You are on page 1of 6

Lumut Kerak

Senin, 24 Mei 2010 Pengantar Pada tahun 1883, Gunung Krakatau yang terletak di Pulau Krakatau meletus. Setelah itu, bagian pulau yang tersisa tertutup oleh batu apung dan abu sampai kedalaman mencapai rata-rata 30 meter. Setahun setelah letusan, pulau itu hanya merupakan 'gurun' tanpa kehidupan tumbuhan. Kini, bila kita melintasi Pulau Krakatau akan kita lihat sebuah pulau dengan hutan yang sangat rindang. Terdapat lebih dari 270 macam tumbuhan yang hidup subur di dalamnya. Bagaimana sebuah lahan yang semula gundul tanpa kehidupan dapat berubah menjadi hutan yang sarat dengan berbagai jenis mahluk hidup? Tentunya ada mekanisme tertentu yang mampu merubah keadaan tersebut. Perubahan tersebut pasti memakan waktu yang cukup lama dan terjadi secara bertahap. Permasalahannya, jenis tumbuhan apa yang pertama kali mampu hidup pada lahan tandus tersebut? Melalui penguraian mikroba, selaput humus tersebut diuraikan menjadi unsur hara. Campuran lapisan lumpur dengan unsur hara. Campuran lapisan lumpur dengan unsur hara berangsur-angsur akan membentuk tanah. Sesudah tanah terbentuk, terciptalah kehidupan baru yang memungkinkan species lain dapat memasuki daerah itu. Tumbuhan bunga semusim yang bersifat gulma sering merupakan jenis berikutnya yang menyerbu habitat itu. Seiring dengan keadaan tanah yang mulai membaik, maka menyusul tanaman menahun semisal rerumputan. Untuk tumbuh dengan baik pada umumnya tanaman membutuhkan tanah yang subur yang mengandung cukup unsur organik. Pada kasus gunung meletus, hampir seluruh organisme yang ada mengalami kepunahan. Setelah letusan, hanya tertinggal bebatuan tanpa tanah. Awal pembentukan tanah merupakan akibat adanya tumbuhan perintis. Tumbuhan perintis adalah species yang tangguh, mampu hidup pada lahan yang ekstrim atau kritis seperti gurun, bebatuan dan daerah kutub. Contoh tumbuhan perintis adalah "Lumut Kerak". Bila melekat pada bebatuan, lumut kerak akan mengeluarkan zat asam yang mengubah permukaan batu menjadi lapisan lumpur. Jika keadaan lingkungan tidak menguntungkan lumut kerak akan mengurangi kegiatan hidupnya dengan membentuk penebalan berupa selaput humus yang mengandung zat organik. Sisa dari species tersebut sesudah mati akan diurai, memberi manfaat pada kesuburan tanah yang lambat laun sampai pada titik yang mampu menopang pertumbuhan species yang lebih tinggi, seperti perdu dan pohon menahun.

