You are on page 1of 6

ARTIKEL PENGANTAR HUKUM BISNIS

MANFAAT DAN KERUGIAN PRIVATISASI BUMN

DISUSUN OLEH :

ANDRYAN
0802113160

DOSEN PEMBIMBING: Drs. HARDI.SH.MM.Ak NIP:131794473

UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2008/2009

Manfaat dan Kerugian Privatisasi BUMN Oleh : Andryan

Bukan hanya di negara berkembang, di negara maju pun privatisasi BUMN menimbulkan pro dan kontra yang tajam dan merupakan isu yang sangat kontroversial. Privatisasi biasanya diartikan penjualan seluruh atau sebagian kepemilikan negara pada suatu BUMN ke tangan swasta, asing, dan domestik. Bayangkan saja suatu aset milik negara melalui privatisasi serta merta akan berpindah tangan kepada pihak swasta sebagai pemilik baru. Persoalannya bukan hanya berhenti di situ saja, tetapi konsekuensi konsekuensi yang akan terjadi segera setelah kepemilikan itu pindah tangan. Dimana pun juga termasuk di negara maju kaum buruh atau pihak karyawan tidak menyukai program privatisasi karena mereka khawatir pihak manajemen baru setelah privatisasi akan lebih meningkatkan efisiensi perusahaan termasuk dengan cara mengurangi jumlah karyawan. Perlawanan terhadap program privatisasi juga datang dari top manajemen perusahaan yang dijual karena mereka takut akan tergeser kedudukannya. Kaum birokrat yang mengendalikan suatu perusahaan negara tidak jarang juga secara diam diam melakukan perlawanan karena dengan privatisasi kekuasaan mereka akan kurang, apalagi jika perusahaan negara itu menjadi sapi perahan dari sang birokrat yang mengendalikannya. Rintangan terhadap program privatisasi juga datang dari kaum nasionalis yang tidak suka kepemilikan berpindah ke tangan asing, apalagi sekarang ini perlawanan terhadap globalisasi semakin kencang. Kaum nasionalis biasanya menggunakan slogan-slogan klasik seperti kemandirian guna menyampaikan pesan agar ekonomi negara tidak dikuasai dan jatuh ke tangan asing. Mereka yang gandrung terhadap program privatisasi biasanya diberikan cap sebagai kaum liberal yang lebih suka aset-aset negara dimiliki oleh pihak swasta, meskipun pihak asing sekalipun. Kelompok ini tidak terlalu peduli terhadap soal kepemilikan dan bagi mereka yang penting aset-aset itu tetap produktif bahkan dapat dikelola lebih profesional dan efisien yang pada gilirannya akan memberikan hasil yang positif dan efisien yang pada gilirannya akan memberikan hasil yang positif bagi perekonomian nasional. Kelompok yang mendukung privatisasi ini juga mengemukakan alasan bahwa kepemilikan dan manajemen oleh Pemerintah dalam dunia usaha merupakan salah satu sumber korupsi dan pemborosan, apalagi di negara-negara berkembang dengan bukti empiris. Rencana pemerintah melakukan privatisasi terhadap beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi menu diskusi menarik akibat kontroversi yang terus mengemuka. Kali ini pemerintah akan melakukan privatisasi terhadap beberapa BUMN dengan target penerimaan negara semaksimal mungkin untuk menutupi defisit anggaran negara. Menurut Aburizal Bakrie (Ical), privatisasi beberapa BUMN perlu segera dilakukan untuk menutupi defisit anggaran negara. Bahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005 ini, pemerintah telah menetapkan penerimaan dari privatisasi BUMN sebanyak Rp 3,5 triliun. Sedangkan penerimaan dari setoran dividen BUMN sekitar Rp 9,5 triliun. Jadi, target penerimaan dari Kantor Menneg BUMN tahun ini adalah Rp 13 triliun. Program kebijakan pemerintah yang dimotori Aburizal Bakrie itu mengundang polemik dari beberapa faksi. Polemik itu dipicu oleh distingsi pendapat mengenai privatisasi BUMN antara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dengan Menteri Koordinator Perekonomian

