You are on page 1of 77

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi:
2. Editorial

Artikel :

3. Pemberantasan Jentik Aedes dalam Rangka Penanggulangan Demam


Berdarah
7. Penanggulangan Demam Berdarah dengan "Fogging" Malathion pada
Tempat Penularan Potensial di Yogyakarta 1985/1986
12. Infeksi "Japanese Encephalitis" pada Babi di Cengkareng Jakarta, dan
Peranannya dalam Penularan ke Manusia
16. Epidemiologi Demam Tifoid di Suatu Daerah Pedesaan di Paseh, Jawa
Barat
19. Uji Coba Vaksin Oral Ty 21 A Salmonella Typhi di Kompleks Pertamina,
Plaju
22. Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar terhadap Toksoid Difteri
2 LF
28. Mikrobakteria Atipikal pada Penderita TBC di Padang, Semarang dan
Surabaya
32. Pengukuran Kadar Sekret IgA dengan Cara ELISA untuk Membantu
Alamat redaksi :
Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
Menegakkan Diagnosis Penyakit Pertusis
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp 4892808 37. Pembentukan Antitoksin pada Wanita Usia Subur setelah Pemberian
Penanggung jawab/ Pimpinan Umum : Toksoid Serap Tetanus
Dr. Oen L. H. 41. Kadar Zat Antipoliomielitik dalam Air Susu Ibu di Jakarta dan Pengaruh-
Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani
Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-
nya terhadap Vaksinasi Polio
bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. 44. Pengembangan Antibodi Monoklonal untuk Filaria
Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. 47. "Enzyme Linked Imunnotransblotting Test" pada Transmigran di
Victor Siringoringo. Daerah Endemis Filariasis Malayi di Pulau Buton
Redaksi Kehormatan : Prof. DR. Kusumanto
Setyonegoro, Dr. R.O. Sidabutar, Prof. DR.
52. Penggunaan Klon DNA untuk Mendeteksi Larva Infektif Brugia malayi
B. Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, pada Nyamuk
Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. 55. Peranserta Masyarakat dalam Pemberantasan Malaria di Robek, Nusa-
Sadrach. tenggara Timur
No. Ijin : 151/SK/ Dit Jen PPG/ STT/1976.
tgl. 3 Juli 1976.
60. Tes Resistensi Secara In Vitro Plasmodium falciparum terhadap Obat
Pencetak : P.T. Temprint yang Mengandung Sulfadoksin
64. Penelitian Parasit Usus pada Sayuran di Jakarta
68. Pemeriksaan Serologi pada Kasus-kasus Tersangka Kongenital Rubella
di Jakarta Tahun 1986
71. Potensi Vaksin Morbilli yang Dipakai Program Imunisasi di Indonesia
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-
an/ pendapat masing-masing penulis dan tidak
74. Peranan Primatologi dalam Mengembangkan Ilmu Kedokteran dan
selalu merupakan pandangan atau kebijakan Biologi
instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


Kami sangat bergembira, akhirnya makalah-makalah yang disampaikan dalam
Seminar Penyakit Menular yang diadakan pada tanggal 23 dan 24 Februari 1987
di Jakarta dapat dikumpulkan, dan diterbitkan dalam edisi khusus Cermin Dunia
Kedokteran ini.
Kami menyadari, informasi hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Pusat
Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, perlu disebarluaskan, sehingga dapat dimanfaatkan
oleh semua pihak yang berkepentingan.
Makalah-makalah yang dibahas dalam seminar tersebut meliputi berbagai
aspek dari penyakit menular, baik tentang klinik pengobatan, vaksinasi, diagnosis,
epidemiologi, pemberantasan dan lain-lain.
Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Panitia Penyelenggara
Seminar yang berkenan memberikan bantuannya, sehingga hasil-hasil dari Seminar
tersebut dapat hadir di tengah-tengah anda secara utuh.

