Tags: Definisi Haji, Haji, Latar Belakang Haji, Nabi Ibrahim, Umrah Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan umat Islam sedunia yang mampu (secara material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, bermalam di Muzdalifah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini. Definisi Secara lughawi (bahasa), haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi di atas, selain Kabah dan Masa(tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sai, wukuf, mabit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain. Latar Belakang Ibadah haji Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sai, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi- segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara (syariat), sebagaimana yang diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama Nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum Nabi Ibarahim. Ritual sai, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah tinggi di sekitar Kabah yang sekarang sudah menjadi satu dengan Masjidil Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri Nabi Ibrahim bernama Siti Hajar ketika mencari air untuk anaknya, Nabi Ismail. Haji (Bahasa Arab:
; transliterasi: Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima
setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini. Definisi Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain. [2] Latar belakang ibadah haji Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia. Jenis ibadah haji Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut. Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar. [3][1] Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud. [1] Haji ifrad , berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah. Haji tamattu' , mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal. Haji qiran , mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i. Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji berdasarkan urutan waktu: Sebelum 8 Zulhijah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah. 8 Zulhijah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Zulhijah, semua umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina. 9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah. 10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha). 11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga. 12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga. Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan Thawaf Wada' (thawaf perpisahan). B. PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah al- qashdu atau menyengaja. Sedangkan arti haji dilihat dari segi istilah (terminology) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (kabah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara, semata- mata mencari ridho Allah. Adapun umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Sedangkan menurut syara umrah ialah menziarahi kabah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersayu antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut. C. Tujuan Haji dan Umrah Al-baqarah 189 # {# ( _ %} % 9 , 9 # 3 }, 9 9 , 9 # / (# ? 1 ? 6 , 9 # 3 9 9 , 9 # 4 + ?# 3 (# ? 1 & 7 , 9 # ( / _ / & 4 (#) ?# !# _ 6 9 , ? 189. mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Ali-imron 97 1 7 # / ) _ / ) ( &# % . # 3 ! ? 9# , 7 , 9 # ' # , 9 ) 6 4 . 1 !# ; ] , 9 # 97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji. Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT. Ketika menjalankan ibadah haji, semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dengan beraneka ragam perbedaan berkumpul menjadi satu untuk mengagungkan kebesaran Allah SWT, menyaksikan tempat dimana ayat-ayat suci turun, tempat para nabi yang siddiq dan orang-orang yang saleh pernah berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun. D. Dasar Hukum Perintah Haji dan Umrah Ali-imron 97 ! ? 9# , 7 , 9 # ' # , 9 ) 6 4 . 1 !# ; ] , 9 # 97. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Ayat di atas merupakan dalil naqli dari diwajibkannya ibadah haji bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Haji hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan sebutan haji wada pada tahun ke-10 hijriah. D. Syarat, Rukun dan Wajib Haji dan Umrah 1. Syarat-Syarat Melakukan Haji Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah: a) Islam b) Baligh c) Berakal d) Orang Merdeka e) Mampu (Istithaah) a)Islam Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu orang-orang kafir tidak mempunyai kewajiban haji dan umrah. Demikian pula orang yang murtad. b) Baligh Anak kecil tidak wajib haji dan umrah. Sebagaimana dikatakan oleh nabi Muhammad SAW: yang artinya Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak kecil sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila sampai ia