You are on page 1of 10

RABIAH AL-ADAWIYYAH: MAHABBAH Oleh: Gusti Ellvian NR.

& Ahmad Harisuddin

A. Pendahuluan Sebagai produk sejarah yang hidup, tasawuf membentuk jati dirinya secara bertahap dan memerlukan rentang waktu yang relatif lama. Konsep pembentukan-nya dalam sejarah dimulai dari peletakan bibit tasawuf berupa sikap dan praktek zuhud serta ketekunan beribadah yang bersifat individual pada kehidupan pribadi Nabi Muhammad saw. sebelum kerasulan. Dalam hal ini, kaum sufi sendiri menyatakan bahwa tradisi yang mereka jalani tidak lain adalah warisan spiritual Nabi Muhammad saw.1 Ketika zaman pembentukan Islam, yang umumnya dinyatakan berakhir sekitar tahun 10 H, tasawuf dapat dipahami sebagai dimensi rohani Islam yang menyatu dengan ajaran dan praktek agama Rasulullah saw. beserta seluruh sahabat kala itu. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tasawuf sudah menjadi sebuah disiplin ilmu, karena segala konsep (ajaran) dan praktek (amal) ketasawufan di masa-masa awal ini lebih bersifat cair; tidak ada yang mendiskusikan dan merumuskan formulasinya secara sistematis.2 Melalui jasa Imam al-Hasan al-Bashri, tasawuf kemudian mulai terbentuk sebagai sebuah istilah, terutama setelah muridVictor Danner, "Perkembangan Awal Tasawuf" dalam Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality Foundations, terj. Rahmani Astuti, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Buku I, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 202. 2 Fadhlalla Haeri, The Elements of Sufism, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 44-45.
1

murid yang konsisten dalam jaringan ulama Ahlusunnah Waljamaah di kemudian hari mulai memperkenalkan definisidefinisi tasawuf dan istilah-istilah semaknanya sepanjang abad II H.3 Konsep pertama yang populer dalam sejarah pembentukan tasawuf adalah zuhd. Para tokoh sufi permulaan dari generasi sahabat dan tabiin, serta tbi al-tbin boleh dikatakan selalu menggunakannya dalam ucapan dan tingkah laku mereka; bahkan ia juga menjadi fenomena banyak ulama yang tidak dikenal sebagai sufi. Oleh karenanya, sebagian ahli membedakan zhid dari shf. Tasawuf di masa itu sudah tampak berbeda dari aspek lahiriah Islam, seiring dengan berdirinya disiplin ilmu fiqh yang sepertinya merupakan reduksi atas konsep tafaqquh di masa awal. Bahkan, hal ini semakin kentara setelah konsep hl (jamak: ahwl) dan maqm (jamak: maqmt) mulai dikenal di dunia sufi (abad II H), yang bertumpu pada prinsip dasar ilmu tasawuf (akhlq) sebagai ilmu yang mengupas keadaan-keadaan rohani dalam hubungannya dengan perilaku seorang muslim.4 Di masamasa ini, tersebutlah tokoh sufi wanita yang sangat termasyhur dengan konsep cinta (mahabbah) kepada Tuhan, yakni Rab'ah al-Adawiyyah (w 185 H). Makalah ini berusaha mendeskripsikan konsep mahabbah-nya Rabiah. B. Biografi Singkat Rabiah al-Adawiyyah

3 Abd al-Karm ibn Hawzin al-Qusyair, al-Rislah al-Qusyairiyyah f 'Ilm al-Tashawwuf, (T.t.: Dr al-Khair, t. th.), hlm. 389. 4 al-Kalabadzi, op. cit., hlm. 104-108.

Di dalam sejarah Islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rab'ah; dan kesamaan nama ini terkadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masingmasing tokoh. Rab'ah yang pertama hidup di Yerussalem, Palestina, dan wafat pada tahun 135 H/753 M, sedangkan Rabi'ah yang lebih muda berasal dan hidup di Bashrah, serta wafatnya pada tahun 185 H/800 M.5 Tokoh yang dimaksudkan di sini adalah Rabi'ah muda yang secara lengkap bernama Ummu al-Khair Rabah binti Isml alAdawiyyah al-Qishiyyah. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah. Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidak-mampuan sang ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa "malu" untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya, disebutkan bahwa orangtua Rabiah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu. Namun tidak hanya itu, penderitaan Rabiah di masa kecil semakin bertambah ketika harus menjadi yatim piatu. Bahkan, ketika kedua orang tuanya meninggal dan saudara-saudaranya terpencar, dia diambil dan dijual oleh penjahat sebagai budak dengan harga yang sangat murah ketika itu, yakni enam dirham.6
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I, (Jakarta: Djambatan, 2002), cet. II (Edisi Revisi), hlm, 30-31. 6 Ibid. Bandingkan dengan Asmaran As Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Edisi Revisi, cet II,., hlm. 274.
5

