You are on page 1of 8

ETIKA BISNIS ISLAM

Wazin Baihaqi
Pengertian Etika Etika merupakan filsafat tentang moral. Jadi sasaran etika adalah moralitas. Moralitas adalah istilah yang dipakai untuk mencakup praktek dan kegiatan yang membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, aturan-aturan yang mengendalikan kegiatan itu dan nilai yang tersimpul didalamnya, yang dipelihara atau dijadikan sasaran oleh kegiatan dan praktek tersebut[1]. Menurut Robert C. Solomon, moral tidak diartikan sebagai aturan-aturan dan ketaatan, tetapi lebih menunjuk kepada bentuk karakter atau sifat-sifat individu seperti kebajikan, kasih sayang, kemurahan hati dan sebagainya, yang semuanya itu tidak terdapat dalam hukum[2]. Karakter yang bermoral atau beretika merupakan gambaran ideal yang secara berproses ingin dicapai individu. Dengan etika segala kegiatan individu dapat diberi nilai (baik dan buruk) sesuai dengan tolak ukur moralitasnya . Tetapi sekali lagi bahwa etika atau moralitas bukan disandarkan pada wilayah hukum. Etika bukan ada pada batas kumpulan norma, tetapi lebih kepada cara pandang yang lebih filosofis yaitu persepsi-persepsi tentang kebijakan dalam hidup. Untuk kepentingan analisis, studi etika membagi etika kedalam tiga tahap yang satu sama lainnya saling berhubungan yaitu etika deskriptif, etika normatif dan meta etika. Etika deskriptif pada umumnya banyak dipakai dalam keilmuan antropologi, sosiologi dan psikologi. Etika deskriptif hanya semata-mata menjelaskan secara obyektif sesuai fakta mengenai etika atau moralitas yang dianut dan dipercayai oleh individu atau suatu kelompok. Etika normatif secara sistematis berusaha untuk membenarkan suatu sistem moral tertentu. Ia berusaha untuk mengembangkan serta membenarkan prinsip dasar moral atau nilai-nilai dasar dari suatu sistem moral. Jika dalam etika deskriptif moralitas dijelaskan secara obyektif, maka etika normatif lebih bersifat persuasif dan keberpihakan pada sistem nilai.

Sedangkan meta etika disebut juga dengan etika analitis karena bertugas mengkaji makna istilah-istilah moral dan logika serta penalaran moral. Untuk alat analisis ketiga tahap dalam studi etika ini saling berkaitan satu sama lain. Studi kasus misalnya harakiri yang dilakukan pengusaha Jepang ketika perusahaannya bangkrut. Antropolog, sosiolog dan psikolog akan menjelaskan secara deskriptif tentang sejarah harakiri dan bagaimana moralitas yang ada pada harakiri itu dapat bertahan hingga sekarang. Dalam etika normatif dapat dilihat, bahwa harakiri ini memiliki kekuatan persuasif sehingga dapat mengendalikan dan mempengaruhi individu. Sedangkan dalam mata etika menjelaskan lebih dalam nilai dan makna harakiri serta proses perjalanannya sehingga harakiri dianggap sebagai sebuah tindakan yang patriotik dan gentleman. Etika mencakup segala aspek kehidupan, seperti etika politik, etika ekonomi atau etika sosial. Jadi pada dasarnya semua kegiatan manusia dilandasi oleh moralitas tertentu. Sistem ekonomi liberalis kapitalis bersandar pada moralitas tentang individualitas dan humanisme. Sistem ekonomi komunis bersandar pada moralitas tentang keadilan dan persamaan. Sedangkan sistem ekonomi Islam bersandar pada moralitas tentang ketuhanan, keadilan, kesamaan kesempatan dan pertengahan. Moralitas yang dijunjung oleh berbagai aliran ini kemudian ditafsirkan kedalam bentuk yang lebih operasional menjadi prinsip-prinsip dasar, norma dan hukum. Tetapi banyak berbagai kalangan melupakan hal ini. Ekonomi lebih banyak dikaitkan dengan logika ekonomi yang berbicara masalah keuntungan bagi pihak produsen maupun konsumen. Dalam kenyataannya praktek-praktek ekonomi dilapangan kadangkala terjebak dalam perhitungan keuntungan materi dan melupakan etika yang justru mendasari seluruh kegiatan manusia. Individualitas dalam liberalisme yang menghendaki kebebasan berusaha tanpa campur tangan pemerintah, terjebak dalam monopoli yang menyebabkan ketidakseimbangan. Keadilan sama rata dalam sistem ekonomi komunisme, terjebak dalam pengekangan invidu dan mengingkari sifat kodrati kehidupan akan keberbedaan. Adapun sistem ekonomi Islam yang secara jelas dan berani membawa unsur ketuhanan (yang hal ini mendobrak tradisi keilmuan barat yang sekuler) belum teruji dilapangan karena belum lahir secara utuh dari proses fiqih muamalat ke sistem ekonomi Islam kontemporer terutama karena harus lebih banyak melakukan usaha istimbath hukum.

Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan, penghormatan, keadilan dan lain-lain. Tetapi moralitas bisnis saja belum cukup untuk dapat menjalankan suatu usaha bisnis. Bisnis selalu berkaitan dengan relasi antar individu dan kontrak/ kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu saja harus ada hukum yang disepakati bersama dalam berbisnis. Karena itu hukum bisnis merupakan syarat utama agar bisnis dapat berjalan lancar. Setiap perkara yang berkaitan dengan dengan bisnis akan diselesaikan dengan hukum bisnis yang berlaku. Adapun pengertian atau hakikat bisnis adalah kemampuan mengelola perputaran uang[3]. Bisnis merupakan bentuk lahan usaha dari wirausaha. Bisnis tersebut dapat bergerak diberbagai bidang seperti jasa, produsen atau pemasaran. Tetapi inti dari bisnis itu adalah memutar uang yang ada (modal) melalui suatu lahan usaha tertentu sehingga menghasilkan keuntungan . Bisnis atau kewirausahaan dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk dapat menciptakan pekerjaanberdasarkan sumber daya yang ada[4]. Jadi dilihat dari definisi tentang hakikat bisnis dan pengertian kewirausahaan, dapat disimpulkan bahwa wirausaha itu berbeda dengan pekerja/karyawan. Pekerja melakukan kegiatannya dengan tugastugas yang telah ditetapkan dan dengan kontribusi tenaga dan keahliannya, ia mendapatkan gaji atau honor secara periodik. Pekerja tidak memperhitungkan resiko kegagalan dan kebangkrutan dari perusahannya. Sedangkan wirausaha lebih menekankan pada tugas-tugasnya dalam mengelola modal dan sumber daya yang ada agar mendapatkan keuntungan. Dalam berwirausaha inilah resiko kegagalan atau kebangkrutan mungkin harus diperhitungkan selain kemungkinan keuntungan yang diperoleh. Kewirausahaan juga memperhitungkan pengembangan usaha lebih lanjut, tantangan pasar dan persaingan serta kesempatan-kesempatan. Dengan tugas wirausaha yang multi dimensi inilah maka kemampuan yang seharusnya dimiliki wirausaha bukan hanya pengetahuan tetapi juga pengalaman, kreatifitas dan kepekaan dalam berbisnis. Untuk itu pembentukan mentalitas wirausaha merupakan langkah awal dalam melangkah kedunia bisnis. Beberapa buku yang membahas tentang kewirausahaan pada umumnya mengawali pembahasannya dengan pembentukan karakter wirausaha, seperti

