You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan penyebab yang sering bagi morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Kecelakaan di jalan raya masih bertanggung jawab bagi lebih dari setengah cedera ini dan merupakan penyebab utama kematian pada pasien di bawah usia 45 tahun. Lebih dari 70% pasien yang terlibat dalam kecelakaan tersebut menderita trauma pada kepala.1,2 Data korban kecelakaan di Indonesia pada tahun 1997 tercatat sekitar 34.000 orang, pada tahun 1999 korban kecelakaan sekitar 47.000 orang. Jika pada tahun 1997 korban yang meninggal mencapai 12.500 orang, di tahun 1999-2002 mencapai 10.000-15.000 orang setiap tahunnya.9 Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.2 Mandibula cenderung mengalami fraktur saat terjadi cedera karena posisinya yang menonjol. Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup/ konservatif dan terbuka/ pembedahan. Pada tehnik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat.12

BAB II ISI

2.1 ANAMNESIS Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki adanya keluhan atau kelainan di bawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut 3 : a. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Di mana lokasinya? Apakah progesif, makin lama makin berat atau makin sering? b. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? c. Vertigo : Pernahkan anda merasakan seolah sekeliling ada bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus? d. Gangguan penglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (ganda)? e. Pendengaran f. Saraf otak lainnya : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus? : Adakah ganguan pada penciuman, pengecapan, salivasi, lakrimasi, dan perasaan di wajah? Apakah bicara jadi cadel? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng atau jadi mengecil? Apakah sulit menelan? g. Fungsi luhur : bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anada menjadi sukar

mengemukakan isi pikiran anda atau memahami pembicaraan orang lain? h. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi sekitar anda? Pernahkah anda merasa lemah dan seperti mau pingsan? i. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah atau lumpuh? Adakah gerakan anda pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan? j. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas. Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Di mana tempatnya? Apakah rasa tersebut menjalar? h. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil, buang air besar? Adakah retensio atau inkontinensia urin atau alvi? Pada penderita dengan kesadaran menurun atau koma harus dilakukan pemeriksaan yang sistematis. Hal ini akan menghemat waktu dan menghindari kesalahan dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu. Pada anamnesis, harus ditanyakan kepada orang yang mengetahui (allo-anamnesis) apakah ada 3: a. trauma kepala b. gangguan konvulsif (kejang), epilepsi c. diabetes mellitus, pengobatan dengan obat hipoglikemi, insulin d. penyakit ginjal, hati, jantung, paru e. perubahan mengenai suasana hati dan tingkah laku, pikiran, depresi f. penggunaan obat atau penyalahgunaan zat g. gejala kelumpuhan

2.2 PEMERIKSAAN 2.2.1 Pemeriksaan Fisik Manajemen pada individu pasien dengan cedera kepala, dan formulasi dari guidelines bersadarkan pada level kesadaran pasien.10 2.2.1.1 Penilaian kesadaran Bila kesadaran ditinjau secara mendalam, maka kesadaran ternyata mempunyai dua segi, yaitu segi derajat dan segi kualitas kesadaran. Kewaspadaan seseorang menunjuk pada derajat kesadaran. Nilai dari apa yang diucapkan, dikerjakan, dan dipikirkan merujuk kepada kualitas kesadaran. Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls eferen.6 Glasgow Coma Scale menyediakan kerangka kerja untuk menggambarkan keadaan pasien dalam tiga aspek tanggap: membuka mata, respon verbal, dan respon motorik, masingmasing bertingkat sesuai untuk meningkatkan penurunan nilai. Dalam uraian pertama skala untuk penggunaan umum, respon motorik hanya memiliki lima pilihan, dengan tidak ada pembatasan antara normal dan abnormal fleksi. Perbedaan antara gerakan-gerakan ini bisa sulit untuk membuat suatu penetapan dan jarang berguna dalam memantau pasien individu, namun harus relevan dengan prognosis. Glasgow Coma Score adalah suatu indeks buatan; diperoleh dengan menambahkan nilai untuk tiga tanggapan. 10 a. Penilaian kesadaran berdasarkan metode Glasgow Coma Scale: Metode ini diciptakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien secara obyektif dari tiga aspek yaitu kemampuan membuka mata, kemampuan motorik, dan kemampuan berkomunikasi. Dengan cara ini turun naiknya tingkat kesadaran dapat diukur dengan naik turunnya tingkat kemampuan ketiga aspek tersebut. Penilainnya adalah sebagai berikut 8: 4

1. Kemampuan membuka kelopak mata (K) - Spontan - Atas perintah - Terhadap nyeri - Tidak bereaksi : dapat membuka mata sendiri secara spontan (4) : membuka mata hanya bila diajak berbicara (3) : membuka mata bila diberi rangsang nyeri (2) : tidak membuka mata dengan rangsang apapun (1) 2. Kemampuan motorik (M), pada lengan yang sehat - Menurut perintah : dapat melakukan gerak sesuai dengan perintah (6) - Reaksi setempat : ada gerakan menghindar terhadap rangsangan yang diberikan di beberapa tempat (5) - Menghindar - Fleksi abnormal - Ekstensi terhadap nyeri : gerakan fleksi cepat disertai abduksi bahu (4) : fleksi lengan disertai aduksi bahu (3) : ekstensi lengan disertai aduksi, endorotasi bahu dan pronasi lengan bawah (2) - Tak bereaksi : tak ada gerakan dengan rangsangan cukup kuat (1) 3. Kemampuan berkomunikasi (B) - Orientasi baik - jawaban kacau : berorientasi baik akan tempat, waktu, dan orang (5) : jawaban yang kacau terhadap pertanyaan kita (4) - kata-kata tak berarti : seperti berteriak dan tidak 5

menanggapi pembicaraan kita (3) - merintih/ mengerang: suara rintihan/ erangan melulu (2) - tak bersuara : (1)

