You are on page 1of 11

PLASENTA PREVIA

Arzia Pramadi Rahman Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram / RSUP NTB 10 Desember 2011

1. Pendahuluan Angka kematian maternal masih menjadi tolak ukur untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan dan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan ibu. Angka kematian maternal di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Menurut SKRT tahun 1992 yaitu 421 per 100.000 kelahiran hidup, SKRT tahun 1995 yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup dan menurut SKRT tahun 1998 tercatat kematian maternal yaitu 295 per 100.000 kelahiran hidup. Diharapkan Pembangunan Jangka Panjang II (2019) menjadi 60-80 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40-60%, infeksi 20-30% dan keracunan kehamilan 20-30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang memburuk saat kehamilan atau persalinan [1]. Perdarahan pada kehamilan muda disebut sebagai abortus, sedangkan perdarahan pada kehamilan tua disebut sebagai perdarahan antepartum atau Antepartum Bleeding (APB). batasan antara kehamilan muda dengan kehamilan tua adalah 22 minggu
[2,3]

. Perdarahan sebagai

penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya [1]. Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya tidak normal, sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum
[1]

. Angka kejadian plasenta previa sekitar 1 dari 200

persalinan. Insiden pada multipara berkisar 1 dari 20 proses kelahiran. Faktor predisposisi plasenta previa antara lain adalah usia lebih dari 35 tahun, multipara, riwayat dilatasi dan kuretase, dan merokok [4]. Di RS Parkland didapatkan prevalensi plasenta previa 0,5%. Clark dkk (1985) melaporkan prevalensi plasenta previa 0,3%. Nielson dkk (1989) dengan penelitian

prospektif menemukan 0,33% plasenta previa dari 25.000 wanita yang bersalin, di Indonesia berkisar 2-7% [1]. Plasenta previa pada kehamilan prematur lebih bermasalah karena persalinan terpaksa; karena perdarahan hebat, proses persalinan, ataupun oleh karena prematuritas itu sendiri. Perdarahan akibat plasenta previa akan fatal bagi ibu jika tidak ada persiapan darah atau komponen darah dengan segera [1].

2. Definisi Plasenta previa adalah plasenta yang implantasi atau letaknya tidak normal
[5]

, tumbuh

pada segmen bawah rahim, pada zona dilatasi, sehingga menghubungkan atau menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum[6,7]. Plasenta yang normal terletak atau berimplantasi lebih dari 2 cm dari ostium uteri internum [7]. Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim setelah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam masa intranatal
[7]

. Klasifikasi plasenta previa tidak

didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan 8 cm diklasifikasikan sebagai berikut[5,7]: a. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri intemum. b. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri intemum. c. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. d. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.
[5]

. Berdasarkan letaknya, plasenta previa dapat

Terdapat juga literatur yang mengklasifikasikan plasenta previa berdasarkan beratnya plasenta previa dan juga penatalaksanaan yang tepat, yaitu grade I sampai grade IV. Grade I dan II termasuk kriteria minor dan masih memungkinkan persalinan pervaginam. Sementara itu Grade III dan IV termasuk kriteria major yang tidak memungkinkan untuk persalinan pervaginam sehingga dibutuhkan tindakan operasi. Pembagian plasenta previa berdasarkan grade ini adalah sebagai berikut[8,9]:

Tabel 1. Pembagian plasenta previa: Grade Minor I Deskripsi Plasenta berada pada segmen bawah rahim tetapi tepi terbawah tidak mencapai ostium uteri internum II Tepi terbawah dari plasenta letak rendah mencapai ostium uteri internum tetapi tidak menutupinya Mayor III IV Plasenta menutupi ostium uteri internum tetapi asimteris Plasenta menutupi ostium uteri internum secara simetris

3. Epidemiologi dan Faktor Resiko Secara umum, di seluruh dunia insiden plasenta previa berkisar antara 1 dalam 200 hingga 1 dalam 390 kehamilan pada umur kehamilan diatas 28 minggu. Di Indonesia, pada beberapa rumah sakit umum pemerintah dilaporkan insiden plasenta previa berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di Negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1%, hal ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya wanita hamil paritas tinggi. Insiden meningkat 20 kali pada grande multipara. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih tinggi. Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa merupakan penyebab yang terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian perdarahan antepartum, kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan lebih dahulu[7,10]. Beberapa faktor resiko yang menyebabkan meningkatnya kemungkinan seseorang untuk mengalami plasenta previa, yaitu: Multiparitas dan umur lanjut, 35 tahun [7]. Adanya riwayat abortus [1].

Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis[5,7]. Kelainan bentuk uterus [7]. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan, kuret, dan lain-lain. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan inflamatorotik. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi. Konsepsi dan nidasi terlambat. Jarak kehamilan yang dekat [5].

4. Etiologi dan Patogenesis Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah diketahui secara pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor resiko bagi terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang mengalami hipertrofi akan mendekati atau menutupi ostium uteri internum. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum [7]. Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada timester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta. Oleh

karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta yang akan mengakibatkan perdarahan yang berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang terjadinya perdarahan. Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah terjadi ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa [7].

5. Gejala dan Tanda Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga, plasenta previa memberikan gambaran sebagai perdarahan tanpa disertai rasa nyeri / painless bleeding plasenta previa antara lain adalah: Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya berulang, darah biasanya berwarna merah segar sebelum 30 minggu masa gestasi [11]. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah [11]. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi [11]. Kondisi janin biasanya masih baik [5].
[5] [11]

. Gejala dan tanda

. Sekitar dua pertiga pasien menunjukkan

gejala sebelum 36 minggu masa gestasi, dengan setengah dari pasien ini menampakkan gejala

Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul [5]. Sering dijumpai kelainan letak janin [5]. Presentasi mungkin abnormal [11].

6. Diagnosis Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut biasanya mengalami plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinik yang klasik sangat menolong membedakan antara keduanya. Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah
[7]

6.1. Anamnesis Perdarahan jalan lahir pada kehamilan > 22 minggu berlangsung tanpa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan darah lengkap. 6.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan luar Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul. Apabila presentasi kepala, biasanya kepala masih melayang. Tidak jarang terdapat kelainan letak janin, seperti letak lintang atau sungsang. Pemeriksaan inspekulo Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pedarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan dari organ genitalia bagian dalam lainnya. Penentuan letak plasenta tidak langsung Dapat dilakukan dengan menggunakan radiografi, radioisotop, dan ultrasonografi. Pemeriksaan radiografi dan radioisotop masih dihadapkan pada bahaya radiasi yang cukup tinggi, sehingga cara ini mulai ditinggalkan. Sedangkan penggunaan USG tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya, dan tidak menimbulkan rasa nyeri. Penentuan letak plasenta secara langsung Pemeriksaannya dilakukan dengan meraba plasenta melalui kanalis servikalis secara langsung. Hal ini dilakukan apabila penanganan konservatif tidak dapat dilakukan, dan ditempuh

penanganan aktif. Pemeriksaan harus dilakukan dalam keadaan siap operasi. Persiapan yang demikian disebut dengan double set-up examination. Perlu diketahui tindakan periksa dalam tidak boleh/kontra-indikasi dilakukan di luar persiapan double set-up examination. Periksa dalam sekalipun yang dilakukan dengan sangat lembut dan hati-hati tidak menjamin tidak akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Jika terjadi perdarahan banyak di luar persiapan akan berdampak pada prognosis yang lebih buruk bahkan bisa fatal. Dewasa ini double set-up examination pada banyak rurnah sakit sudah jarang dilakukan berhubung telah tersedia alat ultrasonografi. Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih yang dikosongkan akan memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi sampai 96% - 98%
[7]

7. Penatalaksanaan Semua penderita perdarahan antepartum tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam kecuali kemungkinan plasenta previa telah disingkirkan atau diagnosa solusio plasenta telah ditegakkan. Penatalaksanaan plasenta previa di RSUP NTB yang tercantum dalam Standar Pelayanan Medik (2008), dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif [12]. 7.1. Perawatan konservatif Dilakukan pada bayi prematur dengan TBJ < 2500 gram atau umur kehamilan < 37 minggu dengan syarat denyut jantung janin baik dan perdarahan sedikit atau berhenti. Cara perawatan: a. Observasi ketat di kamar bersalin selama 24 jam b. Keadaan umum ibu diperbaiki, bila anemia berikan transfusi PRC (Packed Red Cell) sampai Hb 10-11 gr% c. Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin (kemungkinan perawatan konservatif gagal) dengan injeksi Betametason/Deksametason 12 mg tiap 12 jam bila usia kehamilan < 35 minggu atau TBJ < 2000 gram d. Bila perdarahan telah berhenti, penderita dipindahkan ke ruang perawatan dan tirah baring selama 2 hari, bila tidak ada perdarahan dapat mobilisasi. e. Observasi perdarahan, denyut jantung janin dan tekanan darah setiap 6 jam. f. Bila perdarahan berulang dilakukan penanganan aktif

