You are on page 1of 15

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

HUKUM HAM DAN DEMOKRASI

DISUSUN OLEH :

ANDRYAN (0802113160)

UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2008/2009

Hukum, HAM & Demokrasi

Hukum, HAM, dan Demokrasi Dalam islam berisi tentang penjelasan konsep-konsep hukum islam, HAM menurut islam dan demokrasi dalam Islam meliputi prinsip bermusyawarah dan prinsip dalam ijma. Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, dalam AlQuran dijelaskan nabi Muhammad saw sebagai rasulnya melalui sunah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadist. HAM terbagi menjadi 2 HAM Menurut barat dan menurut islam. HAM barat bersifat anthroposentris: segala sesuatu berpusat pada manusia sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam bersifat theosentris: segala sesuatu berpusat pada Allah.

1.

Demokrasi dalam Islam


Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi

sedang demokrasi islam meyakini bahwa kedaulatan Allah lah yang menjadi inti dari demokrasi.
Konsep keamanan nasional (negara) telah mempunyai sejarah yang panjang, lebih kurang 350 tahun yang lalu, persisnya sejak disepakatinya penghentian perang tiga puluh tahun yang dituangkan dalam Treaties of Westphalia tahun 1648. Pada awalnya definisi keamanan nasional diartikan sebagai upaya yang bertujuan mempertahankan integritas teritori suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan sendiri. Namun dengan perkembangan global dan semakin kompleksnya hubungan antara negara serta beragamnya ancaman yang dihadapi oleh negara-negara didunia, maka rumusan dan praktek penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara bersamasama (collective security) menjadi acuan penting negara-negara didunia. Dalam perkembangannya, pelaksanaan keamanan bersama (collective security) tidak hanya dilakukan hanya untuk menjaga kedaulatan negara tetapi juga menjaga keamanan warga negara. Kasus yang dapat dlambil sebagai contoh pada dekade 1990-an adalah kasus di Irak tahun 1991 dan di Somalia tahun 1992/3. Pada Kasus pertama tindakan keamanan bersama dilakukan untuk melindungi suku Kurdi di utara dan minoritas Shi'te di selatan terhadap represi Pemerintahan. Sementara itu kasus kedua, di Somalia, tindakan yang sama dilakukan untuk memberikan perlindungan kemanusiaan karena pemerintahan yang tidak berfungsi.

Tindakan keamanan bersama yang dilakukan di kedua negara tersebut berdasarkan resolusi DK PBB No. 688 bulan April 1991 yang menyatakan bahwa represi yang dilakukan pemerintahan terhadap warga sipil telah mengakibatkan mengalirnya para pelintas batas dan pengungsi keluar dari Irak. Kejadian itu dinilai sebagai ancaman perdamaian internasional dan keamanan di kawasan tersebut. Pengamanan dilakukan didaratan Irak sebelah utara dan diudara dengan menetapkan zone ekslusif di wilayah Irak Utara dan Selatan untuk melindungi minoritas Kurdi dan Shi'te. Sementara itu pada tanggal 3 Desember 1992, DK PBB menyatakan bahwa tragedi di Somalia telah merupakan ancaman perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Kedua kejadian tersebut perlu dicatat karena hal itu dilakukan pertama kali sejak tragedi kemanusiaan di Afrika selatan dan Rhodesia pada tahun 1960-an, kekuatan militer dipergunakan untuk melindungi kelompok minoritas dan akibat perang yang diperkirakan akan menjadi tragedi kemanusiaan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa konsep keamanan yang berorientasi kepada negara mulai bergerak menuju suatu pemikiran yang mengembangkan gagasan keamanan bagi warga negaranya. Kepedulian terhadap keselamatan manusia semakin menjadi penting. Human security menjadi isyu keamanan yang mendapatkan perhatian banyak kalangan. Gagasan Human Security nampak lebih jelas dalam laporan UNDP mengenai Human Development Report of the United Nations Development Program pada tahun 1994. Namun sesungguhnya gagasan atau pengertian Human Security mulai menjadi perdebatan setelah perang dingin berakhir. Salah satu sumber penting yang memunculkan human security adalah perdebatan tentang gagasan mengenai perlucutan senjata dan pembangunan yang banyak terjadi di berbagai

