You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Segala kehidupan di bumi merupakan bagian dari sistem jagad raya yang saling bergantung. Komponen hayati dan non hayati membentuk keanekaragaman hayati (biodiversity) yang meliputi keanekaragaman genetik, spesies, ekosistem dan keanekaragaman budaya manusia. Keseluruhan kekayaan hayati ini adalah produk beratus juta tahun sejarah evolusi (WRI, IUCN dan UNEP, 1995). yang dapat diperbarui. Faktor yang mendorong meningkatnya penggunaan pupuk organik hayati adalah mulai tumbuhnya kesadaran terhadap potensi pencemaran lingkungan melalui penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan tidak efisien. Selain penghematan besar dari segi biaya produksi, penggunaan pupuk organik hayati hanya lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Pupuk organik hayati berperan dalam mempengaruhi keterediaan unsur hara makro dan mikro, efisiensi hara, kinerja system enzim, meningkatkan metabolism, pertumbuhan, dan hasil tanaman. Teknologi ini mempunyai prospek yang lebih menjanjikan dan ramah lingkungan. Untuk aplikasi pupuk organik hayati, penggunaan inokulan yang menonjol saat ini adalah mikroba penambat N (nitrogen) dan mikroba untuk meningkatkan ketersediaan P (fosfat) dalam tanah. Bio-Organik Fertilizer mengandung mikrob yang bermanfaat bagi tanaman seperti penambat N yaitu Azospirillum dan Azotobacter, juga terdapat mikrob pelarut Fosfor. Pupuk organik hayati ini adalah pupuk organik yang diperkaya dengan kandungan hara dan diinokulasikan dengan berbagai macam mikroba fungsional. Mikroba ini secara khusus diinokulsi dan dikemas dalam bahan pembawa (carrier) yang mampu menjaga reaktivitasnya dalam periode yang memadai. Mikroba ini mampu melarutkan hara sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta meningkatkan kesuburan tanah. Tantangan terbesar dalam kegiatan pertanian saat ini adalah peningkatan efisiensi pemanfaatan pupuk anorganik, melalui pengurangan penggunaan dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Untuk mengatasi tantangan tersebut diatas maka diperlukan suatu upaya. Upaya petani di negara maju untuk meningkatkan efisiensi pupuk salah satunya dengan aplikasi Bio-organik fertilizer atau pupuk organik hayati adalah pupuk kombinasi antara
1

Keanekaragaman hayati

merupakan modal pembangunan yang penting karena karakternya sebagai sumber daya alam

pupuk organik dan pupuk hayati. Bio-Organik Fertilizer menggunakan bahan perekat dalam pembuatannya berupa molase atau tapioca yang dibentuk dalam cairan yang berisi mikrob untuk komposisi bahan perekat 2-5% yang berguna sebagai bahan makanan mikroorganisme. Pertanian organik semakin berkembang dengan sejalan dengan timbulnya kesadaran akan petingnya menjaga kelestarian lingkungan dan kebutuhan bahan makanan yang relatif lebih sehat. Beberapa mikroba tanah seperti rhizobium, azaosprillium, azotobacter, mikoriza perombak sellulosa dan efektif mikroorgnisme dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer pada pertanian. Biofertilizer tersebut fungsinya antara lain membantu penyediaan hara pada tanaman, mempermudah penyediaan hara bagi tanaman, membantu dekomposisi bahan organik, meyediakan lingkungn rhizosfer sehingga pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan dan produksi peningkatan tanaman.
1.2 Tujuan dan Manfaat

Mengapliksaikan

pemakaian

Bio-Organik

Fertilizer

secara

seimbang

dapat

mensubtitusi kebutuhan pupuk pada tanaman pangan Meningkatkan produktifitas tanaman pangan dengan mengapliksaikan Bio-Organik Fertilizer hasil isolasi mikrob tanah untuk menggantikan sebagian kebutuhan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan tanaman dan mengurangi pencemaran lingkungan.