Redaksi

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA


Pelindung/Penasehat : Dr. Iskak Koiman
Ketua : Drh. Soeharyono W. MPH
Sekretaris : Ir. M. Edhie Sulaksono
Panitia Pengarah ("Steering Committee")
Ketua : Drh. Soeharyono W. MPH
Anggota : 1. Dr. Imran Lubis CPH
2. Dr. Cyrus H. Simanjuntak
3. Dra. Hariyani A.M.
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I. 4. Dra. Mulyati Prijanto
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN 5. Dr. Liliana Kurniawan MSc
PUSAT PENELITIAN PENYAKIT MENULAR 6. Ir. M. Edhie Sulaksono
7. Drh. Gendrowahyuhono

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


Artikel

Pemberantasan Jentik Aedes dalam


Rangka Penanggulangan Demam
Berdarah
Dr. Imran Lubis CPH
Pusat Penelitian Penyakit•Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan / Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
daerah endemis, selalu melaporkan kasus sepanjang tahun,
Telah dilakukan penelitian pemberian Themephos 1% dengan fluktuasi peningkatan pada waktu musim hujan.
SG pada 93,4% container yang ditemukan pada 13 desa Seperti pada daerah Asean lain, penyakit Demam Ber-
endemis Demam Berdarah di Sidoardjo. darah sangat dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk Aedes
Setelah 3 bulan pemberian, tampak bahwa indeks nyamuk (Suroso, 1984). Upaya penanggulangan nyamuk Aedes se-
Aedes yang semula naik, ternyata menjadi tururi kembali. perti misalnya di Singapura telah menunjukkan dampak pe-
Misalnya House Index dari 32—45 menjadi 10, Dengue Figure nurunan kasus Demam Berdarah dengan baik. Begitu juga
5—6 menjadi 3. dengan pengalaman penanggulangan wabah dengan melakukan
Disamping tidak jadinya naik indeks nyamuk Aedes, ter- fogging malathion, abatisasi secara massal. Di beberapa tempat
jadi juga penurunan infeksi Dengue di daerah dengan tindakan dapat diangagap bisa memperkecil dan mempersingkat cetusan
pemberantasan sebesar penurunan 37% dan di daerah kontrol wabah yang terjadi itu.
kenaikan sebesar 110%. Strategi penanggulangan penyakit Demam Berdarah yang
Berbagai cara melakukan pemberantasan jentik Aedes ditentukan oleh Departemen Kesehatan, salah satunya adalah
juga dibicarakan. memberantas jentik Aedes dengan Themephos 1% SG secara
massal (Suroso, 1981). Cara ini dianggap dapat tahan lama
yaitu 3 bulan, terutama sekali untuk tindakan pencegahan
PENDAHULUAN kenaikan kasus pada waktu menghadapi musim hujan yang
Laporan pertama kali mengenai penyakit Demam Ber- akan datang atau suatu wabah yang diperkirakan telah meng-
darah (DHF —DBD) di Indonesia adalah berasal dari Surabaya ancam daerah itu. Tindakan ini telah dilakukan di beberapa
dan Jakarta .tahun 1968 (Kho et al, 1969). Dengan jumlah tempat sejak tahun 1981, tetapi kenyataannya jumlah kasus
penderita 58 orang dan dengan 24 kematian (CFR: 41,3%). Demam Berdarah di daerah itu masih cukup tinggi.
Mulai saat itu, penyakit Demam Berdarah menyebar ke Penelitian ini akan melakukan pengukuran dampak pem-
kota/desa lain. Terutama pada daerah yang telah mengandung berantasan jentik Aedes terhadap infeksi (penyebaran) virus
nyamuk jenis Aedes aegypti (Sureso et al, 1985). Karena Dengue. Pengukuran yang paling tepat adalah membandingkan
hampir seluruh wilayah di Indonesia sudah mempunyai nya- besar infeksi sebelum dan sesudah tindakan di daerah dengan
muk Aedes, maka penyebaran penyakit menjadi sangat cepat. perlakuan dan di daerah kontrol.
Dalam waktu 16 tahun saja (1968—1984) daerah terserang
Demam Berdarah meningkat dari 2 Kabupaten menjadi 162 BAHAN DAN CARA
Kabupaten (pada 21 Propinsi) dengan kasus rata-rata per- • Pemberantasan jentik Aedes, dilakukan dengan meng-
tahun dari 58 menjadi 5.000 anak. Letusan wabah Demam gunakan insektisida golongan Themephos I% SG (nama
Berdarah terbesar timbul pada tahun 1973 (10.189), tahun dagang: Abate). Dosis Themephos adalah 1 ppm, yaitu dengan
1983 (13.875) dan tahun 1984 (12.710). Sebagian besar menghitung perkiraan jumlah air yang akan tertampung dalam
daerah terserang Demam Berdarah tersebut berubah menjadi container kemudian 1/1000 bagian dari jumlah itu adalah