Tabel 1. Glasgow Coma Scale Keuntungan metode ini adalah kita dapat menilai derajat kesadaran secara kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat kita gunakan untuk keperluan riset, prognosis, dan menilai terapi yang diberikan.8 2.2.1.2 Pemeriksaan tanda vital Segera periksa dan beri tindakan untuk mencegah atau mengatasi 5H, yaitu: hipoksia otak, hipotensi, hipoglikemia, hipertermi, dan herniasi di otak. Pemeriksaan harus mencakup 3:

a. Gejala vital. Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen, sel-sel otak akan mati dalam waktu 5 menit. Karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan oksigen dan glukosa ke otak. Jadi, waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan kadar dekstrosa yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak. 2.2.1.3 Pemeriksaan Umum3 a. Kulit. Perhatikan tanda trauma. b. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematom di kulit kepala, di sekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung. c. Toraks, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas 2.2.1.4 Pemeriksaan Khusus 2.2.1.4.1 Pemeriksaan Pada Kepala Pemeriksaan fisik kepala dimulai dengan inspeksi kepala. Penemuan-penemuan dipastikan dengan palpasi. Pada inspeksi yang dapat dilihat antara lain: ukuran dan kontur kranium, kulit kepala untuk melihat adanya lesi atau massa, konfigurasi dan simetri, penonjolan tulang, ciri-ciri rambut dan kulit, kontak mata dan ekspresi mata. Pada palpasi bisa dilakukan palpasi kranium, tekstur rambut dan turgor kulit, semua kelainan yang terlihat.17 2.2.1.4.2 Pemeriksaan pada fraktur mandibula Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama tama melakukan inspeksi menyeluruh untuk melihat adanya deformitas pada muka, memar, dan pembengkakan. Langkah berikut yang dilakukan adalah dengan mencoba merasakan tulang rahang dengan palpasi pada pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan gerakan mandibula. Setelah itu 7

dilanjutkan dengan memeriksa bagian dalam mulut. Pasien dapat diminta untuk menggigit untuk melihat apakah ada maloklusi atau tidak. Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan stabilitas tulang mandibula dengan meletakkan spatel lidah di antara gigi dan lihat apakah pasien dapat menahan spatel lidah tersebut.7

2.2.2 Pemeriksaan Penunjang 2.2.2.1 Pemeriksaan radiologi a. Radiologi pada rahang bawah Untuk pemeriksaan penunjang, yang paling penting untuk dilakukan adalah adalah rontgen panoramik, sebab dengan foto panoramik kita dapat melihat keseluruhan tulang mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan ini memberikan gambaran yang kurang detail untuk melihat temporo-mandibular joint, regio simfisis dan alevolar. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos. Dapat dilakukan untuk melihat posisi oblik lateral, oklusal, posteoanterior dan periapikal. Foto oblik lateral dapat membantu mendiagnosa fraktur ramus, angulus dan korpus posterior. Namun regio kondilus, bikuspid dan simfisis seringkali tidak jelas. Foto oklusal mandibula dapat memperlihatkan adanya diskrepansi pada sisi medial dan lateral fraktur korpus mandibula. Posisi posteroanterior (PA) Caldwell dapat memperlihatkan adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur ramus, angulus, korpus maupun simfisis. Pemeriksaan CT-scan juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa fraktur mandibula. CT-scan dapat membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah wajah termasuk os frontal, kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar penopang kraniofasial baik horizontal maupun vertikal. CT-scan juga ideal untuk melihat adanya fraktur kondilus.7

b. Pemeriksaan radiologi pada trauma kepala Indikasi untuk rontgen tengkorak pada cedera kepala antara lain: hilang kesadaran atau amnesia, adanya tanda-tanda kelainan neurologis, kebocoran LCS, curiga trauma tembus, sulit menilai pasien.15 Foto polos tengkorak penting dalam penyaringan trauma, infeksi tulang, neoplasma, kelainan kongenital, dan penyakit degenerasi. CT Scan memungkinkan visualisasi isi intrakranial dengan diagnosis selanjutnya dari massa (secara spesifik hematom) ekstradural, subdural, intreserebrum.1

2.3 DIAGNOSIS 2.3.1 Diagnosis Kerja 2.3.1.1 Trauma kapitis Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.13 2.3.1.2 Vunus laseratum Vulnus Laceratum sering disertai luka lecet (excoriasis), yakni luka atau rusaknya jaringan kulit luar, akibat benturan dengan benda keras, seperti aspal jalan, bebatuan atau benda kasar lainnya. Vulnus laseratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh, k ecelakaan, s ehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi. Reaksi peradangan akan terjadi apabila jaringan terputus. Dalam k eadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya. Nyeri timbul karena

kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.selsel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga akan m enurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat mengakibatkan g angguan rasa nyaman Tipe Penyembuhan luka Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang. a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan. b.Secondary Intention Healing (penyembuhan lukasekunder) yaitu luka yang tidak m engalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan ebih lama. Luka ini biasanya tetap terbuka. d a n yeri yang berlanjut istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.

c.Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir 2.3.1.3 Fraktur mandibula

