You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

Makalah filsafat pendidikan dalam keluarga ini saya tulis karena saya terinspirasi oleh sebuah artikel yang mengutarakan tema "Pendidikan Dimulai dari Keluarga". Sebagai seorang wanita yang baru saja menikah, saya merasa masih begitu banyak ilmu yang harus saya pelajari, masih terlalu banyak hal yang belum saya mengerti. Saya tidak ingin, jika nanti tiba saatnya Allah memberikan amanah buah hati dalam kehidupan rumah tangga kami, saya belum mempunyai bekal yang cukup untuk mendidiknya sebagai insan yang madani. Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Apa pentingnya pendidikan dalam keluarga ? Akan sangat banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Namun kita akan mengambil satu poin saja, bahwa pendidikan dalam keluarga menjadi pondasi untuk pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara? demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf mengawali pembahasan tentang Posisi Keluarga dalam Negara. Sebab, tulisnya, Sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya. Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bahkan, meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam teori Quantum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat

yang amat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa. Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk mempersiapkan masa depan bangsa dan negara. Khalid Ahmad Asy Syantuh menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. Sebab, katanya, ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Adapun tujuan tertinggi dari proses pendidikan, menurut Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, bisa dirumuskan dengan beberapa rumusan berikut: perwujudan diri, persiapan untuk kewarganegaraan yang baik, pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga tengah menyiapkan anggotanya mencapai tujuan tertinggi tersebut, atau dalam bahasa Muhammad Quthb diistilahkan dengan ungkapan ringkas, manusia yang baik.

BAB II ONTOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang: 1. 2. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:

yang-ada (being) kenyataan/realitas (reality) eksistensi (existence) esensi (essence) substansi (substance) perubahan (change)

tunggal (one) jamak (many)

Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Keluarga dalam Perspektif Filsafat Islam Unit sosial dasar masyarakat Islam adalah keluarga. Jika Islam dapat digambarkan sebagai jiwa masyarakat Islam, keluarga dapat dilihat secara kiasan sebagai raganya. Selama beribu-ribu tahun, keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik orang. Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan khususnya abad ke-20 sangat membebani unit ini, namun keluarga, bersama iman Islam, tetap sentral tempatnya dalam kehidupan orang dari segenap kelas sosial, dalam konteks desa dan kota, dan di segenap negara Muslim. Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah ada keluarga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang amat singkat. Dalam perspektif teologis hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah sistem keluarga. Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin laki-laki dan Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang inilah yang berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Tuhan. Adam dan Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen (mitsaqan galiza) biologis maupun kebutuhan emosional. Keluarga dalam pandangan Islam memiliki nilai yang tidak kecil. Bahkan Islam menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga dengan meletakkan kaidah-kaidah yang arif guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidakharmonisan dan kehancuran. Kenapa demikian besar perhatian Islam? untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik dalam hal kebutuhan

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk membangun istana masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yg diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Bila pondasi ini kuat, lurus agama dan akhlak anggota maka akan kuat pula masyarakat dan akan terwujud keamanan yang didambakan. Sebaliknya bila tercerai berai ikatan keluarga dan kerusakan meracuni anggota-anggotanya maka dampaknya terlihat pada masyarakat bagaimana kegoncangan melanda dan rapuh sehingga tidak diperoleh rasa aman. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Filsafat Islam Dalam ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Allah memerintahkan : Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan neraka. (Q.S. At-Tahriim : 6) Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. Ini merupakan sifat manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia diciptakan manusia mempunyai sifat mencintai anaknya. Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia. (Al-Kahfi : 46) Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberikan tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah oleh anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoleh ke arah ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW datang, lalu diberitahu oleh Aisyah tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda : Apakah yang mengherankanmu dari kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.

