You are on page 1of 6

PANAS PELA

PEREKAT HUBUNGAN PERSAUDARAAN


(Siti Maria)

Di Maluku, khususnya pada masyarakat adat Maluku Tengah ada tradisi budaya yang harus dilakukan secara turun temurun dalam upaya menghangatkan kembali hubungan persaudaraan, yakni upacara Panas Pela. Panas Pela, tradisi budaya perekat hubungan persaudaraan ini, dapat dikatakan sebagai pranata yang berfungsi sebagai ikatan hubungan persaudaraan dan per-sahabatan antara seluruh penduduk dari dua negeri atau lebih berdasarkan adat; atau ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri (desa), baik itu antar negeri-negeri Kristen atau negeri-negeri Islam maupun antar negerinegeri yang beragama Islam dengan Kristen. Hubungan persaudaraan, diwujudkan pada sikap dan berperilaku saling menyayangi, saling peduli, saling menghargai, saling berbagi dan saling menolong. Pertengahan bulan, diujung tahun 2007 di Pulau Saparua, tepatnya di desa Negeri Tuhaha dilaksanakan upacara adat Panas Pela, yakni Panas Pela Beinusa Amalatu Mandalaise Haitapessy. Panas Pela merupakan tradisi budaya perekat hubungan persaudaraan bagi masyarakat adat Maluku umumnya, khususnya Maluku Tengah yang bermaksud untuk menghidupkan ingatan pada masa lampau dan sekaligus mensakralkan kembali hubungan itu. Hubungan persaudaraan itu disebut pula sebagai gabungan gandong atau hubungan kakak dan adik kandung. Gandong atau kandung adalah rahim dan satu pangkuan suatu pusat dan awal dari pada segala sesuatu yang hidup. Maksudnya adik dan kakak kandung mengikat suatu perjanjian untuk kasih mengasihi. Dalam hal ini, hubungan pela dan gandong bertujuan untuk mempersatukan anggota pela dan gandong dalam suatu wadah persekutuan yang tidak mudah pecah atau rusak. Jadi pela sama dengan perjanjian perdamaian. Oleh karenanya, upacara Panas Pela atau bikin panas pela pada umumnya bermaksud untuk menghidupkan ingatan pada masa lampau dan sekaligus mensakralkan kembali hubungan itu. Seperti halnya yang dilakukan di Negeri Tuhaha, Panas Pela Batukarang Beinusa Amalatu Mandalaise Haitapessy. Panas Pela Beinusa AmalatuMandalaise Haitapessy adalah panas pela Tumpah Darah/Batu Karang atau Pela keras, artinya pela yang mempunyai hubungan atau ikatan yang sangat erat atau sangat kuat dan terikat oleh suatu sumpah yang bersifat sakral. Panas pela yang dilakukan antara dua negeri yang berlainan pulau dan berlainan keyakinan, yakni antara Negeri Tuhaha Beinusa Amalatu di Pulau Saparua (Kristen) dengan Negeri Rohomoni Mandalaise Haitapessy di Pulau Haruku (Islam) dilakukan secara turun temurun. Walaupun diantara kedua negeri ini berlainan keyakinan akan tetapi jalinan hubungan persaudaraan pela tetap terpelihara dengan baik satu sama lain saling peduli, saling menyayangi, saling menghormati dan saling menghargai. Dalam pelaksanaan upacara tersebut, biasanya dilakukan dalam kurun waktu yang panjang. Bisa dilakukan 5 tahun sekali, 10 tahun sekali bahkan 50 tahun sekali tergantung dari kesiapan negeri-negeri yang berpela dan gandong. Tempat penyelenggaraannya pun bergilir, seperti Panas Pela Beinusa AmalatuMandalaise Haitapessy yang baru-baru ini dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2007 di Negeri Tuhaha, sebelumnya dilaksanakan pada tahun 1977 di Negeri Rohomoni, karena kedua negeri ini berpela.

Desa Negeri Tuhaha terletak di Pulau Saparua, sedangkan desa Negeri Rohomoni terletak di Pulau Haruku. Kedua Negeri ini, secara administratif termasuk ke dalam Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Untuk menuju kedua desa Negeri ini, baik ke Tuhaha di Pulau Saparua atau ke Rohomoni di Pulau Haruku, dari kota Ambon kita dapat melalui pelabuhan Momoking di desa Tulehu dengan menggunakan speed boat atau kapal motor. Latar Belakang Pela
Pelabuhan Momoking, Tulehu