10

Gambar 1. Anatomi mandibula Mandibula cenderung mengalami fraktur saat terjadi cedera karena posisinya yang menonjol.12 Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.7 Mandibula merupakan sasaran pukulan atau benturan. Daerah pada mandibula yang lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibulae (pertemuan antara korpus dan ramus), dan daerah mentalis. Mandibula yang mengalami atropi, mempunyai kelemahan pada banyak tempat, tetapi tetap saja regio angulus mandibulae dan mentalis merupakan daerah yang paling sering menjadi fraktur.12 Keluhan subyektif yang berkaitan dengan fraktur mandibula biasanya adalah rasa sakit, kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengunyah. Tergantung pada kondisi fraktur (sudah lama terjadi atau baru saja), pembengkakan bisa terjadi baik pada bagian yang mengalami taruma dan (jika berbeda) bagian yang fraktur. Palpasi pada tepi-tepi mandibula mungkin bisa menunjukkan deformitas seperti tangga apabila udem dan hematom tidak parah.12 2.3.2 Diagnosis Banding Jenis-jenis trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh : 11

a. Kontusio serebri Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat, yang penting untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung. Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak coup, countrecoup, dan intermediate, menimbulkan gejala defisit neurologi, yang bisa berupa refleks Babinsky yang positif dan kelumpuhan U.M.N. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrome Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanismemekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual, muntah, dan gangguan pernafasan bisa timbul. Kontusio serebri yang tidak terlampau berat bisa berakhir dengan kematian beberapa hari setelah mengidap kecelakaan. Pada umumnya, kematian tersebut tidak disebabkan oleh beratnya lesi kontusio tetapi karena komplikasi kardio-pulmonal. Gangguangangguan di susunan kardio-pulmonal pada trauma kapitis bisa terjadi melalui mekanisme seperti berikut. Sistem vaskular bisa ikut terkena secara langsung 12

karena perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraselular. Keadaan ini bisa menjurus ke hemodilusi bila penderita diberi cairan melalui infus tanpa plasma atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotik dan O2 (PO2) menurun. Keadaan buruk ini akan lebih fatal, jika jantung ikut terkena trauma juga, sehingga output jantung menjadi lebih kecil dan tekanan vena sentral meninggi. Komplikasi yang memperberat keadaan terlukis di atas disebabkan oleh karena terjadinya asidosis. Penderita dengan kontusio serebri pada hari pertama masih tidak sadar, pernafasan terganggu, refleks batuk dan menelan mungkin belum pulih juga. Karena keadaan yang tidak menguntungkan itu, mudah terjadi depresi pernafasan PO2 dengan arterial bronkopneumonia aspirasi, sehingga

menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan demikian mengakibatkan takikardia yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Juga karena asidosis blood brain barrier mengalami kerusakan dan timbulah edema serebri, yang lebih mengurangi aliran darah ke otak. Gambaran klinis yang mencerminkan keadaan tersebut di atas ialah koma dengan tanda-tanda syok dan hiperpireksia. Penderita dengan kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolik lain, sebagai manifestasi ikut terkenanya hipotalamus.4 b. Hemoragia subdural Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan bedah saraf umum yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis perdarahan intrakranial yang terjadi di

13

bawah duramater dan mungkin terkait dengan cedera otak lainnya. Pada dasarnya, masalah ini terjadi akibat terbendungnya darah di atas permukaan otak. SDH biasanya disebabkan oleh trauma tetapi dapat spontan atau disebabkan oleh suatu prosedur, seperti pungsi lumbal. Antikoagulasi, misalnya heparin atau warfarin (Coumadin), mungkin menjadi faktor penyebabnya. 19

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa berlangsung bermingguminggu, berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun demikian, latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita

14

hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrome, hemiparesis ringan, hemiparestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.4

Gambar 2. Sebuah hematoma subdural sisi kiri akut

SDH biasanya ditandai berdasarkan ukuran, lokasi, dan lama terjadinya (misalnya, apakah terjadinya akut, subakut, atau kronis). Faktor-faktor ini, serta kondisi neurologis pasien, menentukan pengobatan dan mungkin juga mempengaruhi hasilnya. SDH sering diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu yang telah berlalu dari waktu terjadinya (jika diketahui) untuk diagnosis. Bila proses kejadian tidak diketahui, gambaran hematoma pada CT scan atau MRI dapat membantu menentukan kapan hematoma terjadi. 15

Umumnya, SDH akut kurang dari 72 jam dan hyperdense dibandingkan dengan otak pada CT scan. Subakut SDH adalah 3-20 hari lamanya dan isodense atau hypodense dibandingkan dengan otak. Kronis SDH adalah 21 hari (3 minggu) atau lebih lama dan hypodense dibandingkan dengan otak. Namun, SDH dapat berbentuk gabungan seperti ketika perdarahan akut telah terjadi menjadi SDH kronis. Dalam sebuah penelitian, 82% pasien koma dengan SDH akut telah memar parenkim. Tingkat keparahan cedera difus parenkim mempunyai korelasi kuat (korelasi inverse) dengan hasil pasien. Dalam kenyataan ini, sebuah SDH yang tidak terkait dengan cedera otak yang mendasari kadang-kadang disebut sebuah SDH sederhana atau murni, sedangkan istilah yang rumit telah diterapkan untuk SDH di mana cedera yang signifikan dari otak yang mendasari juga telah diidentifikasi. Adanya atrofi otak atau hilangnya jaringan otak karena sebab apapun, seperti usia tua, alkoholisme, hidrosefalus, atau stroke, dapat memberikan ruang yang meningkat antara dura dan permukaan otak mana hygroma subdural dapat terbentuk atau traksi pada vena yang menjembatani span kesenjangan antara permukaan kortikal dan dura atau sinus vena. Hygromas mungkin terbentuk setelah cairan di arakhnoid memungkinkan cerebrospinal fluid (CSF) untuk terkumpul di ruang subdural. Sebuah hygroma subdural mungkin karena itu juga terjadi setelah trauma kepala, mereka seringkali tanpa gejala. Sebagian kecil kasus kronis SDH berasal