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


Themephos 1% dalam bentuk bubuk padat. Tabel 1. Hasil Survai Aedes pada Waktu Sebelum dan Sesudah tin-
• Themephos diberikan pada semua container air yang dakan Pemberantasan Jentik, 1983-1984.
dijumpai indoor maupun outdoor dan sedang berisi air se- H.I. C.I. B. I. D.F.L.R. (A.
bagian/seluruh. Dengan pemberian Themephos I ppm maka )
diharapkan insektisida akan menempel pada seluruh permuka- 27-6-1983 32 20,1 36 5 6,3
an dalam bejana. Telur Aedes terdapat menempel pada dinding 25-7-1983 18 9,5 18 3 3,3
itu, bila menetas maka jentik Aedes segera dibunuh. Oleh 22- 8-1983 12 6,7 13 3 1,9
karena itu sangat penting dalam waktu minimal seminggu 5-9-1983 15 8,3 15 3 1,9
18.10-1983 32 22,8 42 5 1,2
container yang diberi Themephos tidak boleh disikat/dibersih- 14-11- 45 28,2 48 6 0,5
kan, supaya lapisan insektisida tersebut tidak terkikis habis.
Tindakan pembe rantasan jen
• Dosis Themephos 1% dalam 1 ppm yang diberikan
pada tempat air minum/masak,tidak menyebabkan perubah- 19-12- 10 6,9 12 3 2,0
an bau maupun rasa, dan aman untuk pemakaian manusia 23-1-1984 25 16,6 30 4 4,7
20-2-1984 26 15,5 28 4 5,0
dalam waktu yang lama.
• Pokok-pokok kegiatan lapangan adalah:
Keterangan:
a) memilih daerah endemis Demam Berdarah dan daerah
kontrol menurut kriteria Dit. Jen. P2M & PLP yaitu: 13 H. : House Index D.F. : Dengue
desa di Kabupaten Sidoardjo yang endemis dan 13 desa C. : Container Index L.R. : Landing
ditempat . sama yang sebanding sebagai daerah kontrol. I. : Breteau Index. Rate
b) melakukan pengumpulan data dasar: Jumlah container Berdarah dan 742 anak dari daerah kontrol. Hasil pemeriksa-
air berikut isinya, jumlah anak berumur 7 tahun dan lain- an HI pada anak tersebut tampak pada Tabel 2.
lain.
c) melakukan latihan survai nyamuk, pemberian Themephos Tabel 2. Perbandingan Infeksi Dengue pada Anak di Daerah Endemis
yang tepat dan pengambilan darah anak sebagai sampel. dengan Tindakan Pemberantasan Jentik dan Anak di Daerah
d) melakukan pelaksanaan survai dan pembinaan. Kontrol, Sidoardjo, 1983.
• Evaluasi: Melakukan pengambilan darah pada anak sehat
umur 7 tahun di dua daerah terpilih tersebut, pada waktu se- Infeksi Dengue per sampel Trend
Wilayah infeksi
belum dan sesudah dilakukan tindakan pemberantasan jentik sebelum tindakan sesudah tindakan
Aedes. Sampel darah diperiksa secara H.I. (Hemaglutinasi