Pengalaman masa kecil ini tampaknya sangat berpengaruh kepada jiwa Rab'ah, sehingga meskipun ia telah menjadi budak dari keluarga Atik asal suku Qais klan Adwah di mana kemudian nama al-Qishiyyah al-Adawiyyah dinisbahkan,7 namun dirinya semakin berusaha untuk mendekat kepada Allah swt. Setelah sang majikan mengetahui kesalehan dan kesufian dia, maka iapun rela memerdekakannya.8 Tidak ditemukan informasi kuat bahwa Rabiah pernah menikah. Menurut Javad Nurbaksh, jikalau terdapat informasi perkawinan Rabiah tentulah yang dimaksudkan bukannya Rabiah al-Adawiyyah, melainkan Rabiah al-Dimasyq yang telah disinggung di muka, karena riwayat kedua Rabiah ini sering tumpang tindih.9 Hal ini juga didukung oleh riwayat yang menjelaskan penolakannya ketika dilamar oleh Gubernur Bashrah, Muhammad ibn Sulaiman al-Hasyim (w. 170 H.) Tidak ada informasi yang jelas tentang siapa guru-guru Rabi'ah, kecuali bahwa dia sempat mengikuti pengajianpengajian al-Hasan al-Bashr di Mesjid Raya Bashrah. Bahkan, di kemudian hari juga diriwayatkan bahwa dia juga memiliki majelis sendiri yang sering dikunjungi oleh, antara lain Syekh Mlik ibn Dnr (w 130 H), Sufyan al-Tsaur (w 161 H), dan Syaqq al-Balkh (w 194 H).10

7 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. III, hlm. 119. 8 Fadlalla Haeri, The Element of Sufism, terj. Ibnu Burdah dan Sohifullah, Jenjang-Jenjang Sufisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 169. 9 Javad Nurbakhsh, Sufi Women, diterjemahkan oleh MS Nasrullah dan Ahsin Mohammad dengan judul Wanita-Wanita Sufi, (Bandung: Mizan, 1996), cet. I., h. 29 10 Harun Nasution dkk., loc. cit.

Rabiah hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Dalam sebuah riwayat tasawuf, disebutkan bahwa rumah Rabiah pernah dimasuki pencuri ketika dia sedang qiym al-lail. Karena tidak mendapati sesuatu barang bergarga pun di rumahnya, maling itu berusaha mengambil bejana tempat wudhu Rabiah. Namun anehnya dia tidak bisa keluar dari rumah itu sampai akhirnya meminta maaf kepada Rabiah. Kala itu Rabiah mengatakan bahwa dia boleh membawa apa saja di rumah itu selain bejana tersebut, karena menurutnya, itulah satu-satunya benda berharga miliknya yang digunakannya untuk bersuci. B. Tasawuf 'Irfani Rabiah Sebagian penulis menganggap Rab'ah al-Adawiyyah sebagai orang yang pertama membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrem rohani. Dengan cita ajaran mistik, dia dianggap berusaha mengalihkan secara drastis tujuan hidup umat Islam, termasuk dasar peribadatan mereka yang lazimnya didasarkan atas rasa takut terhadap neraka dan harapan akan surga. Melalui jalan sufi ini, tujuan utamanya berupa penghayatan ma'rifah, langsung bertatap muka dengan Tuhan.11 Kiranya anggapan itu terlalu berlebihan, lantaran keterpukauan dengan syair-syairnya yang oleh sebagian ilmuwan diragukan keasliannya.12 Jika sudut pandang yang dipakai adalah sejarah Bashrah pada khususnya, tentu fenomena Rabi'ah adalah
Simuh Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hlm. 29-31. 12 Lihat misalnya Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, terj. Satrio Wahono, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 43.
11

sebuah kasus yang sangat individual. Kita bisa berasumsi bahwa yang sering disebut sebagai "ajaran" pada dia bukanlah kenyataannya demikian, melainkan sebuah prinsip hidup yang sangat pribadi (pendirian), yang secara psikologis dapat dipahami sebagai bentuk respon ketaatan beragama (zuhud) dia terhadap fenomena luar yang berada dalam ekosistem kecintaan terhadap dunia. Konsep mahabbah, oleh dia disifati sebagai maqm seorang hamba di hadirat Tuhan,13 yang karenanya tidak memberikan peluang bagi kecintaan terhadap yang selain Allah SWT, termasuk terhadap Rasulullah saw sekalipun. Penghayatan terhadap hierarki (tingkatan) rohani yang cukup mendalam semacam ini dapat disebut bagian nyata dari pola pikir 'irfan (pola pikir yang mementingkan pengenalan intuitif terhadap hakikat Ketuhanan). Relevansi tasawuf irfan Rabiah adalah bahwa di dalam sejarah pemikiran Islam pada pertengahan abad II H, pola pikir umat Islam tampak terpolarisasi kepada tiga kecenderungan ekstrim yang saling tersekat satu sama lain, yakni pola pikir bayn (tekstual), burhn (logis), dan irfn (mistis).14 Pola kecenderungan berpikir tekstual (skripturalis) yang ekstrim dapat ditemuikan secara jelas di kalangan Khawarij, di mana mereka mengembangkan pemikiran keagamaan yang sangat formalistik (resmi/harfiah) dan dangkal, sehingga ukuran keimanan
Lihat salah satu syair dia seperti dikutip oleh Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet. III, hlm. 173. 14 Said Agiel Siradj, "Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja", dalam Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Interpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 2002), cet. II, hlm. 22-24.
13

