You are on page 1of 18

BAB IV

Hasil penelitian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Barang tidak kena PPN Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi: 1. Minyak mentah. 2. Gas bumi. 3. Panas bumi. 4. Pasir dan kerikil. 5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara. 6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Objek Pajak Pertambahan Nilai Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa. Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah: 1. adanya penyerahan; 2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP); 3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);

4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia; 5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan. Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi: 1. penyerahan hak karena suatu perjanjian; 2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing; 3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; 4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma; 5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan; 6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya; 7. penyerahan secara konsinyasi.

Menghitung PPN Pajak Masukan


Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda. Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu: 1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya; 2. mencari nilai tambah pada setiap produksi; 3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial; 4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya; 5. menerapkan pemungutan sekali. Mengkredit Pajak Masukan Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai

dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi persyaratan. Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif: 1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan; 2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan; 3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan. 4. Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah 5. Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.

MEKANISME PEMBAYARAN PPN


Pembayaran PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak kepada pihak penjual (pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak) yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, atau dengan cara membayarkannya secara langsung ke negara. 1. Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara seperti ini merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum. Dengan mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran). Pajak Keluaran yang telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak disetorkan ke negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak Keluaran tersebut dengan Pajak Masukan atau Cash Outflow. Pembayaran PPN Secara Langsung ke Negara Mekanisme pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara langsung ke

negara, dilakukan apabila: a. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang pembayaran PPN kepada pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke negara; b. Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya; c. Dalam hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar; d. Dalam hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar; e. Dalam hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila persyaratanpersyaratannya dipenuhi; f. Dalam hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi; g. Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak Keluaran yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran VS- Pajak Masukan) adalah pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Terdapat Pengusaha Kena Pajak tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu berstatus kurang bayar. Pajak Pertambahan Nilai

KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Pajak Obyektif PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak

adil. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi. Mekanisme Pengkreditan Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow, sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow. Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. FAKTUR PAJAK STANDAR Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan. Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur pajak standar: 1. Diisi dengan data yang tidak benar Pengisisan data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak. 2. Diisi tidak lengkap Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang ternyata tidak diisi kecuali kolom PPnBM yang disediakan untuk diisi oleh pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian tidak lengkap dapat berupa: Baris NPWP pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi jabatan penandatangan faktur pajak tidak diisi Pada baris jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn tidak dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah sebelah kiri. Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada faktur pajak. 3. Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar 4. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain 5. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM Berapa tarif PPN/PPnBM ? 1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen) 2. Tarif PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang atas penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM. 3. Tarif PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Apa saja yang termasuk DPP ? 1. Harga jual/ penggantian Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual/ pembeli jasa karena penyerahan BKP/ Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN/ PPn BM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Nilai Impor Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN/ PPn BM. 3. Nilai Ekspor Adalah nilai berupa uang, termasuk semau biaya yang diminta oleh Eksportir. 4. Nilai lain Adalah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Nilai lain tersebut diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 : a. Untuk pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian, tidak termasuk laba kotor b. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; c. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; d. Untuk persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar; e. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;

f. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; g. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. h. Untuk PKP Pedagang Eceran (PE) : o PPN yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) x harga jual BKP. o PPN yang harus dibayar adalah sebesar : 10%x20%x jumlah seluruh barang dagangan. i. Jasa anjak piutang adalah 5% dari seluruh jumlah imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon. Bagaimana cara menghitung PPN ?

