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (1)
1. Sunnah-Sunnah Ihram:
a. Mandi ketika akan memulai ihram, berdasarkan hadits dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia
pernah melihat Nabi saw. melepaskan pakaiannya dan mandi untuk memulai ihram. (Shahih
Tirmidzi ni:664 dan Tirmidzi II:163 no:931)
b. Memakai wangi-wangian di badannya sebelum memulai berihram.
Dari Aisyah r.a. berkata, Saya pernah memakaikan wangi-wangian pada Rasulullah saw.
untuk berihram ketika akan memulai ihram, dan untuk tahalullnya sebelum melakukan
thawaf [ifadah, peng] di Baitullah. (Nyttafaqun alaih: Fathul Bari III: 396 no:1539, Muslim
II: 864 no:33 dan 1189, Tirmidzi II:199 no:920 dengan tambahan, Aunul Mabud V:169
no:1729, NasaI V:137 dan Ibnu Majah II:976 no:2926).
c. Mengenakan kain panjang dan selendang yang berwarna putih untuk berihram.
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Nabi saw. berangkat dari Madinah setelah menyisir rambutnya
dan mengenakan wangi-wangian, kemudian berkain panjang dan berselendang. Demikian itu
(juga) yang diperbuat oleh para sahabatnya. (Shahih: Fathul Bari III: 405 no:1545).
Adapun dianjurkannya berwarna putih, didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, Kenakanlah pakaianmu yang berwarna putih, karena
sesungguhnya ia adalah sebaik-baik pakaianmu; dan kafanilah mayat-mayatmu dengannya!
(Shahih: Shahihul Jami no:3236, al-Janaiz hal.62, Tirmidzi II:232 no:999, dan Aunul
Mabud X:362 no:3860).
d. Shalat di Wadi (lembah) Aqiq bagi jamaah yang lewat di sana berdasarkan hadits
Umar. Dari Umar r.a.berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di Wadi
Aqiq, Tadi malam aku didatangi utusan dari Robba (yaitu malaikat Jibril), lalu ia berkata,
Shalatlah kamu di Wadi yang penuh barakah ini dan lakukanlah umrah dalam haji! (Shahih:
Shahihul Ibnu Majah no:2410, FAthul Bari III: 392 no:534, Aunul Mabud V:232 no:1783,
dan Ibnu Majah II:991 no:2976).
e. Mengeraskan suara ketika membaca talbiyah.
Dari as-Saib bin Khallad r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Saya didatangi malaikat
Jibril, lalu ia memerintahku agar saya menyuruh para sahabatku mengeraskan suaranya ketika
mengucapkan ihlal (ihlal ialah kalimat ikrar atau niat hendak menunaikan haji atau umrah,
pent.) atau talbiyah. (Shahih: Shahihul Tirmidzi no:663, Tirmidzi II:163 no:830, dan Aunul
Mabud V:260 no:1197, Ibnu Majah II:975 no:2922 dan NasaI V:162).
Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah saw. mengeraskan suara ketika mengucapkan ihlal
atau talbiyah sekeras-kerasnya.
Abu Hazim berkata, Adalah para sahabat Rasulullah saw. apabila memulai berihram,
mereka tidak sampai ke Rauha sebelum parau suaranya (Shahihul isnad: Diriwayatkan
Said bin Manshur dengan sanad janya sebagaimana yang termaktub dalam al-Muhalla
VII:94 dan Ibnu Ah-Syaibah dengan sanad shahih dari al-Mutthalib bin Abdullah
sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul Bari III:324 secara mursal. Selesai, dinukil dari
Manasikul al-Albaniu hal.17).
f. Membaca tahmid, tasbih, dan takbir sebelum memulai ihram.
Dari Anas r.a. berkata, Rasulullah saw. shalat bersama kami zhukur empat rakaat di
Madinah dan ashar dua rakaat di Dzilhulaifah, kemudian beliau bermalam di sana hingga
pagi, kemudian Beliau berangkat naik (antaranya), hingga tiba di Baida, lalu Beliau
membaca tahmid, tasbih dan takbir, kemudian Beliau berihlal untuk haji dan umrah.
(Shahihul: Shahih Abu Daud no:1558, Fathul Bari III:441 no:1551 dan Aunul Mabud
V:223 no:1779 semana)
g. Berihlah (Ucapan ketika hendak Haji atau umrah).
