You are on page 1of 11

Agama bagi kehidupan manusia

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :

Karena agama merupakan sumber moral Karena agama merupakan petunjuk kebenaran Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika. Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.

Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78 Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya. Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu

Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan. Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan

Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran. Fungsi Agama Kepada Manusia Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah: - Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.

Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT -Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia. Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini. - Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia. Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama. Memainkan fungsi kawanan sosial. Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial Fungsi Sosial Agama Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor). Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat. Fungsi Integratif Agama Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Fungsi Disintegratif Agama.

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain Tujuan Agama Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama Beberapa tujuan agama yaitu :

Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit). Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat. Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah. Menyempurnakan akhlak manusia.

Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin) dalam kehidupan kemanusiaan. Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan. Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyianyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.

Namun, perlu dicatat, dalam proyek kerja sama ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama. Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya. Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati. Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya. Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama! Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.

Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama. Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan. Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.

PENGGUNAAN AGAMA DALAM POLITIK


Di tengah-tengah merebaknya isu penggunaan agama dalam politik dan anjuran untuk menjaga diri, agar tidak secara salah menggunakan agama sebagai senjata politik, maka perlu juga mencari contoh-contoh di berbagai kawasan dunia mengenai hal itu. Di Brasil, para pastor Katolik telah mengambil isu agama untuk menghadapi rezim Presiden de Mello. Di Israel mendiang Yitzhak Rabin menghadapi kaum ultrakanan Yahudi, bahkan dia tewas tertembak oleh seorang fanatik yang mengambil ajaran Kitab Torat untuk menghabisi nyawa PM Israel itu. Contoh lain adalah di Aljazair, Pakistan dan juga Jepang. Di bawah ini uraian mengenai agama dalam politik, atau politik yang menggunakan agama sebagai "perisai", untuk mengatur suatu (politik dan pemerintahan) negara. - Redaksi Pada bulan Januari 1992 Aljazair dihebohkan dengan masalah agama sebagai pemeran utama dalam pemerintahan. Negeri di Afrika Utara ini menjadi perhatian dunia, mengikuti proses tatanan demokrasi yang melibatkan agama sejak partai Islamic Salvation Front atau Front Penyelamat Islam (FPI) meraih kemenangan di tampuk pemerintahan pada pemilihan umum tahun 1991. Namun situasi Aljazair tidak menentu karena dipengaruhi unsur radikal yang dilakukan partai agama ini, hingga menggoyahkan stabilitas keamanan. Ini,

menyebabkan angkatan bersenjata di negeri 25 juta penduduk itu menghentikan pemilihan umum tingkat parlemen pada bulan Januari 1992. Karena meningginya suhu politik, Presiden Chadli Benjedid dipaksa mundur. Tumbangnya kepemimpinan Benjedid menimbulkan kemarahan pendukung Partai FPI dan menyebarkan isu antipemerintah. Akibatnya militer dituduh FPI sebagai pengkhianat agama, hingga memperparah keadaan. Pemaksaan agama juga dialami pemerintahan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin waktu itu. Ia terdesak oleh barisan ultra-ortodoks dan ekstrim agama sayap kanan di parlemen hingga dia harus mengeluarkan dana US$ 585 juta bagi pembangunan jalan, sekolah dan pemukiman baru, untuk menampung 5.500 kepala keluarga turunan Yahudi yang umumnya dari negeri-negeri Eropa Timur dan Rusia. Padahal dunia internasional melarang Israel membangun sarana pemukiman pada tanah yang dirampas dari orang-orang Palestina. Akhirnya Yitzhak Rabin juga tewas di tangan seorang pemuda Yahudi penganut ultrakanan yang mengaku mengambil ayat-ayat dalam Kitab Taurat untuk alasan menghabisi nyawa PM Rabin, pada November 1995. Tekanan serupa juga dialami pemerintahan Presiden Fernando Collor de Mello di Brasil oleh aksi barisan ekstrem Katolik yang digerakkan kalangan uskup Katolik. Mereka berupaya mempengaruhi masyarakat memerangi kemiskinan. Semua kesengsaraan dan derita masyarakat ditunjukkan kepada rezim de Mello yang dinilai tidak becus. Para uskup menggunakan corong gereja mengumandangkan konsep "Kampanye Persaudaraan" dalam memperbaiki tatanan ekonomi. Aksi sektarianistik juga terjadi di Pakistan ketika para pemuka Islam memaksa agar Shariah dimasukkan dalam konstitusi pemerintahan. Negeri berpenduduk mayoritas Islam penganut sistem sekularisme, dalam mengelola administrasi pemerintahan maupun pada kurikulum pendidikan, perbankan dan tatanan hukum sosial ingin mengubah berbagai aturan dengan penggunaan kaidah hukum Islam. Terapan Hukum Islam juga dikembangkan negeri-negeri bekas Soviet di Asia Tengah dan Asia Barat yang berpenduduk mayoritas Islam. Sebagai Instrumen Strategi