forum di PBB dalam rangka merespon perlombaan senjata pada era perang dingin. Demikian pula kegiatan dari beberapa komisi independen seperti Komisi Brandt (The Brandt Commission), Komisi Bruntland (The Brundland Commission) dan Komisi Penakbiran Global (The Commission on Global Governance) membantu merubah fokus analisa keamanan nasional atau keamanan negara menjadi keamanan untuk warga negara (kadangkadang disebut pula The Security of the People atau Societal Security). Diskursus tersebut kemudian diikuti dengan tumbuhnya pengakuan mengenai ancaman non-militer dalam perdebatan mengenai keamanan global. UNDP merumuskan human security dalam beberapa komponen sebagai berikut: (1) (2) Keamanan ekonomi (assured basic income), Keamanan pangan (physical and economic access to food).

(3) (4) (5) (6) (7)

Keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection), Keamanan lingkungan (access to sanitary water supply, clean air and a non-degraded land system), Keamanan sosial (security of cultural identity), Keamanan individual (security from physical violence and threat), dan Keamanan politik (protection of basic human rights and freedom). Kritik terhadap definisi yang dilakukan oleh UNDP datang dari Pemerintah Canada

yang menganggap pengertian tersebut terlalu memusatkan pada ancaman yang berhubungan dengan keterbelakangan (underdevelopment) dan dianggap mengabaikan human insecurity yang diakibatkan oleh konflik kekerasan. Dalam perspektif Kanada human security adalah security of the people (keamanan warga negara) yang berpedoman kepada Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia serta Konvensi Geneva. Dalam hal ini konsep human security berfokus pada human cost yang diakibatkan oleh konflik kekerasan. Pemahaman tersebut mendapat sambutan dari negara-negara middle power seperti Norwegia yang kemudian bersama dengan pemerintah Kanada mendirikan lembaga bernama Human Security Partnership pada tahun 1998. Lembaga ini mengidentifikasi human security dalam 9 (sembilan) hal sebagai berikut: Korban ranjau darat; Pembentukan International Criminal Court; Hak-hak asasi manusia; Hukum humaniter; Wanita dan anak-anak dalam konflik bersenjata; Plorifikasi senjata ringan (small arms); Tentara anak-anak; Buruh anak-anak; dan Kerjasama negara-negara utara. Pengertian yang berbeda-beda dari human security sebenarnya telah terjadi bahkan sebelum formula Kanada, yaitu dikembangkan oleh pemerintah Jepang, melalui pidato peringatan ulang tahun kelimapuluh pada Sidang Umum PBB tahun 1995. Pada kesempatan

tersebut Perdana Menteri Tomii Murayama menyarankan agar human security dijadikan strategi baru bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani keamanan bersama. Banyak negara-negara di kawasan Asia pasifik menafsirkan human security lebih luas dari Kanada dan Norwegia. Hal ini sejalan dengan konsepsi keamanan nasional yang menyeluruh (comprehensive security) di Asia. Meskipun kedua hal tersebut ( human Security dan Comprehensive Security) adalah dua hal yang berbeda. Namun sesungguhnya aspek human need dari human security di Asia Pasifik cukup menonjol setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Krisis tersebut secara dramatis telah meningkatkan kemiskinan, menggagalkan hasil pembangunan, menyebabkan instabilitas politik dan persaingan ekonomi yang tidak seimbang serta ketegangan antar negara yang disebabkan oleh pengungsi dan imigran gelap semakin memperburuk suasana. Hal tersebut juga mendorong semakin diperlukannya good governance, pembangunan yang memperhatikan lingkungan, dan sebagainya. Selain itu diperlukannya jaringan pengamanan sosial untuk kaum miskin, sesuatu yang pernah diabaikan karena negara-negara cenderung mengejar pertumbuhan. Oleh sebab itu saran dari Menteri Luar Negeri Thailand, Sufrin Pirdsuan, secara eksplisit menghubungkan antara kebutuhan jaringan pengamanan sosial dengan merosotnya ekonomi regional. \ Ringkasnya, human security memerlukan perobahan dari pemikiran mengenai keamanan negara menuju kepada gagasan keamanan manusia termasuk didalamnya keamanan individu dan masyarakat. Respon masyarakat internasional akhir-akhir ini terhadap tantangan human security menunjukkan bahwa mereka peduli dengan situasi krisis yang dapat mengakibatkan kelangsungan hidup dan kesejahtraan masyarakat menjadi taruhan. Human security melindungi eksistensi anggota masyarakat, termasuk anak-anak, warga sipil di wilayah perang, minoritas etnis dan lain sebagainya dari berbagai jenis kekerasan. Selanjutnya perbedaan pengertian mengenai human security adalah sesuatu yang tidak mustahil di rekonsiliasikan. Melalui upaya tersebut masa depan human security akan menjadi paradigma keamanan di kawasan Asia Pasifik. Namun hal itu tergantung dari bagaimana human security sebagai norma yang sedang muncul berinteraksi dengan konsep dan praktekpraktek keamanan bersama yang dilakukan di wilayah ini. Akseptasi dan institusionalisasi

