You are on page 1of 5

Membangun Etos Kerja dan Semangat Wirausaha Bagi Pemuda

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/11/21/membangun_etos_kerja_dan_semangat_wiraus~3328491/

by masadmasrur @ 2007-11-21 02:48:40

Membangun Etos Kerja dan Semangat Wirausaha Bagi Pemuda Oleh Masad Masrur Satu fenomena yang menggembirakan belakangan ini adalah banyaknya bermunculan usahawan-usahawan baru yang dibangun oleh para pemula yang usianya masih terbilang muda. Namun seiring bermunculannya bisnis-bisnis baru, dalam jumlah yang tak sempat dihitung juga tak sedikit bisnis yang berguguran. Memulai sebuah usaha berarti ia juga harus siap memikul risiko, meskipun itu risiko kegagalan. Namun, tentu saja risiko itu seharusnya muncul setelah ia memang telah melaksanakan secara maksimal modal yang ada untuk mencapai tujuan usaha. Dan modal usaha bukan hanya sekedar materi. Ary Ginanjar Agustian, praktisi bisnis dan pencetus ESQ (Emotional Spritual Quotient) model, dalam sebuah tulisannya memaparkan bahwa seorang pengusaha tidak bisa hanya berpikir tentang uang baik untuk dihabiskan, investasi, maupun membeli keunggulan dengan pengusaha lainnya. Menurutnya sebuah usaha harus dibungkus dengan nilai-nilai agar tetap bisa bertahan dan berkembang di tengah era persaingan yang amat ketat. Perlunya nilai pada sebuah usaha, minimal membutuhkan tiga modal yakni modal material berupa kecerdasan (IQ), modal sosial dan emosional (EQ), dan modal spiritual (SQ). Seorang pengusaha juga membutuhkan ketiga modal tersebut. Kenyataannya, selama ini banyak yang terpaku hanya kepada modal material. Sebesar apa pun bisnis bisa jatuh jika meremehkan nilai-nilai tersebut. Sebuah perusahaan besar misalnya, dalam sekejap bisa ambruk akibat mengesampingkan nilai-nilai dalam berusaha/berbisnis. Misalnya Enron, Worldcom dan Arthur Andersen. Membangun sebuah usaha adalah kemampuan memelihara sistem yang telah ada, dan senantiasa selalu meningkatkannya. Pebisnis yang baik sejatinya harus menyimak makna yang terkandung di dalamnya. Yakni, pebisnis harus bersifat rahman (kasih sayang), memerhatikan hukum alam, menciptakan produk/jasa yang unggul dan memiliki nilai yang sesuai dengan fitrah. Dibutuhkan pula keteraturan dan keseimbangan, tunduk patuh pada sistem perusahaan yang telah ditetapkan dan tingkatkan terus kualitas dengan berpegang pada hukum alam. Selain itu, jangan pernah keluar, apalagi meruntuhkan keseimbangan, bersikap adil, jujur dan penuh perhitungan, menyiapkan bumi sebagai fasilitas pelayanan, dan tampilkan dengan indah produk dan jasa. Jangan pernah berhenti menampilkan keindahan dari produk dan jasa kita. Pemahaman yang salah terhadap ruang lingkup usaha dan pengertian wirausaha ini kadang membuat sebagian besar kita beranggapan bahwa dengan menjadi pedagang, melakukan proses jual-beli, maka otomatis ia telah menjadi wirausahawan. Kesalahan tersebut mengindikasikan cara pandang yang menganggap bahwa segala sesuatu bisa di-"bisnis"-kan untuk menghasilkan uang. Anak muda sering menyebut seseorang yang memiliki cara pandang demikian sebagai "OD" (otak dagang). Ciri paling kentara dari "otak dagang" ini adalah terlalu mementingkan profit dalam jual-beli. Ia akan meninggikan nominal harga produk beberapa kali lipat dari harga pokoknya. Kesalahan memaknai istilah wirausaha ini justru terletak pada konteks. Wirausaha sebenarnya adalah sikap bukan sebuah profesi. Wirausaha merupakan objek bukan sebagai suatu subjek. Profesi apapun, keahlian apapun yang dimiliki seseorang, akan memungkinkan individu-individu tersebut pantas disebut wirausahawan. Kewirausahaan bukan semata-mata kegiatan meraih laba, yang seringkali hinggap pada anggapan pribadi-pribadi sekuler sebagai tujuan akhir. Kata "usaha"-pun bukan monopoli ruang lingkup berdagang atau jual-beli saja. Semua profesi adalah usaha, sehingga seorang dokter, petani, pelukis, penyanyi, bahkan mahasiswa pantas digelari "wirausahawan", persis sejajar dengan pedagang. Dalam Islam, "usaha" sendiri merupakan salah satu syarat dari Allah Azza wa Jalla agar pintu rezeki dibukakan oleh-Nya. Berdagang termasuk cabang usaha yang menjadi pintu datangnya rezeki. Menjadi guru, dokter, pegawai negeri, tentara, mahasiswa ataupun seniman, juga termasuk profesi-profesi yang ditempuh manusia dalam membuka pintu-pintu rezeki. Dengan begitu, besar-kecilnya rezeki tidak tergantung dari seseorang berdagang atau tidak. Penentu besarnya rezeki bukanlah profesi