Akhir-akhir ini agama cenderung digunakan sebagai instrumen strategi, oleh kalangan politisi guna meraih kemenangan politik untuk mendominasi tampuk pimpinan eksekutif dan mendapat angin dari publik. Perkembangan peranan agama dalam kancah politik, tidak terlepas dari keadaan kehidupan sosial dan memanfaatkan reaksi kaum lemah yang menderita. Mereka menjadikan agama sebagai alat perjuangan alternatif dan menuntut perbaikan asasi akibat tidak menentunya gejolak politik, melarutnya korupsi dan krisis ekonomi suatu pemerintahan. Tidak terjaminnya ketenteraman sosial dan melarutnya praktik politik praktis serba impulsif, yang sering menyimpang dari aturan konstitusi oleh para birokrat yang berkuasa. Masyarakat awam jenuh karena menjadi mangsa slogan partai politik permainan politisi dan menempatkan posisi agama sebagai penyalur aspirasi. Misalnya publik Jepang yang jenuh terhadap perilaku para King Makers, yang tidak lekang dari penyakit korupsi. Memang dominasi partai LDP selama 38 tahun runtuh. Tetapi hak suara para pemilih menyebar pada berbagai sekte agama, dan bukan pada partai politik di luar LDP. Peran Agama Sejak Dekomunisasi Dampak dari Perang Dingin mewarnai kehidupan tatanan politik dan konflik ideologi selama 45 tahun, sejak usai Perang Dunia II. Konflik ini menimbulkan sekitar 300 perang proksi dan menghilangkan sekitar 15 juta nyawa manusia di berbagai penjuru dunia. Namun keadaan dunia, sejak kapak perang ideologi dunia dikubur akhir 1980-an, mengalami transisi perubahan bentuk politik yang menimbulkan kevakuman kultural pluralistik. Terutama pada pemerintahan yang dipengaruhi pola politik perang dingin, hingga berusaha memperoleh jati diri sejak ideologi komunis tidak lagi berperan sebagai alat kesatuan integrasi di Eropa Timur hingga Asia Tengah yang tergabung dalam lingkungan imperium Uni-Soviet. Transisi ini membuka peluang kebangkitan tradisi agama, terutama yang penganutnya mayoritas, sebagai alat penggalang pemersatuan identitas nasional. Sejak komunisme surut, berbagai negeri Eropa Timur menempatkan agama Kristen-Orthodoks selain sebagai panutan identitas, juga untuk berperan menjadi perangkat integrasi dan garis politik nasional. Sedangkan di Asia Tengah aturan diubah, dari sekularisme ideologi komunis, dan kembali pada agama Islam. Dasar-dasar keagamaan yang menjadi kebesaran dan peninggalan imperium Ottoman di abad pertengahan dipakai sebagai media kesatuan. Cara serupa

