You are on page 1of 13

Muhammad Ibnu Soim

BAB I PENDAHULUAN

Manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah hati nurani, akal, ruh dan sirr. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk mencapai keburukan adalah nafsu syahwat yang berpusat pada perut dan hawa nafsu amarah yang di dada. Dalam konteks ini, pendidikan harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki keterampilan untuk dapat mempergunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu akal, dan menjauhkannya dari mempergunakan alat yang dapat membawa kepada keburukan, yaitu hawa nafsu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan diuraikan mengenai akal dan hawa nafsu dalam berbagai aspeknya, serta hubungannya dengan kegiatan pendidikan. Rujukan utamanya adalah ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan akal dan hawa nafsu.

Muhammad Ibnu Soim

BAB II PEMBAHASAN POSISI AKAL DAN NAFSU DALAM ISLAM SERTA KEDUDUKANNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. AKAL Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab yaitu al-aql yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy, tidak terdapat pada Al-Quran. Al-Quran sebagaimana dikatakan Harusn Nasution hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh dalam 1 ayat, taqilun ayat dan yaqilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti paham dan mengerti. 1 Sebagai contoh dijumpai pada ayat-ayat (Q.S. Al-Baqarah, 2: 75 dan 242: al-Hijj, 22:46; Al-Mulk, 57: 10, dan Al-Ankabut, 29:43). Selain itu al-quran terkadang kata akal di identikan dengan kata lub jamaknya al-albab. Sehingga kata ulul al-bab dapat di artikan orang-orang yang berakal. Hal ini misalnya dapat di jumpai pada ayat yang berbunyi:

Harun Nasution,Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, cet. II, hal. 5.

Muhammad Ibnu Soim


Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Al-Imran: 190-191). Pada ayat tersebut terlihat bahwa orang yang berakal (ulul al-bab) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah dan tafakkur memikirkan ciptaan Allah. Selanjutnya melalui pemahaman yang dilakukan para mufassir terhadap ayat tersebut diatas, akan dapat di jumpai peran dan fungsi akal tersebut secara lebih luas lagi. Objek-objek yang dipikirkan akal dalam ayat tersebut adalah al-Khalq yang berarti batasan dan ketentuan yang menunjukan adanya keteraturan dan ketelitian, al-samawat,yaitu segala sesuatu yang ada di atas kita dan terlihat dengan mata kepala; al-ardl yaitu tempat di mana kehidupan berlangsung diatasnya (bumi); ikhtilaf al-lail wa al-nabar artinya pergantian siang dan malam secara beraturan; al-ayat artinya dalil-dalil yang menunjukan adanya Allah dan

Muhammad Ibnu Soim

Kekuasaan-Nya2. Semua itu menjadi objek atau sasaran di mana akal memikirkan dan mengingatnya. Penemuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut mengantarkan orang yang berakal untuk mensyukuri dan meyakini bahwa segala ciptaan Allah SWT itu ternyata amat bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia. Dalam hubungan ini orang yang berakal berkata rabbana ma khalaqta baza bathila subhanaka faqina azab al-naar, (Yaa Tuhan Kami, Engkau Yaa Allah, dan karenanya juhilah kami dari api neraka). Dalam tafsir al-Maraghy, dikatakan bahwa orang yang al-zakirun dan mutafakkirun (berakal) berkata Yaa Tuhan kami Engkau tidak menciptakan apa yang tampak di ala mini baik yang ada di langit maupun di bumi, sebagai perbuatan yang sia-sia, Engkau tidak menciptakannya tanpa tujuan atau iseng-iseng.3 Penggunaan akal fikiran mengalami peningkatan yang luar biasa pada masa kekuasaan Bani Abbas (khususnya zaman alMukmin). Pada masa ini terjadi kontak umat Islam dengan pemikiran Yunani yang di jumpai pada beberapa wilayah yang sudah di kuasai Islam. Pada zaman inilah muncul para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Razi, Ibn Rusyd, Ibn Baja, Ibn Tufail dan sebagainya.

