You are on page 1of 3

E. Klasifikasi tafsir bil matasur dan tafsir bil rayi 1.

Tafsir bi al-Matsur Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabiin. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A dalam manaaul Qaththan. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabiin karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Tafsir bi al-matsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabiin kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al rayi. Hal ini mungkin karena pendapat tabiin sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnya dalam menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkan aspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu Nabi. Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabiin banyak yang bergaul dengan sahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Quran dari mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalan metafisika yang berada di luar kemampuan mereka. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-matsur bersumber pada alQuran, penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabiin. Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-matsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran, penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Asar yang datang dari para sahabat. 2. Tafsir bi al Rayi Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A dalam mannaul Qaththan. Tafsir bi al Rayi ialah (tafsir al-Quran) dimana dalam tafsir tersebut mufasir menerangkan makna hanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus dan tidaklah keterangannya itu dari pemahaman yang sesuai dengan jiwa syariah dan yang itu berdasarkan nash-nashnya. Kata al rayi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al rayi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qiraat dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan Ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemiiran mufasir sendiri maka sering terjadi perbedaan di antara seorang mufasir dengan mufasir lainnya dibanding tafsir bil al-Matsur, tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menolak corak penafsiran al-Rayi ini, seperti halnya Ibn Taimiyah. Ini bukan berarti tafsir corak ini tidak mendapat pendapat tempat di kalangan para

ulama. Sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat, syarat-syarat yang dimaksud adalah: a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran c. Berkaidah yang benar. d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan. Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini, maka seorang mufasir akan terjebak pada penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran. Di samping itu penerimaan mereka juga didasarkan atas ayat-ayat alquran sendiri, yang menurut mereka, sering menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Ayat-ayat yang mendukungnya, sebagian dikutip al-Shubhi Shalih, di antaranya ayat ke-24 dari surat Muhammad dan ayat ke-29 dari surah shad. Tafsir bi ar-rayi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir maqul, yaitu: Penjelasanpenjelasan yang bersendi pada ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Ali As-Sabuni menjelaskan: Artinya: Yang dimaksud dengan ar-rayu di sini adalah ijtihad, karena itu tafsir secara rayu berarti tafsir alQuran berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang Arab dalam berbicara, serta menetahui lafaz-lafaz bahasa Arab dan pengertiannya. Jadi maksud rayu di sini bukan semata-mata pendapat, atau menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati dan hawa nafsu seseorang. Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya telah menuliskan: Artinya: Siapa yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan imajinasinya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah orang yang keliru. Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar. Berhubungan dengan hal ini, maka senada dengan imam AzZarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsip-prinsip yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Rayi itu ada empat, yaitu: a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dhaif dan maudhu. b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah marfu. c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuannya syara. e. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar rayi, sebahagian membolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak memperbolehkannya. Masingmasing pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermat ternyata perselisihan itu tidak menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja. Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana tafsir bi ar-rayi itu ada dua macam, yaitu: a. Tafsir bi ar-rayi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang. b. Tafsir bi ar-rayi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan. F. Metode dan Corak Tafsir Al-Quran 1. Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan. Tafsir al-ijmali ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.Contoh tafsir ijmali : Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir Al-quranul al-Azhim karya Farid al-Wajdi, Shafwah al-Bayan li Maan al-Quran karya Syekh Muhammad Mahlut, Tafsir al-Nuyassar karya Syekh Abd al-Jalil Isa.

2. Tafsir metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayatayat al-quran dari seluruh aspeknya. Contoh tafsir tahlili : Kitab Tafasir karya Fachruddin al-Razi dan Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari. 3. Tafsir mawdhuiy berarti penafsiran al-Quran menurut tema atau topik tertentu. Contoh tafsir mawdhuiy : Kitab Min Huda Al-Quran karya Mahmud Syaltut, al-Marah fi Al-Quran karya Mahmud al-Aqad, al-Riba fi Al-Quran karya Abu al-Ala al-Muwdudiy, Muqawwamah al-Insan fi Al-Quran karya Ibrahim Mhana, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumiy, Tafsir Surat Yasin karya Hasan al-Aridh. 4. Tafsir muqarin adalah yafsir yang menafsirkan sekelompok ayat al-Quran atau sesuatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan itu. 5. Tafsir al-Fikhiy atau tafsir al-ahkam adalah corak tafsir yang berorientasi kepada hukum Islam (fiqh). Contoh corak al-fikhiy : Al-Qurthuby Ahkamul Quran, As-Shobuny Ahkamul Quran dan Ahkamul Quran karya al-Jhissas 6. Tafsir lugawi terkadang disebut tafsir adabi, yaitu tafsir al-Quran yang dalam menjelaskan ayatayat susi al-Quran lebih banyak difokuskan kepada bidang bahasa seperti dari segi Irab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, kalimat dan kesusastraan. Contoh tafsir ini : Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari, Tafsir Bharul Muhit karya Al-Andalusi. 7. Tafsir keilmuan adalah penafsiran al-Quran tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan alam dan pengetahuan umum.Contoh tafsir ini : Imam Fakhr A-Razi di dalam tafsir al-Kabir. Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir al-Qura, Imam AsSuyuthi di dalam al-Itqan. 8. Al-Tafsir al-falsafy atau al-tafsir al-rumaziy atau al-tafsir al-aqliy adalah tafsir al-Quran yang beraliran filsafat, yang pada umumnya difokuskan kepada bidang filsafat dan menyesuaikan paham filsafat melalui petunjuk berupa rumus-rumus. Contoh tafsir ini. Fachruddin al-Razi dengan karyanya Mafatihul Ghaib dab az-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf. 9. Tafsir sufiy di bagi dua yaitu : a. al-Tafsir al-Shufiy al-Nazhariy (teoritis) adalah tafsir yang disusun oleh ulam-ulama yang dalam menafsirkan al-Quran berpegang pada teori-teori tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. b. Tafsir sufi Faidli atau Isyari Yaitu penafsiran al-Quran dalam bentuk perwakilan yang sesuai dengan isyarat-isyarat tersembunyi dari ayat-ayat itu dan tampak bagi kaum sufi tatkala mereka melakukan suluk. Tafsir yang bercorak shufiy adalah Tafsir Al-Quran al-Azhim karya Abdullah al-Tustury, Haqaiq al-Tafsir karya al-Alamah al-Sulamiy, Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya Imam al-Syiraziy. 10. Tafsir sosiokultur (adabul ijtimiaiy) merupakan penafsiran ayat yang menjelaskan tentang perubahan sosio-budaya yang terjadi di masyarakat dalam perspektif al-Quran, menjelaskan tentang fitrah kemanusiaan dan sebab-sebab kemajuan dalam sejarah dan menyimpulkannya dari alQuran untuk kemajuan kaum muslimin. Metode tafsir ini jenis ini adalah Muhammad Abduh dengan Tafsir al-Manar. Rasyid Ridha dengan al-Wahyatul Muhammadie.

You might also like