16

dari kasus SDH akut yang telah memburuk karena kurangnya perawatan. Hematoma subdural akut Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma

subdural akut (SDH) adalah dampak berkecepatan tinggi untuk tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk mempercepat atau melambat relatif terhadap struktur dural tetap, merobek pembuluh darah, terutama vena bridging. Cedera kepala primer juga dapat menyebabkan hematoma otak berhubungan atau memar, perdarahan subarachnoid, dan menyebar aksonal cedera. Cedera otak sekunder dapat meliputi edema, infark, perdarahan sekunder, dan herniasi otak. Sering kali, pembuluh darah robek adalah vena yang menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut sebagai vena bridging). Atau, pembuluh darah korteks, baik arteri vena atau kecil, dapat rusak oleh cedera langsung atau robekan. Suatu SDH akut karena arteri cortical pecah dapat berhubungan dengan hanya cedera kepala ringan, mungkin tanpa memar otak yang terkait. Dalam sebuah penelitian, arteri cortical pecah ditemukan berada sekitar fisura sylvian. Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak (penyusutan yang terjadi dengan usia). Seperti massa lainnya yang memperluas di dalam tengkorak, SDH bisa menjadi mematikan dengan meningkatkan tekanan dalam otak, menyebabkan perubahan patologis dari jaringan otak (herniations otak). Dua tipe umum dari herniasi otak termasuk

17

subfalcial (cingulate gyrus) herniasi dan transtentorial (uncal) herniasi. herniasi Subfalcial dapat menyebabkan infark otak melalui kompresi dari arteri serebral anterior, dan herniasi transtentorial dapat menyebabkan suatu infark melalui kompresi dari arteri serebral posterior. Transtentorial herniasi juga berhubungan dengan tekanan pada saraf kranial ketiga, menyebabkan reaktivitas menurun dan kemudian dilatasi pupil ipsilateral. Dengan herniasi transtentorial progresif, tekanan pada batang otak menyebabkan migrasi ke bawah. Air mata ini pembuluh darah penting yang memasok batang otak, mengakibatkan menurunkan lebih lanjut perdarahan aliran ICP, banjir Duret dan kematian. mungkin setan Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) juga dapat serebral, menyebabkan iskemia dan edema dan meningkatkan menyebabkan lingkaran peristiwa patofisiologi. Hematoma subdural kronis Kronis SDHs mungkin mulai sebagai hygroma

subdural, yang dimulai sebagai pemisahan dalam antarmuka dura-arakhnoid, yang kemudian diisi oleh CSF. Sel berkembang biak di sekitar perbatasan dural koleksi ini CSF untuk menghasilkan sebuah neomembrane. Pembuluh darah yang pecah kemudian tumbuh menjadi membran. Pada pembuluh darah ini dapat terjadi perdarahan dan menjadi sumber darah ke ruang, mengakibatkan pertumbuhan SDH kronis. SDH kronis juga dapat berkembang dari pencairan dari SDH akut, terutama yang relatif tanpa gejala. Pencairan

18

biasanya terjadi setelah 1-3 minggu, dengan hematoma hypodense muncul pada CT scan. SDH kronis yang terbentuk dari SDHs akut mungkin memiliki membran antara dura dan hematoma pada 1 minggu dan antara otak dan hematoma pada 3 minggu. Sebagaimana dinyatakan di atas, pembuluh rapuh baru dapat tumbuh ke dalam membran. Jika tidak diresorpsi, kapal dalam membran yang mengelilingi hematoma dapat perdarahan berulang kali, memperbesar hematoma. Beberapa SDH kronis juga bisa membesar dari gradien osmotik, menarik lebih banyak cairan ke dalam ruang subdural, atau melalui mekanisme terpisah kalsifikasi (Atkinson, 2003).

b. Hemoragia epidural

Gambar 3. hematom epidural Akibat trauma kapitis tengkorak bisa retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang

19

berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak bisa ikut terluka sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat dampak. Lebih-lebih lagi jika tidak terdapat fraktur tengkorak, perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala-gejala. Sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intra kranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk hematom subperiostal dan sifat tengkorak bagaikan kotak tertutup sudah tidak berlaku lagi. Juga tergantung pada arteri atau vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan-lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis. Gejala-gejala yang timbul akibat perdarahan epidural menyusun sindrom kompresi serebral traumatik akut. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progesif. Pupil pada sisi perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah menjadi kenyataan. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

20

hemiparesis atau serangan epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan keadaan.4 d. Hemoragia intraserebral. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat di lobus temporalis dan frontalis. Yang tersebut belakangan berkorelasi dengan dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan tamparan dari samping. Kebanyakan dari perdarahan intra lobus temporalis justru ditemukan pada sisi dampak. Jika penderita dengan perdarahan akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya destruktif trauma.4

2.4 PATOFISIOLOGI 2.4.1 Patofisiologi trauma kepala Tengkorak dapat dianggap sebagai kotak yang tertutup dengan tekanan dalamnya yang tidak boleh berubah-ubah. Tekanan intrakranial itu meruapakan jumlah total dari tekanan volume jaringan otak, volume cairan serebrospinal, dan volume darah intrakranial. Tekanan intrakranial yang merupakan suatu konstanta itu, pada waktu-waktu tertentu akan mengalami lonjakan karena peningkatan volume salah satu unsur tersebut di atas.