dari norma-norma baru yang muncul sangat tergantung pula dari bagaimana nilai-nilai baru tersebut menyesuaikan dengan norma dan identitas yang telah ada. Hal itu berarti human security di kawasan Asia Pasifik harus dikaji melalui dua gagasan sebelumnya yang mempengaruhi konsep security dan implementasinya di kawasan tersebut : Comprehensif Security dan Cooperative Security.

2.

HAM dan Demokrasi


Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil,

maka yang harus disalahkan adalah Ustadz. Sebab, kalau tidak, itu namanya diktator mayoritas. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Namun, kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi ditentukan bukan oleh orang Islam. Golongan Islam menjadi pihak yang diplonco dan dites terusmenerus oleh subjektivisme kaum non-Islam. Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad saw., melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka. Di sisi lain, kita juga sering menyaksikan ketidakadilan terhadap Islam dan kaum Muslim atas nama HAM yang tercermin dalam beberapa contoh kasus berikut: Jika ada sekelompok umat Islam mengobrak-abrik tempat-tempat mesum, mereka akan dianggap bertindak semena-mena dan melanggar HAM. Mereka layak dihukum. Sebaliknya, para pelacur dan lelaki hidung belang yang biasa mangkal di tempat-tempat maksiat itu tak tersentuh. Mereka dianggap tidak melanggar HAM. Yang wanita dibiarkan karena sekadar sedang mencari penghidupan. Mereka dipandang sedang bekerja hanya karena mereka diberi status sebagai pekerja seks komersial. Yang laki-laki pun tak diapa-apakan karena sekadar sedang mencari hiburan. Apalagi mereka telah membayar uang sekian kepada pengelola

pelacuran, yang kebetulan dipajaki oleh Pemda setempat sebagai salah satu sumber pendapatan. Ketika umat Islam menghujat kelompok sesat seperti Ahmadiyah atau al-Qiyadah alIslamiyah, kaum liberal ribut sembari menuduh umat Islam tidak dewasa, tidak menghormati kebebasan dan melanggar HAM. Bahkan fatwa sesat MUI yang dinisbatkan kepada kelompok sesat itu mereka pandang sesat. Sebaliknya, ketika ada sekelompok umat Islam menyuarakan aspirasinya tentang perlunya Indonesia menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah, atas nama kebebasan dan HAM pula kaum liberal mencap mereka sebagai musuh kebebasan, dan syariah yang diusungnya berpotensi melanggar HAM dan mengancam keragaman. Demikianlah, atas nama HAM pelaku asusila dibela, sementara pelaku amar maruf nahi munkar dicerca; para penoda kesucian agama Islam dibiarkan, sementara MUI yang berniat melindungi kehormatan Islam disalahkan. Atas nama HAM, pelaku perselingkuhan (perzinaan) dipandang wajar, sementara pelaku poligami dianggap kurang ajar; para penolak pornografi-pornoaksi dicaci-maki, sementara para pelakunya dipandang pekerja seni. Atas nama HAM pula, para pejuang syariah dituduh memecah-belah, sementara para pengusung sekularisme dan liberalisme dianggap membawa berkah. Itulah secuil gambaran tentang betapa bobroknya demokrasi dan HAM. Tak ada demokrasi meskipun itu mayoritas, asal yang mayoritasnya adalah Islam. Tak ada HAM walaupun terjadi pelanggaran hak asasi, asal pelanggaran hak asasi itu menimpa umat Islam. Di samping jelas-jelas bobrok, demokrasi dan HAM juga nyata-nyata tidak jelas juntrungannya. Dalam demokrasi, katanya rakyat yang berdaulat. Faktanya, yang sangat adikuasa adalah para pemodal kuat. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku, Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres dalam pemerintahan Amerika Serikat. Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, membuat buku berjudul Power to the people, for those who can afford it (kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayarnya). Dalam tataran praktiknya, demokrasi juga menghasilkan sejumlah kerumitan. Sejak berdirinya pada tahun 1776, Amerika Serikat sebagai kampiun demorasi di dunia

memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberikan hak pilih kepada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draft konstitusi yang melindungi seluruh warga negara (Strobe Talbott, 1997). Sir Winston Churchill (PM Inggris pada masa PD-II) yang pernah mengatakan, Demokrasi bukanlah sistem yang baik; dia menyimpan kesalahan dalam dirinya. Dalam bukunya yang berjudul TAUHID, Ismail Raji Al-Faruqi menyatakan bahwa sistem yang bisa diterima sebagai sistem Islami adalah bukan teokrasi ataupun demokrasi, tetapi nomokrasi, dimana kekuasaan berada dalam aturan syariat. Dalam kasus Indonesia, memang para pejuang Islam terjerembab dalam sebuah keharusan sejarah bernama DEMOKRASI, seolah-olah demokrasi adalah yang terbaik saat ini. Contohnya sebuah partai politik yang selama ini menyatakan diri sebagai partai dakwah. Mereka terlibat dalam demokrasi pada Negara Republik Indonesia, namun untuk urusan kepemimpinan di partainya sendiri, tak ada demokrasi, yang ada hanyalah taqlid dan tsiqah terhadap keputusan elite harakahnya. Para Nabi hingga Nabi Muhammad SAW tak pernah masuk ke dalam sistem penguasa yang dzalim. Mereka tegas dalam menarik garis furqan, antara haq dan bathil. Itu kalau kita punya karakter perjuangan. Dewasa ini, situasi di Indonesia telah mengalami perubahan dramatis. Era reformasi membawa masyarakat semakin demokratis dan egaliter. Sistem politik yang sentralistik menuju model pemerintahan yang desentralistik tidak dapat dihindarkan, sehingga kajian dan penelitian yang diorientasikan pada isu-isu otonomi daerah dan Politik lokal telah menjadi perhatian utama di beberapa Universitas di Indonesia. Pendekatan politik lokal tampaknya rnenjadi sangat relevan ketika hubungan pemerintah pusat dan daerah dibingkai oleh prinsip Sharing Of Power dan Check And Balance. Tidak jauh berbeda dengan ilmu hukum yang selama ini dipengaruhi secara dominan oleh hukum bersifat positivistik. Praktek demokrasi dan kebebasan dapat dijumpai dalam beberapa aspek menimbulkan disharmoni sosial.