BAB II
2

PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Penggunaan Pupuk Hayati Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian itu sendiri. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah mulai pada permulaan dari manusia mengenal bercocok tanam >5.000 tahun yang lalu. Bentuk primitif dari pemupukan untuk memperbaiki kesuburan tanah terdapat pada kebudayaan tua manusia di negeri-negeri yang terletak di daerah aliran sungai-sungai Nil, Euphrat, Indus, di Cina, Amerika Latin, dan sebagainya (Honcamp, 1931). Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun. Di Indonesia sebenarnya pupuk organik itu sudah lama dikenal para petani. Mereka bahkan hanya mengenal pupuk organik sebelum Revolusi Hijau turut melanda pertanian di Indonesia. Setelah Revolusi Hijau kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganya pun relatif murah karena di subsidi, dan mudah diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung kepada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian, ketika terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk naik karena subsidi pupuk dicabut. Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui pupuk organik dan masukanmasukan alami lainnya. Penggunaan pupuk hayati untuk membantu tanaman memperbaiki nutrisinya sudah lama dikenal. Pupuk hayati pertama yang dikomersialkan adalah rhizobia, yang oleh dua orang ilmuwan Jerman, F. Nobbe dan L. Hiltner, proses menginokulasi benih dengan biakan nutrisinya dipatenkan Inokulan ini dipasarkan dengan nama Nitragin, yang sudah sejak lama diproduksi di Amerika Serikat. Pada tahun 1930-an dan 1940-an berjuta-juta ha lahan di Uni Sovyet yang ditanami dengan berbagai tanaman diinokulasi dengan Azotobacter. Bakteri ini diformulasikan dengan berbagai cara dan disebut sebagai pupuk bakteri Azotobakterin. Pupuk bakteri lain yang juga telah digunakan secara luas di Eropa Timur adalah fosfobakterin yang mengandung bakteri
3

Bacillus megaterium (Macdonald, 1989). Bakteri ini diduga menyediakan fosfat yang terlarut dari pool tanah ke tanaman. Tetapi penggunaan kedua pupuk ini kemudian terhenti. Baru setelah terjadinya kelangkaan energi di dunia karena krisis energi pada tahun 1970-an dunia memberi perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati. Pada waktu pertama kali perhatian lebih dipusatkan pada pemanfaatan rhizobia, karena memang tersedianya nitrogen yang banyak di atmosfer dan juga pengetahuan tentang bakteri penambat nitrogen ini sudah banyak dan pengalaman menggunakan pupuk hayati penambat nitrogen sudah lama. Di Indonesia sendiri pembuatan inokulan rhizobia dalam bentuk biakan murni rhizobia pada agar miring telah mulai sejak tahun 1938 (Toxopeus, 1938), tapi hanya untuk keperluan penelitian. Sedangkan dalam skala komersial pembuatan inokulan rhizobia mulai di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta sejak tahun 1981 untuk memenuhi keperluan petani transmigran (Jutono, 1982). Pada waktu itu inokulan diberikan kepada petani sebagai salah satu komponen dalam paket yang diberikan dalam proyek intensifikasi kedelai. Penyediaan inokulan dalam proyek ini berdasarkan pesanan pemerintah kepada produsen inokulan, yang tadinya hanya satu produsen saja menjaditiga produsen. Inokulan tidak tersedia di pasar bebas, tetapi hanya berdasarkan pesanan. Karena persaingan yang tidak sehat dalam memenuhi pesanan pemerintah ini, dan baru berproduksi kalau ada proyek, mengakibatkan ada produsen inokulan yang terpaksa menghentikan produksi inokulannya, pada hal mutu inokulannya sangat baik. Perkembangan penggunaan inokulan selanjutnya tidak menggembirakan. Baru setelah dicabutnya subsidi pupuk dan tumbuhnya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang dapat disebabkan pupuk buatan, membangkitkan kembali perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati. 2.2 Pupuk Hayati Pupuk hayati merupakan mikroba hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman memfasilitasi atau menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Oleh karena itu, pupuk hayati sering disebut sebagai pupuk mikroba Pupuk hayati telah dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara, memperbaiki pertumbuhan dan hasil, serta meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Umumnya digunakan mikroba yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya. Keuntungan diperoleh oleh dua pihak tanaman inang mendapatkan unsur hara yang diperlukan, sedangkan mikrob mendapatkan bahan organik untuk aktivitas dan