2 3

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghy, Jilid II, Mesir: Dar Al-Fikr, tp.th, Hal. 160 Ibid, hal. 163

Muhammad Ibnu Soim

Berbagai ilmu agama Islam seperti Fiqih, Ilmu Kalam, Filsafat dan sebagainya yang muncul pada periode ini diperoleh oleh pandangan yang di berikan apresiasi dan penghargaan terhadap akal sebagaimana tersebut di atas. Bersamaan dengan itu kajian kajian terhadap istilah akal yang dijumpai di dalam AlQuran semakin di tingkatkan. Berbagai pengertian tentang akal sebagaimana tersebut diatas terjadi karena pengaruh dari pemikiran filsafat Yunani, yang banyak menggunakan akal pikiran. Seluruh pengertian akal tersebut adalah menunjukan adanya potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan, mengingat dan mengendalikan hawa nafsu seseorang. Melalui proses

memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah sebagaimana dikemukakan pada ayat tersebut diatas, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah SWT.4 Dengan kata lain, ketika akal melakukan fungsinya sebagai alat untuk memahami apa yang tersirat di balik yang tersurat, dan dari padanya ia menentukan rahasia kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah, maka pada saat itulah akal

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional , Bandung: Prima, 2001, Cet. 1 hal. 12.

Muhammad Ibnu Soim

dinamai pula al-aqlb. Akal dalam pengertian yang demikian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya di dalam surat al-Kahfi ayat 18 yang artinya: Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan kami balik-balikan mereka ke kanan dan kekiri, sedangkan anjing mereka mengulurkan kedua lengannya ke muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah hati kami akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (Q.S. Al-Kahfi: 18:18). Akal dalam pengertian yang demikian itulah yang kini disebut dengan istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu

kemampuan mengelola iri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.5 Hal ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat ternyata tidak sematamata ditentukan juga oleh oleh prestasi akademisnya di sekolah, diri.6

melainkan

kemampuannya

mengelola

Pemahaman terhadap potensi yang dimiliki akal sebagaimana tersebut diatas, memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan. Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam

merumuskan tujuan pendidikan. Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa dalam ajaran Islam akal mempunyai kedudukan tingg dan banyak
5 6

Nasution, Asas- asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Cet I, hal. 50. Ibid, hal. 50

Muhammad Ibnu Soim

dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.

B. HAWA NAFSU Didalam Al-Quran terdapat kata al-hawa yang dapat mencakup berbagai aspeknya. Pertama , menyangkut pengertiannya, yaitu kebinasaan. Hal ini dapat dilihat pada ayat yang berbunyi wa man yablil alaibi ghadlabiy fa qad hawa artinya: dan barang siapa di timpa kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. Kedua, berkenaan dengan sifatnya yaitu enggan menerima kebenaran, seperti pada ayat yang berbunyi kullama jaa bum rasulun bima la tahwa anfusuhum fariqan kazzabu wa fariqan yaqtulun yang artinya setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak di inginkan oleh hawa nafsu mereka maka sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. Ketiga berkenaan dengan sasarannya, yaitu menyesatkan manusia sehingga mereka di peringatkan agar tidak mengikutinya. Keempat, Berkenaan dengan lawannya yaitu al-haqq (kebenaran) sebagaimana akan di uraikan dibawah nanti. Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang yang tidak terpedaya oleh hawa nafsu, dan lebih mematuhi Allah. Berdasarkan informasi yang di jumpai pada ayat-ayat tersebut dapatlah di ketahui bahwa hawa nafsu adalah termasuk salah satu potensi rohaniyah yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.