Norma-norma hukum yang hidup (the living law) seperti hukum adat yang kaya raya di Indonesia selama ini tidak beroperasi telah mengalami perubahan sejak kebangkitan reformasi. Bahkan lahirnya berbagai organisasi dan asosiasi-asosiasi yang mengatas-namakan atribut suku, kerajaan atau kesultanan, dan komunitas masyarakat adat dipandang sebagai aset budaya yang juga telah menjadi kekuatan aparat negara. Kekosongan hukum akibat tidak tersedianya dalam sistem hukum nasional, juga telah mendorong aparat pemerintah lebih banyak lagi terlibat dalam proses reformasi dan pembentukan hukum di tingkat lokal. Hal seperti ini, tidak dapat dibiarkan berlangsung, dan karena itu penting hadirnya suatu kajian yang peduli pada upaya menengarai ketimpangan tersebut. Munculnya berbagai kekosongan hukum bagi kepentingan masyarakat yang berada di wilayah-wilayah termarjinalkan, terutama karena adanya sistem check and balances pada otonomi daerah, peran penting hukum lokal, atau perda pada saat ini, merupakan keniscayaan. Hukum lokal (Local Law) adalah suatu sistem hukum yang tampak seiring dengan peningkatan pentingnya hukum negara dan aparatur administrasinya, dimana pengembangan dan kewenangannya, maksud dan tujuannya kesemuanya ditentukan oleh aparat pemerintah. Pemberlakuan, dalam praktek sehari-hari berada dalam suatu kewenangan daerah yang terdesentralisasi. Perbedaannya dengan hukum nasional adalah, bahwa proses pembentukan hukum lokal yang dibangun tersebut perumusannya didasarkan pada spirit berpikir hokum masyarakat pribumi (according to the spirit of indigenous legal thinking). Kelompok sasaran yang menjadi kepedulian CLDS adalah masyarakat yang terancam dan atau menjadi korban bencana. Hampir diberbagai daerah dan flayah Indonesia tidak luput dan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, bahkan tsunami. Baru kali ini ada kepastian hukum, bahwa negara bertanggung jawab untuk melindungi dan menolong korban bencana. Atas dasar pentingnya proses pembangunan hukum lokal bagi terciptanya suatu rnasyarakat sadar hukum yang demokratis, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, pendirian Pusat Studi Pembangunan Hukurn Lokal atau Centre of Local Law Development Studies sangat diperlukan. Adapun kedudukan dan sifat dan CLDS berada di bawah FH VII sebagai unsur penunjang pelengkap (pasai 49 ayat 3 STATUTA UlI 2005). Dengan menaruh

perhatian pada kelompok sasaran komunitas lokal yang temarjinalkan, baik oleh karena sistem politik yang refresif maupun akibat ancaman dan peristiwa bencana alam. Dalam mencapai tujuan di atas program-program tersebut dilakukan rnelalui bekerjasama dengan berbagai pihak, pemerintah maupun swasta di tingkat nasional dan internasional Maksud dan tujuan pendirian CLDS sebagai berikut: 1. Menciptakan masyarakat lokal yang sadar hukum dan demokratis, dengan mempromosikan pentingnya pengetahuan dan penghayatan terhadap nilai-nilai HAM, UU 1945 dan kearifan lokal, baik bagi pemerintah di tingkat Propinsi maupun Kabupaten dan/Kota Madya maupun bagi komunitas lokal lainnya, termasuk peranperan lembaga-lembaga adat yang masih hidup. 2. Memperjuangkan tegaknya keadilan global (global justice) yang demokratis dengan upaya melakukan analisis dan pengukuran kornprehesif terhadap ada tidaknya kesesuaian antara berbagai produk hukum, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah dengan nilai-nilai HAM, UUD 1945, dan kearifan lokal agar harmoni sosial dan kesejahteraan masyarakat lokal dapat segera terwujud. 3. Membantu mewujudkan reformasi dan pembangunan hukum nasional yang demokratis, dan penegakannya secara berkeadilan di berbagai daerah di Indonesia, dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan kajian, penelitian, pelatihan dan advokasi serta pendampingan, baik yang dilakukan secara Iangsung dengan memberikan masukanmasukan untuk pembuatan kebijakan di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, maupun secara langsung dengan masyarakat. Islam adalah ad-Dien (sistem hidup) yang sempurna. Tidak ada satu urusan manusia yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia, yang tak diatur Islam. Segala sesuatu yang akan membawa kebaikan kepada manusia, telah disampaikan Allah lewat Rasul-Nya. Tidak ada satu hal yang akan membawa keburukan, tidak diperingatkan dan dicegah oleh Allah lewat Rasul-Nya.

Sebagai Sang Maha Pencipta, Allah adalah zat yang paling tahu akan hakikat manusia dan alam semesta. Setelah Allah menciptakan alam semesta dan menempatkan makhluk-Nya yang bernama manusia di dalamnya, mustahil kalau Allah tidak membuat aturan untuk

mengelola alam semesta dan manusia. Maka itu, Allah menciptakan aturan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam semesta.

Aturan itu bernama Islam. Tentu Islam adalah aturan yang paling cocok untuk mengatur alam semesta dan manusia. Karena, manusia, alam semesta, dan Islam adalah ciptaan Allah SWT. Alam semesta yang diciptakan oleh Allah ini tentu akan menjadi damai, baik, dan teratur kalau diatur dengan aturan pencipta-Nya.

