You are on page 1of 302

Pelengkap BUKU PEGANGAN

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

2010

Sinergi Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010 Kementerian Keuangan April 2010

Sinergi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

KEMENTERIAN KEuANgAN REPuBlIK INDoNESIA Tlp. 021.350.9442 Faks. 021.350.9443 Website: www.djpk.depkeu.go.id Email: info@djpk.depkeu.go.id
ii 

DIREKToRAT JENDERAl PERIMBANgAN KEuANgAN

gedung Sutikno Slamet lantai 16 - Jl. DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710

KATA PENGANTAR

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yang secara nyata dan dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah yang hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan serta dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang untuk dapat meningkatkan kualitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. lebih baik. undang-undang Dasar 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa

efektif diimplementasikan sejak tahun 2001 diharapkan dapat menjadi landasan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pembangunan nasional yang dibutuhkan untuk mendukung upaya Pemerintah dalam menjaga keserasian melalui triple track strategy. bersifat inklusif telah mengedepankan pembangunan berdimensi kewilayahan dengan daerah sebagai pusat pertumbuhan. Peran pemerintah daerah sangat

REPuBlIK INDoNESIA

MENTERI KEuANgAN

dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan (Growth with Equity) Kebijakan penting yang perlu dicatat dalam perjalanan kebijakan desentralisasi 1999 dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, fiskal di Indonesia adalah penyempurnaan kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal melalui amandemen undang-undang Nomor 22 Tahun


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

dengan undang-undang
iii

Pelengkap Buku Pegangan 2010

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai suatu upaya strategis penyesuaian undang-undang tersebut menunjukkan komitmen pemerintah pusat untuk terus menjadi bagian yang sangat strategis dalam kaitannya dengan penyempurnaan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan terhadap dinamika pelaksanaan kebijakan tersebut. Kedua undang-undang ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Penyempurnaan melanjutkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, sekaligus

yang dilakukan pemerintah pusat dalam undang-undang Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara, undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang instrumen utama yaitu pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah perimbangan keuangan yang di dalam konteks APBN diberikan nomenklatur fundamental dalam membangun hubungan keuangan antara pusat dan daerah sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, melalui dua

untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (local taxing power) dan DPR telah mengesahkan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Transfer ke Daerah. Dalam upaya local taxing power tersebut, Pemerintah dan yang lebih ideal. undang-undang PDRD ini diharapkan dapat menyempurnakan kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan, meningkatkan investasi yang kondusif.
iv 

Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagai suatu langkah strategis dan memberikan

efektifitas pengawasan, serta memperbaiki pengelolaan pendapatan dari beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat mendukung

upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta penciptaan iklim

Instrumen kebijakan desentralisasi fiskal penting lainnya adalah Transfer ke

Daerah yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah sebagai pelaksanaan prinsip

money follow function. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah kapasitas fiskal daerah sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan nasional dan daerah. Implementasi hubungan keuangan antara pusat dan daerah mencakup pula, antara lain pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah ke daerah. publik di daerah dan daya saing daerah dengan tetap menjaga stabilitas dan

Nasional (RPJMN) 2010-2014, kebijakan Transfer ke Daerah diarahkan pada pengurangan kesenjangan fiskal vertikal maupun horisontal dan peningkatan kesinambungan fiskal nasional, serta sinkronisasi perencanaan pembangunan

Dalam penyelenggaraan fungsi utama Pemerintah sebagaimana diamanatkan fiskal, baik fungsi alokasi, distribusi, maupun stabilisasi harus dapat dilakukan mendukung kesinambungan fiskal dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut merupakan tantangan bersama bagi governance dan clean government dalam pengelolaan keuangan negara.

dalam undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, pelaksanaan fungsi kebijakan secara harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. untuk Republik Indonesia, fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan melalui koordinasi, sinkronisasi, dan internalisasi peran dan fungsi antar tingkat pemerintahan

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah menuju terselenggaranya good Peranan pemerintah daerah yang lebih besar dalam fungsi alokasi menunjukkan membangun kebijakan yang lebih mempertimbangkan kepentingan publik
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

tanggung jawab daerah yang juga lebih besar dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan di daerah, sehingga tujuan otonomi daerah dan dirasakan semakin penting. untuk itu, penciptaan lingkungan yang kondusif
Pelengkap Buku Pegangan 2010

desentralisasi fiskal dapat tercapai. Dalam kaitan inilah, maka upaya untuk

perlu dibangun, antara lain melalui kepastian peraturan, transparansi pelaksanaan antara pusat dan daerah, serta antardaerah. aturan, kecepatan pemberian layanan, kemudahan

kesederhanaan proses memperoleh layanan publik tersebut, serta sinergi Sejak tahun anggaran 2008 penyaluran dana Transfer ke Daerah dilakukan langsung ke rekening Bendaharawan umum Daerah. Dengan perubahan diharapkan pada gilirannya akan mendorong pembangunan perekonomian secara nasional. Selain itu, sinergi antara pusat dan daerah dapat diupayakan terutama dalam

dan

mekanisme tersebut, diharapkan daerah akan lebih cepat merealisasikan

program kegiatannya, sehingga dapat memberikan multiplier effect terhadap perekonomian di daerah. Berkembangnya perekonomian daerah tersebut

penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilimpahkan dan/atau pembantuan. Peranan kepala daerah dalam sinergi tersebut diharapkan dapat RPJMN.

ditugaskan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dekonsentrasi dan tugas

menjadi ujung tombak terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi strategi Selanjutnya, dalam rangka membangun suatu fondasi yang kokoh dalam proses dari upaya kondisi pembangunan yang kondusif, maka disusunlah Pelengkap hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang mencakup antara lain Transfer ke Daerah, pinjaman daerah, hibah daerah, pajak daerah dan retribusi

pembangunan untuk semua (development for all) yang dicanangkan dalam penyusunan penganggaran di daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan

Buku Pegangan Tahun 2010 dengan tema Sinergi Pusat dan Daerah Dalam daerah, pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta sistem

Perspektif Desentralisasi Fiskal. Buku ini memuat kebijakan dan implementasi informasi keuangan daerah. Dengan terbitnya buku ini diharapkan kita dapat
vi 

memperkokoh sinergi antara pusat dan daerah dan antardaerah, serta sekaligus menyamakan persepsi atas pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu, buku ini diharapkan pula dapat membangun kepastian dan transparansi dalam menyiapkan kebijakan pengelolaan keuangan dan pembangunan di daerah.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini, mulai dari proses perancangan hingga finalisasi dan bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia. harmonisasi substansinya. Akhirnya saya berharap semoga buku ini dapat

Menteri Keuangan

SRI MULYANI INDRAWATI

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

vii

viii

dAfTAR isi

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................xiv DAFTAR TABEL..................................................................................................................... xvii 1.1. KEBIJAKAN oToNoMI DAERAH DAN DESENTRAlISASI FISKAl ..............................I-3 BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................I-3 1.2. DuKuNgAN KEBIJAKAN PENDANAAN PElAKSANAAN uRuSAN PEMERINTAHAN ..........................................................................................................................I-6 1.3 SINERGI ANTARA PUSAT DAERAH DAN ANTAR DAERAH DALAM PEMBANguNAN DAN PElAKSANAAN oToNoMI DAERAH DAN DESENTRAlISASI FISKAl ....................................................................................................... I-10 2.1. PENDAHuluAN ........................................................................................................................ II-19 BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH ........II-19 2.2. PERENCANAAN PEMBANguNAN NASIoNAl DAN DAERAH .................................. II-19 2.2.1. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL ....................................................... II-19 2.2.2. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ........................................................... II-25 2.2.3. PARTISIPASI PUBLIK DALAM PERENCANAAN ..................................................... II-28 2.2.4. MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ................................. II-29 2.2.5. SINKRONISASI ANTARA PERENCANAAN ............................................................... II-33 PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH ....................................................................... II-33 2.3. PENgANggARAN PEMBANguNAN DAERAH ................................................................ II-39 2.3.1. KETERKAITAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH ............................................................................................................................... II-39 2.3.2. HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH................................... II-42 2.3. PENuTuP ..................................................................................................................................... II-47 3.1. PENDAHuluAN ........................................................................................................................III-51 BAB III TRANSFER KE DAERAH................................................................................... III-51
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

ix

3.2. DANA BAgI HASIl ...................................................................................................................III-53 3.2.1. DANA BAgI HASIl PAJAK ..................................................................................................III-53
3.2.1.1. 3.2.1.2. 3.2.1.3. 3.2.1.4. 3.2.2.1. 3.2.2.2. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak orang Pribadi Dalam Negeri (WPoPDN) dan PPh Pasal 21 ........................................ III-54 DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ................................................................. III-55 DBH Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ...................................................................................................... III-57 DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ............................................................... III-59 DBH SDA Pertambangan Minyak dan gas Bumi (DBH SDA MIgAS) .......... III-67 DBH SDA Pertambangan umum .............................................................................. III-83 DBH SDA Perikanan ...................................................................................................... III-88

3.2.2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM ...............................................................III-64


3.2.2.4.

3.3. DANA AloKASI uMuM ..........................................................................................................III-91 3.3.1. PENYUSUNAN FORMULA DAN PERHITUNGAN DAU .........................................III-91 3.2.3. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM .............................................III-91
3.3.1.2. 3.3.1.3. 3.4.1.1. 3.4.1.2. 3.4.1.3. 3.4.1.4. 3.4.1.5. 3.5.1.1. 3.5.1.2. 3.5.1.3. 3.5.1.4.

3.4. DANA AloKASI KHuSuS .......................................................................................................III-97 3.4.1. FORMULASI KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS .......................................... III-100 3.3.2. DAU DAERAH PEMEKARAN .........................................................................................III-97
Penetapan Program dan Kegiatan .........................................................................III-100 Penghitungan Alokasi DAK .......................................................................................III-101 Penghitungan DAK Daerah Pemekaran ...............................................................III-115 Administrasi Pengelolaan DAK ...............................................................................III-117 Pelaporan ........................................................................................................................III-119 Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh ...........................................................................III-122 Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB ...........................................................................III-123 Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ....................................................................III-123 Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (CHT) ..........................III-124

Formula DAu dalam Kerangka undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 . III-93 Variabel DAu .................................................................................................................... III-93

3.5. PENYAluRAN ANggARAN TRANSFER KE DAERAH .............................................. III-119 3.5.1. PENYALURAN DBH PAJAK ......................................................................................... III-122

3.5.2. PENYALURAN DBH SUMBER DAYA ALAM ........................................................... III-125 3.5.3. PENYALURAN DAU ....................................................................................................... III-128 3.5.4. PENYALURAN DAK ....................................................................................................... III-129

4.1. PENDAHuluAN .....................................................................................................................IV-133 BAB IV PINJAMAN, HIBAH DAN INVESTASI DAERAH........................................... IV-133
x

4.2. PINJAMAN DAERAH .............................................................................................................IV-135




4.2.1. PERENCANAAN PINJAMAN DAERAH .....................................................................IV-136 4.2.2. SUMBER PINJAMAN ......................................................................................................IV-139 4.2.3. JENIS PINJAMAN DAERAH..........................................................................................IV-140 4.2.4. PRINSIP-PRINSIP UMUM PINJAMAN DAERAH ..................................................IV-141 4.2.5. PERSYARATAN PINJAMAN ..........................................................................................IV-141 4.2.6. PROSEDUR PINJAMAN DAERAH ..............................................................................IV-143
4.2.6.1. 4.2.6.2. 4.2.6.3.

4.2.7. PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN ......................................................................IV-155 4.2.8. OBLIGASI DAERAH ........................................................................................................IV-155

4.3. HIBAH DAERAH......................................................................................................................IV-170 4.3.1. SUMBER HIBAH ..............................................................................................................IV-171 4.3.3. KRITERIA PEMBERIAN HIBAH .................................................................................IV-172 4.3.4. PENARIKAN DAN PENYALURAN HIBAH ...............................................................IV-174 4.3.5. PENGELOLAAN HIBAH OLEH DAERAH .................................................................IV-184 4.3.6. PENCATATAN ..................................................................................................................IV-184 4.3.7. PELAPORAN ....................................................................................................................IV-184 4.3.8. PEMANTAUAN .................................................................................................................IV-185 4.4. INVESTASI DAERAH..............................................................................................................IV-186 4.4.1. BENTUK INVESTASI DAERAH ...................................................................................IV-186 4.4.2. SUMBER DANA INVESTASI DAERAH ......................................................................IV-188 4.4.3. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH......................................................................IV-188 5.1. PENDAHuluAN ....................................................................................................................... V-193 BAB V PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ..................................................V-193 5.2. JENIS PAJAK DAERAH DAN RETRIBuSI DAERAH....................................................... V-196 5.2.1. PAJAK DAERAH ................................................................................................................ V-196 5.2.2. RETRIBUSI DAERAH ...................................................................................................... V-197

4.2.9. PELAPORAN PINJAMAN DAERAH ..........................................................................IV-167 4.2.10. SANKSI PINJAMAN DAERAH ...................................................................................IV-168

4.2.8.1. Prinsip umum................................................................................................................ IV-158 4.2.8.2. Prosedur Penerbitan ................................................................................................... IV-159 4.2.8.3. Pengelolaan obligasi Daerah ................................................................................... IV-163 4.2.8.4. Publikasi Informasi ..................................................................................................... IV-166 4.2.8.5. Pelaporan, Pemantauan dan Evaluasi ....................................................................... IV-167

Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman luar Negeri................................................................................................. IV-144 Prosedur Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang Dananya berasal dari Pendapatan Dalam Negeri ........................................................................................ IV-152 Prosedur Pinjaman Daerah dari Selain Pemerintah ....................................... IV-153

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

xi

5.3. PERSYARATAN PDRD ........................................................................................................... V-201 5.4. PRoSEDuR PENETAPAN PDRD ......................................................................................... V-206 5.5 PENgAWASAN DAN PEMBATAlAN PERDA PDRD ..................................................... V-208 5.6 SANKSI TERHADAP PElANggARAN KETENTuAN DI BIDANg PDRD .............. V-210 5.7 KESALAHAN-KESALAHAN PERDA PDRD YANG SERING DILAKUKAN DAERAH ..................................................................................................................................... V-211 5.8 PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PDRD ................................................................... V-212 6.1. PENDAHuluAN .....................................................................................................................VI-217 BAB VI DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN ............................ VI-217 6.2 PENgElolAAN DANA DEKoNSENTRASI/TugAS PEMBANTuAN.......................VI-220 6.2.1 PENgERTIAN DANA DEKONSENTRASI/TUgAS PEMbANTUAN ...................VI-220 6.2.3. PENgANggARAN DANA DEKONSENTRASI/TUgAS PEMbANTUAN ..........VI-224 6.2.5. PERTANggUNgJAwAbAN DAN PElAPORAN ....................................................VI-230 6.2.6. PENgElOlAAN bARANg MIlIK NEgARA.............................................................VI-233 6.3. PEMBINAAN, PENgAWASAN DAN PEMERIKSAAN ..................................................VI-234 6.3.1. PEMbINAAN DAN PENgAwASAN DEKONSENTRASI/TUgAS PEMBANTUAN ...............................................................................................................VI-234 6.3.2. PEMERIKSAAN DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUgAS PEMBANTUAN ...............................................................................................................VI-234 6.4. SANKSI ......................................................................................................................................VI-235 6.5. PERAN KEPAlA DAERAH DAlAM PENYElENggARAAN DEKoNSENTRASI DAN TugAS PEMBANTuAN ..........................................................VI-236 6.6. PENDANAAN uRuSAN BERSAMA PuSAT DAN DAERAH .......................................VI-238 6.6.1. PENgERTIAN PENDANAAN URUSAN bERSAMA PUSAT DAN DAERAH ....VI-244 6.6.2. PRINSIP-PRINSIP PENDANAAN URUSAN bERSAMA PUSAT DAN DAERAH..................................................................................................................VI-245 6.6.3. PERENCANAAN DAN PENgANggARAN DANA URUSAN bERSAMA PUSAT DAN DAERAH ...................................................................................................VI-246 6.6.5. PENCAIRAN DAN PENYAlURAN ..............................................................................VI-253 6.6.6 PElAPORAN DAN PERTANggUNgJAwAbAN .......................................................VI-254 6.6.7 PEMbINAAN ....................................................................................................................VI-254 6.6.8 PENgAwASAN .................................................................................................................VI-255 7.1. PENDAHuluAN .................................................................................................................... VII-259 BAB VII SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH .............................................VII-259
xii 

7.2. TuJuAN SISTEM INFoRMASI KEuANgAN DAERAH...............................................VII-260 7.3. JENIS INFoRMASI ................................................................................................................ VII-262 7.4. PENYAMPAIAN INFoRMASI DAN SANKSI ..................................................................VII-264 7.5 MOBILE FISKAL DAERAH (MOFISDA) .......................................................................... VII-267 7.6 WEBSITE SISTEM INFoRMASI KEuANgAN DAERAH.............................................VII-269 7.7 SISTEM KoNFIRMASI TRANSFER KE DAERAH ........................................................VII-271 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................275 Indeks ....................................................................................................................................279 Ucapan Terima Kasih.........................................................................................................281

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

xiii

dAfTAR GAmbAR
gambar 2.1 gambar 2.2 gambar 2.3 gambar 2.4 gambar 2.5 gambar 3.1 gambar 3.2 gambar 3.3 gambar3.4 gambar 3.5 gambar 3.6 gambar 3.7 gambar 3.8 gambar 3.9 Penyusunan RPJP Nasional ............................................................................. II-22 Penyusunan RPJM Nasional ............................................................................ II-23 Skema Bagi Hasil SDA ......................................................................................III-65 Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi .................................................III-68 Porsi Pembagian DBH SDA gas Bumi.........................................................III-69 Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas ...............III-72 Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas........................................III-77 Penyaluran DBH SDA Migas ...........................................................................III-78 Counter Balance dalam Management Cashflow DBH MIgas .............III-80 Perhitungan DBH SDA Pertambangan umum ........................................III-85 Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas ................................................III-75 Penyusunan RKP Nasional .............................................................................. II-24 Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD ......................................... II-27 Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan ............................... II-35

gambar 3.10 Perhitungan DBH SDA Kehutanan ...............................................................III-87

gambar 3.11 Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA .................................................III-90 gambar 3.12 Kebijakan Jumlah Alokasi DAu Berdasarkan undang-undang Nomor 33/2004 ...............................................................III-92 gambar 3. 13 Formula umum Dana Alokasi umum Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 ...................................................III-94 gambar 3.14 Pembagian DAu bagi Daerah Pemekaran .................................................III-95 gambar 3.15 Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan.................................... III-101 gambar 3.16 Proses Penentuan Daerah Tertentu Penerima DAK ............................ III-115 gambar 3.17 Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah .................................... III-116 gambar 3.18 Format Penyaluran DBH SDA Migas ........................................................ III-126 gambar 3.19 Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas..................................... III-127
xiv

gambar 3.20 Mekanisme Penyaluran (2008) ................................................................ III-128


DaftarGambar

gambar 4.1 gambar 4.2 gambar 4.3 gambar 4.4 gambar 4.5 gambar 4.7 gambar 4.8 gambar 4.9 gambar 4.6.

Proses Perencanaan Pinjaman Daerah ....................................................IV-139 Proses Pelaksanaan Penerusan PlN Kepada Pemda (on-lending) ......................................................................................IV-151 Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber dari Pemerintah .....IV-152 Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber Selain dari Pemerintah ...............................................................................................IV-154 Proses Penerbitan obligasi Daerah ..........................................................IV-159 Persiapan Penerbitan obligasi Daerah di Daerah ...............................IV-161 Pengajuan, Penilaian dan PersetujuanPenerbitan obligasi Daerah oleh Menkeu .....................................................................IV-162 Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa uang .........................................IV-175 Prosedur Pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri ..........................IV-147

gambar 4. 10 Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa Barang dan Jasa ...................IV-176 gambar 4. 11 Penganggaran Hibah dan Penyusunan NPPH .......................................IV-177 gambar 4. 12 Proses Penyusunan DIPA Hibah Kepada Pemerintah Daerah ........IV-179 gambar 4. 13 Proses Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah .....................IV-181 gambar 4.14 Proses Penggunaan Hibah ............................................................................IV-183 gambar 4.15 Bagan Jenis Investasi Daerah ......................................................................IV-188 gambar 6.1 gambar 6.2 gambar 6.4 gambar 6.5 gambar 7.1 gambar 7.2 gambar 7.3 gambar 7.4 gambar 6. 3 Pola Hubungan Kementerian Keuangan dengan K/l dalam pendanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan ..............................VI-226 Hubungan antara SIPKD dengan SIKD Nasional ................................VII-262 Bagan Alir Pengenaan Sanksi .................................................................... VII-266 Halaman Depan moFisda - Peta Kapasitas Fiskal .............................VII-267 Fitur Website DJPK........................................................................................ VII-270 Halaman depan Sistem Konfirmasi Transfer ke Daerah .................VII-272 Sumber Pendanaan urusan bersama .......................................................VI-245 Proses Perencanaan dan Penganggaran urusan Bersama ...............VI-249 Alur Pikir Formulasi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah ..........VI-253 Pola Hubungan Antar Instansi Terkait dalam Penyelengaraan dan Pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan...................VI-220

gambar 7. 5

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

xv

xvi

DaftarGambar

dAfTAR TAbEl
Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.7 Tabel 5.2 Tabel 3. 6 Tabel 4.1. Tabel 5.1. Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak ........................................................III-54 Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) ..........................................III-89 Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) .....................................III-90 Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2009........................................................III-99 Pencatatan dan Pelaporan Hibah ...................................................................IV-185 Jenis Pajak Daerah ................................................................................................. V-197 Jenis Retribusi Daerah ......................................................................................... V-199 Rekapitulasi Alokasi Dana PNPM Per lokasi (Se-Provinsi*) Tahun 2008-2009 ................................................................................................VI-241 Alokasi DAu 2009 dan 2010 ...............................................................................III-96 Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan gas Bumi .....III-82 Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum.....................................III-85

Tabel 6. 1

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

xvii

bAb i PENdAHUlUAN

I-2

Pendahuluan

bAb i PENdAHUlUAN

1.1. KEbijAKAN OTONOmi dAERAH dAN dEsENTRAlisAsi fisKAl

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah memasuki tahun ke-10 dan telah membawa pengaruh yang besar bagi pelaksanaan pembangunan daerah dan pengembangan perekonomian daerah. Kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan undangundang Nomor 25 Tahun 1999 yang keduanya telah direvisi menjadi undangundang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kebijakan tersebut merupakan jawaban atas untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi Republik Indonesia. tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Pemberian otonomi luas kepada

daerah disertai dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal pada hakekatnya diarahkan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan Sejalan dengan bergulirnya tuntutan reformasi di berbagai bidang, pengelolaan

daerah dan desentralisasi fiskal, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan keuangan Pusat dan Daerah juga mengalami reformasi. Pemikiran tentang reformasi

di bidang fiskal sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun 80-an berkaitan dengan

upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

I-3

negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan dapat tercermin pada pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal dampak biaya yang relatif lebih besar, sehingga penggunaan keuangan negara menjadi

akuntabilitas. Efisiensi penggunaan keuangan negara yang telah didesentralisasikan tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat (Pemerintah). Hal ini cenderung memberikan keadilan vertikal dan horisontal serta membangun tatanan penyelenggaraan government. pemerintahan yang lebih baik menuju terwujudnya good governance dan clean pengalaman bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistis di bidang pelayanan sektor publik di Indonesia ternyata mengakibatkan rendahnya akuntabilitas,

kurang efisien. Melalui kebijakan otonomi daerah, Pemerintah juga ingin mewujudkan

Penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga dilatarbelakangi lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya rate of return pada proyek-proyek sektor publik, serta terhambatnya pengembangan institusi di daerah. sangat kompleks. oleh karena itu, penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi masyarakat lokal.

Hal ini terjadi karena Pemerintah menghadapi kondisi demografis dan geografis yang memberikan pelayanan sampai pada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dengan menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah, sedemikian rupa sehingga Pemerintah hanya menangani 6 (enam) urusan pemerintahan utama adanya diskresi (keleluasaan) bagi Pemerintah Daerah untuk dapat merencanakan

dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat membantu Pemerintah untuk Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut dilakukan saja, yaitu urusan di bidang fiskal dan moneter, peradilan, agama, pertahanan, dan keamanan serta politik luar negeri. Implikasi langsung dari kebijakan tersebut adalah kemampuan keuangan daerahnya. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan terhadap dana
I-4 Pendahuluan

dan menentukan prioritas pembangunan daerahnya sesuai dengan kondisi dan

untuk membiayai pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan

daerah juga meningkat. untuk itu, Pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah. Selain itu, kebijakan pendanaan kepada daerah dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang telah diserahkan taxing power).

fiskal melalui perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip money follow function sebagai upaya untuk mendukung pendanaan berbagai urusan tersebut diikuti dengan pemberian kewenangan dalam hal perpajakan daerah (local Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah pada hakekatnya merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup sejalan dengan kewajiban dan pembagian urusan, serta tata cara penyelenggaraan kewenangan, antar daerah. termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. pembagian keuangan dan sumber-sumber pendapatan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah,

perimbangan keuangan tersebut adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Dari sisi pembagian sumber-sumber pendapatan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan upaya yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas daerah dalam pengelolaan keuangannya. Dalam kaitan ini dilakukan Sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan Pusat ditetapkan sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan Daerah ditetapkan sebagai objek pajak daerah dan retribusi daerah. sinkronisasi antara sistem perpajakan nasional dengan sistem perpajakan daerah. sebagai objek pajak Pusat dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta mengurangi kesenjangan kemampuan fiskal

Tujuan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

I-5

Proses pembagian sumber-sumber pendapatan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kondisi dan kemampuan daerah. merupakan langkah strategis yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan daerah. Namun demikian, kebijakan ini perlu diikuti peningkatan PAD tidak menghambat upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah. Selain itu, hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah mencakup pula pinjaman daerah dan hibah ke daerah dalam mendukung pendanaan pelaksanaan pembangunan daerah. dengan sistem pengawasan dan pengendalian yang memadai, sehingga upaya

Penerbitan uu Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, Pemerintah perlu menerapkan prinsip-prinsip: (1) meningkatkan efisiensi, (2) memperbaiki struktur fiskal dan mobilisasi sumber-sumber keuangan, (3) meningkatkan akuntabilitas, menjamin penyediaan pelayanan dasar sosial, (5) memperbaiki kesejahteraan masyarakat, dan (6) mendukung stabilitas makro ekonomi. Dengan melaksanakan dapat mampu menciptakan sinergi antara Pusat dan Daerah, serta antar Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

transparansi, dan partisipasi masyarakat, (4) mengurangi disparitas fiskal dan prinsip-prinsip tersebut, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan

1.2. dUKUNGAN KEbijAKAN PENdANAAN PElAKsANAAN URUsAN PEmERiNTAHAN

Dilihat dari sisi keuangan negara, kebijakan desentralisasi fiskal telah membawa APBN tahun 2001 adalah sebesar Rp 82,40 triliun, sedangkan dalam APBN tahun

perubahan dalam pola pengelolaan fiskal nasional. Dalam tahun pertama pelaksanaan

desentralisasi fiskal, total dana yang didaerahkan melalui dana perimbangan dalam

2010 besarnya meningkat menjadi Rp306 triliun. Peningkatan yang cukup signifikan

I-6

Pendahuluan

tersebut telah menyebabkan pengelolaan fiskal yang menjadi tanggung jawab daerah menjadi semakin penting. besarnya proporsi dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia juga ditandai dengan Daerah (APBD). Secara umum, proporsi dana perimbangan dalam penerimaan APBD rata penerimaan APBD provinsi. Besarnya proporsi tersebut menunjukkan tingkat dikelola dengan hati-hati, kondisi tersebut justru dapat menciptakan disinsentif bagi utama pendanaan tersebut. kabupaten/kota adalah lebih dari 85 persen, dan sekitar 70 persen dalam rata-

ketergantungan fiskal daerah yang masih tinggi terhadap Pemerintah. Apabila tidak Pemerintah Daerah dalam jangka panjang, khususnya dalam meningkatkan PAD. oleh

karena itu, perubahan pola pengelolaan fiskal nasional tersebut harus pula diiringi dengan fleksibilitas daerah yang cukup tinggi dalam pemanfaatan sumber-sumber Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, selain telah terjadi peningkatan dana yang dialokasikan kepada daerah, terdapat pula penambahan komponen dalam alokasi transfer ke daerah. Selain alokasi dana perimbangan, transfer ke daerah mencakup pula dana otonomi khusus (otsus) dan dana penyesuaian. Dana otsus dan dana tambahan infrastuktur dialokasikan kepada Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, sebagai konsekuensi tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, ditetapkan bahwa Provinsi Papua Barat juga mendapatkan Dana otsus dan dana tambahan infrastuktur dari APBN. Dana otsus tahun. Selain kepada Provinsi Papua dan Papua Barat, dana otsus juga dialokasikan

diberlakukannya uu Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua. Selanjutnya dengan ditetapkannya uu No. 35 tahun 2008 tentang Penetapan

PP Pengganti uu No. 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas uu No. 21 tahun 2001 tersebut adalah sebesar 2 persen dari plafon DAu nasional, dan berlaku selama 20 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otsus tersebut berlaku untuk jangka
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

kepada Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) mulai tahun 2008 sesuai uu No. 11
I-7

waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 itu, dana penyesuaian dialokasikan untuk beberapa pos belanja daerah, antara lain: insentif bagi daerah yang berprestasi.

besarnya setara dengan 2 persen plafon DAu Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai tambahan tunjangan kependidikan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan dana APBN ke daerah dapat meliputi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan

dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 persen plafon DAu Nasional. Sementara

Di samping dukungan pendanaan dalam bentuk dana transfer ke daerah, alur dana dan ditugaskan kepada gubernur/bupati/walikota dan/atau desa, serta dana instansi pendanaan untuk pelaksanaan program nasional yang menjadi Bagian Anggaran subsidi non energi. vertikal bagi pelaksanaan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada instansi vertikal di daerah. Selain itu, belanja APBN di Daerah mencakup pula

untuk mendanai sebagian urusan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur

Kementerian Negara/lembaga, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) dan Bantuan operasional Sekolah (BoS), serta program nasional melalui

subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah, seperti subsidi energi dan

Sepuluh tahun pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal merupakan kurun waktu yang layak untuk dilakukan evaluasi sebagai bentuk continous improvement menuju perlu diiringi dengan penataan regulasi yang lebih proporsional.

kepada kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik. Untuk secara utuh, nyata, proporsional, dan akuntabel, pengaturan fiskal yang lebih baik untuk menyempurnakan penataan regulasi mengenai pelaksanaan kebijakan

itu, dalam rangka mendukung implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

desentralisasi fiskal, Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan penyusunan amandemen undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Amandemen undang-undang
I-8 Pendahuluan

tersebut bertujuan untuk menyempurnakan berbagai ketentuan yang mendasari ini masih dihadapkan pada berbagai kendala teknis dalam pencapaian tujuan awal otonomi daerah. Selain melakukan penataan regulasi terhadap dana perimbangan, Pemerintah bersama

pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal yang dalam perkembangannya selama

DPR-RI juga telah menyempurnakan pengaturan mengenai pemungutan pajak ini. Salah satu tujuan dari perubahan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah melalui serangkaian strategi antara lain (1) memberikan kepastian mengenai jenis-

daerah dan retribusi daerah melalui penetapan uu Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. undang-undang ini merupakan penyempurnaan uu Nomor 34 Tahun 2000 yang dipandang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat yang dituangkan dalam uu Nomor 28 Tahun 2009 adalah meningkatkan PAD jenis pungutan daerah dengan menerapkan closed-list system. (2) meningkatkan dengan menerapkan sistem preventif dan korektif yang diikuti dengan sanksi atas pelanggaran ketentuan perpajakan daerah, serta (4) memperbaiki pengelolaan dan meningkatkan kualitas penggunaan dana yang dipungut dari masyarakat. upaya peningkatan PAD tidak semata-mata ditujukan untuk meningkatkan porsi pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat memberikan keadilan PAD dalam APBD, tetapi lebih ditujukan untuk optimalisasi penerimaan PAD tanpa menimbulkan dampak negatif bagi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi di kewenangan daerah dalam perpajakan daerah dengan meningkatkan local taxing power, (3) meningkatkan efektifitas pengawasan pajak daerah dan retribusi daerah

daerah. Melalui pengaturan dalam uu Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan dapat pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai potensi dan kondisi masingmasing daerah, dengan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif agar daya saing antar daerah dapat ditingkatkan.

memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel bagi daerah untuk melakukan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

I-9

1.3 siNERGi ANTARA PUsAT dAERAH dAN ANTAR dAERAH dAlAm PEmbANGUNAN dAN PElAKsANAAN OTONOmi dAERAH dAN dEsENTRAlisAsi fisKAl

Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal di Indonesia, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam memahami pengertian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Diawali dengan penyerahan sebagian besar urusan pemerintahan yang diikuti dengan dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan negara lain menunjukkan bahwa untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, desentralisasi fiskal, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah melaksanakan desentralisasi politik, yang antara lain diwujudkan dengan pemilihan kepada daerah secara langsung. Selain desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi diwujudkan pula dan bertanggung jawab diperlukan waktu yang relatif lama dan menuntut konsistensi Daerah, pelaku ekonomi, dan masyarakat luas atas berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. sesuai dengan potensi, kondisi, dan karakteristik daerah. Pengalaman di negaraserta upaya penyempurnaan kebijakan yang terus menerus. Hal yang sangat penting adalah perlunya pemahaman dan kesamaan pandang oleh Pemerintah, Pemerintah upaya yang terus dilakukan oleh Pemerintah, terutama dalam hal sinergi pelaksanaan yaitu (i) strategi pembangunan yang inklusif melalui pembangunan sesuai dengan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, dapat ditunjukkan melalui pengembangan strategi pembangunan untuk semua (development for all). Dalam pengembangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka sebagai pusat pertumbuhan; (iii) penciptaan integrasi ekonomi nasional dalam
I-10 Pendahuluan

strategi pengembangan tersebut terdapat 6 (enam) strategi yang dikembangkan, Menengah Nasional (RPJMN), serta penyelarasan antara RPJMN dengan RPJM Daerah (RPJMD); (ii) pembangunan berdimensi kewilayahan, dimana daerah difokuskan

era globalisasi melalui optimalisasi peluang dan menghindari efek negatif yang mungkin ditimbulkan; (iv) keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan (v) pembangunan yang menitikberatkan pada kemajuan kualitas manusia melalui pembangunan aspek pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan lingkungan kehidupan; dan (vi) pengembangan ekonomi lokal melalui penguatan keterkaitan antar daerah daerah. antara industri hulu dan hilir, serta menghilangkan hambatan perdagangan antar rangka sinergi antara pembangunan nasional dan daerah diarahkan tidak saja untuk

pemerataan yang disertai keadilan (growth with equity) melalui triple track strategy; dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, keterkaitan fungsional Dengan demikian, strategi pembangunan untuk semua yang dibangun dalam perwujudan pembangunan ekonomi daerah. untuk itu, kebijakan ekonomi daerah ke menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran; (iii) menurunkan sampai dengan 2014 dalam rangka sinergi antara Pusat-Daerah dan antar Daerah.

meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, akan tetapi juga ditekankan kepada depan diarahkan untuk : (i) melakukan pemulihan ekonomi melalui program-program pro-rakyat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar; (ii)

inflasi untuk meningkatkan daya beli; (iv) mendorong peningkatan kegiatan investasi dan perdagangan; dan (v) menjaga ketahanan pangan dan energi. Arah kebijakan ekonomi daerah merupakan bagian dari prioritas nasional dalam RPJMN tahun 2010 Sementara itu, upaya sinergi antara Pusat-Daerah dan antar Daerah dalam kebijakan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga terus diupayakan melalui harmonisasi peraturan antara Pusat dan Daerah, serta koordinasi dalam proses pengambilan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sinergi yang lebih nyata untuk mengoptimalkan peran gubernur dalam pembangunan daerah dapat diwujudkan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

I-11

Tahun 2008, Pemerintah (melalui Kementerian/lembaga) dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan (di luar 6 urusan yang menjadi kewenangan untuk penyelenggaraan tugas pembantuan. Pemerintah) yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk penyelenggaraan dekonsentrasi, dan memberikan penugasan kepada daerah (provinsi/kabupaten/kota dan/atau desa) gubernur sebagai wakil Pemerintah dapat melakukan sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, penyiapan perangkat daerah yang akan dalam PP No. 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang, kota. melaksanakan program dan kegiatan dekonsentrasi, dan koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan pelaksanaan dekonsentrasi. Disamping itu, gubernur juga memiliki peranan untuk melakukan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ sinergi dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu pula gaji pegawai daerah. Kegiatan tersebut dilaksanakan

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah,

serta Kedudukan Keuangan gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi,

Dalam hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah, selain perlu peningkatan mulai ditingkatkan sinergi dalam pelaksanaan asas desentralisasi. Sinergi yang telah

dilakukan adalah pengumpulan data dasar untuk Alokasi Dasar DAu berupa daftar Biro Keuangan Provinsi dengan menghadirkan semua kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan bertempat di ibukota provinsi. Kegiatan sinergis ini dalam akurat karena diambil langsung dari sumbernya. secara koordinatif antara

Kementerian Keuangan c.q. DJPK, Kementerian Dalam Negeri c.q. Ditjen BAKD, dan beberapa tahun terakhir telah menghasilkan data dasar Alokasi Dasar DAu lebih

I-12

Pendahuluan

Pola sinergi tersebut perlu dikembangkan untuk penyediaan data dasar Kebutuhan Kebutuhan Fiskal dalam melaksanakan tugasnya menggunakan Kantor Statistik yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota. Kantor Statistik menyediakan data meliputi jumlah penduduk, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan

Fiskal DAu agar keseimbangan data antar daerah dalam satu provinsi dapat dijamin

kewajarannya. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi penyediaan data dasar konstruksi (IKK), dan product domestic regional bruto (PDRB). untuk mengurangi data yang diyakini daerah, gubernur sebagai Wakil pemerintah Pusat di daerah dapat mengkoordinasikan Kantor Statistik provinsi/kabupaten/kota untuk melakukan review data sebelum Kantor BPS provinsi/kabupaten/Kota menyampaikan data DAu, terutama dalam mengukur kewajaran data antara kabupaten/kota dalam satu keperluan Pemerintah. ke BPS. Koordinasi ini akan meningkatkan kualitas data dasar Kebutuhan Fiskal

perbedaan persepsi daerah terhadap data yang disediakan Kantor Statistik dengan

provinsi, disamping meningkatkan kapasitas provinsi dalam penyediaan data untuk Hal yang sama dapat diterapkan dalam penyediaan data luas wilayah. Permasalahan luas wilayah yang terjadi akhir-akhir ini, antara lain ketidakpuasan Kabupaten wilayah antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Halmahera Timur adalah bukti

Paniai karena penurunan data luas wilayah, demikian juga tertukarnya data luas

dari kurangnya koordinasi dalam penyediaan data luas wilayah. gubernur dapat (DJPuM) untuk membantu pencapaian akurasi data luas wilayah, dengan cara ke Kementerian Keuangan untuk digunakan dalam perhitungan Kebutuhan Fiskal daerah. Dalam hubungannya dengan Dana Bagi Hasil (DBH), selama ini penyediaan data mensosialisasikan, membahas, mereview data luas wilayah sebelum disampaikan

bekerjasana dengan Kementerian Dalam Negeri c.q. Ditjen Pemerintahan umum

DBH Pajak dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak,
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

baik mengenai perkiraan maupun realisasinya. Dalam hal DBH SDA, data perkiraan
Pelengkap Buku Pegangan 2010

I-13

disediakan oleh kementerian terkait, sedangkan data realisasinya disediakan berdasarkan rekonsiliasi data realisasi PNBP yang tercatat dalam pembukuan daerah. Kegiatan koordinatif ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan dengan mengupayakan agar daerah mendapatkan data setoran PNBP yang dilakukan oleh kontraktor/investor sumber daya alam. koordinasi DBH SDA dalam hal data realisasi penyetoran PNBP yang dimiliki oleh akuntabilitas dalam penyaluran DBH SDA. Koordinasi tersebut dapat dilaksanakan Terkait dengan data untuk perhitungan Dana Alokasi Khusus (DAK) selama ini

Kas Negara dengan data yang dimiliki oleh daerah. gubernur dapat melakukan

belum ada koordinasi antara kabupaten/kota dengan provinsi, masing-masing

daerah menyampaikan secara sendiri-sendiri data teknis berupa infrastruktur yang perlu dibangun/direhabilitasi kepada kementerian terkait. Data perhitungan DAK meliputi Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) yang disediakan oleh Kementerian wilayah disediakan oleh kementerian tertentu, antara lain data daerah tertinggal oleh

Keuangan dari data yang telah digunakan untuk perhitungan DAu. Data kondisi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan data daerah perbatasan dengan dibangun/direhabilitasi dapat dikoordinasikan oleh gubernur untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kapasitas provinsi untuk turut memantau kebutuhan infrastruktur di masing-masing daerah yang akan meningkatkan kepercayaan daerah terhadap validitas data infrastruktur daerah. untuk mendapatkan gambaran secara lebih mendetail atas pelaksanaan desentralisasi didanai dari DAK, sekaligus negara lain oleh Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya data infrastruktur yang akan

fiskal tahun 2010 dan mendapatkan intisari sinergi Pusat-Daerah dan antar Daerah dalam desentralisasi fiskal, Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2010 ini akan memaparkan mengenai arah kendala-kendala yang dihadapi, serta berbagai kebijakan Pemerintah yang mendasari
I-14 Pendahuluan

pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, pengelolaan keuangan daerah, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Buku ini diharapkan dapat

menjadi pedoman bagi semua pemangku kebijakan, baik Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pelaku ekonomi dan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi growth, pro-job, dan pro-poor.

fiskal di Indonesia, khususnya pengelolaan keuangan di daerah yang transparan dan akuntabel untuk meningkatkan pelayanan publik sesuai agenda pro-rakyat yaitu pro-

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

I-15

bAb ii PERENCANAAN dAN PENGANGGARAN PEmbANGUNAN dAERAH

II-18

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

bAb ii PERENCANAAN dAN PENGANGGARAN PEmbANGUNAN dAERAH

2.1. PENdAHUlUAN

Perencanaan dan penganggaran pembangunan diperlukan agar kegiatan pembangunan

mempunyai sasaran yang jelas dan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan daerah merupakan dua hal yang saling terkait dan harus seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi panduan strategis dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Dalam konteks ini, perencanaan juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara perencanaan dan penganggaran agar dapat dan berkelanjutan.

menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,

2.2. PERENCANAAN PEmbANGUNAN NAsiONAl dAN dAERAH


2.2.1. PERENCANAAN PEmbANGUNAN NAsiONAl
Perencanaan pembangunan nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan secara makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara dengan kewenangannya.

terpadu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perencanaan

pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang terpadu oleh

kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-19

Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan

nasional. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional tersebut, presiden dibantu oleh para menteri. Sementara itu, pimpinan kementerian/ lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan pelaksanaan perencanaan tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Perencanaan pembangunan di tingkat nasional meliputi: dilakukan melalui urutan sebagai berikut: Nasional 1) Penyiapan rancangan awal RPJP Nasional

kewenangannya. gubernur selaku wakil pemerintah pusat mengkoordinasikan a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, yang proses penyusunannya 2) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Panjang 3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Nasional 2.1.

