Professional Documents
Culture Documents
Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Bisnis yang baik (good business) buka saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau menyimpang dari norma norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai dengan baik menurut arti teladan justru apabila memenuhi standart tersebut.
c. Sudut pandang hukum
Bisnis juga terikat oleh hukum. Hukum Dagang atau Hukum Bisnis merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normative, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas daripada etika, karena peraturan hokum dituliskan hitam diatas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Etika selalu harus menjiwai hukum, baik dalam proses terbentuknya undang undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum. Selain itu ada pula hal hal yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan angsung dengan etika. Walauoun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma itu tidak sama. Disamping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang moral. Oleh karena itu, dapat dikemukakan beberapa alasan, yaitu: 1. Banyak hal yang bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum hal tersebut tidak dilarang. 2. Perlunya sudut pandang moral disamping sudut pandang hukum adalah bahwa proses terbentuknya undang undang atau peraturan peraturan hukum lainnya memakan waktu lama, sehingga masalah masalah baru tidak dapat segera diatur secara hukum. 3. Hukum itu sendiri seringkali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan celah celah dalam hukum (the loopholes of the law)
4. Bisa saja hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan
sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan control yang efektif. 5. Perlunya sudut pandang moral disamping sudut pandang hukum adalah bahwa hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang ada di dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral. Tolok ukur untuk ketiga sudut pandang diatas Secara ekonomis, bisnis adalah baik, jika menghasilkan laba. Hal ini akan tampak di dalam laporan akhir tahun, yang harus disusun menurut metode control financial dan akuntansi yang sudah baku. Untuk sudut pandang hukum, tolok ukurnya cukup jelas. Bisnis adalah baik, jika diperbolehkan oleh sistem hukum. Jika kadang kala kita ragu ragu tentang boleh tidaknya suatu tindakan bisnis menurut segi hukum, kita bisa mengajukan masalah ini ke pengadilan dan minta keputusan hakim. Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut pandang moral. Yang menjadi tolok ukur dari baik buruknya suatu perbuatan / tingkah laku setidaknya ada 3 macam tolok ukur, yaitu: a. Hati Nurani Suatu perbuatan adalah baik, jika perbuatan itu dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus melakukan apa yang dikatakan hati nurani dan tidak boleh melakukan apa yang berlawanan dengan suara hati nurani. Hati nurani kita miliki karena kita adalah makhluk social. Karena itu, setiap orang memiliki hati nurani, termasuk orang yang tidak beragama. Hati nurani merupakan norma moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang lain. b. Kaidah Emas c. Penilaian Masyarakat Umum
cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis. Hal itu tentu tidak berarti bahwa etika filosofis memiliki monopoli dalam membahas topik-topik moral. Banyak masalah etis dibicarakan pada taraf popular dan hal itu selalu akan terjadi. Tetapi hanya dalam etika filosofisk, topik-topik moral dibahas secara tuntas dengan metode dan sistematika khusus yang sesuai dengan bidang moral itu. Dan kemudian pemikiran filosofis tentang topic tersebut dilanjutkan sampai pada saat ini. John Rawls, Robert Nozick, dan Michael Walzer termasuk dalam filsuf besar yang menciptakan sebuah teori keadilan yang berbobot dalam abad 20. Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia. Karena itu etika dalam arti ini sering disebut juga filsafat praktis. Namun demikian, pada kenyataannya etika filosofis pun tidak jarang dijalankan pada taraf sangat abstrak, tanpa hubungan langsung dengan realitas sehari-hari. Tetapi secara keseluruhan iklim pemikiran moral sekarang lebih terarah kepada masalah-masalah konkret. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri bagi topik-topik konkret dan actual sebagai obyek penyelidikan. Tidak lama kemudian etika terapan memperluas perhatiannya ke topik-topik actual lainnya, seperti lingkungan hidup, persenjataan nuklir, penggunaan tenaga nuklir dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan lain-lain. Etika bisnis juga sebaiknya kita lihat sebagai suatu bidang peminatan dari etika terapan. Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tida taraf yaitu taraf makro, meso, dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis.
kehidupan menusia seperti politik, keluarga, seksualitas, berbagai profesi, dan sebagainya. Jadi, etika dalam bisnis atau etika berhubungan dengan bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topic di samping sekian banyak topik lainnya. Kita baru bis berbicara tentang etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual dan akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode dalam perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis ini. 1. Situasi dahulu Dalam filsafat dan teologi abad pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen maupun islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat di zaman modern. Pembahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini diberikan dalam kalangan katolik atau protestan. Dalam kalangan katolik, pada umumnya mata kuliah ini mendalami. 2. Masa peralihan tahun 1960-an Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya. Suasana tidak tenang ini diperkuat lagi karena frustasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di Amerika Serikat. Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah member perhatian khusus kepada social issue dalam kuliah tentang manajemen. 3. Etika bisnis lahir di Amerika Serikat tahun 1970-an Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika membicarakan aspek-aspek moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika dalam hubungan dengan bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti sebenarnya. Jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan pada tahap ilmiah membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada tahun 1970-an para filsuf
memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu singkat menjadi kelompok yang paling dominan.