komitmen, sifat optimis, tangguh, tekun, penuh perhitungan dan lain sebagainya. Bahkan pembahasan tentang wirausaha hampir selalu menggunakan bahasa yang persuasif dan memotivasi. Dengan demikian masalah kewirausahaan diawali dengan nilai-nilai positif yang menggerakan dan mengarahkan, yang semuanya tercakup dalam etika atau moralitas bisnis. Seorang wirausaha mungkin, akan terikat oleh etika bisnis Islam. Istilah istikhlaf tidak banyak diketahui para wirausaha muslim. Tetapi pemikiran dan pemahaman istikhlaf bahwa harta adalah semata-mata milik Allah mungkin sudah ada dalam karakter seorang wirausaha muslim. Konsep istikhlaf ini kemudian menumbuhkan karakter seoang wirausaha muslim yang benar (lurus), menepati amanat dan jujur[5]. Tetapi keterikatan itu tergantung pada kesadaran agama masing-masing individu. Setiap pribadi memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda menyangkut etika dan hukum. Semuanya akan dapat dilihat melalui perilaku wirausaha dalam menjalankan bisnisnya. Dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam praktek bisnis masalah etika seringkali terlupakan. Hal ini disebabkan karena orientasi mengejar keuntungan dalam persaingan yang ketat merupakan prioritas yang lebih diutamakan. Bahkan ada asumsi yang keliru bahwa bisnis dengan terlalu memperhitungkan etika akan menghambat laju kemajuan bisnis itu sendiri. Tetapi pada era tahun 80 an masalah etika terkait dengan bisnis muncul kembali sebagai wacana yang hangat diperbincangkan. Bukubuku yang membahas tentang kaitan bisnis dengan etika dan spiritualisme menjadi populer dan banyak dibaca oleh kalangan praktisi bisnis[6]. Buku-buku tersebut pada umumnya membahas tentang motivasi, perilaku-perilaku bisnis yang dilihat dari aspek nilai baik dan buruk, memberdayakan emosi-emosi positif dan segala sesuatu yang mencakup masalah praktis yang berkaitan dengan etika. Adapun tentang apa itu etika dalam pembahasan yang lebih ilmiah (etika sebagai bagian dari ilmu yang sistematis dan metodis [7] ) tidak banyak dibicarakan. Hal ini bisa dimaklumi karena kajian keilmuan tentang etika merupakan wilayah yang selayaknya digarap para akademisi (ilmuwan) sedangkan para praktisi bisnis hanya membutuhkan petunjukpetunjuk praktis dalam rangka memperbaiki atau memperbaharui perilaku bisnisnya. Melihat begitu besar minat para praktisi bisnis untuk mengkaji ulang perilaku bisnisnya maka pembahasan tentang etika sebagai sebuah obyek kajian keilmuan merupakan sebuah tuntutan yang cukup mendesak.

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang; kebiasaan, adat, akhlak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah kebiasaan. Arti yang terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika. Istilah dan makna etika seringkali dikaitkan dengan istilah moral. Adapun istilah moral berasal dari kata Latin yaitu kata mos yang merupakan bentuk jamak dari mores yang berarti juga adat istiadat. Jadi etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral . Dalam terminologi, etika memiliki tiga pengertian: Pertama, etika adalah norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika merupakan asas atau nilai moral. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral[8]. Sebagai sebuah filsafat moral, etika tidak membatasi diri pada gejala-gejala konkret seperti ilmu-ilmu lainnya (non empiris). Jika ilmu-ilmu lain membatasi diri pada halhal yang bersifat empiris dan pada pengalaman-pengalaman inderawi, maka etika tidak berhenti pada taraf yang konkret yang secara faktual dilakukan tetapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang apa yang baik dan buruk. Walaupun etika bersifat non empiris tetapi ia tetap dapat disebut sebagai sebuah ilmu karena memiliki metode kritis dan sistematis[9] dalam mengamati perilaku manusia. Pengetahuan tentang etika cukup penting agar orang dapat mencapai kematangan etis. Walaupun dengan mempelajari etika orang dapat mencapai kematangan etis, tetapi etika bukan merupakan suatu ajaran. Etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, tetapi berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa seseorang harus hidup menurut norma-norma tertentu[10]. Dalam kehidupan praktis etika atau moral ada pada wilayah batin yang menumbuhkan kesadaran moral seperti kesadaran akan bersikap jujur dan adil. Jika kemudian seseorang tidak berlaku jujur atau adil, etika tidak dapat memberi sanksi apapun. Pemberian sanksi atas perilaku tertentu merupakan wewenang hukum.

Silabus Mata Kuliah Etika Bisnis Islam

1. Pengertian Etika 2. Relevansi Antara Istilah Etika Dengan Istilah Akhlak Dalam Konteks Bisnis Islam 3. Bisnis Islam Berlandaskan Akidah 4. Relevansi Antara Etika Bisnis Islam Dan Hukum Bisnis Islam 5. Penafsiran Tentang Etika Bisnis Islam Yang Bersifat Kemanusiaan, Berkeseimbangan (pertengahan) dan berkeadilan. 6. Etika Bisnis Islam Yang Mendasari Bidang Produksi 7. Etika Bisnis Islam Yang Mendasari Bidang Konsumsi 8. Etika Bisnis Islam Yang Mendasari Bidang Sirkulasi (perdagangan, jual beli). 9. Kumpulan Hadist Tentang Etika Bisnis Islam Dan Penafsirannya. 10. Bisnis Sebagai Aplikasi Ibadah. 11. Kejujuran Dalam Etika Bisnis Islam. 12. Beberapa Kisah Sejarah Yang Menjadi Teladan Dalam Bisnis Islam. 13. Pembentukan Karakter Wirausaha Muslim 14. Mewujudkan Bisnis Yang Beretika Islami

LITERATUR MATA KULIAH ETIKA BISNIS ISLAM


Afzalur Rahman, 1995, Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam jilid 2), terj. Soeroyo, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Joko Syahban, 2008, Berbisnis Bersama Tuhan, Bandung: Hikmah (PT MIzan Publika).