Apabila daerah tersebut dibiarkan tidak terganggu, maka lambat laun tempat tersebut akan membentuk ekosistem tertentu yang meliputi berbagai macam komunitas. Proses pembentukan ekosistem seperti di atas disebut "SUKSESI" dan tumbuhan yang pertama mampu/dapat hidup dinamakan "Tumbuhan Perintis". Lumut Kerak Lumut kerak adalah organisme hasil Simbiosis mutualisme adalah hubungan antar Simbiosis Mutualisma organisme yang saling menguntungkan. Jamur Jamur pada lumut kerak tidak dapat hidup sendiri di pada lumut kerak berfungsi sebagai pelindung alam. Bagaimana simbiosis jamur dan alga ini hidup di dan penyerap air serta mineral. Ganggang yang tempat ekstrim yang mahluk hidup lain tidak mampu hidup di antara miselium jamur berfungsi hidup, bahkan jamur dan ganggang tersebut hidup menyediakan makan melalui fotosintesis. terpisah? Lumut kerak mampu hidup subur pada suhu dan kelembaban yang ekstrim seperti gurun dan kutub. Populasinya tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di Indonesia lebih dari 1000 species yang diketahui dari - 2500 species yang ada. Morfologi Lumut Kerak Pertumbuhan lumut kerak memperlihatkan beberapa macam bentuk morfologi yang berbeda, yang dikenal sebagai: 1. Foliose (bentuk daun) Thallusnya berbentuk lembaran dan mudah dipisahkan dari substratnya. Membentuk bercak pada batu, dinding dan kulit kayu pohon tropika. Permukaan bawah melekat pada substrat dan permukaan atas merupakan tempat fotosintesis. Jenis ini tumbuh dengan garis tengah mencapai 15-40 cm pada lingkungan yang menguntungkan. 2. Crustose Bentuknya datar seperti kerak. Tumbuh pada kulit batang pohon. Berbentuk seperti coret-coret kecil dan pada batang kayu yang sudah mati. 3. Squamulose Campuran bentuk kerak dan daun. 4. Fruticose Thallus tegak mirip perdu. Tumbuh menempel pada substrat oleh satu atau lebih akar. Beberapa jenis dari lumut ini mempunyai kandungan antibiotik dan anti kanker. Hidup bergelantungan di udara, menempel pada pohon-pohon di pegunungan. 5. Lumut Kerak Berfilamen Lumut ini tampak seperti kapas wol. Tumbuh pada kulit kayu pohon dan perdu, berwarna jingga kekuningan atau hi Anatomi Lumut Kerak Anatomi Lumut Kerak Apabila kita sayat tipis tubuh lumut kerak, kemudian diamati di bawah mikroskop, maka akan terlihat adanya jalinan hifa/misellium jamur yang teratur dan dilapisan permukaan terdapat kelompok alga bersel satu, yang terdapat disela-sela jalinan hifa. Secara garis besar susunan tubuh lumut kerak dapat dibedakan menjadi 3 lapisan.

1. Lapisan Luar (korteks) Lapisan ini tersusun atas sel-sel jamur yang rapat dan kuat, menjaga agar lumut kerak tetap dapat tumbuh. 2. Lapisan Gonidium Merupakan lapisan yang mengandung ganggang yang menghasilkan makanan dengan dengan berfotosintesis. 3. Lapisan Empulur Tersusun atas sel-sel jamur yang tidak rapat, berfungsi untuk menyimpan persediaan air dan tempat terjadinya perkembangbiakan. Pada kelompok lumut kerak berdaun (feliose) dan perdu (fruticose) memiliki korteks bawah yang susunannya sama dengan korteks atas, tetapi menghasilkan sel-sel tertentu untuk menempel pada substirat atau dikenal sebagai rizoid. Reproduksi Lumut Kerak Reproduksi Lumut Kerak Perkembangbiakan lumut kerak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu vegetatif dan generatif. 1. Reproduksi Vegetatif Dilakukan dengan cara fragmentasi soredium. Jika Soredium terlepas, kemudian terbawa angin atau air dan tumbuh di tempat lain. 2. Reproduksi Genetatif Reproduksi Generatif spora yang dihasilkan oleh askokarp atau basidiokarp, sesuai dengan jenis jamurnya. Spora dapat tumbuh menjadi lumut kerak baru jika bertemu dengan jenis alga yang sesuai. Sel-sel alga tidak dapat melakukan perkembangbiakan dengan meninggalkan induknya, melainkan hanya dapat berbiak dengan membelah diri dalam tubuh lumut kerak. Soredium adalah Sekelompok jalinan hifa yang menyelubungi sel- sel alga. Fragmentasi adalah terlepasnya bagian tubuh untuk menjadi organisme baru. Peran Lumut Kerak bagi manusia Lumut kerak mampu hidup pada daerah bebatuan dan mampu merubah area tandus berbatu menjadi tempat yang digunakan untuk tumbuh-tumbuhan lain. Peran lumut kerak bagi manusia: 1. Sebagai tumbuhan perintis 2. Membantu siklus nitrogen 3. Sebagai indikator lingkungan 4. Peranan lain dari lumut kerak Peranan lain dari lumut kerak adalah: Jenis ustenea dasypoga dan usnea miseminensis dapat dijadikan obat karena mengandung antikanker. Jenis Roccella tinctoria digunakan sebagai bahan dasar lakmus. Selain peran menguntungkan, ternyata lumut kerak juga dapat meruginan karena mampu merusak batuan pada peninggalan sejarah seperti candi Borobudur dan candi-candi lainnya.