Adat dan tradisi Panas Pela merupakan rangkaian aktivitas pela dan gandong dapat dikatakan sebagai pranata yang berfungsi sebagai ikatan hubungan persaudaraan dan persahabatan antara seluruh penduduk dari dua negeri atau lebih berdasarkan adat; juga dapat menunjuk pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri (desa), baik itu antar negeri-negeri Kristen atau negerinegeri Islam maupun antar negeri-negeri Islam dengan Kristen. Terjadinya hubungan persaudaraan antar dua negeri atau lebih ini, karena yang satu membantu yang lain dalam kepentingan negeri atau desa secara menyeluruh. Hubungan persaudaraan ini dikenal pula sebagai hubungan gandong atau hubungan kakak dan adik kandung karena kedua masyarakat negeri mengakui bahwa mereka berasal dari satu keturunan atau datuk yang sama. 1 Bentuk persaudaraan pela dan gandong ini, sudah ada jauh sebelum adanya pengaruh Belanda. Dahulu di Maluku (Maluku Tengah) sering terjadi perang antar suku yang kadang-kadang meluas sampai menjadi perang antar mataruma (clan). Untuk menghentikan peperangan tersebut, lalu mencari cara untuk menyelesaikannya. Salah satu bentuk adalah apa yang dinamakan angkat pela. Biasanya mereka yang telah mengangkat pela akan saling membantu memerangi musuh bersama. Selain itu, ikatan pela dapat juga dibuat untuk menghindari perkelahian semacam pernyataan persahabatan. Oleh karena itu, pela-pela yang muncul di masa dahulu sebahagian besar ditujukan sebagai usaha untuk mengatasi peperangan. Setelah Belanda berkuasa bentuk pela semacam ini hilang, tetapi muncul banyak negeri saling angkat pela namun tidak menghilangkan sama sekali pengaruh dari ikatan pela di masa dahulu. Kekuatan pela mengikat negeri-negeri yang memiliki ikatan pela dan gandong, tanpa mengenal atau mempersoal batas-batas suku bangsa, matarumah, negeri atau agama. Pela terjadi karena beberapa peristiwa antara lain karena perang, kesamaan asal usul, saling menolong karena bencana alam atau karena adanya kebutuhan ekonomi atau juga karena perkawinan.
1

Masyarakat hukum adat pela dan gandong adalah suatu kesatuan sosial yang lebih besar, yang teritorial geonologis, yang membuat hukum adat pela berdiri sendiri dan berlaku di atas hukum adat negeri masing-masing di samping hukum agama. Jauh dekatnya letak negeri-negeri yang terikat dalam hubungan persaudaraan pela tidak merupakan hambatan untuk tetap memelihara hubungan itu baik negeri yang beragama islam maupun negeri yang beragama Kristen. Seseorang yang terpaksa harus meninggalkan negerinya (merantau misalnya) tidak mengakibatkan hilang keanggotaannya dalam masyarakat adat negerinya dan masyarakat adat yang berpela gandong dengan dirinya. Demikian pula seorang pendatang baru yaitu orang-orang yang menikah dengan anggota masyarakat adat negeri-negeri yang berpela dan gandong secara otomatis diterima menjadi anggota masyarakat adat negeri-negeri tersebut.