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut: 1) Penyiapan rancangan awal RPJM Nasional 2) Penyiapan rancangan rencana kerja 3) Musrenbang Jangka Menengah Nasional 2.2 4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Nasional

Secara detail, alur proses penyusunan RPJP Nasional dapat dilihat pada Gambar

c. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional (yang selanjutnya disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional), yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai berikut: 1) Penyiapan rancangan awal RKP Nasional
II-20

Secara detail, alur proses penyusunan RPJM Nasional dapat dilihat pada Gambar

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

2) Penyiapan rancangan rencana kerja

3) Musrenbang Penyusunan RKP Nasional 2.3.

d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/lembaga, yang selanjutnya e. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/lembaga, yang selanjutnya disebut Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan nasional dilakukan oleh masingpimpinan kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya. masing pimpinan kementerian/lembaga. Para menteri menghimpun dan menganalisis Pimpinan kementerian/lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana penyusunan rencana pembangunan nasional untuk periode berikutnya. dengan Rencana Kerja Kementerian/lembaga (Renja-Kl). disebut dengan Rencana Strategis Kementerian/lembaga (Renstra-Kl)

4) Penyusunan rancangan akhir RKP Nasional

Secara detail, alur proses penyusunan RKP Nasional dapat dilihat pada Gambar

hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan nasional dari masing-masing pembangunan kementerian/lembaga periode sebelumnya. Selanjutnya, menteri

menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan kementerian/lembaga. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjadi bahan bagi

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-21

II-22

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Penyusunan RPJP Nasional

gambar 2.1

Sumber: Bappenas, 2004

Penyusunan RPJM Nasional

gambar 2.2

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

Sumber: Bappenas, 2004


II-23

II-24

Penyusunan RKP Nasional

gambar 2.3

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Sumber: Bappenas, 2004

2.2.2. PERENCANAAN PEmbANGUNAN dAERAH

Sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah mengikuti sistem dan Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Konstruksi sistem perencanaan pembangunan daerah ini disusun dalam era desentralisasi. Sejalan dengan perubahan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengakomodasi redesign sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah.

mekanisme yang tertuang dalam undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem paradigma perencanaan pembangunan, undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Kepala daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan Perangkat Daerah (SKPD) menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah di wilayahnya masing-masing. di tingkat daerah meliputi: berikut:

pembangunan daerah di daerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah tersebut, kepala daerah dibantu oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Selanjutnya, pimpinan Satuan Kerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan antarkabupaten/kota Seperti halnya dalam perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan 1) Penyiapan rancangan awal RPJP Daerah 2) Musrenbang Jangka Panjang Daerah

a. RPJP Daerah, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai 3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Daerah 1) Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-25

2) Penyiapan rancangan rencana kerja

c. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah berikut: 1) Penyiapan rancangan awal RKP Daerah 2) Penyiapan rancangan rencana kerja d. 3) Musrenbang Penyusunan RKP Daerah SKPD).

3) Musrenbang Jangka Menengah Daerah

4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah

Daerah (RKPD), yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai

4) Penyusunan rancangan akhir RKP Daerah

e. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah disebut dengan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD)

Secara detail, alur proses penyusunan RPM Daerah dan Renstra SKPD dapat dilihat pada Gambar 2.4.

disebut dengan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah

Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan daerah dilakukan oleh masingmasing pimpinan SKPD. Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Kepala SKPD melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan SKPD penyusunan rencana pembangunan daerah untuk periode berikutnya. periode sebelumnya. Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan

daerah berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD. Hasil evaluasi menjadi bahan bagi

II-26

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD

gambar 2.4

Sumber: Bappenas, 2004

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-27

2.2.3. PARTisiPAsi PUbliK dAlAm PERENCANAAN


Partisipasi dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh warga negara dalam rangka mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dirumuskan oleh Pemerintah. Partisipasi dapat diwujudkan dengan baik secara individu maupun damai atau dengan kekerasan. Partisipasi masyarakat menjadi kata kunci sehari-hari dalam kehidupan masyarakat keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan, peran serta aktif atau proaktif keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan (Depdagri, 2004).

PEmbANGUNAN NAsiONAl dAN dAERAH

berkelompok, spontan atau terorganisir, berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara pembangunan. Partisipasi pada intinya adalah emansipasi/pelibatan masyarakat.

Secara harfiah, partisipasi berarti turut berperan serta dalam suatu kegiatan, bentuk keterlibatan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan Manfaat yang diperoleh dari perencanaan dan penganggaran partisipatif antara lain: meningkatkan akuntabilitas; dari dalam dirinya sendiri (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam

dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat juga didefinisikan secara luas sebagai

a. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam menjalin kemitraan untuk memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok sasaran, keberlanjutan, pemberdayaan kelompok marginal, dan penganggaran pembangunan daerah, terutama untuk meningkatkan konsistensi antara dokumen rencana di daerah; b. Meningkatkan efektifitas dan mengoptimalkan proses perencanaan dan c. Media untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara pelaku pembangunan atas isu strategis, program, kegiatan, dan anggaran pembangunan
PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

dan sinkronisasi kebijakan, pencapaian tujuan, sasaran, program, dan kegiatan di

II-28

d. Penyusunan rencana dapat melakukan seleksi prioritas usulan program/kegiatan dan alokasi anggaran pembangunan yang jelas dijabarkan berdasarkan rencana jangka panjang dan strategis; dan kegiatan/program yang dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat. diperlukan. kebijakan yang dibuat mengingat para pemangku kebijakan perencanaan memiliki

tahunan daerah sebagai bahan integral dari rencana jangka menengah dan strategi pembangunan nasional dan daerah;

e. Partisipasi masyarakat akan mendukung keberhasilan dari pelaksanaan seluruh

Dalam hal ini, kemauan politik (political will) dari pemerintahan daerah mutlak

2.2.4. mEKANismE PERENCANAAN PEmbANGUNAN dAERAH

Pola koordinasi perencanaan pembangunan adalah upaya yang harus dilakukan

secara terus-menerus, karena dengan koordinasi dapat dilakukan sinergi dan pembangunan perlu dilakukan, baik secara vertikal maupun horisontal, tergantung secara berkelompok maupun secara bersama berupa rapat-rapat koordinasi pembangunan. dari permasalahan yang dihadapi atau keperluannya. Selama ini, pelaksanaan upaya koordinasi perencanaan pembangunan juga sudah berlangsung, baik yang dilakukan

efisiensi penggunaan dan pengalokasian sumber daya. Koordinasi perencanaan

Pada tingkatan daerah, koordinasi perencanaan pembangunan secara vertikal dan Pembangunan (lKMD-uDKP), Musrenbang kabupaten/kota, dan Musrenbang Provinsi. Pada tingkatan nasional, Musrenbang Pusat dan Murenbang Nasional merupakan lembaga pemerintah secara vertikal yang ditujukan untuk mempertemukan aspirasi pusat dan daerah serta perencanaan lintas sektoral/wilayah sehingga programSinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

horisontal telah dilakukan secara rutin, yaitu dalam forum Musrenbang Desa/ forum koordinasi perencanaan pembangunan secara horisontal antarkementerian/

Kelurahan, Temu Karya lembaga Ketahanan Masyarakat Desaunit Daerah Kerja

II-29

program pembangunan yang dibiayai dengan APBN dan yang akan dilaksanakan oleh instansi-instansi pusat akan sesuai dengan kepentingan daerah. Pada dasarnya pola dan mekanisme sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan antara pusat dan daerah dilakukan melalui Musrenbang, yaitu forum daerah. dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan penganggaran pembangunan dilaksanakan dengan tujuan untuk: pengendalian pembangunan nasional; dan sasaran nasional; dan berkesinambungan.

Musrenbang sebagai media koordinasi dalam penyusunan perencanaan dan

a. Mengoptimalkan dan mengefektifkan proses koordinasi perencanaan dan c. Mensinergikan pembangunan antarsektor dan antardaerah untuk mencapai tujuan d. Menjamin pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih mantap dan upaya-upaya perubahan sosial yang diinginkan secara berkelanjutan;

b. Mengefektifkan pemanfaatan sumber daya nasional yang ada untuk mensinergikan

Sejalan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip sinkronisasi dan sinergitas perencanaan pembangunan di era desentralisasi diharapkan menghasilkan perencanaan yang memperhatikan hal-hal berikut: pembangunan; a. Terwujudnya komunikasi dan konsultasi yang efektif di antara para pelaku dan menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara para pelaku pembangunan untuk mengimplementasikan usulan-usulan;

pembangunan antara pusat dan daerah, maka target koordinasi perencanaan

b. Pengembangan komitmen, konsensus, dan kesepakatan dalam forum koordinasi c. Peningkatan keterlibatan para pelaku dalam pengambilan keputusan;
II-30 PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

yang didorong untuk menghasilkan konsensus tentang penanganan isu-isu strategis

d. Memadukan dan mempertemukan berbagai alur perencanaan, baik yang bersifat maupun vertikal (seperti RPJP, RPJM, Renstra Kl, Renstra-SKPD); dan pembangunan untuk menghasilkan solusi yang optimal. menyelenggarakan koordinasi

e. Wadah mediasi untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan antara para pelaku Koordinasi perencanaan pembangunan diselenggarakan pada setiap tahun anggaran. Pemerintah pembangunan, yang antara lain melalui: Desa/Kelurahan) a. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat desa/kelurahan (Musrenbang perencanaan dan penganggaran

horisontal (seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Strategis),

Musrenbang Desa/Kelurahan adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan tahun anggaran berikutnya. Kecamatan)

secara parsitisipatif oleh para pemangku kepentingan desa/kelurahan (pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana kegiatan

berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desa/kelurahan dan pihak yang b. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat kecamatan (Musrenbang

Musrenbang Kecamatan adalah forum musyawarah tahunan para pemangku

kepentingan di tingkat kecamatan untuk mendapatkan masukan kegiatan prioritas dari desa/kelurahan serta menyepakati rencana kegiatan lintas desa/kelurahan di kecamatan yang bersangkutan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Kecamatan dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota pada tahun berikutnya. Kabupaten/Kota);

c. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Kabupaten/Kota (Musrenbang Musrenbang kabupaten/kota adalah musyawarah tahunan kabupaten/kota untuk

mematangkan rancangan RKPD Kabupaten/Kota berdasarkan Renja-SKPD hasil Forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara rancangan Renja-SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD. Musrenbang Kabupaten/
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-31

Kota diselenggarakan secara berurutan mulai dari pelaksanaan pramusrenbang, pelaksanaan musrenbang, dan pascamusrenbang. Maksud diselenggarakannya kegiatan tahun anggaran berikutnya. Musrenbang Kabupaten/Kota adalah menjadi media utama konsultasi publik bagi d. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Pusat (Musrenbangpus); segenap pelaku pembangunan daerah untuk menetapkan program dan kegiatan daerah serta rekomendasi kebijakan guna mendukung implementasi program/ Musrenbang Tingkat Pusat (Musrenbangpus) adalah forum musyawarah anggaran berikutnya dengan mengacu pada RPJM Nasional yang sedang berlaku. (Musrenbang Provinsi); provinsi untuk: perencanaan pembangunan yang diselenggarakan setiap tahun di tingkat pusat

e. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat provinsi, baik dalam fungsi

dalam rangka membahas rancangan awal RKP dan rancangan Renja-Kl untuk tahun provinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah Musrenbang Provinsi adalah forum musyawarah pemangku kepentingan di tingkat antarrancangan Renja masing-masing SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD Provinsi; pembantuan.

1) mematangkan rancangan RKPD Provinsi berdasarkan Renja-SKPD yang 2) menyerasikan RKPD Provinsi dan RKPD Kabupaten/Kota dengan Rancangan Hasil Musrenbang Provinsi selanjutnya disampaikan olehgubernur kepada: 1) Menteri Keuangan; 2) Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas; 3) Menteri Dalam Negeri; 4) Kepala lembaga Pemerintah Non-Departemen.
II-32 PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

dihasilkan melalui Forum SKPD, dengan cara menyerasikan substansi

Renja-Kl dan RKP, khususnya dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas

f.

Musrenbang Nasional merupakan forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan merupakan tahapan akhir dari keseluruhan rangkaian forum RKP dan Renja-Kl.

Nasional);

Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat nasional (Musrenbang

Musrenbang dan berfungsi sebagai media untuk menyempurnakan rancangan akhir

2.2.5. siNKRONisAsi ANTARA PERENCANAAN PEmbANGUNAN NAsiONAl dAN dAERAH

Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada 2004 tentang RKP, dikemukakan bahwa: merupakan langkah-langkah penyampaian batasan umum oleh Pemerintah Pusat ini mencakup prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Dalam batasan selanjutnya diserasikan secara nasional. Inilah inti dari proses bottom-up.

setiap tingkatan perencanaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun kepada kementerian/lembaga tentang penyusunan rencana kerja. Batasan umum ini, kementerian/lembaga diberi keleluasaan untuk merancang kegiatan-kegiatan b. Sebagai tindak lanjut kebijakan desentralisasi, maka kegiatan Pemerintah dalam rangka penyusunan RKP dilaksanakan musyawarah perencanaan baik antarkementerian/lembaga Pemerintah Daerah Provinsi. maupun antara kementerian/lembaga disepakati. Rancangan ini disampaikan kembali ke Pemerintah Pusat, dan untuk

a. Penegasan cakupan isi proses top-down dan bottom up. Proses top-down

pembangunan demi pencapaian sasaran pembangunan nasional yang telah Pusat di daerah menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar kegiatan Pemerintah Pusat di daerah terdistribusi secara adil dan dapat menciptakan sinergitas secara nasional. untuk mencapai tujuan ini maka dengan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-33

Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah, maupun pembangunan antardaerah. berarti bahwa pengelolaan bagian urusan Pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Keserasian hubungan dalam pengelolaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling

tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem Hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam aspek perencanaan tercermin dalam hubungan antarberbagai dokumen perencanaan antara pusat dan Tahun 2004 tentang SPPN. Gambar 2.5 berikut menggambarkan hubungan tersebut:

daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang diatur dalam undang-undang Nomor 25

II-34

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan

gambar 2.5

Sumber : undang-undang Nomor 25 Tahun 2004

Secara detail, hubungan tersebut juga dilihat dalam hubungan kedudukan antara dalamnya (Tabel 2.1 dan 2.2)

dokumen perencanaan nasional dan dokumen penrencanaan daerah, serta muatan di

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-35

Dokumen RPJP (20 tahun) RPJM (5 tahun) Renstra (5 tahun) RKP (1 tahun) Renja (1 tahun)

Kedudukan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah


Penjabaran tujuan nasional sesuai dengan Pembukaan uuD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Nasional Berpedoman pada RPJP Nasional RKP Nasional merupakan penjabaran dari RPJM Nasional Renstra Kl: Berpedoman pada RPJM Nasional Renja Kl: Berpedoman pada Renstra-Kl dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif Daerah

Tabel 2.1

RPJP Daerah mengacu pada RPJP Nasional

RPJM Daerah berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional Renstra SKPD: Berpedoman pada RPJM Daerah

RKP Daerah merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP Nasional Renja-SKPD: Berpedoman pada Renstra-SKPD dan mengacu pada RKP Daerah

Sumber: undang-undang Nomor 25 Tahun 2004

Dokumen RPJP (20 tahun)

Muatan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah


Penjabaran Tujuan Nasional ke dalam: - Visi dan Penjabarannya; - Misi; - Arah Pembangunan Nasional: - Kewilayahan - Sarana Prasarana - Bidang Kehidupan Nasional Daerah

Tabel 2. 2

Mengacu kepada RPJP Nasional, dan memuat: - Visi dan Penjabarannya; - Misi; - Arah Pembangunan Daerah: - Kewilayahan - Sarana Prasarana - urusan Wajib - urusan Pilihan

II-36

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Dokumen RPJM (5 tahun)

Renstra (5 tahun)

Penjabaran Visi, Misi, Program Presiden, berpedoman pada RPJM Nasional, dan memuat: - Strategi Pembangunan Nasional - Kebijakan umum - Kerangka Ekonomi Makro - Program Kementerian, lintas Kementerian, Kewilayahan dan lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan pokok dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran Nasional

RKP (1 tahun)

Renstra Kl berpedoman pada RPJM Nasional dan memuat: visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan indikatif pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/lembaga RKP Nasional merupakan penjabaran RPJM Nasional, dan memuat: - Prioritas Pembangunan Nasional - Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Nasional - Arah Kebijakan Fiskal - Program Kementerian/ lembaga, lintas Kementerian/ lembaga, Kewilayahan, dan lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran

Penjabaran Visi, Misi, Program Kepala Daerah, berpedoman pada RPJP Daerah, memperhatikan RPJM Nasional, dan memuat: - Strategi Pembangunan Daerah - Kebijakan umum - Arah Kebijakan Keuangan Daerah - Program-program SKPD, lintas SKPD, Kewilayahan, dan lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan pokok dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran Daerah Renstra SKPD berpedoman pada RPJM Daerah dan memuat: visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan indikatif pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD

RKP Daerah merupakan penjabaran dari RPJM Daerah, mengacu pada RKP Nasional, dan memuat: - Prioritas Pembangunan Daerah - Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Daerah - Arah Kebijakan Fiskal - Program SKPD, lintas SKPD, Kewilayahan, dan lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-37

Dokumen Renja (1 tahun)

Perencanaan yang sinergis dan harmonis dalam penyusunannya dapat diperoleh dengan proses: a. Pendekatan politik. Hal ini dikarenakan rakyat dipandang memilih Presiden/ sehingga perencanaan pembangunan merupakan penjabaran dari agenda-agenda dalam RPJM. menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk hal tersebut. melibatkan saling memiliki. semua pihak yang berkepentingan terhadap Kepala Daerah berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan

Sumber: undang-undang Nomor 25 Tahun 2004

Renja Kl merupakan penjabaran dari Renstra Kl, dan memuat: kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Nasional

Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra RKPD, dan memuat: kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat Daerah

b. Pendekatan teknokratik. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan c. Pendekatan partisipatif. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan d. Pendekatan atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan ini dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke

Keterlibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan mencipatakan rasa

pembangunan.

II-38

Perencanaan pembangunan nasional yang mendukung koordinasi antarpelaku antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi Pemerintah, maupun antara pusat mempergunakan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

pembangunan akan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik dan daerah. Selain itu, juga menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan melalui optimalisasi peran masyarakat dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar dan etika perencanaan yang dapat Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa langkah-langkah atau tahapan dalam lengkap yang siap untuk ditetapkan, yaitu: dan terukur; perencanaan pembangunan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah, dilakukan melalui beberapa tahapan dari penyusunan rencana sampai rancangan a. Penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan; masing-masing pembangunan; dan jenjang pemerintahan melalui musyawarah

b. Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan c. Melibatkan masyarakat dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. perencanaan

2.3. PENGANGGARAN PEmbANGUNAN dAERAH


2.3.1. KETERKAiTAN PERENCANAAN dAN PENGANGGARAN
Perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang saling terkait dan harus seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

PEmbANGUNAN dAERAH

panduan strategis dalam mewujudkan tujuan yang akan dicapai. Dalam konteks ini,
Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-39

perencanaan juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara perencanaan dan penganggaran. Keduanya merupakan dua hal yang sangat yang terbaik akan dicapai apabila terhadap keduanya diberikan perhatian yang ekonomi agar realistis. seimbang, penganggaran selayaknya tidak mendikte proses perencanaan, dan sebaliknya perencanaan perlu mempertimbangkan ketersediaan dana dan kelayakan anggaran pada tahun sebelumnya, pertimbangan kepada rencana strategis dan

diperlukan untuk mengelola pembangunan daerah secara efisien dan efektif. Hasil

Perencanaan penganggaran pada umumnya melibatkan kegiatan review kinerja posisi penganggaran dalam proses perencanaan daerah dapat dilihat pada Gambar 2.6. Dalam proses penyusunan anggaran setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Penganggaran dikaitkan dengan tujuan dan sasaran strategis; b. Terdapat kebijakan dan prioritas alokasi belanja; anggaran; c. Terdapat anggaran program dan anggaran modal investasi;

operasional tahunan serta prakarsa yang mungkin ditempuh untuk mengefektifkan pendapatan dan belanja melalui identifikasi sumber-sumber pembiayaan. Adapun

d. Terdapat proses review dan pemantauan pendapatan, dan belanja sepanjang tahun e. Terlaksana keterlibatan stakeholders dalam proses pengambilan keputusan; f. g. Terdapat standar pelayanan yang jelas; i. kegiatan; Terdapat tujuan program yang jelas;

h. Terdapat indikator kinerja yang disepakati untuk mengukur kinerja program/ Terdapat perkiraan dan proyeksi pendapatan dan belanja yang akurat;
PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

II-40

j.

k. Terdapat tranparansi dan akuntabilitas; dan l.

Terdapat pemantauan, kontrol, dan evaluasi anggaran; Menggunakan semua sumber-sumber pembiayaan. gambar 2.6

Posisi Penganggaran dalam Proses Perencanaan Daerah

Musrenbang Nasional aspek perencanaan dan penganggaran dalam setiap level


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

pemerintahan disinergikan. Mekanisme penganggaran, baik di tingkat pusat maupun

Aspek penganggaran merupakan lanjutan dari aspek perencanaan. Melalui

II-41

daerah diatur melalui undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan pada Gambar 2.7. Alur Perencanaan dan Penganggaran Nasional dan Daerah gambar 2.7

Negara. Alur Perencanaan dan penganggaran nasional dan di daerah dapat dilihat

Sumber: undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dan undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

2.3.2. HUbUNGAN KEUANGAN ANTARA PUsAT dAN dAERAH

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tercermin dalam pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antartingkat bahwa besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang telah ditentukan terlebih dahulu. Sehingga secara umum,

pemerintahan, seperti yang diatur dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dengan demikian prinsip yang digunakan adalah money follow function, artinya

hubungan antara pusat dan daerah tercermin dalam aspek perencanaan (planning)
II-42 PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

dan penganggaran (budgeting) untuk semua aktivitas di setiap level pemerintahan sesuai dengan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya masing-masing. Nomor 33 Tahun 2004 didasarkan atas 4 (empat) prinsip, yaitu: dekonsentrasi dibiayai dari dan atas beban APBN; desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD; Pada Gambar 2.8 terlihat jelas pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah. a. urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat di daerah dalam rangka Pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah berdasarkan undang-undang b. urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka c. urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat atau pemerintah paerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan, dibiayai oleh Pemerintah Pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan; dan Pusat memberikan sejumlah bantuan. gambar 2.8

d. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi, Pemerintah Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-43

Khusus yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan,

desentralisasi, sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya dilakukan kewenangan harus diikuti dengan penyerahan pendanaan untuk melaksanakan dengan prinsip money follow function. Hal ini berarti bahwa setiap bentuk penyerahan daerah. Sebagaimana disebutkan di atas, untuk mendanai penyelenggaraan urusan

kewenangan tersebut. Dalam implementasinya, kepada daerah diberikan sumbersumber pendanaan terutama melalui pengalokasian Transfer ke Daerah seiring dengan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Di melakukan pungutan pajak dan retribusi, yang tertampung dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).

samping transfer, pada dasarnya di daerah sendiri telah terdapat kewenangan untuk Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk

daerah tersebut juga diikuti dengan diskresi dalam hal pembelanjaan sesuai kebutuhan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. oleh karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. dapat dilihat pada Gambar 2.9. tergantung pada pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program

dan prioritas daerah. Dengan demikian, diharapkan agar local government spending

akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di

gambaran alur pendanaan desentralisasi yang sesuai prinsip money follow function

II-44

PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Prinsip money follow function dalam Pendanaan Desentralisasi

gambar 2.9

2.3.3. ANGGARAN PENdAPATAN dAN bElANjA dAERAH

APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan undangundang Nomor 17 Tahun 2003, disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD terdiri atas pendapatan, belanja, diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah berasal dari kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang yang Sah (lPS). Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala/ pimpinan satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP), dan lain-lain Pendapatan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-45

Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas: a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD; Peraturan Daerah (Perda); APBD. b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD; d. Melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; dan

c. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Sedangkan kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a. Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya; b. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

c. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya; dipimpinnya;

d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak; f. dipimpinnya; dan

e. Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya. daerah sesuai Pasal 5 ayat (4) adalah melakukan kordinasi di bidang: a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD; c. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
II-46 PerencanaandanPenganggaranPembangunanDaerah

Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, sekretaris daerah bertugas selaku Kordinator Pengelolaan Keuangan Daerah. Adapun tugas sekretaris b. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;

d. Penyusunan Raperda APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; daerah; dan pelaksanaan APBD. f. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban

e. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan

Koordinator pengelolaan keuangan daerah juga mempunyai tugas: a. Memimpin tim anggaran pemerintah daerah; b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD; c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah; Kerja Pemerintah Daerah (DPA-SKPD); dan

d. Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

e. Melaksanakan tugas-tugas kordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya

2.3. PENUTUP

Perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan daerah diperlukan agar dan berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal. terpadu, baik antarwilayah, antarsektor, maupun antartingkat pemerintahan. Pembangunan daerah juga harus dapat berjalan dengan sinergi, terintegrasi, dan bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan melalui mekanisme Musrenbang. Dalam Musrenbang, pelibatan seluruh stakeholders dan partisipasi publik adalah dan penganggaran dalam pembangunan daerah.

pembangunan daerah dapat berjalan dengan efisien, efektif, tepat pada sasaran,

Koordinasi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, baik yang

kunci utama dalam upaya mengefektifkan dan mengoptimalkan proses perencanaan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

II-47

bAb iii TRANsfER KE dAERAH

III-50

TransferkeDaerah

bAb iii TRANsfER KE dAERAH

3.1. PENdAHUlUAN

Mengacu kepada dinamika dan perkembangan desentralisasi fiskal di Indonesia dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir, maka arah kebijakan Transfer ke Daerah tetap diarahkan untuk mendukung program/kegiatan prioritas nasional, dengan tetap itu, arah kebijakan Transfer ke Daerah pada tahun 2010 secara umum adalah menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan. Atas dasar antardaerah; (ii) mendukung kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (iv) meningkatkan kemampuan daerah menjaga konsistensi dan keberlanjutan pelaksanaan desentralisasi fiskal guna sebagai berikut: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta nasional yang menjadi urusan daerah; (iii) meningkatkan aksessibilitas publik terhadap prasarana dan sarana sosial ekonomi dasar di daerah, dan pengurangan dalam kerangka kebijakan ekonomi makro. Selanjutnya, kebijakan Transfer ke Daerah fiskal secara proporsional dan akuntabel .

dalam menggali potensi ekonomi daerah; (v) meningkatkan daya saing daerah melalui

pembangunan infrastruktur; serta (vi) mendukung kesinambungan fiskal nasional diharapkan dapat menjadi pilar pendukung kesinambungan fiskal nasional, stimulus pembangunan di daerah dan sebagai instrumen utama pelaksanaan desentralisasi Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi Transfer ke Daerah, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pelaksanaan

desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Dana Perimbangan merupakan transfer dana
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-51

yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa DBH, DAu, dan DAK. Pengalokasian Dana Perimbangan bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pendanaan pemerintahan antardaerah. antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta mengurangi kesenjangan

Pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan (continuous improvement) terhadap mekanisme penyaluran Transfer ke Daerah. upaya perbaikan tersebut dapat dilihat dari telah direvisinya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/ PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke untuk memperbaiki mekanisme penyaluran anggaran Transfer ke Daerah, yaitu: (a) Daerah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009. Perbaikan mekanisme penyaluran anggaran Transfer ke Daerah tersebut terutama dimaksudkan mempercepat penyaluran Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah yang sebelumnya dilaksanakan secara bulanan menjadi mingguan dan dilaksanakan oleh KPPN melalui tahap. Bank operasional III; (b) mempertegas penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau secara Triwulanan; (c) mempercepat proses penyaluran DAK dari empat tahap menjadi tiga Implementasi perbaikan mekanisme penyaluran tersebut telah memberikan dampak

positif terhadap pengelolaan keuangan daerah, yakni: (1) mempercepat penyelesaian Perda APBD; (2) mendorong pelaksanaan sistem treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; mengatur pola belanja; (4) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah Daerah; dan (8) meningkatkan akurasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).

(3) memberikan kepastian terhadap penerimaan kas daerah sehingga daerah dapat dengan semakin cepat tersedianya dana; (5) mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (6) mempercepat tersedianya data realisasi transfer; (7) meningkatkan akuntabilitas penyusunan lRA Transfer ke

III-52

TransferkeDaerah

3.2. dANA bAGi HAsil 3.2.1. dANA bAGi HAsil PAjAK


Arah kebijakan DBH Pajak perlu didukung dengan penyempurnaan mekanisme

perhitungan dan penyediaan data baik oleh instansi teknis terkait di tingkat pusat maupun pemerintah daerah agar penerimaan pajak dan DBH lebih optimal. Secara

konseptual, penerimaan pajak yang diperoleh Pemerintah Pusat dalam APBN dibagihasilkan kepada daerah dengan proporsi yang telah ditetapkan berdasarkan Tahun 2005 yang ditujukan dalam rangka memperkecil kesenjangan keuangan pemerintahan di daerah. Kebijakan adanya DBH Pajak ini dilatarbelakangi oleh: daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan daerah itu sendiri; mandiri; antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan 1. Kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di

undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55

2. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan dana secara 3. Adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan 4. Memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah; Pusat; dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat. pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di daerah;

5. Memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program Pemerintah 6. Memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari kegiatan yang

Proporsi DBH Pajak yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan formula dari:

persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. DBH Pajak bersumber

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-53

a) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak orang Pribadi Dalam b) PPh Pasal 21; c) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Negeri;

d) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan e) Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009). Tabel 3.1 Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak
PROV 16% 8% KAB/KOTA PENGHASIL 64,8% 0,8% 64%

PROPORSI KAB/KOTA LAIN DLM PROV 12% *) 0,6% UPAH PUNGUT 9%

NO 1. 2. 3. 4.

JENIS PBB

% UNTUK DAERAH 90% 80% 20% 2%

BPHTB PPH CuKAI

16,2% 0,6%

Sumber : Kementerian Keuangan *) Dirinci Menjadi: 8,4% Kab/Kota tempat WP terdaftar 3,6% Kab/Kota dalam provinsi yang sama

3.2.1.1. Pajak PenghaSilan (PPh) Wajib Pajak Orang PribaDi Dalam negeri (WPOPDn) Dan PPh PaSal 21 a. Alokasi Dana Bagi Hasil PPh didasarkan pada PP No.55 Tahun 2005 tentang Dana Alokasi dana bagi Hasil PPh Perimbangan. b. Pajak Negara dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 dan 29 orang Pribadi dialokasikan c. Bagian Pemerintah Pusat sebesar 80%.
TransferkeDaerah

kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil.

III-54

d. Bagian pemerintah daerah sebesar 20%, yang dibagi kembali dengan komposisi sebagai berikut: rincian : Bagian daerah provinsi sebesar 8%. Bagian daerah kabupaten atau kota sebesar 12%, akan dibagi kembali dengan 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan dengan bagian yang sama besar.

e. Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran triwulan I, II dan III tahun anggaran berjalan dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20%. dan III. a. c. f. Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat pada bulan pertama triwulan IV tahun anggaran berjalan, sebagai dasar penyaluran triwulan IV dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I, II

3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan

3.2.1.2. Dbh Pajak bumi Dan bangunan (Pbb) 1. Alokasi dana bagi Hasil Pbb b. Bagian pemerintah pusat 10%. berikut: Dana Bagi Hasil. Penerimaan Negara dari PBB dialokasikan kepada Pemerintah daerah dalam Bagian pemerintah daerah 90%. Bagian pemerintah pusat dibagi kembali ke daerah dengan imbangan sebagai 6,5% dibagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota.

d.

3,5% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

realisasi Penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA


III-55

e. f. g.

Bagian daerah dari PBB sebesar 90% tersebut diperinci dengan imbangan: 16,2% untuk daerah provinsi. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 9% untuk Biaya Pemungutan PBB.

ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran tahun anggaran berjalan. 50%.

Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB didasarkan atas perkiraan alokasi, yang untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, prognosa realisasi penerimaan

h.

penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20% dan penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang

oleh Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar dicairkan selama tahap I dan II. Berdasarkan prognosa realisasi penerimaan tersebut dalam tahap III ini dialokasikan pula insentif kepada kabupaten dan/ ditetapkan. kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada

2. Perhitungan dana bagi Hasil PbB

a.

Besaran PBB yang dibebankan ke wajib pajak tergantung hasil penilaian yang Tarif untuk pengenaan PBB ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena lainnya. obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual obyek Pajak Pengganti.

b.

diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan nilai NJOP per m2. Nilai Jual Pajak (NJKP), sedangkan untuk NJKP Assessment Ratio yang berlaku saat ini

adalah 40% untuk obyek pajak perumahan dengan NJoP Rp. 1 milyar atau

lebih, bidang usaha perkebunan serta perhutanan dan 20% untuk obyek pajak
TransferkeDaerah

III-56

c.

berikut:

Dengan dasar perhitungan di atas maka perhitungan PBB adalah sebagai = tarif X NJKP = 0,5 % X(40 % X NJoP) = (20% X NJoP)

d. e.

dahulu dikurangi dengan NJoP-TKP (Tidak Kena Pajak) per Wajib Pajak sebesar Rp. 8.000.000,-(delapan juta rupiah). pajak. Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang berisikan antara lain nama serta

NJoP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBB-nya, terlebih

alamat wajib pajak, besarnya pajak terutang, dan data-data mengenai obyek

Pengenaan PBB diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat

3.2.1.3. Dbh bea Peralihan hak ataS tanah Dan bangunan (bPhtb) 1. Alokasi dana bagi Hasil bPHTb a. Bagian pemerintah pusat sebesar 20%, yang dibagikan kembali ke daerah sebesar 80%, yang dibagikan kembali dengan imbangan sebagai berikut: Bagian provinsi sebesar 16%. Bagian kabupaten/kota sebesar 64%.

secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. Bagian pemerintah daerah

b.

Perkiraan alokasi ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai bagian pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20% dan 50%. untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian pusat, prognosa realisasi penerimaan

c.

dasar penyaluran tahun anggaran berjalan. untuk Dana Bagi Hasil BPHTB oleh Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal III-57

Pelengkap Buku Pegangan 2010

penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah 2. Perhitungan dana bagi Hasil bPHTb a. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan obyek Pajak (NPoP). NPoP pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga ratadan atau bangunan. rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal hak karena putusan hakim, dan pemberian hak baru. terutang adalah sebagai berikut: dicairkan selama tahap I dan II.

dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud

dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh

b. c.

Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan

dengan Nilai Perolehan obyek Pajak Kena Pajak (NPoPKP). NPoPKP adalah NJoP dikurang dengan NPoPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang BPHTB terutang = NPOPKP x tarif = (NPoP -NPoPTKP) x Tarif = (NPoP -Rp. 30.000.000,00) x 5 %

Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikkan tarif pajak

d. e.

perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut: BPHTB terutang

Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJoP PBB, maka cara = (NJOP PBB -Rp. 30.000.000,00) x 5%.

dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

Besarnya NPoPTKP tersebut dapat diubah dengan peraturan pemerintah,

III-58

TransferkeDaerah

3.2.1.4. Dbh Cukai haSil tembakau (Dbh Cht)

DBH CHT merupakan amanat Pasal 66A undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 yang bersumber dari penerimaan cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang Dalam pengelolaan dan penggunaannya, gubernur menetapkan pembagian dana bagi berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Pembagian daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya. hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk karakteristik daerah masing-masing daerah. Adapun penggunaan DBH CHT diarahkan mengamanatkan penggunaan DBH CHT kedalam 5 (lima) kelompok kegiatan utama, kegiatan utama menjadi rincian kegiatan, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No 84/PMK.07/2008 sebagai berikut: a) Standardisasi kualitas bahan baku; c) pengujian; tembakau. 1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang meliputi: b) Pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah; d) Penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau

dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). DBH CHT dilakukan dengan persetujuan menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh

menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan untuk mendanai kegiatan. undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tersebut juga yaitu (1) Peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, (2) Pembinaan industri hasil tembakau, (3) Pembinaan lingkungan sosial, (4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan (5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal. untuk menjabarkan lima

e) Penguatan kelembagaan kelompok petani bahan baku untuk industri hasil


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode

III-59

2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi: (i) atau tempat lainnya; dan

a) Pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/ (ii) peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus; kapasitas, asal negara pembuat); tembakau. Jumlah mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau di setiap pabrik Identitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (merek, tipe,

(iii) Identitas kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau; b) Penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI); c) Pembentukan kawasan industri hasil tembakau; dan nomor izin usaha industri; kerja lainnya; tembakau; (i) (iv) Perpindahan kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil

d) Pemetaan industri hasil tembakau berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah, meliputi : (ii) (v) Nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), lokasi/alamat pabrik (jalan/desa, kota/kabupaten, dan provinsi); Realisasi pembayaran cukai;

(iii) Realisasi produksi;

(iv) Jumlah tenaga kerja linting/ giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga (vi) Wilayah pemasaran; (vii) Jumlah, merek, tipe, dan kapasitas mesin/peralatan mesin produksi hasil e) Asal daerah bahan baku (tembakau dan cengkih).
III-60 TransferkeDaerah

(viii) Jumlah alat linting; dan

f)

g) Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; dan/atau 3) Pembinaan lingkungan sosial, meliputi : tembakau; melalui penerapan Good Manufacturing Practices (gMP).

h) Pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah a) Pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di lingkungan Analisis Dampak lingkungan (AMDAl); merokok di tempat umum; dan/ atau

bahan baku;

Kemitraan usaha Kecil Menengah (uKM) dan usaha besar dalam pengadaan

b) Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada c)

industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk

4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai merupakan kegiatan menyampaikan ketentuan di bidang cukai kepada masyarakat insidentil.

d) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok.

5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi: peredaran atau tempat penjualan eceran; peredaran atau tempat penjualan eceran; dan eceran.

yang bertujuan agar masyarakat mengetahui, memahami, dan mematuhi ketentuan a) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu di c) Pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan minuman

di bidang cukai yang dilaksanakan dalam periode tertentu dan/atau secara

b) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-61

d) Apabila dalam pelaksanaan kegiatan

indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu, hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol dan minuman mengandung etil Jenderal Bea dan Cukai alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran, gubernur/ bupati/walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat

pengumpulan informasi ditemukan

Setelah mengevaluasi pelaksanaan ketentuan penggunaan DBH CHT tahun 2008 khususnya mengenai penggunaan DBH CHT, dan dengan mempertimbangkan usulan dari daerah, serta dalam rangka membantu program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran maka ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan DBH CHT yaitu: Nomor 84/PMK.07/2008 khususnya Pasal 1, Pasal; 3, Pasal 6 , Pasal 7, dan Pasal 9 disempurnakan melalui penetapan PMK Nomor 20/PMK.07/2009. Dalam PMK ini ditetapkan pemambahan 2(dua) butir kegiatan yang cukup memperluas penggunaan Butir e : Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasul tembakau, dan/atau Butir f : Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi. dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong Keberhasilan pemanfaat DBH CHT sebagaimana diatur dalam PMK No 84/ gubernur/bupati/walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan komprehensif. ToR tersebut sebaiknya meliputi Substansi 7W & 2H sebagai berikut:
III-62 TransferkeDaerah

PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para DBH CHT sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Penjabaran tersebut seyogyanya dituangkan dalam peraturan gubernur/Bupati/ Walikota yang masingmasing kegiatan dilengkapi dengan kerangka acuan (Term of Reference/ToR) yang

1. What kegiatan apa : Nama kegiatan yang akan didanai dari DBH CHT;

2. Which kegiatan yang mana : Penjelasan kaitannya dengan salah satu kegiatan 3. Why mengapa perlu kegiatan tersebut : Penjelasan alasan perlunya, maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut bagaimana cara melaksanakannya, dilengkapi dengan solusi melalui kegiatan tersebut; lain SKPD, unit dibawah SKPD yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. menerima manfaat dari keluaran 4. Who siapa yang melaksanakan : penjelasan mengenai pelaksanan kegiatan antara 5. Whom siapa penerima manfaat : penjelasan mengenai masyarakat yang akan dimana keluaran (output) kegiatan akan berada. rinci dan jelas. yang mana dari PMK No 84/PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009 data dan gambaran kasus-kasus yang telah terjadi sehingga mendorong perlunya

6. Where lokasi kegiatan : Penjelasan mengenai dimana kegiatan dilaksanakan dan 7. When waktu kegiatan : penjelasan mengenai waktu mulai dan waktu selesai pelaksanaan kegiatan (lamanya), dengan tabel penjadualan pelaksanaan kegiatan (padat karya), melalui koperasi dan sebagainya; Anggaran Biaya (RAB). keluaran, misalnya melaui proses pengadaan, melalui pengerahan tenaga kerja dana yang diperlukan, pengembangan dari butir how much ini adalah Rincian

8. How bagaimana cara melaksanakannya : Penjelasan mengenai cara-cara mencapai 9. How much berapa harga kegiatan : Penjelasan mengenai sumber dana dan besaran

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-63

3.2.2. dANA bAGi HAsil sUmbER dAYA AlAm

DBH SDA adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH Sumber Daya Alam berasal dari penerimaan: a. Pertambangan Minyak Bumi; b. Pertambangan gas Bumi; c. Pertambangan umum; e. Kehutanan; dan f. Perikanan. d. Pertambangan Panas Bumi; Persentase alokasi DBH Sumber Daya Alam ditunjukkan dalam skema berikut:

dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu

III-64

TransferkeDaerah

Skema Bagi Hasil SDA

gambar 3.1

Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH Sumber Daya Alam oleh undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu: SDA Panas Bumi. Dana Reboisasi (sebelumnya DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR)

Sumber: undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-65

2) Adanya penegasan mekanisme, yakni: Jadwal penetapan.

Penetapan alokasi dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan berdasarkan daerah penghasil, dan dasar perhitungan. Penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan.

3) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan pertambangan minyak bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan perundang-undangan. Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%. setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan

4) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan gas bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi undangan. Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%. komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-

5) Tambahan DBH dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan perincian: untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%. untuk kabupaten/kota penghasil 0,2%; dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.

sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dan

untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 0,2%.


III-66 TransferkeDaerah

6) Realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui mekanisme formula DAu.

130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi dalam APBN tahun

3.2.2.1. Dbh SDa Pertambangan minyak Dan gaS bumi (Dbh SDa migaS) 1. Pola Pembagian dana bagi Hasil migas Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud diperlukan kegiatankegiatan yang meliputi penyusunan rencana (perkiraan) dan realisasi di bidang Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Migas dari hasil kegiatan KKKS. Jenderal Perimbangan Keuangan selanjutnya menghitung perkiraan alokasi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan perhitungan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota, Direktorat

realisasi DBH SDA Migas sebagai dasar penyaluran DBH SDA Migas per provinsi/ tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Perimbangan adalah sebagai berikut : dengan rincian sebagai berikut : bersangkutan.

Porsi pembagian DBH SDA Migas menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana

a. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 3,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 6,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi 6,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal III-67

Pelengkap Buku Pegangan 2010

b. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA rincian sebagai berikut : bersangkutan. 5,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi gambar 3.2

pertambangan minyak bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan 10,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang

c. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah rincian sebagai berikut : bersangkutan. 6,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 12,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan 12,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang

III-68

TransferkeDaerah

d. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut : 10,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan bersangkutan. gambar 3.3

pertambangan gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi 20,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang Porsi Pembagian DBH SDA gas Bumi

e. Pengecualian untuk Daerah otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah bagian dari penerimaan pemerintah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut : Bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan Bagian dari pertambangan gas Bumi sebesar 40%. otonomi khusus tersebut mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-69

2. Penyusunan Perkiraan dbH sdA migas a. mekanisme Penyusunan Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen Perimbangan Keuangan selanjutnya akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri sebagai berikut : 1) Data Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil SDA Migas. Data-data yang

digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan mekanisme perhitungannya a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas; per KKKS.

2) Mekanisme

b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per daerah penghasil; disampaikan Ditjen Anggaran. lifting yang tersusun perdaerah penghasil

b) Data lifting per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di c)
III-70

per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS

persentase-kan dengan total lifting per KKKS sehingga didapat rasio lifting per KKKS per daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi lifting yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu; PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran
TransferkeDaerah

Rasio lifting per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan

d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil; dan peraturan pemerintah;

tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil;

e) PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian pemerintah f) pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga

b. Penetapan

Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut: antara Pemerintah dengan DPR;

1) Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap 2) Berdasarkan asumsi tersebut Menteri ESDM menetapkan daerah penghasil dan sebelum tahun anggaran bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan. Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) melalui penetapan asumsi makro APBN dasar perhitungan DBH SDA Migas. Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting per daerah penghasil SDA Migas oleh Menteri ESDM. per KKKS;

penghasil berdasarkan pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah 3) Bersamaan dengan proses tersebut, BP Migas melakukan perhitungan perkiraan 4) Berdasarkan ketetapan Menteri ESDM tersebut, Dirjen Anggaran melakukan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Menteri Dalam Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah perhitungan perkiraan faktor-faktor pengurang (Domestic Market Obligation/

III-71

5) Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas paling Dirjen Anggaran. Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut: gambar3.4 Migas yang kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai

DMo, Fee usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, PDRD). Hasil Perimbangan Keuangan;

perhitungan PNBP SDA Migas per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen

lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan

Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas

3. Penyusunan Realisasi dbH sdA migas


a. mekanisme Penghitungan

Proses penghitungan realisasi DBH SDA Migas berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
TransferkeDaerah

III-72

1. Penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan; peraturan perundang-undangan;

2. Dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang

3. Mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas yang digunakan dianggap lebih mendekati dibanding jika menggunakan realisasi lifting; realisasi s.d. triwulan III dan realisasi s.d. triwulan IV. adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi gross Revenue sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue, sedangkan pada

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai

4. Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam Data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dan mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas adalah sebagai berikut : 1) Data

a) Realisasi lifting per daerah penghasil per KKKS berdasarkan berita acara b) Perkiraan Realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan oleh Ditjen Anggaran. rekonsiliasi lifting yang disampaikan oleh Ditjen Migas;

2) Mekanisme

a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data

Realisasi Gross Revenue yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data Revenue yang tersusun per daerah penghasil per KKKS pada data Ditjen sehingga didapatkan data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil;
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

perkiraan realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Gross migas dielaborasi dengan data Gross Revenue per KKKS dari Ditjen Anggaran

III-73

b) Data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di persentase-kan dengan total Gross Revenue per KKKS sehingga didapat rasio untuk mengetahui porsi Gross Revenue yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu; penghasil; PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil; undang-undang dan peraturan pemerintah; selanjutnya disalurkan ke tiap-tiap daerah; Rasio Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan

Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil. Rasio Gross Revenue dimaksud

c)

d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang

e) Dihitung porsi DBH-nya dari PNBP per daerah penghasil untuk bagian f) pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan didapat realisasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk disalurkan pada triwulan sebelumnya pada tahun anggaran berjalan. Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga

g) Sebelum disalurkan, realisasi DBH SDA Migas dikurangi terlebih dahulu dengan kelebihan salur tahun sebelumnya dan total DBH SDA Migas yang telah

III-74

TransferkeDaerah

Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: gambar 3.5

Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas

b. Penyaluran

Setelah diketahui hasil perhitungan DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke masingmasing provinsi/kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara pemerintah pusat (yang diwakili oleh BP Migas, Kemendagri, Ditjen Migas, Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan daerah penghasil. yang menyatakan bahwa perhitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah penghasil. penerima DBH SDA Migas. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi dasar penyaluran DBH SDA Migas ke rekening umum kas provinsi/kabupaten/kota
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-75

Proses penyaluran DBH SDA Migas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Di awal tahun:

a) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan perkiraan Alokasi DBH SDA Migas, Migas ke Dirjen Perbendaharaan; DIPA Migas untuk satu tahun anggaran. Ditjen Perimbangan Keuangan

2) Setiap triwulan penyaluran: Perbendaharaan;

b) Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan a) Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana Perimbanganmenerbitkan SP2D; mengajukan SPM Migas ke Ditjen

Dirjen Perimbangan Keuangan mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA

b) Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN-Ditjen Perbendaharaan Format Penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan dengan kebijakan Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari tahun 2008 dilakukan secara triwulan dengan ketentuan sebagai berikut : triwulan II pada bulan Juni; a. Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan b. Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas triwulan III disalurkan pada bulan September; Menteri Keuangan. DBH SDA Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan c) ke Rekening Kas pemda provinsi/kabupaten/kota.

Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari Rekening Kas Negara

sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Desember s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas

III-76

TransferkeDaerah

c. Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas Migas triwulan IV disalurkan pada bulan Desember; SDA Migas Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya; tahun berikutnya; bayar, maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan. gambar 3.6

d. Penyaluran DBH Migas rampung (Triwulan V) memperhitungkan realisasi DBH

Desember s.d. Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA

e. Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni pemerintah kurang f. dasar harga Minyak dan gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran

Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi

Adapun diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-77

Penyaluran DBH SDA Migas

gambar 3.7

4. mekanisme Counter balance dana Penyaluran dbH migas


4.1. Prinsip dbH

Prinsip DBH secara umum meliputi : (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah

persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun dalam hal migas PNBP dalam satu tahun dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun berikutnya (tetap 12 bulan). perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs Rp thd uS$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi

III-78

TransferkeDaerah

4.2. Waktu Perhitungan realisasi PNbP/dbH migas.

Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya. PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal

dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu
4.3. Kebijakan Pengalihan sisa Anggaran ke Rekening Cadangan

Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus,

idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi

migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila tidak direalisasikan. oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara). sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut

daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-79

2008 s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010). Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan.
4.4. Kebijakan mekanisme Counter balance

Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance) gambar 3.8 menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai Counter Balance dalam Management Cashflow DBH MIgas

Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap

III-80

TransferkeDaerah

4.5. Pola baru penyaluran dbH sdA

Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah

dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan

kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV Agustus.

DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah,

disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus.

berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret.
4.5. Kebijakan Triwulan V

Selanjunta realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan sebagai berikut:

secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-81

Waktu (Triwulan) II I

Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan gas Bumi Tidak mempertimbangkan realisasi Tidak mempertimbangkan realisasi Desember s/d November Desember s/d Agustus Desember s/d Mei Periode realisasi 20% dari perkiraan alokasi Besaran Penyaluran

Tabel 3.2

III IV V

20% dari perkiraan alokasi Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw III Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw IV Realisasi dikurangi penyaluran Tw I dan Tw II

Waktu Penyaluran Maret Juni

September Desember Februari

Sumber : Kementerian Keuangan

Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran

penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12 Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas. 5. Pemantauan dan Evaluasi

penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini

Pada dasarnya DBH SDA Migas sebagaimana DBH SDA lainnya bersifat Block Grant kecuali untuk dana Tambahan Anggaran Pendidikan Dasar sebesar 0,5 persen dari
TransferkeDaerah

yang kewenangan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemda penerima,


III-82

porsi DBH SDA Migas harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan diatur lebih lanjut dalam PMK. Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana tambahan ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional pemotongan penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya. 3.2.2.2. Dbh SDa Pertambangan umum bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran

untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai

berikutnya, yaitu daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran

eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Kedua Iuran tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen ESDM. kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak). luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada kuasa pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/ pertambangan dilakukan setiap semester. status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor

Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai uS $ per

eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-83

galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau dikalikan dengan jumlah produksi. satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti Tatacara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai berikut: bersifat advalorem (dalam persentasi) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah

hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian.

Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan besarnya tarif royalti untuk bahan tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti

Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)

Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai untuk batubara sudah termasuk dalam bagian pemerintah dari Dana Hasil Produksi Dalam peraturan tersebut, pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana DHPB.

Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. hasil produksi batubara/DHPB). Bagian pemerintah sebesar 13,5 persen tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima Eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $) Tatacara penghitungan Iuran Tetap (landrent/deadrent) sebagai berikut: Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan umum, Eksplorasi atau

III-84

TransferkeDaerah

Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan umum sebagaimana diatur dan 64 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil (lihat gambar 3.9). untuk bagian daerah dari royalti adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan, 32 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32 persen untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan. gambar 3.9 Perhitungan DBH SDA Pertambangan umum

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent

adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan

JENIS DBH
A. D. B. C.

Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum

Tabel 3.3

PERTAMBANGAN UMUM
lAND RENT PENgHASIl lAND RENT PENgHASIl RoYAlTI PENgHASIl RoYAlTI PENgHASIl KAB/KoTA PRoVINSI PRoVINSI KAB/KoTA

% UNTUK DAERAH
80% 80% 80% 80%

PRoV 16% 80% 16% 26%

PENgHASIl 64% 32% -

KAB/KoTA

PORSI

lAIN DAlAM PRoV 32% 54% III-85 -

KAB/KoTA

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

3.2.2.3. Dbh SDa kehutanan

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Reboisasi. Definisi masing-masing penerimaan adalah berikut :

Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin usaha Pemanfaatan Hutan a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang dikenakan b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara, dan reboisasi dan rehabilitasi hutan Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.

(IIuPH), (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti; dan (3) Dana kepada Pemegang Izin usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan

c. Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin usaha d. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan). Tarif IIuPH terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas HPH (hektar). perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun).

Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan

tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan Kayu (IPK) (lihat undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran produksi ke industri terkait

(2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap pemegang HPH, dengan HPH, pembayaran dilakukan oleh pihak industri penerima. untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak terkait dengan pemegang HPH, pembayaran
III-86 TransferkeDaerah

dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap Kehutanan dan Perkebunan.

bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana Reboisasi didasarkan dari laporan Hasil Penebangan (lHP). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assesment yaitu perusahaan pemegang HPH lHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10 persen dari area produksi terjadi penyimpangan volume <5%, lHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian jenis tanaman. Perhitungan DBH SDA Kehutanan gambar 3.10

mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang sebelumnya disebut SAKo. Pengesahan oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen lHP. Jika

Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari

kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Dana Reboisasi (DBH-DR) serta Penetapan DBH PPh Wajib Pajak orang Pribadi Dalam
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-87

Negeri (WPoPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/kota yang sebelumnya yang dibagihasilkan.

ditetapkan oleh gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam

perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Tarif dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan. Hutan (uPH) dengan perhitungan sebagai berikut: yang berlaku

dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri

Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 yang Dana Reboisasi merupakan tarif satuan uS $ per m3, dimana besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut undangPerhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau usaha Pemanfaatan Perkiraan penerimaan IHPH/IIuPH, baik hutan alam maupun tanaman yang dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/uPH dikalikan tarif IHPH

Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH 3.2.2.4. Dbh SDa Perikanan

DBH Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas yang memperoleh Izin usaha Perikanan (IuP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha
III-88 TransferkeDaerah

perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan, Ikan (SPI) yang diperoleh.

yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan

Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/ satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (uS $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan dimana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan. Perhitungan dbH sdA Perikanan PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan. Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah: PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT) 1. 2. ikan (Dead weight Ton -DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong

Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor a. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) objek yang penting dalam penghitungan

perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi),

Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah: Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Tabel 3.4

Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan. Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
Ukuran Kapal 50-100 DWT <50 DWT Tarif

No. 2

Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977 Catatan: untuk setiap kelebihan di atas 100 DWT dengan pembulatan perhitungan sampai dengan 50 DWT dikenakan tambahan uS $ 250.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

uS $ 1000

uS $ 500

III-89

b. Pungutan Hasil Perikanan (PHP)

objek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor Perikanan yang diekspor, dengan rumus sebagai berikut: atau yang diperlukan adalah: 1. 2. PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%) Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan. Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan. Tabel 3.5

Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor. Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)

No. 2 3

Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977

udang

Golongan Jenis

Tarif (%) 1.5 1

Ikan Tuna, Cakalang.

lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2

Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA

gambar 3.11

III-90

TransferkeDaerah

3.2.3. PENETAPAN AlOKAsi dbH sUmbER dAYA AlAm

Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam PP 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut: dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.

a. Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH b. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada teknis. SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis. kepada Menteri Keuangan. menteri teknis. 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri

c. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar e. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing f.

d. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya. Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau gas Bumi untuk

menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

3.3. dANA AlOKAsi UmUm

3.3.1. PENYUsUNAN fORmUlA dAN PERHiTUNGAN dAU


bagian 10 persen untuk provinsi dan bagian 90 persen untuk kabupaten/kota.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

JDalam uu No.34/20004 porsi DAu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAu adalah

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-91

Kebijakan Jumlah Alokasi DAu Berdasarkan undang-undang Nomor 33/2004

gambar 3.12

Pengaturan terakhir pemerintah mengenai jumlah alokasi DAu ini secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa alokasi DAu sekurang-kurangnya kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi tersebut untuk kabupaten/kota.
III-92

26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAu antara provinsi dan belum dapat dihitung secara kuantitatif, maka imbangan alokasi DAu antara provinsi dan kabupaten/kota mengikuti aturan yang lalu, yaitu 10% untuk Provinsi dan 90%

TransferkeDaerah

3.3.1.2. FOrmula Dau Dalam kerangka unDang-unDang nOmOr 33 tahun 2004 Bentuk umum formula alokasi DAu kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:

dAU = Ad + Cf
Dimana: AD CF Dimana CF

DAu = Dana Alokasi umum = Celah Fiskal = KbF KpF (celah fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal). = Alokasi Dasar

1. Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji 3.3.1.3. Variabel Dau PNSD. perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Tahun 2004) SDA.

2. Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah darat dan 3. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal 4. Secara Sistematika Penyusunan Formula DAu dapat digambarkan dalam Gambar 3.13 berikut ini : dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai undang-undang Nomor 33

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-93

Formula umum Dana Alokasi umum Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

gambar 3. 13

Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut: Dimana: IP IW IPM IKK
III-94

KbF = TBR (1IP + 2IW + 3IPM + 4IKK + 5iPdRb/kap) TBR = Total Belanja Rata-rata APBD = Indeks luas Wilayah = Indeks Jumlah Penduduk

= Indeks Kemahalan Konstruksi

= Indeks Pembangunan Manusia

TransferkeDaerah

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita Sementara itu, terkait dengan daerah pemekaran baru, perhitungan alokasi DAu untuk daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.14. gambar 3.14 Pembagian DAu bagi Daerah Pemekaran 1, 2, 3, 4, 5 = Bobot dari masing-masing indeks variable 1 + 2 + 3 + 4 + 5 = 100%

Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, kebijakan dalam pengalokasian DAu tahun 2010 adalah sebagai berikut: dan ditetapkan dengan peraturan presiden.

a. DAu ditetapkan 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi per daerah sesuai dengan undangundang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005,

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-95

b. Pengalokasian DAu kepada masing-masing daerah menggunakan formula DAu, kapasitas fiskal (KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan jumlah gaji PNSD. mempertimbangkan formasi PNS dan gaji ke-13.

yaitu DAU dihitung berdasarkan formula atas dasar celah fiskal (CF) dan alokasi dasar (AD). CF suatu daerah merupakan selisih kebutuhan fiskal (KbF) dengan

c. Alokasi dasar mengakomodir kebijakan kenaikan gaji pokok PNS sebesar 5 persen,

d. Variabel kebutuhan fiskal daerah meliputi (i) jumlah penduduk, (ii) luas wilayah, (iii) indeks kemahalan konstruksi, (iv) produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, dan (v) indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan variabel kapasitas Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.

Pada tahun 2010, DAu ditetapkan sebesar Rp203.485,2 miliar, yang terdiri dari: a. DAu Murni Rp192.490,3 miliar; dan b. DAu Tambahan untuk Tunjangan Profesi guru Rp10.994,9 miliar.

fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD, Dana

untuk mendapatkan alokasi DAu yang ditujukan dalam rangka pemerataan paling optimal, serta jumlah daerah yang mengalami penurunan DAu paling sedikit. Alokasi DAu tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini: Alokasi DAu 2009 dan 2010
Perpres Nomor 74 Tahun 2008 DAU (miliar Rupiah) 186.414,10

kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant) digunakan indikator koefisien variasi dan indeks Williamson yang dapat menggambarkan tingkat pemerataan yang Tabel 3. 6

No. 1

Tahun 2009

477 Kab/Kota

33 Provinsi

Jumlah Daerah

III-96

TransferkeDaerah

No.

Tahun

DAU (miliar Rupiah) Perpres Nomor 53 Tahun 2009 PMK Nomor 223 Tahun 2009 Tambahan DAu untuk tunjangan profesi guru 10.994,9 DAu Murni 192.490,3

2010

469 kab/kota 33 provinsi

31 Provinsi

Jumlah Daerah

477Kab/Kota

3.3.2. dAU dAERAH PEmEKARAN

Sejak dimulainya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah memberikan warna baru dengan adanya pemekaran daerah baik di tingkat provinsi serta terutama di tingkat kabupaten/kota. Pemekaran daerah memberi wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah PNSD. pada daerah yang mengalami pemekaran dialokasikan pada daerah induk sebelum pemekaran, dan dibagi secara proporsional dengan menggunakan 3 variabel luas dampak terhadap jumlah DAu yang diterima oleh daerah pemekaran. Pembagian DAu

3.4. dANA AlOKAsi KHUsUs

Sesuai dengan Pasal 39 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, Pasal 51 program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Dalam tahun 2010, arah kebijakan umum DAK diarahkan untuk: kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-97

1. Diprioritaskan membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat; dalam rangka perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin;

2. Mendukung prioritas percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, 3. Mendukung prioritas peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat dan sembilan tahun yang merata; penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan, pemantapan revitalisasi program KB, dan peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar kapasitas pemerintahan daerah dan kualitas pelayanan publik; pemantapan demokrasi dan kemanan nasional, terutama dalam rangka penguatan dalam rangka peningkatan stabilitas harga dan pengamanan pasokan bahan pokok, bagi peningkatan saya saing sektor riil;

relatif rendah, dalam rangka mendorong pencapaian SPM kepada masyarakat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial, terutama

pengendalian penyakit, peningkatan jaminan pelayanan penduduk miskin dan

4. Mendukung prioritas pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta 5. Mendukung prioritas penguatan perekonomian domestik yang berdaya saing, yang didukung oleh pembangunan pertanian infrastruktur dan energi, khususnya peningkatan ketahanan pangan, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan, perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin, peningkatan pelayanan hidup, khususnya dalam rangka peningkatan pengelolaan sumber daya air, kualitas penataan ruang dan pengelolaan pertanahan.

6. Mendukung prioritas peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

infrastruktur sesuai standar pelayanan minimal (SPM), dan dukungan infrastruktur

peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, dan peningkatan

III-98

TransferkeDaerah

Berdasarkan arah kebijakan DAK tersebut, serta memperhatikan kemampuan

keuangan negara, DAK tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp21.133,4 miliar, yang

berarti turun sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut terutama sanitasi sekitar 37 persen, serta penurunan DAK bidang kesehatan sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, untuk mendukung kebijakan 20 persen anggaran pendidikan di APBN, DAK Pendidikan ditetapkan sama dengan tahun sebelumnya. Selain itu, pada tahun 2010 terdapat pemisahan bidang DAK, yaitu DAK Air Minum dan Sanitasi yang pada tahun 2009 masih berdiri dalam satu bidang, pada tahun 2010 sudah dipisah menjadi 2 bidang, yaitu DAK Air Minum dan DAK Sanitasi. bawah ini. Tabel 3.7 Selanjutnya, alokasi DAK dari tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.7 di Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2009
Bidang

terjadi pada penurunan DAK di bidang infrastruktur jalan, irigasi, air minum, dan

No 2 3 4 5 6 10 11 7 8 9

Pendidikan Kesehatan Jalan Irigasi

(miliar rupiah)
DAK 2009

a. Kesehatan Dasar Air Minum Sanitasi Pertanian

b. Kesehatan Rujukan

9.334.882.000.000,00 4.017.370.000.000,00 3.411.270.000.000,00 4.500.916.800.000,00 1.548.980.000.000,00 1.142.290.000.000,00 1.100.360.000.000,00 1.492.170.000.000,00 351.610.000.000,00 329.010.000.000,00 562.000.000.000,00606.100.000.000,00

9.334.882.000.000,00 2.829.760.000.000,00 2.223.660.000.000,00 2.810.207.000.000,00 357.231.500.000,00 386.253.000.000,00 968.402.000.000,00 357.231.500.000,00 606.100.000.000,00

DAK 2009

-29,56% -34,81% -37,56% -37,48% -37,45% -31,27% 9,77% 3,45% 0,00% 0,00% III-99 0,00%

0,00%

Prasarana Pemerintahan Kelautan dan Perikanan lingkungan Hidup Keluarga Berencana

1.207.840.000.000,00 1.543.633.000.000,00 351.610.000.000,00 329.010.000.000,00

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

No 13 14

12

Kehutanan Jumlah

Bidang

Sumber : APBN 2010

Sarana dan Prasarana Perdesaan Perdagangan

100.000.000.000,00 190.000.000.000,00 24.819.588.800.000,00 150.000.000.000,00

DAK 2009

250.000.000.000,00 300.000.000.000,00 21.133.382.500.000,00 107.322.500.000,00

DAK 2009

150,00% -14,85% -28,45% 57,89%

3.4.1. fORmUlAsi KEbijAKAN dANA AlOKAsi KHUsUs

Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu (1) penetapan program dan kegiatan, (2) penghitungan alokasi DAK, (3) arah dan penggunaan DAK, dan (4) administrasi pengelolaan DAK. 3.4.1.1. PenetaPan PrOgram Dan kegiatan

Sebagaimana disebutkan pada awal bab ini kegiatan khusus yang di danai dari DAK daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa Pemerintah (RKP) tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, Menteri Keuangan. ini.

merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan sebagaimana tercantum dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan

program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja

khusus dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telahditetapkan tersebut kepada Mekanisme penetapan program dan kegiatan dapat dilihat pada Gambar 3.15 berikut

III-100

TransferkeDaerah

Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan

gambar 3.15

3.4.1.2. Penghitungan alOkaSi Dak

Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu: 1. Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK 2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Sementara itu, penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

Sumber: PP Nomor 55 Tahun 2005

III-101

Perhitungan alokasi DAK 2009 tetap berdasarkan pada ketentuan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan beberapa perubahan tujuan dan sasaran yang besaran alokasi masing-masing daerah. Hal tersebut ditujukan untuk meminimumkan tahun-tahun sebelumnya. Implikasi dari itu semua adalah adanya beberapa daerah mengalami kenaikan alokasi. 1. Kriteria Umum yang mengalami penurunan alokasi, namun di beberapa daerah lainnya justru

hendak dicapai. Hal baru yang terdapat dalam pelaksanaan alokasi DAK 2009 adalah lebih dioptimalkannya kriteria teknis, baik dalam penentuan daerah tertentu maupun terjadinya miss allocation, sekaligus mengoreksi berbagai kebijakan alokasi DAK

Sesuai dengan pasal 40 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhandapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini: Daerah Penerimaan Umum Belanja Pegawai Daerah Dimana: PAD = PAD + DAU + (DBH DBHDR) = Belanja PNSD kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD Belanja Pegawai

DAu

APBD DBH PNSD

DBHDR

= Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi = Pegawai Negeri Sipil Daerah

= Dana Bagi Hasil

= Dana Alokasi umum

= Pendapatan Asli Daerah

= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

III-102

TransferkeDaerah

Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN) tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Dalam tahun 2009, arah kebijakan umum DAK adalah untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah. Hal ini diterjemahkan bahwa DAK dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1 (satu). Dalam hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini.
Rata-rata Nasional Kemampuan Kauangan Daerah = Total Kemampuan Keuangan Daerah secara Nasional Jumlah Daerah

Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN < 1, atau dalam memperoleh DAK. Rumus IFN dapat dilihat di bawah ini.
Indeks Fiskal Netto Daerah Z =

dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas
Kemampuan Keuangan Daerah Z Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah

2. Kriteria Khusus

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, Seperti Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK. dapat dijelaskan sebagai berikut. terpencil undang-undang otonomi Khusus Papua. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi

Dalam tahun 2009, kriteria khusus yang dipergunakan dalam perhitungan alokasi DAK 1. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Papua dan daerah tertinggal/
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-103

2. Karakteristik wilayah, meliputi: a. c. b. d. d. Daerah rawan bencana Daerah pariwisata.

Daerah pesisir dan/ atau kepulauan;

Daerah perbatasan dengan negara lain;

3. Kriteria Teknis

Daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan;

Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.
3.1. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Pendidikan

Indikator Teknis untuk bidang pendidikan meliputi : b. Jumlah ruang kelas SD rusak

a. Jumlah Sekolah Dasar (SD)/Sekolah luar Biasa (SlB) c. Jumlah SD/SlB yang belum memiliki perpustakaan d. Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) e. Jumlah ruang kelas SMP rusak ringan f. i. j. l. g. Jumlah ruang kelas SMP rusak berat h. Jumlah ruang kelas SMP susut Rasio siswa dengan ruang kelas Jumlah ruang kelas SMP rusak sedang

k. Angka Partisipasi Kasar (APK) SuP


III-104 TransferkeDaerah

Jumlah SMP yang belum memiliki perpustakaan Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

m. Alat Pembelajaran Matematika o. Alat Kesenian p. Alat olah Raga

n. Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Indikator teknis ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. meliputi:

Adapun ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan dalam tahun 2010 diarahkan juga untuk kegiatan di tingkat SMP. Selanjutnya, ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan a. SD/SDlB: Pembangunan perbaikan ruang perpustakaan Perabot pendukung perpustakaan elektronik pendidikan

b. SMP

Pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan meliputi alat peraga, kit multimedia, buku pengayaan, buku referensi, ICT pendidikan, dan alat Pembangunan ruang kelas baru BNSP Pembangunan ruang perpustakaan/pusat sumber belajar beserta perabotnya

Pemenuhan kebutuhan buku referensi, pengayaan dan panduan sesuai standar Pemenuhan kebutuhanalat-alat peraga dan pembelajaran bagi sekolah yang belum mempunyai alat tersebut, yaitu alat lab bahasa, lab IPA, dan alat matematika

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-105

3.2. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Kesehatan

Dalam tahun 2010, DAK Kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan dasar, dan pelayanan kesehatan rujukan. Pada DAK Kesehatan untuk obat. Indikator teknis DAK Kesehatan terdiri dari: 1. Indikator Pelayanan Kesehatan Dasar: a. c. b. d. a. Indeks Jumlah penduduk; Indeks luas Wilayah; Indeks Wilayah Khusus; Indeks Kemiskinan Masyarakat. Kelas RS; Jenis RS;

pelayanan kesehatan dasar diperuntukkan untuk pelayanan dasar dan pengadaan

2. Indikator Pelayanan Kesehatan Rujukan 1) 2) 3) 4) 5) 1) 2) 3) 4) 5) 1) 2) Jumlah Tempat Tidur RS; Jenis Menu;

Indeks Instalasi gawat Darurat Rumah Sakit (IgDRS)

b.

Indeks Tempat Tidur Kelas III Jenis Menu;

Bed Occupancy Rate (BoR) kelas III; Jumlah Tempat Tidur RS; Jumlah Tempat Tidur Kelas III; Alokasi Tahun Sebelumnya. Jumlah Tenaga SpA; Jumlah Tenaga Spog;

Alokasi Tahun Sebelumnya.

c.

Indeks Pelayanan obstetri Neo-natal Emergensi Komprehensif (PoNEK) RS

III-106

TransferkeDaerah

d. e. f. g.

3) 4) 5)

Indeks PoNEK RS : Bobot uTDRS

Pelayanan Darah; Jenis Menu;

Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup : a. Pelayanan Dasar: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. Pembangunan Pos Kesehatan Desa;

Indeks Jumlah Penduduk : Jumlah Penduduk

Indeks Balai latihan Kerja (BlK) Provinsi : Bobot labkes

Alokasi Tahun Sebelumnya.

Indeks Human Poverty Index (HPI): Data Kemiskinan Masyarakat

Emergensi Dasar (PoNED) minimal 4 puskesmas perawatan kab/kota melalui pengadaan alat medis; dan Pengadaan roda 2 utk petugas dan bidan desa; Pengadaan pusling perairan dan roda 4; Pengadaan obat generik . Pengadaan sarana pendukung penyimpanan vaksin/obat di instansi farmasi;

Pembangunan Puskesmas, Puskesmas perawatan;

Melengkapi puskesmas perawatan mampu Pelayanan obstetri Neo-natal

b. Pelayanan Rujukan:

Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS;

Pemenuhan peralatan unit Transfusi Darah (uTD) RS;

BlK Provinsi.

Pemenuhan peralatan Instalasi gawat Darurat (IgD) RS;

Pembangunan sarana prasarana dan pemenuhan peralatan PoNEK RS; dan

Pemenuhan peralatan kultur untuk Microbacterium Tuberculosis (M.Tbc) di

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-107

3.3. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK infrastruktur

Indikator teknis DAK untuk infrastruktur meliputi: 1. Bidang Infrastruktur Jalan a. c. b. d. a. c. b. luas Wilayah; Kondisi Jalan. Jumlah Penduduk;

2. Bidang Infrastruktur Irigasi d. a. c. b. luas Wilayah; Jumlah Penduduk;

Total Panjang Jalan; dan

3. Bidang Infrastruktur Air Minum d. a. c. b. luas Wilayah; Jumlah Penduduk;

luas Daerah Irigasi Kondisi Rusak.

luas Daerah Irigasi; dan

4. Bidang Infrastruktur Sanitasi d. Jumlah Penduduk; luas Wilayah; Kondisi Sanitasi.

Jumlah Penduduk Miskin; dan

Jumlah Desa Rawan Air Bersih.

Adapun ruang lingkup untuk DAK Infrastruktur adalah sebagai berikut: 1. Bidang Infrastruktur Jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi urusan daerah.
TransferkeDaerah

luas Kawasan Kumuh Perkotaan; dan

Ditujukan untuk pemeliharaan berkala, peningkatan dan pembangunan jalan

III-108

2. Bidang Infrastruktur Irigasi

3. Bidang Infrastruktur Air Minum 4. Bidang Infrastruktur Sanitasi

Ditujukan untuk peningkatan, rehabilitasi, dan pembangunan jaringan irigasi rumah untuk masyarakat miskin.

Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) eksisting, pembangunan SPAM baru, dan perluasan jaringan dan peningkatan sambungan Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem dan Pelayanan Eksisting (air limbah,

persampahan, dan drainase), pengembangan Pelayanan Sistem dan layanan Baru (air limbah, persampahan, dan drainase), perluasan jaringan dan peningkatan melalui pengembangan sistem air limbah komunal, dan dukungan pada kegiatan 3 R (reduce, reuse, recycle). sambungan pelayanan air limbah untuk masyarakat miskin dan /atau kumuh

3.4. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Kelautan dan Perikanan

Indikator Teknis untuk bidang kelautan dan perikanan mempertimbangkan: a. Produksi Perikanan; b. Kapal Berlabuh; e. Tenaga Kerja; f. i. j. g. luas KKlD; h. Pasar Ikan; Pokmaswas; d. Saluran Tambak; c. luas lahan Budi Daya;

Penyuluh Perikanan.

unit Pengolah Ikan; dan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-109

Ruang lingkup kegiatannya mencakup:

a. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan tangkap; hasil perikanan; perikanan;

b. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan budidaya;

c. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran

d. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras pemberdayaan ekonomi masyarakat di e. Penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; f. Penyediaan dan pengadaan sarpras penyuluhan perikanan

pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan konservasi dan pengembangan

3.5. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Pertanian

Indikator Teknis untuk bidang pertanian mempertimbangkan: a. luas Penggunaan lahan; c. Jumlah Penyuluh; b. Kebutuhan Rehab dan Baru BPP; d. Kategori Rawan Pangan; dan e. Kebutuhan lumbung Pangan.

Ruang lingkup kegiatannya meliputi:

a. Penyediaan fisik prasarana penyuluhan yang hanya digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan; lahan rawa pasang surut dan rawa lebak; kesuburan tanah, sarana/alat pengolah kompos, konservasi lahan, serta reklamasi

b. Penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan lahan meliputi: pembangunan/ c. Penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan air, meliputi pembangunan/
III-110 TransferkeDaerah

rehabilitasi Jalan usaha Tani (JuT), jalan produksi, optimasi lahan, peningkatan

rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat usaha Tani (JITuT), Jaringan Irigasi Desa

d. Perluasan areal meliputi: cetak sawah, pembukaan lahan kering/ perluasan areal e. Penyediaan lumbung pangan dalam rangka mendukung kelembagaan distribusi pangan masyarakat yang merupakan bagian dari upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan; dan

(JIDES), Tata Air Mikro (TAM), irigasi air permukaan, irigasi tanah dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam parit, embung;

3.6. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK lingkungan Hidup

Indikator teknis DAK lingkungan Hidup meliputi: a. Panjang sungai; d. Kelembagaan; b. Kepadatan penduduk; c. luas tutupan lahan; dan

Ruang lingkup kegiatannya mencakup: pembangunan IPAl komunal;

a. Pembangunan gedung laboratorium, pengadaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pengadaan laboratorium lingkungan bergerak;

b. Pembangunan unit pengolahan sampah (3R), pembangunan teknologi biogas, dan pengadaan alat pencacah gulma; pembuat briket arang; dan

c. Penanaman pohon di sekitar sumber air di luar kawasan hutan, pembangunan d. Pengadaan alat pemantauan kualitas udara, alat pembuat asap cair, dan alat e. Pengadaan alat pemantau kualitas tanah. Pengembangan sistem informasi lingkungan untuk memantau kualitas air;

sumur resapan/biopori, pembangunan Taman Hijau, pengadaan papan informasi,

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-111

3.7. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Prasarana Pemerintahan

Indikator teknis untuk DAK Prasarana Pemerintahan meliputi: a. Jumlah SKPD yang belum punya kantor sendiri; b. Kondisi kantor yang rusak; c. Daerah yang pindah ibu kotanya; dan

d. luas Prasarana Pemerintahan yang masih dibutuhkan.

Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup pembangunan/perluasan/rehabilitasi penerima.

gedung kantor kepala daerah, DPRD, dinas, badan, dan gedung SKPD lainnya dengan

tetap memperhatikan kriteria umum, khusus, dan teknis dalam penentuan daerah
3.8. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Keluarga berencana

Indikator teknisnya meliputi: (PlKB);

a. Jumlah Penyuluh Keluarga Berencana (PKB)/Petugas lapangan Keluarga Berencana b. Jumlah Pengendali Petugas lapangan Keluarga Berencana (PPlKB); c. Jumlah desa/kelurahan; d. Jumlah kecamatan; dan e. Jumlah klinik KB.

Ruang lingkup kegiatannya meliputi: b. mobil pelayanan KB keliling; c. sarana pelayanan di Klinik KB;

a. sepeda motor bagi PKB/PlKB dan PPlKB; d. mobil unit penerangan (MuPEN) KB;

e. pengadaan public address dan KIE Kit;


III-112 TransferkeDaerah

f.

g. pembangunan gudang alokon. a. luas Area Tahura; c. Kelembagaan.

pengadaan bina keluarga balita (BKB) Kit; dan

3.9. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Kehutanan

Indikator teknis DAK Kehutanan provinsi meliputi: b. luas Wilayah; dan

Indikator teknis DAK Kehutanan kabupaten/kota meliputi: a. luas Hutan Mangrove; b. luas lahan Kritis; d. luas Hutan lindung; f. c. luas lahan Kritis di luar Kawasan;

e. Kelembagaan Penyuluhan Kehutanan; dan Ruang lingkup kegiatannya meliputi:

a. rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis di luar kawasan hutan, kawasan b. pengelolaan Tahura dan Hutan Kota termasuk pengamanan hutan; c. pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya; mangrove, Tahura, dan Hutan Kota;

Daerah Penghasil/Jumlah DBH yang Diperoleh.

d. pembangunan dan pemeliharaan bangunan sipil teknis (bangunan Konservasi sumur resapan, embung dan bangunan konservasi tanah dan air lainnya; (RHl). dan

e. peningkatan penyediaan sarana penyuluhan teknis Rehabilitasi Hutan dan lahan

Tanah dan Air/KTA) yang meliputi dam penahanan, dam pengendali, gully plug,

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-113

f.

3.10. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Perdagangan

mangrove, dan hutan pantai.

Rehabilitasi lahan Kritis di dalam kawasan hutan lindung, taman hutan raya, hutan

Indikator teknis: km

a. Jumlah desa yang tidak memiliki pasar permanen/semi permanen pada jarak < 3 b. Persentase jumlah pasar rusak. tradisional dan pasar penunjang.
Perdesaan

Ruang lingkup kegiatannya diarahkan untuk Pembangunan dan pengembangan pasar


3.13. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK sarana dan Prasarana

Indikator teknisnya meliputi:

a. Persentase luas Kawasan Produksi; b. Persentase Pasar Non Permanen; e. Persentase Desa Berbukit; f. i. j. l. Persentase Desa Dataran;

c. Akses ke Pusat IKK kurang dari atau sama dengan 6 km; d. Akses ke Pusat IKK lebih dari atau sama dengan 6 km; g. Persentase Desa Pesisir Pantai;

h. Persentase Transportasi Sungai;

k. Persentase Kendaraan Roda 3/lebih;


III-114

Persentase Transportasi laut Perahu Bermotor; Persentase Kendaraan Roda 2; dan


TransferkeDaerah

Persentase Transportasi laut Perahu Tidak Bermotor;

m. Persentase Kendaraan Tidak Bermotor.

Adapun ruang lingkup kegiatannya diarahkan untuk membiayai pengadaan moda transportasi perintis darat, laut dan air/rawa. 3.4.1.3. Penghitungan Dak Daerah Pemekaran untuk daerah pemekaran tahun 2008 dan 2009 sebanyak 14 daerah kabupaten/kota, perhitungan alokasi DAK-nya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Kriteria umum dan khusus mengikuti daerah induknya; b. Kriteria teknis berdasarkan ketersediaan data teknis; masih digabung dengan induknya.

c. Secara administrasi, penetapan alokasi DAK bagi 14 daerah otonom baru tersebut pada Gambar 3.16 dan 3.17 di bawah ini.

Dari beberapa penjelasan di atas, proses pengalokasian DAK 2009 dapat dijelaskan Proses Penentuan Daerah Tertentu Penerima DAK gambar 3.16

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-115

Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah

gambar 3.17

Dari gambar 3.16 di atas, terdapat serangkaian proses yang harus dilalui, baik dalam alokasi masing-masing daerah.

menentukan daerah tertentu yang menerima DAK maupun dalam menentukan besaran 1. Jika suatu daerah memenuhi kriteria umum yang ditunjukkan dengan IFN < 1, maka
Tahap 1 : menentukan daerah Tertentu Penerima dAK

2. Jika pada proses no. 1 di atas daerah tidak memenuhi, maka dilihat kriteria khusus 3. Jika daerah tersebut tidak termasuk dalam kriteria khusus pada butir 2 di atas,
III-116

daerah tersebut pada proses ini layak mendapat alokasi DAK; tersebut layak memperoleh alokasi DAK;

yang pertama yaitu apakah daerah tersebut termasuk dalam pengaturan otonomi khusus atau termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal. Jika ya, maka daerah maka lihat kembali kriteria khusus yang kedua yaitu karakteristik wilayah yang
TransferkeDaerah

4. Jika daerah tersebut ternyata masih belum layak untuk mendapatkan DAK pada proses ini, IT digabungkan dengan IFW sehingga menghasilkan IFWT. Jika IFWT > 1, maka daerah tersebut layak mendapat alokasi DAK pada bidang tersebut.

ditunjukkan dengan indeks kewilayahan (IKW). Pada proses ini, IFN dan IKW daerah tersebut layak memperoleh DAK;

digabungkan sehingga menghasilkan IFW. Dalam hal ini apabila IFW > 1, maka

proses nomor 3 di atas, maka dilihat kriteria teknisnya untuk masing-masing bidang yang didanai dari DAK yang dicerminkan dengan indeks teknis (IT). Pada

1. Setelah proses penentuan daerah tertentu dilalui, maka harus dihitung besaran
Tahap 2 : menentukan besaran Alokasi dAK masing-masing daerah

2. IFWT masing-masing daerah dikalikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan menghasilkan Bobot Daerah (BD) untuk masing-masing daerah; sehingga dihasilkan alokasi daerah bersangkutan untuk masing-masing bidang.

alokasi untuk masing-masing bidang dan masing-masing daerahnya (ADB, alokasi daerah dan bidang);

3. Selanjutnya, BD tersebut dikalikan dengan pagu alokasi DAK masing-masing bidang 3.4.1.4. aDminiStraSi PengelOlaan Dak
1. dana Pendamping

untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pelaksanaan program

yang didanai DAK, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk tahun anggaran berjalan. Jika daerah tidak menganggarkan Dana Pendamping, pencairan DAK tidak dapat dilakukan. Dana Pendamping juga dicantumkan dalam pelaksana anggaran sejenis lainnya.

mendanai kegiatan fisik. Dana Pendamping tersebut wajib dianggarkan dalam APBD Rencana Definitif (RD) dan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA-SKPD) atau dokumen

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-117

untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, yaitu selisih antara penerimaan diwajibkan menganggarkan Dana Pendamping.
2. Penganggaran

umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif maka tidak untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK, Menteri Teknis menetapkan Petunjuk Teknis pelaksanaan kegiatan DAK untuk masing-masing bidang. Jika menteri teknis tidak menerbitkan petunjuk teknis DAK, maka digunakan petunjuk teknis tahun lalu yang diterbitkan oleh menteri teknis terkait.
3. Pemantauan dan Pengawasan

Pemantauan dan pengawasan dari kegiatan yang dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus ini melibatkan tiga hal penting, yaitu pemantauan teknis, pelaksanaan kegiatan dan kewenangan masing-masing.

administrasi keuangan serta penilaian terhadap manfaat kegiatan yang dibiayai

oleh DAK tersebut. Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap Pengawasan fungsional/pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan DAK dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan/atau aparat terdapat penyimpangan dan/atau penyalahgunaan, BPK dan/atau aparat pengawas terhadap manfaat pelaksanaan DAK yang melibatkan pihak terkait setempat. pengawasan intern pemerintah daerah. Apabila dalam pemeriksaan tersebut intern pemerintah daerah menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-

pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK sesuai dengan

undangan yang berlaku. Daerah sendiri melalui tim koordinasi melakukan evaluasi Sementara itu, untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan DAK di daerah dalam kaitannya dengan penyempurnaan kebijakan DAK, telah diterbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Negara Perencanaan
III-118 TransferkeDaerah

Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 0239/M.PPN/11/2008, SE 1722/

MK.07/2008, 900/3556/SJ Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan dilaksanakan antar tingkat pemerintahan. 3.4.1.5. PelaPOran

Dan Evaluasi Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK). SEB dimaksud lebih banyak

mengatur tata hubungan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi DAK yang Kepala daerah penerima DAK wajib menyampaikan laporan triwulan yang memuat belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir kepada:

laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK selambat-lambatnya 14 (empat

a. Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur b. Menteri Teknis; dan Jenderal Perbendaharaan, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.;

dalam lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009. tentang

c. Menteri Dalam Negeri. sebagaimana dimaksud.

Penyaluran DAK dapat ditunda apabila daerah tidak menyampaikan laporan

Menteri Teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK pada akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam Negeri.

3.5. PENYAlURAN ANGGARAN TRANsfER KE dAERAH

Pasal 6 undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-119

diserahkan

daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya.

dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini berarti, pemerintah daerah melakukan sendiri pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,

kepada

gubernur/bupati/walikota

selaku

kepala

pemerintahan

Sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, dalam upaya menyempurnakan terkait dengan pengalokasian dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan Daerah menggantikan Kelompok Belanja ke Daerah. Hal ini diatur dalam Peraturan pada tahun 2008, perubahan ini diimplementasikan ke dalam perubahan nomenklatur pula dengan perubahan mendasar dalam pelaksanaan penyalurannya dari kas negara Anggaran Transfer ke Daerah. penyesuaian ke dalam kelompok bagan akun tersendiri yaitu Kelompok Transfer ke

bagan akun standar Menteri Keuangan telah mengelompokkan bagan akun yang Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar. Selanjutnya APBN dari sebelumnya Belanja ke Daerah menjadi Transfer ke Daerah dan diikuti ke kas daerah. Pelaksanaan penyaluran ini terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Penyaluran angggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan cara pemindahbukuan rekening pada bank sentral atau bank umum untuk menampung penyaluran semua Rekening Kas umum Daerah. Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban

dari rekening Kas umum Negara ke Rekening Kas umum Daerah. Dalam rangka

penyaluran tersebut, Bendaharawan umum Daerah (BuD) atau Kuasa BuD membuka anggaran Transfer ke Daerah (DBH Pajak, DBH SDA, DAu, dan DAK) dengan nama

III-120

TransferkeDaerah

boks 3.1 Penyempurnaan new Design Kebijakan Penyaluran Transfer ke daerah


Kebijakan pengelolaan transfer ke daerah sejak tahun 2008 telah memakai pola baru, terutama ditandai dengan adanya perubahan nomenklatur Belanja ke Daerah menjadi Transfer ke Daerah dalam struktur APBN 2008, serta perpindahan pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran (PA/KPA) dari pemerintah daerah menjadi Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara operasional, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Mengacu pada hasil evaluasi atas pelaksanaan PMK 04/PMK.07/2008 tersebut, serta memperhatikan berbagai masukan yang berkembang di masyarakat, pada tahun 2009 telah ditetapkan PMK Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Beberapa hal yang diatur dalam PMK tersebut adalah: (1) Penambahan komponen DBH baru, yaitu DBH Cukai Hasil Tembakau, yang penyalurannya dilakukan per triwulan. Triwulan I s.d. III disalurkan masing-masing sebesar 20 persen, 30 persen, dan 30 persen, sedangkan triwulan IV disalurkan sebesar selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang sudah disalurkan selama triwulan I s.d III; (2) DBH PBB/BPHTB ditransfer sesuai realisasi penerimaan PBB/BPHTB secara mingguan; (3) DBH PPh ditransfer per triwulan. Triwulan I s/d III masing-masing sebesar 20 persen, sedangkan triwulan IV adalah selisih alokasi definitif dengan jumlah dana yang sudah disalurkan selama triwulan I s/d III; (4) DBH SDA ditransfer per triwulan sebesar 20 persen untuk triwulan I dan triwulan II, sedangkan triwulan III didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA s.d triwulan III dengan realisasi penyaluran triwulan I dan II. Sementara itu, penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA s.d triwulan IV dengan realisasi penyaluran triwulan I, II, dan III; (5) DAU ditransfer setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi per daerah; (6) DAK ditransfer secara bertahap, yaitu tahap-1 sebesar 30 persen untuk daerah yang sudah menyampaikan Perda APBD dan laporan penyerapan penggunaan DAK tahun sebelumnya, serta tahap-2 dan 3 masing-masing sebesar 45 persen dan 25 persen setelah Laporan Penyerapan DAK tahap sebelumnya diterima dan sudah mencapai 90%. (7) Dana Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, serta Propinsi NAD ditransfer secara triwulan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri keuangan.

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-121

Pelaksanaan atas new design kebijakan penyaluran transfer ke daerah tersebut mempunyai dampak positif, yaitu : (a) mempercepat penyelesaian Perda APBD; (b) mendorong pelaksanaan treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; (c) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana; (d) mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (e) mempercepat tersedianya data realisasi transfer; (f) meningkatkan akuntabilitas penyusunan LRA Transfer ke Daerah, dan (g) meningkatkan akurasi sistem informasi keuangan daerah (SIKD).

3.5.1. PENYAlURAN dbH PAjAK


3.5.1.1. Penyaluran Dana bagi haSil PPh Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh mengacu pada Pasal 19 PMK No.04/ PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. berjalan. a. Penyaluran DBH PPh WPoPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan b. Penyaluran DBH PPh WPoPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut : Penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing sebesar 20 persen (dua puluh persen) dari alokasi sementara; triwulan III. Penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I sampai dengan Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan I sampai penyaluran tahun anggaran berikutnya. dengan triwulan III yang didasarkan atas alokasi sementara lebih besar prognosa realisasi penerimaan PPh WPoPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran

daripada alokasi definitif, maka kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam

III-122

TransferkeDaerah

a. Penyaluran DBH PBB didasarkan pada Pasal 17, Peraturan Menteri Keuangan 3.5.1.2. Penyaluran Dana bagi haSil Pbb Transfer ke Daerah. anggaran berjalan. b. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun c. Penyaluran DBH PBB bagian daerah dilaksanakan secara mingguan. agustus, dan bulan november tahun anggaran berjalan. seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu bulan april, bulan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran

d. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada

e. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan sebagai insentif kepada f. pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan, dilaksanakan dalam bulan November tahun anggaran berjalan. Penyaluran Biaya Pemungutan PBB bagian daerah dilaksanakan secara bulanan

kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sector pedesaan dan perkotaan

3.5.1.3. Penyaluran Dana bagi haSil bPhtb

Penyaluran DBH BPHTB didasarkan pada Pasal 17, PMK No.21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah yaitu: tahun anggaran berjalan. secara mingguan (setiap Jumat). a. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB b. untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian daerah penyaluran BPHTB dilaksanakan c. Penyaluran DBH BPHTB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan november tahun anggaran berjalan.

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-123

3.5.1.4. Penyaluran Dana bagi haSil Cukai haSil tembakau (Cht) Penyaluran DBH CHT didasarkan pada Pasal 20, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah yaitu: a. Triwulan I sebesar 20 persen dari alokasi sementara; b. Triwulan II sebesar 30 persen dari alokasi sementara;

c. Triwulan III sebesar 30 persen dari alokasi sementara;

d. Triwulan IV sebesar selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, II, dan III, dilaksanakan setelah Ditjen Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi pelaksanaan DBH CHT semester I. boks 3.2

dbH CUKAi HAsil TEmbAKAU


Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung untuk mengoptimalkan upaya pengawasan dan pengendalian serta memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara sehingga diperlukan adanya penyempurnaan kebijakan yang disesuaikan dengan perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan Pemerintah lainnya. Untuk itu, pada tanggal 15 Agustus 2007 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Salah satu ruang lingkup perubahan UU tersebut adalah mengenai pengaturan tambahan komponen DBH, yaitu DBH Cukai Hasil Tembakau kepada Pemerintah Daerah, yang diatur dalam Pasal 66A sampai dengan Pasal 66D. Dalam UU tersebut menyatakan bahwa Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil Cukai Hasil Tembakau sebesar 2 (dua) persen yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Dalam ketentuan tersebut, terdapat komponen utama, yaitu provinsi penghasil Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan provinsi penghasil tembakau sebagai hasil pertanian atau tembakau sebagai produk primer. Dalam hal ini penggunaan CHT bersifat limitatif, sehingga yang memperoleh DBH CHT adalah daerah provinsi dimana pabrik hasil tembakau berada. Hal tersebut didasarkan pada sifat dan karakteristik dari pungutan cukai yang tidak dikenakan secara langsung.

III-124

TransferkeDaerah

Selanjutnya, sejalan dengan hasil peninjauan undang-undang cukai berdasarkan amar putusan mahkamah konstitusi, dapat disampaikan bahwa pengalokasian DBH CHT untuk provinsi penghasil tembakau dapat dipenuhi paling lambat Tahun Anggaran 2010.

3.5.2. PENYAlURAN dbH sUmbER dAYA AlAm


a. Triwulan I sebesar 20 persen dari pagu di PMK-nya; c. Triwulan III berdasarkan: II) sebelumnya).

Secara umum, pola penyaluran DBH SDA dilaksanakan secara triwulanan, yaitu: b. Triwulan II sebesar 20 persen dari pagu di PMK-nya; (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan

d. Triwulan IV berdasarkan (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara e. Penyaluran rampung tahun sebelumnya (bulan Februari) berdasarkan (perhitungan Proses Penyaluran s.d. triwulan IV). sampai dengan triwulan III) (penyaluran s.d. triwulan III) perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan IV) (penyaluran

(penyaluran triwulan I dan II (40 persen PMK)) + (lebih salur tahun

Penyaluran DBH SDA Migas dari rekening kas negara ke rekening kas pemerintah daerah penerima DBH SDA Migas. Proses penyaluran tersebut sebagai berikut: Perbendaharan. Migas untuk Dirjen PK. a. Dirjen PK mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen c. Berdasarkan DIPA tersebut, Direktur Dana Perimbangan sebagai KPA mengajukan SPM Migas ke Direktur PKN DJPBN. b. Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan DIPA

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-125

Format Penyaluran DBH SDA Migas

gambar 3.18

d. Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN DJPBN menerbitkan SP2D. Selanjutnya, alur perhitungan dan penyaluran DBH Migas dapat dilihat pada Gambar 3.19. penyaluran ini. Bila sebelumnya semua dokumen dilaksanakan untuk setiap triwulan, sebagai berikut: Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke rekening kas pemda provinsi/kabupaten/kota

Sementara itu, sejak tahun 2008 diberlakukan sedikit perubahan dalam proses maka mulai tahun 2008 proses permintaan dan penerbitan DIPA dilaksanakan hanya satu kali di awal tahun. Jadi hanya ada satu DIPA untuk setiap tahunnya. Prosesnya 1. Di awal tahun:

III-126

TransferkeDaerah

Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas

gambar 3.19

2. Setiap Penyaluran: a. c. b.

b.

a. Berdasarkan PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas, Dirjen PK mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharan. DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.

Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharan menerbitkan Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana Perimbangan Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN DJPBN menerbitkan SP2D. rekening kas pemda provinsi/kabupaten/kota sebagai KPA mengajukan SPM Migas ke Direktur PKN DJPBN.

Dengan demikian proses penyaluran dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, karena penyaluran setiap triwulannya tidak lagi melalui proses permintaan dan penerbitan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-127

Mekanisme Penyaluran (2008)

gambar 3.20

3.5.3. PENYAlURAN dAU

Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAu dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan umum Negara (BuN) membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau setempat untuk penyaluran DAu setiap bulan. pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN

melalui KPPN setempat. Kepala daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan

Sesuai dengan peraturan menteri keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggung-

jawaban Anggaran Transfer ke Daerah, mulai tahun 2008 Dirjen Perimbangan masing daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM setiap bulan dan menyampaikannya kepada Kuasa BuN (KPPN Jakarta II - DJPB).
III-128 TransferkeDaerah

Keuangan bertindak selaku KPA yang menyusun DIPA dan menyampaikannya

kepada Dirjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Penyaluran DAu dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masing-

3.5.4. PENYAlURAN dAK

Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAK dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau setempat untuk penyaluran DAK setiap tahapnya.

melalui KPPN setempat. Kepala Daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan umum Negara (BuN) membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN

Seiring dengan perubahan yang disebutkan di atas, mulai tahun 2008 penyaluran daerah. Berdasarkan peraturan menteri keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Dirjen Perimbangan Keuangan Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM yang terbagi dalam 3 tahap yaitu; Keuangan,

DAK dilaksanakan langsung melalui Kuasa BuN (KPPN Jakarta II - DJPB) dengan cara memindahbukukan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Dalam rangka menyalurkan DAK, APBD, laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, dan ditunjuk sebagai KPA yang menyusun DIPA dan menyampaikannya kepada Dirjen Tahap I sebesar 30 persen dari alokasi, dilaksanakan setelah Perda mengenai Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping diterima oleh Dirjen Perimbangan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan, dan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan. Tahap II sebesar 45 persen dari alokasi, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I diterima Tahap III sebesar 25 persen dari alokasi, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap II diterima

Sesuai dengan PMK, pelaksanaan penyaluran secara bertahap tersebut tidak dapat dilakukan sekaligus dan tidak boleh melampaui tahun anggaran berjalan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

III-129

bAb iV Pinjaman, Hibah, dan investasi daerah

IV-132

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

bAb iV PiNjAmAN, HibAH, dAN iNVEsTAsi dAERAH

4.1. PENdAHUlUAN

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kewajiban kepada pemerintah pusat untuk mendistribusikan pendanaan yang memadai bagi pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk dapat mengelola pembangunan di daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi kebutuhan akan keselarasan pelaksanaan pembangunan diantara masing-masing tingkat pemerintahan maupun antar tingkat pemerintahan yang sama. akan sinergi yang optimal antara pusat dan daerah dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. daerah sejalan dengan kewenangan yang telah diserahkan. Di sisi lain, pemerintah

Koordinasi yang efektif dalam pelaksanaan pembangunan nasional ini diharapkan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi dan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah, daerah, yang antara lain terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan dengan tegas bahwa memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

pemerintah pusat memberikan sumber-sumber penerimaan kepada pemerintah

Pinjaman Daerah, dan Hibah Daerah. Hal ini sejalan dengan undang-undang Nomor selain berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan, pemerintah pusat dapat Pengalokasian dana perimbangan dan pemberian pinjaman dan/atau hibah ini
Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-133

dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kedua peraturan perundang-undangan di atas secara tegas menjelaskan pelaksanaan sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara

kebijakan pinjaman daerah dan hibah daerah merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari penyelenggaraan asas desentralisasi dan otonomi daerah. Pemberian pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antardaerah secara serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. dalam kaitannya dengan pelaksanaan asas otonomi daerah dan penyediaan pelayanan daerah juga dapat melakukan investasi jangka pendek dan jangka panjang. Investasi manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan

pinjaman dan/atau hibah oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau

proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,

kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan Selain itu, untuk melaksanakan amanat undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 18 umum, serta dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan pembangunan, pemerintah pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, yang dilakukan harus menghasilkan manfaat ekonomis seperti bunga, dividen, royalti, undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 pada Pasal 24 mengatur bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan daerah, penerimaan pinjaman daerah yang diteruskan kepada perusahaan daerah.
IV-134 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

dimana pemerintah (pusat dan daerah) dapat melakukan pemberian pinjaman, hibah, daerah, dananya dapat bersumber dari dana APBD murni, pendapatan hibah dan/atau

dan/atau penyertaan modal kepada perusahaan daerah. untuk lingkup pemerintah

Pemerintah pusat melalui berbagai peraturan perundang-undangan antara lain

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan uang Negara/ Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah juga telah mengatur dan mendorong pemerintah daerah untuk dapat melakukan kegiatan investasi daerah, seperti penyertaan modal perusahaan daerah, kerja sama dengan pihak swasta, dan pembelian surat berharga dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mengembangkan perekonomian daerah.

4.2. PiNjAmAN dAERAH

Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima merupakan salah satu instrumen pembiayaan pembangunan daerah dalam rangka

sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman daerah

memberikan pelayanan publik. Pinjaman daerah terjadi karena APBD mengalami investasi untuk dapat mengambil manfaat dengan melakukan pinjaman dengan prinsip memanfaatkan uang sekarang, yang memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan uang masa datang. yang jauh ke depan untuk dapat mengelola potensi yang ada agar dapat dimanfaatkan

defisit. Dalam teori pengelolaan keuangan, defisit dapat direncanakan dalam rangka

Dengan prinsip tersebut di atas, maka pemerintah daerah seharusnya memiliki visi seoptimal mungkin untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Namun, mengingat pinjaman daerah mempunyai konsekuensi berupa pengembalian pinjaman yang kembali, risiko operasional, dan risiko perubahan nilai tukar, maka pengelolaan (prudent management). akan terjadi pada masa yang akan datang dan adanya risiko pinjaman berupa risiko

kesinambungan fiskal, risiko perubahan tingkat suku bunga, risiko pembiayaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-135

Bab ini menjelaskan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pinjaman

daerah, sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi obligasi Daerah, Peraturan Menteri Pendapatan Belanja Daerah masing-masing Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, Peraturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Daerah dari Pemerintah yang Dananya bersumber dari Pinjaman luar Negeri,

Keuangan Nomor 138/PMK.07/2009 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2010, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya Dengan Pinjaman Daerah Dari

4.2.1. PERENCANAAN PiNjAmAN dAERAH

Pemerintah daerah melakukan pinjaman daerah jangka menengah dan panjang dan panjang, maka tahapan yang dilakukan dalam proses perencanaan adalah sebagai berikut:

sebagai alternatif pembiayaan untuk menutup defisit APBD yang bersangkutan. Dalam hal pemerintah daerah merencanakan untuk melakukan pinjaman jangka menengah

1) Pemerintah daerah menetapkan jumlah defisit APBD sepanjang memenuhi persyaratan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah setiap tahunnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya. untuk tahun anggaran 2009, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
IV-136 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Nomor 123/PMK.07/2008 tentang Batas Maksimal Jumlah Kumulatif Defisit Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Daerah masing-

masing Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2009, diatur sebagai berikut: 2009; Anggaran 2009 ditetapkan sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima persen)

a. Batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD untuk Tahun b. Batas maksimal jumlah kumulatif Defisit APBD untuk Tahun Anggaran 2009 c. Batas maksimal Defisit APBD masing-masing daerah ditetapkan sebesar 3,5% d. Batas maksimal Defisit APBD masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada butir c adalah defisit yang dibiayai dari pinjaman; dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri; ketentuan sebagai berikut : b tidak terlampaui; dan pinjaman daerah. dimaksud pada butir c, setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan (tiga koma lima persen) dari perkiraan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2009; ditetapkan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen) dari proyeksi PDB yang digunakan dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2009; dari proyeksi PDB yang digunakan dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran

e. Defisit APBD suatu daerah dapat melebihi batas maksimal sebagaimana f. Persetujuan Menteri Keuangan dimaksud pada butir e, didasarkan pada

g.

Batas maksimal kumulatif defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam butir Pinjaman yang dipergunakan untuk membiayai defisit APBD dilaksanakan sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan mengenai

2009 ditetapkan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen) dari Anggaran 2009;

proyeksi PDB tahun 2009 yang digunakan dalam penyusunan APBN Tahun

Batas maksimal kumulatif pinjaman daerah sampai dengan Tahun Anggaran

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-137

h.

2) Penentuan jenis pembiayaan untuk menutup defisit APBD. Berdasarkan peraturan pembiayaan sebagai berikut: a. c. b. d. e. Sisa lebih Perhitungan Anggaran (SilPA) daerah tahun anggaran sebelumnya, Pencairan dana cadangan; mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang belum diselesaikan, dan pelampauan target pendapatan daerah; ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dapat berupa hasil

kemampuan keuangan daerah dan setelah memenuhi persyaratan pinjaman daerah;

Besaran jumlah pinjaman masing-masing daerah disesuaikan dengan

perundang-undangan, defisit APBD dapat ditutup dengan sumber-sumber

penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak direalisasikan pada tahun anggaran yang bersangkutan; dan/atau Penerimaan pinjaman, termasuk penerbitan obligasi daerah yang akan

3) Dalam hal pemerintah daerah memutuskan untuk melakukan pinjaman daerah meneliti pemenuhan persyaratan untuk dapat melakukan pinjaman daerah, yang Bab ini. dan sumber pinjaman daerah yang akan dilakukan, yang akan dijelaskan lebih terinci pada bagian tentang sumber dan jenis pinjaman daerah dalam Bab ini.

untuk menutup Defisit APBD, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah akan dijelaskan lebih rinci pada bagian tentang persyaratan pinjaman daerah dalam

4) langkah selanjutnya dari perencanaan pinjaman daerah adalah penentuan jenis Secara umum proses perencanaan pembiayaan daerah dilakukan sesuai bagan alur (flow chart) dalam Gambar 4.1 berikut ini:

IV-138

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Proses Perencanaan Pinjaman Daerah

gambar 4.1

4.2.2. sUmbER PiNjAmAN


adalah sebagai berikut:

Alternatif sumber-sumber pinjaman yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah, 1) Pemerintah yang dananya berasal dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan 2) Pemerintah daerah lain; 3) lembaga Keuangan Bank yang berbadan Hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Indonesia; tempat kedudukan dalam wilayah negara Indonesia; dan pinjaman Pemerintah dari dalam maupun luar negeri;

4) lembaga Keuangan Bukan Bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-139

5) Masyarakat, yaitu berupa obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran

4.2.3. jENis PiNjAmAN dAERAH

umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.

Berdasarkan waktunya, pinjaman daerah dapat dikategorikan dalam pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Secara detail, penjelasan setiap jenis pinjaman tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut:
1) Pinjaman jangka Pendek

Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang

atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya administrasi, anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak dilakukan pada saat barang dan/ menutup kekurangan arus kas. atau jasa dimaksud diterima. Pinjaman jangka pendek dipergunakan hanya untuk
2) Pinjaman jangka menengah

komitmen, provisi, asuransi, dan denda) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun

Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih provisi, asuransi, dan denda) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan. sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman jangka menengah

dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi

pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya administrasi, komitmen,

IV-140

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

3) Pinjaman jangka Panjang

Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (seperti: biaya administrasi, komitmen, provisi, dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jangka panjang

satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi

asuransi, dan denda) harus dilunasi pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan

4.2.4. PRiNsiP-PRiNsiP UmUm PiNjAmAN dAERAH


prinsip-prinsip umum sebagai berikut:

Pinjaman Daerah adalah salah satu sumber pembiayaan daerah dalam pelaksanaan 1) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri kecuali 2) Pemda tidak dapat melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain. daerah. transaksi obligasi Daerah di Pasar Modal Domestik. dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan

desentralisasi. Pinjaman daerah dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada

3) Pendapatan Daerah dan/atau aset daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman 4) Proyek yang dibiayai dari obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi Daerah. telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (untuk Tahun Anggaran 2009 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.07/2008).

5) Tidak melebihi Batas Defisit APBD dan Batas Kumulatif Pinjaman Daerah yang

4.2.5. PERsYARATAN PiNjAmAN

Persyaratan pinjaman secara garis besar dapat dibagi berdasarkan jenis pinjaman daerah. Penjelasan persyaratan tersebut dapat dijelaskan berikut ini:
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal IV-141

Pelengkap Buku Pegangan 2010

1) Pinjaman jangka Pendek

Persyaratan yang dipenuhi bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman jangka pendek adalah sebagai berikut: APBD tahun bersangkutan;

a. Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah dianggarkan dalam b. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan kegiatan yang bersifat c. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.
2) Pinjaman jangka menengah dan jangka Panjang

mendesak dan tidak dapat ditunda;

Persyaratan bagi Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan pinjaman jangka menengah dan panjang adalah sebagai berikut: a. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak tahun sebelumnya, dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: dibayar;
jml. Pinjaman < 75% Penerimaan Umum TA. sebelumnya

melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD Jumlah sisa Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman lama yang belum tahun yang bersangkutan; tertentu.

Jumlah pinjaman yang akan ditarik adalah rencana pencairan dana pinjaman Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan

b. Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dengan rumus sebagai berikut:
Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

IV-142

Keterangan: DSCR PAD DBH DAu BW P B

dsCR =

(PAd + (dbH-dbHdR) + dAU) bW P + b + bl

> 2,5

DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi; = Dana Alokasi umum; bersangkutan; anggaran bersangkutan;

= Dana Bagi Hasil;

= Debt Service Coverage Ratio; = Pendapatan Asli Daerah;

= Belanja Wajib, yaitu belanja pegawai dan belanja DPRD dalam tahun = Bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran bersangkutan; denda) yang jatuh tempo pada tahun anggaran bersangkutan

= Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran = Biaya lainnya (biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan

c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman; dan modal kepada Badan usaha Milik Daerah (BuMD).

Bl

d. Mendapatkan persetujuan dari DPRD. Persetujuan DPRD termasuk dalam hal

pinjaman tersebut diteruspinjamkan dan/atau diteruskan sebagai penyertaan

4.2.6. PROsEdUR PiNjAmAN dAERAH

Prosedur pinjaman daerah dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu: Negeri.

1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pinjaman luar 2. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari Pinjaman luar Negeri.

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-143

3. Pinjaman Daerah dari sumber Selain Pemerintah baik pinjaman jangka pendek maupun pinjaman jangka panjang. Pinjaman ini dapat dilakukan sepanjang tidak melampaui batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemda.

