You are on page 1of 9

HUKUM AGRARIA (ANALISA PENERAPAN ASAS PERLEKATAN HORIZONTAL (HORIZONTALE ACCESSIE BEGINSET) DAN ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL (HORIZONTALE

SCHEIDING))
Asas perlekatan horizontal (horizontale accessie beginsel) Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan, bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun dan menanamannya. Kleyn mengatakan bahwa dalam pertumbuhan milik ada dua pokok, yaitu 1) Pemilik suatu benda adalah pemilik semua bagian- bagiannya; 2) Superficies solo cedit, artinya tanaman-tanaman dan bangunan di bawah dan di atas tanah yang secar kekal dan menyatu dengan tanah, kecuali hal-hal yang diuraikan kemudian adalah milik pemilik tanah. (1) _________ (1)Kleyn M.M, Ichtisar Hukum Benda Belanda, Compedium Hukum Belanda, dalam Djuhaendah Hasan, op. Cit., hlm. 74. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding) Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang punya tanah yang ada di atasnya. Jika perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi juga bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan. Pendapat Sudargo Gautama:(1) yang mengatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku, untuk tanah milik dibedakan antara tanah dan rumah atau bangunan yang didirikan di atasnya. Tanah dan rumah batu yang didirikan di atasnya di pandang terpisah, bukan sebagai kesatuan hukum sebagai yang di tentukan dalam hukum barat. Dan bisa juga menurut pendapat Van Dijk :(2) mengatakan bahwa hak atas tanah dan segala benda yang berada di atas tanah adalah dua soal yang berlainan yaitu rumah dan perkarangan, tanah dan tanaman masing-masing mungkin menjadi milik orang. __________ (1) Sudargo Gautama, Masalah Agraria, Alumni, Bandung 1973, hlm. 57

(2) Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, dalam Djuhaedah Hasan, op. Cit., hlm. 84.

UUPA ADALAH POLITIK AGRARIA NASIONAL


Kelahiran UUPA merupakan suatu tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada suatu proses pemberdayaan untuk memperoleh suatu kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA disini sebagai sebuah rekonstruksi suatu bangunan politik agraria yang bertujuan untuk menjamin hakhak petani atas suatu tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa kita ini di negara yang disebut sebagai suatu negara agraris, yang tugasnya untuk lebih mengedepankan makna kemerdekaan bagi rakyat tani, yakni kuatnya suatu hak atas tanah yang dimilikinya. Dengan dianutnya suatu model pembangunan ekonomi yang bergaya kapitalis, maka pemerintah telah merubah politik agraria dari populis ke kapitalis. UUPA lebih ditafsir untuk menjustifikasi suatu kebijakan yang justru bertentangan dengan UUPA. Politik agraria, telah menempatkan tanah sebagai suatu masalah yang rutin di dalam birokrasi pembangunan. Agrarian reform yang semula untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik maka menjadi berhenti dan seolah-olah UUPA disini di peti emaskan demi sebuah pembangunan. Di bidang perundang-undangan, dilahirkan suatu produk yang bertentangan dengan UUPA, sehingga muncul berbagai macam konflik agraria yang menempatkan petani di pihak yang selalu dikalahkan demi kepentinagn suatu pembangunan. Arah kebijakannya menjadi lebih berat ke politik pemerintahan, bukan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo liberalisme, bentuk kebijakan pemerintah indonesia pun telah melahirkan sekian banyak persoalan yang menyangkut hak hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan hak politik. Keputusan yang berkaitan dengan hal tersebut, dapat kita lihat lihat dengan keluarnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan masyarakat bawah, misalnya: - UU SDA Nomor 7 Tahun 2004. - UU Perkebunan. - UU Ketenagalistrikan. - Amandemen UU Tata Ruang. - UU ketenagakerjaan. - Privatisasi BUMN yang menyangkut hajat hidup orang banyak. - Pencabutan Subsidi Pendidikan. - KepMen No. 41 Tahun 2004. - SK Menhut 134 2004. - Perpres No. 36 tahun 2005. - dan aset publik lainnya. Dampak dari beberapa contoh produk kebijakan di atas, sangat jelas akan merugikan rakyat, di tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah

untuk menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan tersebut, mengarah pada pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan negara RI yang anti-penjajahan. Namun, sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya, posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran hak-hak atas tanah petani. Konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan lingkungan. Belum lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya, yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya. Maka para serikat tani nasional menyerukan Konsolidasi Masyarakat Sipil Demokratik sebagai pilihan, bersama-sama bergerak mewujudkan demokrasi dan pembebasan sejati, serta menuntut: 1. Reforma Agraria, Berikan Hak Rakyat Atas Tanah Sekarang Juga. 2. Selesaikan Sengketa dan Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945, Pasal 33 dan UUPA No.05 Tahun 1960.