21

Gambar 4. Mekanisme trauma kepala Pada taruma kapitis, lonjakan tekanan intrakranial terjadi dalam milidetik, sehingga mekanisme kompensasi untuk menurunkan tekanan intrakranial belum sempat bekerja. Maka, para trauma kapitis bisa terdapat tekana positif dan negatif setempat. Keadaan ini dijumpai pada trauma kapitis yang mengakibatkan indentasi, yaitu dampak yang menjadi cekung sejenak untuk kemudian menjadi rata kembali seperti keadaan semula. Pada eksperimen, indentasi dapat diteliti dengan cermat. Pukulan yang cukup keras, namun yang belum mengakibatkan fraktur pada tengkorak binatang percobaan, bisa menimbulkan identasi selama 5 mdetik. Kemudian tempat yang cekung itu bergoyang naik turun (osilasi) tiga empat kali untuk selanjutnya menjadi rata kembali seperti pada keadaan sehat semula dalam waktu 5 mdetik. Osilasi indentasi itu menimbulkan pada daerah di bawah tempat yang terpukul, tekanan positif yang berselingan dengan tekanan negatif. Tekanan positif mengakibatkan kompresi terhadap jaringan otak, sedangkan tekanan negatif bisa menyedot udara dari darah atau cairan serebrospinal, sehingga terjadi gelembung-gelembung udara yang mengakibatkan terjadinya lubang-lubang (kavitasi) pada jaringan otak.

22

Gerakan cepat yang terjadi secara mendadak dinamakan akselerasi. Penghentian akselerasi secara mendadak dinamakan deakselerasi. Pada trauma kapitis, terdapat akselerasi dan deakselerasi kepala. Kepala yang jatuh mengalami akselerasi, dan deakselerasi terjadi pada waktu kepala terbanting pada tanah atau lantai. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu : (1) akselerasi tengkorak ke arah dampak, dan (2) penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. Penggeseran otak merupakan hasil akselerasi tengkorak dan kelebamam otak. Apabila akselerasi kepala disebabkan oleh pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah dampak terdapat : (a) tekanan positif akibat indentasi ditambah dengan (b) tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Sementara itu, di seberang tempat dampak terdapat : (1) tekanan negatif akibat akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh (2) tekanan positif yang diakibatkan oleh penggeseran seluruh otak. Maka dari itu, pada trauma kapitis, dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah dampak adalah cukup besar untuk menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar atau kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio coup. Di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terjadi lesi, maka lesi itu dinamakan lesi kontusio countrecoup. Apabila badan jatuh ke belakang dan oksiput terdampar pada lantai, maka pada tempat dampak (seketika terjadi de-akselerasi), didapati keadaan sebagai berikut: tekanan negatif selama kepala berakselerasi dan tekanan positif seketika terjadi deakselerasi, sehingga pada sisi dampak itu tidak terdapat tekanan positif akibat akselerasi kepala ditambah dengan tekanan positif akibat pergeseran otak karena kelebaman. Sumasi kedua tekanan positif itu bisa merupakan gaya kompresi yang destruktif, sehingga timbul lesi kontusio countrecoup.

23

Akselerasi

kepala

dan

pergeseran

otak

yang

bersangkutan,

sebagaimana dibahas di atas bersifat linear. Maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi dinamakan juga lesi kontusio coup dan countrecoup. Kepala yang berada di ujung leher, tentu saja tidak selalu mengalami akselerasi linear pada waktu terdampar atau jatuh. Bahkan akselerasi yang seringkali dialami oleh kepala akibat trauma kapitis ialah akselerasi rotarik. Bagaimana cara tekanan positif akibat akselerasi, deakselerasi dan pergeseran otak bersumasi, pada akselerasi rotarik adalah sukar untuk dijelaskan secara rinci. Tetapi faktanya ialah bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countrecoup, dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate ialah lesi yang berada diantara lesi coup dan contrecoup. Pergeseran otak pada akselerasi dan deakselerasi linear serta rotatorik, bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang menjembatani selaput araknoidea dan dura. Karena itu, perdarahan subdural akan timbul. Vena-vena tersebut dinamakan brigding veins. Kebanyakan dari pembuluh darah tersebut berada di daerah sekitar fisura Sylvii dan pada kedua belah sisi sinus sagitalis superior.

2.5 MANIFESTASI KLINIS 2.5.1 Gejala klinik yang biasanya terdapat pada penderita komosio serebri5: a. pingsan tidak lebih dari 10 menit b. tanda-tanda vital dapat normal atau menurun c. sesudah sadar, mungkin terdapat gejala subyektif seperti nyeri kepala, pusing, dan muntah d. terdapat amnesia retrograd e. pada pemeriksaan tidak terdapat gejala kelainan neurologik lainnya. 2.5.2 Gejala klinik pada penderita fraktur mandibula7 : 1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas 2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita 24

menggerakkan rahangnya. 3. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan 4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. 5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan. 6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. 7. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan 8.D isability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut

2.6 PENATALAKSANAAN 2.6.1 Penatalaksanaan kegawatdaruratan a. Pada cedera kepala Sangat penting adalah kebutuhan untuk memperlakukan korban seperti jika ada cedera tulang belakang leher yang tidak stabil sebelum mencoba intubasi endotrakeal, jika diperlukan. Antara 5 dan 10% dari cedera kepala memiliki keterkaitan dengan cedera tulang belakang servikal. Pemeriksaan neurologis dimulai dengan penilaian tingkat kesadaran pasien menggunakan GCS. Tingkat keparahan cedera kepala dapat didasarkan pada nilai GCS awal. Seorang pasien dengan GCS 8 atau kurang membutuhkan penilaian anestesi mendesak sebagai kompromi saluran udara dan / atau ventilasi paru berkurang mungkin. Ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya juga dinilai. Asimetris ukuran pupil dan reaksi berkurang menjadi cahaya dapat menunjukkan cedera otak baik dari cedera difus atau intra-kranial heamatoma. Ini juga mungkin, bagaimanapun, mengindikasikan cedera terisolasi ke orbit dan saraf kranial yang terkait. Asimetri gerakan ekstremitas dapat 25

membantu dalam mendiagnosis lesi intra-kranial yang mendasarinya,. Pengamatan pada tekanan darah, denyut nadi dan laju pernafasan juga sangat penting tidak hanya untuk menjamin stabilitas kardiorespirasi pasien, tetapi juga untuk menunjukkan mungkin keterlibatan otak. Mekanisme dan saat cedera, keterlambatan dalam perawatan, riwayat kesehatan sebelumnya pasien (misalnya epilepsi, diabetes mellitus) dan keberadaan alkohol dan obat-obatan lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat kesadaran adalah penting untuk memastikan. Eksposur pasien untuk memeriksa untuk luka lain kemudian dibuat, termasuk pemeriksaan menyeluruh kulit kepala pasien untuk laserasi, fraktur senyawa dan memar.11