4.2.6.1. Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang Dananya berSumber Dari Pinjaman luar negeri Saat ini prosedur yang berlaku untuk pemerintah daerah melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah yang dananya berasal dari penerusan pinjaman luar negeri mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 2/2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pemerintah telah menetapkan paket peraturan setingkat menteri, yaitu: Peraturan Negeri. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari kedua Peraturan Pemerintah di atas, Pengajuan usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Pinjaman/Hibah luar Negeri oleh Pemerintah Pusat; dan Peraturan Menteri Keuangan bentuk pinjaman. No. 53/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah luar Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 005/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan

Hibah luar Negeri yang mengatur perencanan dan proses lebih lanjut pengadaan

Dananya Bersumber dari Pinjaman luar Negeri yang mengatur proses lebih lanjut

penerusan Pinjaman luar Negeri Pemerintah kepada pemerintah daerah dalam 4.2.6.1.1. Prosedur Pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri oleh Pemerintah Pusat Prosedur penerusan pinjaman luar negeri dimulai dengan prosedur pengadaan Pinjaman luar Negeri oleh Pemerintah Pusat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2006 dan Peraturan Menteri PPN/Bappenas No. 005/2006, dengan proses yang lebih rinci sebagai berikut:
IV-144

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

1. Meneg PPN/Kepala Bappenas bersama Menteri Keuangan membuat Rancangan kepada Presiden untuk mendapatkan penetapan dalam bentuk Peraturan Presiden. luar negeri dan strateginya dalam rangka pengelolaan keuangan yang memegang dalam perencanaan pinjaman yang selama ini terjadi menuju Indonesian driven. Kegiatan yang disampaikan berisi: a. c. b. d. Kerangka Acuan Kerja; untuk usulan BuMN. Hasil Studi Kelayakan;

Rencana Kebutuhan Pinjaman luar Negeri (RKPlN), untuk selanjutnya disampaikan

Rencana Kebutuhan Pinjaman luar Negeri adalah rencana pengadaan pinjaman

prinsip kehati-hatian. RKPlN disebutnya juga dengan istilah borrowing strategy, 2. Berdasarkan RKPlN yang telah disusun, Kementerian Negara/lembaga, pemerintah daerah, dan BuMN menyampaikan usulan proyek untuk masuk ke dalam Daftar Daftar Isian Pengusulan Kegiatan;

yang ditujukan untuk menghilangkan dominasi pemberi pinjaman (lender driven) Rencana Pinjaman/Hibah luar Negeri Jangka Menengah (DRPHlN-JM). usulan

3). Dalam rangka penyusunan DRPHlN-JM, Meneg PPN/Kepala Bappenas menilai kelayakan kegiatan, berkoordinasi dengan Menkeu. Dalam penilaian atas usulan kegiatan pemerintah daerah, Kementerian PPN/Bappenas akan melakukan sinkronisasi pendanaan bersama Departemen Keuangan. untuk membuat lending Program. 4). DRPHlN-JM yang telah disusun disampaikan kepada calon PHlN sebagai acuan 5). Kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam DRPHlN-JM diproses lebih lanjut untuk meningkatkan kesiapan pelaksanaan kegiatan, untuk selanjutnya kegiatan yang akan diterbitkan setiap tahunnya oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas. telah memenuhi kelayakan kesiapan kegiatan (readiness criteria) akan dicantumkan

usulan Pemda dan/atau Surat persetujuan Direksi BuMN dan Menteri BuMN,

Surat persetujuan pemerintah daerah dan DPRD yang bersangkutan untuk

dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman/Hibah luar Negeri (DRPPHlN) yang


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal IV-145

Pelengkap Buku Pegangan 2010

6). Dalam rangka menyusun DRPPHlN, Meneg PPN/Kepala Bappenas meminta informasi kemampuan keuangan Pemda/BuMN untuk kegiatan PlN yang akan Bappenas, Menteri Keuangan menyampaikan masukan berupa indikasi kemampuan keuangan Pemda dan BuMN untuk kegiatan PlN yang akan diteruskan. kepada Meneg PPN/Kepala Bappenas serta Menkeu untuk selanjutnya Meneg PPN/ Kepala Bappenas serta penilaian atas manajemen risiko dan penelitian persyaratan pinjaman, Menkeu menetapkan alokasi pinjaman. Kepala Bappenas menyusun Daftar Kegiatan, dan Menkeu melakukan penilaian

diteruskan kepada Pemda/BuMN. Berdasarkan permintaan dari Meneg PPN/Kepala

7). Berdasarkan DRPPHlN, calon PPHlN menyampaikan indikasi komitmen pendanaan atas manajemen risiko dan penelitian persyaratan pinjaman untuk menetapkan alokasi pinjaman. Berdasarkan Daftar Kegiatan yang disampaikan oleh Meneg PPN/

8). Berdasarkan Daftar Kegiatan yang telah disusun oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas, Kementerian Negara/lembaga/Pemda/BuMN pengusul melaksanakan persiapan untuk mendapatkan komitmen pendanaan. pinjaman serta melakukan konfirmasi penerusan pinjaman dengan menyampaikan usulan kegiatan kepada Menkeu untuk menetapkan alokasi pinjaman. Berdasarkan penetapan alokasi pinjaman, Menkeu mengajukan usulan kepada calon PPHlN

Berdasarkan uraian di atas, maka prosedur pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri termasuk yang akan diteruskan kepada pemerintah daerah/BuMN, adalah sebagaimana tercantum dalam Gambar 4.2.

IV-146

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Prosedur Pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri

gambar 4.2

4.2.6.1.2. Prosedur Penerusan Pinjaman luar Negeri Pemerintah kepada Pemerintah daerah dalam bentuk Pinjaman Prosedur penerusan Pinjaman luar Negeri kepada daerah dalam bentuk pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 53/2006 merupakan proses yang lebih terinci sebagai berikut:

terkait dengan prosedur pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri, dengan proses yang 1. Prosesnya dimulai setelah daftar kegiatan disampaikan dari Meneg PPN/ Kepala Bappenas kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan Daftar Kegiatan, Menteri Keuangan akan menyampaikan surat kepada pemerintah daerah agar dokumen rencana pinjaman yang terdiri dari: a. Studi kelayakan kegiatan;

menyampaikan rencana pinjaman kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-147

b. c. e.

d.

Rencana Kegiatan Rinci; terakhir;

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tiga tahun APBD tahun bersangkutan;

f. g. i.

perhitungan DSCR yang mencerminkan kemampuan daerah dalam memenuhi digunakan selama jangka waktu pinjaman yang akan diusulkan; komisi di DPRD yang menangani bidang keuangan; (i) telah dilakukan; dan Rencana Pembiayaan Kegiatan (financing plan) secara keseluruhan; Surat persetujuan DPRD berupa persetujuan prinsip yang diberikan oleh

kewajiban pembayaran kembali pinjaman (proyeksi DSCR) serta asumsi yang

Perhitungan proyeksi APBD selama jangka waktu pinjaman termasuk

h.

Data kewajiban yang masih harus dibayar setiap tahunnya dari pinjaman yang Surat Pernyataan Pemerintah Daerah, yang berisi tentang: Menyediakan dana pendamping; Tidak memiliki tunggakan atas pinjaman yang sedang berjalan; dalam APBD setiap tahun selama masa pinjaman; dan pembayaran angsuran pinjaman yang tertunggak.

(ii)

(iii) Mengalokasikan dana untuk pembayaran angsuran pinjaman tersebut (iv) Dipotong Dana Alokasi umum dan/atau Dana Bagi Hasil untuk

2. Berdasarkan dokumen rencana pinjaman yang telah disampaikan, Menteri penilaian atas dokumen rencana pinjaman. Keuangan akan memberikan jawaban atas kekurangan atau telah terpenuhinya berkas dokumen rencana pinjaman.
IV-148

3. Dalam rangka penilaian kelengkapan dokumen rencana pinjaman, Menteri kelengkapan dokumen. Penilaian kelengkapan dokumen rencana pinjaman dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya

Keuangan akan melakukan penelitian kelengkapan dokumen rencana pinjaman dan

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

4. Dalam rangka melaksanakan penilaian tersebut, Menteri Keuangan meminta aspek-aspek diluar perencanaan dan keuangan, yang meliputi aspek politik dan rencana pinjaman yang dinyatakan lengkap.

pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri atas rencana pinjaman untuk

administrasi pemerintah daerah. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri diberikan ditentukan, maka rencana pinjaman dapat diproses lebih lanjut tanpa menunggu pertimbangan Mendagri. Penilaian oleh Menteri Keuangan dilakukan selambatsecara lengkap.

5. Dalam hal pertimbangan Mendagri tidak diberikan dalam batas waktu yang telah

selambat-lambatnya dalam 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya dokumen

6. Berdasarkan hasil penilaian, Menteri Keuangan menetapkan persetujuan atau

lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja setelah dokumen rencana pinjaman diterima penolakan atas rencana pinjaman. Dalam hal Menteri Keuangan menetapkan penolakan atas rencana pinjaman, Menteri Keuangan menyampaikan surat kepada pemerintah daerah pengusul. Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, (PPlN) untuk mendapatkan komitmen pendanaan.

7. Berdasarkan komitmen pendanaan dari calon PPlN, Menteri Keuangan menerbitkan Daftar Rencana Pinjaman Daerah (DRPD) untuk disampaikan kepada Pemerintah Daerah pengusul. Berdasarkan DRPD, pemerintah daerah menyampaikan Surat paripurna DPRD kepada Menteri Keuangan, yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. c. f. e. b. d. Plafond pinjaman; Bunga pinjaman; Biaya komitmen; Jangka waktu pinjaman; Keputusan DPRD tentang persetujuan Pinjaman yang dihasilkan dari rapat

selanjutnya dilakukan koordinasi dengan calon Pemberi Pinjaman luar Negeri

APBD setiap tahun selama masa pinjaman; dan

Mengalokasikan dana untuk pembayaran angsuran pinjaman tersebut dalam


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal IV-149

Menyediakan dana pendamping;

Pelengkap Buku Pegangan 2010

8. Perundingan dengan calon PPlN dilakukan setelah diterbitkannya DRPD dan pemerintah daerah memenuhi kriteria kesiapan kegiatan, yang mencakup: a. c. b. APBD; Pengadaan tanah dan/atau resettlement telah dilaksanakan; Kesiapan indikator kinerja monitoring dan evaluasi, seperti data dasar; Alokasi Dana Pendamping untuk pelaksanaan kegiatan tahun pertama dalam

g.

yang tertunggak.

Kesediaan dipotong DAu dan/atau DBH untuk pembayaran angsuran pinjaman

d. e.

Management unit/PMu) dan unit Pelaksana Proyek (Project Implementation unit/PIu); dan proyek/memorandum (yang berisi cakupan organisasi dan kerangka acuan kerjanya, dan pengaturan tentang pengadaan, anggaran, disbursement, laboran, dan auditing). Kesiapan konsep pengelolaan proyek/petunjuk pengelolaan/administrasi

Pembentukan dan penempatan personalia unit Manajemen Proyek (Project

9. Perundingan dilakulkan oleh Tim Perunding yang ditetapkan oleh Menteri Kementerian PPN/Bappenas, dan instansi terkait lainnya, termasuk pemerintah Pinjaman luar Negeri (NPPlN). dengan PPlN. Berdasarkan NPPlN yang telah ditandatangani, selambat-lambatnya persetujuan pinjaman yang memuat: a. c. b. Jumlah; Peruntukan; dan Persyaratan pinjaman.

Keuangan yang keanggotaannya terdiri atas unsur-unsur Departemen Keuangan,

10. NPPlN ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dalam 40 (empat puluh) hari kerja Menteri Keuangan menerbitkan surat

daerah pengusul. Hasil perundingan akan menjadi acuan dalam Naskah Perjanjian

IV-150

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Proses Pelaksanaan Penerusan PlN Kepada Pemda (on-lending)

gambar 4.3

11. Persyaratan pinjaman dalam NPPlN menjadi acuan dalam menetapkan persyaratan pinjaman dalam Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP). NPPP ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dengan Kepala Daerah, memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut: a. c. f. e. b. d. g. sumber dan jumlah dana; peruntukan; persyaratan pinjaman; penarikan dana; pembayaran kembali; penggunaan dana;

h. pelaporan dan perkembangan fisik dan keuangan; dan


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

monitoring dan evaluasi;

IV-151

12. Berdasarkan NPPP, pemerintah daerah melaksanakan proses penarikan pinjaman serta pelaksanaan kegiatan. bentuk Pinjaman secara sitematis dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4.3.

i.

sanksi.

Prosedur penerusan Pinjaman luar Negeri kepada pemerintah daerah dalam

4.2.6.2. PrOSeDur Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang Dananya beraSal Dari PenDaPatan Dalam negeri Prosedur pinjaman daerah dari Pemerintah yang dananya berasal dari Pendapatan Dalam Negeri saat ini dikelola oleh Menteri Keuangan melalui Rekening Pembangunan Gambar 4.4 berikut ini: gambar 4.4

Daerah. Prosedur pinjaman daerah tersebut secara sistematis dapat ditunjukkan pada Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber dari Pemerintah

Dari Gambar 4.4, prosedur pinjaman daerah dari Pemerintah yang dananya berasal dari pendapatan dalam negeri harus melewati tahapan antara lain sebagai berikut: dengan melampirkan dokumen sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. b. Persetujuan DPRD; 1. Pemerintah Daerah mengajukan usulan pinjaman daerah kepada Menteri Keuangan Studi Kelayakan Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman daerah;
Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

IV-152

2. Menteri Keuangan melakukan penilaian atas usulan pinjaman yang telah 3. Berdasarkan hasil penilaian, Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pinjaman; Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menandatangani perjanjian pinjaman. disampaikan;

c.

Dokumen lain yang diperlukan.

4. Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, Kepala Daerah dengan Menteri 4.2.6.3. PrOSeDur Pinjaman Daerah Dari Selain Pemerintah

Prosedur pinjaman daerah yang bersumber dari Selain Pemerintah secara garis pinjaman jangka pendek serta prosedur pinjaman jangka menengah dan panjang. Penjelasan secara detil adalah sebagai berikut: 1. Pinjaman jangka pendek: a. c. b. Pemda mengajukan proposal kepada calon pemberi pinjaman

besar terbagi dua, yang dibedakan menurut lamanya masa pinjaman, yaitu prosedur

Calon pemberi pinjaman memberikan penilaian terhadap proposal tersebut penerima pinjaman.

pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan Pemberi pinjaman dengan memperhatikan persyaratan yang paling menguntungkan Pemda

Jika disetujui, pinjaman daerah jangka pendek dilakukan melalui perjanjian

2. Pinjaman jangka menengah dan panjang.

Prosedur pinjaman jangka menengah dan panjang yang bersumber dari selain Pemerintah dapat ditunjukkan pada Gambar 4.5 berikut ini:

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-153

Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber Selain dari Pemerintah

gambar 4.5

Tahapan dari prosedur sesuai dengan gambar 4.5 di atas adalah sebagai berikut: dokumen:

1. Pemda wajib melaporkan rencana pinjaman yang bersumber dari selain Pemerintah kepada Menteri Dalam Negeri dengan menyampaikan sekurang-kurangnya Kerangka acuan proyek; Proyeksi DSCR; APBD tahun yang bersangkutan; Surat Persetujuan DPRD.

2. Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan dalam rangka pemantauan defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman daerah. Keuangan. masing daerah, maka terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan Menteri Negeri tersebut.

Rencana Keuangan (Financing Plan) pinjaman yang akan diusulkan; dan

3. Dalam hal defisit APBD suatu daerah melebihi batas maksimal defisit APBD masing4. Pemda mengajukan proposal pinjaman berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam 5. Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian terhadap proposal tersebut.
IV-154 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

6. Jika disetujui, pinjaman daerah dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman. Dalam Negeri.

7. Perjanjian pinjaman tersebut wajib dilaporkan ke Menteri Keuangan dan Menteri Prosedur pinjaman daerah yang bersumber dari selain Pemerintah di atas, tidak akan dijelaskan dalam bagian lain dalam Bab ini. berlaku untuk pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk

obligasi Daerah. Prosedur obligasi Daerah diatur dengan mekanisme tersendiri dan

4.2.7. PEmbAYARAN KEmbAli PiNjAmAN

Pengaturan tentang pembayaran kembali pinjaman daerah diatur sebagai berikut: APBD tahun anggaran yang bersangkutan; tersebut.

1. Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam

2. Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada

Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan

DAu dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan negara yang menjadi hak daerah

4.2.8. ObliGAsi dAERAH

Dalam undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Terdapat dua

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.54/2005

tentang Pinjaman Daerah, obligasi Daerah diartikan sebagai pinjaman daerah yang Daerah. unsur yang pertama adalah, berkaitan dengan kapasitas Pemerintah Daerah

unsur utama yang perlu diperhatikan khusus dalam kaitannya dengan obligasi daerah yang akan menerbitkan obligasi Daerah harus terlebih dahulu mendapatkan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

dalam menerbitkan Obligasi Daerah. Untuk melindungi fiskal daerah, pemerintah persetujuan dari Menteri Keuangan. Penerbitan obligasi ini dimaksudkan untuk
Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-155

membiayai proyek-proyek yang dapat memberikan manfaat kepada publik dan penilaian atas proyek yang akan dibiayai tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat layak sehingga benar-benar dapat menghasilkan penerimaan.

menghasilkan penerimaan. Pada prinsipnya, diharapkan pendapatan yang didapat dibayarkan pada saat jatuh tempo. oleh karena itu, perlu diadakan langkah-langkah

dari proyek yang dibiayai obligasi Daerah dapat menutup pokok dan bunga yang harus kemungkinan apakah komponen-komponen dari proyek yang dimaksud di sini telah unsur yang kedua adalah mengenai penawaran umum obligasi Daerah di pasar modal.

Dalam prakteknya obligasi Daerah dianggap sebagai efek yang bersifat utang. Jika obligasi Daerah telah diterbitkan dan telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas mekanisme di pasar modal. Berkaitan dengan hal ini, prosedur yang perlu diikuti memenuhi prinsip keterbukaan di pasar modal. Prinsip keterbukaan dimaksudkan menarik minat investor. obligasi Daerah merupakan efek yang bersifat utang, dimana penerbit obligasi membayar pokok obligasi beserta bunganya pada waktu yang telah ditetapkan dalam (satu) tahun. untuk diperjualbelikan di pasar modal. Transaksi jual beli obligasi Daerah mengikuti peraturan pasar modal lainnya. Pihak yang akan menerbitkan obligasi Daerah harus untuk memberikan informasi lengkap mengenai prospek obligasi Daerah untuk (emiten) memiliki utang terhadap pemegang obligasi dan emiten berkewajiban untuk

Pasar Modal lembaga Keuangan (Bapepam-lK), maka obligasi Daerah telah siap

telah diatur sedemikian rupa melalui berbagai Keputusan Kepala Bapepam-lK dan

perjanjian pemberian obligasi Daerah. Jangka waktu obligasi Daerah lebih dari 1 obligasi Daerah dikeluarkan oleh pemerintah daerah (pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten, dan pemerintah daerah kota) untuk mendapatkan mata uang asing, dan akan dikelola pada pasar modal domestik.
IV-156 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

dana investasi. obligasi Daerah ini diterbitkan dalam mata uang rupiah, bukan dalam

Secara khusus, obligasi memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan pinjaman. Pinjaman diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman, dimana biasanya pemberi pinjaman adalah bank. Peminjam membayar kembali pokok Pembayaran biasanya dilakukan 2 kali dalam setahun, dimana suku bunganya biasanya dibayarkan pada jumlah yang sama. dapat disesuaikan. Pokok pinjaman dapat dibayarkan pada jumlah yang sama, dengan dan bunga pinjaman kepada yang meminjamkan sampai batas waktu pinjaman.

bunga yang terhutang pada neraca pinjaman. Kadangkala, pokok dan bunga pinjaman obligasi juga merupakan pinjaman, tetapi diberikan dalam bentuk surat berharga. pemegang obligasi. Suku bunga biasanya sudah ditentukan. Kebanyakan obligasi pada pokok obligasi. Pokok obligasi itu sendiri dibayarkan dalam bentuk pembayaran obligasi lunas. yang telah dibayarkan adalah sama dalam tiap tahunnya sampai pembayaran pokok adalah semi-tahunan, yang artinya bunga dibayarkan 2 (dua) kali dalam setahun Dalam obligasi, si peminjam menjadi emiten dan pemberi pinjaman menjadi tunggal pada akhir jangka waktu yang telah ditentukan. oleh karena itu, jumlah bunga obligasi merupakan surat utang yang dikeluarkan oleh emiten sehingga pemegang obligasi adalah pemberi pinjaman kepada emiten. obligasi memiliki jangka waktu yang pasti, dimana pada saat itu obligasi dibayarkan kembali. Pada akhir jangka waktu, obligasi dilunasi sesuai dengan nilai nominalnya. manfaat. Dengan menerbitkan obligasi Daerah, pemerintah daerah akan mendapatkan banyak proyek-proyek yang memberikan manfaat kepada publik, khususnya untuk proyekmelibatkan masyarakat luas. Melalui obligasi, pemerintah daerah juga dimungkinkan proyek infrastruktur. Mekanisme yang ada di pasar modal memungkinkan lebih

banyak pihak yang terlibat untuk memberikan pinjaman dalam bentuk obligasi karena

Diantaranya, pemerintah daerah dapat memperoleh pembiayaan bagi

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-157

untuk mendapatkan pinjaman dari investor asing, mengingat pinjaman langsung luar negeri bukan melalui obligasi Daerah tidak diperkenankan bagi pemerintah daerah. yang ditawarkan di pasar modal, pemerintah daerah harus benar-benar memberikan kepastian bahwa obligasi tersebut akan dibayarkan kembali pada saat jatuh tempo. Mengingat bahwa obligasi Daerah dipergunakan untuk proyek yang memberikan yang terdaftar di Bapepam-lK sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. 4.2.8.1. PrinSiP umum peraturan perundangan-undangan, antara lain sebagai berikut: dalam mata uang Rupiah; Pemerintah; manfaat kepada publik dan menghasilkan penerimaan, maka proyek tersebut harus benar-benar matang dan layak. oleh karena itu, dalam tahapan sebelum mendapat

Namun demikian, untuk menarik minat para investor agar membeli obligasi Daerah

persetujuan dari menteri keuangan, Studi Kelayakan harus dibuat oleh lembaga penilai Prinsip umum mengenai penerbitan obligasi Daerah, yang telah diatur dalam 2. obligasi Daerah merupakan pinjaman pemerintah daerah dan tidak dijamin oleh 3. Pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi Daerah hanya untuk membiayai Kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan pemerintah daerah. Dengan hanya jenis obligasi Pendapatan (Revenue Bond);

1. Penerbitan obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan

4. Nilai obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal obligasi Daerah pada saat diterbitkan. Dengan ketentuan ini maka pemerintah daerah misalnya dengan kurs dollar atau harga emas; dilarang menerbitkan obligasi Daerah dengan jenis index bond yaitu obligasi Daerah yang nilai jatuh temponya dinilai dengan index tertentu dari nilai nominal, mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

ketentuan tersebut, maka obligasi Daerah yang diterbitkan pemerintah daerah

5. Pengaturan lebih lanjut mengenai penerbitan obligasi Daerah di Pasar Modal


IV-158

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 4.2.8.2. PrOSeDur Penerbitan Daerah, diatur lebih lanjut tentang perencanaan, pengajuan usulan dan persetujuan serta pernyataan pendaftaran umum. prosedur:

tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi obligasi Secara garis besar prosedur penerbitan obligasi Daerah dapat dibagi berdasarkan a) perencanaan obligasi Daerah oleh pemerintah daerah; Modal. b) pengajuan, penilaian, dan persetujuan Menteri Keuangan; 4.6. c) pengajuan penyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum di Pasar gambar 4.6.

Prosedur penerbitan obligasi Daerah, secara sistematis dapat dilihat dalam gambar Proses Penerbitan obligasi Daerah

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-159

4.2.8.2.1. Perencanaan Obligasi daerah oleh Pemerintah daerah hal-hal sebagai berikut: a. c. b. kompeten;

1. Kepala Daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditunjuk menentukan kegiatan; membuat kerangka acuan kegiatan; daerahnya;

melakukan persiapan penerbitan obligasi Daerah yang sekurang-kurangya meliputi menyiapkan studi kelayakan yang dibuat oleh pihak yang independen dan

d. e. f.

2. Persetujuan prinsip DPRD meliputi: a. c. b. d. penggunaan dana; dan

kembali obligasi Daerah;

memantau batas kumulatif pinjaman serta posisi kumulatif pinjaman mengajukan permohonan persetujuan prinsip kepada DPRD. membuat proyeksi keuangan dan perhitungan kemampuan pembayaran

nilai bersih maksimal obligasi Daerah; penerbitan obligasi.

jumlah dan nilai nominal obligasi yang akan diterbitkan;

Secara sistematis prosedur persiapan penerbitan obligasi Daerah oleh pemerintah daerah dapat digambarkan dalam Gambar 4.7 berikut ini: Keuangan 4.2.8.2.2. Pengajuan Usulan, Penilaian dan Persetujuan menteri 1. Kepala Daerah menyampaikan usulan penerbitan obligasi Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: a. Studi kelayakan kegiatan;

pembayaran pokok, kupon, dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat

IV-160

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Persiapan Penerbitan obligasi Daerah di Daerah

gambar 4.7

b. c. e.

2. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian atas dokumen rencana penerbitan obligasi Daerah selambat-lambatnya obligasi Daerah dinyatakan lengkap. 3. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, Menteri Keuangan memberikan persetujuan/ pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen rencana penerbitan

d.

Kerangka acuan kegiatan; tahun terakhir; Perhitungan DSCR; dan

Perda APBD tahun yang bersangkutan dan Perda Perhitungan APBD 3 (tiga) Surat persetujuan prinsip DPRD.

penolakan atas rencana penerbitan obligasi Daerah dengan memperhatikan


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal IV-161

Pelengkap Buku Pegangan 2010

4. Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, Kepala Daerah menyampaikan Prosedur pengajuan, penilaian, dan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat digambarkan dalam bagan alur pada Gambar 4.8 berikut ini: Penerbitan obligasi Daerah oleh Menkeu Pengajuan, Penilaian dan Persetujuan gambar 4.8 pernyataan pendaftaran penawaran umum kepada Bapepam-lK.

4.2.8.2.3. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum di Pasar modal Dalam rangka pelaksanaan penawaran umum obligasi Daerah di Pasar Modal, sesuai daerah harus menyampaikan pernyataan pendaftaran dengan melengkapi dokumen
IV-162 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, pemerintah yang dipersyaratkan kepada Bapepam-lK Departemen Keuangan. Kepala Daerah

wajib menyampaikan Perda tentang Penerbitan obligasi Daerah kepada Bapepam-lK sebelum pernyataan efektif obligasi Daerah. Perda tentang Penerbitan obligasi Daerah memuat ketentuan mengenai: 1. jumlah; 2. nilai nominal;

3. penggunaan dana obligasi Daerah;

4. Dalam hal obligasi Daerah akan diterbitkan dalam beberapa tahun anggaran, maka Perda harus memuat jadwal penerbitan tahunan obligasi Daerah; Perda harus memuat ketentuan mengenai aset yang akan dijaminkan.

5. Dalam hal obligasi Daerah yang akan diterbitkan membutuhkan jaminan, maka Bapepam-lK selanjutnya akan melakukan penelahaan terhadap kecukupan mengeluarkan pernyataan efektif penawaran umum obligasi Daerah di pasar modal. 4.2.8.3. PengelOlaan ObligaSi Daerah keterbukaan (adequate disclosure) sebagai persyaratan penawaran umum di pasar

modal. Penawaran umum obligasi Daerah dapat dilakukan setelah Bapepam-lK Setelah diterbitkannya obligasi daerah, pemerintah daerah berkewajiban untuk obligasi Daerah yang baik, yang meliputi: pengendalian risiko;

mengembalikan pokok dan bunga obligasi daerah. Dalam rangka memenuhi kewajiban

untuk pengembalian pokok dan bunga obligasi Daerah, diperlukan pengelolaan 2. Perencanaan dan penetapan struktur portfolio pinjaman daerah; 3. Penerbitan obligasi Daerah; 4. Penjualan obligasi Daerah melalui lelang; 6. Pelunasan pada saat jatuh tempo; dan 5. Pembelian kembali obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

1. Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi Daerah termasuk kebijakan

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-163

7. Pertanggungjawaban.

Pengelolaan obligasi Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah dengan menunjuk satuan kerja yang akan melaksanakannya. tempo 4.2.8.3.1. Pembelian kembali Obligasi daerah sebelum jatuh Pembelian kembali obligasi Daerah oleh pemerintah daerah sebagai emiten dapat untuk dapat dijual kembali (treasury bonds). Dalam hal diperlakukan sebagai treasury bonds, maka hak-hak yang melekat pada obligasi Daerah batal demi hukum. 4.2.8.3.2. Pelunasan pada saat jatuh tempo setiap jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian obligasi daerah.

diperlakukan sebagai pelunasan kembali atas obligasi Daerah tersebut atau disimpan

Pokok dibayarkan pada saat obligasi daerah jatuh tempo, sementara bunga dibayarkan kegiatan investasi. Namun demikian, ada kalanya, terutama pada masa konstruksi, bunga dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pada prinsipnya, pembayaran kembali obligasi daerah bersumber dari penerimaan kegiatan investasi belum menghasilkan penerimaan. Pada keadaan ini, pembayaran

Khusus untuk pembayaran pokok, harus dibentuk suatu dana cadangan dalam rekening khusus yang dananya tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain pembayaran kupon obligasi daerah. Alokasi dana cadangan dialokasikan setiap untuk melunasi kewajiban pembayaran pokok obligasi daerah.

tahun hingga obligasi daerah tersebut jatuh tempo, dengan besaran yang dibagi rata per tahunnya. Hal ini memudahkan pemerintah daerah untuk mengontrol arus kas sehingga dapat menjamin bahwa pada saat jatuh tempo pemerintah daerah sanggup

IV-164

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

4.2.8.3.3. Penatausahaan dan Penggunaan dana Obligasi daerah penjualan obligasi daerah sebagai berikut:

Pemerintah telah mengatur tentang penatausahaan dan penggunaan dana hasil ditatausahakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD);

1. Dana hasil penjualan obligasi Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang 2. Dana hasil penjualan obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang telah direncanakan yang merupakan kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat; dan bunga, dan denda obligasi Daerah.

3. Penerimaan dari investasi sektor publik diprioritaskan untuk membayar pokok, 4.2.8.3.4. Pertanggungjawaban Kepala Daerah wajib membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan obligasi Daerah dan dana obligasi Daerah sesuai dengan rencana penerbitan obligasi Daerah. Pertanggungjawaban ini disampaikan kepada DPRD sebagai bagian dari pertanggungjawaban APBD. Terdapat dua hal yang perlu dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah berkaitan dengan penerbitan obligasi daerah, yaitu: 1. Pertanggungjawaban atas pengelolaan obligasi daerah; dan melaporkan: 2. Pertanggungjawaban dana hasil penerbitan obligasi daerah. 1. Keterangan tentang portofolio obligasi daerah; 3. Posisi obligasi daerah;

Dalam pertanggungjawaban pengelolaan obligasi daerah, pemerintah daerah 2. laporan transaksi obligasi daerah di pasar modal yang mencakup penawaran umum, pelunasan, pembelian kembali, pertukaran, pembayaran bunga dan biaya lain, serta kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan obligasi daerah;

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-165

4. Realisasi strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk pengendalian 5. Alokasi angaran dan realisasinya; daerah melaporkan: 6. Dalam pertanggungjawaban dana hasil penerbitan obligasi daerah, pemerintah 7. Perkembangan pelaksanaan kegiatan investasi; 9. laporan alokasi dana cadangan. dan dana hasil penerimaan kegiatan; 8. laporan keuangan kegiatan yang meliputi penggunaan dana dari obligasi daerah resiko; dan

4.2.8.4. PublikaSi inFOrmaSi

Kepala daerah wajib mempublikasikan secara berkala mengenai data obligasi Daerah dan/atau informasi lainnya berdasarkan peraturan perundang - undangan di bidang Pasar Modal. Publikasi informasi secara berkala tersebut meliputi: yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan; dan tingkat bunga; 1. Kebijakan pengelolaan pinjaman daerah dan rencana penerbitan obligasi Daerah 2. Jumlah obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo 3. laporan keuangan pemerintah daerah; alokasi dana cadangan, serta laporan-laporan yang bersifat material; dan peraturan perundang-undangan di Pasar Modal.

4. laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan obligasi Daerah, 5. Kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan

Publikasi data dan informasi mengenai obligasi Daerah dilakukan oleh satuan kerja mengenai obligasi Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah.
IV-166 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

yang ditunjuk untuk mengelola obligasi Daerah. Pihak lain yang terkait dengan pengelolaan obligasi Daerah hanya dapat melakukan publikasi data dan informasi

Pelaksanaan publikasi antara lain dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan temu obligasi Daerah.

publik atau melalui media cetak dan media elektronik terutama situs internet

(website) yang dimiliki dan dikelola oleh satuan kerja yang ditunjuk untuk mengelola 4.2.8.5. PelaPOran, Pemantauan Dan eValuaSi Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan, Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas: 1. Penerbitan obligasi Daerah; 2. Penggunaan dana obligasi Daerah; 3. Kinerja pelaksanaan kegiatan; dan

penggunaan dana dan pembayaran kupon dan/atau pokok obligasi Daerah setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan

4. Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok obligasi Daerah.

Pemantauan dan evaluasi tersebut di atas, dilakukan untuk melihat indikasi adanya Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Menteri Keuangan. penerbitan obligasi Daerah.

penyimpangan dan/atau ketidaksesuaian antara rencana penerbitan obligasi Daerah dengan realisasinya. Hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Direktur Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi dimaksud, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat merekomendasikan kepada Ketua Bapepam-lK untuk menghentikan

4.2.9. PElAPORAN PiNjAmAN dAERAH

untuk melaksanakan tertib anggaran, maka semua penerimaan dan kewajiban dalam

rangka Pinjaman Daerah harus dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai

dengan Standar Akuntansi Pemerintah, termasuk obligasi Daerah. Selain itu, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik yang
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-167

diumumkan dalam lembaran Daerah sehingga dapat diakses oleh publik. pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri agar penatausahaan Pinjaman Daerah dapat berjalan dengan baik.

4.2.10. sANKsi PiNjAmAN dAERAH


dijelaskan berikut ini:

Berkaitan dengan kewajiban yang muncul dari pinjaman daerah, maka pemerintah daerah yang tidak memenuhi kewajibannya, dapat dikenakan sanksi seperti yang pemotongan DAu dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah tersebut; 1. Jika daerah melakukan pinjaman langsung dari sumber luar negeri yang bukan karena kegiatan transaksi obligasi Daerah, maka Menteri Keuangan akan melakukan akan mengenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan; Hasil yang menjadi hak daerah tersebut.

2. Jika daerah tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban 3. Jika daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, sebagaimana dimaksud di atas, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan dilihat dalam Boks No 4.1 di bawah ini. pinjaman setiap semester dalam tahun anggaran berjalan, maka Menteri Keuangan maka Menteri Keuangan akan melaksanakan pemotongan DAu dan/atau Dana Bagi

untuk pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan DAu dan/atau DBH Menteri Keuangan No.129/PMK.07/2008. Penjelasan mengenai PMK tersebut dapat

IV-168

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

boks No 4.1
Pemotongan dana Alokasi Umum (dAU) dan/atau dana bagi Hasil (dbH)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 129/PMK.07/2008, Pemerintah Pusat dapat memotong DAU dan/atau DBH Pemerintah Daerah (Pemda) apabila Pemda memiliki tunggakan atas pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat. Pemotongan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran tunggakan. Adapun pinjaman yang dapat dikenakan pemotongan DAU dan/atau DBH adalah (i) pinjaman yang dalam naskah perjanjian pinjaman telah mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH atau (ii) pinjaman yang dalam naskah perubahan perjanjian pinjaman mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH. Pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud dalam PMK dilakukan setelah terpenuhinya persyaratan adanya dokumen sebagai berikut: 1. surat pernyataan Pemda bersedia dipotong DAU dan/atau DBH secara langsung; 2. surat kuasa Pemda kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Transfer ke Daerah untuk memotong DAU dan/ atau DBH; dan 3. surat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai kesediaan dipotong DAU dan/atau DBH secara langsung. Besaran pemotongan DAU dan/atau DBH dihitung sebesar jumlah tunggakan, akan tetapi pemotongan per tahun tidak melebihi besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun yang dihitung dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah bersangkutan. Adapun perhitungan besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun adalah sebagai berikut:

Indeks Kapasitas Fiskal Pemerintah Daerah Tinggi ( indeks > 1) Sedang ( 0,5 1) Rendah ( <0,5)

20% x (DAU + DBH) 15% x (DAU + DBH) 10% x (DAU + DBH)

Besaran Potongan

Jika besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun lebih kecil dari jumlah tunggakan, pemotongan DAU dan/atau DBH akan dilakukan secara bertahap untuk beberapa tahun sampai dengan seluruh pembayaran tunggakan selesai dibayarkan. Dalam hal pemotongan DAU dan/atau DBH dilakukan lebih dari satu tahun, besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun akan dihitung kembali dengan menggunakan data kapasitas fiskal dan jumlah DAU dan DBH yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-169

4.3. HibAH dAERAH

undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa hibah dapat diberikan oleh Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau daerah kepada Pemerintah Pusat, termasuk instansi vertikal Pemerintah Pusat di daerah. sebaliknya. Sesuai dengan hal tersebut, maka lingkup hibah daerah meliputi hibah dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dan sebaliknya hibah dari pemerintah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah, yang dimaksud dengan Hibah adalah Peneriman Daerah yang berasal dari pemerintah badan/lembaga dalam negeri atau perorangan baik dalam bentuk devisa, rupiah dibayar kembali. Hibah kepada pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan perusahaan daerah. maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah Pusat,

kegiatan daerah dan dikelompokkan sebagai salah satu komponen pada lain-lain Pendapatan yang Sah dalam APBD. Hibah yang diterima oleh pemerintah daerah dapat Hibah kepada pemerintah daerah dalam APBN termasuk dalam Bagian Anggaran Bendahara umum Negara. Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran menunjuk kepada pemerintah daerah (KPA-HPD). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran Hibah diterushibahkan, diteruspinjamkan, dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada Bendahara umum Negara (BA-BuN) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku

IV-170

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Mekanisme penyaluran hibah kepada pemerintah daerah lebih lanjut diatur dalam Keuangan Nomor 169/PMK.07/2008.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2008 dan Peraturan Menteri

4.3.1. sUmbER HibAH


1. Pemerintah;

Hibah kepada pemerintah daerah bersumber dari : 2. Pemerintah daerah lain; 3. Badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri; dan/atau 4. Kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri. Hibah dari Pemerintah Pusat bersumber dari: 1. Pendapatan APBN; 3. Hibah luar Negeri 2. Pinjaman luar Negeri; dan/atau 1. Pemerintah negara asing; 2. Badan/lembaga asing; 4. Donor lainnya.

Hibah dari luar negeri dapat bersumber dari : 3. Badan/lembaga internasional; dan/atau.

Hibah yang bersumber dari pendapatan APBN dan dari pihak lain di dalam negeri dari luar negeri (baik dari pinjaman luar negeri maupun hibah luar negeri) dilakukan melalui Pemerintah Pusat melalui penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah c.q. Menteri Keuangan atau kuasanya dengan kepala daerah. Khusus untuk hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, prioritas
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hhibah Daerah (NPHD). Hibah yang bersumber

diberikan kepada daerah berkapasitas fiskal rendah berdasarkan peta kapasitas fiskal
IV-171

yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan dan atau prioritas sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/RPJM). daerah adalah: Prinsip-prinsip dasar pemberian hibah dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah 1) Hibah dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat 2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara 3) Hibah bersifat bantuan untuk pelaksanakan urusan pemerintahan yang merupakan daerah dapat didanai dengan hibah. Kota sesuai dengan PP No. 38 /2007. kewenangan pemerintah daerah. Adapun urusan Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. terkait merupakan diskresi Pemerintah Pusat. dan pemerintah daerah.

4.3.2. PRiNsiP dAsAR PEmbERiAN HibAH KEPAdA dAERAH

Pemerintah Pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/ didanai dari dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. urusan pemerintah

4) Hibah diberikan kepada daerah mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah 5) Kegiatan yang dibiayai dari hibah diusulkan oleh Kementerian Negara/lembaga

4.3.3. KRiTERiA PEmbERiAN HibAH

Kriteria pemberian hibah digolongkan berdasarkan sumber hibah, yaitu: dengan kriteria sebagai berikut: a.