4. Etika Bisnis meluas ke Eropa tahun 1980-an Di Eropa Barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian, mula-mula di Inggris yang secara geografis maupun cultural paling dekat dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga di negara-negara Eropa Barat lainnya. Sepuluh tahun kemudian sudah terdapat dua belas professor etika bisnis di Universitas Eropa. Perkembangan pesat ini cukup mengherankan, karena terjadi pada saat anggaran belanja Universitas di mana-mana diperketat akibat kesulitan finansial. Karena alasan itu di beberapa tempat chair dalam etika bisnis disponsori oleh dunia bisnis, seperti di Inggris pada sekolah bisnis Leeds, Manchester, dan London. 5. Etika bisnis menjadi fenomena global tahun 1990-an Dalam dekade 1990-an sudah menjadi jelas, etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Memang benar apa yang dikatakan Richard De George: etika bisnis bersifat nasional, International, dan global seperti bisnis itu sendiri. Sejak dimulainya liberalisasi ekonomi di Eropa Timur, apalagi sejak runtuhnya komunisme di sana sebagai system politik dan ekonomi akhir tahun 1980-an, di Rusia dan negara eks-komunitas lainnya dirasakan kebutuhan besar akan pegangan etis, karena disadari peralihan ke ekonomi pasar bebas tidak bisa berhasil jika tidak disertai etika bisnis. Yang terutama aktif di sana adalah institute of Moralogy yang bermukim pada Universitas Reitaku di Kashiwa-Shi, pinggiran kota metropolitan Tokyo.
Menurut dugaan De George, pada tahun 1987 di amerika serikat saja diberikan lebih dari 500 kuliah etika bisnis, yang melibatkan lebih dari 40.000 mahasiswa yang memperoleh satuan Kredit Semester (SKS) untuk matakuliah ini.
Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis. Pada tahun 1987 pula De George menyebut adanya paling sedikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus di Amerika Serikat.
Sekurang-kurangnya sudah ada tiga seribu buku tentang etika bisnis : The Ruffin Series Ethics, New York, Oxford University Press, sejak 1989, editor: R. Edward freeman; Issues in Business Ethics, Dordrecht (belanda), Kluwer Academic Publishers, sejak 1990, editors:Brian Harvey, Manchaster Business School, U.K., Patricia Werhane, University of Virginia, USA; Sage Series in business ethics, Thousand Oaks, California, Sage Publications, sejak 1995, editor:Robert A. Giacalone, University of Richmond.
Dalam bahasa inggris saja sekarang sudah terdapat paling sedikit lima jurnal tentang etika bisnis. Business and Professional Ethics Journal of Business Ethics Economic and philosopy Business ethics Quarterly Business Ethics. A European review
Dalam bahasa jerman sudah tersedia sebuah kamus tentang etika bisnis Lexikon der Wirtshaftsethik (kamus etika ekonomi)
Sekarang dapat ditemukan juga cukup banyak institute penelitian yang secara khusus mendalami masalah etika bisnis. Di Amerika Serikat : Center of Business Ethics Di Inggris : Centre for Business and Profesional Ethics Di Belgia : Centrum Voor Economie en ethiek
Sudah didirikan beberapa asosiasi atau himpunan dengan tujuan khusus memajukkan etika bisnis, terutama dengan mengumpulkan dosen-dosen etika bisnis dan peminat lain dalam pertemuan berkala.