3. Pendidikan, Perumahan Layak, dan Kesehatan Gratis Bagi Rakyat. 4. Cabut Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang Merupakan Biang Kemiskinan di Indonesia. 5. Cabut Pepres No. 36 Tahun 2005 tentang PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM. 6. Cabut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. 7. Cabut UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. 8. Tolak Liberalisasi Sektor Agraria (Privatisasi/Penjualan Aset Negara yaitu Perkebunan BUMN) yang Merupakan Agenda Neo-Liberalisme. 9. Kembalikan Hak dan Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria. 10. Hentikan Praktek-Praktek Kekerasan yang Dilakukan Negara Terhadap Petani 11. Ukur Ulang dan Cabut HGU Perusahaan Perkebunan yang Bersengketa (merugikan) kesejahteraan Rakyat. 12. Nasionalisasi Industri Asing (Perkebunan) untuk Kesejahteraa Rakyat. UUPA sejak awal berlakunya sudah memuat visi dan membawa misi yang memberikan arahan awal dan mendasar, yaitu mewujudkan hubungan ideal tanah sejalan dengan prinsip "Land for the Thriller". Namun, hal itu tidak berumur lama karena kerumitan masalah ketimpangan struktur pemilikan tanah yang telah terjadi berabad-abad lalu belum sempat terselesaikan. Hal itu dapat dilihat adanya deviasi kebijakan pertanahan yang kemudian ditempuh rejim orde baru sejak tahun 1967 ditandai berlakunya UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga akhir 1998. Fenomena yang sudah terjadi sejak tahun 1960 tersebut harus dilihat secara utuh dari bagian politik agraria nasional yang dijalankan rejim-rejim yang berkuasa. Fokus kajian yang dianggap sebagai alternatif jawaban terhadap permasalahan ini adalah adanya pelanggaran moral dan hukum dalam pelaksanaan politik pertanahan nasional. Landasan moral dan hukum pelaksanaan politik pertanahan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan ini memberikan perintah kepada negara sebagai badan penguasa atas tanah yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan sebesarbesar kemakmuran rakyat. Perintah itu yang hingga tulisan ini dibuat, kiranya masih jauh dari harapan petani maupun sebagian besar bangsa Indonesia.

Pada tahun 1984, Indonesia pernah memperoleh penghargaan dari FAO atas kemampuan swasembada pangan sebagai sektor primer agraris. Tetapi apa daya, ternyata menjelang milenium ketiga, negara kita tiba-tiba menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia. Hal itu terjadi akibat kondisi rawan pangan, kebakaran hutan, banjir, tumbuhnya kaum tuna kisma akibat mis-management karena penerapan bad-governance yang mengabaikan aspek moral dan hukum Dua fakta yang kontradiktif itu seyogyanya dapat menjadi bahan pemikiran. Apakah dampak penerapan kebijakan yang keliru terhadap pertanahan dan sektor pertanian yang hebat, sehingga dampaknya demikian kontras? Untuk mengukur tingkat kebijakan yang diterapkan dalam bad governance itu, tentunya siginifikan ditujukan pada moralitas penyelenggara negara level nasional sebagai pembuat dan pengendali kebijakan tertinggi di republik ini. Semua unsur pelaksana kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) ikut andil dalam pelaksanaan bad governance dan mengabaikan moral dan hukum dalam mengatur dan melaksanakan politik pertanahan yang diperintahkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Corak atau struktur kekuasaan yang melaksanakan UUPA pada semua rejim sebenarnya berbeda. Namun, sama saja implementasi atas ketentuan UUPA yang bermuatan kerakyatan, demokrat, anti monopoli dan anti eksploitasi terhadap manusia. Visi UUPA sebenarnya telah diilhami berbagai doktrin berkaitan dengan dampak absolutisme akibat penguasaan dan pemilikkan tanah yang berlebihan. Di antara doktrin klasik yang paling mendasar adalah "Land is power" atau tanah adalah kekuasaan. UUPA secara sadar telah membuat batasan dan pedoman yang melarang konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah yang berdampingan erat dengan ideologi kemutlakan kekuasaan dan anti demokrasi. Penyelewengan implementasi penegakan hukum terlihat pada tren yang menganut asas kepastian hukum yang mendominasi persepsi penegakan hukum dalam masalah agraria dan dijauhkan dari moralitas hukum yang tidak lain adalah moral itu sendiri. Padahal Paul Vinogradoff dalam "Common Sense in Law" (1959) pernah mengatakan "...In their (lawyers) views law is morality so far as morality can be enforced by definite social action; in other words, it is the minimum of morality formulated and adopted by a given society". Selain itu, Prof. Hazairin pun pernah menyatakan bahwa kaitan moral dan hukum dalam pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Hukum UI bahwa hukum di Indonesia harus mencerminkan kemanusiaan yang adil (sasaran hukum) dan beradab (kondisi ideal dalam kaedah moral). Gambaran suram, khususnya penegakan hukum, masih berjalan terus hingga pada saat munculnya arahan pembaharuan agraria melalui Ketetapan MPR-RI No.XI/MPR/2000. Pada tahap awal dan akhir dari pelaksanaan pembaharuan agraria, tidak lain adalah terkait dengan pembuatan instrumen hukum dan penegakan hukum di bidang agraria yang harus mampu menuju pada kedamaian yang di dalam substansi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dapat dipahami tujuan penguasaan tanah oleh negara adalah "& bagi sebesar-