Walaupun lumut kerak mampu hidup pada lingkungan ekstrim, tetapi lumut kerak sangat peka terhadap polusi. Oleh sebab itu lumut kerak dapat dijadikan indikator pencemaran udara, darat, hujan asam, logam berat, kebocoran radioaktif dan radiasi sinar. Ultra violet sebagai akibat penurunan ozon. Lumut kerak sangat peka terhadap pencemaranpaling rendah sekalipun. Jika pada suatu daerah tidak terdapat lumut kerak, memberikan petunjuk bahwa daerah itu telah terkena pencemaran. Beberapa lumut kerak yang mengandung ganggang cyanophyta (cynobacterium) yang tumbuh tersebar di hutan tropika mampu hidup pada intensitas cahaya yang rendah dan yang lebih penting mereka

dapat menggunakan nitrogen bebas (gas nitrogen) menjadi nitrogen organik (asam amino dan protein). Jadi lumut kerak cynobacterium dalam ekosistem membantu daur nitrogen yang berperan dalam persediaan pupuk alami pada ekosistem dasar hutan hujan. Contoh-contoh lumut kerak Secara struktural, tubuh tumbuhan sama dengan tubuh hewan, yaitu tersusun oleh berbagai jaringan dan organ yang saling mendukung untuk melangsungkan fungsi dan aktivitas hidup. Apakah jaringan itu ? Jaringan yaitu sekumpulan sel yang mempunyai bentuk, fungsi, dan sifat-sifat yang sama. Jaringan-jaringan akan menyusun diri menjadi suatu pola yang jelas di seluruh bagian tumbuhan. Misalnya jaringan-jaringan yang berfungsi dalam pengangkutan air dan makanan akan membentuk suatu sistem pembuluh pengangkutan. Jaringan-jaringan tersebut akan menyusun organ tumbuhan yaitu organ akar, organ batang maupun daun.

Lumut Kerak sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (3rd Winner in U.I. LKTI 2008) by Damar P. Susilaradeya
LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARAKarya Tulis Ilmiah Bidang Lingkungan Damar P. Susilaradeya SMAK Penabur Gading Serpong Brilliant Class Pencemaran Udara dan Permasalahannya Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya komponen lain ke dalam udara ambien sehingga kualitas udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya (Chandra; Buwono X, 2007). Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup dan unsur hidup lainnya (Buwono X, 2007). Menurut petugas Bank Dunia di Jakarta, angka kerugian yang dibebankan pada ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai setidaknya 3,8 triliun rupiah setiap tahunnya (EIA, 2004). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang disebabkan oleh pencemaran udara menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit terbanyak yang berjangkit di masyarakat. Pencemaran udara juga merupakan penyebab terjadinya pemanasan global, kerusakan tumbuhan dan kerusakan bangunan (BAPPENAS). Pemantauan Kualitas Udara Ambien di Indonesia Mempertimbangkan dampaknya pada ekonomi, kesehatan, dan lingkungan, pencemaran udara merupakan masalah lingkungan yang sangat mendesak untuk ditangani. Oleh karena itu diperlukan sistem pemantauan tingkat pencemaran udara untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh (IAEMS). Di dalam Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan DKI Jakarta, sistem pemantauanyang digunakan adalah pemantauan kualitas udara ambien (Zahra et al, 2006). Pemantauan kualitas udara ambien antara lain penting untuk mengevaluasi dan mengestimasi tingkat serta dampak pencemaran udara dan juga untuk menilai keberhasilan program pengendalian pencemaran udara. (BAPPENAS, 2006; Sutardi, 2008). Pemantauan kualitas udara ambien di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinu otomatis di 10 kota sejak tahun 2000 yang memantau konsentrasi CO, debu (PM10), SO2, NOx, dan O3 (BAPPENAS, 2006). Namun, pemantauan kualitas udara ambien dengan cara ini memerlukan biaya investasi, operasional, dan