Di AmerikaSerikatdanEropa Barat disediakkan beberapa program studi tingkat S-2 dan S-3
hasil diskusi ini, rupanya harus kita simpulkan bahwa masalah pandangan Kristen prareformasi tentang perdagangan perlu didekati dengan nuansa yang seperlunya. Pada waktu itu memang ada teks-teks yang sangat negatif terhadap moralitas perdagangan, seperti teks yang dikutip tadi. Namun demikian, tidak bisa dikatakan juga bahwa teks seperti itu mencerminkan seluruh pandangan Kristen pada waktu itu. 3. Agama Islam Jika kita memandang sejarah, dalam agama islam tampak pandangan lebih positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Dalam periode pramodern pun tidak ditemukan sikap kritis dan curiga terhadap bisnis. Dalam Al- Quran terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal. Yang dilarang adalah keserakahan dan pamer kekayaan (riya).Doktrin pelayanan kepada masyarakat (ajaran Al-Maun yang dipakai oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai dasar pembaharuan masyarakat melalui organisasi modern Muhammadiyah). Dalam Surat AlBaqarah jelas Riba (dalam bahasa arab berate tambahan) dilarang dalam agama islam. Karena itu suatu percobaan untuk keluar dari masalah moral ini adalah membedakkan antara riba dan bunga uang. Menurut riba dalam arti itu sama dengan memeras sesama dan arena itu jelas tidak etis. Orang yang terlibat dalam kegiatan tidak terpuji itu pantas disebut lintahdarat. Riba adalah tambahan tidak wajar atas utang yang dipakai untuk konsumsi. Rente adalah imbalan untuk pinjaman yang digunakkan untuk usaha produktif. Riba sama dengan pemerasan, rente bersifat businesslike. 4. KebudayaanJawa Dipandang menurut spectrum budaya, tidak semua suku bangsa di Indonesia memperlihatkan minat dan bakat yang sama dibidang perdagangan. Membaca deskripsi Geertz ini, mau tidak mau kita diingatkan akan warga Negara merdeka dalam masyarakat yunani kuno. Dalam karyanya ternama, religion of Java, Clifford Geertz menjelaskan bagaimana memiliki kekayaan- dan terutama menjadi kaya dengan mendadak-dalam masyarakat jawa dikaitkan dengan bantuan tuyul, mereka yang dituduh mempunyai tuyul termasuk ke dalam tipe sosial. 5. Sikap Modern Dewasa ini Hanya sepintas meninjau data sejarah dan budaya sudah cukup untuk menyadarkan kita tentang perbedaan sikap terhadap bisnis, dulu dan sekarang. Kalau sekarang kegiatan bisnis di nilai sebagai pekerjaan terhormat dan semakin dibanggakan sejauh membawa sukses, dimasa silam tidak selalu begitu. Sebagaimana ditegaskan oleh ekonom Amerika, Robert Heilbroner: as a ubiquitous characteristic of society, the profit motive is as modern an invention as printing. Keprihatinan moral dengan bisnis kini tampak pada tahap lain
lagi ketimbang konteks tradisional. Kita hidup di zaman konglomerat dan korporasi multinasional. Kita hidup dizaman kapitalisme, bahkan sejak runtuhnya komunisme, kapitalisme tanpa antagonis. Yang dikatakan oleh Lord Action (abadke 19) tentang kuasa politik, berlaku juga bagi kuasa ekonomis seperti kita kenal sekarang ini: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Masalah etika politik yang terpenting adalah kuasa.
mana tidak ada tempat untuk etika. Kalau mau disebut bidang yang sama sekali asing terhadap etika, tidak ada contoh lebih jelas daripada justru bisnis. Etika dan bisnis itu bagaikan air dan minyak, yang tidak dapat meresap satu ke yang lain. c. Etika Bisnis itu tidak Praktis Tidak ada kritik atas etika bisnis yang menimbulkan begitu banyak reaksi seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review pada tahun 1993 dengan judul Whats the matter with business ethics?. Pengarangnya adalah Andrew Stark, seorang dosen di Universitas Toronto, Kanada. Menurut Stark, etika bisnis adalah too general, too theoritical, too impractical. Ia menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para profesional di bidang manajemen. Untuk menanggapi kritik ini, setidaknya bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, Stark hanya memandang dan mengutip artikel dan buku ilmiah tentang etika bisnis. Tentu saja sebagai ilmu, etika bisnis harus mempunyai standar yang cukup ketat. Kedua, Stark tampak sebagai contoh jelas tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika bisnis. Ia hanya memperhatikan aspek-aspek etis dari keputusan yang harus diabil manajer dan kurang berminat untuk kerangka menyeluruh di mana pekerjaannya ditempatkan. Ketiga, sebagai ilmu, etika bisnis selalu bergerak pada taraf refleksi dan akibatnya pada taraf teoritis juga. Walaupun etika bisnis berbicara tentang halhal yang sangat praktis, pembicaraannya berlangsung pada taraf teoritis. d. Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung Jawab Kritikan lain dilontarkan kepada etika terapan pada umumnya, termasuk juga etika bisnis, di samping etika biomedis, etika jurnalistik, etika profesi hukum, dan lain-lain. Kita disini membicarakan etika bisnis saja. Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus yang tidak dimiliki oleh para manajer dan pebisnis itu sendiri. Setiap manusia merupakan pelaku moral yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kita tidak membutuhkan etika bisnis yang datang menjelaskan apa yang harus kita perbuat atau apa yang tidak boleh kita perbuat. Etika bisnis sama sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis, para manajer, atau pelaku moral lain di bidang bisnis. Etika bisnis atau cabang terapan lainnya tidak berpretensi memiliki keahlian yang sama sifatnya seperti banyak keahlian lain. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak berniat mengganti tempat dari para pelaku moral
dalam perusahaan. Bagi etika bisnis pun berlaku peribahasa inggris, You can lead a horse to the water, but you cant make him drink.