You are on page 1of 11

ANAK BERKELAINAN METAL SUBNORMAL (TUNAGRAHITA)

A. PENGANTAR Sesuai dengan fungsinya, mental (kecerdasan) bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling sempurna sebab kecerdasan adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain yang ada di bumi ini. Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia akan melibatkan mental sebagai pengendali motorik tubuh dalam beraktivitas. Oleh sebab itu, kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang (mental subnormal), berarti ia telah kehilangan sebagian besar kemampuan untuk mengabstraksi peristiwa yang ada di lingkungannya secara akurat. Berat dan ringannya dampak pengiring akibat kelainan mental subnormal (tunagrahita) tergantung gradasinya. Dengan kata lain, makin berat gradasi ketunagrahitaan yang diderita seseorang, makin kompleks dampak pengiring yang menyertainya. B. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded,mental subnormal, tunagrahita. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. (Bratanata, 1979). Penafsiran yang salah seringkali terjadi di Masyarakat awam bahwa keadaan kelainan mental subnormal atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus, anak diharapkan dapat normal kembali. Dalam kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi tertentu, perlahan-lahan tanda-tanda ketunagrahitaan yang tampak sebelumnya berangsur-angsur hilang dan menjadi normal kembali.

Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan kasus Pseudofeeble minded, yaitu (1) gangguan emosi pada kanak-kanak sehingga menghambat perkembangan kognitifnya, (2) keadaan lingkungan kurang baik dan tidak memberikan perangsang pada kecerdasan anak sehingga perkembangan kognitifnya terhambat. Rendahnya rehabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh tehadap kemampuannya untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Hendeschee memberikan batasan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang tidak cukup daya pikirnya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat. Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika: (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usi muda, dan (4) kematangannya terhambat (Kirk, 1970). C. KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seseorang dokter dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid, microcepbalon, cretinism, dan lain-lain. Anak tuna grahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu di berdayakan yaitu: 1. Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri 2. Belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya 3. Mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.

Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan yang sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. D. ETIOLOGI ANAK TUNAGRAHITA Menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjandinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor eksogen). Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena faktor endogen, yaitu faktor ketidaksempurnaan psikolobiologis dalam memindahkan gen. sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan normal. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport dapat dirinci melalui jenjang berikut: (1) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma, (2) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur, (3) kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi, (4) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, (5) Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran, (6) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin dan (7) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak. Selain sebab-sebab diatas, ketunagrahitaan pun dapat terjadi karena: (1) Radang otak, (2) Gangguan Fisiologis, (3) Faktor Hereditas, dan (4) Pengaruh kebudayaan. Radang otak merupakan kerusakan pada area otak tertentu yang terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya pendarahan dalam otak. Pada kasus yang ekstrem, peradangan akibat pendarahan menyebabkan gangguan motorik dan mental. Sebab-sebab yang pasti sekitar pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hidrocepbalon misalnya, keadaan Hidrocepbalon diduga karena peradangan otak. Gejala yang tampak pada Hidrocepbalon yaitu membesarnya tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan cerebrospinal. Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi otak. Demikian pula dengan cerebral anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan menyebabkan otak tidak berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cukup. Penyakit-penyakit infeksi lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan, seperti, measles, scarlet fever, manigitis, encepbalitis, diphteria, dan cacat dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak. Gangguan fisiologis berasal dari virus yang dapat menyebabkan ketunagrahitaan di antaranya rubella (campak jerman). Virus ini sangat berbahaya dan berpengaruh

sangat besar pada tri semester pertama saat ibu mengandung, sebab akan memberi peluang timbulnya keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandungnya. Selain rubella, bentuk gangguan fisiologis lain adalah rbesus factor, mongoloid (penampakan fisik mirip keturunan orang mongol) sebagai akibat gangguan genetik, dan cretinisme atau kerdil sebagai akibat dari gangguan kelenjar tiroid. Faktor hereditas atau keturunan diduga sebagai penyebab terjadinya ketunagrahitaan masih sulit untuk dipastikan kontribusinya sebab, para ahli sendiri mempunyai formulasi yang berbeda-beda mengenai keturunan sebagai penyebab ketunagrahitaan. Kirk (1970) misalnya, memberikan estimasi bahwa 80-90% keturunan memberikan sumbangan terhadap terjadinya tunagrahita. Bandingkan dengan estimasi para ahli lain seperti yang termuat dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Kontribusi Keturunan terhadap Terjadinya Tunagrahita NO 1 2 3 4 5 6 1914 1920 1929 1931 1934 1934 TAHUN NAMA AHLI Goddard Hollingswoth Tregold Larson Doll Penros PERSENTASE 77 90 80 76 30 29