Uraian

diatas

menegaskan

bahwa

(1)

wajib

bagi

orang

tua

menyelenggarakan pendidikan dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu wajar (natural) karena Allah menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anaknya. Agama Islam secara jelas mengingatkan para orang tua untuk berhati hati dalam memberikan pola asuh dan memberikan pembinaan keluarga sakinah, seperti yang termaktub dalam QS Lukman ayat 12 sampai 19. Dan apabila kita kemudian kaji isi ayat diatas, maka kita akan menemukan beberapa point-point penting diantaranya adalah :
1. Pembinaan jiwa orang tua.

Pembinan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surat Luqman ayat 12 : Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
2. Pembinaan tauhid kepada anak.

Makna tentang pembinaan tauhid, Luqman Ayat 13 : Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezhaliman yang besar. Luqman Ayat 16 : (Lukman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui
3. Pembinaan akidah anak.

Mengenai pembinaan akidah ini, Surat Luqman memberikan gambaran yang begitu jelas. Dalam surat tersebut pembinaan akidah pada anak terdapat dalam empat buah ayat yaitu ayat 14, 15, 18 dan ayat ke 19.

4. Pembinaan jiwa sosial anak.

Pembinaan sosial pada anak dalam keluarga, dijelaskan dalam surat Luqman ini melalui ayat ke 16 dan ayat ke 17. Untuk ayat ke 16 telah disebutkan pada point ke dua. Sedangkan ayat ke 17 dari surat Luqman berbunyi : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di dalam keluarga. Dikatakan utama karena pendidikan yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya. Para ahli sependapat bahwa betapa pentingnya pendidikan keluarga ini. Mereka mengatakan bahwa apa-apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga, membawa pengaruh terhadap lingkungan pendidikan selanjutnya, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Tujuan dalam pendidikan keluarga atau rumah tangga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, akal dan ruhani. Yang bertindak sebagai pendidik dalam rumah tangga ialah ayah dan ibu si anak. Ingatlah selalu kepada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya: Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah. Maka ibubapanyalah yang menasranikanatau menyahudikan atau memajusikannya. (H.R. Bukhari Muslim). Dari hadist nabi tersebut tergambarkan bagaimana pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga. Dimana dalam hal ini keluarga berperan untuk membentuk pribadi anaknya ke arah yang lebih baik.

BAB III EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA

Epistemologi, dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Secara teori tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa bahan yang disajikan dalam pendidikan keluarga adalah masalah keterampilan, kerohanian, dan pengetahuan dasar. Dalam Undang-Undang RI No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Kehidupan Keluarga atau Famili Life Education, pendidikan bertujuan agar masing-masing anggota keluarga dapat melaksanakan fungsi, peranan, dan tanggung jawabya dengan baik, secara efektif dan memuaskan, selaras dengan kedudukannya dalam keluarga itu. Tiga Teori yang Melandasi Pendidikan
(a) Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)

Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak

pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifatsifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.
(b) Teori Navitisme (Schopenhauer)

Lawan dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa. Aliran Pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabularasa disebut aliran optimisme. Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua teori tersebut ada benarnya dan ada pula yang tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi.
(c) Teori Konvergensi (William Stern)

Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan

perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya. Hak negara terhadap pengajaran dan pendidikan juga diterimanya dari Tuhan (bukan negara polisi atau totaliter), seperti hak orang tua terhadap anaknya. Tetapi, hak itu bukan karena kedudukannya sebagai orang tua, melainkan karena kekuasaan yang menjadi milik negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsanya, yang sudah menjadi tujuan negara itu sendiri. Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya. Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial ; perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua dengan jalan mendirikan sekolahsekolah dan badan-badan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua baik material maupun moral tidak dapat mencukupi, misalnya karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai. Jadi, jelas di sini bahwa hak orang-orang itu tidak mutlak. Hak itu terikat oleh hukum alam dan hukum Tuhan, dan pendidikan itu harus pula sesuai dengan kesejahteraan umum. Tetapi, hak negara yang demikian (turut campur tangan) tidak untuk menduduki tempat orang tua, namun hanya untuk menambah yang kurang saja. Apabila perlu misalnya, hak orang tua itu dicabut (gila dan sebagainya) negara harus berusaha memberikan pendidikan kepada si anak, yang sedapat-dapatnya mendekati pendidikan