pertumbuhannya. Pupuk hayati berperan dalam mempengaruhi ketersediaan unsur hara makro dan mikro, efisiensi hara, dan lain-lain Dalam rangka mewujudkan pertanian sehat dapat dilakukan dengan memperbaiki dan mendukung siklus biologis dalam usaha tani dengan memanfaatkan mikrobia, flora dan fauna tanah serta tumbuhan dan tanaman. Misalnya pada tanaman kacang-kacangan mempunyai potensi untuk berswasembada hara nitrogen, melaui aktivitas bakteri rizobium. Nitrogen yang digunakan berasal dari udara, dan melalui aktivitas bakteri risobium, maka mampu menambat nitrogen di udara untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman akan mempunyai kemampuan menambat nitogen tersebut jika bakteri rizobium tersebut sudah berada dalam tanah. Untuk tanah tanah yang jarang digunakan untuk budidaya kacang-kacangan umumnya keberadaan bakteri tersebut rendah. Untuk keperluan tersebut perlu adanya pemupukan hayati yang berupa spora dari risobium, yang salah satu nama dagangnya legin. Nitrogen ini dibutuhkan tanaman dalam jumlah paling banyak, sehingga jika tanaman mampu memenuhi kebutuhan nitrogen sendiri, akan menekan pengeluaran untuk pupuk. Penggunaan legin ini tidak secara terus menerus, jika tanaman telah efektif dalam memfiksasi nitrogen, maka sudah tidak perlu pemupukan legin lagi. Hal ini dapat kita lihat dari banyak sedikitnya bintil akar yang ada. Pupuk hayati legin ini cara penggunaanya cukup mudah, yaitu biji (misal kedelai) kita basahi kemudian kita campur dengan legin, dan langsung kita tanam dilahan. Karena pupuk ini merupakan bahan hidup maka baik penyimpanan maupun penggunaan agar terhindar dari matahari langsung. Disamping bakteri rizobium, penggunaan jamur mycoriza mampu mebantu terhadap penyerapan hara tanah dan air. Penggunaan mycorisa ini telah banyak digunakan pada tanaman kehutanan dan perkebunan, Salah satu alternative dalam penerapan pertanian akrab lingkungan pada perkebunan the adalah penggunaan pupuk hayati, diantaranay Effectif microorganism 4 (EM4) dan dikombinasikan dengan pupuk organik cair, dimana mikroorganisme yang terkandung dalam pupuk ini dapat saling mendukung dalam memperbaiki lingkungan fisik, kimia dan biologi tanah serta terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pupuk organik cair Biotea terdiri daro bakteri-bakteri antara lain Bacillus sp dan Lactobacillus sp dilengkapi dengan unsur hara makro (N, P, K , Mg) dan unsur hara mikro ( Zn, Mn, Cu, Co, Bo). Sejumlah mikroorganisme yang terkandung dalam kedua jenis pupuk ini diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan nutrisiy yang diperlukan tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme pathogen.

Beberapa

hasil penelitian menunjukkan bahwa EM4 dapat memperdalam lapisan

olah tanah serta meningkatkan agregasi tanah, apabila EM4 ini diaplikasikan ke dalam tanah dapat meningkatkan ketersediaan P2O5 bagi tanaman. Menurut penelitian yang dilakuakn Higa dan Wididana (1991), pada daun tanaman jeruk yang diberi perlakuan EM4 mempunyai jumlah klorofil yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan EM4, karena EM4 mengandung sejumlah bakteri fotosintetik yang dapat menambat nitrogen atau N bebas dari udara ke dalam daun tanaman yang dapat meningkatkan kandungan nitrogen di dalam daun. Kandungan nitrogennya lebih tinggi (1,030 sampai 1,540%) dibandingkan tanaman tidak diberi EM4 (0,854%).. Hasil analisis jaringan daun tanaman jeruk sitrun menunjukkan bahwa daun yang diberi EM4 menunjukkan persentase kandungan hara N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi EM4 (Higa dan Wididana, 1993). Isolasi Mikrob Pembuatan pupuk organik hayati (Bio-Organik Fertilizer) menggunakan carrer berupa kompos, gambut, serbuk gergaji, dan casting yang digunakan sebagai pembawa mikroorganisme. Bio-Organik Fertilizer menggunakan bahan perekat dalam pembuatannya berupa molase atau tapioca yang dibentuk dalam cairan yang berisi mikrob untuk komposisi bahan perekat 2-5% yang berguna sebagai bahan makanan mikroorganisme. Tehnik yang digunakan dalam isolasi mikrob pelarut P untuk bahan Bio-Organik Fertilizer menggunakan medium pikovskaya, kemudian dilakukan penyuburan mikrob dengan beberapa mg tanah yang di inokulasikan pada medium cair mengandung Ca-, Fe-, atau AlPO4 sebagai sumber P. Pemurnian dilakukan pada medium padat dan diuji kemampuannya dalam melarutkan Fosfat. Kemudian mikrob tersebut diperbanyak dalam bentuk cairan yang kemudian dicampurkan pada bahan carrer.