dilakukan penganut Evangelis Protestan di Eropa-Timur dan Amerika Tengah, untuk menggeser kultur politik tradisional. Alat Mempertahankan Etnis Masuknya agama di percaturan politik, umumnya berlatar belakang kepentingan etos dan adat kebiasaan suatu rumpun etnis. Peranan unsur agama bagi ketahanan etnis sebagai kekuatan, dapat menjadi sumber konflik. Hal ini terjadi dengan timbulnya konflik antara Armenia dengan Azerbaijan di bekas Uni Soviet. Atau bentrokan antara Kroasia dengan Serbia di bekas negeri Yugoslavia dan wilayah Balkan. Ancaman perpecahan menghantui pemerintahan sipil Nigeria yang dilanda kerusuhan akibat persaingan etnis antara masyarakat utara dengan selatan di negeri Afrika Hitam itu. Kedua pihak berlomba mendominasi pemerintahan, hingga tatanan hidup berdampingan damai antarmasyarakat pluralistik di Nigeria, terancam sirna. India juga rawan dengan ancaman perpecahan. Pengaruh partai agama Hindu turut memperpanjang konflik di Kashmir. Krisis ini bakal melebar ke jurang konflik antara India dengan Pakistan, yang menjadikan dua negara tetangga itu musuh bebuyutan. Kegagalan Demokrasi Tatanan demokrasi sekular tidak mudah membendung penetrasi pengaruh agama dalam percaturan politik di Eropa. Padahal demokrasi menempatkan agama hanya di lingkungan keluarga, pekerjaan, lingkungan pergaulan atau di waktu senggang. Sekalipun proses modernisasi turut memperkaya norma gerejani, namun tidak sedikit menimbulkan ekses punahnya unsur etika tradisi dan jatidiri suatu bangsa. Proses modernisasi dan pertumbuhan demokrasi juga menimbulkan berbagai ekses buruk dengan menghilangnya nilai-nilai moral dan etika. Demokrasi juga menjadi penyebab berbagai aksi protes yang menuntut aneka ragam perbaikan serta memasukkan prinsip-prinsip tidak mendasar dan tidak proporsional. Etos kerja Protestantisme yang mempengaruhi semangat bermotivasi meningkatkan produktivitas cenderung memudar. Kelesuan bermotivasi dirasakan masyarakat dunia ketiga, ditambah dengan proses modernisasi dan alih teknologi mengembangkan proses pola pikir industrialistik. Yang terakhir ini

menimbulkan future shock bagi masyarakat berpola agrikultural. Kemajuan teknologi dan ilmu kesehatan ternyata tidak berimbang dengan ledakan kependudukan. Dampak dari kampanye keluarga berencana yang ketat sejak 40 tahun terakhir yang berpengaruh terhadap pertambahan kelahiran, dikaitkan dengan kemajuan medis, dapat mengakibatkan jumlah manusia usia lanjut lebih besar dan tidak berimbang. Fenomena ini mengubah struktur sosial lingkungan masyarakat. Berbagai lembaga pemerintahan belum dapat mengantisipasi perubahan yang berkembang begitu pesat, akibat terbentur oleh berbagai kebijakan dan undang-undang yang masih menggunakan pola lama. Akibatnya dunia dilanda berbagai ekses pergolakan. Desakan hidup juga dapat mempengaruhi sikap pembawaan dan nilai nilai Kristiani. Memudarnya peranan nilai-nilai Kristiani akibat modernisasi telah menjerumuskan kehidupan masyarakat Eropa ke arah pengkotakan ketimbang panutan integritas. Berbagai gereja bergumul guna mencegah pengkotakan yang mengarah pada kebangkitan identitas supremasi rasialisme dan ultra-nasionalisme. Di Prancis muncul kelompok Front Nasional sebagai kekuatan ultrakanan, di Jerman timbul Neo-Nazi dan di Austria tampil penentang integrasi hidup bersama dengan masyarakat dan kepercayaan di luar Eropa. Denmark yang dikenal toleran juga goncang, ketika didirikan pusat kebudayaan Islam dan mesjid di Kota Kopenhagen. Pakar pengamat masalah gerakan agama, James Turner Johnson berpendapat, "Agama digunakan sebagai alat politik dalam usaha merasionalisasi atau memperoleh suatu identitas sebagai akibat timbulnya perubahan keadaan. Faktor agama sebagai pemuka dalam percaturan politik terjadi saat timbulnya kevakuman kultur, atau juga disebabkan tumbangnya sistem pemerintahan Orde Lama. Agama tetap berperan di lingkungan sub-kultur dan memberi peluang dalam keterlibatan politik. Kemenangan partai Front Penyelamat Islam (FPI) pada pemilu babak pertama di Aljazair, adalah karena menyurutnya popularitas Partai Front Pembebasan Nasional (FPN) yang berkuasa sejak 1962. Padahal partai sekular ini menjadi motor anti-kolonialisme Prancis dan sebelumnya ditopang kaum agama mayoritas. Munculnya Partai Bharatiya Janata dalam percaturan politik India juga akibat kegagalan Partai Kongres yang berkuasa dan selama 45 tahun memimpin pemerintahan di India. Namun perekonomian India tetap saja parah, hingga mempengaruhi kehidupan bermasyarakat sekuler integratif. Sejak lama pemerintahan New Delhi didominasi mayoritas turunan Hindu yang larut dengan pergolakan aksi separatisme masyarakat Sikh dan Islam di provinsi Punjab dan Kashmir.