perawatan yang tinggi (Sutardi, 2008). Di samping itu secara keseluruhan kendala dalam pemantauan kualitas udara ambien antara lain adalah terbatasnya alat pemantau dan dana serta terfokusnya pengamatan pada jalan raya sehingga pengambilan sampel tidak mewakili lingkungan secara keseluruhan. Alat Pemantau Otomatis Alat pemantau otomatis yang telah disebutkan di atas menggunakan light atteniation (pelemahan kekuatan atau amplitudo sinyal yang ditransmisikan ketika sinyal tersebut bergerak menjauhi titik asalnya (KKTI)) seperti infra merah atau absorpsi ultra violet atau reaksi fotokimia antara polutan dan pengkatalis yang kemudian dikoresponsdensikan dengan tingkat pencemaran(KY.Gov,2008). Untuk membeli, memelihara dan mengoperasikannya alat ini diperlukan biaya besar yaitu 4,2 milyar rupiah untuk membeli lima alat dan 500 juta rupiah untuk perawatan setiap tahunnya (ETA, 2000). Oleh karena itu perlu dipertimbangkan penggunaan cara lain yang tidak mahal dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat. Salah satu di antaranya adalah dengan biomonitoring. Biomonitoring Biomonitoring adalah penggunaan respons biologi secara sistematik untuk mengukur dan mengevaluasi perubahan dalam lingkungan (NCSU; Mulgrew et al, 2006), dengan menggunakan bioindikator. Biondikator adalah organisme atau respons biologis yang menunjukan masuknya zat tertentu dalam lingkungan (Mulgrew et al, 2006). Sistem pemantauan dengan biomonitoring tidak memerlukan biaya besar karena menggunakan organisme yang telah tersedia di alam. Bioindikator terpapar secara langsung di alam sehingga mencerminkan sistem lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu biomonitoring memberi kesempatan untuk melakukan pemantauanyang tidak terkendala oleh alat yang mahal dan daerah sampel yang terbatas. Selain itu, sistem pemantauan dengan biomonitoring tidak perlu dilakukan secara terus-menerus, tetapi dapat dilakukan secara periodik. Bioindikator yang digunakan dapat dipilih berdasarkan beberapa faktor, antara lain: dapat mudah diukur dan menunjukkan respons yang diamati pada ekosistem; memiliki respons spesifik yang mampu memprediksi bagaimana spesies atau ekosistem akan merespons terhadap tekanan; mengukur respons dengan akurasi dan presisi yang dapat diterima; didasarkan pada pengetahuan tentang zat pencemar dan karakteristik (Mulgrew et al, 2006). Banyak studi menunjukkan bahwa organisme yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bioindikator adalah lumut kerak (lichen). Sehingga menurut hemat saya alternatif lumut kerak perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Telah diketahui bahwa lumut kerak sangat sensitif terhadap pencemaran udara sehingga dapat dijadikan bioindikator pencemaran udara (Aryulina, 2007; Syamsuri, 2004; Campbell, 2003). Lumut kerak adalah asosiasi simbiotik berjuta-juta mikroorganisme fotosintetik (fotobion) yang disatukan dalam jaringan hifa fungi (mikobion) (Campbell,2003; Barreno). Fotobion dan mikobion membentuk mikro-ekosistem yang sangat stabil dan tangguh. Oleh karena itu lumut kerak mampu bertahan dalam kondisi suhu sangat panas atau suhu sangat dingin. Lumut kerak dapat berumur lebih dari 4000 tahun (VIPPPU, 2006). Lumut kerak tidak memiliki kutikula sehingga mengabsorpsi nutrien dan air dari atmosfer (Bungartz). Hal ini menjelaskan mengapa lumut kerak dapat menjadi bioindikator pencemaran udara. Perubahan lingkungan menyebabkan lumut kerak berubah dalam keanekaragamannya, morfologinya, fisiologinya, genetik, dan kemampuan mengakumulasi zat pencemar udara (Barreno). Kesensitifannya ini memenuhi faktor-faktor pemilihan bioindikator. Pada tahun 1866, diketahui bahwa penyebab hilangnya komunitas lumut kerak di Jardin de Luxembourg dekat Paris disebabkan oleh sulfur dioksida (Boonpragob, 2003). Kejadian ini dan kejadian-kejadian lain serupa menyadarkan bahwa kerak memiliki potensi besar sebagai bioindikator. Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator telah digunakan sejak lama dengan cara membuat peta penyebaran lumut kerak. Sistem Skala Polusi Lumut kerak Hawkssworth & Rose pada tahun 1970 menggunakan ada atau tidak adanya spesies sensitif tertentu untuk mengetahui konsentrasi sulfur dioksida dalam udara ambien. Begitu juga dibuat skala untuk zat-zat pencemar udara yang lain (Bell,2001). Berdasarkan morfologinya, lumut kerak umumnya dibedakan menjadi Crustose, Foliose, Squamulose, dan Fructicose (NSTA, 2003). Fructicose merupakan lumut kerak yang paling sensitif terhadap pencemaran udara dan merupakan jenis lumut kerak yang akan pertama kali hilang ketika terpapar pada udara tercemar. Sedangkan Cructose merupakan jenis lumut kerak yang paling resisten