Azotobacter Azotobacter adalah bakteri penambat nitrogen aerobik yang mampu menambat nitrogen dalam jumlah yang cukup tinggi, bervariasi + 2 - 15 mg nitrogen/gram sumber karbon yang digunakan, meskipun hasil yang lebih tinggi seringkali dilaporkan. Pada medium yang sesuai, Azotobacter mampu menambat 10 -20 mg nitrogen/g gula. Waksman (1952) menyatakan bahwa kemampuan ini tergantung kepada sumber energinya, keberadaan

nitrogen yang terpakai, mineral, reaksi tanah dan faktor lingkungan yang lain, serta kehadiran bakteri tertentu. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi penambatan nitrogen antara lain suhu, kelembaban tanah, pH tanah, sumber karbon, cahaya dan penambahan nitrogen. Di samping itu jumlah bakteri penambat nitrogen pada perakaran, potensial redoks dan konsentrasi oksigen juga dapat mempengaruhi aktivitas penambatan nitrogen). Spesies-spesies Azotobacter yang telah diketahui/ dikenal antara lain: A. chroococcum, A. beijerinckii, A. paspali, A. vinelandii, A. agilis, A. insignis dan A. macrocytogenes. Inokulasi Azotobacter efektif dalam meningkatkan hasil panen tanaman budidaya pada tanah yang dipupuk dengan bahan organik yang cukup. Sediaan bakteri yang mengandung sel-sel Azotobacter yang dibeni nama Azotobacterin yang diproduksi dan digunakan di Rusia dan negara-negara Eropa Timur terbukti menguntungkan dalam meningkatkan basil panen tanaman budidaya seperti gandum, barley, jagung, gula bit, wortel, kubis dan kentang sebesar 12% dibandingkan dengan tanaman kontrol. Respon ini diduga disebabkan oleh faktor tumbuh yang dihasilkan oleh Azotobacter (Bear, I 964; Berkum & Bohlool, 1980; Marschner, 1986). Walaupun demikian, efisiensi penambatan nitrogen oleh Azotobacter relatif rendah dibandingkan dengan jasad simbiotik. Rata-rata nitrogen yang dapat diikat sebesar 1 kg/Ha/tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor pembatas berupa ketersediaan karbon organik dalam tanah Azospirillum Azospirillum merupakan bakteri tanah penambat nitrogen nonsimbiotik. Bakteri ini hidup bebas di dalam tanah, baik di sekitar maupun dekat dengan perakaran. Potensinya telah diketahui oleh peneliti memiliki banyak manfaat baik dalam tanah maupun pada tanaman, sehingga banyak diaplikasikan sebagai biofertilizer. Azospirillum digunakan sebagai biofertilizer karena mampu menambat nitrogen (N2) 40-80% dari total nitrogen dalam rotan, dan 30% nitrogen dalam tanaman jagung. bakteri tersebut juga menghasilkan hormon pertumbuhan hingga285,51 mg/liter dari total medium kultur, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Azospirillum selain mampu menambat nitrogen dan menghasilkan hormone pertumbuhan, juga mampu merombak bahan organik di dalam tanah. Bahan organik yang dimaksud adalah bahan organik yang berasal dari kelompok karbohidrat, seperti selulosa, amilosa, dan bahan organik yang mengandung sejumlah lemak dan protein. Aplikasi
7