1) Hibah yang bersumber dari pendapatan APBN diberikan kepada pemerintah daerah untuk pelaksanakan kegiatan yang menjadi urusan pemerintah daerah pemberdayaan aparatur pemerintah daerah;
Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

seperti kegiatan peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan

IV-172

b. c.

untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan daerah. mengakibatkan penambahan beban pada APBD. undangan. Kegiatan lainnya sebagai akibat kebijakan Pemerintah Pusat yang

Pemerintah Pusat yang berskala nasional/internasional oleh pemerintah Kegiatan tertentu yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-

2) Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, diberikan kepada pemerintah daerah dengan kriteria sebagai berikut: a. untuk melaksanakan kegiatan yang merupakan urusan pemerintah daerah nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan; berdasarkan peta kapasitas fiskal yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. dalam rangka pencapaian sasaran program dan prioritas pembangunan

d.

3) Hibah yang bersumber dari hibah luar negeri, diberikan kepada pemerintah daerah dengan kriteria sebagai berikut: a. b. c. untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan pemerintah daerah, yaitu aparatur pemerintah daerah; hidup dan budaya; peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan Kegiatan dalam rangka mendukung riset dan teknologi; Kegiatan dalam rangka bantuan kemanusiaan.

b. Diprioritaskan untuk pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal rendah

d.

Kegiatan dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya alam, lingkungan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-173

4.3.4. PENARiKAN dAN PENYAlURAN HibAH

Hibah disalurkan dalam mekanisme APBN ke APBD sesuai peraturan perundangan, dari bagian anggaran yang dikelola Kementerian/lembaga. 1) Penyaluran Hibah Berupa uang

yaitu dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara umum Negara (BA-BuN) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara umum Negara, dan terpisah Penyaluran hibah berupa uang yang bersumber dari pendapatan APBN dilakukan Kas umum Daerah (RKuD). Penyaluran hibah berupa uang yang bersumber dari

melalui pemindahbukuan dari Rekening Kas umum Negara (RKuN) ke Rekening penerusan pinjaman luar negeri dan/atau hibah luar negeri (PHlN) dilakukan melalui pemindahbukuan dari Rekening Khusus yang merupakan bagian dari RKuN ke rekening tersendiri yang merupakan bagian dari RKuD. Setelah uang diterima di RKuD, pemerintah daerah wajib membayarkan uang tersebut kepada pihak ketiga dalam jangka waktu 2 hari kerja. Jika lalain memenuhi ketentuan tersebut, 4.9 berikut: pemerintah daerah dikenai sanksi sebagaiman diatur dalam NPPH atau NPHD.

Selanjutnya, mekanisme penyaluran hibah berupa uang dapat dilihat pada gambar

IV-174

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa uang

gambar 4.9

2) Penyaluran Hibah berupa barang dan jasa

Tata cara penyaluran hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa dilaksanakan sebagaiman diatur dalam NPHD atau NPPH dan peraturan perundang-undangan. hibah. Penyaluran hibah berupa barang dan/ atau jasa yang bersumber dari hibah luar negeri dan/ atau pinjaman luar negeri dapat dilakukan dengan penyerahan langsung dari pemberi pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada pemerintah daerah penerima penyerahan langsung hibah barang/jasa tersebut dapat dilaksanakan dan dimuat
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Setelah mendapat pertimbangan terlebih dahulu dari Kementerian/lembaga terkait, dalam berita acara serah terima barang/jasa. Copy berita acara serah terima barang/
Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-175

jasa disampaikan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku KPA Hibah merupakan dasar penatausahaan dan pelaporan hibah. Mekanisme penyaluran hibah berupa barang dan jasa dapat dilihat dalam gambar 4.10 berikut: gambar 4. 10 Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa Barang dan Jasa

kepada pemerintah daerah (KPA-HPD). Copy berita acara serah terima tersebut

3) mekanisme Penerusan Hibah Kepada Pemerintah daerah. 1. Penganggaran Hibah dan Penyusunan NPPH. a. b. Kementerian/lembaga perjanjian) dan rencana penyerapan; meminta penerbitan nomor register kepada

Berdasarkan permintaan tersebut, DJPu menerbitkan nomor register dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada DJA untuk pencatuman dana penerusan hibah kepada pemerintah daerah;
Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

DJPu dengan melampirkan grant Agreement/loan Agreement (dokumen hibah dalam APBN dan kepada DJPK untuk ditindaklanjuti yaitu proses

IV-176

c.

d. e.

kemudian disampaikan kepada DJPK;

sudah ditetapkan dalam APBN/APBN-P, maka DJPK menerbitkan surat persetujuan penerushibahan kepada Pemerintah Daerah; dan pemerintah daerah. Setelah konsep NPPH disetujui maka dilakukan penandatanganan NPPH oleh Kepala Daerah dan Dirjen Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan selaku KPA Hibah Daerah. gambar 4. 11

Kementerian/lembaga menetapkan pemerintah daerah penerima hibah Atas dasar surat dari DJPu dan Kementerian/lembaga, bahwa hibah dimaksud

DJPK menyusun NPPH dengan berkoordinasi dengan Kementerian/lembaga

Secara ringkas, proses penganggaran hibah dan penyusunan NPPH dapat dilihat pada Gambar 4.11. Penganggaran Hibah dan Penyusunan NPPH

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-177

2. Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan AnggaranHibah kepada a. Kepala daerah menyusun Rencana Komprehensif berdasarkan Naskah Perjanjian ditandatangani; Tahunan; Pemerintah Daerah (DIPA-HPD). Hibah Daerah (NPHD) atau Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) yang telah

b. Berdasarkan Rencana Komprehensif tersebut, Kepala Daerah menyusun Rencana Perimbangan Keuangan selaku KPA-HPD;

c. Rencana Komprehensif dan Rencana Tahunan dikoordinasikan terlebih dahulu Rencana Tahunan terhadap pagu hibah APBN DIPA-HPD;

d. Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan verifikasi Rencana Komprehensif dan e. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan menyusun f. Rencana Alokasi Hibah kepada pemerintah daerah (RA-HPD); pengesahan DIPA-HPD; pengesahan; g. RA-HPD disampaikan kepada Dirjen Perbendaharaan untuk dijadikan dasar h. Konsep DIPA-HPD disampaikan kepada Dirjen Perbendaharaan untuk mendapatkan i. j. DIPA-HPD yang telah disahkan disampaikan kepada pemerintah daerah; Daerah menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD. penyaluran hibah kepada pemerintah daerah; Atas dasar RA-HPD tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan menyusun konsep

dengan kementerian/lembaga terkait sebelum disampaikan kepada Dirjen

DIPA-HPD yang telah disahkan oleh Dirjen Perbendaharaan merupakan dasar

k. Berdasarkan DIPA-HPD, Rencana Komprehensif dan Rencana Tahunan, Pemerintah Secara ringkas, proses penyusunan dan pengesahan DIPAHPD dapat dilihat pada Gambar 4.12.
IV-178 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Proses Penyusunan DIPA Hibah Kepada Pemerintah Daerah

gambar 4. 12

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-179

3. Penyaluran Hibah di Pemerintah Daerah. hibah;

a. Kepala daerah membuka rekening tersendiri bersifat khusus sebagai bagian dari b. Kepala daerah menyampaikan bukti pembukaan rekening yang memuat nomor c. Berdasarkan DIPA-HPD dan DPA-SKPD, kepala daerah membuat dan menyampaikan surat Permintaan Penyaluran Hibah yang dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab kementerian/lembaga terkait. Dokumen terkait tersebut antara lain: 1) Tahap pertama: Rencana penggunaan hibah; Rencana penggunaan hibah; Copy DPA-SKPD dan dokumen pendukung terkait; Copy SPM dan Dokumen terkait. rekening, nama rekening dan nama bank kepada Dirjen Perimbangan Keuangan; Rekening Kas umum Daerah (RKuD) yang digunakan untuk menampung dana

Mutlak dan dokumen-dokumen terkait yang telah mendapatkan pertimbangan dari

2) Tahap berikutnya:

Copy SPM dan copy rekening koran serta dokumen terkait;

laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan dokumen pendukung terkait; umum Daerah (BuD) untuk tahap sebelumnya dan dokumen terkait; serta dokumen terkait.

Copy Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang disahkan oleh Bendahara laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping Copy SP2D yang disahkan oleh BuD dan dokumen pendukung terkait; secara keseluruhan yang ditetapkan SKPD laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping

3) Tahap terakhir:

d. Dirjen Perimbangan Keuangan sebagai KPA-HPD menerbitkan SPM untuk disampaikan kepada Dirjen Perbendaharaan;

IV-180

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

e. Berdasarkan SPM tersebut Dirjen Perbendaharaan menerbitkan SP2D selanjutnya Secara ringkas, proses penyaluran hibah kepada Pemerintah Daerah dapat dilihat pada Gambar 4.13. Proses Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah gambar 4. 13 dilakukan pemindahbukuan dana dari RKuN atau Rekening Khusus pada APBN ke RKuD pada APBD.

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-181

4.

a. Pihak ketiga menyiapkan dokumen-dokumen untuk mengajukan tagihan pencairan


Penyaluran hibah dari Pemerintah daerah kepada Pihak ke-3.

dana yaitu terdiri dari: Kontrak; Progress Report;

Rencana Penggunaan Hibah (RPH); Nomor rekening dan nama bank.

b. Pihak ketiga menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); Pembayaran Daerah (SPP-D);

c. PPTK memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen pihak ketiga tersebut, kemudian d. SPP-D disampaikan oleh PPTK kepada KPA untuk selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Membayar Daerah (SPM-D); menerbitkan SP2D. berdasarkan kelengkapan dokumen tersebut PPTK membuat Surat Permintaan

e. KPA menyampaikan SPM-D ke BUD untuk diverifikasi dan selanjutnya BUD Secara ringkas, proses penyusunan dan pengesahan DIPAHPD dapat dilihat pada Gambar 4.14.

IV-182

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Proses Penggunaan Hibah

gambar 4.14

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-183

4.3.5. PENGElOlAAN HibAH OlEH dAERAH

Penerimaan hibah oleh pemerintah daerah dikelola dan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel melalui mekanisme APBD sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa hibah dan dana pendampingnya (apabila dipersyaratkan) (DPA) satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

dianggarkan dalam APBD dan dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran Hibah wajib digunakan sesuai ketentuan dalam NPPH atau NPHD. Pemerintah daerah juga wajib menjaga agar penggunaan dana hibah sesuai dengan maksud, tujuan, (pengeluaran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penggunaan dana hibah). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan instansi terkait. dan ketentuan yang dipersyaratkan untuk menghindari pengeluaran yang ineligible

Penerimaan hibah dari pihak lain dalam negeri dituangkan dalam NPHD dan

salinannya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan c.q. Pencatatan hibah oleh pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

4.3.6. PENCATATAN

1) Penerimaan hibah oleh daerah dicatat sebagai pendapatan hibah dalam kelompok 2) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa selain dicatat sebagai sama dicatat sebagai belanja dengan nilai yang sama. pada saat diterima. perolehan atau taksiran nilai wajar barang dan/atau jasa tersebut. lain-lain Pendapatan yang Sah pada APBD.

3) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa dicatat berdasarkan harga 4) Barang yang diterima dari hibah diakui dan dicatat sebagai barang milik daerah Hibah dilaporkan dalam laporan keuangan daerah sebagai berikut:

pendapatan hibah dalam kelompok lain-lain Pendapatan yang Sah pada saat yang

4.3.7. PElAPORAN

IV-184

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

1) Penerimaan hibah dalam bentuk uang disajikan dalam laporan Realisasi Anggaran dan laporan Arus Kas. Realisasi Anggaran. 3) Transaksi penerimaan hibah diungkapkan dalam Catatan atas laporan Keuangan. berjalan, hibah harus dilaporkan dalam laporan Pertanggungjawaban Keuangan. sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tabel 4.1.
Dicatat sebesar nilai nominal

2) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa dilaporkan dalam laporan 4) Dalam hal hibah tidak termasuk dalam perencanaan hibah pada tahun anggaran 5) Tata cara akuntansi dan pelaporan keuangan yang terkait dengan hibah dilaksanakan berikut:

Secara ringkas pencatatan dan pelaporan hibah dapat digambarkan dalam Tabel 4.2. Pencatatan dan Pelaporan Hibah
Hibah Uang

Laporan

laporan Realisasi Anggaran laporan Arus Kas Neraca Keterangan

Hibah Barang

Hibah Jasa

Catatan atas laporan Keuangan

Dicatat sebesar nilai wajar

Dicatat sebesar nilai wajar

1. Daerah melaporkan realisasi fisik, penyerapan dana, dan permasalahan pelaksanaan

4.3.8. PEmANTAUAN

kegiatan serta perkembangan penyelesaian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dan Menteri Negara/Pimpinan lembaga terkait.

kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-185

2. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan 3. Dalam rangka monitoring dan evaluasi, daerah penerima hibah wajib menyampaikan Menteri Negara/Pimpinan lembaga terkait setiap triwulan. hibah dapat dihentikan. pelaksanaan kegiatan dan penggunaan hibah dalam rangka pencapaian target dan sasaran yang ditetapkan dalam NPHD dan NPPH.

Menteri Negara/Pimpinan lembaga terkait melakukan pemantauan atas kinerja laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan yang didanai dari hibah kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan sebagaimana ditetapkan dalam NPHD atau NPPH, maka seluruh kegiatan penyaluran

4. Dalam hal daerah melakukan pengelolaan hibah menyimpang dari ketentuan

4.4. iNVEsTAsi dAERAH

Investasi Daerah adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

seperti bunga, dividen, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga Pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan antara lain uu No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, uu No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, uu No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, PP No.58 Tahun 2005 uang Negara/Daerah, dan PP No.1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah telah mengatur dan mendorong Pemda untuk dapat melakukan kegiatan investasi daerah, pembelian surat berharga dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mengembangkan perekonomian daerah. seperti penyertaan modal perusahaan daerah, kerjasama dengan pihak swasta, dan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP No.39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

4.4.1. bENTUK iNVEsTAsi dAERAH

Berdasarkan jangka waktu, investasi daerah terdiri dari:


IV-186 Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

a. Investasi Jangka Pendek, yaitu investasi yang dapat segera dicairkan dan b. Investasi Jangka Panjang, yaitu investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 (dua belas) bulan. Investasi jangka panjang terdiri dari: berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, misalnya penyertaan modal pemerintah daerah pada BuMD dimaksudkan untuk dimiliki selama 12 (dua belas) bulan atau kurang. Contohnya adalah deposito berjangka maksimal 12 (dua belas) bulan, pembelian SuN, dan SBI

Investasi permanen: investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki secara Investasi non permanen: investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjual belikan atau ditarik kembali, misalnya pembelian obligasi, surat utang jangka panjang, bantuan modal kerja, dana bergulir, fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah

Berdasarkan jenis, investasi daerah terdiri dari dua jenis, yaitu: a. Investasi Surat Berharga Pembelian Saham obligasi Investasi surat berharga terdiri dari:

Pembelian Surat utang berupa Surat utang Negara yang terdiri atas SPN dan

b. Investasi Langsung

Investasi langsung terdiri dari: Penyertaan Modal Pemberian Pinjaman

Apabila pemerintah daerah memiliki keterbatasan dana dalam menyediakan fasilitas layanan umum, pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atas dan BuMD, serta antara Pemda dengan swasta, yang bertujuan untuk mengoptimalkan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

dasar saling menguntungkan. Kerja sama dapat dilakukan antardaerah, antara Pemda

IV-187

aset daerah tanpa mengganggu layanan umum. Kerja sama ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bagan Jenis Investasi Daerah gambar 4.15

4.4.2. sUmbER dANA iNVEsTAsi dAERAH


Sumber dana Investasi Daerah dapat berasal dari: Keuntungan investasi terdahulu Sumber-sumber lainnya yang sah Surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Penggunaan surplus APBD untuk investasi daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda)

4.4.3. PENGElOlAAN iNVEsTAsi dAERAH

Pengelolaan keuangan Investasi Daerah adalah sebagai berikut:

IV-188

Pinjaman,Hibah,danInvestasiDaerah

Pengelolaan anggaran investasi daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan dilakukan melalui Rekening Kas umum Daerah (RKuD). modal daerah berkenaan. dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam Perda tentang penyertaan dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh PPKD

Penyertaan modal Pemda dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan

Daerah (PPKD) dan semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan daerah

Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan penyertaan modal pemerintah daerah PPKD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya keuangan BuMD Pemerintah. laporan keuangan tersebut dilampiri dengan laporan ikhtisar laporan

PPKD menyusun laporan keuangan Pemda yang terdiri dari lRA, Neraca, laporan Arus Kas, Catatan Atas laporan Keuangan berdasarkan Standar Akuntansi

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

IV-189

bAb V Pajak daerah dan Retribusi daerah

V-192

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

bAb V PAjAK dAERAH dAN RETRibUsi dAERAH

5.1. PENdAHUlUAN

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari pungutan pajak daerah dan daerah dan retribusi daerah adalah melalui penyempurnaan peraturan perundangkeuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang lebih ideal, undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan retribusi daerah. Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak

keadaan. untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan kepastian hukum, penguatan local taxing power, peningkatan efektivitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan Retribusi Daerah yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010.

kebijakan perpajakan dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan

ini tertuang dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Sesuai dengan ketentuan uuD 1945, pembebanan kepada masyarakat yang sifatnya dapat dipaksakan harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan mengenai

pungutan daerah diatur dengan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah. Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah undangundang Nomor 28 Tahun 2009 yang merupakan pengganti dari undang-undang

diubah dengan undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan undang-undang


Pelengkap Buku Pegangan 2010

V-193

tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah dapat dipungut oleh daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah antara lain: Beberapa kebijakan mendasar yang diatur dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 1. Pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah diubah dari open-list system menjadi closed-list system. Salah satu pertimbangan penerapan closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis hanya dapat memungut jenis pajak dan retribusi daerah yang tercantum dalam pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan closed-list system, pemerintah daerah jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Selain pajak daerah, juga terdapat 30 jenis retribusi daerah yang dapat dipungut usaha, dan 5 jenis retribusi perizinan tertentu. dilakukan melalui beberapa kebijakan, yaitu: a. b.

pungutan daerah yang wajib dibayar serta meningkatkan efisiensi pemungutan undang-undang. Berdasarkan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat 16 oleh daerah, yang terdiri dari 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa retribusi daerah (penguatan local taxing power). Penguatan local taxing power Memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, seperti Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Retribusi Izin gangguan; perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-PP), Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin usaha Perikanan; Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan
PajakDaerahdanRetribusiDaerah

2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan dan

Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, seperti Pajak Rokok, Pajak

c.
V-194

Pelayanan Tera/Tera ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti Pajak

d.

Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan; dan Rokok.

Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak Nomor 28 Tahun 2009.

daerah yang diberlakukan di daerahnya (ditetapkan dalam Perda) sepanjang tidak Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat mengkompensasi hilangnya hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang potensinya relatif kecil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada provinsi kecuali Pajak

melampaui tarif minimum dan maksimum yang tercantum dalam undang-undang berbagai jenis pungutan daerah sebagai akibat perubahan open-list system menjadi closed-list system. Dalam kaitan ini, daerah didorong untuk mengoptimalkan 3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih ideal dalam undang-undang. Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggungjawab pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya provinsi dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sesuai komposisi yang ditetapkan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan adanya Kebijakan earmarking, kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak tersebut. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pemungutan jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang memiliki landasan

dan kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Setiap jenis pajak yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam pelaksanaan fungsinya memberikan sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk membiayai

pajak penerangan jalan harus dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

umum, 10% dari pendapatan pajak kendaraan bermotor harus dialokasikan untuk

pembayar pajak. Sebagai contoh kebijakan earmarking adalah sebagian pendapatan

Pelengkap Buku Pegangan 2010

V-195

4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah daerah (Raperda) tentang pajak daerah sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundangpemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. undangan dan/atau kepentingan umum. Selain itu, terhadap daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pajak

transportasi umum, dan 50% dari pendapatan pajak rokok harus dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masayarakat dan penegakan hukum.

mekanisme pengawasan dari sistim represif (berdasarkan undang-undang Nomor dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat

34 Tahun 2000) menjadi sistim preventif dan korektif. Setiap rancangan peraturan

daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau

5.2. jENis PAjAK dAERAH dAN RETRibUsi dAERAH

Sesuai dengan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah provinsi adalah sebanyak 5 jenis dan yang dapat dipungut oleh daerah kabupaten/kota adalah sebanyak 11 jenis. Sedangkan retribusi yang dapat tertentu. .

dipungut oleh daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah 30 jenis, meliputi 14 jenis

retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha, dan 5 jenis retribusi perizinan

5.2.1. PAjAK dAERAH

Jenis-jenis Pajak Daerah berdasarkan uu No. 34 Tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 5.1.

V-196

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

1. 2. 3. 4. 5.

Pajak Provinsi

Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bemotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; dan Pajak Rokok.

Jenis Pajak Daerah

Tabel 5.1.

Sumber : undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

Jenis pajak daerah bersifat limitatif (closed-list) yang berarti bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat memungut pajak selain yang telah ditetapkan. Penetapan jenis pajak tersebut sebagai pajak daerah provinsi dan pajak kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan, antara lain mobilitas objek pajak..

1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan ; 4. Pajak Reklame ; 5. Pajak Penerangan Jalan ; 6. Pajak Parkir; 7. Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan; 8. Pajak Air Tanah; 9. Pajak Sarang Burung Walet; 10. PBB Perdesaan & Perkotaan ; 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Pajak Kabupaten/Kota

5.2.2. RETRibUsi dAERAH

Retribusi daerah dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. a. dimanfaatkan secara optimal; dan/atau 1. Retribusi Jasa Umum adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan atau 2. Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal V-197

Pelengkap Buku Pegangan 2010

3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan atas pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi

b.

Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum dapat disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Jenis Retribusi Daerah berdasarkan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 5.2.

V-198

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

Sumber : undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

Sama halnya dengan pajak daerah, jenis retribusi daerah juga bersifat limitatif (closed-list) artinya bahwa pemerintah daerah tidak diperkenankan untuk memungut untuk mengantisipasi perkembangan penyerahan kewenangan pemerintah pusat
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

1. Retribusi Pelayanan Kesehatan 2. Retribusi Persampahan/ Kebersihan 3. Retribusi KTP dan Akte Capil 4. Retribusi Pemakaman/ Pengabuan Mayat 5. Retribusi Parkir di Tepi Jalan umum 6. Retribusi Pelayanan Pasar 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 10. Retribusi Pelayanan Tera/Tera ulang 11. Retribusi Penyedotan Kakus 12. Retribusi Pengolahan limbah Cair 13. Retribusi Pelayanan Pendidikan 14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Jasa Umum

1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 2. Retribusi Pasar grosir/ Pertokoan 3. Retribusi Tempat Pelelangan 4. Retribusi Terminal 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir 6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa 7. Retribusi Rumah Potong Hewan 8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan olahraga 10. Retribusi Penyeberangan di Air 11. Retribusi Penjualan Produksi usaha Daerah Jasa Usaha

Jenis Retribusi Daerah

Tabel 5.2

1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3. Retribusi Izin gangguan 4. Retribusi Izin Trayek 5. Retribusi Izin usaha Perikanan Perizinan Tertentu

jenis retribusi selain 30 jenis retribusi tersebut di atas. Meskipun demikian,


V-199

kepada daerah dan menyesuaikan dengan ketentuan sektoral, dimungkinkan untuk dilakukannya penambahan jenis retribusi daerah yang akan diatur lebih lanjut dengan

peraturan pemerintah. Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh daerah provinsi dan kabupaten/kota didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dan kabupaten/kota berdasarkan prinsip efisiensi. sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan penentuan retribusi jasa usaha didasarkan pada jasa pelayanan yang dapat diselenggarakan/diberikan oleh provinsi Tahun 2009. Pemerintah daerah dapat mengatur pengecualian pengenaan retribusi atas objek tertentu namun tidak boleh melakukan perluasan terhadap objek retribusi prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masing-masing jenis retribusi daerah, yaitu sebagai berikut: jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya dimaksud meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal; pasar; yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila

objek masing-masing jenis retribusi telah diatur dalam undang-undang Nomor 28 daerah. Sementara itu, penetapan besaran tarif retribusi harus mengacu kepada

1. Tarif Retribusi Jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan 2. Tarif Retribusi Jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan

3. Tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga penyelenggaraan pemberian izin dimaksud meliputi penerbitan dokumen izin,

V-200

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

Pemanfaatan dari hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan pengalokasiannya ditetapkan dengan peraturan daerah.

untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan jenis layanan bersangkutan yang

5.3. PERsYARATAN PdRd


dengan kriteria retribusi daerah.
1)

Suatu jenis pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan sebagai pungutan daerah

berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kriteria untuk pajak daerah dibedakan a. Bersifat pajak, dan bukan retribusi.
Kriteria Pajak daerah

yaitu kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah: tanpa imbalan langsung yang seimbang; digunakan pembangunan daerah. untuk membiayai dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku; dan penyelenggaraan pemerintahan

Pajak tersebut harus sesuai definisi pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Jika suatu kontribusi hanya dibayar oleh orang pribadi atau badan yang b. obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang penjelasan sebagai berikut:. immobile daerah maka iuran tersebut bukan pajak melainkan bersifat retribusi. bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani

menggunakan/memanfaatkan suatu pelayanan/perizinan yang disediakan oleh masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

dan

1) Yang dimaksud dengan mobilitas rendah adalah objek pajak relative

V-201

2) Yang dimaksud dengan hanya melayani masyarakat di wilayah tertentu Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, contohnya antara lain : atau bandara atau di tempat lain; Pajak atas reklame dalam surat kabar dan media elektronik. Pajak atas barang yang diekspor atau diimpor (lalu lintas barang) di pelabuhan adalah bahwa beban pajaknya hanya ditanggung oleh masyarakat lokal. Contoh: Pajak Penerangan Jalan.

c. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.

di luar wilayah daerah yang bersangkutan.

Jenis pajak dengan objek objek tersebut pada umumnya melayani masyarakat luas Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah Contoh: Pajak atas seluruh komoditi akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.

dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik,

d. Potensi pajak memadai.

e. obyek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat. seluruh hasilnya diterima oleh daerah.

(double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang Contoh : pajak atas produksi minuman keras.

tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau objek pajak tersebut merupakan objek cukai yang lebih layak dipungut oleh Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
PajakDaerahdanRetribusiDaerah

Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda

f.

Pemerintah Pusat, karena dampak dari pungutan ini tidak dapat dilokalisir.

V-202

daya ekonomi antardaerah maupun kegiatan ekspor-impor.

Pajak tidak mengganggu alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber Contoh jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini adalah: perkebunan; pajak yang dipungut atas kegiatan ekonomi tertentu tanpa alasan ekonomis pajak atas lalu lintas barang atau atas transportasi barang atau hewan, seperti: pajak angkutan barang di jalan raya; pajak dispensasi jalan umum. atau sosial yang kuat, seperti: pajak atas produksi garam; pajak atas hasil

g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Aspek keadilan, antara lain :

pajak tidak membedakan (klasifikasi) orang pribadi atau badan tanpa alasan yang kuat. Contoh: Pajak Hotel, pengecualian anggota DPRD sebagai subjek atau wajib pajak. Aspek kemampuan masyarakat : Pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban

Hal lain mengenai aspek keadilan adalah objek atau subjek atau dasar pengenaan

objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya; jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak; tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak.

h. Menjaga kelestarian lingkungan. untuk merusak lingkungan.

pajak, sehingga sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu. Contoh: Pajak Hiburan terhadap hiburan rakyat, seperti kesenian tradisional. pajak tidak memberikan peluang kepada daerah atau pusat atau masyarakat luas Contoh: Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan. Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

V-203

a. Kriteria Retribusi Jasa umum


2)

Kriteria Retribusi daerah

i.

Perizinan Tertentu.

yang secara langsung dapat dinikmati oleh pengguna jasa tetapi jasa tersebut bukan menyangkut kegiatan pembinaan, pengaturan, pengawasan, dan tersirat adanya layanan yang konkrit. pelaksanaan desentralisasi.

Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa usaha atau Retribusi Pengenaan retribusi hanya berkaitan dengan penyediaan jasa pelayanan

ii.

pengendalian. Pengenaan retribusi yang dihitung dengan nilai per komoditi tidak sesuai dengan kriteria ini karena pengenaannya bersifat pajak dan tidak

iii. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. bagi kepentingan masyarakat pada umumnya. Misalnya retribusi pelayanan penyebaran wabah penyakit.

telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai fungsi dan menjadi kewenangan daerah.

Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka

Pengenaan retribusi hanya dapat dilakukan terhadap jasa yang secara eksplisit

persampahan, disamping manfaat bagi individu berupa terbebasnya rumah dari sampah, juga akan menyebabkan masyarakat pada umumnya terhindar dari penyebaran bakteri yang berasal dari sampah yang menjadi sumber publik dan besarnya retribusi dapat dipikul oleh masyarakat pada umumnya. penyelenggaraannya.

Pengguna jasa dapat diidentifikasi dan layanan tersebut memberikan manfaat

iv. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi daerah. v.


V-204

Jasa yang akan dikenakan retribusi secara politis harus bisa diterima oleh

Retribusi daerah tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai


PajakDaerahdanRetribusiDaerah

vi. Retribusi daerah dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. penerimaan retribusi. kepuasan pengguna jasa sebanding dengan jumlah pembayaran retribusi. dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Dari segi efisiensi, biaya pemungutan seharusnya lebih rendah dari hasil Dengan tarif retribusi daerah yang wajar, pengguna jasa memperoleh kepuasan Efektifitas dari pungutan retribusi seharusnya tercermin dalam tingkat

oleh pemerintah dan pelayanannya harus diberikan secara gratis kepada masyarakat umum tidak dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas pelayanan pendidikan dasar dan jalan umum tidak sesuai dengan kriteria ini.

Sarana publik yang berdasarkan kebijakan nasional wajib disediakan

vii. Pemungutan retribusi daerah memungkinkan penyediaan jasa tersebut atas pelayanan yang diberikan. Penerimaan retribusi seharusnya digunakan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, antara lain b. Kriteria Retribusi Jasa usaha: i. Perizinan Tertentu. pengelolaan dan administrasi tanpa menaikkan tarif retribusi daerah. dalam bentuk proses pelayanan yang lebih cepat melalui perbaikan sistem

ii.

melayani kepentingan umum dan bukan menyangkut kegiatan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. pemerintah daerah.

Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa umum atau Retribusi Retribusi tidak boleh dikenakan terhadap jasa yang dimaksudkan untuk Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya Jasa yang dikenakan retribusi daerah adalah jasa yang belum sepenuhnya
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh dapat disediakan oleh swasta dimana layanan tersebut bersifat komersial
V-205

c. Kriteria Retribusi Perizinan Tertentu: i.

sehingga pemerintah daerah dimungkinkan untuk mengenakan tarif jasa yang di dalamnya sudah termasuk margin keuntungan. kepada daerah dalam rangka azas desentralisasi. dalam peraturan perundang-undangan. umum. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan Retribusi yang boleh dipungut hanya terhadap perizinan-perizinan yang Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan

ii.

selama ini sudah menjadi kewenangan daerah serta perizinan-perizinan baru yang pengelolaannya telah diserahkan kepada daerah sebagaimana ditetapkan

iii. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.

melalui kegiatan pembinaan dan pengaturan guna menjaga ketertiban umum dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

dan melalui kegiatan pengawasan dan pengendalian guna menanggulangi biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut menanggulangi dampak negatif atas pemberian izin tersebut.

Pemberian izin dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, yaitu

dampak negatif karena memerlukan biaya yang cukup besar untuk

Retribusi dikenakan terutama terhadap pemberian izin yang menimbulkan

5.4. PROsEdUR PENETAPAN PdRd

Pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus diatur dengan Peraturan Daerah terlebih dahulu harus dievaluasi oleh pemerintah, dengan ketentuan: dan

(Perda). Suatu rancangan Perda tentang PDRD, sebelum ditetapkan menjadi Perda

a. Rancangan Perda provinsi tentang PDRD yang telah disetujui antara gubernur dan

DPRD provinsi harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi;
PajakDaerahdanRetribusiDaerah

V-206

b. Rancangan Perda kabupaten/kota yang telah disetujui antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota harus disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi.

Dalam proses evaluasi tersebut, gubernur dan Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dan daerah. Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Perda PDRD adalah sebagai berikut: mengenai: a. Setiap Perda tentang pajak daerah sekurang-kurangnya harus mengatur 1) Nama, objek, dan subjek pajak; 3) Wilayah pemungutan; 4) Masa pajak; 5) Penetapan; 7) Kadaluwarsa; 2) Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; 6) Tata cara pembayaran dan penagihan; Disamping itu, Perda pajak daerah dapat pula mengatur mengenai: pokok pajak dan/atau sanksinya; kelaziman internasional. 8) Sanksi administratif; dan 9) Tanggal mulai berlakunya.

dengan Menteri Keuangan agar terdapat sinkronisasi kebijakan fiskal antara pusat

1. Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas 2. Tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa; dan/atau 3. Asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan b. Perda tentang pajak daerah sekurang-kurangnya harus mengatur mengenai:
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan

V-207

1) Nama, objek, dan subjek retribusi; 2) golongan retribusi;

3) Cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; 5) Struktur dan besarnya tarif retribusi; 6) Wilayah pemungutan; 8) Sanksi administratif; 9) Penagihan; pembayaran;

4) Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;

7) Penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan 10) Penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa; dan 11) Tanggal mulai berlakunya. 1) Masa retribusi;

Disamping itu, Perda retribusi daerah dapat juga mengatur mengenai: 3) Tata cara penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa. atas pokok retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau

2) Pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu

5.5 PENGAWAsAN dAN PEmbATAlAN PERdA PdRd

Pemerintah melakukan pengawasan terhadap perda-perda tentang PDRD yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan dimaksud dilakukan secara

preventif dan korektif. Pengawasan secara preventif dilakukan dengan mengevaluasi lambat 3 (tiga) hari kerja setelah persetujuan bersama. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri dan gubernur melakukan evaluasi terhadap Raperda dimaksud dan dalam

Raperda PDRD yang telah disetujui bersama antara kepala daerah dengan DPRD

sebelum ditetapkan menjadi Perda. Raperda provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Raperda Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur paling proses evaluasinya berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Hasil evaluasi yang telah
V-208 PajakDaerahdanRetribusiDaerah

dikoordinasikan kepada Menteri Keuangan tersebut dapat berupa persetujuan atau penolakan.

Sementara itu, pengawasan represif dilakukan terhadap peraturan daerah tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Perda PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lama kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka

7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Dalam hal perda bertentangan dengan Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan perda dimaksud kepada Presiden Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling kepala daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasanalasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi. dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan

melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah. Berdasarkan rekomendasi mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. dimaksud. Paling lama 7 hari kerja setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak

diatas dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi umum

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

V-209

Semenjak digulirkannya otonomi daerah tahun 2001 sampai dengan akhir Maret

2010, Menteri Keuangan telah menerima 13.622 Perda PDRD. Dari jumlah perda yang diterima tersebut sebanyak 13.252 perda telah dievaluasi dan sebayak 4.885 perda diantaranya atau sekitar 37% direkomendasikan pembatalannya oleh Menteri umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri karena tidak sesuai dengan kepentingan Pemerintahan Daerah, Raperda PDRD harus dievaluasi terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Sejak tahun 2005 sampai dengan dari Pemerintah Daerah. Dari jumlah tersebut, hanya 363 Raperda atau sekitar 33% memerlukan pembinaan secara terus menerus. yang dapat secara langsung disetujui dan 67% lainnya harus direvisi terlebih dahulu kemampuan daerah dalam penyusunan Perda PDRD masih perlu ditingkatkan dan Pemerintah, jenis pungutan daerah yang banyak bermasalah terutama dari sektor kebudayaan dan pariwisata. Pungutan daerah untuk sektor-sektor ini perlu mendapat dan pembangunan potensi fiskal.

Dalam rangka pelakanaan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

31 Maret 2010, Menteri Keuangan telah menerima dan mengevaluasi 2.625 Raperda sebelum dapat ditetapkan menjadi Perda. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa Berdasarkan ikhtisar hasil evaluasi Perda dan Raperda PDRD yang dilakukan oleh perhubungan, industri dan perdagangan, energi dan sumber daya mineral, serta perhatian agar tidak kontra produktif dalam upaya pengembangan kegiatan ekonomi

5.6 sANKsi TERHAdAP PElANGGARAN KETENTUAN di bidANG PdRd


Pelanggaran terhadap ketentuan di bidang perpajakan daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAu dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. Ketentuan sanksi tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan
V-210 PajakDaerahdanRetribusiDaerah

Nomor 11/PMK.07/2010 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. dua bagian, yaitu: Secara umum, pelanggaran di bidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dibagi a. Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Perda, yang dapat berupa: Penetapan perda tanpa melalui proses evaluasi, Penetapan Perda tanpa mengikuti hasil evaluasi, atau

b. Pelanggaran terhadap substansi pungutan yaitu pemungutan PDRD berdasarkan perda yang telah dibatalkan. Atas pelanggaran substansi ini dikenakan sanksi penerimaan PDRD yg telah dipungut berdasarkan perda yang telah dibatalkan.

pajak penghasilan sebesar 10 % untuk setiap periode penyaluran.