Aburizal Bakrie. Sikap kontra privatisasi Wapres JK itu sinergis dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga tidak menginginkan privatisasi dilakukan secara membabi-buta. Presiden SBY dan Wapres JK tidak ingin mengambil jalan pintas dengan cara menjual harta yang produktif milik negara, yaitu BUMN. Kalau saja, ini terus dilakukan, maka keberlangsungan pembangunan ekonomi di Tanah Air dikhawatirkan akan terancam. Bagi Wapres JK sendiri, privatisasi BUMN merupakan langkah yang keliru. Karena itulah kemudian, dirinya tidak setuju dengan privatisasi BUMN yang akan dilakukan sekarang. BUMN lebih baik dikelola terlebih dahulu supaya pembayaran dividen (bukan privatisasi) dan pajaknya meningkat. Kurang lebih ide ini jugalah yang digagas oleh Menteri Negara BUMN Sugiharto. Dalam RAPBN antara privatisasi dan dividen memang ada perbedaan pos. Dana hasil privatisasi dimasukkan dalam pos untuk menutup defisit, sementara dividen masuk dalam pos pendapatan. Tapi, keduanya sama-sama masuk dalam kantong RAPBN. Tampaknya gagasan yang diusung oleh Sugiharto itu cukup menarik. Daripada melepas BUMN kepada pihak asing (luar), lebih baik BUMN yang ada dimaksimalkan kinerjanya dahulu sehingga mampu mendapatkan laba tinggi. Apalagi bila kita bercermin pada penjualan Indosat tahun 2004 yang menghasilkan dana Rp 5,6 triliun, tetapi untuk menambal kerugian PLN yang tidak efisien sebesar Rp 2 triliun rupiah. Berbeda dengan JK, Aburizal Bakrie menegaskan, program privatisasi BUMN harus secepatnya dilakukan untuk memenuhi target penerimaan negara dari BUMN (termasuk dividen) sebesar Rp 13 triliun. Kalau langkah ini tidak diambil, bagi Aburizal, kira-kira akan didapatkan dari mana uang penggantinya. Aburizal Bakrie juga menekankan perlunya privatisasi sebab untuk mencairkan dana pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar 250 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,4 triliun. Hal itu terjadi karena syarat pencairan dana tersebut mengharuskan adanya penerbitan peraturan pemerintah tentang privatisasi dulu. Fenomena polemik tentang privatisasi ini mengingatkan kita pada tekanan serupa yang pernah kita terima dari IMF saat Indonesia bersusah payah keluar dari krisis ekonomi akhir tahun 1997-an silam. Kondisi waktu itu jelas berbeda dengan konteks zaman ini. Pada akhir tahun 1997-an, Indonesia sama sekali tidak punya pilihan untuk bertahan kecuali melakukan privatisasi. Maklum, ketika krisis terjadi sejak Juli 1997, hampir tidak ada BUMN yang dapat memberikan manfaat yang berarti. Bahkan pemerintah sendiri justru harus menyuntikkan dana obligasi ratusan triliun rupiah, terutama untuk menyelamatkan bank-bank milik pemerintah. Dalam situasi tidak punya pilihan seperti itu, maka menjadi sangat wajar bila privatisasi yang dilakukan sejak tahun 1998 tidak banyak menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan rakyat Indonesia. *** Manfaat privatisasi BUMN Pasar bagi privatisasi BUMN sangat potensial. Dari sisi demand, investor menunggu program privatisasi BUMN karena pada umumnya BUMN bergerak pada industri strategis yang memiliki potensi pasar yang besar. Program privatisasi telah memberi dampak positif terhadap peningkatan nilai perusahaan. Sebagian besar harga saham BUMN mengalami kenaikan sejak dilakukan privatisasi melalui penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Bahkan, peningkatan harga terlihat sangat menonjol dengan rata-rata kenaikan harga saham melebihi 460 persen dari harga IPO. Program privatisasi yang dilakukan telah memengaruhi peningkatan kinerja internal perusahaan. Jika dibandingkan