Inhibisi) menurut Clark & Cassal dengan memakai 4—8 unit Endemis *) 17/373:4,5% 11/372:2,9% Turun
antigen Dengue 2 berasal dari PN Biofarma. Kenaikan titer 37%
antibodi terhadap Dengue sebesar 4 kali atau lebih pada anak Kontrol 79/369: 21,4% 168/373: 45,0% Naik
yang sama, dianggap anak tersebut telah mendapat infeksi 110%
virus Dengue (Kriteria WHO, 1981).
*) Hanya pada daerah endemis Demam Berdarah ini diberi tindakan
HASIL pemberantasan jentik Aedes, sehingga terjadi penurunan infeksi.
Tampak di sini bahwa pada daerah kontrol, yaitu daerah spo-
Bulan Nopember 1983 telah dilakukan tindakan pem- radis Demam Berdarah yang memang tidak akan dilakukan
berantasan jentik Aedes di 13 desa endemis Demam Berdarah tindakan apapun kecuali surveillance atau penyuluhan ke-
di Kabupaten Sidoardjo. Mencakup 10.596 rurnah (93,4% sehatan. Ternyata terjadi kenaikan infeksi sebanyak 110%
dari total cakupan) dengan 19.779 buah container air yang dari angka semula: Sedangkan pada daerah endemis yang di-
diberi Themephos 1% SG. Dibutuhkan seluruhnya adalah lakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes terjadi pe-
Themephos 491.040 gram atau sebesar 46,34 gram/rumah. nurunan infeksi sebesar 37% dari semula. Perbedaan antara
Pemberian Themephos dalam penelitian ini adalah 1 kali, infeksi di kedua daerah tersebut cukup bermakna.
diberikan sebulan sebelum muslin hujan.
PEMBAHASAN
Perbedaan index nyamuk Aedes pada waktu sebelum Penyakit Demam Berdarah disebabkan oleh 4 tipe virus
dan sesudah tindakan pemberantasan jentik Aedes dilakukan Dengue (D1, D2, D3 dan D4) yang ditularkan ke manusia
tampak pada Tabel I. melalui gigitan nyamuk Aedes dewasa. Hal ini sudah terbukti
Tampak di sini bahwa sebelum dilakukan tindakan pemberan- semenjak laporan pertama penyakit Demam Berdarah di Fili-
tasan jentik terjadi kecenderungan untuk naik, misalnya D.F. pina 1953 dan Thailand 1958. Penyebaran penyakit Demam
dari 3 menjadi 5 kemudian 6. Tetapi setelah dilakukan tindak- Berdarah juga mengikuti pola penyebaran nyamuk Aedes,
an, terjadi penurunan walaupun tidak bermakna yaitu men- terutama untuk daerah Asean. Dengan demikian, strategi pem
jadi D.F. 3 kemudian 4. berantasan penyakit demam berdarah harus ditujukan pada
Secara acak sederhana pengambilan sampel anak sehat pemberantasan nyamuk Aedes dewasa maupun jentiknya.
seluruhnya mendapat 744 anak dari daerah endemis Demam Pemberantasan nyamuk Aedes dewasa dengan mengguna-