besar kemakmuran rakyat". Kedamaian yang tercipta dari tercapainya keadilan tidak kunjung menghampiri negara kita tidak lain berawal dari prakondisi yang terjadi dalam hal ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang sebenarnya merupakan sasaran law enforcement atas berlakunya UUPA. Landasan moral yang seyogyanya harus menjadi pedoman pelaksanaan UUPA yang pembentukannya bersumber dari hukum adat adalah ciri masyarakat adat yang komunalistik religius. Menempatkan moral dan hukum sebagai satu bagian integral dalam pelaksanaan politik agraria dan tidak terpisah-pisah, sebagaimana dilakukan kaum sekuler, kapitalis adalah kunci menuju kedamaian. Hal mana masih dapat dilakukan dengan berpedoman pada moralitas dan acuan hukum penguasaan dan pemilikkan tanah di dalam UUPA, sambil terus melakukan pembangunan hukum tanah yang lebih baik untuk masa depan yang lebih baik (the peaceful future). DAFTAR PUSTAKA Suparjo Sujadi, Kajian Hukum Pertanahan pada Centre for Law and Good Governance Studies. 02 Oktober 2009 | 08:05 | Ekonomi Hukum agraria nasional ciptakan ketimpangan struktur Ukuran Huruf

Ilustrasi Makassar - Implikasi pengakuan setengah hati negara terhadap hukum adat, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan tanah adat terlihat pada hukum agraria nasional. Hukum agraria itu telah menyumbangkan ketimpangan struktur agraria mulai dari persoalan fundamental agraria, normatif pengaturan pertanahan, sampai kepada teknis administrasi pertanahan. Hal itu dikemukakan Prof Dr A. Suriyaman Mustari Pide dalam pidato Penerimaan Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di Ruang Senat Unhas, Makassar, Kamis (1/10).

Selain itu, menurutnya, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah, yakni hanya segelintir orang yang memiliki banyak tanah, namun banyak orang yang hanya memiliki sedikit tanah, bahkan banyak rakyat yang tidak memiliki tanah. "Sumbangan lainnya berupa hukum dan konflik agraria yang menyebabkan sengketa dan konflik pertanahan semakin hari semakin banyak, bahkan tanah menjadi komoditas politik, terutama menjelang pesta demokrasi," katanya. Selain itu, ujarnya, administrasi dan kelembagaan pertanahan yang belum optimal dan belum tertata dengan baik yang menyebabkan kepastian hukum di bidang pertanahan semakin tidak pasti sehingga tujuan hak menguasai dari negara yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tidak terwujud. "Selama ini telah terjadi salah tafsir mengenai makna Hukum Agraria adalah Hukum Adat. Dalam praktik, termasuk di pengadilan ungkapan ini selalu diartikan bahwa hukum adat adalah hukum positif di samping ketentuan-ketentuan yang ada dalam UndangUndang Agaria atau ketentuan-ketentuan baru lainnya di bidang keagrariaan," katanya. Pemahaman semacam itu, katanya, telah menimbulkan dualisme hukum yang baru, yaitu antara ketentuan-ketentuan dalam hukum adat, sebagai ganti dualisme antara ketentuan pertanahan menurut Hukum Adat dengan ketentuan dalam hukum produk pemerintah kolonial. "Penyebutan Hukum Agraria adalah Hukum Adat tidak semestinya diartikan bahwa Hukum Adat ditetapkan sebagai hukum positif di samping ketentuan dalam UndangUndang Agraria," paparnya. Ungkapan tersebut semestinya diartikan bahwa Hukum Agraria baru seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 disusun berdasarkan asas-asas hukum adat yang dipertentangkan dengan asas yang bersumber dari hukum yang dibuat pemerintah kolonial. Bukan berarti ada ketentuan Hukum Adat di samping yang diatur dalam Undang-Undang Agraria. "Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria harus diartikan sebagai menghapus atau meniadakan semua ketentuan-ketentuan lain di luarnya, termasuk ketentuan Hukum Adat," katanya. Bahwa berbagai kenyataan sosial (sosiologis) belum dimungkinkan secara serentak mengahapus ketentuan-ketentuan Hukum Adat, tidak berarti sebagai pengakuan bahwa ketentuan Hukum Adat berlaku sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Agaria. "Dalam penerapan hukum seperti pada proses peradilan, ketentuan Hukum Adat yang tidak sejalan dengan arah dan ketentuan dalam Undang-Undang Agraria harus dikesampingkan, kecuali penerapan itu akan bertentangan dengan kepatutan dan atau keadilan," ujarnya. Ambigu tafsir yang demikian kembali diperkuat dengan lahirnya Pasal 18 B ayat (2)