10

keluarga si anak atau menyerahkan anak itu pada keluarga lain, tidak perlu menjadikan anak milik negara. Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi kesempatan agar semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang kewajibankewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang bersangkutan. Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan sekolahsekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pemimpin ini tidak mengurangi hak-hak orang tua. Aliran Filsafat Pendidikan Agar uraian tentang filsafat pendidikan itu menjadi lebih lengkap, berikut ini akan saya uraikan beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :
1. Filsafat pendidikan idealisme, menegaskan bahwa hakekat kenyataan

adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran berfilsafat spiritual atau mental. Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai kebenararan atau nilai sejati yang absolut dan abadi. Terdapat variasi pendapat beserta namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme, neokantianisme, dan sebagainya. Variasi itu antara lain menekankan pada akal dan rasio pada rasionalisme atau sebaliknya pada ilham untuk irasionalisme, dan lain-alain. Meskipun terjadi variasi pendapat tersebut, namun pada umunya aliran itu menekankan bahwa pendidikan merupakan kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten, anatara lain melalui introspeksi

11

dan tanya jawab. Oleh karena itu sebagai laboratorium peradaban, orang tua berfungsi membantu anggota keluarganya mencari dan menemukan kebenaran, keindahan dan kehidupan yang luhur.
2. Filsafat pendidikan esensialisme, bertitik tolak dari kebenaran yang telah

terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusiamanusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld.
3. Filsafat pendidikan pragmatisme, merupakan aliran filsafat yang

mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi kegunaan pragtis; dengan kata lain paham ini menyatakan yang berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia .
4. Filsafat pendidikan paranialisme dan esensialisme, yakni keduanya

membela kurikulum tradisonal yang berpusat pada pelajaran yang pokokpokok (subject centered). Perbedaanya ialah perenialisme menekankan keabadian teori kehikmatan yaitu :

Pengetahuan yang benar (truth) Keindahan (beauty) Kecintaan kepada kebaikan (goodness) Konsep pendidikan itu bersifat abadi, karena hakekat Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususkan

Prinsip pendidikan antara lain: a. b. manusia tak pernah berubah. makluk manusia yang uni, yaitu kemampuan berpikir.

12

c. d.
e.

Tujuan belajar adalah mengenal kebenaran abadi dan Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan

universal. sebenarnya. Kebenaran abadi itu ajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar (basic subject).
5. Filasafat pendidikan rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang

logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini. Tetapi haruslah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dengan demikian tidak setiap individu dan kelompok akan memecahkan progresivisme. kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai

13

BAB IV AKSIOLOGI PENDIDIKAN KELUARGA

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai. Pertanyaan di wilayah ini menyangkut, antara lain:

Untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional? (filsafat etika).

Filsafat Etika dalam Pendidikan Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu : 1. Etika dan Pendidikan Istilah etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.

14

Filsafat Pendidikan Keluarga Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan keluarga coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak anggota keluarga. Ini berarti pendidikan keluarga diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada anak, melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan keluarga. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan keluarga Islam. Oleh sebab itu -berdasarkan pada pendekatan etik moral- pendidikan keluarga harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada seluruh anggota keluarga ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan anggota keluarga sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing. 2. Estetika dan Pendidikan Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasilhasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.