2.6.1.2 Penatalaksanaan pada vulnus laseratum18 Dalam m anajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan. A. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi). b. Tindakan Antiseptik, prinsipnyau ntuk mensucihamakan kulit. Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau l arutan antiseptik s eperti: 1) Alkohol, sifatnya bakterisidakuat dan cepat (efektif). 2)Halogendan senyawanya 3)Oksidansia 4) Logam berat dan g aramnya 5) Asam borat, s ebagai bakteriostatik l emah (konsentrasi3%). 6) Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol)

26

Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepat akan m enghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan biaya perawatan. Pemilihan cairan dalam pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan antiseptik yang t elah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline. Normal s aline atau disebut juga NaCl0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak c. Pembersihan Luka Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalahmeninangkatkan, memperbaiki dan mempercepat prosespenyembuhan luka; menghindari terjadinya infeksi; m embuang jaringan 1) Irigasi dengan y a n g n ekrosis dan debris s ebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk Beberapalangkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu : membuang jaringan m ati dan benda asing. 2)H ilangkan semua benda asingdaneksisi semua jaringan mati. 3)Ber ikanantiseptik 4) Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesilokal 5) Bila perlu lakukan penutupan luka d. Penjahitan luka Luka bersih dan diyakini tidak dari 8 jam boleh dijahit primer. e. Penutupan Luka Adalah mengupayakan f. Pembalutan Pertimbangan dalam m enutup dan m embalut luka sangat tergantung pada kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi, m engupayakan l ingkungan yang baik bagi luka dalam proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom. 27 k ondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. m engalami infeksi serta berumur kurang m ahal.

g. PemberianAntibiotik Prinsipnya padalu ka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka terkontaminasi atau k otor maka perlu diberikan antibiotik. h. Pengangkatan Jahitan Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan l agi. Waktu pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, k esehatan, sikap penderita dan adanya infeksi. 2.6.1.3 Penatalaksanaan trauma kapitis9: PRIMARY SURVEY AIRWAY DAN C-SPINE CONTROL Pasang collar neck untuk imobilisasi cervikal. Pastikan jalan nafas bersih, apabila ditemukan gangguan tangani dengan cara chin lift, bila tidak dicurigai ada gangguan servikal atau jaw thurst, bila dicurigai ada gangguan servikal dan bersihkan benda asing dari mulut. Lakukan intubasi atau cricotirotomy jika ada indikasi. BREATHING DAN VENTILASI Inspeksi dada meliputi pergerakkan dada, frekuensi pernafasan dan kualitas pernafasannya (dalam atau dangkal). Auskultasi meliputi pemeriksaan suara kedua sisi paru-paru sama atau tidak. Palpasi dilakukan untuk mencari adanya deformitas pada dada. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Monitor saturasi oksigen pasien dengan menggunakan pulse oksimetri. Usahakan PO2 lebih dari 95%. SIRKULASI DAN KONTROL PERDARAHAN Kaji capillary refill, nadi dan warna kulit. Hentikan perdarahan pada kulit kepala dengan tekanan langsung jika memungkinkan. Pemberian cairan harus dibatasi bila ada trauma kepala. Bila pasien shock lakukan resusitasi cairan terlebih dahulu. l okasi luka, usia,

28

Cairan intravena harus adekuat untuk mempertahankan tekanan darah. Hindari pemberian cairan yang berlebihan apabila dicurigai ada peningkatan TIK. DISABILITY Selalu lakukan penilaian GCS, pupil, tanda lateralisasi yang lain dan tingkat kesadaran menggunakan skala AVPU: Alert, response to Verbal stimuli, response to Painful stimuli, atau Unresponsive. EXPOSURE Buka seluruh baju pasien lihat ada tidaknya luka, hati-hati hipotermi. SECONDARY SURVEY Survey sekunder dilakukan setelah survey primer dan setelah resusitasi telah ditangani. Survey sekunder berisi pemeriksaan lengkap pasien, mulai dengan memeriksa kepala dan dilanjutkan sampai ke ujung kaki, periksa tiap bagian secara sistemik termasuk pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan kepala meliputi tidak ada depresi tulang tengkorak, fraktur terbuka tulang tengkorak, otorrhea, atau rhinorrhea (CSF keluar dari telinga atau hidung). Membran timpani harus dievaluasi untuk mengetahui perdarahan. Mata harus diinspeksi untuk hematom periorbital, dan area mastoid harus diinspeksi untuk melihat adanya ekimosis, ini semua mengindikasikan adanya fraktur tulang basis crania. 2.6.2 Medika mentosa 2.6.4 Penatalaksanaan pada trauma kepala Pada cedera kepala ringan, pasien mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran. Amnesia retrograd terhadap peristiwa sebelum kecelakaan cukup signifikan. Pada cedera kepala ringan, indikasi untuk rontgen kepala antara lain: adanya hilang kesadaran atau amnesia, tanda-tanda neurologis yang patologik, kebocoran LCS, curiga trauma 29