PPN yang terutang = tarif x DPP PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli. Contoh : 1. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B" 100 pasang sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00 PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A" 10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00 Jumlah yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00 2. PKP "B" dalam bulan Januari 1996 : o Menjual 80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00 o Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri, DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang = Rp 500.000,00 PPN yang terutang : o Atas penjualan 80 pasang sepatu 10% x Rp.9.600.000,00 = Rp 960.000,00 o Atas pemakai sendiri 10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00 Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00 3. PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual o BKP seharga = Rp.10.000.000,00 o Bukan BKP = Rp. 5.000.000,00 + Rp.15.000.000,00

PPN yang terutang 10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00 PPN yang harus disetor 10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00 4. PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00. o PPN yang terutang 10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 o PPn BM yang terutang 20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00 PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00 5. PKP "E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci tersebut diatas seharga Rp.40.000.000,00 PPN yang terutang 10% x Rp.40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00 Catatan : PKP "E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan pabrikan dan PPn BM dikenakan hanya sekali. [

Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan PPN/PPnBM

Siapa saja yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM ? 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) 2. Pemungut PPN/PPn BM, adalah : o KPKN o Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah o Direktorat Jenderal Bea dan Cukai o Pertamina o BUMN/ BUMD o Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya o Bank Pemerintah o Bank Pembangunan Daerah

o Perusahaan Operator Telepon Selular. Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM ? 1. Oleh PKP adalah : a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran. b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP). 2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh Pemungut PPN/ PPn BM

Dimana tempat pembayaran/penyetoran pajak ?


1. Kantor Pos dan Giro 2. Bank Pemerintah, kecuali BTN 3. Bank Pembangunan Daerah 4. Bank Devisa 5. Bank-bank lain penerima setoran pajak 6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP

Kapan saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM ?


1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak. Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari 1996. 2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut. 3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor. 4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh: a. . Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. c.. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.

5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus. Catatan: Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

Kapan saat pelaporan PPN/PPnBM ?


1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. 2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan. 3. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh : a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berakhir. b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambatlambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambatlambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir. 4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Catatan : Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.

Apa sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak?


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat Setoran Pajak yang tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia. 2. Surat Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

PPNBM PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap : 1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; 2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor. Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM 1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; 2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; 3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; 4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara; Pengertian BKP Mewah 1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau 2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau 3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau 4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau 5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol. Pengertian Menghasilkan PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ; 1. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya; 2. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak; 3. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih

barang lain; 4. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya; 5. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah


Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan : 1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). 2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). 3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN DAN PPN BM)


Contoh soal : PT. Korindo Motors mendapatkan tagihan dari PT. Suzuki atas pembelian mobil Rp 375.000.000,termasuk PPN dan PPN BM 40% PPN BM 50/150 x Rp 375.000.000,PPN 10/150 x Rp 375.000.000, Harga PPN BM PPN Rp 375,000,000 Rp (125,000,000) Rp ( 25,000,000) Rp 225,000,000 = Rp 125,000,000 = Rp 25,000,000 + Rp 150,000,000

BAB II KAJIAN PUSTAKA


Menurut pendapat para Ahli

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (

undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Menurut kajian teori

BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi. Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan berusaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama. Memang, dilihat dari segi penerimaan, Pajak Panghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai, karena pajak tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain sehingga memungkinkan semua orang dapat dikenakan PPN. Dan juga seperti yang kita ketahui bahwa hampir seluruh barang-barang kebutuhan hidup rakyat Indonesia merupakan hasil produksi yang terkena PPN. Dengan kata lain, hampir semua transaksi di bidang perdagangan, industri dan jasa yang termasuk dalam golongan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak pada prinsipnya terkena PPN. Oleh karena itu walaupun seseorang belum memiliki NPWP namun ia tetap terkena PPN namun dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak sebagai pihak yang berhak memungut PPN yang nantinya PPN yang dipungut tersebut akan disetorkan ke kas Negara. Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut Indonesia menganut tiga sistem, Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding System. Ketiga sistem diatas mempunyai keistimewaan masing-masing. Namun yang memiliki peranan yang lebih dominan adalah pada self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan. Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan penerimaan karena semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem self assessment menuntut Wajib Pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya. Dilain pihak kondisi ekonomi saat ini, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, dan naiknya harga barang-barang akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dan tentunya berpengaruh terhadap penerimaan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Turunnya tingkat konsumsi konsumen juga akan mempengaruhi kondisi produsen dalam hal ini yang dimaksud adalah para Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh diterapkannya sistem self assessment tersebut pada para PKP dalam melaksanakan kewajiban PPNnya terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang dilakukan ini hanya melihat dari dalam sistem itu sendiri dan tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, karena kenyataannya pelaksanaan sistem self assessment tersebut tidak memperhatikan bagaimana kondisi ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat karena bagaimanapun kondisinya sistem self assessment tetap harus berjalan dengan baik.