Atas pelanggaran prosedur ini dikenakan sanksi berupa penundaan DAu atau DBH

Tidak menyampaikan Perda yang telah ditetapkan kepada Pemerintah.

berupa pemotongan DAu dan/atau DBH pajak penghasilan sebesar perkiraan

5.7 KEsAlAHAN-KEsAlAHAN PERdA PdRd YANG sERiNG dilAKUKAN dAERAH


perda tentang PDRD dapat dikemukakan sebagai berikut: Kesepahaman, atau dokumen selain Perda; diatur dalam undang-undang;

Beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh daerah terkait dengan penetapan

1. Masih terdapat pungutan yang dilakukan oleh daerah tanpa didasarkan pada

2. Materi pengaturan dalam perda tidak memenuhi standar ketentuan sebagaimana 3. Substansi pungutan tidak sesuai dengan undang-undang, misalnya ada perluasan 4. Struktur dan besaran tarif retribusi ditetapkan oleh kepala daerah. maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang; dan

peraturan daerah, misalnya dengan Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Nota

objek pungutan, tarif tidak ditetapkan secara definitif, tarif melampaui tarif

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

V-211

5.8 PElAKsANAAN UNdANG-UNdANG PdRd

Dengan berlakunya undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, maka undang-undang Nmor 34 Tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaanya (seperti Peraturan Pemerintah Nomor 65 dan 66 Tahun 2001) dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberlakuan beberapa jenis pajak daerah yang baru dimunculkan dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak secara otomatis dapat langsung diimplementasikan oleh pemerintah daerah. BPHTB dan Pajak Air Tanah Baru dapat Perdesaan dan Perkotaan dan Pajak Rokok sebelum 1 Januari 2014. dilakukan dan diperhatikan oleh pemerintah daerah, yaitu: 28 Tahun 2009; Rokok pada 1 Januari 2014. Meskipun demikian, pemerintah memberikan peluang Terkait dengan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, beberapa hal yang perlu di a. Memilih jenis pungutan yang akan diberlakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah (tidak harus memberlakukan semua jenis pungutan yang ada);

diberlakukan pada 1 Januari 2011 serta PBB Perdesaan dan Perkotaan dan Pajak

kepada pemerintah daerah yang sudah siap untuk mengambil alih pemungutan PBB

b. Tidak mengadakan jenis pungutan selain yang ada dalam undang-undang Nomor masih dapat diberlakukan sampai dengan 31 Desember 2010 kecuali perdanya sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat; Nomor 28 Tahun 2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011; undang dimaksud paling lambat 31 Desember 2012; 2010;

c. Jenis pungutan yang tidak terdapat dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 d. Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam undang-undang e. Perda yang berlaku saat ini yang mengatur jenis pajak dan retribusi yang terdapat f.

dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 harus disesuaikan dengan undangMenyusun dan menerbitkan perda tentang BPHTB dan Pajak Air Tanah pada tahun

V-212

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

g. Menyusun dan menerbitkan perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan dan Pajak h. Mendahulukan perubahan atau penyesuaian perda yang diperluas objeknya agar i. j. potensi penerimaan dapat dioptimalkan; harus diatur dalam perda tentang PDRD; Perda tentang PDRD harus memuat seluruh ketentuan yang sekurang-kurangnya Rokok sebelum 1 Januari 2014 atau sebelum pengambilalihan kedua jenis pajak dimaksud;

k. Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB dan Pajak Rokok, pemerintah l. daerah perlu melakukan konsultasi/koordinasi/sosialisasi dengan intansi terkait (kanwil pajak, badan pertanahan, bea dan cukai, notaris/pejabat pembuat akta tanah, dan lain-lain); dan dan penetapan. Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, pemerintah daerah perlu

Dalam menyusun perda harus mengikuti proses dan prosedur penyusunan perda sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009;

Beberapa peraturan pelaksanaan terkait dengan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 yang harus disiapkan oleh Pemerintah adalah: diterbitkan pada tahun 2010; harus diterbitkan pada tahun 2010; 1. Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pemungutan Pajak Daerah yang harus 2. Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pemberian Insentif Pemungutan yang penerbitannya disesuaikan dengan kebutuhan; 3. Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Retribusi Daerah Tambahan yang 4. Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok yang harus diterbitkan pada tahun 2010; Dikecualikan sebagai Subjek PBB Perdesaan dan perkotaan; 5. Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan atau perwakilan Internasional yang
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal V-213

memperpersiapkan SDM khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,

Pelengkap Buku Pegangan 2010

6. Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan atau perwakilan Internasional yang dikecualikan sebagai Subjek BPHTB; Ketentuan PDRD; dan

7. Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pelanggaran

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB), 9. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri tentang Tahapan Penyiapan peraturan pelaksanaan tersebut tidak menghambat daerah dalam dalam undang-undang tersebut. Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah.

perumusan Perda PDRD sebagai implementasi dari undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, karena sebagian besar pokok-pokok pengaturan Perda PDRD telah tercantum

V-214

PajakDaerahdanRetribusiDaerah

bAb Vi dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

VI-216

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

bAb Vi dANA dEKONsENTRAsi dAN TUGAs PEmbANTUAN

6.1. PENdAHUlUAN

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dikenal 3 (tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan, yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Pembantuan (medebewind). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang/urusan (NKRI). Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang/urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Penyelenggaraan dan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melibatkan penyelenggaraan tugas dan wewenang. Pada tingkat pemerintah pusat, instansi yang dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas Pembantuan adalah penugasan

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan beberapa instansi pemerintah di pusat dan daerah dalam suatu pola hubungan

terlibat terdiri dari Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan pelaksanaannya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

Kementerian Teknis yang berkoordinasi dalam perumusan kebijakan, perencanaan, dan evaluasi. Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas dan wewenang dalam

hal penataan urusan pemerintahan sejalan dengan ketentuan undang-undang


VI-217

Bappenas mempunyai tugas dan wewenang dalam hal penetapan dan sinkronisasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kementerian Keuangan mempunyai tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dengan program/kegiatan.

program sejalan dengan ketentuan undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang tugas dan wewenang dalam hal pengelolaan pendanaan sejalan dengan undangdan aturan pelaksanaannya. Sementara kementerian teknis mempunyai tugas dan undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, undang-undang Nomor 1 wewenang dalam hal pelimpahan/penugasan urusan kepada Daerah yang berkaitan Pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, pelimpahan dan penugasan urusan pusat di daerah yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah, sedangkan Tugas Pembantuan pemerintahan dimaksud didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

melalui bagian anggaran kementerian/lembaga (K/l). Hal ini berarti dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan penyelenggaran sebagian urusan pemerintah pertanggungjawabannya kepada K/l yang memberikan Dana Dekonsentrasi/ Dana Pengalokasian dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Kementerian Keuangan pendanaan. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mempunyai tugas dalam dilaksanakan oleh beberapa unit Eselon I yang mempunyai peranan dalam siklus pengelolaan informasi, evaluasi, dan perumusan rekomendasi Dana Dekonsentrasi tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dan Peraturan Menteri Keuangan Tugas Pembantuan. Direktorat Jenderal Anggaran mempunyai tugas dalam penelaahan dan aturan pelaksanaannya termasuk Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
VI-218 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

dan Tugas Pembantuan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008 RKA-Kl, penerbitan RABPP dan SAPSK sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor

Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/lembaga

mengenai Standar Biaya. Direktorat Jenderal Perbendaharaan mempunyai tugas dalam

pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), penerbitan Surat Rincian Alokasi akuntansi instansi (SAI) dan pelaporan keuangan sejalan dengan Peraturan Pemerintah

Anggaran (SRAA), pencairan dana, pengenaan sanksi, pembinaan dan koordinasi sistem Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah dan Pelaporan Keuangan pemerintah Pusat, serta aturan pelaksanaannya. Direktorat pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan aturan pelaksanaannya.

Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi Jenderal Kekayaan Negara mempunyai tugas dalam bidang pengelolaan barang milik negara/daerah sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-219

Pola Hubungan Antar Instansi Terkait dalam Penyelengaraan dan Pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

gambar 6.1

6.2 PENGElOlAAN dANA dEKONsENTRAsi/TUGAs PEmbANTUAN


6.2.1 PENGERTiAN dANA dEKONsENTRAsi/TUGAs PEmbANTUAN
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
VI-220 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. pusat dan pemerintahan daerah yang bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem bertanggung jawab dalam rangka penyelengaraan desentralisasi; maka pada tataran yang tersedia bagi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. bahwa:

di daerah; sedangkan Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN Sebagai salah satu unsur dalam sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan implementasi, penyelenggaraan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan Dalam sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan 1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai dari APBD; APBN;

mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 ditegaskan

2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur selaku walikota selaku kepala daerah otonom dalam rangka Tugas Pembantuan didanai dari APBN.

3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati/

wakil Pemerintah di daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai dari

Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, pelimpahan kewenangan dalam diikuti dengan pemberian dana. Dana yang diberikan untuk mendanai sebagian kewenangan yang dilimpahkan merupakan Dana Dekonsentrasi yang berasal dari
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

VI-221

APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk Instansi Vertikal Pusat di daerah. kementerian/lembaga kepada kepala daerah akan diikuti dengan pemberian dana. yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan/atau desa yang

Demikian pula dengan Tugas Pembantuan, dimana setiap adanya penugasan dari Dana yang diberikan untuk mendanai penugasan merupakan Dana Tugas Pembantuan mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas yang diberikan.

Pembantuan tersebut. Hal ini berarti bahwa Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan untuk daerah

provinsi/ kabupaten/kota dan/atau desa sesuai dengan beban dan jenis penugasan

6.2.2.

PRiNsiP

PENdANAAN

dEKONsENTRAsi/TUGAs

PEmbANTUAN

Sesuai dengan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008, pendanaan sebagai berikut: a. Pendanaan Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang dari b. Pendanaan Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan dari walikota (sebagai kepala daerah); dan kegiatan kementerian/lembaga; wakil Pemerintah Pusat di daerah); Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

Pemerintah Pusat melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur (sebagai Pemerintah Pusat melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur/bupati/

c. Pelimpahan/penugasan wewenang dimaksud dijabarkan dalam bentuk program

VI-222

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

d. Pendanaan kegiatan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan oleh pemerintah pusat ditugaskan;

e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran f. Kementerian/lembaga (RKA-K/l); lembaga; Kegiatan yang didanai dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas

disesuaikan dengan beban dan besar/kecilnya wewenang yang dilimpahkan/ kementerian/lembaga yang dialokasikan di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pembantuan adalah lingkup kewenangan yang sudah menjadi tupoksi kementerian/ Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku kuasa pengguna anggaran/barang (KPA/B);

g. Kegiatan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan di daerah dilaksanakan oleh Satuan h. Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat pengawasan, serta pengendalian. Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan i. berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap;

non-fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap, antara lain sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan Dekonsentrasi, sebagian kecil Dana Dekonsentrasi dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif dan/atau pengadaan input lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau serta pemberdayaan masyarakat). Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan pengadaan input berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap; Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat

fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah aset tetap, antara sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat,

serta dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik lainnya (antara lain pengadaan Tugas Pembantuan, sebagian kecil Dana Tugas Pembantuan dapat dialokasikan

sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif dan/atau


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal VI-223

Pelengkap Buku Pegangan 2010

j.

gubernur memberitahukan RKA-K/l yang telah diterima dari kementerian/ lembaga kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di daerahnya; berkaitan dengan rencana kegiatan TP di daerah provinsi/kabupaten/kota. kementerian/lembaga kepada DPRD setempat pada saat pembahasan RAPBD

k. gubernur/Bupati/Walikota memberitahukan RKA-Kl yang telah diterima dari

6.2.3. PENGANGGARAN dANA dEKONsENTRAsi/TUGAs PEmbANTUAN


Sesuai definisi dan prinsip pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian/lembaga yang dialokasikan untuk mendanai program dan kegiatan dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN. yang merupakan urusan pemerintah di daerah dan disusun berdasarkan Rencana pengganggaran Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tersebut dilakukan sesuai Kerja dan Anggaran Kementerian/lembaga (RKA-Kl). Dengan demikian mekanisme Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008, proses perencanaan dan penganggaran Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan penganggaran itu mengandung makna bahwa pengalokasian Dana Dekonsentrasi urusan pemerintah pusat serta mempertimbangkan besarnya transfer belanja Pusat ke dan Tugas Pembantuan disesuaikan dengan kemampuan APBN dalam mendanai dan kebutuhan pembangunan di daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi dana dekonsentrasi dan tugas Tugas Pembantuan juga seyogyanya disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
VI-224

pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan penganggaran Dekonsentrasi dan

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

a. Keseimbangan Pendanaan di daerah dalam Rangka Perencanaan lokasi dan Alokasi dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Keseimbangan pendanaan di daerah dalam rangka perencanaan lokasi dan alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 sebagai berikut: Pengalokasian tertentu. Dana Dekonsentrasi Keseimbangan pendanaan dilakukan secara proporsional agar sebaran alokasi dan/atau Tugas Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tidak terkonsentrasi pada daerah transfer ke daerah dan kemampuan keuangan daerah. dalam Rekomendasi Menteri Keuangan. Menteri Pembantuan

Hasil rumusan keseimbangan pendanaan di daerah dimaksud dituangkan Rekomendasi kementerian/lembaga dalam rangka perencanaan lokasi dan anggaran kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. sebelum penyusunan Renja-Kl. dengan tembusan kepada Kepala Bappenas selambat-lambatnya bulan Maret

mempertimbangkan Kemampuan Fiskal Daerah yang terdiri dari besarnya Keuangan menjadi dasar pertimbangan bagi

Rekomendasi Menteri Keuangan disampaikan kepada kementerian/ lembaga

Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tersebut Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan bahwa Keuangan Negara bagian dari keuangan negara harus dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

di atas sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang Nomor 17 efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. oleh karena itu, Dana dekonsenstrasi dan Tugas Pembantuan sebagai

dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-225

Selanjutnya dalam Penjelasan umum poin (5) Kekuasaan atas pengelolaan Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan (pengelola ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian pemerintahan. Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas Pola Hubungan Kementerian Keuangan dengan K/l dalam pendanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan gambar 6.2

keuangan negara dalam undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dikatakan bahwa fiskal) pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFo) Pemerintah Republik Chief Operational Officer (Coo) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip

wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta

Secara umum aspek pengelolaan fiskal meliputi beberapa fungsi yaitu pengelolaan perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
VI-226 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi

Terkait dengan fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan penganggaran dalam rangka Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Menteri Keuangan mempunyai kewenangan untuk mengarahkan kementerian/lembaga dalam perencanaan lokasi dan alokasi keseimbangan pendanaan di daerah yang disampaikan dalam bentuk rekomendasi, teknis yang dimiliki setelah mempertimbangkan rekomendasi Menteri Keuangan. sedangkan kementerian/lembaga (teknis) berwenang merencanakan lokasi dan Maksud dan tujuan rekomendasi ini adalah untuk mewujudkan transparansi dan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; dan memberikan masukan bagi kementerian/ lembaga dalam merencanakan lokasi dan alokasi Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan agar tepat sasaran dan tidak terkonsentrasi di daerah tertentu. besaran alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berdasarkan indikator akuntabilitas, serta proporsional dalam pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan melalui indikator umum berupa peta

Tugas Pembantuan; meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan Dana

Variabel yang digunakan dalam formulasi keseimbangan pendanaan di daerah adalah Variabel Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Variabel KFD diukur berdasarkan besaran: Pendapatan Asli Daerah, pengurang). Sementara IPM merupakan cerminan tingkat pendidikan, kesehatan dan huruf penduduk dewasa, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. i. a. langkah-langkah formulasi keseimbangan pendanaan adalah sebagai berikut: Menentukan Indeks Kemampuan Fiskal Daerah: DBH Pajak, DBH SDA, dan Dana otsus).

lain-lain Pendapatan yang Sah, Dana Alokasi umum, Dana Alokasi Khusus, Dana kesejahteraan masyarakat yang dibentuk dari 4 (empat) indikator, yaitu: angka melek

Bagi Hasil, Dana otonomi Khusus, Dana Penyesuaian, dan Belanja PNSD (sebagai

Menghitung besaran transfer daerah (jumlah dana perimbangan: DAu, DAK,


Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal VI-227

Pelengkap Buku Pegangan 2010

b. c.

Menghitung kemampuan keuangan daerah (jumlah PAD dan lain-lain Pendapatan yang sah dikurangi Belanja PNSD). penjumlahan dana transfer daerah dan kemampuan keuangan daerah. penduduk. daerah. Menentukan Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) yang merupakan hasil

d. e. f.

Menghitung KFD per kapita yang didapat dari KFD dibagi dengan jumlah Menghitung KFD Riil yang didapat dari KFD per kapita dibagi Indeks

Kemahalan Konstruksi (IKK) sebagai proxy perbedaan tingkat harga antar rata KFD Riil nasional sehingga diperoleh Peta KFD (lampiran I). Menentukan Indeks KFD sebagai hasil dari pembagian KFD Riil terhadap rata-

ii. Mengkaitkan KFD dengan IPM: a. b. c.

Membandingkan indeks KFD daerah dengan rata-rata KFD Nasional sehingga Membandingkan IPM daerah dengan rata-rata IPM Nasional sehingga menghasilkan daerah yang berada di atas dan di bawah rata-rata nasional. (lampiran II). nasional nasional cluster daerah sebagai berikut: menghasilkan daerah yang berada di atas dan di bawah rata-rata nasional.

Cluster 1: Kelompok daerah yang mempunyai KFD dan IPM di atas rata-rata Cluster 2: Kelompok daerah yang mempunyai KFD di bawah rata-rata nasional namun IPM di atas rata-rata nasional. Cluster 3: Kelompok daerah yang mempunyai KFD dan IPM di bawah rata-rata namun IPM di bawah rata-rata nasional. Cluster 4: Kelompok daerah yang mempunyai KFD di atas rata-rata nasional

Hasil kedua perbandingan KFD dan IPM tersebut di atas tersusun dalam 4

VI-228

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Berdasarkan hasil formulasi tersebut, prioritas daerah yang akan direkomendasikan sebagai penerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai berikut: a. Prioritas I: Daerah pada Cluster 3; b. Prioritas II: Daerah pada Cluster 2. lembaga terkait.

Selanjutnya untuk menentukan besaran alokasi dana dekonsentrasi/tugas pembantuan

ke masing-masing daerah digunakan indikator teknis yang disusun oleh kementerian/ b. Proses Penganggaran dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pengangaran Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dituangkan dalam

penyusunan RKA-Kl yang setelah melalui proses pembahasan dan penelaahan dengan K/l terkait kemudian ditetapkan menjadi Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAPSK). SAPSK dimaksud kemudian disampaikan kepada gubernur/Bupati/Walikota. Setelah menerima RKA-Kl tersebut, gubernur/Bupati/walikota menyampaikan usulan SKPD selaku Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar, dan Bendahara Pengeluaran dan menyampaikannya kepada kementerian/lembaga selambat-lambatnya minggu oleh gubernur/Bupati/ Walikota kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD untuk tujuan sinkronisasi program dan kegiatan yang akan didanai dari APBN dan APBD ketentuan peraturan perundang-undangan. pejabat pengelola keuangan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang terdiri dari

pertama bulan Desember pada tahun berjalan. RKA-Kl tersebut juga diberitahukan RKA-Kl yang telah ditetapkan menjadi SAPSK sebagai dasar dalam penyusunan

DIPA. Tata cara penyusunan RKA-Kl dan penetapan/pengesahan DIPA mengacu pada

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-229

6.2.4.

PENYAlURAN

dANA

dEKONsENTRAsi/TUGAs

PEmbANTUAN

Berdasarkan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan disalurkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui Rekening Kas umum Negara. Peraturan Menteri Keuangan No. 134/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.. Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Sedangkan mekanisme penyaluran Dana

6.2.5. PERTANGGUNGjAWAbAN dAN PElAPORAN

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan disebutkan bahwa pertanggungjawaban dan pelaporan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut sejalan dengan Peraturan laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Pembantuan adalah sebagai berikut : a. dana dekonsentrasi

manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Sementara aspek akuntabilitas terdiri dari

sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Secara rinci pertanggungjawaban dan pelaporan Dana Dekonsentrasi dan Tugas

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna Anggaran/ Barang dekonsentrasi wajib
VI-230 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

menyelenggarakan akuntansi dan bertanggung jawab terhadap penyusunan dan

penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang. Penyusunan dan PMK.07/2008 yang secara garis besar dapat disajikan sebagai berikut: a) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, kepala SKPD provinsi atas keuangan daerah; gubernur

penyampaian laporan dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/ nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud keuangan dan barang kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana dekonsentrasi dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran. untuk melaksanakan penggabungan laporan tersebut, gubernur menugaskan/ menetapkan SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah (Koordinator uAPPB-W); (Koordinator uAPPA-W) dan SKPD yang membidangi pengelolaan barang/ kekayaan daerah sebagai Koordinator unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah setiap berakhirnya tahun anggaran; Pelaksanaan APBD kepada DPRD. dan

b)

sebagai Koordinator unit akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah c) Menteri/ pimpinan lembaga yang mengalokasikan dana dekonsentrasi menyampaikan d) laporan pertanggungjawaban keuangan secara tahunan atas pelaksanaan

laporan pertanggungjawaban dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Keuangan

dekonsentrasi oleh gubernur dilampirkan dalam laporan Pertanggungjawaban

b. dana Tugas Pembantuan

Penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang berikut : a) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, Kepala SKPD provinsi
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

atas pelaksanaan Tugas Pembantuan secara garis besar dapat diuraikan sebagai atas nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban
Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-231

b) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, Kepala SKPD kabupaten/ kota atas nama bupati/walikota menyusun dan menyampaikan laporan membidangi pengelolaan keuangan daerah; menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud pertanggungjawaban keuangan dan barang kepada menteri/pimpinan lembaga menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya menugaskan/menetapkan SKPD yang mebidangi pengelolaan keuangan daerah sebagai Koordinator unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran (Koordinator uAPPB-W);

keuangan dan kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana tugas pembantuan, dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah;

c) gubernur

pemberi dana dan tugas pembantuan, dengan tembusan kepada SKPD yang tahun anggaran. untuk melaksanakan penggabungan laporan tersebut, gubernur daerah sebagai Koordinator unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya Wilayah dan

d) Bupati/walikota menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud dan

(Koordinator uAPPA-W) dan SKPD yang membidangi pengelolaan barang/kekayaan

tahun anggaran, dengan tembusan kepada gubernur. untuk melaksanakan penggabungan laporan tersebut, bupati/walikota menugaskan/menetapkan unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah (Koordinator uAPPB-W); Menteri Keuangan setiap berakhirnya tahun anggaran; SKPD yang membidangi pengelolaan barang/kekayaan daerah sebagai Koordinator menyampaikan laporan pertanggungjawaban dimaksud kepada presiden melalui Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD.

SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan daerah sebagai Koordinator unit e) Menteri/ pimpinan lembaga yang mengalokasikan dana Tugas pembantuan f) laporan pertanggungjawaban keuangan secara tahunan atas pelaksanaan tugas

Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (Koordinator uAPPA-W) dan

pembantuan setiap berakhirnya tahun anggaran dilampirkan dalam laporan

VI-232

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Adapun bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban keuangan atas barang dan jasa dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Dana Dekonsentrasi/ Tugas Pembantuan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku,

khususnya Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Sistem Akuntansi

6.2.6. PENGElOlAAN bARANG miliK NEGARA


a. status barang Hasil Pelaksanaan dekonsentrasi Peraturan Pemerintah Nomor. 7 tahun 2008 juga mengamanatkan bahwa semua barang milik negara (BMN). Namun, barang-barang dimaksud sifatnya hanya berupa kepada daerah dan apabila sudah dihibahkan, maka daerah wajib mengelola dan dalam APBD melalui SKPD provinsi yang bersangkutan.

barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan Dana Dekonsentrasi merupakan penunjang dari pelaksanaan Dekonsentrasi, dan SKPD wajib melakukan penatausahaan atas BMN sesuai ketentuan yang berlaku. Barang tersebut dapat dihibahkan menatausahakannya sebagai barang milik daerah (BMD). Konsekuensinya ialah daerah wajib menganggarkan seluruh kebutuhan operasi dan pemeliharaannya di b. status barang dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan Mengingat dana tugas pembantuan digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat

fisik, maka dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya bisa menghasilkan output berupa BMN. BMN yang diperoleh dari hasil pelaksanaan Tugas Pembantuan juga kabupaten/kota sebagai BMD dengan dukungan dana dari APBD yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penghibahan BMN mengikuti Peraturan Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. dapat dihibahkan kepada daerah. Barang yang sudah dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh daerah, dengan konsekuensi bahwa penatausahaan, penggunaan dan pemanfaatan barang tersebut dilaksanakan oleh daerah provinsi/ Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-233

6.3. PEmbiNAAN, PENGAWAsAN dAN PEmERiKsAAN


6.3.1. PEmbiNAAN dAN PENGAWAsAN dEKONsENTRAsi/ TUGAs PEmbANTUAN
berikut: Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2008, pembinaan dan pengawasan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dapat dilaksanakan sesuai ketentuan sebagai pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan dan evaluasi. a) Menteri Negara/Pimpinan lembaga melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur terhadap

b) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penggunaan c) Pembinaan tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan tugas Pembantuan yang meliputi pemberian pedoman, fasilitasi dan bimbingan teknis, serta pemantauan efektivitas pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan serta mengikuti ketentuan yang berlaku bagi APBN.

d) Pengawasan tersebut dilaksanakan dalam rangka pencapaian efisiensi dan

6.3.2. PEmERiKsAAN dANA dEKONsENTRAsi dAN dANA TUGAs PEmbANTUAN


Pemeriksaan atas Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu: keuangan; Pemeriksaan keuangan pemeriksaan yang dapat berupa pemeriksaan atas laporan

VI-234

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain dibidang intern pemerintah. pelaksanaan kegiatan;

yang terdiri dari pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas atas keuangan, pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan atas sistim pengendalian

Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan oleh unit pemeriksaan internal kementerian/lembaga dan/atau unit pemeriksaan Eksternal Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan keuangan, kinerja dan tujuan tertentu berpedoman pada peraturan perundangan-undangan.

6.4. sANKsi

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 diatur bahwa SKPD penerima Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan yang secara sengaja atau lalai tidak kementerian/lembaga dikenakan sanksi berupa: menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan dana dimaksud kepada a). Sanksi penundaan pencairan, apabila SKPD tidak melakukan rekonsiliasi laporan

keuangan dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setempat sesuai Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. i. SKPD tidak

ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi

dan pelaporan keuangan pemerintah Pusat. Pengenaan sanksi penundaan pencairan dimaksud tidak membebaskan SKPD dari kewajiban menyampaikan laporan Dana menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada

b). Penghentian pembayaran dalam tahun berjalan, dapat dilakukan apabila: berjalan; dan/atau

kementerian/lembaga yang memberikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan secara berturut-turut 2 (dua) kali dalam tahun anggaran

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-235

ii.

c). Kementerian/lembaga tidak diperkenankan mengalokasikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan untuk tahun berikutnya apabila SKPD penerima dana dimaksud: i. ii. telah ditetapkan; tidak memenuhi target kinerja pelaksanaan kegiatan tahun sebelumnya yang tidak pernah menyampaikan laporan keuangan dan barang sesuai ketentuan

Inspektorat Jenderal kementerian/lembaga yang bersangkutan, atau aparat pemeriksa fungsional lainnya.

ditemukan adanya penyimpangan dari hasil pemeriksaan BPK, BPKP,

iii. melakukan penyimpangan sesuai hasil pemeriksaan BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal kementerian/lembaga yang bersangkutan atau aparat pemeriksa fungsional lainnya.

yang berlaku pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau

6.5. PERAN KEPAlA dAERAH dAlAm PENYElENGGARAAN dEKONsENTRAsi dAN TUGAs PEmbANTUAN

Berdasarkan butir-butir penjelasan mengenai Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di atas, dapat kita garis bawahi bahwa kepala daerah (gubernur/bupati/ Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan antara kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan baik pada tataran perencanaan, penganggaran maupun walikota) dengan kementerian/lembaga sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan pembinaan dan pengawasan. Pada aspek perencanaan, sinkronisasi pengalokasian

Pemerintah No. 7 Tahun 2008 dilaksanakan sejak tahap penyusunan Renja K/l dan pelaksanaan Musrenbangnas. Selanjutnya, setelah K/l menerima pagu sementara dan meyusun RKA-Kl maka kementerian/lembaga berkewajiban untuk menyampaikan kepada pemerintah daerah tentang indikasi kegiatan Dekonsentrasi atau Tugas
VI-236 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Pembantuan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Pemberitahuan definitif tentang

kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang akan dilaksanakan oleh daerah

disampaikan oleh Kementerian/ lembaga kepada pemerintah daerah dengan Surat Keputusan / Penetapan Menteri/ Pimpinan lembaga berkenaan setelah ditetapkannya Keppres tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP). Selanjutnya sesuai dengan pasal 22 Peraturan Pemerintah tersebut, pada tahap penganggaran, bupati, walikota) melakukan penyiapan perangkat daerah yang akan melaksanakan program dan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Selain itu kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) juga melakukan koordinasi, pengendalian, pembinaan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008. setelah menerima RKA-Kl yang ditetapkan menjadi SAPSK kepala daerah (gubernur,

pengawasan dan pelaporan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

dengan Kementerian/lembaga terkait seperti diatur dalam Pasal 72 dan Pasal 73 Ketentuan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tersebut telah sejalan dengan ketentuan dalam pasal 3 ayat (1) huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan melaksanakan urusan pemerintah yang antara lain meliputi koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ bahwa salah satu peran dan tugas utama gubernur adalah melakukan koordinasi penyelenggaran pemerintahan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Wewenang serta Kedudukan Keuangan gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah

Provinsi, yang menyatakan bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki tugas kota. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2010 dimaksud juga menggaris-bawahi dan sinkronisasi dalam setiap tahap dan dengan seluruh stakeholder agar tujuan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-237

6.6. PENdANAAN URUsAN bERsAmA PUsAT dAN dAERAH


program PNPM Mandiri

Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah merupakan suatu pola baru dalam 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan khususnya dalam pelaksanaan

Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun Sebagaimana diketahui, pendanaan program PNPM Mandiri pada mulanya dialokasikan melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hal tersebut tentu tidak tepat karena dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan hanya digunakan Tahun 2010 dan oleh karenanya dapat didanai bersama dari APBN dan APBD.

sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13

untuk mendanai urusan pusat sehingga tidak diperlukan dana pendamping dari

daerah. Di sisi lain, program PNPM Mandiri ditetapkan sebagai urusan bersama pusat Program PNPM Mandiri merupakan salah satu bagian dari proses pembangunan dimana pemerintah pada hakikatnya, meyakini bahwa pembangunan suatu bangsa masyarakat Indonesia, diseluruh wilayah nusantara. Pembangunan yang bersifat dan pemerataan, atau sering disebut juga sebagai growth with equity. strategi pembangunan yang pro growth, pro job dan pro poor. seyogyanya bersifat inklusif; menjangkau dan mengangkat derajat seluruh lapisan inklusif ini mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan Secara umum, salah satu cara untuk mengantisipasi tantangan pembangunan yang

dan daerah sebagaimana ditegaskan dalam Perpres 13 Tahun 2009 dan Perpres 15

mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan triple track strategy, yaitu inklusif yang merupakan harmonisasi antara keserasian dan keseimbangan, adalah dengan meningkatkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung

untuk

kesinambungan pembangunan nasional yang berdimensi kewilayahan. Dengan sinergi


VI-238 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

tersebut, proses dan hasil pembangunan tidak hanya terjadi pada sekelompok orang

atau pada sedikit daerah/wilayah tertentu saja, namun lebih merata dan menyebar serta tidak terfokus pada wilayah tertentu saja. Issue yang sifatnya crosscutting baik karena sifatnya yang memerlukan koordinasi issue terkait penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dalam rangka menurunkan kinerja pemerintah. Namun tingkat pengangguran dan kemiskinan merupakan salah satu agenda capaian terhadap penciptaan kesempatan kerja. mengingat kemampuan ekonomi untuk menciptakan dan sinkronisasi antar kementerian dan juga tiap tingkatan pemerintahan, seperti lapangan kerja masih terbatas, maka diperlukan strategi kebijakan yang tepat dengan menempatkan prioritas pada sektor-sektor yang mempunyai efek pengganda tinggi Selanjutnya untuk memenuhi capaian kinerja tersebut, mencantumkan salah satu agenda program pembangunan dalam Rencana Kerja maka pemerintah

Pemerintah (RKP) tahun 2010 yaitu pemeliharaan kesejahteraan masyarakat, serta

penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial. Kegiatan yang diprioritaskan untuk menjalankan agenda penanggulangan program kemiskinan dengan melalui upaya peningkatan pembangunan pertanian, pembangunan pedesaan, dan program-program pro rakyat.

tersebut, yaitu penurunan jumlah persentase penduduk miskin menjadi 12.0-13.5 PNPM Mandiri merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, yaitu suatu program yang merupakan harmonisasi dan konsolidasi program-program pemberdayaan masyarakat yang diperlukan untuk Mandiri tersebut telah dimulai pada tahun 2007.

persen pada tahun 2010 dibandingkan pada tahun 2009 yang sebesar 14,15 persen

mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan

kerja. Harmonisasi dan konsolidasi program-program penanggulangan kemiskinan yang tersebar di beberapa kementerian/lembaga ke dalam satu program PNPM

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-239

Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Bappenas, dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan, alokasi anggaran untuk program PNPM Mandiri terus ditingkatkan dalam beberapa tahun terakhir. dan PNPM Mandiri Perdesaan, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD, pada berturut-turut meningkat menjadi Rp6,69 triliun dan Rp11,01 triliun. Sementara pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan menjadi Rp11,83 triliun. berikut ini.

Alokasi anggaran Bantuan langsung Masyarakat (BlM) PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2007 adalah sebesar Rp3,84 triliun, kemudian pada tahun 2008 dan tahun 2009

Data dari Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan juga menunjukan

trend yang meningkat pada alokasi dana PNPM, sebagaimana terlihat pada Tabel 6.1

VI-240

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Per lokasi (Se-Provinsi*) Tahun 2008-2009


(Miliar Rp)

Rekapitulasi Alokasi Dana PNPM

Tabel 6. 1

Keterangan - Sumber data : DJA RKA/Kl 2008-2009; Se-Provinsi = Konsolidasi Provinsi dan Kab/Kota di Provinsi bersangkutan - DK = Dekosentrasi. KP = Kantor Pusat, KD = Kantor VErtikal. TP = Tugas Pembantuan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal VI-241

Pelengkap Buku Pegangan 2010

Namun demikian, pelaksanaan program PNPM Mandiri tersebut hingga tahun 2009 masih menemui beberapa kendala, utamanya dalam aspek pendanaan. Sebagaimana Mandiri Perdesaan memiliki karakteristik tertentu yaitu: pemerintah daerah; sebutan apapun yang bersumber APBD; Sosial; diketahui, program PNPM Mandiri, khususnya PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM urusan yang ditangani merupakan urusan bersama pemerintah pusat dan Dana cost-sharing tersebut diikat dalam naskah kesepahaman;

Mensyaratkan cost-sharing atau dana pendamping dari Daerah dalam bentuk Mendanai kegiatan yang bersifat Bantuan langsung kepada Masyarakat; dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jenis belanja yang dialokasikan lebih dominan dipenuhi dengan Belanja Bantuan

Sementara itu fund chanelling yang digunakan saat itu adalah mekanisme dana 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dan Peraturan Menteri Keuangan Dana Tugas Pembantuan disebutkan bahwa kegiatan yang didanai melalui mekanisme Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan adalah: Pusat; dan gubernur/bupati/walikota untuk TP; membebani APBD;

Hal ini tentu saja belum tepat, karena sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun

Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Kegiatan yang merupakan urusan yang ditangani merupakan urusan Pemerintah Kegiatan dilaksanakan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat untuk Dekon Kegiatan bersifat Non Fisik untuk Dekon dan Fisik untuk TP; penugasan sebagai dasar pelaksanaan TP. Tidak diperkenankan mensyaratkan dana pendamping atau sebutan lain yang Menggunakan surat pelimpahan sebagai dasar pelaksanaan Dekon dan surat
VI-242 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Dengan demikian, aspek legalitas dalam penyediaan sharing pendanaan dari pemerintah daerah dalam pendanaan PNPM Mandiri pun perlu untuk terus tetap meneruskan pola pendanaan melalui mekanisme Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan maka Pendanaan yang ada; disempurnakan. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa apabila PNPM Mandiri

Pendanaan urusan Bersama terhadap program penanggulangan kemiskinan Pendanaan urusan Bersama dinyatakan tidak transparan dan akuntabel; pemeriksaaan oleh BPK

laporan Keuangan Pemerintah Pusat menjadi Disclaimer pada saat dilakukan Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, pada tanggal 27 Maret 2009, Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan payung APBD. hukum bagi penanganan urusan bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam

(PNPM Mandiri) menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan ketentuan

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang kemudian diubah dengan Perpres 15

penanggulangan kemiskinan. Dalam Pasal 34 dan Pasal 36 Perpres 13 Tahun 2009 Selanjutnya berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Anggota Tim Koordinasi

tersebut diatur sistem pendanaan urusan bersama yang bersumber dari APBN dan Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Nasional, Melalui Surat Nomor B.122/MENKo/ KESRA/VI/2009 tanggal 12 Juni 2009, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua TKPK menugaskan Menteri Keuangan untuk menyiapkan aturan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004. pelaksanaan tentang Pendanaan urusan Bersama Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, dan menambah 1 (satu) kode tingkat kewenangan pelaksanaan kegiatan (diluar KP, KD, DK, TP) yang selama ini belum diakomodir di

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-243

Dalam rangka melaksanakan Peraturan Presiden tersebut diatas Menteri Keuangan tata cara pengelolaan dana program Nasional penanggulangan kemiskinan khususnya

selaku Pengelola Fiskal dan Bendahara umum Negara perlu mengatur penyediaan dan mengenai Dana urusan Bersama pusat dan daerah. Sesuai dengan hal tersebut, maka Pedoman Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, yang hanya diperuntukkan bagi pendanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan, dimaksud juga merupakan upaya untuk menyempurnakan mekanisme pendanaan yang digunakan untuk program PNPM Mandiri selama ini.

dengan ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2009 tentang pemerintah telah memberikan dasar hukum bagi daerah untuk menyediakan dana Daerah untuk urusan Bersama (DDuB). Disamping itu Peraturan Menteri Keuangan

pendamping dari APBD untuk program PNPM Mandiri atau yang disebut Dana

6.6.1. PENGERTiAN PENdANAAN URUsAN bERsAmA PUsAT dAN dAERAH


Urusan Bersama Pusat dan Daerah dapat didefinisikan sebagai urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, Kabupaten/Kota. Seperti telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya, urusan bersama pusat dan daerah difokuskan untuk penanggulangan kemiskinan yang merupakan kebijakan dan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan Lebih spesifik pada aspek pendanaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendanaan urusan Bersama adalah pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD yang digunakan untuk mendanai program/kegiatan bersama Pusat dan daerah untuk
VI-244 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan sumber pendanaannya, dibedakan menjadi singkat mengenai hal tersebut.

Dana urusan Bersama yang selanjutnya disebut DuB, yaitu dana yang bersumber dari

APBN; serta Dana Daerah untuk urusan Bersama yang selanjutnya disebut DDuB, yaitu dana yang bersumber dari APBD. gambar dibawah ini memberikan penjelasan Sumber Pendanaan urusan bersama gambar 6. 3

6.6.2. PRiNsiP-PRiNsiP PENdANAAN URUsAN bERsAmA PUsAT dAN dAERAH


Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/ PMK.07/2009 Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, di lakukan sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-245

Pendanaan urusan Bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan dapat didanai Dalam hal Program Penanggulangan Kemiskinan didanai bersama pendanaan yang melalui SKPD dalam bentuk DDuB. Daerah. dari APBN, APBD, dan/atau didanai bersama APBN dan APBD.

Pendanaan dilakukan setelah adanya kesepakatan kedua belah pihak yang Pengelolaan DuB dan DDuB dilakukan dengan prinsip tertib, taat pada peraturan jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. dituangkan dalam naskah perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintahan

bersumber dari APBN dialokasikan melalui bagian anggaran kementerian/lembaga

dalam bentuk DuB dan pendanaan yang bersumber dari APBD dialokasikan

Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. yang komponen bantuan langsung masyarakatnya adalah belanja bantuan sosial.