Munculnya banyak negeri saling angkat pela akibat adanya perasaan senasib dan sepenanggungan, yang tujuannya bersama-sama untuk saling membantu menghadapi perang melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu, sejak abad ke-17 ikatan-ikatan pela muncul bukan karena akibat peperangan antar suku, tetapi karena saling membantu untuk menghadapi penjajah. Hal itu dapat diketahui pada saat dilaksanakannya upacara panas pela (menghangatkan lagi ikatan pela), sejarah tentang asal usul terjadinya angkat pela dikisahkan kembali kepada anak cucu dengan tujuan agar mereka selalu dapat mengingat peristiwa sejarah itu sehingga hubungan baik yang telah terbina sejak dahulu kala jangan sampai dilupakan dan diputuskan. Kemudian abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 ikatan pela antara negeri-negeri semakin banyak, diantaranya pela yang berhubungan dengan perang Pattimura yang terjadi sebagai suatu perjanjian perdamaian tekad bersama membantu Pattimura melawan pemerintah kolonial Belanda; ikatan pela yang terjadi karena untuk memperoleh sagu (pela barang atau pela perut); kebutuhan akan kayu bangunan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah dan sekolah. Begitu pula jika ada bencana dapat pula negeri membuat sebuah ikatan pela. Selain itu, ada faktor yang menyebabkan munculnya ikatan pela, misal karena percintaan antar dua orang muda mudi dari dua negeri yang berbeda.Selain itu, pela dapat juga terjadi karena adanya anggapan bahwa clan-clan (mataruma) tertentu dari dua negeri atau lebih sesungguhnya mereka adalah seketurunan. lkatan seperti ini dinamakan pela gandong (sekandung). Sampai sekarang hubungan-hubungan pela di atas masih ada. Hal ini dikarenakan dari waktu ke waktu kedua anak negeri melaksanakan upacara panas pela untuk mewariskan hubungan itu kepada generasi muda. Pela yang sifat ikatannya sangat erat atau sangat kuat serta terikat oleh suatu sumpah yang bersifat sakral, dapat dikatakan pela keras atau pela tuni artinya pela asli atau pela sejati. Pela keras atau pela tuni sering disebut juga dengan nama Pela Batu karang. Ikatan pela yang keras ini diibaratkan ikatannya seperli batu karang di laut. Aturan yang ditetapkan dalam hubungan pela merupakan bentuk sumpah clan, janji-janji yang harus ditaati karena mengandung sanksi-sanksi yang berat dan sangat ditakuti oleh mereka yang berpela. Dalam ikatan pela keras terdapat janji-janji yang harus dipegang teguh bagi yang berpela, seperti perkawinan antar pela dilarang. Bila dilanggar, menurut keyakinan mereka anak-anak yang lahir dari perkawinan yang melanggar sumpah adat diyakini sering sakit-sakitan atau tidak berumur panjang, dan sebagainya. Dahulu, bila dilanggar dikenakan sanksi adat, seperti dikucilkan dari dalam ikatan negeri, atau di arak di dalam negeri, dipermalukan bahkan di pukul oleh anak-anak negeri yang lain. Oleh karena itu jarang terjadi perkawinan antar pela keras ini. Ikatan janji yang lain ialah di antara anak-anak negeri pela dan gandong harus tolong menolong dalam kesukaran atau suatu pekerjaan untuk kepentingan umum (negeri) seperti mendirikan gedung gereja, mesjid, rumah adat, baileo dan lain sebagainya. Selain itu, ada yang dinamakan dengan pela lunak. Pela lunak artinya ikatan hukum pela ini tidak keras seperti pela batu karang. Tidak ada ikatan gandong (geneologis) di antara orang-orang yang mempunyai ikatan pela jenis lunak. Terjadinya pela lunak tidak melalui sumpah clan tidak ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dengan ketat. Terjadinya pela lunak, karena ada hubungan hutang budi

sehingga harus ada balas jasa. Pela ini bersifat sosial ekonomi dan ikatannya dilakukan dengan makan sirih pinang bersama. Larangan perkawinan antar negeri tidak sekeras pela keras atau pela gandong artinya boleh terjadi perkawinan meskipun jarang dilakukan. Kebiasaan saling membantu atau tolong menolong menjadi kewajiban. Sehubungan dengan hal tersebut, sampai kini kekuatan pela itu tetap mengikat negeri-negeri yang memiliki ikatan pela dan gandong, tanpa mengenal atau mempersoal batas-batas suku bangsa, matarumah, negeri atau agama. Upacara Adat Panas Pela Panas pela yang dilaksanakan di desa Negeri Tuhaha adalah Panas Pela Batu Karang, antara negeri Tuhaha Beinusa Amalatu (Kristen) dengan negeri Rohomoni Mandalaise Haitapessy (Islam). Panas Pela Batu Karang ini, dapat dikatakan jenis pela keras. Intinya adalah untuk menghidupkan kembali ingatan pada masa lampau dan sekaligus mensakralkan kembali hubungan itu. Sebelum upacara dilakukan, dibentuk Panitia Panas Pela yang melibatkan negeri-negeri yang berpela. Seluruh lapisan masyarakat terlibat, sehingga secara tidak langsung masyarakat pun ikut terlibat dalam proses upacara tersebut. Sedangkan teknis penyelenggara upacara adalah bapak raja, para tua adat dan pemuka masyarakat setempat. Seminggu menjelang hari H, suasana sudah terasa. Rumah adat (baileo) dibersihkan dan di hiasi dengan bendera-bendera hias. Negeri Tuhaha selaku tuan rumah penerima saudara pela atau gandong nampak sudah mulai ramai. Jalan-jalan utama dihiasi dengan bendera hias, warga

Persiapan menjelang upacara Panas Pela

sibuk membenahi negeri/ kampung, begitu juga rumah-rumah penduduk dibersihkan dan dicat rapi untuk menerima saudara pelanya. Keramaian pun mulai nampak, dengan berdatangan anak-anak negeri yang ada dirantau, bukan saja dari Ambon dan sekitarnya, tetapi juga dari luar daerah bahkan dari negeri Belanda. Pada hari pelaksanaan, semua warga hadir di tempat upacara untuk menyambut kedatangan rombongan saudara gandong dari negeri berpela dan undangan lainnya. Mereka yang hadir berpakaian adat atau pakaian daerah sesuai dengan keduduk-annya dalam masyarakat. Sebelum rombong-an pela Mandalaise Haitapessy dari Haruku tiba, masyarakat adat Beinusa Amalatu (Tuhaha) melakukan ritual di rumah adat.

