You are on page 1of 9

Muhammad Ibnu Soim

BAB I PENDAHULUAN

Umat muslim khususnya, dari zaman Rasulullah hingga sekarang, telah diberikan tuntunan oleh Allah melalui al-Quran dan as-Sunnah. Coba kita bayangkan, dari bangun tidur hingga tidur kembali Allah memberikan pengetahuannya kepada kita semuanya. Jadi kita seharusnya merasa bangga memiliki aturan yang telah tertera di al-Quran dan as-Sunnah. Bagaiman coba! Apabila kita ini sebagai umat muslim, tidak memiliki aturan yang seperti itu? Mungkin kita akan kebingungan untuk melakukan segala sesuatunya. Misalnya apabila kita tidak tahu bahwasanya daging babi itu haram, lalu bangaiman dengan sikap kita? Maka Allah memberikan tuntutan melalui alQuran kepada hambanya, bahwasannya daging babi itu haram. Segala amal perbuatan manusia, prilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumbersumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat). Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh. Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.

Muhammad Ibnu Soim

BAB II PEMBAHASAN

A. HUKUM TAKLIFI DAN WADHI

HUKUM TAKLIFI adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat.

Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah. Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi tiga kategori perintah, larangan, dan pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau memnggalkan-nya. Dari ketiga kategori itu, mereka kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, mandub (sunnah), mubah, dan makruh. Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan janji pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang meninggalkan. Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah qathi atau pasti, yang tidak diragukan lagi kesahihannya.

Muhammad Ibnu Soim

Untuk itu, sebagian ulama berpendapat, orang yang mengingkari perintah wajib ini tergolong orang yang kufur. Contohnya adalah orang mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang menolak menegakkan shalat, tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar zakat. Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu dengan disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang melanggarnya. Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath i (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai, mem- . bunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri. Adapun perbuatan yang mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan diberikan pahala,

sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa. Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang tidak

mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah shalat sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib. Menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat, setiap amalan mandub (sunah) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah wajib, di samping juga mendorong pelakunya agar secara berkelanjutan melaksanakan ibadah-ibadah wajib. "Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia ju%a menjalankan ibadah-ibadah wajib,"

... ... ///

Muhammad Ibnu Soim

HUKUM WADHI adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan mni (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Misalnya, hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di

tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu menjadi syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi penghalang/mni seorang wanita melakukan kewajiban shalat dan puasa. Hukum wadhi Pembahasan hukum dalam ilmu usul fikih tidak berhenti pada hukum taklifi saja. Ada pula hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum wadhi atau hukum kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi yang satu menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain. Contoh hubungan yang menjadi sebab adalah ketika seseorang telah menyaksikan hilal pada 1 Ramadhan, diwajibkan baginya untuk berpuasa Ramadhan. Berarti, melihat hilal menjadi sebab bagi wajibnya puasa. Rasulullah SAW bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat bulan (1 Ramadhan) dan berbukalah karena melihat bulan (1 Syawwal)." Adapun contoh hubungan yang menjadi syarat bagi yang I.rn adalah mengambil air wudhu menjadi syarat bagi sahnya shalat; adanya saksi menjadi

Muhammad Ibnu Soim

syarat bagi sahnya pernikahan; niat menjadi syarat bagi sahnya puasa, dan lainlain. Sedangkan, contoh hubungan yang menjadi penghalang (mani") ialah pembunuhan atau murtad (keluar dari Islam) menjadi halangan bagi seseorang untuk memperoleh harta warisan. Nabi SAW bersabda, "Seorang pembunuh tidak berhak atas pembagian harta warisan." Demikian pula dengan gila dan tidak sadar diri yang menjadi penghalang bagi wajibnya shalat. Tiga golongan Ada tiga golongan manusia yang tidak dikenai hukum apa pun. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Aisyah RA menyebutkan, ketiga orang itu adalah orang yang tertidur hingga bangun, anak kecil hingga dia baligh (dewasa), dan orang gila hingga dia sembuh. Sementara itu, Thamrin Zarkasyi dalam Metodologi Hukum Islam menyebutkan, orang-orang yang terhalang (tidak dibebani hukum) karena kurang kecakapan (Awaridl al-Ahliyyah) adalah orang sakit, gila, kurang akal, lupa, tidur, pingsan, anak kecil, haid, nifas, dan dalam perjalanan. "Orang yang dipaksa juga tidak dibebankan sebuah hukum. Karena, ia melakukan itu bukan atas kesadaran sendiri, melainkan karena paksaan dari pihak lain,"

Muhammad Ibnu Soim

B. MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI

WAJIB. Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.

MANDUB. secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu, ihsan, dan fadhilah.

HARAM. Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala. Misal: larangan zina.

MAKRUH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung ( ) secara berlebihan ketika wudhu di siang hari Ramadhan.

Muhammad Ibnu Soim

MUBAH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka boleh (mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan meminta suami menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).


Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri

Muhammad Ibnu Soim

untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

C. MACAM-MACAM HUKUM WADHI

SEBAB. Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.

SYARAT. Secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai tanda. Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung kepadanya ada sesuatu yg lain, dan berada di luar hakikat sesuatu itu.

MNI. Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, maksudnya adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.

D. KETERKAITAN DENGAN HUKUM TAKLIFI Hukum taklifi dengan hokum wadhI ada keterkaitannya yaitu sama-sama berasal dari al-quran hukumnya, dan ada juga perbedaanya yaitu: jika di hokum taklifi yaitu haram, makhruh, wajib, mahdub, mubah sedangkan di hokum wadhiI yaitu tidak mengandung semua itu tetapi sebab, syarat, mani

Muhammad Ibnu Soim

DAFTAR PUSTAKA

Al-'Asqalni, Bulghul Marm, Kairo: Dr al-Mustaqbal, 2005. Hakim, Abdul Hamid, Mabd Awwaliyah f Ushl al-Fiqhi wa al-Qawid alFiqhiyah, Jakarta: Saadiyah Putra. Khallf, Abdul Wahhb, Ilmu Ushl al-Fiqhi, Kairo: Dr al-Hadts, 2002. Zaidan, Abdul Karim, al-Wajz f Ushl al-Fiqhi, Beirut: Muassasatu al-Rislah, 1996.

You might also like