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung ditujukan untuk kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis

Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan dirinci dalam bentuk kegiatan

6.6.3. PERENCANAAN dAN PENGANGGARAN dANA URUsAN bERsAmA PUsAT dAN dAERAH

Sesuai definisi dan prinsip pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dapat dikemukakan bahwa Dana urusan Bersama Pusat dan Daerah merupakan bagian anggaran kementerian/lembaga dan anggaran pemerintah daerah yang dialokasikan kemiskinan. Terkait dengan hal tersebut, sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri
VI-246 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

untuk mendanai program dan kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan

Keuangan Nomor 168/PMK.07/2009 terhadap proses perencanaan dan penganggaran berlaku ketentuan sebagai berikut: Perencanaan Program Penanggulangan Kemiskinan merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Penanggulangan Kemiskinan Nasional/ Provinsi/ Kabupaten/Kota. wajib mengacu pada RKP dan dituangkan dalam Renja-Kl memberitahukan indikasi Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan dikoordinasikan oleh Tim Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan yang akan didanai dari APBN Kementerian/lembaga Penanggulangan Kemiskinan yang akan diselenggarakan bersama antara pusat dan daerah kepada kepala daerah paling lambat pertengahan bulan Juni atau Penanggulangan Kemiskinan tingkat Nasional. dituangkan dalam naskah perjanjian. Program/Kegiatan

Pemberitahuan tentang indikasi program tersebut, disertai dengan informasi Menteri/Pimpinan lembaga dan Kepala Daerah menandatangani naskah perjanjian penyelenggaraan urusan bersama pusat dan daerah untuk program Pemerintah Pusat. memuat: a. c. b. penanggulangan kemiskinan paling lambat minggu pertama bulan Desember atau setelah ditetapkannya Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja subyek kerja sama; bersama; mengenai ketentuan/persyaratan penyelenggaraan urusan bersama yang akan

setelah ditetapkannya pagu sementara dengan tembusan kepada Ketua Tim terkait

Naskah perjanjian penyelenggaraan urusan bersama sekurang-kurangnya

d.

rincian alokasi dan lokasi dana program/ kegiatan yang diselenggarakan sumber dan besaran pendanaan; penetapan penanggungjawab dalam pengelolaan DuB;

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-247

Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan yang akan didanai dari APBD Dalam hal pemberitahuan indikasi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). wajib mengacu pada RKPD dan dituangkan dalam Renja-SKPD.

e. f.

kepada kementerian/ lembaga; dan jangka waktu kerja sama.

klausul komitmen daerah untuk tertib pelaporan keuangan DuB oleh daerah

tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah, Kepala Daerah meneruskan

Kepala Daerah menyampaikan usulan nama SKPD yang akan melaksanakan Dalam hal pemberitahuan indikasi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dapat menolak pelaksanaan program/kegiatan dimaksud. daerah, serta indikator teknis. program/kegiatan Penangulangan Kemiskinan kepada Kementerian/lembaga. tersebut diatas tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah, kepala daerah

indikasi program/kegiatan dimaksud kepada SKPD sebagai bahan penyusunan

Renja-SKPD dan rencana penyediaan DDuB, serta pembahasan dengan Dewan

Rencana daerah penyelenggara urusan Bersama Pusat Dan Daerah untuk

Kemampuan keuangan negara dimaksudkan bahwa pengalokasian DuB untuk Secara umum, proses tersebut diatas dapat dijelaskan dalam gambar siklus dibawah ini. program/kegiatan penanggulangan kemiskinan disesuaikan dengan kemampuan APBN melalui bagian anggaran Kementerian/lembaga.

Penanggulangan Kemiskinan dan alokasi anggaran DuB disusun dengan

mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, indeks fiskal dan kemiskinan

VI-248

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Proses Perencanaan dan Penganggaran urusan Bersama

gambar 6.4

6.6.4. dAlAm

iNdEKs RANGKA

fisKAl

dAN

KEmisKiNAN PENdANAAN

dAERAH URUsAN

PERENCANAAN

bERsAmA PUsAT dAN dAERAH UNTUK PENANGGUlANGAN KEmisKiNAN


Salah satu perwujudan dari upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam penguatan

sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, adalah dengan tanggal 9 Maret 2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Kemiskinan TA 2011. Peraturan Menteri Keuangan tersebut merupakan pengaturan Perencanaan Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan 168/
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

disusun dan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010

PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk
Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-249

Penanggulangan Kemiskinan, yang menyatakan bahwa Indeks fiskal dan kemiskinan daerah disusun dan ditetapkan oleh Menkeu, serta disampaikan kepada Bappenas dan K/l penyelenggara urusan bersama untuk penanggulangan kemiskinan dengan Renja-Kl. mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, serta proporsional dalam pendanaan pendanaan urusan bersama agar tepat sasaran dan tujuan yang nantinya diharapkan urusan Bersama (DuB). tembusan kepada TKPK Nasional paling lambat Bulan Maret sebelum penyusunan Secara umum Peraturan Menteri Keuangan tersebut bertujuan untuk

urusan bersama; serta mendukung K/l penyelenggara dalam merencanakan

akan bermuara pada peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan Dana Proses penyusunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010 dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu : A. yaitu: formulasi indeks fiskal dan Kemiskinan daerah

Formulasi indeks fiskal dan kemiskinan daerah dilakukan melalui 4 (empat) tahap, 1. Penghitungan Ruang Fiskal Daerah b. c. belanja wajib; a. Penghitungan ruang fiskal daerah dilakukan dengan menghitung besaran Besaran kemampuan keuangan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah dan lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah; Dana Penyesuaian, dan Dana otonomi Khusus.; fiskal daerah riil per kapita; dan kemampuan keuangan daerah dan Transfer ke Daerah dikurangi dengan

d. Hasil penghitungan ruang fiskal daerah tersebut dibagi dengan jumlah e. Penghitungan ruang fiskal daerah didasarkan data anggaran Tahun 2008.
VI-250 DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi agar tercermin kemampuan

Besaran Transfer ke Daerah meliputi Dana Alokasi umum, Dana Bagi Hasil,

2. Penghitungan Indeks Fiskal Daerah

3. Penghitungan Indeks Kemiskinan Daerah; a. b.

Penghitungan Indeks Fiskal Daerah dilakukan dengan menghitung ruang fiskal masing-masing daerah dibagi dengan rata-rata ruang fiskal seluruh daerah. Penghitungan Indeks Kemiskinan Daerah dilakukan dengan menghitung rata-rata persentase jumlah penduduk miskin seluruh daerah (nasional); dan terakhir.

Persentase jumlah penduduk miskin tersebut adalah persentase jumlah penduduk miskin berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun

persentase jumlah penduduk miskin masing-masing daerah dibagi dengan

4. Pengkaitan Indeks Fiskal dengan Indeks Kemiskinan Daerah. a. kuadran.

Pengkaitan Indeks Fiskal dengan Indeks Kemiskinan Daerah dilakukan dengan Daerah masing-masing sebagai sumbu tegak dan sumbu mendatar dalam peta dalam 4 (empat) kelompok, sebagai berikut:

b.

i.

Berdasarkan hasil pengkaitan tersebut, daerah sasaran dikelompokkan ke penduduk miskinnya di atas rata-rata nasional; nasional;

mengkaitkan hasil penghitungan Indeks Fiskal Daerah dan Indeks Kemiskinan

ii.

Kelompok 1 adalah daerah yang indeks fiskal dan indeks persentase nasional, namun indeks persentase penduduk miskinnya di atas rata-rata penduduk miskinnya di bawah rata-rata nasional; dan rata nasional. Kelompok 2 adalah daerah yang indeks fiskalnya di bawah rata-rata

iii. iv.

Kelompok 4 adalah daerah yang indeks fiskalnya di atas rata-rata nasional, namun indeks persentase penduduk miskinnya di bawah rata-

Kelompok 3 adalah daerah yang indeks fiskal dan indeks persentase

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-251

b.

formulasi Penghitungan Persentase besaran Penyediaan

ddUb Per Kelompok dan Per daerah kemiskinan daerah, dengan rincian tingkatan: menyediakan DDuB Sangat Tinggi;

DDUB yang harus disediakan oleh daerah disesuaikan dengan indeks fiskal dan Kelompok 1 adalah daerah yang indeks ruang fiskal dan indeks persentase Kelompok 2 adalah daerah yang indeks ruang fiskalnya di bawah rata-rata Kelompok 3 adalah daerah yang indeks ruang fiskal dan indeks persentase Kelompok 4 adalah daerah yang indeks ruang fiskalnya di atas rata-rata nasional, Persentase untuk menentukan besaran penyediaan DDuB untuk masing-masing Skema berikut memberikan gambaran mengenai alur pikir formulasi indeks fiskal dan kemiskinan daerah. tingkatan tersebut ditetapkan lebih lanjut melalui Keputusan Ketua TKPK Nasional atau berdasarkan pertimbangan Menteri Keuangan. namun indeks persentase penduduk miskinnya di bawah rata-rata nasional (IRFD> 1, IPPMD < 1);menyediakan DDuB Tinggi. penduduk miskinnya di bawah rata-rata nasional (IRFD < 1, IPPMD < 1); menyediakan DDuB Rendah; dan nasional, namun indeks persentase penduduk miskinnya di atas rata-rata nasional (IRFD < 1, IPPMD > 1); menyediakan DDuB Sedang; penduduk miskinnya di atas rata-rata nasional (IRFD dan IPPMD > 1);

VI-252

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

Alur Pikir Formulasi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah

gambar 6.5

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168

6.6.5. PENCAiRAN dAN PENYAlURAN


berikut :

tahun 2009, pencairan dan penyaluran DuB dan DDuB mengikuti ketentuan sebagai dalam pembayaran atas beban APBN, sedangkan ketentuan lebih lanjut diatur dengan Perdirjen Perbendaharaan; atau lembaga partisipatif masyarakat dalam bentuk uang;

1. Pencairan DuB secara umum dilakukan sesuai dengan mekanisme yang berlaku 2. DuB disalurkan secara langsung kepada masyarakat, kelompok masyarakat dan/ 3. DuB yang telah ditransfer ke rekening masyarakat, kelompok masyarakat dan/atau selambat-lambatnya 3 bulan setelah tahun anggaran bersangkutan berakhir.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

lembaga partisipatif masyarakat harus telah dimanfaatkan sesuai dengan rencana

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-253

4. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut di atas, dana tersebut belum 5. Mekanisme pencairan dan penyaluran DDuB berpedoman pada peraturan yang dan mengatur mengenai pengelolaan keuangan daerah.

dimanfaatkan maka dana tersebut harus disetorkan ke Rekening Kas umum Negara;

6.6.6 PElAPORAN dAN PERTANGGUNGjAWAbAN


DuB dan DDuB yaitu : a. c. b. Neraca;

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 tahun 2009 Bab VI Pasal 16 sampai DDuB) wajib menyusun laporan Keuangan berupa: laporan Realisasi Anggaran; dan Catatan atas laporan Keuangan.

dengan Pasal 18 diuraikan ketentuan mengenai Pelaporan dan Pertanggungjawaban

1. SKPD yang menjadi pelaksana kegiatan penanggulangan kemiskinan (DuB dan

2. Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan DuB mengacu pada 3. Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan DDuB mengacu ketentuan peraturan mengenai pengelolaan keuangan daerah dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah; dan dalam laporan Pertanggungjawaban APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas DuB dan DDuB. Peraturan Menteri Keuangan tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;

4. Kepala daerah melampirkan laporan keuangan tahunan atas pelaksanaan DuB Selanjutnya dalam Bab VIII Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan

6.6.7 PEmbiNAAN

tersebut menyebutkan bahwa pembinaan DuB dan DDuB adalah meliputi :

1. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional melakukan koordinasi

pembinaan terhadap efektivitas pelaksanaan urusan bersama pusat dan daerah

VI-254

DanaDekonsentrasidanTugasPembantuan

2. Bappenas melakukan pembinaan terhadap efektivitas perencanaan dan pelaksanaan program; efektivitas pengelolaan kegiatan urusan bersama untuk penanggulangan kemiskinan; efisiensi dan efektivitas alokasi anggaran; pelaksanaan anggaran; dan informasi.

untuk penanggulangan kemiskinan sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan sekali;

3. Menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah melakukan pembinaan terhadap 4. Menteri Keuangan melakukan pembinaan terhadap pengelolaan DuB dalam hal:

5. Kepala daerah melakukan pembinaan terhadap efisiensi dan efektivitas pengelolaan

6.6.8 PENGAWAsAN

Sedangkan pengawasan DuB dan DDuB adalah sebagai berikut : sekali;

DDuB.

penyusunan indeks fiskal dan kemiskinan di daerah dan pengelolaan

1. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional melakukan koordinasi untuk penanggulangan kemiskinan sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan pengendalian atas efektivitas pengelolaan kegiatan urusan bersama untuk penanggulangan kemiskinan; keuangan DuB; keuangan DDuB; dan

2. Menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah melakukan pengawasan dan 3. Menteri Keuangan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaporan 4. Kepala daerah melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaporan pengelolaan DuB dan DDuB.

pengawasan dan pengendalian terhadap efektivitas pelaksanaan urusan bersama

5. Pengawasan dilaksanakan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VI-255

bAb Vii sistem informasi Keuangan daerah

VII-258

SistemInformasiKeuanganDaerah

bAb Vii sisTEm iNfORmAsi KEUANGAN dAERAH

7.1. PENdAHUlUAN

Dalam kehidupan bernegara yang semakin terbuka, pemerintah pusat selaku perumus dan pelaksanaan kebijakan APBN berkewajiban untuk terbuka dan bertanggung jawab kepada masyarakat luas, termasuk didalamnya adalah informasi keuangan pemanfaatannya secara luas, hal tersebut membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengakses, mengelola dan mendayagunakan informasi secara cepat dan akurat mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif. terhadap seluruh hasil pelaksanaan pembangunan. Salah satu bentuk tanggung jawab

tersebut diwujudkan dengan menyediakan informasi keuangan yang komprehensif

daerah. Dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat serta potensi untuk lebih mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih, transparan, dan serta untuk menindaklanjuti terselenggaranya proses pembangunan yang sejalan dengan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan dan memanfaatkan daerah, dan menyalurkan informasi keuangan daerah kepada pelayanan publik. akses antarunit kerja.

prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance), pemerintah pusat dan kemajuan teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuan mengelola keuangan Pemerintah pusat perlu mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk membangun jaringan sistem informasi manajemen dan proses kerja yang

memungkinkan pemerintahan bekerja secara terpadu dengan menyederhanakan

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-259

Sejalan dengan arah kebijakan pemerintah pusat untuk mewujudkan pemerintahan dan akuntabel. Partisipasi dilakukan antara lain melalui pembahasan anggaran yang bersangkutan. Sedangkan transparansi antara lain diwujudkan dengan

yang baik (good governance), maka penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah adalah partisipasi, transparansi,

Daerah (SIKD) menjadi semakin penting. Tiga pilar utama pemerintahan yang baik masyarakat. Akuntabel dilakukan dengan mempertanggungjawabkan seluruh penyediaan data melalui penyelenggaraan SIKD. Penyelenggaraan SIKD ini telah Keuangan Daerah.

daerah (APBD) antara kepala daerah dengan DPRD dengan melibatkan komponen pengelolaan keuangan oleh kepala daerah kepada DPRD dan masyarakat di daerah 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

mempunyai landasan hukum yang memadai yaitu undang-undang Nomor 33 Tahun Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi

7.2. TUjUAN sisTEm iNfORmAsi KEUANGAN dAERAH

SIKD di tingkat daerah diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah daerah yang dikenal dengan nama Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD). Pemerintah pusat menyelenggarakan SIKD secara nasional sebagai: 1. bahan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional; daerah, pengendalian defisit anggaran; dan anggaran daerah. 2. bentuk penyajian informasi keuangan daerah secara nasional;

SIKD yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat disebut dengan SIKD Nasional.

3. bahan kebijakan keuangan daerah, seperti alokasi dana perimbangan, pinjaman 4. alat untuk melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan

desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, pinjaman daerah, dan defisit

VII-260

SistemInformasiKeuanganDaerah

Sementara fungsi dari penyelenggaraan SIKD secara nasional adalah untuk: 1. penyusunan standar informasi keuangan daerah; 2. penyajian informasi keuangan daerah kepada masyarakat ; 3. penyiapan rumusan kebijakan teknis penyajian Informasi; 5. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan SIKD; pertukaran informasi; dan pemerintah.

4. penyiapan rumusan kebijakan teknis di bidang teknologi pengembangan SIKD;

6. pembakuan SIKD yang meliputi prosedur, pengkodean, peralatan, aplikasi, dan

7. integrasi jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi antarinstansi berkualitas, yaitu relevan, akurat, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat membantu pengambilan kebijakan di bidang perimbangan keuangan data yang digunakan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan. Data jadwal perumusan kebijakan. antara pusat dan daerah dengan baik dan tepat sasaran. Relevan dimaksudkan bahwa sebenarnya. Dan tepat waktu artinya data yang dibutuhkan tersedia sesuai dengan

Penyelenggaraan SIKD secara terpadu diharapkan dapat menghasilkan data yang

yang akurat dimaksudkan bahwa data yang diperoleh menggambarkan kondisi yang

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-261

Hubungan antara SIPKD dengan SIKD Nasional

gambar 7.1

7.3. jENis iNfORmAsi

Pemerintah daerah menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan daerah perundang-undangan lainnya. b. Neraca pemerintah daerah; c. laporan Arus Kas;
VII-262

kepada pemerintah pusat berdasarkan prinsip-prinsip relevan, akurat, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bentuk dan format laporan yang disampaikan keuangan daerah kepada pemerintah pusat yang mencakup: a. APBD dan realisasi APBD provinsi, kabupaten, dankota; Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

daerah harus berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan dan peraturan

Nomor 56 Tahun 2005, pemerintah daerah diwajibkan menyampaikan informasi

SistemInformasiKeuanganDaerah

d. Catatan Atas laporan Keuangan pemerintah daerah; e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan; f. laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan g. Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. selama satu tahun anggaran.

APBD. laporan APBD menyajikan informasi mengenai rencana keuangan tahunan

pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Realisasi APBD. laporan ini menyajikan informasi perbandingan antara realisasi dengan anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan setiap fungsi dan organisasi aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada akhir tahun anggaran.

Neraca. Neraca menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah daerah mengenai laporan Arus Kas. laporan ini menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasional, investasi dan pembiayaan yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran dan saldo akhir kas pemerintah daerah selama satu tahun anggaran. realisasi APBD, neraca, dan laporan arus kas. Catatan Atas laporan Keuangan. Catatan atas laporan keuangan menyajikan informasi yang meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam laporan mengenai pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. keuangan perusahaan yang ada di daerah bersangkutan.

Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. laporan ini menyajikan informasi

laporan keuangan perusahaan daerah. laporan ini menyajikan informasi mengenai

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-263

Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Data yang termasuk didalamnya, antara lain jumlah penduduk, luas wilayah, pendapatan asli daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

7.4. PENYAmPAiAN iNfORmAsi dAN sANKsi

Penyampaian informasi keuangan daerah oleh pemerintah daerah kepada pemerintah yang mampu menjamin pengamanan dan keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya disket atau Compact Disc (CD). informasi keuangan daerah adalah sebagai berikut: berkenaan; Perubahan APBD tahun berkenaan; semester yang bersangkutan;

pusat dilakukan secara berkala melalui dokumen tertulis dan media lainnya Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005, batas waktu penyampaian 1). APBD setiap tahun anggaran paling lambat tanggal 31 Januari tahun anggaran yang 2). Perubahan APBD paling lambat disampaikan 30 hari setelah ditetapkannya 3). laporan Realisasi APBD per semester paling lambat 30 hari setelah berakhirnya 4). laporan Realisasi APBD paling lambat tanggal 31 Agustus tahun berikutnya; tanggal 31 Agustus tahun anggaran berikutnya; berikutnya; dan

5). Neraca, laporan Arus Kas, Catatan Atas laporan Keuangan daerah paling lambat 6). Informasi mengenai dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, laporan keuangan Perusahaan Daerah paling lambat tanggal 31 Agustus tahun anggaran dan data lainnya disampaikan paling lambat sesuai dengan Surat Permintaan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

7). Data yang berkaitan dengan perhitungan dana perimbangan seperti data pegawai

VII-264

SistemInformasiKeuanganDaerah

Dalam tingkatan tertentu belanja pemerintah cukup berperan dalam mendorong kegiatan ekonomi di masyarakat. Apabila penetapan APBD terlambat akan menyebabkan terlambatnya penyerapan dana anggaran di daerah sehingga dapat Keuangan.

menghambat jalannya pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. oleh karena itu, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah agar dapat menetapkan APBD secara tepat waktu dan segera menyampaikan APBD tersebut kepada Kementerian Mengingat pentingnya peran data dan informasi mengenai keuangan daerah, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud. Sanksi tersebut adalah:

Nomor 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah diatur mengenai sanksi atas keterlambatan penyampaian data dan informasi 1. Dalam hal pemerintah daerah tidak menyampaikan data dan informasi tentang keuangan daerah (perda APBD) hingga 1 (Satu) bulan setelah batas waktu yang Jenderal Perimbangan Keuangan; dan

2. Apabila hingga 2 (dua) bulan setelah diterbitkannya peringatan tertulis pemerintah daerah belum menyampaikan data dan informasi tentang keuangan 25 persen dari jumlah DAu yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran keuangan daerah dapat dilihat pada gambar 7.2). daerah dimaksud, maka Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. berjalan sampai dengan disampaikannya data dan informasi tentang keuangan daerah. (Mekanisme pengenaan sanksi atas keterlambatan penyampaian informasi Sanksi yang ditetapkan adalah penundaan penyaluran dana perimbangan sebesar

ditetapkan, maka diberi peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan c.q Direktur

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-265

Bagan Alir Pengenaan Sanksi

gambar 7.2

Terkait dengan penyampaian informasi keuangan daerah dalam hal ini laporan Realisasi APBD, penyusunan laporan keuangan di daerah tidak hanya melibatkan para pejabat pengelola keuangan saja. Hal ini mengingat bahwa laporan keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Dengan mempertimbangkan segala aspek hingga menghasilkan laporan akhir, maka penyampaian laporan keuangan ditetapkan akhir Agustus. tahunan yang disampaikan kepala daerah kepada DPRD terlebih dahulu di periksa disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan dari penyiapan oleh pemerintah daerah, pemeriksaan, pembahasan hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). laporan pertanggungjawaban tersebut harus

VII-266

SistemInformasiKeuanganDaerah

Pada akhirnya diharapkan agar penerapan sanksi ini dapat mendorong semua pihak yang terkait dengan pengambilan kebijakan dan pelaksanaan di bidang pengelolaan dalam peraturan perundang-undangan.

keuangan daerah melakukan kewajiban dan kewenangan sesuai jadwal yang diatur

7.5 mObilE fisKAl dAERAH (mOfisdA)

undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilakukan secara proporsional, untuk menjaga agar amanat tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka harus keuangan maupun indikator lain yang terkait. gambar 7.3.

demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan

kebutuhan daerah, serta besaran dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.

dilakukan monitoring dan evaluasi secara komprehensif terhadap berbagai indikator Halaman Depan moFisda - Peta Kapasitas Fiskal

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-267

guna menunjang pelaksanaan monitoring dan evaluasi pendanaan daerah telah

dibangun web based Executive Dashboard yang terkoneksi secara online ke database daerah atau disingkat menjadi moFisda merupakan suatu sistem aplikasi berbasis

keuangan daerah. web based Executive Dashboard selanjutnya disebut mobile fiskal web yang dapat diakses oleh pimpinan dan pejabat terkait di lingkungan Kementerian Keuangan (eksekutif) di mana saja dengan menggunakan teknologi jaringan internet. disajikan secara real time. Dengan demikian, diharapkan dapat memudahkan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebijakan desentralisasi fiskal.. boks 7.1 Melalui moFisda, informasi mengenai peta fiskal daerah secara nasional dapat

Mobile Fiskal Daerah (moFisda) merupakan Web Based Executive Dashboard yang bertujuan untuk memberikan informasi peta fiskal daerah secara nasional dengan real time dari pusat database keuangan daerah yang digunakan pimpinan dalam proses pengambilan keputusan (executiveinformationsystem). Dalam pengembangan moFisda dititikberatkan pada visualisasi informasi secara sederhana dan informatif, yaitu meliputi data Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Transfer Ke Daerah, Pinjaman dan Hibah, Keuangan Daerah, Belanja Pusat di Daerah dan Data Dasar Perhitungan DAU. Selain itu, moFisda juga menyajikan indikator-indikator ekonomi yang disajikan dalam bentuk peta, yaitu Peta Kapasitas Fiskal, Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Peta Tingkat/ Proporsi Penduduk Miskin, Peta Ketertinggalan Daerah, Peta Tingkat Inflasi Daerah, Peta Tingkat Pengangguran, Peta Pembatalan dan Revisi Perda, Peta Penolakan dan Revisi Raperda. moFisda dapat diakses secara terbatas oleh pimpinan di lingkungan Kementerian Keuangan. Dengan informasi dari moFisda yang memiliki ciri CompleTe,Reliable,Upto date,Secure,danAccuraTe (TRUST) diharapkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perimbangan keuangan yang transparan dan akuntabel dapat diwujudkan.

Agar setiap kebijakan yang diputuskan oleh pimpinan sesuai dengan koridor hukum dalam memanfaatkan fasilitas moFisda, maka pengembangan moFisda dititikberatkan
VII-268 SistemInformasiKeuanganDaerah

yang berlaku, maka database keuangan daerah yang ada dalam moFisda saat ini

dibentuk dengan bercirikan CompleTe, Reliable, Up to date, Secure, dan Accurate atau secara sederhana disingkat dengan TRuST. Selain itu, untuk memudahkan pimpinan

pada visualisasi informasi yang sederhana namun informatif. Informasi yang ditampilkan dalam moFisda meliputi: dan Peta APBD; 1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang berisi informasi mengenai Kerangka Pajak & Retribusi, Evaluasi Raperda Pajak & Retribusi; Dana otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian; Kas; Hubungan Pusat Daerah, Proporsi Belanja APBN Pusat Daerah, Distribusi Transfer,

2. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berisi informasi mengenai Evaluasi Perda

3. Transfer ke Daerah yang berisi informasi mengenai DBH Pajak, DBH SDA, DAu, DAK,

4. Keuangan Daerah yang berisi informasi mengenai APBD, Neraca, dan laporan Arus 5. Belanja Pusat di Daerah yang berisi informasi mengenai Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan Dana Vertikal di Daerah; jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Kemahalan Konstruksi (IKK), dan Inflasi; dan Belanja Pusat di Daerah, dan Data Dasar.

6. Data Dasar yang berisi informasi mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, PDRB, 7. Peta Distribusi yang berisi informasi mengenai Proporsi Alokasi Belanja APBN, Peta Fiskal Daerah, Transfer Ke Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, APBD,

7.6 WEbsiTE sisTEm iNfORmAsi KEUANGAN dAERAH

Sebagai salah satu pilar pelaksanaan good governance terkait dengan transparansi penyajian informasi kepada publik, maka pemerintah pusat menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) secara nasional. Salah satu wujud pelaksanaan melalui website di alamat http://www.djpk.depkeu.go.id. Dengan adanya website
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

SIKD Nasional adalah dengan menyelenggarakan publikasi informasi secara online


VII-269

ini diharapkan terdapat kecepatan penyampaian informasi kepada publik untuk mendukung transparansi dan good governance dapat tercapai. Fitur Website DJPK gambar 7.4

Ada beberapa output yang dapat diakses publik melalui Website ini, yaitu antara lain: 1. Pusat informasi perimbangan keuangan dan desentralisasi fiskal; keuangan;

2. Referensi peraturan terbaru terkait dengan kebijakan di bidang perimbangan 4. Pusat informasi Perda dan Raperda; dan 5. Pusat data keuangan daerah (APBD) Dana Alokasi umum, Dana Penyesuaian, dan Dana otonomi Khusus);

3. Pusat informasi jumlah Transfer ke Daerah (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus,

Oleh karena itu agar dapat mempercepat penyampaian SIKD secara nasional, fitur Website dikelompokan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu:
VII-270 SistemInformasiKeuanganDaerah

1. Sistem Informasi Transfer Ke Daerah; 2. Informasi Peraturan Daerah; 3. Data Keuangan Daerah; dan 4. Peraturan Perundang-undangan di bidang Perimbangan Keuangan. Website dikelompokan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1. Sistem Informasi Transfer Ke Daerah; 2. Informasi Peraturan Daerah; 3. Data Keuangan Daerah; dan

Oleh karena itu agar dapat mempercepat penyampaian SIKD secara nasional, fitur

4. Peraturan Perundangan Perimbangan Keuangan.

7.7 sisTEm KONfiRmAsi TRANsfER KE dAERAH


diatur dalam

Dalam rangka mendukung percepatan pelaksanaan Transfer ke Daerah sebagaimana

Pelaksanaan Transfer ke Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan telah telah melakukan bimbingan teknis kepada 2 orang pejabat/staf seluruh pemerintah daerah (total 1020 pegawai) . http://www.djpk.depkeu.go.id/transfer

mengeluarkan aplikasi Sistem Konfirmasi Transfer ke Daerah, dan pada tahun 2009 Aplikasi Sistem Konfirmasi Transfer ke Daerah dapat diakses pada situs internet

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-271

VII-272

Halaman depan Sistem Konfirmasi Transfer ke Daerah

gambar 7. 5

SistemInformasiKeuanganDaerah

Beberapa manfaat dari aplikasi ini antara lain :

1. Mendapatkan informasi secara online berkenaan dengan dana dan jenis transfer 2. Mempercepat konfirmasi penerimaan dana transfer oleh daerah; dan 3. Membuat laporan realisasi pelaksanaan transfer DAK. Fitur aplikasi dapat dikelompokkan dalam : setiap tahun; cadangan; yang diterima di Rekening Kas umum Daerah;

1. Data Alokasi Transfer : berisi informasi tentang besaran alokasi Transfer ke Daerah sudah ditransfer ke Rekening Kas umum Daerah;

2. Data Penyaluran Transfer : berisi informasi tentang besaran dana transfer yang

3. Data Dana Cadangan/Kurang Bayar/Escrow : berisi informasi tentang dana 5. laporan Transfer : berbagai bentuk laporan terkait dengan Transfer ke Daerah. 6. Monitoring penyerapan DAK : untuk membuat laporan penyerapan penggunaan http://www.djpk.depkeu.go.id. Bilamana diperlukan, dapat langsung menghubungi:
Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, gedung Sutikno Slamet lantai 19 Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710

4. Konfirmasi Transfer : untuk melakukan konfirmasi dari pemerintah daerah bahwa dana transfer sudah diterima di Rekening Kas umum Daerah; realisasi per pemerintah daerah; dan Dana Alokasi Khusus. Bentuk laporan di antaranya adalah laporan nasional, laporan alokasi per provinsi, laporan alokasi per pemerintah daerah, laporan realisasi per provinsi, dan laporan

Informasi yang terkait dengan keuangan daerah dapat dilihat pada situs internet

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

VII-273

dAfTAR PUsTAKA
Asian Development Bank (ADB) TA 3967-INo: local government Provision of Minimum Basic Service for the Poor, 2005. Bappenas, (2004), Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: Bappenas (www.bappenas.go.id). BPKP, Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja, 2005.

Brodjonegoro, Bambang PS dan Robert A. Simanjuntak, (2005), Study on Decentralization Framework and Fiscal and Administrative Capacity of local governments in Indonesia, laporan Akhir, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) and Institute for Economics and Social Research-Faculty of Economics university of Indonesia (lPEM-FEuI), Jakarta: lPEM-FEuI. Building Institutions for good governance (BIgg), Pedoman Acuan Anggaran Kinerja, 2003-2004. Departemen Keuangan, (2008), Buku Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2008. Departemen Keuangan, (2008), Nota Keuangan APBN 2009, Jakarta: Depkeu RI (www.depkeu.go.id) Kuncoro, M., (2004). otonomi Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga. laporan Panitia Kerja Belanja Daerah dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/ Pembahasan Ruu tentang RAPBN TA.2006.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, (2005). Sinergi Pembangunan antara Pusat dan Daerah, draft hasil Focus group Discussion (FgD) Sinergi Pembangunan antara Pusat dan Daerah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, Jakarta, Juli 2005.

lPEM FEuI dan PSE-KP FEugM. Reformulasi Dana Alokasi umum: laporan Penelitian, 2004. Pemerintah Republik Indonesia, (2009), Produk Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta: Pemerintah RI (www.indonesia.go.id).

PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

275

PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan uu No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. PP No. 56 Tahun 2001 tentang laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/lembaga. PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP no. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Kekayaan Negara/ Daerah. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. PP No.39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan uang Negara/Daerah, PP No.1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah

PP No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah luar Negeri PP No. 3 Tahun 2007 tentang laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, laporan Keterangan Pertanggungjawaban Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
276 DaftarPustaka

PMK No. 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.

PMK No. 53/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman luar Negeri yang mengatur proses lebih lanjut penerusan Pinjaman luar Negeri Pemerintah kepada pemerintah daerah dalam bentuk pinjaman. PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi obligasi Daerah, diatur lebih lanjut tentang perencanaan, pengajuan usulan dan persetujuan serta pernyataan pendaftaran umum. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 005/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan Pengajuan usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah luar Negeri yang mengatur perencanan dan proses lebih lanjut pengadaan Pinjaman/Hibah luar Negeri oleh Pemerintah Pusat; PMK No. 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan pemerintah Pusat, serta aturan pelaksanaanya PMK No. 123/PMK.07/2008 tentang Batas Maksimal Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Masing-Masing Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2009. PMK No. 129/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya Dengan Pinjaman Daerah Dari Pemerintah Pusat. PMK No. 153/PMK.05/2008 Tentang Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber Dari Penerusan Pinjaman luar Negeri, Rekening Dana Investasi, Dan Rekening Pembangunan Daerah pada Pemerintahan Daerah. PMK No. 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. PMK No. 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

PMK No. 61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam rangka Perencanaan Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2011. PMK No. 223 Tahun 2009 tentang Alokasi dan Pedoman umum Dana Tambahan Penghasilan Bagi guru PNSD Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2009.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010

277

PMK No. 197 Tahun 2009 tentang Dasar Pembagian Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Kepada Provinsi Penghasil Cukai dan/atau Provinsi Penghasil Tembakau. PMK No. 174 Tahun 2009 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Sidik, Machfud et.all. Dana Alokasi umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era otonomi Daerah. (Jakarta: Kompas, 2002).

PMK No. 168 Tahun 2009 tentang Pedoman Pendanaan urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan.

Smoke, Paul, Can Desentralization Help Rebuild Indonesia, paper for Conference Expenditure Assignment under Indonesias Emerging Decentralization: A Review of Progress and Issues for the Future, Sponsored by the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, georgia State university, Atlanta, May 2002. uu No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. uu No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. uu No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. uu No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. uu No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. uu No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

uu No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. uu No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. uu No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. uu No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai Perubahan Atas undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. World Bank Dutch Trust Fund, Strengthening Indonesias Framework for Decentralization, Support to the Ministry of Home Affairs, November 2002. World Bank Report of Dutch Trust Fund Package 8 on Reformulasi Dana Alokasi umum, 2004.

278

DaftarPustaka

iNdEx

akuntabilitas III-122

DAK III-100, III-101, III-102, III-103, III-104, III-115, III-116, III-117, III-118, III-119, III-121, DAK Pendidikan III-104 III-129

Dana Bagi Hasil III-53, III-54, III-55, III-56, III-57, III-58, III-59, III-67, III-86, III-102, III-122, Dana Bagi Hasil Pajak III-53, III-54, III-55, III-56, III-57, III-58, III-59, III-67, III-86, III-102, III-122, III-123, III-124, IV-143, IV-148, IV-168, IV-169 Dana Bagi Hasil SDA III-53, III-54, III-55, III-56, III-57, III-58, III-59, III-67, III-86, III-102, IIIDAu III-91, III-92, III-93, III-95, III-97, III-102, III-121, III-128, IV-143, IV-150, IV-168, IV-169 Dana Alokasi Umum III-93, III-102, IV-143, IV-148, IV-169 122, III-123, III-124, IV-143, IV-148, IV-168, IV-169 III-123, III-124, IV-143, IV-148, IV-168, IV-169

hibah III-58, IV-185

Hibah luar Negeri IV-144, IV-145, IV-146, IV-147, 276, 277

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

279

kriteria khusus III-101, III-103, III-116 kriteria teknis III-101, III-102

Naskah Perjanjian

Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman IV-150, IV-151 Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri IV-150, IV-151

obligasi Daerah IV-140, IV-141, IV-155, IV-156, IV-157, IV-158, IV-159, IV-160, IV-161, IV-162,

IV-163, IV-164, IV-165, IV-166, IV-167, IV-168

Pajak Bumi dan Bangunan III-55 Pajak penghasilan III-55

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah iv, V-191, V-193, V-194, V-211, VII-268, VII-269, 278 Pendapatan Asli Daerah III-55, III-56, III-57, III-58

pinjaman daerah IV-136, IV-137, IV-138, IV-139, IV-140, IV-141, IV-142, IV-143, IV-144, IV-145, pinjaman luar negeri IV-136, IV-137, IV-138, IV-139, IV-140, IV-141, IV-142, IV-143, IV-144, IV-145, IV-146, IV-147, IV-148, IV-149, IV-150, IV-151, IV-152, IV-153, IV-154, IV-155, IV157, IV-158, IV-160, IV-163, IV-166, IV-167, IV-168, IV-169, 277 IV-146, IV-147, IV-148, IV-149, IV-150, IV-151, IV-152, IV-153, IV-154, IV-155, IV-157, IV158, IV-160, IV-163, IV-166, IV-167, IV-168, IV-169, 277

280

Indeks

UCAPAN TERimA KAsiH


Terima kasih kepada para kontributor yang telah meluangkan waktunya untuk Pemerintahan dan Pembangunan Daerah.

menyumbangkan bahan, menyusun materi, dan kepada semua pendukung yang telah

membantu terbitnya Buku Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi

Fiskal sebagai Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan

ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Mardiasmo, Dr. Anny Ratnawati, MS, Anggito Abimanyu, Ph.D, Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D, Drs. Pramudjo, M.Soc.Sc, MM, Berlin Panjaitan, SE, MM, ubaidi Socheh Hamidi, SE, MM, Putut Hari Satyaka, SE, SE, MM, Jackwin Simbolon, SE. Ak, MFM, Imaduddin, S.E. , M.M, Ah. MuAm, Ak, MM, lily Kuntratih, SH, MPA, Muhammad Zainuddin, SE, MFM, Wahyudi Sulestyanto, SE, ME, Ichwan Setyarno, SE, Agung Setio Budi, SE, Ricka Yunita Prasetya, SE, Denny Drs. Yusrizal Ilyas, MA, Drs. Budi Sitepu, MA, Drs. Adriansyah, Ahmad Yani, SH, Ak., MPP,Jamiat Aries Calfat, SH, Anwar Syahdat, SH, ME, Drs. Matheus Agus Kristianto, SE, Erny Murniasih, S.Sos, MSc, Drs. Masagus Zenaidi, MM, dan Endang Zainatun, SE, atas kontribusinya membantu penyusunan materi, serta masukannya sehingga Radityo Putumayor, SE, Kurnia, S. ST. Ak., Helmy Rukmana, SE, dan Agus Nugroho yang terima kasih atas kerja kerasnya.

MA, Edison Sihombing, SE, MT, Sugiyarto, S.E.,Ak.,M.Sc, Ria Sartika A. SE, MA, Nafi,

terselesaikannya buku ini. Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada Subandono, telah membantu proses pengumpulan naskah editing sampai setting, serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu-persatu. Kepada semuanya sekali lagi kami ucapkan

Kurniawan, SE, David Rudolf, SE, Hesti Budi utomo, SST., lukman Adi Santoso, SE.,

Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Pelengkap Buku Pegangan 2010

281

You might also like