sembuh. c) Berakal Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak wajib haji. d) Merdeka Budak tidak wajib melakukan ibadah haji karena ia bertugas melakukan kewajiban yang dibebankan oleh tuannya. Padahal menunaikan ibadah haji memerlukan waktu. Disamping itu budak itu termasuk orang yang tidak mampu dari segi biaya, waktu dan lain-lain. e) Kemampuan (Isthithoah) Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam hal kendaraan, bekal, pengongkosan, dan keamanan di dalam perjalanan. Demikian pula kesehatan badan tentu saja bagi mereka yang dekat dengan makkah dan tempat-tempat sekitarnya yang bersangkut paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah kendaraan tidak menjadi soal. Dengan berjalan kaki pun bias dilakukan. Pengertian mampu, istithaah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali, mencakup juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak atau bahan bakar untuk kendaraan. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni Anar ra. Terdapat percakapan sebagai berikut: yang artinya Rasulullah SAW ditanya: Apa yang dimaksud jalan (as-sabil, mampu melakukan perjalanan) itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: Yaitu bekal dan kendaraan. Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fat-Hul Qorib disebutkan: Dan diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan prasarananya) hal mana telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah (cukup) melebihi dari (untuk membayar) hutangnya, dan dari (anggaran) pembiayaan orang-orang, dimana biaya hidupnya menjadi tanggung jawab orang yang hendak pergi haji tersebut. Selama masa keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah airnya). Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari (biaya pengadaan) seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah, dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut). 2. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan / perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah. Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut: Rukun Haji 1) Ihram Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan memakai pakaian ihram. Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua helai kain putih yang tak terjahit dan tidak bersambung semacam sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang serta satu helai lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup aurat. Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian yang menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit) dengan muka dan telapak tangan tetap terbuka. 2) Wukuf di Padang Arafah Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (kea rah Barat) jatuh pada hari ke-9 bulan dzulhijjah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 dzulhijjah. 3) Thawaf Yang dimaksud dengan Thawaf adalah mengelilingi kabah sebayak tujuh kali, dimulai dari tempat hajar aswad (batu hitam) tepat pada garis lantai yang berwarna coklat, dengan posisi kabah berada di sebelah kiri dirinya (kebalikan arah jarum jam). Macam-macam Thawaf a. Thawaf Qudum yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil Haram dari negerinya. b. Thawaf Tamattu yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari keutamaan (thawaf sunnah) c. Thawaf Wada yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya. d. Thawaf Ifadha yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadha merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji. 4) Sai antara Shafa dan Marwah Sai adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter. Sai dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail yang mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya, karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam. 5) Tahallul Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya sampai habis (lebih afdol) 6) tertib Berurutan Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf. 3. Wajib Haji dan Umrah Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji dan umrah tetap sah namun harus mambayar dam atau denda. Adapun Wajib-wajib haji adalah a. Ihram dari miqat Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai. Persoalan yang membicarakan tentang kapan dan dimana ihram tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah. Macam-macam miqat menurut Fah-hul Qarib 1.Miqat zamani (batas waktu) pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat ibadah haji, adalah bulan Syawal, Dzulqadah dan 10 malam dari bulan dzilhijjah (hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani) pada konteks untuk niat melaksanakan Umrah maka sepanjang tahun itu, waktu untuk melaksanakan ihram umrah. 2.Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat) untuk dimulainya niat haji bagi hak orang yang bermukim (menetap) di negeri makkah, ialah kota makkah itu sendiri. Baik orang itu penduduk asli makkah, atau orang perantauan. Adapun bagi orang yang tidak menetap di negeri makkah, maka: o Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-syarifah, maka miqatnya ialah berada di (daerah) Dzul Halifah o Orang yang (datang) dari arah negeri Syam (syiria), Mesir dan Maghribi, maka miqatnya ialah di (daerah) Juhfah o Orang yang (datang) dari arah Thihamatil Yaman, maka miqatnya berada di daerah Yulamlam. o Orang yang (datang) dari arah daerah dataran tinggi Hijaz dan daerah dataran tinggi Yaman, maka miqatnya ialah berada di bukit Qaarn. o Orang yang (datang) dari arah negeri Masyrik, maka miqatnya berada di desa Dzatu Irq. b. Melempar Jumrah Wajib haji yang ketiga adalah melempar jumrah Aqabah, yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah bermalam di Mudzalifah. Jumrah sendiri artinya bata kecil atau kerikil, yaitu kerikil yang dipergunakan untuk melempar tugu yang ada di daerah Mina. Tugu yang ada di Mina itu ada tiga buah, yang dikenal dengan nama jamratulAqabah, Al-Wustha, dan ash-Shughra (yang kecil). Ketiga tugu ini menandai tepat berdirinya Ifrit (iblis) ketika menggoda nabi Ibrahim sewaktu akan melaksanakan perintah menyembeliih putra tersayangnya Ismail a.s. di jabal-qurban semata-mata karena mentaati perintah Allah SWT. Di antara ketiga tugu tersebut maka tugu jumratul Aqabah atau sering juga disebut sebagai jumratul-kubra adalah tugu yang terbesar dan terpenting yang wajib untuk dilempari dengan tujuh buah kerikil pada tanggal 10 Dzulhijjah. c. Mabit di Mudzalifah Wajib haji yang kedua adalah bermalam (mabit) di mudzalifah pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah menjalankan wuquf di Arafah. d. Mabid di Mina Wajib haji keempat adalah bermalam (mabid) di mina pada hari Tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. e. Thawaf Wada Thawaf Wada yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya. Sedangkan wajib umrah adalah sebagai berikut: 1. Ihram dari tempat yang telah ditentukan (miqat makani). Sedang miqat zamaninya tidak ditentukan karena ibadah umrah dapat dikerjakan sepanjang tahun. 2. Menjauhkan diri dari segala yang diharamkan bagi orang yang sedang melaksanakan umrah atau haji. E. Hal-Hal yang Membatalkan Haji Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 503 -- 504. Ibadah haji bisa batal disebabkan oleh salah satu dari kedua hal berikut: a. Jima, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah aqabah. Adapun jima yang dilakukan pasca melontar jamrah aqabah dan sebelum thawaf ifadhah, maka tidak dapat membatalkan ibadah haji, sekalipun yang bersangkutan berdosa. Namun sebagian di antara mereka berpandapat bahwa ibadah haji tidak bisa dianggap batal karena melakukan jima, sebab belum didapati dalil yang menegaskan kesimpulan ini. b. Meninggalkan salah satu rukun haji. Manakala ibadah haji kita batal disebabkan oleh salah satu dari dua sebab ini, maka pada tahun berikutnya masih diwajibkan menunaikan ibadah haji, bila mampu. Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (1) 1. Sunnah-Sunnah Ihram: a. Mandi ketika akan memulai ihram, berdasarkan hadits dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia pernah melihat Nabi saw. melepaskan pakaiannya dan mandi untuk memulai ihram. (Shahih Tirmidzi ni:664 dan Tirmidzi II:163 no:931) b. Memakai wangi-wangian di badannya sebelum memulai berihram. Dari Aisyah r.a. berkata, Saya pernah memakaikan wangi-wangian pada Rasulullah saw. untuk berihram ketika akan memulai ihram, dan untuk tahalullnya sebelum melakukan thawaf [ifadah, peng] di Baitullah. (Nyttafaqun alaih: Fathul Bari III: 396 no:1539, Muslim II: 864 no:33 dan 1189, Tirmidzi II:199 no:920 dengan tambahan, Aunul Mabud V:169 no:1729, NasaI V:137 dan Ibnu Majah II:976 no:2926). c. Mengenakan kain panjang dan selendang yang berwarna putih untuk berihram. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Nabi saw. berangkat dari Madinah setelah menyisir rambutnya dan mengenakan wangi-wangian, kemudian berkain panjang dan berselendang. Demikian itu (juga) yang diperbuat oleh para sahabatnya. (Shahih: Fathul Bari III: 405 no:1545). Adapun dianjurkannya berwarna putih, didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Kenakanlah pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya ia adalah sebaik-baik pakaianmu; dan kafanilah mayat-mayatmu dengannya! (Shahih: Shahihul Jami no:3236, al-Janaiz hal.62, Tirmidzi II:232 no:999, dan Aunul Mabud X:362 no:3860). d. Shalat di Wadi (lembah) Aqiq bagi jamaah yang lewat di sana berdasarkan hadits Umar. Dari Umar r.a.berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di Wadi Aqiq, Tadi malam aku didatangi utusan dari Robba (yaitu malaikat Jibril), lalu ia berkata, Shalatlah kamu di Wadi yang penuh barakah ini dan lakukanlah umrah dalam haji! (Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:2410, FAthul Bari III: 392 no:534, Aunul Mabud V:232 no:1783, dan Ibnu Majah II:991 no:2976). e. Mengeraskan suara ketika membaca talbiyah. Dari as-Saib bin Khallad r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Saya didatangi malaikat Jibril, lalu ia memerintahku agar saya menyuruh para sahabatku mengeraskan suaranya ketika mengucapkan ihlal (ihlal ialah kalimat ikrar atau niat hendak menunaikan haji atau umrah, pent.) atau talbiyah. (Shahih: Shahihul Tirmidzi no:663, Tirmidzi II:163 no:830, dan Aunul Mabud V:260 no:1197, Ibnu Majah II:975 no:2922 dan NasaI V:162). Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah saw. mengeraskan suara ketika mengucapkan ihlal atau talbiyah sekeras-kerasnya. Abu Hazim berkata, Adalah para sahabat Rasulullah saw. apabila memulai berihram, mereka tidak sampai ke Rauha sebelum parau suaranya (Shahihul isnad: Diriwayatkan Said bin Manshur dengan sanad janya sebagaimana yang termaktub dalam al-Muhalla VII:94 dan Ibnu Ah-Syaibah dengan sanad shahih dari al-Mutthalib bin Abdullah sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul Bari III:324 secara mursal. Selesai, dinukil dari Manasikul al-Albaniu hal.17). f. Membaca tahmid, tasbih, dan takbir sebelum memulai ihram. Dari Anas r.a. berkata, Rasulullah saw. shalat bersama kami zhukur empat rakaat di Madinah dan ashar dua rakaat di Dzilhulaifah, kemudian beliau bermalam di sana hingga pagi, kemudian Beliau berangkat naik (antaranya), hingga tiba di Baida, lalu Beliau membaca tahmid, tasbih dan takbir, kemudian Beliau berihlal untuk haji dan umrah. (Shahihul: Shahih Abu Daud no:1558, Fathul Bari III:441 no:1551 dan Aunul Mabud V:223 no:1779 semana) g. Berihlah (Ucapan ketika hendak Haji atau umrah). Dari Nafi r.a. berkata, Adalah Ibnu Umar r.a. apabila usai shalat shubuh di Dzihulaifah, beliau menyuruh (sahabatnya) mempersiapkan untanya, terus disediakan untuk bepergian, kemudian menaikinya. Manakala kendaraannya telah siap berangkat dengan beliau, beliaupun menghadap ke arah kiblat sambil berdiri di atas untanya. Kemudian beliau mengucapkan talbiyah Dia menyangka, bahwa Rasulullah saw mengerjakan (juga seperti) itu (Shahih: Fathul Bari III: 412 no:1553). Dimensi Sosial Ibadah Haji Kita merasa bahagia dan bersyukur bahwa kaum Muslim Indonesia yang berziarah ke Tanah Suci semakin meningkat. Peningkatan yang cukup menggembirakan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian terhadap makna dan relevansi ziarah tersebut secara lebih substansial. Pada hakikatnya ibadah haji bukan merupakan serangkaian ritual semata, lebih dari itu, yaitu napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim, Hajar dan Nabi Ismail. Peristiwa yang mereka jalani amat historis, sebab itu banyak memberikan pelajaran. Haji merupakan ibadah yang amat penting. Ibadah ini, oleh para ulama, ditempatkan sebagai rukun Islam yang ke lima. Haji merupakan rutinitas ritual yang dapat mengantarkan pelakunya menjadi manusia yang bersih. Rasulullah bersabda, "Siapa yang melakukan haji tidak melakukan rafats, dan tidak berbuat fasik ia kembali sebagai hari pada ia dilahirkan oleh ibunya." Mencari makna Secara general dapat dipahami, setiap pelaksana ibadah haji bertujuan untuk memperoleh haji mabrur. Tujuan itu bukannya tanpa alasan, terkait dengan hal ini, Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik amal ialah; iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur." Hadis ini mendapat penguatan dari teks hadis lain, "Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah dan wanita ialah haji mabrur." Indikator haji mabrur tidak mesti diukur dari bingkai penampilan fisikal saja. Tapi, ritualisme tersebut terangkai melalui komitmen yang kuat dan solidaritas sosial yang tinggi. Ibadah haji bisa dinilai baik dan dikatakan mabrur bila secara sosial pelaksananya memberikan manfaat kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam sebuah hadis ditegaskan, "tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga. " Dengan kata lain surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya mabrur. Hadis ini mengajak kita membuat satu renungan fundamental. Dari sini, timbul pertanyaan lebih lanjut, "Mengapa haji mabrur balasannya surga?" Secara semantis, yaitu dengan memahami makna haji mabrur itu sendiri, kata "mabrur" berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kalau kita lihat akar katanya, kata "mabrur" berasal dari kata "barra", yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata barra ini kita bisa mendapatkan kata "birr-un, al- birru-u" yang artinya kebaikan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah. Dalam terminologi yang lebih luas, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberi kebaikan kepada orang lain. Jika definisi itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan kepada orang lain. Jika dipahami secara seksama, kata mabrur memiliki dua makna sekaligus, yaitu menjadi baik dan memberikan kebaikan. Makna itu menegaskan bahwa pelaksana ibadah haji adalah orang yang akan menjadi baik sekaligus selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Dalam hal apakah kebaikan itu harus diwujudkan? Allah berfirman, "Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai." (QS. Ali-Imran/3: 9). Ayat ini didukung pula oleh firman Allah yang lain, "Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab- kitab, para Nabi, dan memberikan harta yang dicintainya." (QS. Al-Baqarah/ 2: 177). Dua ayat tersebut menjelaskan substansi kebaikan (birr). Hal itu dapat terwujud dengan memberikan harta yang dicintainya kepada orang lain. Karena kata mabrur seakar dengan kata "birr", sebagaimana disebutkan pada dua ayat itu, maka haji mabrur adalah haji yang pelakunya selalu berbagi kepada orang lain. Dimensi sosial Cerita: Ada cerita menarik di kalangan para sufi tentang haji mabrur ini. Dikisahkan sepasang suami istri berniat kuat menunaikan ibadah haji. Dengan susah payah pasangan ini mengumpulkan bekal. Karena waktu itu haji melalui jalan darat dan jarak yang harus ditempuh adalah ribuan kilometer, mereka juga harus membawa bekal yang banyak agar tidak kekurangan. Di tengah perjalanan, mereka memasuki kampung yang kehidupan penduduknya sangat miskin dan dilanda kelaparan. Kondisi kampung yang menyedihkan itu menyentuh hati suami istri tersebut. Benak mereka dipenuhi dengan keragu-raguan. Akan tegakah mereka membiarkan orang- orang ini mati kelaparan, sedangkan di tangan mereka berdua ada bekal, meskipun untuk perjalanan haji yang sudah amat lama mereka idam-idamkan. Dalam suasana terenyuh ini terpikir oleh mereka untuk memberikan saja bekal haji yang sedang mereka bawa. Lalu mereka pulang. Sampai di rumah ternyata mereka disambut oleh seseorang yang pakaiannya putih bersih. Orang yang belum mereka kenal ini mengucapkan selamat bahwa mereka berdua telah diberkati Allah mendapatkan haji mabrur. Tentu saja pasangan ini menyangkal, karena mereka merasa tidak menunaikan ibadah haji. Namun orang yang tidak dikenal itu tetap mengucapkan kata selamat kepada pasangan suami istri tersebut atas kemabruran haji mereka. Dalam tradisi sufistik, cerita-cerita semacam itu bisa didramatisir sehingga tidak perlu diuji kebenarannya. Yang penting bagi kita adalah menangkap filosofi yang terkandung. Jika ditafsirkan secara moderat, cerita itu memberikan kesan bahwa kita dipersilahkan menunaikan ibadah haji sebanyak yang kita mau. Hanya saja, rutinitas itu harus diikuti kepedulian sosial yang kita berikan kepada orang lain. Artinya, ibadah haji harus kita wujudkan ke ruang publik dan kita letakkan dalam konteks sosio kultural yang dinamis. Memang ibadah haji merupakan serentetan ritual yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan secara baku. Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih dalam, ibadah haji memberikan pesan moral yang begitu luas. Pertemuan tahunan haji mengisyaratkan bahwa mereka adalah bersaudara walaupun mereka dipisahkan bahasa, bangsa, dan letak geografis yang berjauhan. Kaum Muslim tidak sendirian, mereka mempunyai saudara yang amat banyak. Mereka ibarat satu tubuh yang menguatkan. Mereka harus saling mempedulikan nasib saudara mereka. Selain itu, jika pelaksana haji melanggar sebuah larangan, maka mereka harus membayar dam (denda). Membayar dam termasuk rangkaian ritual yang berkonsekuensi logis pada tindakan sosial. Sesudah mereka tiba di kampung halaman masing-masing, para hujjaj harus mewujudkan nilai-nilai haji itu di tengah- tengah masyarakat. Jika keadaan ini merupakan concern yang signifikan di dalam mind set (pola pikir), maka predikat haji mabrur secara otomatis sudah disandang. Haji mabrur tidak hanya menjadikan pelakunya sebagai orang yang baik dari waktu ke waktu, tapi juga komitmen yang tak pernah henti untuk memperhatikan nasib saudara-saudaranya. Itulah sesungguhnya dimensi terdalam haji mabrur. Wa Allahu Alam. KESIMPULAN o Haji berarti bersengaja mendatangi Baitullah (kabah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara, semata- mata mencari ridho Allah. o Umrah ialah menziarahi kabah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersayu antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut o Ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji. Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT. o Dasar Hukum Perintah Haji atau umrah terdapat dalam QS. Ali- Imran 97 o Untuk dapat menjalankan ibadah haji dan umrah harus memenuhi syarat, rukun dan wajib haji atau umroh. o Hal-Hal yang Membatalkan Haji adalah Jima, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah aqabah dan meninggalkan salah satu rukun haji.