dengan BUMN yang belum diprivatisasi, kinerja BUMN yang telah melalui privatisasi IPO umumnya lebih tinggi. Apakah pelaksanaan privatisasi BUMN sudah optimal? Sebanyak 75 persen dari target privatisasi tahun 2007 belum dapat terlaksana dan divestasi BUMN masih menunjukkan tingginya tingkat kepemilikan pemerintah. Kelanjutan program privatisasi diharapkan dapat menjadi strategi peningkatan kinerja BUMN. Stiglitz tahun 1987 sudah menjelaskan bahwa kinerja optimal program privatisasi diperoleh melalui divestasi minimal 51 persen kepemilikan. Dengan kata lain, optimal kinerja dicapai ketika pemerintah memiliki hak minoritas dan perusahaan mengikuti perkembangan pasar. Dalam program privatisasi BUMN selama ini, dominasi pemerintah masih terlihat. Hampir seluruh program privatisasi yang telah dilakukan masih menyisakan hak kontrol mayoritas pada pemerintah. Tingkat kepemilikan pemerintah masih di atas 51 persen. Pengecualian pada Indosat yang melepas lebih dari 85 persen kepemilikan pemerintah. Walaupun hal ini masih disertai penyertaan saham seri A yang memberi otoritas kebijakan strategis kepada pemerintah. Pelaksanaan program privatisasi ditentukan oleh beberapa lembaga negara di mana masingmasing lembaga memiliki sudut pandang yang berbeda. Kementerian Negara BUMN mempunyai pandangan dari sisi ekonomi mikro. Departemen Keuangan lebih memandangnya dari sisi ekonomi makro, sedangkan lembaga legislatif menggunakan pandangan ekonomi politik. Pandangan tersebut menentukan obyektivitas terhadap keputusan privatisasi. Ekonomi mikro bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG), masuknya sumber keuangan baru ke perusahaan, dan pengembangan pasar. Manfaat alih teknologi dan peningkatan jaringan juga diharapkan dalam privatisasi BUMN yang melalui proses strategic sale. Dari sisi ekonomi makro, tujuan privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal. Obyektivitas ekonomi politik bertujuan melindungi aset nasional dengan pertimbangan melindungi bidang usaha yang berkaitan dengan nasionalisme, keamanan negara, dan usaha sumber daya alam. Telah ditentukan bahwa metode privatisasi diprioritaskan melalui IPO. Cara ini dapat memberi ukuran peningkatan kinerja melalui perubahan harga saham. Metode IPO Tantangan melakukan metode IPO adalah BUMN diharapkan untuk memiliki tren pertumbuhan, sahamnya diminati investor, mampu membukukan keuntungan (profitable), memiliki prospek usaha yang baik, memiliki produk/jasa unggulan, dan memiliki kompetensi teknis dan manajemen yang andal. Kendala lainnya dalam melakukan metode IPO adalah persyaratan pasar modal. Pada kenyataannya, setiap tahun rata-rata 25 persen dari perusahaan BUMN mengalami kerugian sehingga menghambat proses privatisasi. Masih banyak ruang untuk meningkatkan kinerja privatisasi perusahaan BUMN. Strategi privatisasi perlu didukung dengan pembenahan melalui restrukturisasi sebelum privatisasi. Penentuan target restrukturisasi yang jelas dapat meningkatkan kinerja pelaksanaan privatisasi. Strategi seperti ini lebih mengacu pada pandangan bahwa privatisasi untuk pengembangan perusahaan BUMN dari pada sebagai sumber dana APBN. Dalam jangka

panjang, keberhasilan program privatisasi dapat mendukung sumber dana APBN. Pencapaian tujuan ekonomi makro dalam privatisasi ditentukan oleh target menghasilkan dana APBN. Fleksibilitas menerima pemasukan dari sumber alternatif BUMN seperti pajak dan dividen dapat mendukung optimalisasi program privatisasi. Dalam jangka yang lebih panjang, privatisasi diharapkan menjadi katalis peningkatan kinerja perekonomian sektor riil. Demikian juga lembaga legislatif yang memegang fungsi kontrol dapat mendukung kinerja program privatisasi sebagai motivator peningkatan kinerja perekonomian nasional. Tingkat divestasi dapat ditingkatkan untuk membawa perusahaan BUMN lebih dekat kepada mekanisme pasar. Program privatisasi diharapkan dapat meningkatkan perekonomian melalui peningkatan kinerja internal perusahaan BUMN. *** Kerugian Privatisasi BUMN Dalam sistem perekonomian nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peran yang sangat strategis. Keberadaan BUMN tidak bisa disamakan dengan dengan peran perusahaan swasta. Karena BUMN merupakan instrumen penyeimbang bagi negara untuk menjamin bekerjanya mekanisme ekonomi yang selaras dengan kepentingan sosial. Kemampuan BUMN dalam mengemban misi dan tujuannya tersebut mendapat sorotan yang memberikan penilaian bahwa kinerja BUMN masih jauh dari memuaskan. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak adanya konsep yang jelas dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyelenggarakan BUMN. Karena itu pulalah BUMN cenderung dimanfaatkan oleh mereka yang berkuasa. Berdasarkan uraian diatas maka bangsa ini sebenarnya membutuhkan strategi yang tepat dalam mereformasi pengelolaan BUMN. Strategi reformasi tersebut adalah dengan melakukan debirokratisasi dan membangun akuntabilitas dan trasparansi BUMN. Kepemilikan saham BUMN sebaiknya segera didistribusikan kepada para karyawan, konsumen, dan kepada pemerintah daerah tempat masing-masing perusahaan melaksanakan kegiatannya. Untuk meningkatkan kemampuan BUMN dalam mengemban misinya perlu pula ditopang dengan pembentukan Badan Pengembangan BUMN yang bersifat independen. Sesuai dengan amanat UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (UU Propenas), strategi reformasi BUMN tersebut harus dituangkan dalam Undang-Undang (UU) BUMN yang bersifat komprehensif. Melalui UU BUMN tersebut akan menjabarkan mengenai sistem ekonomi kerakyatan dan untuk meletakkan dasar-dasar kebijakan pengelolaan BUMN seperti yang diamanatkan konstitusi (UUD 1945). Selanjutnya UU BUMN juga akan menjadi acuan dalam melaksanakan reformasi BUMN pada masa yang akan datang. Berdasarkan uraian diatas, Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN yang saat ini tengah dibahas DPR, secara substansi telah gagal menjalankan amanat konstitusi dan UU Propenas (lihat lampiran). Karena pada dasarnya draf RUU BUMN tersebut hanya membicarakan tiga hal, yaitu tentang persero, perum dan privatisasi. Dalam pasal-pasalnya, tidak menjelaskan apapun soal BUMN mana yang masuk kualifikasi pelayanan umum dan menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut pasal-pasal dalam RUU BUMN ini kekuasaan atas pengelolaan BUMN berada ditangan Menteri. Kekuasaan tersebut mencakup sebagai RUPS yang bisa mengangkat dan memberhentikan Komisaris dan Direksi BUMN. Dengan demikian praktek pengelolaan BUMN tetap berjalan sebagaimana yang berlaku selama ini. Praktek tersebut adalah praktek memanfaatkan BUMN