Namun, sangat disayangkan banyak orang yang mengaku Muslim tidak memahami akan hal ini. Sehingga, mereka memilih aturan selain aturan Allah untuk mengatur kehidupannya. Salah satu sistem hidup yang paling digandrungi dan dipuja oleh manusia pada hari ini adalah demokrasi. Tidak sedikit dari umat islam yang salah paham dengan demokrasi. Mereka beranggapan bahwa demokrasi adalah ajaran Islam.


''Dan, barang siapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima. Dan, di akhirat, dia termasuk orang yang rugi.'' [QS Ali Imran (3): 85]

Secara bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata 'demos' dan 'kratos'. Demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Maknanya adalah pemerintahan/kekuasaan rakyat. Pada praktiknya adalah suatu pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka, sistem kekuasaan yang berlaku, hukum, undang-undang, dan program penguasa suatu negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam secara bahasa berarti masuk dalam kedamaian. Sedangkan secara syara, Islam berarti pasrah kepada Allah. Bertauhid dan tunduk kepadaNya. Taat dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya.

Maka itu, jelas dalam Islam: ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah. Termasuk dalam menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.

Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk membuat dan menentukannya. Dalam demokrasi, hukum ada di tangan rakyat atau wakilnya, yaitu anggota legislatif. Jadi, sangat jelas bahwa Islam bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa dilihat oleh setiap orang yang memiliki mata kecuali orang buta.

Demokrasi bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jacques Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakan oleh Montesque dengan ajaran Trias Politika.

Dalam Trias Politika disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu: Legislatif sebagai pembuat undang-undang; Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; dan Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.

Adapun Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam, yang membuat undang-undang adalah hak Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia untuk kebaikan manusia. Demokrasi berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sedangkan Islam, berasal dari Allah Yang Maha Sempurna. Bagaimana mungkin keduanya sama?

Dalam ajaran demokrasi, orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama. Sehingga, tidak mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya. Dalam Islam, seorang Muslim yang berpindah agama (murtad), hukumannya adalah dibunuh. Seperti sabda Rasulullah SAW: ''Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah!. Islam tidak memaksakan orang untuk menjadi Muslim. Namun, ketika seseorang sudah masuk Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam. Dan, dia tidak boleh keluar dari Islam.

Dalam ajaran demokrasi, setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir. Dalam Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir. Manusia memiliki kedudukan

yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir maupun Muslim. Dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia derajatnya daripada orang kafir.


''Dan, janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati. Sebab, kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.'' [QS Ali Imran (3): 139]

Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat dari ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya untuk membuat hukum atau undang-undang. Di mana hukum atau undang-undang yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut.

Dalam ajaran Islam, yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah. Dan, Allah juga yang menetapkan sanksi terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh karena itu, demokrasi adalah kemusyrikan karena menyerahkan hak Allah (membuat hukum) kepada manusia. Bahkan, yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti, membolehkan pelacuran pada tempat-tempat tertentu yang diatur oleh undang-undang. Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.

Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah diajarkan dalam Islam.Benar kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi, bukan berarti Islam sesuai dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dalam Islam adalah persoalan-persoalan teknis (cara) dalam melaksanakan perintah Allah, manakala persoalan teknis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT. Tidak semua urusan harus dimusyawarahkan dalam Islam.

Sebaliknya, demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah. Termasuk hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan, menentukan persoalan halal, haram, baik, dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah, masih dimusyawarahkan.

Daftar Pustaka Departemen Agama RI, Al-quran dan terjemahnnya, Jakarta 1986 Ustadz Labib MZ dan Drs Muhtadim, Himpunan Hadits pilihan Shahih Bukhari, Surabaya,Tiga Dua1992 Alba, Cecep dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Bandung, Tiga Mutiara 1996 Endang Saifudin Anshari, Kuliah Agama Islam, Jakarta, Rajawali Press 1986 Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta, UI Press 1985 www.rombak.blogspot.com/ www.jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_MANUSIA.doc

You might also like