tembus, sulit menilai pasien. Indikasi rawat pada cedera kepala ringan antara lain: adanya kebingungan pada pasien atau GCS menurun, fraktur tengkorak, tanda-tanda neurologis atau sakit kepala, atau muntah, sulit menilai pasien, terdapat masalah medis yang menyertai, kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orang dewasa yang dapat mengawasi pasien. Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf antara lain apabila didapati tanda-tanda berikut: fraktur tengkorak + bingung/ penurunan GCS, tanda-tanda neurologis fokal atau kejang, menetapnya tanda-tanda neurologis atau kebingungan lebih dari 12 jam, koma setelah resusitasi, curiga cedera terbuka pada otak, fraktur tekanan pada tengkorak, terdapat perburukan.14 2.6.5 Penatalaksanaan pada fraktur mandibula a. Pendekatan tertutup dan terbuka ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup/ konservatif dan terbuka/ pembedahan. Pada tehnik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Tehnik terbuka dan tertutup tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadang-kadang dikombinasikan. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari tehnik terbuka yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada tehnik fiksasi skeletal eksternal, pin ditelusupkan ke dalam kedua segmen untuk mendaatkan tempat perlekatan alat penghubung (coneccting appliance), yang bisa dibuat dari logam atau akrilik, yang menjembatani bagian-bagian fraktur dan menstabilkan segmen tanpa melakukan imobilisasi mandibula. Semua metode perawatan tersebut masing-masing mempunyai indikasi, keuntungan dan kekurangan. Reduksi tertutup. Reduksi tertutup sangat sesuai untuk penatalaksanaan kebanyakan fraktur mandibular dan secara spesifik diindikasikan untuk kasus di mana gigi terdapat pada semua segmen atau segmen edentulus di sebelah proksimal dengan pergeseran hanya sedikit. 30

Fiksasi maksilomandibular dilakukan dengan menggunakan elastik atau kawat untuk menghubungkan loop (lug) arch bar atau alat maksilar dan mandibular yang lain. Apabila suatu segmen mengalami pergeseran cukup banyak, maka dianjurkan untuk melakukan imobilisasi segmen yang pergeserannya sedikit dahulu, kemudian melakukan reduksi dan imobilisasi segmen yang lain secara digital atau manual. Apabila suatu fraktur belum lama terjadi, yakni kurang dari 72-96 jam, reduksi biasanya dilakukan dengan memanipulasi. Pada fraktur yang sudah lama terjadi, stabilisasi dari elemen yang tidak bergeser atau hanya bergeser sedikit, dilakukan pertama kali dengan menggunakan elastik atau kawat dan kemudian memasang elastik yang cukup kuat tarikannya terhadap segmen yang pergeserannya lebih banyak. Reduksi terbuka. Untuk melakukan reduksi terbuka pada fraktur mandibula bisa melalui kulit atau oral. Antibiotik dan perawatan intraoral yang baik memberikan tambahan pada pendekatan peroral. Secara teknis, setiap daerah pada mandibula dapat dicapai dan dirawat secara efektif secara oral kecuali pada daerah subkondilar. Reduksi tulang peroral. Reduksi tulang peroral dari fraktur mandibula sering dilakukan untuk mengendalikan fragmen edentulus proksimal yang bergeser. Situasi ini umumnya berupa fraktur yang melalui alveolus gigi molar ketiga yang impaksi/ erupsi sebagian. Reduksi terbuka pada simfisis. Fraktur parasimfisis ini dirawat dengan pengawatan transalveolar pada tepi atas, apabila gigi di dekat garus fraktur tidak ada. Pada situasi tipikal yang lain, fraktur parasimfisis yang bergeser distabilisasi pada tepi bawah melalui jalan masuk yang diperoleh dengan membuka simfisis Tindakan pasca bedah. Perawatan pendukung pasca bedah terdiri atas analgesik, dan bila diindikasikan ditambah dengan antibiotik, aplikasi dingin dan petnjuk diet. Rontgen pasca reduksi dan pasca imobilisasi perlu dilakukan. Reduksi terbuka bisa memperpendek masa fiksasi meksilomandibular, dan pembukaan percobaan yang dilakukan pada minggu keempat atau kelima kadang-kadang dilakukan untuk

31

mengetahui derajat kesembuhan klinis, terutama pada anak yang masih muda.12 Pada maloklusi mandibula. Indikasi melakukan reduksi pada maloklusi mandibula adalah mengembalikan mandibula ke fungsi normalnya. Pada saat sendi temporomandibular mengalami dislokasi, condilus mandibula akan tampak ke depan, menyebabkan rasa sakit, mengganggu fungsi bicara, dan mulut tidak bisa menutup dengan sempurna.16 2.6.6 Penatalaksanaan kelanjutan pada pasien trauma kepala Trauma kapitis pada orang dewasa bisa menimbulkan lesi iritatif ataupun paralitik, sehingga manifestasinya berupa epilepsi fokal atau hemiparesis. Pada umumnya, serangan kejang dalam masa 24 jam setelah mengidap trauma kapitis jarang menjadi pertanda bahwa epilepsi post-trauma kapitis akan timbul. Sebaliknya, serangan kejang yang timbul beberapa bulan atau tahun setelah mengidap trauma kapitis biasanya merupakan serangan pertama epilepsi post trauma kapitis. Dalam periode itu, jaringan parut meningoserebral dibentuk dan difusi asetil kolin melalui permukaan hemisferium terbendung oleh sikatrik itu difusi asetilkolin itu merupakan suatu proses fisiologik yang terkait pada proses biokimia yang mendasari tahap-tahap kesadaran. Karena penimbunan asetilkolin bebas di bawah sikatrik, maka sel-sel korteks serebri di perbatasan sikatriks mudah melepaskan muatan elektriknya, sehingga bertindak sebagai fokus epileptogen. 75% dari epilepsi setelah mengidap kecelakaan dan 50% dari epilepsi post trauma kapitis menjadi kenyataan dalam waktu 2 tahun setelah mengidap kecelakaan dan 50 % epilepsi post trauma kapitis berkembang dalam waktu 6 bulan pasca trauma. Suatu fakta yang sukar diterangkannya ialah bahwa 50% dari epilepsi post trauma kapitis sembuh secara spontan dalam waktu 10 tahun, sedangkan yang sisanya mudah terkelola dengan antikonvulsan. Sebagaimana telah diuraikan dalam persoalan acute confulsional state akibat kontusio dan komosio serebri, keadaan organic brain syndrome bisa berlangsung lama. Tetapi akhirnya gejala-gejalanya bisa hilang 32