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


kan Malathion hanya diperlukan pada keadaan darurat saja. tidak dapat dicapai sehingga diduga pemberantasan jentik
Karena dampak penurunan kepadatan nyamuk yang terjadi ini tidak dapat menurunkan angka infeksi. Apalagi kalau di-
hanya dicapai sebentar saja, dan sekarang ini telah diduga ketahui banyak container air yang lolos dari pengamatan,
efek Malathion terhadap nyamuk sebagai insektisida telah me- misalnya lobang pohon, kaleng bekas, talang air dan lain-
nurun (Pattanayah, 1985). lain. Sehingga suatu prasyarat untuk melakukan tindakan
Oleh karena itu, sekarang lebih baik memberantas jentik pemberantasan jentik adalah ketelitian dalam mencari jumlah,
Aedes. Walauplin secara tidak langsung akan mengurangi jum- jenis dan isi container pada daerah.itu.
lah kepadatan nyamuk dewasa yang dalam hal ini lebih ber- Pemakaian insektisida Themephos 1% SG untuk pem-
peran dalam penyebaran virus Dengue ke orang lain. Pem- berantasan jentik Aedes masih dianggap cukup mahal, yaitu
berantasan jentik Aedes mempunyai hambatan yaitu mem- Rp. 172.050.000,— untuk 3 kali aplikasi pada daerah HE
butuhkan partisipasi masyarakat yang sulit diperoleh itu, (High Endemic) di Jakarta (Mansyhur, 1985).
membutuhkan persiapan yang lama dan mahal. Mempunyai Cara lain yang lebih murah pernah dilakukan di negara
efek yang tidak langsung, tetapi butuh waktu terlebih dulu. lain, misalnya di RRC menggunakan ikan jenis Clarius fuscus.
Kebaikannya adalah dampak penurunan kepadatan nyamuk (berat 40 gr) atau ikan Macropodus spp yang sanggup makan
maupun infeksi virus Dengue di Masyarakat lebih lama. larva Aedes sebanyak 1.000 ekor/hari. Ikan ini pernah dicoba
Penelitian ini telah melakukan evaluasi serologi terhadap pada suatu daerah di RRC' dengan dampak Breteau Index
suatu tindakan pemberantasan jentik Aedes yang dikerjakan turun dari 66 menjadi di bawah 3 dalam waktu hanya 2
sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Dit. Jen. P2M & PLP. minggu saja. (Pao Lung et al 1985).. Atau di Thailand dengan
Gambar 1 menunjukkan hubungan yang jelas antara penurun- menggunakan Larva trap (perangkap larva). Larva trap di-
an dari infeksi Dengue pada anak setelah dilakukan tindakan letakkan pada daerah yang amat disenangi jentik, misalnya
pemberantasan jentik Aedes. ditempat agak teduh dan lain-lain. Harga Larva trap semula
Tampak bahwa dengan cakupan pemberantasan sarang adalah US $ 1.0 tetapi dengan dibuat lokal maka dapat ditekan
jentik Aedes sebesar 93,4%, akan terjadi penurunan angka menjadi sepertiga. Setiap larva trap dapat menangkap 300
infeksi sebesar sepertiga (37%) pada daerah endemis. Sedang- ekor larva/malam (Boonluan et al, 1985). Percobaan ini belum
kan pada daerah yang baru dalam keadaan sporadis saja, te- dilakukan di suatu masyarakat. Kemungkinan lain ialah
tapi kalau dibiarkan (kontrol), infeksi akan meningkat sebesar dengan memakai jentik nyamuk Toxorhynchites yang dapat
2 kali semula (110%). memakan larva lain termasuk jentik Aedes. Jenis nyamuk
ini begitu besar sehingga sekarang dipakai untuk melakukan
Gambar 1. Perbaadingan Perubahan Infeksi Yang Terjadi Akibat isolasi virus Dengue dan belum pernah dicoba untuk tindakan
Tindakan Pemberantasan Jentik dengan Kontrol pemberantasan jentik Aedes.
Berbagai cara tindakan pemberantasan jentik Aedes telah
dibahas disini, sedangkan yang dilakukan dengan menggunakan
insektisida Themephos telah jelas dapat menurunkan angka
infeksi Dengue di masyarakat sebesar 1/3 (37%) dari semula.