Dari Nafi r.a. berkata, Adalah Ibnu Umar r.a. apabila usai shalat shubuh di Dzihulaifah,
beliau menyuruh (sahabatnya) mempersiapkan untanya, terus disediakan untuk bepergian,
kemudian menaikinya. Manakala kendaraannya telah siap berangkat dengan beliau,
beliaupun menghadap ke arah kiblat sambil berdiri di atas untanya. Kemudian beliau
mengucapkan talbiyah Dia menyangka, bahwa Rasulullah saw mengerjakan (juga seperti)
itu (Shahih: Fathul Bari III: 412 no:1553).
Dimensi Sosial Ibadah Haji
Kita merasa bahagia dan bersyukur bahwa kaum Muslim Indonesia yang berziarah ke Tanah
Suci semakin meningkat. Peningkatan yang cukup menggembirakan itu tentunya harus
diiringi dengan suatu upaya penggalian terhadap makna dan relevansi ziarah tersebut secara
lebih substansial. Pada hakikatnya ibadah haji bukan merupakan serangkaian ritual semata,
lebih dari itu, yaitu napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim, Hajar
dan Nabi Ismail.
Peristiwa yang mereka jalani amat historis, sebab itu banyak memberikan pelajaran.
Haji merupakan ibadah yang amat penting. Ibadah ini, oleh para ulama, ditempatkan
sebagai rukun Islam yang ke lima. Haji merupakan rutinitas ritual yang dapat
mengantarkan pelakunya menjadi manusia yang bersih. Rasulullah bersabda, "Siapa
yang melakukan haji tidak melakukan rafats, dan tidak berbuat fasik ia kembali
sebagai hari pada ia dilahirkan oleh ibunya."
Mencari makna
Secara general dapat dipahami, setiap pelaksana ibadah haji bertujuan untuk
memperoleh haji mabrur. Tujuan itu bukannya tanpa alasan, terkait dengan hal ini,
Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik amal ialah; iman kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur." Hadis ini mendapat penguatan
dari teks hadis lain, "Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah
dan wanita ialah haji mabrur." Indikator haji mabrur tidak mesti diukur dari bingkai
penampilan fisikal saja. Tapi, ritualisme tersebut terangkai melalui komitmen yang
kuat dan solidaritas sosial yang tinggi. Ibadah haji bisa dinilai baik dan dikatakan
mabrur bila secara sosial pelaksananya memberikan manfaat kepada orang-orang
yang ada di sekitarnya.
Dalam sebuah hadis ditegaskan, "tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali
surga. " Dengan kata lain surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya
mabrur. Hadis ini mengajak kita membuat satu renungan fundamental. Dari sini,
timbul pertanyaan lebih lanjut, "Mengapa haji mabrur balasannya surga?" Secara
semantis, yaitu dengan memahami makna haji mabrur itu sendiri, kata "mabrur"
berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik.
Kalau kita lihat akar katanya, kata "mabrur" berasal dari kata "barra", yang berarti
berbuat baik atau patuh. Dari kata barra ini kita bisa mendapatkan kata "birr-un, al-
birru-u" yang artinya kebaikan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan
mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah.
Dalam terminologi yang lebih luas, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan
kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberi kebaikan kepada orang
lain. Jika definisi itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak
mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan
kepada orang lain.
Jika dipahami secara seksama, kata mabrur memiliki dua makna sekaligus, yaitu
menjadi baik dan memberikan kebaikan. Makna itu menegaskan bahwa pelaksana
ibadah haji adalah orang yang akan menjadi baik sekaligus selalu memberikan
kebaikan kepada orang lain. Dalam hal apakah kebaikan itu harus diwujudkan? Allah
berfirman, "Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna, sebelum kamu
mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai." (QS. Ali-Imran/3: 9).
Ayat ini didukung pula oleh firman Allah yang lain, "Bukanlah menghadapkan wajah
kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, para Nabi, dan memberikan harta yang dicintainya." (QS. Al-Baqarah/ 2:
177). Dua ayat tersebut menjelaskan substansi kebaikan (birr). Hal itu dapat terwujud
dengan memberikan harta yang dicintainya kepada orang lain. Karena kata mabrur
seakar dengan kata "birr", sebagaimana disebutkan pada dua ayat itu, maka haji
mabrur adalah haji yang pelakunya selalu berbagi kepada orang lain.