hanya untuk kepentingan kelompok yang berkuasa. Praktek ini akan melestarikan politik uang yang selama ini tampaknya sudah lazim belaku dalam pengelolaan BUMN kita. Munculnya Bab Privatisasi dalam RUU BUMN, semakin menguatkan keyakinan bahwa aktor utama dibalik RUU BUMN yang sedang dibahas oleh DPR saat ini adalah International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). Hal ini mengingat bahwa selama ini privatisasi selalu mengundang perlawanan baik dari dalam BUMN sendiri (melalui serikat pekerja maupun direksi) maupun perlawanan rakyat luas. Kebijakan IMF dan WB dalam memberikan utang kepada pemerintahan Indonesia pada periode belakangan ini, terutama setelah adanya Letter of Inten (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan IMF, mensyaratkan adanya privatisasi atas BUMN yang dinilai memiliki nilai ekonomis.Menurut kedua lembaga ini, privatisasi merupakan jalan keluar untuk mengatas masalah BUMN dalam meningkatkan performanya. Alih-alih meningkatkan manfaat BUMN bagi negara, dengan adanya privatisasi justru merugikan negara dalam jumlah triliunan rupiah. Selain kerugian itu, negara juga terancam kehilangan sumber-sumber penerimaan yang selama ini ikut menopang anggaran negara (APBN). Kesempatan ini juga digunakan oleh IMF dan WB beserta konco-konconya untuk menjarah kekayan Bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu, para rent seeker, juga ikut ambil bagian dalam proses rampokisasi ini. Dengan uraian yang panjang lebar diatas, Koalisi Anti Utang meniai bahwa: 1. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah bukan solusi untuk meningkatkan manfaat BUMN bagi Negara. 2. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah merupakan legalisasi rampokisasi atas aset negara yang menyangkut pelayanan umum dan menguasai hajat hidup orang banyak. 3. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah hanya akan melestarikan politik uang dalam pengelolaan BUMN dan memudahkan kelompok yang berkuasa untuk memanfaatkan BUMN sesuai dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata. 4. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah sangat tertutup dalam prosesnya dan tidak melibatkan aspirasi rakyat sebagai pemilik sah atas BUMN 5. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah secara substansi hanya melapangkan jalan bagi kepentingan IMF dan WB untuk mengalihkan kepemilikan negara menjadi kepemilikan swasta. 6. RUU BUMN yang saat ini ditengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah hanya akan mengorbankan kepentingan negara demi kesejahteraan pemilik modal semata. Dengan Demikian kami mengajak kepada anggota Pansus RUU BUMN untuk menolak membahas dan mengesahkan RUU BUMN yang sudah diajukan oleh pemerintah tersebut. ***

You might also like