UUD 1945 hasil amendemen, yang secara tegas menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. "Penegasan ini memberikan semangat baru bagi masyarakat adat, khususnya yang berada di Papua, Kalimantan, Maluku, dan Sumatera Barat, bahkan di seluruh wilayah pedalaman Indonesia mengklaim bahwa masyarakat adat dan hak-haknya harus dikembalikan kepada mereka (masyarakat adat)," paparnya. Bekas hak-hak adat yang dimaksud sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan (HGU), kehutanan dalam bentuk HPH, dan pertambangan (KP dan KK) serta dijadikan areal transmigrasi. Implikasi amandemen terhadap Pasal 18 B UUD NRI 1945 sangat luas dan menyumbang banyak persoalan terutama menciptakan konflik pertanahan, karena tidak diikuti penjelasan yang komprehensif dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan lainnya. "Dari sisi Ilmu Hukum Pasal 18 B telah menciptakan ketidakpastian hukum karena sebagai norma konstitusi seharusnya menjadi sumber hukum bagi peraturan pertanahan nasional," katanya. (aka/ant)
Dibaca: 442 kali

Artikel ini dapat dibaca di http://htwww.primaironline.com/berita/ekonomi/hukumagraria-nasional-ciptakan-ketimpangan-struktur Pantau berita-berita terbaru primaironline.com di alamat m.primaironline.com langsung dari ponsel/BlackBerry anda! Artikel, opini, suara pembaca, dan konsultasi hukum kirim ke redaksi@primaironline.com Informasi pemasangan iklan hubungi Septaningsih di septa@primaironline.com, Telepon/Fax (+62 21) 52960435 Hak atas tanah dan benda benda di atasnya merupakan hubungan hukum yang penting bagi setiap rakyat dan masyarakat Indonesia. Pencabutan hak atas tanah dan benda benda yang ada di atasnya dilakukan dengan cara cara adil dan bijaksana sehubungan dengan kepentingan Bangsa dan Negara, kepentingan bersama dari rakyat, serta kepentingan pembangunan.

Instruksi Presiden ini bertujuan untuk menghindarkan timbulnya penyalahtafsiran dan penyalahgunaan pengertian dari Kepentingan umum dalam pelaksanaan pencabutan hak hak atas tanah dan benda benda di atasnya. Pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan benda benda di atasnya sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini, dapat dilakukan: 1. 2. 3. 4. Hanya untuk kepentingan umum; Dengan hati hati secara adil dan bijaksana; Sesuai ketentuan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku; Menggunakan pedoman pedoman sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden ini.

Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut menyangkut kepentingan Bangsa dan Negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak atau bersama, dan kepentingan pembangunan. Suatu proyek pembangunan mempunyai bentuk kepentingan umum hanya apabila sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang terlebih dahulu sudah diberitahukan kepada masyarakat.

Apabila dalam keadaan yang sangat mendesak, maka dapat dilakukan penguasaan atas tanah dan/atau benda dengan tidak perlu menunggu selesainya acara pencabutan hak seluruhnya. Penguasaan dalam hal mendesak hanya dapat dilakukan apabila penyediaan tanah tersebut memang dalam keadaan mendesak dan apabila ditunda dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam kepentingan umum, dan juga dalam hal kegiatan pembangunan oleh Pemerintah maupun masyarakat luas yang pelaksanaannya dianggap tidak dapat ditunda tunda lagi.

Penentuan besarnya ganti rugi atas tanah/bangunan/tanaman sebagaimana dilakukannya pencabutan hak hak atas tanah, dilakukan oleh panitia penaksir. Panitia penaksir dalam melaksanakan tugasnya harus menaksir dengan objektif, tidak merugikan kedua belah pihak, sesuai dengan norma norma, dan memperhatikan harga harga dalam tahun yang sedang berjalan. Pembayaran ganti rugi tersebut harus dilakukan dengan tunai dan langsung dibayarkan kepada orang yang tanahnya dicabut tersebut.

You might also like