terhadap pencemaran udara (Boonpragob, 2003). Lumut Kerak sebagai Bioindikator Versus Alat Pemantau Otomatis Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator tidak memerlukan biaya besar, mengingat yang diperlukan hanyalah membuat peta penyebaran lumut kerak dibandingkan dengan menggunakan alat pemantau otomatis yang mahal. Namun penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator dengan cara seperti ini hanya mengukur kualitas udara secara kualitatif dan tidak secara kuantitatif. Ini berbeda dengan penggunaan alat pemantau otomatis yang langsung memberikan data kualitas udara ambien secara kuantitatif. Pengukuran zat pencemar udara secara kuantitatif dengan menggunakan lumut kerak juga dapat dilakukan, namun memerlukan biaya yang lebih besar dari pada pengukuran secara kualitatif, walau tetap lebih murah dibandingkan penggunaan alat pemantau otomatis. Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator memiliki banyak kelebihan lain dibandingkan dengan alat pemantau otomatis. Ia dapat dilakukan di daerah yang luas dan terpencil sekalipun. Berbeda dengan penggunakan alat pemantau otomatis yang membutuhkan listrik, penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator tidak memerlukan enerji, karena langsung terpapar dan berfluktuasi di alam. Selain itu penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator tidak harus dilakukan secara terus-menerus tapi dapat dilakukan secara periodik. Kesimpulan Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia. Mengingat luasnya wilayah Indonesia, terbatasnya dana dan pentingnya dilakukan pemantauan kualitas udara ambien. Oleh karena itu diadakannya penelitian lanjut tentang lumut kerak sebagai bioindikator dan dibuatnya standar pembuatan peta distribusi lumut kerak serta skala pencemaran udara berdasarkan peta distribusi tersebut, sangatlahmendesak. KEPUSTAKAAN (edited for the alphabetical order & links design--tg) Aryulina Ph.D., Diah. Biologi SMA dan MA untuk Kelas X. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007. BAPPENAS. Dampak dari Pencemaran Udara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional[Online]. Tersedia: http://udarakota.bappenas.go.id

You might also like