Aplikasi dalam pertanian organik dapat didefinisikan sebagai sistem pengolahan produksi pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agroekosistem termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktifitas biologi tanah. Dalam sistem pertanian organik masukan (input) dari luar (eksternal) akan dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan sintetis lainya. Dalam sistem pertanian organik kekuatan hukum alam yang harmonis dan lestari akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian sekaligus meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Penggunaan pupuk kimia 50% yang dikombinasikan dengan pupuk organik 2 liter/ha, rata-rata dapat meningkatkan hasil sebesar 48% dan 37,6 % lebih tinggi. Hasil ini tidak berbeda dengan pemberian pupuk kimia sebesar 100%, tidak ada perbedaan respon jika dosis pupuk ditinggikan. Mengingat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, terutama pada lahan kurang subur, dalam jangka panjang akan mempunyai dampak negatif. Kombinasi antara pupuk organik dan anorganik akan lebih ramah terhadap lingkungan tanpa mengurangi produktifitas lahan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk urea, KCL, dan TSP, karena unsur hara dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman tropika (Teitzel dan Bruce, 1972). 2.4 Prinsip / Pembuatan Pupuk Organik Ada dua proses dasar untuk pembuatan pupuk hayati yakni 1) bahan baku dan 2) proses pembuatan. Untuk bahan bakunya semakin bervariasi, semakin kecil ukuran bahan, serta kondisi yang masih segar dan kering akan membuat kualitas bokashi yang dihasilkan semakin baik. Bahan baku utama yang digunakan untuk membuat Bokashi disesuaikan dengan kapasitas limbah organik yang ada pada suatu lokasi tertentu. Misalnya blotong pada pabrik gula, bungkil dan sludge di pabrik minyak sawit, sampah organik di perkotaan, jerami, kotoran ternak di sentra-sentra peternakan. Untuk meningkatkan kualitas bokashi, di samping bahan baku utama tersebut, perlu ditambahkan bahan-bahan lain (subtituen) untuk pengkayaan unsur hara dan menetralisir logam-logam berat yang mungkin terkandung dalam limbah organik penyusun bokashi. Antara lain eceng gondok, humus Azolla, tepung tulang ikan, arang batok kelapa, susu kadaluarsa atau air cucian beras pertama. Di samping bahan baku yang telah dipilih, proses pembuatan bokashi juga menentukan kualitas bokashi yang dihasilkan. Faktor
8

penting

dalam

proses

pembuatan

bokashi

adalah

keberadaan

dan

aktifitas

mikroorganisme sebagai pelaku utama pembuatan bokashi. Proses pembuatan yang perlu diperhatikan antara lain : 1. jenis, jumlah dan kualitas mikroorganisme. Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, ragi dan Actmomycetes. Semakin bertambahnya jenis atau jumlah mikroorganisme, diharapkan proses fermentasi semakin cepat dan kualitas bokashi yang dihasilkan semakin bagus. 2. kelembaban dan aerasi. Kelembaban yang diharapkan adalah 30-40%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme bekerja secara optimal. Kelembaban yang terlalu rendah atau tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi dapat dilakukan secara semi an aerob. Sebaiknya tumpukan adonan/bahan dibalik jika kelembaban tinggi, selain itu dapat juga dilakukan dengan cara force aeration (menghembuskan udara dengan kompressor) atau dengan efek cerobong (memasukkan sekaligus untuk homogenitas bahan. 3. Ketiga, temperatur. Temperatur optimal sekitar 30-50C (hangat). Bila temperatur terlalu tinggi mikroorganisme kurang efektif bekerjanya. Bila temperatur terlalu rendah, maka mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Jika temperatur terlalu tinggi dapat dilakukan pembalikan bahan. Proses pembuatan bokashi sebaiknya di tempat yang teduh, terlindung dari sengatan sinar matahari dan hujan secara langsung. 4. Keempat, pH (keasaman). Kisaran pH yang baik adalah 6,5-7,5 (netral). Bahan baku tersebut diaduk secara merata, kemudian dicampurkan dengan bahan pelarutnya secara merata. Diaduk hingga kelembaban tidak lebih dari 30-40%. Kelembaban dapat diketahui melalui alat pengukur kelembaban (hidrometer) atau dapat dilakukari secara manual, yaitu dengan cara meremas adonan dengan tangan. Adonan yang telah tercampur merata tadi diambil satu genggam tangan, dikepal dengan kuat, tidak tampak air menetes dan bila kepalan tangan dibuka maka masih tampak adonan menggumpal, maka kelembaban sudah memenuhi persyaratan. Tapi apabila kepalan tersebut sampai meneteskan air, maka adonan terlalu basah; sehingga perlu penambahan
9