Rombongan saudara gandong dari negeri berpela dan undangan lainnya dengan menggunakan kapal motor tiba di Tuhaha dari Pulau Haruku. Mereka disambut dengan sangat gembira dan suka cita yang berbaur dengan keharuan, diselingi dengan teriakan-teriakan histeris dan tangisan oleh mereka yang menghayati makna pela dan gandong.

Rombongan basudara pela dari Haruku

Haru dan teriakan histeris bertemu dengan saudara pela

Tari-tarian dan nyanyian yang bernuansa adat seperti tari cakalele (tari perang) yang heroik mengantarkan rombongan, kemudian disambut dengan tarian selamat datang tari lenso (tari penerimaan tamu) serta lagu-lagu adat yang berhubungan dengan sejarah lama hubungan pela yang disebut Kapata. Nyanyian ini diiringi musik tradisional seperti tifa, totobuang, gambus, seruling dan sebagainya.

Tarian Cakalele

Pela Basudara dari Rohomoni Mandalaise Haitapessy diterima oleh bapak raja dan staf saniri negeri Tuhaha Beinusa Amalatu. Lalu tamu dan saudara-saudara pela diapit oleh ibu-ibu yang disebut mahina. Dengan memegang lilitan kain putih (kain balele) para mahina melingkarkannya pada rombongan untuk mengantarkannya menuju baileo dan diikuti oleh semua warga masyarakat. Di sana telah menunggu tuatua adat dan upacara adat pun berlangsung dengan sakral. Setelah melakukan upacara ritual di baileo, para basudara pela Beinusa AmalatuMandalaise Haitapessy menuju ke Negeri Lama, tempat bersejarah dimana antara Negeri Tuhaha dan Rohomoni melakukan sumpah adat janji ikat pela. Dalam hubungan pela, biasanya ada perjanjian-perjanjian tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh orang-orang yang berpela. Selesai upacara adat dan acara lainnya, dilanjutkan dengan acara makan patita dan malam basudara atau malam gandong. Makan patita adalah jamuan makan bersama dan bersifat massal. Artinya semua peserta upacara panas pela turut mengambil bagian termasuk warga desa yang tidak turut pada upacara. Makan patita digelar di atas jalan raya dalam negeri yang sebelumnya dibangun sebuah tenda panjang yang disebut sabuah. Semua jenis makanan tradisional yang diatur dan ditata rapi ini ditampilkan seperti, kasbi (ketela pohon), keladi (talas), patatas (ketela rambat), pisang, dan umbi-umbian lainnya. Selain itu sagu, yang diolah menjadi papeda dan sagu lempeng, tidak ketinggalan. Ketupat dan nasi kuning serta sayur acar merupakan hidangan penting yang harus ada. Masakan ikan melengkapinya, seperti kokohu (ikan mentah atau ikan asar yang dicampur dengan kacang-kacangan dan diberi kelapa parut); colo-colo (ikan asar yang dicelup dengan air jeruk atau asam cuka dan diberi kecap, irisan bawang merah, tomat serta daun kemangi). Kemudian sayuran, seperti tumis bunga pepaya, urap daun singkong. Tak ketinggalan sopi, minuman khusus yang melengkapi hidangan sejenis minuman keras yang disuling dari buah enau atau jantung mayang (pohon enau). Puncak acara panas pela diakhiri dengan acara malam basudara, atau malam silaturahmi yakni pesta rakyat dengan saudara pela dan gandong mereka. Pada acara ini, disuguhkan drama ceritera tentang Perang Alaka, maksudnya untuk mengingatkan kembali kepada generasi terjadinya sejarah hubungan pela mereka.

Drama Perang Alaka

Setelah itu dilanjutkan acara berdansa dan berjoget penuh suka ria dengan diiringi musik, yang dewasa ini alat musik modern seperti keyboard yang menyajikan lagu-lagu daerah. Semua berbaur menjadi satu dalam ikatan persaudaraan baik yang Kristen maupun yang Islam. Acara usai menjelang subuh dan semua pamitan sampai bertemu lagi pada acara panas pela mendatang. Adapun keamanan dan ketertiban dijaga dengan baik oleh para pemuda yang bertugas dan tidak boleh ada yang mengacaukan suasana.

You might also like