Dimensi sosial
Cerita:
Ada cerita menarik di kalangan para sufi tentang haji mabrur ini. Dikisahkan
sepasang suami istri berniat kuat menunaikan ibadah haji. Dengan susah payah
pasangan ini mengumpulkan bekal. Karena waktu itu haji melalui jalan darat dan
jarak yang harus ditempuh adalah ribuan kilometer, mereka juga harus membawa
bekal yang banyak agar tidak kekurangan. Di tengah perjalanan, mereka memasuki
kampung yang kehidupan penduduknya sangat miskin dan dilanda kelaparan.
Kondisi kampung yang menyedihkan itu menyentuh hati suami istri tersebut. Benak
mereka dipenuhi dengan keragu-raguan. Akan tegakah mereka membiarkan orang-
orang ini mati kelaparan, sedangkan di tangan mereka berdua ada bekal, meskipun
untuk perjalanan haji yang sudah amat lama mereka idam-idamkan.
Dalam suasana terenyuh ini terpikir oleh mereka untuk memberikan saja bekal haji
yang sedang mereka bawa. Lalu mereka pulang. Sampai di rumah ternyata mereka
disambut oleh seseorang yang pakaiannya putih bersih. Orang yang belum mereka
kenal ini mengucapkan selamat bahwa mereka berdua telah diberkati Allah
mendapatkan haji mabrur. Tentu saja pasangan ini menyangkal, karena mereka
merasa tidak menunaikan ibadah haji. Namun orang yang tidak dikenal itu tetap
mengucapkan kata selamat kepada pasangan suami istri tersebut atas kemabruran
haji mereka.
Dalam tradisi sufistik, cerita-cerita semacam itu bisa didramatisir sehingga tidak perlu
diuji kebenarannya. Yang penting bagi kita adalah menangkap filosofi yang
terkandung. Jika ditafsirkan secara moderat, cerita itu memberikan kesan bahwa kita
dipersilahkan menunaikan ibadah haji sebanyak yang kita mau. Hanya saja, rutinitas
itu harus diikuti kepedulian sosial yang kita berikan kepada orang lain. Artinya,
ibadah haji harus kita wujudkan ke ruang publik dan kita letakkan dalam konteks
sosio kultural yang dinamis.
Memang ibadah haji merupakan serentetan ritual yang tata cara pelaksanaannya
sudah ditentukan secara baku. Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih dalam, ibadah
haji memberikan pesan moral yang begitu luas. Pertemuan tahunan haji
mengisyaratkan bahwa mereka adalah bersaudara walaupun mereka dipisahkan
bahasa, bangsa, dan letak geografis yang berjauhan. Kaum Muslim tidak sendirian,
mereka mempunyai saudara yang amat banyak. Mereka ibarat satu tubuh yang
menguatkan. Mereka harus saling mempedulikan nasib saudara mereka.
Selain itu, jika pelaksana haji melanggar sebuah larangan, maka mereka harus
membayar dam (denda). Membayar dam termasuk rangkaian ritual yang
berkonsekuensi logis pada tindakan sosial. Sesudah mereka tiba di kampung
halaman masing-masing, para hujjaj harus mewujudkan nilai-nilai haji itu di tengah-
tengah masyarakat. Jika keadaan ini merupakan concern yang signifikan di dalam
mind set (pola pikir), maka predikat haji mabrur secara otomatis sudah disandang.
Haji mabrur tidak hanya menjadikan pelakunya sebagai orang yang baik dari waktu
ke waktu, tapi juga komitmen yang tak pernah henti untuk memperhatikan nasib
saudara-saudaranya. Itulah sesungguhnya dimensi terdalam haji mabrur. Wa Allahu
Alam.
KESIMPULAN
o Haji berarti bersengaja mendatangi Baitullah (kabah) untuk melakukan
beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada
waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara, semata-
mata mencari ridho Allah.
o Umrah ialah menziarahi kabah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersayu
antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut
o Ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji.
Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT.
o Dasar Hukum Perintah Haji atau umrah terdapat dalam QS. Ali- Imran 97
o Untuk dapat menjalankan ibadah haji dan umrah harus memenuhi syarat,
rukun dan wajib haji atau umroh.
o Hal-Hal yang Membatalkan Haji adalah Jima, senggama, bila dilakukan
sebelum melontar jamrah aqabah dan meninggalkan salah satu rukun haji.

You might also like