Faktor kebudayaan adalah faktor yang berkaitan dengan segenap perikehidupan lingkungan psikososial. Dalam beberapa abad faktor kebudayaan sebagai penyebab ketunagrahitaan sempat menjadi masalah yang kontroversial. Di satu sisi, faktor kebudayaan memang mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan dengan baik, tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan psikofisik dan psikososial anak. Conotoh kasus anak idiot yang ditemukan di Itard dari hutan Aveyron, ataupun anak yang ditemukan hidup di antara serigala di India seperti yang ditulis oleh Arnold Gesel. Walaupun anak tersebut kemudian dirawat dan mendapatkan intervensi pendidikan secara ekstrem, ternyata tidak mampu membuatnya menjadi manusia normal kembali seperti dahulu. Faktor etiologi biomedik sebagai penyebab ketunagrahitaan menurut Kenner, yakni 6,4% akibat trauma lahir dan anoxia prenatal, 35,61% akibat faktor genetik,

6,2% akibat penyakit infeksi prenatal, 5,0% akibat infeksi otak setelah lahir, dan 2,0% lainnya adalah lahir prematur. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Inggris dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, prevalensi anak tunagrahita berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan tempat anak berasal dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut ini. Tabel 4.2 Estimasi Anak Tunagrahita per1.000 Anak Usia Sekolah di Inggris No 1 2 3 Kelas dalam Masyarakat Rendah Menengah Tinggi 1 1 1 Mampu Rawat 4 4 4 Mampu Latih 50 25 10 Mampu Didik Lambat Belajar 300 170 50

Tabel 4.2 memberikan gambaran secara kuantitas frekuensi anak tunagrahita lahir dari keluarga kelas tinggi, menengah, dan rendah dalam jenis dan jenjang berbeda. Makin tinggi kelas, makin sedikit frekuensinya. Kelas dalam masyarakat tinggi diasumsikan layanan kesehatan psikofisik dapat dipenuhi dengan baik, serta dapat menekan tumbuhnya kelainan dalam kecerdasan rendah yang lebih besar (faktor eksternal). E. DAMPAK KETUNAGRAHITAAN Kecerdasan yang dimiliki seseorang, di samping menggambarkan kesanggupan secara mental seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar dan berpikir secara abstrak. Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal, melainkan terdiri berbagai unsur atau kemampuan, yaitu kemampuan yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus. Kemampuan umum yang dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuan berhitung, bahasa, pengamatan ruang, dan lain-lain. Pada umumnya kecerdasan itu sendiri hanya menunjuk pada kemampuan umum. Oleh karena itu, kelemahan kecerdasan di samping berakibat