Tetapi modernisasi ternyata juga tidak menjamin manusia memperbaiki moral dan etika. Modernisasi bahkan cenderung menjauhi keyakinan agama dan tetap hidup dalam keraguan di dunia yang fana. "Hadirnya senjata peluru kendali membuktikan keraguan manusia terhadap keyakinan berkembangnya peradaban sekularisme," demikian pendapat Nathan Gardels pada majalah kwartalan Perpectives yang memfokuskan kegiatan keagamaan di dunia. "Akhir-akhir ini timbul kerinduan mengembalikan tatanan tradisi dan keyakinan terhadap beragama, sebagai kelanjutan hidup" tulis Gardels. Kebangkitan kembali identitas tradisi kultural, aksi fundamentalistik Islam, dari konservatisme Katolik hingga gerakan kemurnian Alkitabiyah serta pengembangan tradisionalisme Jepang, merupakan fenomena yang mewarnai kondisi trend globalisasi. "Beda persepsi mengenai nasionalisme di alam modern cenderung mengembalikan identitas tribalisme. Pengungkitan akar silsilah hubungan keturunan melalui ikatan mitos sejarah telah memudarkan eksistensi hidup masyarakat pluralistik, yang terbentuk dari proses nasionalisme hasil produk modernisasi," demikian pendapat Martin Marty, pakar pengamat masalah agama dan politik internasional. Kembali Pada Fungsi Semula Perjuangan para pastor Katolik di Brasil mewujudkan "Kampanye Persaudaraan" sebagai alat kontrol sosial ternyata tidak memperbaiki keadaan. Bahkan konfrontasi tidak terhindarkan dengan pemerintah, karena dianggap mengganggu stabilitas keamanan. Aksi mogok buruh pabrik dan pelabuhan menuntut perbaikan hidup, tiupan kalangan uskup, berdampak buruk yang merugikan produktivitas negeri produsen kopi terbesar di dunia tersebut. Para uskup terjebak pada panutan utopis yang bertolak belakang dengan kenyataan serba kompleks, dan tidak menuntaskan keadaan. Mereka cenderung menjadi politisi hingga menjerumuskan gereja dan mengorbankan umatnya. Kepemimpinan unsur agama di tampuk pemerintahan di Aljazair juga tidak berhasil meredakan keadaan. Kepemimpinan Chadli Benjedid dengan agama sebagai panutan utama, telah mempengaruhi konstitusi. Urusan rumah tangga juga dicampuri. Misalnya mewajibkan mengikuti aturan agama. Berlakunya hukum agama telah mengorbankan kaum hawa kehilangan ruang gerak hak asasi wanita, karena dilarang bekerja di luar lingkungan rumah dan tetap berfungsi sebagai

hamba para pria. Timbulnya ekses keterlibatan agama meresahkan pemerintahan dan militer, hingga terjadi pembatalan pemilu. Sekuat apapun pengaruh agama dalam panggung kekuasaan, tidak pernah abadi. Yang menjadi penghalang, adalah bila berhadapan dengan ekonomi. Karena bidang ini menjadi jaringan yang terkait dalam konstelasi perekonomian dunia ke arah integrasi interdependensi dari trend globalisasi ekonomi. Tidak satupun pemerintahan ingin terkucil dari dunia luar sejak dunia memasuki era globalisasi, sekalipun menggunakan agama sebagai pagar pemisah dengan supremasi ketertutupan. Pemerintahan ulama di Iran yang didirikan melalui "Revolusi Islam" oleh mendiang Ayatollah Khoumeini pada 1979 juga tidak abadi. Teheran menghentikan aksi konfrontasi terhadap Washington dan memerintahkan kelompok ekstrem membebaskan 58 tahanan Amerika yang disandera dengan imbalan, agar Iran meraih perbaikan ekonomi dan terhindar dari embargo. Iran juga meninggalkan unsur radikalisme dan berganti dengan pragmatisme. Semua kasus yang melibatkan agama, terbentur oleh hadangan krisis ekonomi dan tuntutan nilai demokrasi. Sedangkan agama kembali berada pada posisi sebagai lembaga moral dan melayani umat menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai memanusiakan manusia.*** Bahan-bahan Bacaan: Eerdmans' handbook to World's Religions (WM B Eermans Publ, Michigan 1991). Mordechai Nisan, Minorities in the Middle East: A History of StruggleAnd Self-Expression (MacFarland: Jefferson, NC 1991). John Solecki, "Arabist And The Myth" (The Middle East Journal, Summer 1990). Robin Wright, "The Politics Of Worship," (Los Angeles Times, January 1992) dan berbagai sumber lain.

You might also like