seseorang hanya dilihat dari formalitas praktek peribadatannya. Adapun kecenderungan ekstrim burhn dapat dilacak kepada aliran Mu'tazilah yang kala itu berhasil mengusai politik. Sedangkan kecenderungan pola pikir yang ekstrim irfn jelas terlihat sejak masa yang lebih awal pada beberapa kelompok Syi'ah seperti sekte Kisniyyah dan Immiyyah yang menganut doktrin ishmah al-imm (Imamologi), dan kecenderungan ini sangat dilatarbelakangi oleh keinginan kuat mengangkat kembali warisan kebudayaan Zoroaster Iran yang sarat dengan ilmu-ilmu klenik (magis).15 Kehadiran tasawuf sebagai sebuah sistem (tharqah) keagamaan di masa ini tampak berfungsi menyeimbangkan ketiga kecenderungan ekstrim dalam pola pikir di atas beserta segala implikasinya dalam tataran praktis (sikap dan perilaku) umat Islam. C. Konsep Mahabbah Pokok pendirian tasawuf Rabah adalah tentang cinta sejati, di mana dia mengabdi atau beramal saleh semata-mata karena kecintaan tulus dan bulat terhadap Allah swt. Bahkan, lantaran seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai ataupun membenci yang lain.16 Di dalam kitab al-Wf bi al-Wafayt karya al-Shafad (w. 748 H.), disebutkan sebuah munajatnya, ketika mana Rabiah bersyair:17

15 16

Ibid. Asmaran As., op. Cit., hlm. 278. 17 CD al-Maktabah al-Symilah, Al-Wf bi al-Wafayt, Jilid 4, h. 435.


Maka kala itu terdengar suara htif:


Di dalam Kholasa-ye Syarh-e Taaruf juga disebutkan sebuah anekdot ketika Rabiah sedang ditimpa sakit. Serombongan orang datang mengunjunginya seraya menyatakan turut berdukacita atas sakitnya itu. Mereka menanyakan tentang kesehatannya, Rabiah pun menjawab, Demi Allah, semua yang kuketahui ialah bahwa sekarang ini surga telah ditampakkan kepadaku, dan hatiku merasa sangat merindukannya. Kukira, kecemburuan Tuhan Maha Agung telah menghukum diriku melalui penyakit ini. Inilah sejenis teguran dari Allah..18 Kemasyhuran yang diperolehnya adalah karena ia membawa dan mengemukanakan konsep baru dalam hidup kerohanian Konsep zuhud yang membawa Hasan al-Bashri beranjak karena faktor khauf dan raja, dikembangkan oleh Rabiah kepada konsep zuhud karena cinta. Menurut beberapa orientalis yang mendalami kajian tasawuf, seperti Nicholson, pentingnya kedudukan Rabiah adalah karena dia menandai konsep zuhud dengan corak lain tersebut. Sedangkan dalam tinjauan insider, tentunya pentingnya kedudukan Rabiah lebih kepada ketinggian penghayatannya terhadap konsep mahabbah, sehingga faktor kecintaan tauhidiyyah kepada Allah swt. menjadi landasan segenap amal ibadahnya di dalam menjalani kehidupan dunia ini.

18

Javad Nurbakhsh, op. cit., h. 47.

D. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun Rabiah sangat sufi oriented, namun dia dikenal sebagai orang yang sangat taat (secara syariat) kepada Allah swt. Dia menyerahkan seluruh dirinya kepada Dzat yang sangat dikasihinya, sehingga dia tidak mau berbagi kasih kepada sesame makhluk. Pendek kata, hati Rabiah kosong dari segalagalanya kecualo Allah swt semata, di mana dia tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk mencintai selain Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

Victor Danner, "Perkembangan Awal Tasawuf" dalam Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality Foundations, terj. Rahmani Astuti, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Buku I, Bandung: Mizan, 2002 Fadhlalla Haeri, The Elements of Sufism, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Abd al-Karm ibn Hawzin al-Qusyair, al-Rislah al-Qusyairiyyah f 'Ilm al-Tashawwuf, T.t.: Dr al-Khair, t. th. Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I, Jakarta, Djambatan, 2002 Asmaran As Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2006 Fadlalla Haeri, The Element of Sufism, terj. Ibnu Burdah dan Sohifullah, Jenjang-Jenjang Sufisme, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000 Javad Nurbakhsh, Sufi Women, diterjemahkan oleh MS. Nasrullah dan Ahsin Mohammad dengan judul Wanita-Wanita Sufi, Bandung, Mizan, 1996.

Simuh Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997 Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, terj. Satrio Wahono, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Jakarta, Serambi, 2002 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995 Said Agiel Siradj, "Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja", dalam Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Interpretasi, Yogyakarta, LKiS, 2002

10

You might also like