You are on page 1of 23

KH Ahmad Dahlan (Ketua 1912 - 1922)

Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912. Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6). Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib

Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri: Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo). Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif. Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini

dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Muallimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Muallimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya. Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jamiyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Quran dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan

macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah. Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulanperkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Taawanu alal birri, Taruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33). Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabangcabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh

Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionaliskonservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Quran baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Quran dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Quran dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir. Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum). Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut : 1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. 2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam. 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mulamula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja, 1933: 232). K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan. Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja, 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah). Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara Aisyiyah. No.1/1999: 20). Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji Al-Quran sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia. K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qiraah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Quran dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih. K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka. Pengajian yang diasuh K.H. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jumat dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda, yaitu : 1. Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu. 2. Pada waktu sore hari sesudah Ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing.

Semenjak kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindahpindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Menurut catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991). Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putraputri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Muallimin, Muallimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan anak panah Muhammadiyah (AR Fachruddin, 1991). Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar tahun 1932 diputuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil. K.H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah. Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat. Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujuan PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jamiyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruhburuh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerja-sama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan K.H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari Cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti fitnahan tersebut tidak benar. Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah, mengambil tempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5. K.H. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan K.H. Ibrahim) Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.

KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)


Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kyai Haji Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10 November 1883 dan wafat 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936. Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen organisasi pada zamannya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini tercermin dari pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu disebut, sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru di HIS Met de Quran Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk mengajar HIS Gubernemen. Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan K.H. Hisyam mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin mantap. Hal ini terjadi barangkali karena K.H. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bahagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah. Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Quran Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel. Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu. Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa

ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda. Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.

KH Mas Mansyur (Ketua 1937 - 1941)


Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, K.H. Ahmad Dahlan sudah sering melakukan tabligh ke daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang diselenggarakan di Peneleh, Surabaya. Dalam pengajian-pengajian itulah Bung Karno muda dan Roeslan Abdul Gani muda, untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang ajaran Islam dari K.H. Ahmad Dahlan. Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan biasanya bermalam di penginapan. Namun, suatu malam ia didatangi seorang tamu yang memintanya agar setiap K.H. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya. Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu. Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Quran dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya. Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir. Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah kembali ke Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia. Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia. Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh keadaan masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah. Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Faru al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati, dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain, itulah yang mereka harapkan. Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan, merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar. Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon). Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya. Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan di Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadis Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah. Selain aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitas organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur di Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan muda Muham-madiyah berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu K.H. Hisyam (Ketua Pengurus Besar), K.H. Mukhtar (Wakil Ketua), dan K.H. Syuja sebagai Ketua Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, Ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua

tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri. Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah. Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu juga dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam. Dalam dunia politik ummat Islam saat itu, Mas Mansur banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, ia mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap nonkooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun, kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam aktivitas empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama H. Fakhruddin.

Ki Bagus Hadikusuma (Ketua 1944 - 1953)


Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabiul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari Sekolah Ongko Loro (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf. Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak. Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI. Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam. Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang BPUKPKI. Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh

Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (19421953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Abdul Kahar Muzakkir, KH


Tokoh nasional gerakan Muhammadiyah Kotagede. Lahir di Yogyakarta tahun 1907, putera H. Muzakkir (seorang pedagang terhormat di KotaGede). Ibunya adalah puteri satu-satunya dari lima bersaudara keluarga H. Mukmin. Salah seorang saudara ibunya yaitu H. Masyhudi tokoh yang terkenal di Kotagede pada saat itu, karena ikut serta membentuk lahirnya organisasi Muhammadiyah di Kotagede. Selain itu, H. Masyhudi bersama-sama dengan Kyai Amir memprakarsai pembangunan Mesjid Perak. Sedangkan ayahnya H. Mudzakir membantu dana untuk pembangunan Mesjid Perak Kotagede. Dengan demikian, segala hal yang baik dari keluarga H. Mukmin, kakeknya itu, telah membentuk pribadi Abdul Kahar Muzakkir muda menjadi seorang yang tekun dan taat pada agama. Ia memulai pendidikannya pada SD Muhammadiyah di Selakraman, Kotagede, sembari memperdalam ilmu agama di beberapa pondok pesantren. Ia memperkaya ilmu agama dengan masuk Madrasah di Solo. Abdul Kahar Muzakkir adalah cicit dari Kyai Hasan Bashari, seorang guru agama dan pemimpin thariqat Satariyah, yang dikenal juga sebagai salah satu seorang komandan lascar Pangeran Diponegoro (ketika berperang melawan Belanda 1825-1830). Setelah menyelesaikan pendidikan di SD Muhammadiyah Selokraman Kotagede, ia melanjutkan ke Ponpes Gading dan Krapyak untuk memperdalam ilmu agama; dan dilanjutkan ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo sambil belajar di madrasah Mambaul Ulum. Tahun 1924 berangkat menunaikan ibadah haji, dengan maksud terus bermukim dan belajar di sana; tetapi perang yang berkecamuk di sana memaksanya pergi ke Mesir. Pada tahun 1925 ia berkirim surat kepada keluarganya bahwa ia sudah diterima menjadi Mahasiswa Universitas Al Azhar di Kairo. Kemudian untuk efektivas Gerakan Pelajar Indonesia di Kairo dalam menyongsong Indonesia merdeka, pada tahun 1927 Abdul Kahar Muzakir pindah ke Universitas Darul Ulum yang berkedudukan di Kairo. Tahun 1938 ia pulang ke Indonesia langsung menceburkan diri ke berbagai organisasi Dawah dan politik. Pertama-tama yang dimasukinya Muhammadiyah dan diangkat menjadi Direktur Muallimin, kemudian menjadi pengurus Majelis Pemuda dan Majelis PKU Muhammadiyah; tahun 1953 menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Pergerakan politik dilakukan melalui Partai Islam Indonesia bersama-sama dengan Prof. Dr. H.M Rasyidi, KH. Mansoer, Prof. KH. Faried Maaroef, Mr. Kasmat Bahuwinangun, dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1938, dan mulai menggeluti dunia politik dan organisasi dakwah seperti dalam Partai Islam Indonesia (PII) dan organisasi Muhammadiyah. Sejalan dengan berkembangnya paham pembaharuan (reformasi) Islam dari Timur Tengah yang masuk ke kampung-kampung Kotagede. Kegiatannya terus berlanjut hingga tahun 1945. Ia terlibat aktif dalam BPUPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia serta ikut mencanangkan Piagam Jakarta. Mitshuo Nakamura dalam bukunya Bulan Sabit Muncul di Balik Pohon Beringin menulis: barangkali yang paling hebat adalah munculnya Abdul Kahar Muzakkir pertama sebagai pegawai pemerintahan Jepang di daerah Yogyakarta, kemudian sebagai wakil kepala Kantor Urusan Agama Pusat di Jakarta. Puncaknya dengan keikutsertaannya dalam kancah tertinggi politik Nnsional selama akhir masa pendudukan Jepang, dimana sebenarnya ia dapat menduduki jabatan politik tetapi ia tidak mau. Abdul Kahar Muzakkir memilih mengabdikan diri untuk mendirikan dan mengembangkan Universitas Islam. Sejak tahun 1945, ia mencurahkan seluruh tenaganya pada Sekolah Tinggi Islam (STI) yang didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Ia sebagai Rektor Magnificus yang pertama. Kemudian STI pindah ke Yogyakarta pada tahun 1946, dan berubah nama menjadi Unirvesitas Islam Indonesia (UII) tahun 1948. Profesor KH. Abdul Kahar Muzakkir tetap terpilih sebagai rector UII. Pengabdiannya sebagai rector dijalaninya dari tahun 1945-1960.