seseorang, melainkan seberapa besar seseorang menyempurnakan usaha atau ikhtiarnya. Menurut ajaran Islam, harta dan rezeki hendaknya tidak hanya dinikmati serta tercurahkan pada saat manusia berada di dunia. Rezeki yang manusia perjuangkan merupakan rezeki yang hendaknya dinikmati pula saat ia hidup di akhirat kelak. Oleh karenanya, rezeki sebagai harta paling utama yang wajib diperjuangkan seorang wirausahawan sejatinya mengandung: kemanfaatan bagi diri dan lingkungan sekitarnya, keberkahan dari Allah SWT, selain laba yang mampu menjadi penunjang perkembangan dan keberlangsungan usaha. Dengan konsep strategis tersebut seorang wirausahawan akan meraih apa yang sering didoakan oleh Rasulullah SAW, "..fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah."Insya Allah.*

6.mengembangkan semangat wirausaha


Diposkan oleh yuLieanthie undefined undefined, undefined http://yulianti311.blogspot.com/2009/01/6mengembangkan-semangat-wirausaha.html

6.Mengembangkan Semangat Wirausaha 6.A.Persyaratan Semangat Kerja Wirausaha 1.Memiliki Kepribadian Unggul 2.Mengenal Diri Sendiri 3.Memiliki Kekayaan Pribadi 4.Kemauan Untuk Belajar 5.Memiliki Keahlian Khusus 6.b.Tujuan Semangat Kerja 1.Meningkatkan prestise pribadinya 2.menciptakan kesan bonafid 3.memperoleh suatu kemajuan 4.mempertahankan kontinuitas belajarnya 5.meningkatkan semangat belajar dan kerjanya. 6.c.Faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja wirausaha: 1.Peluang usaha atau bisnisnya 2.minat dalam usaha atau bisnisnya

3.modalnya apakah sudah tersediaatau belum 4.relasinya,apakah dari keluarga,teman yang menekuni usaha yang sama atau usaha yang dikembangkan ada relevansinya dengan usaha tersebut. 6.d.Menerapkan Semangat Wirausaha 1.Menciptakan Semangat Kewirausahaan 2.Membentuk dan Mengembangkan Jiwa Wirausaha 3.Membentuk Karakteristik Kewirausahaan 4.Menciptakan Masyarakat Berbudaya Wirausaha 5.Mengembangkan Etos Pelanggan Wirausaha