pada kelemahan fungsi kognitif, juga berpengaruh pada sikap dan keterampilan lainnya. Pada dasarnya anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata normal atau tunagrahita menunjukan kecenderungan rendah pada fungsi umum kecenderungannya, sehingga banyak hal menurur persepsi orang normal dianggap wajar terjadi akibat dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian hanya menurut persepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat rendah. Hal-hal yang dianggap wajar oleh orang normal, barangkali dianggap sesuatu yang sangat mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi karena keterbatasan fungsi kognitif anak tunagrahita. Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih akan berbeda dengan anak yang normal. Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan ingatan anak tunagrahita sangat lemah dibandingkan dengan anak normal. Maka tidak heren, jika instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung tidak melalui proses analisis kognitif, seperti yang dikemukakan oleh Mussen, dkk. Akibatnya, anak tunagrahita jika dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan proses pemanggilan kembali pengalaman atau peristiwa yang lalu, seringkali mengalami kesulitan. Seseorang yang mempunyai tingkat kecenderungan normal, perkembangan kognitifnya menurut Piaget akan melewati periode atau tahapan perkembangan sebagai berikut: 1. Periode Sensorimotor (0-2 tahun) Periode ini ditandai dengan penggunaan sensomotorik dalam pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya. 2. Periode Praoperasional (2-7 tahun) Periode Praoperasional terbagi dalam dua tahapan yaitu: (1) Periode Prekonseptual (2-4 tahun), (2) Periode Intuitif (4-7 tahun). 3. Periode Operasional Konkret (7-11/12 tahun) Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan dan kecakapan baru yakni mengklasifikasikan, menyusun, dan mengasosiasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini pula anak mulai mengkonservasi pengetahuan tertentu. 4. Periode Operasional Formal (11/12-13/14)

Periode ini ditandai dengan kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidahkaidah logika formal yang tidak terkait lagi dengan objek yang bersifat konkret. Perangkat yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan seseorang dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan, dalam hal ini yang umum digunakan ialah stanford-binnet dan revise wescbler interlegence scale for children (WISC-R). materinya meliputi (menyusun balok, mengatur warna, menggambar dengan kertas dan pensil, dan tes verbal [tes perbendaharaan kata] ). Untuk menentukan tingkat ketunagrahitaan secara akurat bukanlah hal yang mudah, sebab diperlukan informasi lengkap dari beberapa ahli dalam hal ini melalui team appreach yang didalamnya melibatkan berbagai profesionalis seperti psikolog, psikiater, neurolog, pekerja sosial, dan orthopedagog. Kesimpulannya, keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas perkembangannya. Beberap hambatan yang tampak pada anak tunagrahita dari segi kognitif dan sekaligus menjadi karakteristiknya yaitu sebagai berikut: 1. Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir. 2. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi 3. Kemampuan sosialisasinya terbatas 4. Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit 5. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi. 6. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV Sekolah Dasar. F. KEMAMPUAN BAHASA DAN BICARA ANAK TUNAGRAHITA Eisenson dan Ogilvie (1963) pernah meneliti untuk mencari hubungan antara tingkat kecerdasan dengan kemampuan bahasa dan bicara. Hasilnya dapat dibuktikan bahwa antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa dan bicara mempunyai hubungan yang positif (dalam Tarigan 1980). Dengan menyimak hasil penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan sebagai salah satu potensi yang dimiliki oleh setiap individu ternyata mempunyai nilai strategis dalam memberikan sumbangan untuk meningkatkan perolehan bahasa dan kecakapan bicara, disamping pengaruh faktor eksternal yang lain seperti latihan, pendidikan, dan stimulasi lingkungan. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal barangkali tidak banyak menemui

hambatan yang berartiu, karena mereka dapat dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara. Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih) kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita secara maksimal , tentunya perlu upaya dan strategi khusus.Satu hal yang perlu dipahami bagi guru langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menyebutkan namanya. Apabila penguasaan kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan benda di lingkungan sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil, sepeda, dan lain-lain atau dapat pula di bantu dengan cerita bergambar yang sederhana, seraya menyuruh anak untuk melengkapi kata yang kita tanyakan, sperti mobil itu berwarna.., kaki kuda itu ada ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, dan seterusnya. Selain melalui upaya-upaya diatas, upaya lain untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita, yaitu model pembelajaran yang membawa anak tunagrahita dalam situasi yang wajar dan alamiah. Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita ada kemungkinan guru atau pembimbing mengalami kesulitan sebab di antara mereka mengalami beberapa kelainan, antara lain artikulasi, arus ujar, nada suara, atau afasia sensoris dan afasia motoris (Patton, 1991). G. PENYESUAIAN SOSIAL ANAK TUNAGRAHITA Ketika seseorang anak lahir , hampir sama sekali tidak berdaya dan sangat tergantung pada orang lain, khususnya orang yang mengasuhnya. Ketergantungan anak dengan pengasuhannya sangat beralasan karena langsung atau tidak telah terjadi hubungan fisik dan psikis antara anak dan pengasuh (ibunya). Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan sosial dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Beberapa studi menunjukan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah. Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang sosial umumnya terjadi karena hal-hal berikut: 1. Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk melakukan sosialisasi.

2. Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi 3. Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi. Kecerdasan dalam berbagai referensi disebutkan sebagai salah satu faktor yang memberikan sumbangan relatif besar dalam penyesuaian seseorang terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Kesimpulannya , semakin efektif kesanggupan seseorang untuk melakukan penyesuaian diri secara mental terhadap situasi dan kondisi yang baru di lingkungannya maka semakin tinggi derajat kecerdasan yang dimilikinya. Perlakuan orang lain yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita, atau lemahnya konsistensi anak tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak tunagrahita mudah di pengaruhi (sugestible) untuk berbuat hal-hal yang jelek. Walaupun demikian , ternyata banyak juga anak tunagrahita yang mampu atau dapat mencapai penyesuaian sosial yang baik, tetapi belum maksimal sebagaimana anak seusianya. H. MODIFIKASI PERILAKU ANAK TUNAGRAHITA Keterbatasan daya pikir yang dimiliki anak tunagrahita menyebabkan mereka sulit mengontrol, apakah perilaku yang ditampakan dalam aktivitas sehari-hari wajar atau tidak wajar (menurut ukutan normal), baik perilaku yang berlebihan maupun perilaku yang kurang serasi. Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita seseorang terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang di persyaratkan dalam pendidikan humanistik, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita. Pada dasarnya paradigma yang digunakan sebagai dasar terapi perilaku berasal dari penelitian laboratorium. Namun demikian, tetap memerhatikan prinsip-prinsip psikologis untuk menghindari kesan bahwa terapi perilaku pada anak tunagrahita sangat mekanistis. Modifikasi perilaku bagi anak yang mampu latih dalam penerapannya harus selalu dibawah pengawasan orang lain, misalnya program perawatan diri sendiri. Apabila dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan baik, dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau minuman atau penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan, dan lain-lain. Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunaggrahita, yaitu melalui kegiatan bermain (kegiatan fisik dan / atau psikis yang dilakukan tidak dengan

sungguh-sungguh). Tetapi permainan yang diperuntukan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: 1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda 2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita . Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita antara lain sebagai berikut: 1. Pengembangan Fungsi Fisik 2. Pengembangan Sensomotorik 3. Pengembangan Daya Khayal 4. Pembinaan Pribadi 5. Pengembangan Sosialisasi 6. Pengembangan Intelektual Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut: 1. Latihan menuangkan air Menuangkan air memang bukan suatu pekerjaan yang mudah bagi anak tunagrahita apalagi kalau diharuskan tidak boleh tertetes air di sekitarnya. 2. Bermain pasir Selain bermain air, latihan menuang dapat pula dengan pasir kering. Botol dan panci sebagai tempat menuangkan air, dan pasir ke ember. 3. Bermain tanah liat Pertama kali anak tunagrahita bermain tanah liat, barangkali kegiatan yang dilakukan hanya mengepal-ngepal saja 4. Latihan Melipat Untuk anak normal latihan meliputi melipat bukan hal yang sulit, namun bagi anak tunagrahita melipat perlu diajarkan terdiri sebab merupakan latihan yang tidak mudah. 5. Latihan menyobek Untuk latihan ini anak harus menggunakan kedua tangannya, dimulai menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga bagian yang sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas kecil-kecil tersebut selanjutnya dapat di gunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung dan lain-lain. Dengan cara menempelkan di kertas yang masih utuh.

10

Model-model permainan yang disajikan di atas sebenarnya merupakan contoh kecil yang dapat dilakukan oleh anak tunagrahita sebagai bagaian dari terapi perilaku. Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita yaitu bermain yang mengandung unsur olah raga. Misalnya, berjalan diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban di kepala melewati titian garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yangg menggunakan alat misalnya mendribel bola, menendang bola, melempar bola, dan menangkap bola, berlari memindahkan bendera, dan lain-lain sebagainya.

11

You might also like