KESIMPULAN
Dari penelitian ini telah terbukti bahwa tindakan pembe-
rantasan jentik Aedes dapat menurunkan angka infeksi Dengue
menjadi 1/3 dari angka semula, bila dipakai insektisida Theme-
phos 1% SG. Penurunan angka infeksi sebesar itu, dapat juga
dicapai dengan menggunakan metoda pemberantasan lain se-
perti, ikan, jentik nyamuk Toxorhynchites, gerakan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk). Bahkan angka penurunan itu
masih mungkin diperbesar lagi. Syarat penting dalam melaku-
kan tindakan pemberantasan jentik adalah caku pan/coverage
dari tindakan tersebut harus tinggi, mendekati angka 100%.
Mengingat dengan coverage 100% saja, masih ada container
outdoor yang lolos dari tindakan dan ini merupakan faktor
kegagalan tindakan itu. Untuk mengurangi faktor kegagalan,
dalam tindakan pemberantasan jentik harus dibuat persiapan
yang lama dan cukup matang sehingga akan mendapat par-
Melakukan tindakan pemberantasan jentik diperlukan tisipasi masyarakat penuh.
cakupan (coverage) tinggi, yaitu mendekati 100% agar supaya Dengan menurunnya daya bunuh insektisida untuk nya-
efek terhadap infeksi Dengue dapat dicapai. Sering target ini muk dewasa, dan mengurangnya anggaran untuk penanggu-

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


langan penyakit Demam Berdarah di Indonesia, jalan yang ter- 11:2533.
baik adalah dengan melakukan tindakan pemberantasan jentik 5. Suroso T. Control and Prevention of Dengue Hemorrhagic Fever
secara terus.menerus dan persisten melalui cara apa saja. in Indonesia, strategy and Thrust, D Newsl, 1985; 11 : 17 — 24.
6. Pattanayak, Collabrorative research projects on prospective Epide-
miological study on Dengue Hemorrhagic Fever in Thailand, Sri
KEPUSTAKAAN Lanka and Indonesia, D. News 1985; 1, 11 : 1 — 3.
7. Pao—ling, The use of Fish to control Aedes aegypti in water con-
tainers in the People's Republic of Cina, D. Newsl, 1981; 7 : 24.
1. WHO, Technical Guide on Dengue Haemorrhagic Fever, 1981.
2. Clark & Cassal, Technique for Hemaglutination and Hemaglutina-
tion Inhibition with Arthropod-borne virus, AM J Trop. Med Ucapan Terima Kasih
1958; 7 : 561 573.
Ucapan terima kasih terutama disampaikan kepada, dr. I. Koiman,
3. Imran Lubis es. Epidemiological Studies of DHF in Indonesia,
Kepala Puslit Penyakit Menular, Dokabu Sidoardjo beserta staff dan
Bull Pen Kes VII 1979; 1 : 23 — 27.
semua guru mau pun masyarakat lain yang telah menyumbangkan te-
4. M. Masyhur. Comparison of the Cost-Effect of different methods.
of vector control in Jakarta, 1984—1985, D. News letter 1985; naganya dalam melaksanakan penelitian ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 69, 1991