15

Filsafat Pendidikan Keluarga Islam dan Estetika Pendidikan Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan keluarga Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada predikat keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam pendidikan keluarga sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni: 1. Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman. 2. Seni sebagai alat kesenangan. 3. Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman. Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam pendidikan keluarga hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan keluarga coba dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak anggota keluarga. Ini berarti pendidikan keluarga diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam). Model Pendidikan Keluarga Pendidikan dalam keluarga yang baik adalah yang bersifat integratif, dimana segala aspek potensi kemanusiaan harus terberdayakan. Dalam wacana pendidikan keluarga, yang terjadi haruslah sebuah pemberdayaan yang aktif. Kendatipun ada kekuatan dominasi karena otoritas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga, tetapi tidak boleh mengarah kepada prosesi pendidikan yang melakukan praktik dehumanisasi. Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari suami kepada isteri dan anak-anak, akan tetapi terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam. Model interaksi yang dibangun dalam keluarga sangat menentukan model pendidikan yang terjadi di dalamnya. Keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan memudahkan untuk

16

proses penyerapan nilai-nilai. Akan tetapi keintiman hubungan saja tidak cukup, diperlukan juga perangkat lainnya berupa metoda, pertimbangan waktu dan kondisi. Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu mendapat perhatian dalam keluarga. Akan tetapi model yang dipilih tentu yang akan membawa anggota keluarga menuju nilai kebaikan optimal mereka. Bukan model pendidikan yang akan mematikan potensi dan memandulkan bakat mereka. Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik. a) Pendidikan Iman Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagianbagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk kecerdasan spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Membalas perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Adil dalam memberikan hukuman dan pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala apa yang tampak dan tersembunyi. Inilah hakikat iman yang paling fundamental. Setiap orang merasa dirinya berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan. Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas bagi semua manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan bekerja dengan benar untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar, tidak menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui, karena merasa diawasi oleh Tuhan. Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama dalam membentuk imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman nilai-nilai

17

keimanan dalam keluarga merupakan pengamalan Pancasila khususnya sila pertama. Apabila iman sudah tertanam dengan kuat, akan melahirkan pula kepatuhan manusia terhadap hukum dan aturan yang datang dari Tuhan. Semua hukum dan aturan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia adalah untuk kebaikan kehidupan manusia dan menghindarkan manusia dari kerusakan. Keluarga dibiasakan dan dilatih untuk mentaati hukum dan aturan dari Tuhan, agar kehidupan yang terbangun dapat berada dalam jalan yang benar. Lebih jauh lagi, keimanan juga membentuk pemikiran dan cara pandang yang khas, yaitu manusia dalam memandang segala sesuatu dengan perspektif ketuhanan. Sebagai manusia beragama, semestinya dituntut memandang segala sesuatu dengan cara pandang yang bertuhan. Pragmatisme dan perbuatan fatalistik yang banyak dilakukan masyarakat saat menghadapi kesulitan hidup, merupakan contoh pemikiran dan cara pandang yang mengabaikan ketuhanan. b) Pendidikan Moral Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat masyarakat mengalami proses degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya. Pada hakekatnya moral adalah ukuranukuran nilai yang telah diterima oleh suatu komunitas. Moral berupa ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Setiap agama memiliki doktrin moral, setiap budaya masyarakat juga memiliki standar nilai moral, yang apabila itu diaplikasikan akan menyebabkan munculnya kecerdasan moral pada indiviudu, keluarga maupun masyarakat dan bangsa. Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga. Pendidikan moral sangat penting membiasakan kebiasaan yang baik dalam hubungan antara

18

manusia dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Karena perbuatan baik manusia tidak hanya diatur dan digerakkan oleh faktor hukum, namun juga oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya ajaran agar berlaku baik kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada hukum. Kalau hukum mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan pelaksanaan dan pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa membangun kesadaran bertindak. c) Pendidikan Emosi Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Memasuki abad 21, paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient) sebagai satusatunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Menurut Goleman, orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah, karena cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.