MEMBANGUN JIWA DAN SEMANGAT KEWIRAUSAHAAN


http://www.perrytristianto.com/baru/articles/bisnis-dan-motivasi/148.html?task=view Saya tidak mencari pekerja atau karyawan, tetapi saya mencari partner yang mau membangun usaha ini bersama saya. Demikian diungkapkan oleh Sandi Kusnadi, S.T., MBA, pada saat mengawali usaha kue-kue coklat yang berlokasi pada salah satu konter di kawasan wisata kuda De Ranch, beberapa waktu lalu. Kata-kata itu diucapkan di hadapan seseorang yang awalnya memang sangat berminat bekerja karena tuntutan kehidupan, bukan untuk bekerjasama. Cara pandangnya segera berubah saat Sandi mengatakan bahwa meskipun demikian, ia masih tetap akan dihargai berdasarkan prestasi yang ditunjukkan pada saat mengawali usaha yang digelutinya. Calon mitra usaha itu kemudian merasa lega, karena tidak seperti yang diduga sebelumnya, kalau ia harus mengeluarkan modal. Padahal tidak demikian. Modal yang perlu dikeluarkannya cukup hanya dengan tenaga dan waktu, yang akan dibarter dengan penghargaan yang dinilai dengan uang. Saya teringat akan kisah Willard Walker, manajer pertama dari Waltons Five and Dime, Fayetteville, salah satu toko awal dari grup raksasa Wal-Mart yang didirikan oleh raksasa ritel Amerika, Sam Walton. Willard menceritakan bahwa ketika pertama kali bertemu dengan Sam Walton ketika Sam dan kakak iparnya, Nick Robson, berkunjung ke toko TG & Y Dime Store yang dikelola Willard di Tulsa. Ia bercakap dengan saya selama satu jam, menanyakan banyak hal, dan pergi, dan saya tak mengingatnya lagi. Kemudian ia menelpon dan menawarkan pekerjaan sebagai manajer toko di Fayetteville yang baru dibukanya. Saya harus pindah ke sana, bekerja setengah hari tanpa bayaran sampai toko dibuka, dan tidur di gudang. Ia menjanjikan bagian dari keuntungan, dan hal ini menarik bagi saya. Ketika saya mengundurkan diri dari TG&Y, vice preseidentnya berujar, Ingat Willard, persentase dari nol adalah nol. Tapi saya tetap bergabung dengan Sam, yang setiap hari bekerja di sana sampai kami semua pulang. Ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja tiap hari sampai toko itu berhasil dibangun dari nol, pengakuan Willard. Selanjutnya Willard mengatakan, Kemudian setelah ada banyak Wal-Mart dan kami go public, saya meminjam banyak sekali uang untuk membeli sahamnya, Bud dan Sam sedang mengunjungi toko suatu hari, dan ketika melihat saya, Bud berkata, Willard, mudah-mudahan perhitunganmu tidak meleset. Ia mengatakan bahwa saya memercayai perusahaan ini lebih dari dia sendiri. Saya yakin perusahaan ini akan berhasil. Falsafahnya masuk akal, dan Anda mau tak mau akan memercayai Sam. Ada catatan mendasar yang menjadi kunci keberhasilan dalam mengawali wirausaha. Itu adalah kualitas manusia sebagai sumber daya. Bahkan tidak hanya menjadi sumber daya, tetapi sekaligus juga sumber dana. Jika hal ini dikaitkan dengan gelaran CAFTA yang banyak mengundang opini pro dan kontra, pertanyaan mendasar yang segera terdengar, siapkah masyarakat Indonesia menyambut pasar bebas CAFTA ini? Siapkah sumber daya manusia negeri ini diadu dengan negara lain? "Jika sikap dan kesiapan Indonesia tetap begini-begini saja, saya yakin Indonesia akan kalah bersaing. SDM Indonesia harus siap berubah. Dalam sebuah organisasi, manusia Indonesia harus menjadi aktor, bukan sekedar faktor pelengkap keberhasilan sebuah industri," ujar Dra. Tanti Syachroni, Direktur HRD & GA PT. PISMA Group Surabaya dalam Kuliah Umum "Penyiapan SDM Industri Manufaktur: Peluang dan Tantangan Era CAFTA" di Jurusan Teknik

Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (TK FTI UII), beberapa waktu lalu. Perusahaan industri Indonesia sudah seharusnya menjadikan manusia atau pegawai mereka sebagai partner strategis perusahaan. "Kita harus bisa mendapatkan, menempatkan, dan mengembangkan SDM yang berkompetensi tinggi. Kompetensi yang saya maksudkan ini terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude)," tutur Tanti memberikan ungkapan yang sesuai dengan bidang yang ia geluti saat ini. Dunia pendidikan Indonesia, menurutnya, masih kurang komplit dalam membekali mahasiswa. Pasalnya, perguruan tinggi saat ini membekali mahasiswanya hanya dari sisi pengetahuan dan skill saja. Itu pun umumnya lebih menitikberatkan pada hard skill atau keterampilan teknikal saja. "Padahal, ada satu faktor lagi yang tak kalah penting, yaitu sikap atau attitude. Di perguruan tinggi Indonesia, untuk keterampilan personal atau sikap, justru harus digali sendiri oleh mahasiswanya. Akhirnya, ini hanya menjadi beban perusahaan untuk melengkapi dan mengembangkan mereka ketika diterima bekerja. Inilah yang harus dipikirkan dengan seksama oleh para pengelola perguruan tinggi kita," ujar Tanti yang masih tercatat sebagai mahasiswa Program Magister Manajemen Universitas Narotama Surabaya. Keunggulan kompetensi manusia Indonesia ini sering diungkap oleh berbagai media maupun para pakar. Yang justru diperlukan dalam menghadapi pasar bebas ini, bukan hanya tenaga-tenaga yang hanya sekedar menjadi partner usaha atau karyawan/pegawai, tetapi yang benar-benar mampu terjun ke bidang wirausaha, menggeluti dan menekuninya sampai berhasil. Jiwa dan semangat wirausaha itu yang perlu ditumbuhkan di kalangan generasi muda kita, sehingga mereka tidak menciptakan ketergantungan pada pihak lain, tetapi sebaliknya menciptakan kemandirian, baik sebagai individu maupun bangsa. Oleh karena itulah, kini muncul berbagai macam lembaga pendidikan maupun pelatihan yang bertujuan menumbuhkembangkan jiwa dan semngat kewirausahaan itu. Entrepreneurship (kewirausahaan) adalah sebuah faktor kunci yang hilang, kata Dr.Ir. Ciputra, pendiri Universitas Ciputra. Dalam buku Quantum Leap, Bagaimana Entrepreneurship Dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan Bangsa; ia memberikan jawaban bagaimana entrepreneurship sebagai faktor kunci bisa kembali diraih dan digunakan oleh seseorang maupun sebuah bangsa untuk membuka pintu keluar dari masalah pengangguran dan kemiskinan. Bahkan bisa digunakan untuk membangun kesejahteraan. Dalam berbagai cara sosialisasi, baik melalui kuliah langsung maupun pelatihan-pelatihan dan seminar, Ciputra mengajukan 7 macam pertanyaan mendasar untuk membangun dan memicu jiwa kewirausahaan. Pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan dan terus menerus dicari digali untuk mendapatkan jawaban bagi masing-masing entrepreneur muda. 1. Apakah anda berhasrat besar menjadi seorang entrepreneur? Anda dapat memberikan pernyataan-pernyataan utuk dapat meyakinkan orang lain bahwa Anda benar-benar memiiki hasrat besar untu menjadi wirausahawan. 2. Apakah anda melihatkesempatan besar untuk melayani pasar? Apakah kita melihat sebuah peluang besar yang belum dilakukan orang lain...? 3. Apakah anda punya produk inovatif yang sulit ditolak oleh prospek anda? Apa kuda Troya Anda? 4. Apakah anda mampu memenangkan persaingan secara efektif? Jadilah yang lebih baik bukan hanya di barisan belakang. Jika Anda tidak dapat menjadi lebih baik, ciptakan perbedaan. 5. Apakah Anda bisa menghasilkan produk dan memasarkannya dengan cara yang paling efisien? Sebagian kecil orang membeli karena mahal. Sebagian besar orang membeli karena murah. 6. Apakah Anda tahu cara mendanai ide usaha baru Anda dengan biaya termurah, resiko terendah & hasil yang terbaik? Misalnya dengan: modal sendiri, mitra, bank, modal ventura, atau mencicil? 7. Apakah anda siap menghadapi tuntutan kerja keras, berani menanggung resiko gagal dan rugi? Perlu juga disiapkan mentalitas, bahwa sukses dan gagal memiliki nilai yang sama. Nah, 7 pertanyaan itu kita manfaatkan sebagai pelajaran untuk mengembangkan jiwa dan semangat entrepreneurship yang secara terus menerus perlu kita tumbuhkan, kita kembangkan, kita pupuk, kita sirami, sampai pada akhirnya bertumbuh, berkembang, berbuah berlimpah-limpah.