udara melalui cerobong). Namun

pemberian aerasi yang terbaik adalah dengan cara pembalikkan bahan. Perlakuan ini

dedak. Jika adonan tidak meneteskan air dan dibuka adonan masih tampak pecah/ remah, maka perlu penambahan air secukupnya. Adonan yang sudah tercampur merata dan kelembabannya cukup, ditutup dengan rapat atau diusahakan suhunya tidak lebih dari 50 derajat C disiapkan dalam ruangan yang teduh, tidak terkena sinar matahari langsung ataupun hujan, kurang lebih 7 hari atau sampai adonan tampak tanda-tanda telah jadi bokashi. Bokashi yang sudah jadi ditandai dengan tumbuhnya jamur berwana putih (fermentasi) pada permukaan bahan, baunya tidak busuk dan tidak berbau, melainkan cenderung netral ke arah asam manis, tidak terjadi proses panas lagi.

2.4 Manfaat A. Kelebihan 1. Mengandung mikroba unggul untuk menyediakan Zat Hara 2. Meningkatkan efisiensi serapan hara oleh tanaman 3. Mencegah kehilangan hara dari lapisan tanah 4. Meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah 5. Meningkatkan produksi pertanian 6. Menjaga kelestarian lingkungan Mikroba yang terkandung mampu menyediakan unsur hara dan memperbaiki serta menjaga struktur tanah : 1. Menambat N udara dan memperkaya N tanah. 2. Melarutkan P Tanah menjadi tersedia. 3. Melepas dan mencegah fiksasi K oleh koloid tanah.
10

4. Menambah C organik sehingga struktur tanah menjadi lebih baik 5. Memperbaiki daya pegang air tanah. 6. Memperbaiki kapasitas pertukaran kation. 7. Mengurangi pelindian hara. 8. Mengurangi mikroba patogen. 9. Mengurangi penggunaan pupuk kimia. 10. 11.
12. 13.

Tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Tidak mengandung bahan rekayasa genetika. Cocok untuk pertanian Hayati (Organik++) maupun pemupukan berimbang. Dosis standar 250 Kg/Ha setara 5 Ton kompos atau 2 Ton Pupuk Kandang.

B. Kelemahan Sedikitnya ada 8 (delapan) kelemahan yang umum terdapat pada produk pupuk organik/ hayati cair , yaitu : 1. Viabilitas (daya hidup) mikroorganisme yang dikandungnya sangat rendah. 2. Populasi mikroorganisme kecil (< 106 cfu/mL), bahkan cenderung tidak ada/mati seiring dengan waktu. 3. Nutrisi yang terkandung sedikit. Umumnya nutrisi yang ada berupa tambahan bahan kimia seperti pupuk NPK dan Urea. 4. Mikroorganisme di dalamnya sangat mudah berkurang bahkan mati. 5. Tingkat kontaminasi sangat tinggi 6. Seringkali menghasilkan gas (kemasan rusak) dan bau tidak sedap (busuk). 7. Tidak tahan lama (kurang dari setahun). 8. Masalah dalam transportasi dan penyimpanan.

11

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

12

DAFTAR PUSTAKA
pustaka.unpad.ac.id/.../6_pengaruh_pupuk_organik_dan_pupuk_ha.. balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/.../pupuk/pupuk13.pdf

http://ukmprunsoed.files.wordpress.com/2008/08/makalah-lengkapnurosid_lipase_azospirillum-sp-jg3_2008.pdf http://soil.faperta.ugm.ac.id/jitl/3.1%202002%2045-51%20wied.pdf

13

You might also like