19

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut emotional quotient (EQ) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. d) Pendidikan Fisik Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah penting untuk mendapat perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat. Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Robert Gensemer mengistilahkan pendidikan jasmani sebagai proses menciptakan tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa. Artinya, dalam tubuh yang baik diharapkan pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: men sana in corporesano. Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik dalam keluarga adalah pembiasaan pola hidup sehat, baik dari segi pola makan, pola istirahat, pola kegiatan, maupun dengan kegiatan olah raga yang teratur. Keluarga adalah lembaga pertama dalam mengembangkan pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota keluarga. e) Pendidikan Intelektual Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang ditandai dengan amuk massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran antarsiswa dan mahasiswa, ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat seakan hilang dalam

20

budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak terkecuali berlaku bagi kelompok masyarakat elite dan berpendidikan. Kita membutuhkan pendidikan yang mampu memoles nalar sehat masyarakat kita. Ranah intelektual harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, selain sisi iman, moral, maupun emosional. Menurut AS. Hornby, intellectual is having or showing good reasoning power. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kematangan intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan nalar logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistematis, dan efisien. Selain itu, seorang intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan baru, dapat menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai gramatikal bahasa. Jadi, kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh seseorang menggunakan intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan mentalnya. Menciptakan kematangan intelektual adalah tugas keluarga dengan lingkungan yang kondusif, selain sekolah yang tentu sangat berperan dalam proses pematangan intelektual. Jika belajar dari negara Jerman, calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman dituntut telah mencapai hochschulreife, artinya kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Pendidikan dalam keluarga berorientasi pada kematangan intelektual, agar anggota keluarga memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kondisi dalam kehidupan dengan nalar yang sehat dan matang. Secara konseptual, kematangan intelektual dapat dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa. Matematika dapat memberikan cara bernalar logis dan kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan menulis. Selain itu, diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang tepat sehingga pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik. f) Pendidikan Sosial Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan

21

kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga. Banyak kenyataan dalam kehidupan keseharian, anak yang disibukkan dengan dunianya sendiri, asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu playstation, handphone, komputer, atau benda teknologi lainnya. Anak mengurung diri di rumah atau kamar, tidak banyak keluar rumah, sehingga orang tua merasa tidak khawatir anaknya akan terkena pengaruh buruk dari pergaulan di luar rumah. Padahal keasyikan semacam itu membuatnya kehilangan kecerdasan sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering menyebabkan dehumanisasi, karena telah meminimalisir interaksi sosial.

22

BAB V BUDAYA KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DALAM KELUARGA

Seperti dijelaskan di atas, bahwa di antara fungsi besar dalam sebuah keluarga adalah fungsi edukatif atau pendidikan. Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak akan lebih tinggi. Selain itu tidak dapat diragukan lagi bahwa salah satu pentingnya pendidikan dalam keluarga adalah bahwa pendidikan ini nantinya akan menjadi pondasi untuk pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Demikian juga halnya dengan pendidikan dan penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perlu kita tanamkan sejak dini dalam keluarga, sehingga hal ini akan menjadi suatu kebiasaan bagi para anggota keluarga untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai pada saatnya nanti harus bekerja dalam suatu lingkungan pekerjaan. Dengan kata lain, pendidikan sejak dini tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam keluarga dapat menjadi investasi bagi masa depannya. Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada keluarga perlu memperhatikan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan rumah. Hygiene dan sanitasi lingkungan rumah akan meningkatkan status kesehatan fisik dan psikis para penghuni rumah. Hygiene dan sanitasi lingkungan rumah sangat dipengaruhi oleh perilaku para penghuni rumah. Hygiene rumah tangga menekankan pada tersedianya unsur, peralatan dan kondisi yang mendukung terciptanya kesehatan yang setinggi-tingginya. Misalnya tersedianya air minum yang sehat, perabot dapur yang bersih, pencahayaan rumah yang cukup, ventilasi udara berjalan