K. Bertens, 2007, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. M. Abdul Mannan, 1995, Islamic Economics, Theory and Practice (Teori dan Praktek Ekonomi Islam),terj. Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. Mohamad Sobary, 1995, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, Terjemahan Hartono Hadikusumo dari Piety and Economic Behavior A Study of the Informal Sector in Suralaya, West Java, Yogyakarta :Yayasan Bentang Budaya. O.P. Simorangkir, 1992, Etika Bisnis, Jakarta: Aksara Persada. Yopi Hendra, 2008, Berbisnis Sukses Dengan Allah, Bandung: Dinar Publishing. Yusuf Qardhawi, 1995, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami (Norma dan Etika Ekonomi Islam), Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad, 2004, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Serta bahan-bahan lain yang menunjang baik dari internet maupun sumber-sumber lainnya

[1] [2]

O.P. Simorangkir, Etika Bisnis (Jakarta: Aksara Persada, 1992), hal. 4 Ibid., hal 5

[3] J.E. Robbyantono dan Eman Sukirman, Analisa Kelayakan Bisnis dalam Are You an Entrepreneur (Bekasi: Pustaka Inti, 2005), hal. 17 [4] Tyas U. Soekarsono , Are You An Entrepreneur dalam Are You An Entrepreneur? (Bekasi: Pustaka Inti, 2005), hal. 4 [5]

Yusuf Qhardawi., Daurul Qiyam Wal Akhlaq fii Iqtishadil Islam ( Kairo Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), hal 175-178.

[6]

Buku-buku tentang perilaku bisnis yang dikaitkan dengan etika diantaranya adalah buku karangan Paul Zane Pilzer, God Want To Be Rich (Tuhan Ingin Anda Kaya) Teologi Ilmu Ekonomi, Terj. Juni Prakoso (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) yang membahas tentang bagaimana kesuksesan finansial dan bisnis memiliki korelasi dengan keyakinan agama. Joko Syahban, Berbisnis Bersama Tuhan, (Bandung: Hikmah PT Mizan Publika, 2008) mengungkapkan pemikiran dan pengalaman serta menjelaskan bahwa di setiap langkah bisnis dan tahapan pekerjaan tidak luput dari campur tangan Tuhan. Sebenarnya wacana tentang korelasi antara etika dengan perilaku bisnis telah dibahas sejak dahulu seperti karya sosiolog Max Weber dengan bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-1905) yang membahas bagaimana sebuah keyakinan agama menumbuhkan motivasi bisnis yang kuat sehingga usaha bisnis berkembang pesat. Beberapa penelitian yang mengamati hubungan antara konsep keagamaan dengan perilaku bisnis juga dilakukan oleh Clifford Geertz (pada tahun 1950) dalam

bukunya yang berjudul Peddlers and Prince yang mengungkapkan peran sentral kelas menengah muslim dalam bidang wiraswasta di Mojokuto. Buku The Rope of God (1969) yang ditulis oleh Siegel meneliti tentang pedagang-pedagang di Aceh. Castles juga meneliti tentang peranan kelas menengah santri di kudus yang merupakan pengusaha gigih dalam bukunya yang berjudul Religion, Politics and Economic Behaviour(1967).
[7]

K. Berten, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal 24, berpendapat bahwa etika dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma. Karena refleksi itu dijalankan dengan kritis, metodis dan sistematis pembahasan itu pantas diberi nama ilmu hal 6.

[8] Ibid., [9]

Etika memiliki metode dalam menganalisis tentang perilaku manusia dengan tiga pendekatan: pertama etika deskriptif yang mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, dalam suatu periode tertentu dan bersifat melukiskan dan tidak memberi penilaian. Kedua etika normatif yang melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Ketiga metaetika yang membahas tentang bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan di bidang moral.
[10]

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 89. yang dikutip dari Franz Magnis Suseno, Etika Dasar (Jakarta: Kanisius, 1987), hal. 14.

You might also like