sama sekali. Sebaliknya suatu sindrom yang dinamakan neurosis posttrauma kapitis, bisa berlarut-larut sampai puluhan tahun. Gambaran klinis neurosis tersebut seragam dan terdiri dari sakit kepala, pusing, cepat tersinggung, cepat capek, daya konsentrasi menurun dan inteligensi berkurang. Sindrom neurosis post trauma kapitis masih bisa dianggap sebagai manifestasi organik. Tetapi neurosis yang berkembang pada penderita yang hanya mengidap komosio serebri belaka (tidak memperlihatkan gejala-gejala neurologik), adalah sukar untuk dianggap sebagai gejala sisa organik. Suatu fakta yang tidak bisa disangkal ialah bahwa orang-orang yang sebelum mengidap komosio serebri sudah memperlihatkan sifat-sifat neurotik, selamanya menjadi lebih neurotik setelah mengalami komosio.4

2.7 KOMPLIKASI Komplikasi pada komosio serebri meliputi perdarahan intrakranial, sindrom pasca comosio, serangan kejang, atau kerusakan otak tambahan dengan banyak episode komosio. 14 Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala berat adalah kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotik profilaksis masih kontroversial.2

2.8 PENCEGAHAN Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang

33

terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.3

2.9 PROGNOSIS a. Prognosis cedera kepala15 Prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat tiba di rumah sakit. GCS saat tiba Mortalitas 15 1% 8-12 5% <8 40% Tabel 2. angka mortalitas pada trauma kepala

BAB III

PENUTUP

Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.13 Prinsip penatalaksanaa trauma mayor dibagi menjadi dua, yaitu pertolongan pertama, di tepi jalan yang diberikan oleh paramedis atau tim medis pada tempat kejadian. Bertujuan untuk mempertahankan hidup selama pengangkatan dan evakuasi pasien. Yang kedua adalah survey primer yang dilakukan di rumah sakit oleh tim kecelakaan dan kegawatdaruratan, bertujuan untuk mengidentifiskasi dan mengobati 34

trauma yang mengancam hidup pada jalan nafas, sistem pernafasan, dan kardiovaskular dan melakukan pemeriksaan radiologi tulang. Sementara survey sekunder kemungkinan oleh staf spesialis bedah, bertujuan untuk mengindentifikasi dan menilai semua trauma mayor.15 Mandibula merupakan sasaran pukulan atau benturan. Daerah pada mandibula yang lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibulae (pertemuan antara korpus dan ramus), dan daerah mentalis. Mandibula yang mengalami atropi, mempunyai kelemahan pada banyak tempat, tetapi tetap saja regio angulus mandibulae dan mentalis merupakan daerah yang paling sering menjadi fraktur.12 Keluhan subyektif yang berkaitan dengan fraktur mandibula biasanya adalah rasa sakit, kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengunyah. Tergantung pada kondisi fraktur (sudah lama terjadi atau baru saja), pembengkakan bisa terjadi baik pada bagian yang mengalami taruma dan (jika berbeda) bagian yang fraktur. Palpasi pada tepi-tepi mandibula mungkin bisa menunjukkan deformitas seperti tangga apabila udem dan hematom tidak parah.12 Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup/ konservatif dan terbuka/ pembedahan.12 DAFTAR PUSTAKA

1. Sabitson. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit EGC; 1994.h.513-16. 2. Arif Mansjoer, Suprohaita, Wardhani WI, Wiwik Setiowulan, editors. Kapita selekta kedokteran. 3th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2009.h.3-5. 3. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: FKUI; 2008. h.5-11. 4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2008. h.248-260. 5. Agus Purwadianto, Budi Sampurna. Kedaruratan medik. Jakarta: Binarupa Aksara; 2000. h.96-97. 6. Priguna Sidharta. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2009. h.495-496. 7. Fraktur 19 November 2010. 35 Mandibula. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/33453545/FRAKTUR-MANDIBULA#. Tanggal

8. Soemarmo Markam. Penuntun neurologi. Binarupa Aksara. Jakarta: 1992. hal 61-62. 9. Trauma Kapitis. http://www.agddinkes.com/?q=node/11 10. Guideline 46: Early Management of Patients with a head injury. SIGN Publication 11. Modern no. 46. Agustus of 2000. diunduh head dari injury. http://www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/46/index.html. 20 November 2010. management http://www.rcsed.ac.uk/journal/vol46_3/4630005.htm. 46, June 2001, 150-153 12. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: Penerbit EGC; 1996. h.236-250. 13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16495/4/Chapter%20II.pdf 14. Greenberg MI, Hendrickson RG, Mark Silverberg, editors. Teks-atlas kedokteran kedaruratan. Surabaya: Erlangga; 2007. h.613. 15. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Surabaya: Penerbit Erlangga; 2007. h.90-93. 16. Jastremski, Dumas, Penalver. Emergency procedures. Saunders Company. Mexico: 1992. h.282-85. 17. Mardi Santoso. Pemeriksaan fisik diagnosis. Bidang penerbitan yayasan diabetes Indonesia. Jakarta: 2004. h.23. 18. Vulnus laseratum. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/35183213/Teorivulnus-laseratum-luka-robek. 19. Subdural hematom. Diunduh dari emedicine.medscape.com. J.R.Coll.Surg.Edinb.,

36

You might also like