23

lancar, lantai yang bersih dan tidak licin, kamar tidur yang tidak gelap dan lembab dan lain-lain. Sanitasi lingkungan rumah berkaitan erat dengan upaya nyata dari penghuni rumah dalam bentuk perilaku hidup yang sehat di lingkungan rumah. Misal perilaku membuang sampah, perilaku menjaga kebersihan rumah dan pekarangan sekitar rumah, cara memasak yang sehat, pembuatan apotek hidup dan upaya penghijauan di sekitar rumah. Upaya hygiene rumah tangga saling berhubungan secara serasi dan seimbang dengan sanitasi lingkungan rumah. Salah satu proses pendidikan atau pengajaran yang cepat adalah dengan memberikan contoh langsung kepada anggota keluarga tentang hal-hal yang harus dan tidak seharusnya dilakukan, disinilah peran kedua orang tua. Contohnya: tidak meninggalkan atau menggantung baju kotor di kamar atau di kamar mandi, pemisahan sampah dan membuang sampah pada tempatnya, tidak menidurkan anak di depan TV yang sedang hidup, penghematan energi air dan listrik, tidak membiarkan kondisi lantai yang licin, tidak membuang pembalut wanita ke WC, tidak memberikan HP pada anak secara bebas, dan lain-lain. Perilaku-perilaku tersebut di atas harus dibiasakan dalam rumah tangga dan orangtua yaitu bapak dan ibu harus secara sadar memberikan contoh yang benar kepada anggota keluarganya. Sebagaimana dalam sebuah perusahaan, atasanlah yang harus memberikan contoh kepada para pekerjanya. Suami saya pernah menceritakan suatu kejadian, bahwa ada seorang atasannya ketika melihat sebuah puntung rokok yang masih menyala di lingkungan kerjanya, beliau segera mematikannya dan membuangnya ke tempat sampah. Hal ini tentu saja akan memberi motivasi tersendiri bagi para pekerja yang melihatnya, bahwa merekapun harus melakukan hal yang serupa; menjalankan nilai-nilai Kesehatan dan Keselamatan Kerja sejak dini dan dari hal terkecil di lingkungan kerja, sehingga akan dapat meningkatkan kinerja atau performance dari segala aspek.

24

BAB VI KESIMPULAN

1. Fungsi edukatif dalam keluarga adalah hal yang sangat penting guna

mengantarkan seluruh anggota keluarga menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula, apabila salah dalam pendidikan awalnya, maka peluang unuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak akan lebih tinggi.
2. Dalam

Filsafat

Islam,

anak

adalah

amanah

Allah

yang

wajib

dipertanggungjawabkan. Secara umum, inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan bagi anggota keluarga, seperti termaktub dalam Q.S Al-Lukman : 12-19, pembinaan dalam keluarga adalah berupa pembinaan jiwa orang tua, pembinaan tauhid anak, pembinaan akidah anak, dan pembinaan jiwa sosial anak. 3. Pendidikan dalam keluarga yang baik adalah yang bersifat integratif, dimana segala aspek potensi kemanusiaan harus diberdayakan. Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik.
4. Pendidikan dan penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja perlu kita tanamkan sejak dini dalam keluarga, sehingga akan menjadi suatu kebiasaan bagi para anggota keluarga untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada keluarga perlu memperhatikan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan rumah yang kemudian akan dapat meningkatkan status kesehatan fisik dan psikis para penghuni rumah. Hygiene dan sanitasi

25

lingkungan rumah sangat dipengaruhi oleh perilaku para penghuni rumah. Hygiene rumah tangga menekankan pada tersedianya unsur, peralatan dan kondisi yang mendukung terciptanya kesehatan yang setinggi-tingginya. Sedangkan Sanitasi lingkungan rumah berkaitan erat dengan upaya nyata dari penghuni rumah dalam bentuk perilaku hidup yang sehat di lingkungan rumah.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetopo,

Hendyat.

2005.

Pendidikan

dan

Pembelajaran

(Teori,

Permasalahan, dan Praktek). Malang : UMM Press.


2. Fadly.

2010. Landasan Filsafat dalam Pendidikan. Wordpress.com.

(http://fadlibae.wordpress.com/2010/03/24/landasan-filsafat-dalampendidikan/, diakses tanggal 28 Oktober 2011).


3. Takariawan, Cahyadi. 2011. Pendidikan Dimulai dari Keluarga.__________

27

You might also like