1.2. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetor yang ketiganya merupakan sarana dan wujud nyata dari sistem self assessment yaitu wewenang wajib pajak untuk menghitung, melapor, dan menyetorkan sendiri berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai? 2Dari ketiga variabel tersebut, variabel manakah yang paling besar mempengaruhi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai? 3 Apa yang dimaksud dengan Ppn? 4 Siapa yang termasuk Ppn terpungut dan yang dipungut ? 5. Kapan Ppn tersebut dipungut,setor,lapor ? 6 Dimana tempat pembayaran atau penyetoran pajak? 7. Mengapan Ppn dikenakan? 8. Bagaimana perhitungan sistem pajak pertambahan nilai ? . 1.3. BATASAN MASALAH 1. Sistem self assessment dalam penelitian ini dicerminkan dari variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetorkan. 2. Batasan lokasi penelitian adalah pada Kantor Pelayanan Pajak 3. Pada penelitian ini data diperoleh berdasarkan data sekunder, observasi serta wawancara tidak berstruktur tanpa menggunakan kuisioner. 4 Dasar penentuan variabel adalah tinjauan pustaka, penelitian sebelumnya, dan peraturan perundang-undangan. 5 Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. 1.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.4.1. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh penerapan sistem self assessment yang dicerminkan dari pertumbuhan jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetorkan terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak. 2. Menganalisis variabel manakah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. 1.4.2. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Untuk menerapkan ilmu yang diperoleh dibangku kuliah dan mempraktekkannya sesuai dengan kondisi yang ada. 2. Bagi Instansi Terkait Sebagai bahan informasi pelengkap atau masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang yang berhubungan dengan penelitian ini dalam penetapan kebijakan pada pelaksanaan atau penggunaan suatu sistem pemungutan yang diterapkan pada Pajak Pertambahan Nilai untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak negara. 3. Bagi Fakultas Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai tambahan informasi dan masukan untuk membantu memberikan gambaran yang lebih jelas bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian mengenai perpajakan secara umum dan juga mengenai penerapan sistem self assessment terhadap Pajak Pertambahan Nilai.

KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena atas limpahan rahmat ,taufiq, dan hidayahnya.sehingga saya dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah ini dengan baik dan lancar yang berjudulPPN. Lporan ini saya susun berdasarkan informasi baik dari buku maupun dengan melakukan tanya jawab kepada seseorang dan melalui internet .Dalam melaksanakn tugas karya ilmiah ini saya banyak mendapat informasi yang belum pernah saya terima . Laporan ini berisi tentng pengertian ,manfaat ,dan tujuan dari PPN .Sekiranya laporan ini akn lebih mudah dipelajari . Dalam penyusunan laporan karya ilmiah ini saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah memberi motifasi sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik .Untuk itu pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada 1.Bpk.Drs.EDI Fidiyanto ,selaku kepala sekolah SMK MUHAMMADIYAH 03 SINGOSARI . 2 Ibu Dra.Sofiah ,S.Pd , selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan kepada saya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini . 3. Kepada orang tua saya yang telah memberi dorongan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini . 4 .Serta kepada semua pihak yang telah memberi motivasi dan dorongan sehingga tersusunlah karya ilmiah ini . Kami sadar dalam penulisan laporan karya ilmiah ini banyak kekurangan .Oleh sebab itu mohon saran dan kritiknya yang bersifat membangun .Akhirnya dengan mengetahui keterbasan pengetahuan yang ad a semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan bagi penulis pada khusunya .

MALANG , MEI 2011

PENULIS

You might also like