MENGIKAT SEMANGAT WIRAUSAHA


Posted on by ferdy on August 11th, 2009 | 3 Comments http://ferdianadi.com/2009/08/11/mengikat-semangat-wirausaha/

Suatu siang, seorang sahabat berkunjung ke tempat usaha saya. Dia bercerita banyak mengenai perkembangan usaha yang dijalaninya. Sengaja ia datang ke tempat saya untuk bertukar pikiran. Sebagai sesama orang muda yang belajar menekuni usaha dan membangun kemandirian, bertemu dan berbagi menjadi salah satu suplemen penunjang semangat kami berwirausaha. Seperti halnya dalam konteks yang lebih luas lagi, berdirinya HIPMI, JPMI dan asosiasi atau pertemuan para pengusaha lainnya, tak lain adalah sarana agar sesama pengusaha bisa saling mendukung dan bekerjasama. Nampaknya hal tersebut pula yang membuat sahabat saya ini lebih bersemangat berbagi dengan saya. Ia saat ini juga sedang aktif mengikuti pertemuan rutin yang beranggotakan wirausahawan-wirausahawan muda di Kota Yogyakarta, yang juga alumni Pelatihan ESQ 165 Ary Ginanjar Agustian. Pada intinya mereka membentuk jaringan, saling berbagi visi besar dan janji saling mendukung satu sama lain untuk mencapai puncak kesuksesan bersama kelak. Meski mereka dari berbagai bidang usaha. Sahabat saya begitu senang bercerita tentang forum barunya tersebut. Banyak hal yang bisa ia terapkan dalam jalan wirausaha yang dipilihnya. Termasuk mengatasi masalah kejenuhan dalam berwirausaha. Ia menemukan keinginan yang sama dengan teman-teman forumnya ketika mengalami masa-masa sulit dalam berwirausaha. Keinginan itu adalah berhenti menjadi wirausahawan dan melamar pada sebuah instansi atau perusahaan untuk bekerja menjadi karyawan dengan gaji yang aman dan rutin setiap bulannya. Sebuah keinginan yang juga pernah terlintas di pikiran saya. Menjalani dunia wirausaha dari papan bawah seperti kami terasa begitu berat dan penuh dengan tantangan. Penghasilan yang tidak tetap, kerap kali menyambangi. Padahal kebutuhan hidup tanpa ampun menyergap dari segenap penjuru. Sehingga rasa tidak aman berwirausaha menggoda. Untungnya kami sadar bahwa itu hanya godaan. Godaan atas komitmen untuk berwirausaha. Sahabat saya ini kemudian mengutip kembali pernyataan salah seorang seniornya dalam forum tersebut. Bahwa kita berwirausaha bukanlah karena rasa ingin belaka. Kita berwirausaha karena memang memilih jalan tersebut, menetapkan langkah itu dan mengikat komitmen diri dalam perjalanannya. Maka layaknya pernikahan, adalah sebuah kemestian ketika kita menjaga komitmen tersebut apapun ujiannya, apapun godaannya dan apapun hasilnya. Hal tersebut adalah garis tebal dalam mindset seorang wirausahawan. Merupakan pemicu kekuatan diri untuk bangkit dan berlari kembali bagi seorang wirausahawan di masa sulit dan kegagalannya. Sungguh berharga untuk diingat sebagai salah satu modal utama berwirausaha. Sebuah oase menurut saya ketika ia menceritakan kembali perbincangan yang diikutinya dalam forum tersebut. Tepat ketika saya juga membutuhkannya. Pilihan berwirausaha memang membutuhkan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Apalagi tingkat persaingan usaha dan perilaku pasar semakin dinamis. Selanjutnya cita-cita untuk menjadi besar diawali dengan langkah-langkah sederhana untuk melakukan yang terbaik. Inspirasi ini lebih berarti ketika saya menyimak kalimat penutup dalam Mario Teguh Golden Ways, pada tanggal 9 Agustus kemarin. Kalimat tersebut adalah; Berfokuslah pada hal-hal yang membuat anda bernilai, lalu perhatikan apa yang terjadi.

You might also like