g. Bila perdarahan ulang tidak terjadi setelah dilakukan mobilisasi penderita dipulangkan dengan nasihat: Istirahat Dilarang koitus Segera masuk Rumah Sakit bila terjadi perdarahan lagi Kontrol tiap minggu 7.2. Perawatan aktif Segera dilakukan terminasi kehamilan. Jika perdarahan aktif (perdarahan > 500 cc dalam 30 menit) dan diagnosa sudah ditegakkan segera dilakukan seksio sesarea dengan

memperhatikan keadaan umum ibu. Perawatan aktif dilakukan apabila: Perdarahan aktif. Perkiraan berat bayi > 2000 gram. Gawat janin. Anemia dengan Hb < 6 g%, janin hidup, perkiraan berat bayi > 2000 gram.

8. Komplikasi Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita plasenta previa, di antaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal [7]. a. Oleh karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dan tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok. b. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mudahkan jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menerobos ke dalam miometnium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dan kejadian plasenta inkreta dan bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Walaupun biasanya tidak seluruh permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbulah perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10-

35% pada pasien yang pernah seksio sesarea satu kali, naik menjadi 60-65% bila telah seksio sesarea 3 kali. c. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh karena itu, ha rus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual di tempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ligasi arteria ovarika, pemasangan tampon, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa. d. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya. e. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan <37 minggu dapat dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi. f. Komplikasi lain dari plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan selain masa perawatan yang lebih lama, adalah berisiko tinggi untuk solusio plasenta (Risiko Relatif 13,8), seksio sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin (RR 2,8), perdarahan pascapenalinan (RR 1,7), kematian maternal akibat perdarahan (50%), dan disseminated intravascular coagulation (DIC) 15,9%.

9. Prognosis Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak invasif dengan USG di samping ketersediaan transfusi darah darn infus cairan telah ada di hampir semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi

kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian, banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun, nasib janin masih belum terlepas dart komplikasi kelahiran prematur balk yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. Pada satu penelitian yang melibatkan 93.000 persalinan oleh Crane dan kawan-kawan (1999) dilaporkan angka kelahiran prematur 47%. Hubungan hambatan pertumbuhan janin dan kelainan bawaan dengan plasenta previa belum terbukti [7].

DAFTAR PUSTAKA

1.

Wardana GA, Karkata MK. Faktor resiko plasenta previa. CDK 2007 Sept-Okt; 34(5/158): 229-32.

2.

Konje JC, Walley RJ. Bleeding in late pregnancy, in high risk pregnancy: management option. London: WB Saunders Co.Ltd; 2000.

3.

World Health Organization (WHO). Revised 1990 estimates of maternal mortality: a new approach by WHO and UNICEF. Geneva: WHO; 1996.

4.

Miller DA. Obstetric hemorrhage [internet]. California: Obfocus; 2004 [updated 2004 Feb 11; cited 2011 Dec 1]. Available from: http://www.obfocus.com/high-

risk/bleeding/hemorrhagepa.htm 5. 6. 7. 8. Hanafiah TM. Plasenta previa. Medan: Universitas Sumatra Utara; 2004. Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC; 2002. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Winknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: YBPSP: 2008. Peatkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and gynecology: an illustrated colour text. Philadelphia: Churchull Livingstone; 2003. 9. Hamilton-Fairley D. Lecture notes: obstetrics and gynaecology, 2nd ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. 10. Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Johns Hopkins manual of gynecology and obstetrics, 3rd ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 11. Gunawan A. Perdarahan pada hamil tua. Makasar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. 12. Kumboyo DA, et al. Standar pelayanan medik ilmu obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: RSU Mataram; 2008.

You might also like