Muhammad Ibnu Soim

Salah satu hal penting berkenaan dengan hawa nafsu sebagaiman di uraikan diatas, adalah bahwa nafsu cenderung membawa manusia menyimpang dari kebenaran. Karenanya hawa nafsu seeing di pertentangkan dengan kebenaran sebagaimana diuraikan diatas. Untuk ini perhatikan firman Allah SWT sebagai berikut:


Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shaad: 26). Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya.7 Yaitu sikap yang tidak membeda-bedakan antara satu kelompok lain, antara rakyat yang miskin dengan yang kaya. Dari uraian di atas, terdapat petunjuk yang jelas bahwa seorang yang menjadi pemimpin adalah orang
7

Ahmad Mushthafa al-Muraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid VIII, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th), hal . 111

Muhammad Ibnu Soim

yang lebih mengutamakan kebenaran yang di putuskan dengan akalnya, dan bukan orang yang gemar memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat di mana Syaitan memasukan pengaruhnya. Pengaruh syaitan tersebut dapat tampil dalam berbagai bentuknya, dan menyentuh semua lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orang tua dan seterusnya. Hawa nafsu yang datang kepada orang yang kaya menyebabkan dirinya di perbudak oleh harta benda, mengumpulkan harta benda dengan sebanyak-banyaknya dan enggan menolong orang lain. Dengan kekayaannya itu ia menjadi sombong, pamer dan seterusnya. Hawa nafsu yang menimpa kepada rakyat menyebabkan ia tidak percaya kepada pemimpinya, curiga, dan berusaha membuat kerusuhan dan menjatuhkan pemimpinnya. Pendek kata hawa nafsu datang bisa datang kepada setiap orang dan setiap hawa nafsu itu datang pada orang tersebut, akan melencenglah apa yang di lakukannya dari tujuan dan arah yang benar menjadi perbuatan yang merugikannya. Jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut sudah diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah tatanan kehidupan baik di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, ilmu pengetahuan, kesenian, dan sebagainya. Seperti yang tanda-tandanya tampak jelas dewasa ini. Adanya krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, penyebab utamanya adalah karena manusia telah mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti petunjuk Allah SWT. Dalam hubungan ini Allah SWT mengingatkan sebagai berikut:

Muhammad Ibnu Soim


Artinya: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya kami Telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S Al-Muminuun: 71). Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian tersebut adalah hawa penedidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus di pergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk melihat akal agar mampu merenung dan menangkap pesan ajaran seperti itu, maka ia di harapkan dapat terampil dan kokoh dalma menghalangi berbagai pengaruh negative yang di timbulkan oleh hawa nafsu. Sering dengan itu pula pendidikan harus mengarah dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatanperbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini

10

Muhammad Ibnu Soim

yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan seharihari. Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan hawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup.8 Berdasarkan uraian diatas, tersebut terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Pendidikan agama Islam.

BAB III KESIMPULAN

Penggunaan akal fikiran mengalami peningkatan yang luar biasa pada masa kekuasaan Bani Abbas (khususnya zaman al8

AA Qowiy, 10 Sikap Positif, Menghadapi Kesulitan Hidup, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001, Cet I, hal. 3-41

11

Muhammad Ibnu Soim

Mukmin). Pada masa ini terjadi kontak umat Islam dengan pemikiran Yunani yang di jumpai pada beberapa wilayah yang sudah di kuasai Islam. Pada zaman inilah muncul para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Razi, Ibn Rusyd, Ibn Baja, Ibn Tufail dan sebagainya. Berbagai ilmu agama Islam seperti Fiqih, Ilmu Kalam, Filsafat dan sebagainya yang muncul pada periode ini diperoleh oleh pandangan yang di berikan apresiasi dan penghargaan terhadap akal sebagaimana tersebut di atas. Bersamaan dengan itu kajian kajian terhadap istilah akal yang dijumpai di dalam AlQuran semakin di tingkatkan.

12

Muhammad Ibnu Soim

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mushthafa al-Muraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid VIII, (Beirut: Dar alFikr, tp.th), hal . 111 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghy, Jilid II, Mesir: Dar Al-Fikr, tp.th, Hal. 160 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional , Bandung: Prima, 2001, Cet. 1 hal. 12. Harun Nasution,Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, cet. II, hal. 5. Nasution, Asas- asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Cet I, hal. 50.

13

You might also like