Ia adalah orang yang paling lama memimpin UII. Sejak STI didirikan pada 8 Juli 1945 ia dipilih sebagai Rektor Magnificus yang pertama; setelah pada tahun 1946 STI pindah ke Yogyakarta ia masih tetap menjadi Rektor Magnificus. Kemudian setelah STI diubah menjadi UII (1948), masih dipercaya menjabat Presiden (Rektor). Kedudukan sebagai Rektor UII dilepaskannya setelah UII (terhitung dari STI) berusia tak kurang dari 15 tahun. Tahun 1960 digantikan oleh Mr. Kasmat Bahuwinangun dan ia sendiri terjun ke Fakultas Hukum UII untuk menjadi dekan. Selama kurang lebih 1960-1973 ia menjadi Dekan Fakultas Hukum sampai hari wafatnya. Kesetiaan Kahar Muzakkir pada cita-cita perjuangan UII telah dibuktikan sejarah, dan tak seorang pun dapat menyangkalnya. Sampai-sampai ia pernah menyelenggarakan Dies Natalis UII sambil bergerilya melawan Belanda di desa Tegalayung, Bantul pada Dies IV. Ia amat banyak mengarungi suka duka perjalanan UII. Di kalangan mahasiswa ia dikenal sebagai tokoh yang kebapakan, mengerti aspirasi. Dalam bidang pemerintahan, pernah memasuki Jawatan Ekonomi Pemerintahan Militer, Pegawai Sipil Jawatan Siaran Radio Militer,, Markas Besar Tentara sebagai komentator Luar Negeri bersama Muchtar Lubis, dan di Jawatan Kementrian Agama; semua itu dilaluinya sebagai pekerjaan dalam Pemerintahan Jepang di Indonesia. Dalam negara Indonesia merdeka ia pernah menjadi Wakil Kepala Kementrian Agama dengan pangkat sebagai pegawai tinggi tingkat II. Partisipasinya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah keterlibatannya secara aktif dalam BPUPKI tahun 1945. dan ikut memancangkan tonggak sejarah dalam proses perumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta. Ia meninggal pada tanggal 2 Desember 1973 dengan memberikan banyak warna kenangan bagi UII, dan masyarakat Kotagede. Ia telah menjadi salah seorang pemimpin nasional gerakan Muhammadiyah yang dihasilkan dari Kotegede.

Jendral Besar Soedirman

Jendral Besar Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. enderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini. Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini. Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang. Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya. Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang

sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara. Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan. Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah


Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung yang meninggal pada tahun 1934. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

Kehidupan
Masa kecil
Hamka mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra. Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Jafar Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Menunaikan ibadah Haji


Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.

Menikah
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.

Karier
Akti
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi". Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medanbersama M. Yunan Nasutionia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary. Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Politik
Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya

untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 19 Mei 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novelnovelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional. Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas alAzhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.

DJOEANDA KARTAWIDJAJA
Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I. Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [1]. Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.

Latar belakang dan pendidikan


Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik (Technische Hooge School) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Perjuangan
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar. Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung. Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI. Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak. Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki menteri marathon karena sejak awal kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri. Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya.

You might also like