Penanggulangan Demam Berdarah Dengue
dengan "Fogging" Malathion pada
Tempat Penularan Potensial di
Yogyakarta 1985/1986.
Suharyono Wuryadi
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan studi perbandingan penanggulangan Demam kan satu-satunya hospes dan belum/tidak diketahui adanya
Berdarah Dengue (DBD) antara penyemprotan malathion hospes lain yang dapat terlibat. Dari hal inilah kemudian
atau fogging malathion pada tempat penularan potensial dikembangkan cara pencegahan/pembrantasan dari penyakit
seperti sekolah-sekolah dengan cara penyemprotan malathion ini yaitu dengan cara memutuskan rantai penularan dengan
pada fokus-fokus. (metoda standar). Penelitian ini dilakukan membunuh vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti.
di Kodya Yogyakarta. Untuk daerah pertama dipakai Ke- Pemutusan rantai penularan dengan membunuh vektor
camatan Gondomanan dan untuk daerah kedua dipakai tadi dapat dilakukan dengan berbagai cara: dapat secara
Kecamatan Kraton. Kedua daerah tersebut mempunyai ke- mekanis, yaitu dengan membunuh langsung nyamuk dewasa
samaan dalam hal; jumlah kasus/bulan, kepadatan penduduk, atau jentiknya, (dengan menguras tempat perindukkannya),
luas wilayah dan lain-lain. dapat secara biologis, misalnya dengan memasukkan ikan pe-
Terlihat bahwa di Kecamatan Gondomanan penularan makan jentik nyamuk ke dalam tempat perindukkannya,
virus Dengue menurun dari 5,6% menjadi 3,4% setelah pe- dapat juga dengan menggunakan racun kimia. Racun kimia
nyemprotan, sedang di Kecamatan Kraton penularan virus ini ada yang ditaburkan di air untuk membunuh jentik nya-
Dengue naik dari 5,9% menjadi 7,6% untuk periode yang muk (larvasida), ada yang diasapkan ke udara (fogging) sebagai
sama. Jumlah kasus DBD di kecamatan Gondomanan ada se- kabut untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida).
banyak 22 sebelum dilakukan penyemprotan yang kemudian Di sini kita akan khusus membahas tentang pembrantas-
turun menjadi 13 setelah dilakukan penyemprotan. Sedang an vektor dalam hal ini nyamuk Aedes aegypti dengan meng-
untuk kecamatan Kraton terdapat 24 kasus sebelum penyem- gunakan racun kimia yang disemprotkan ke udara sebagai .
protan dan 26 kasus setelah periode yang sama. Pengamatan kabut (fogging). Cara ini jelas sangat baik, karena langsung
dilakukan selama 11 bulan setelah penyemprotan. semua nyamuk dewasa akan mati. Pada waktu terjadi letusan
atau wabah, cara penyemprotan ini sangat bermanfaat dan
PENDAHULUAN efektif. Tetapi cara ini sangat mahal, membutuhkan tenaga
Pada saat ini penyakit Demam Berdarah (DBD) sudah dan peralatan khusus dan juga racun kimia yang digunakan.
endemis disebagian besar tanah air kita Mi. Dua puluh enam Dit.Jen. P2M & PLP di dalam program pembrantasan Demam
dari 27 propinsi yang ada telah dan selalu melaporkan adanya Berdarah Dengue, di antaranya juga memakai cara penyem-
kasus Demam Berdarah Dengue yang baru. Jumlah laporan protan ini. Kebijaksanaan yang dipakai sekarang adalah se-
kasus pertahun untuk 3 tahun terakhir ini adalah sekitar 13. tiap ada kasus barn (fokus), maka di sekitar rumah penderita
000 dengan angka kematian (CFR) sekitar 4%. Sampai saat (dengan radius 100 mt) akan di fogging dengan malathion
ini, mekanisme terjadinya penyakit masih belum jelas. Demiki- dua sildus dengan jarak antara 7—10 hari. Dengan cara ini
an juga dengan obat ataupun vaksin untuk pencegahannya makin banyak kasus akan makin banyak dana yang dikeluar-
juga belum didapatkan. Satu-satunya hal yang sudah diketahui kan sehingga di dalam kenyataannya, sering sekali dana yang
dengan pasti adalah bahwa penyakit ini ditularkan oleh tersedia tidak mencukupi, sehingga tidak semua kasus dapat
nyamuk, terutama nyamuk Aedes aegypti. Manusia merupa- ditanggulangi.

7
Di sini kami membandingkan cara di atas dengan cara kan program yang ada, yaitu pemberian Abate SG 1% pada
penanggulangan dengan fogging malathion tetapi tidak pada tempat-tempat penampungan air di rumah penderita dan
kasus baru dan sekitarnya, melainkan pada tempat lain yang sekitarnya dengan radius 100 meter. Demikian juga di sekolah
dianggap paling potensial, yaitu sekolah-sekolah dan sekitar- dan sekitarnya juga dengan radius 100 meter. Pemberian
nya. Adapun alasannya adalah sebagai berikut : Di Indonsia Abate biasanya dilakukan 1 kali saja. Peyiaksanaan fogging di
penularan (transmisi) virus Dengue yang tertinggi adalah daerah sekolah dan sekitarnya dilakukan pada bulan Agustus
pada anak-anak di bawah 15 tahun, yaitu golongan anak 1985 secara serentak, dengan pertimbangan, pada saat itu
sekolah terutama dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar kepadatan nyamuk Aedes aegypti adalah terendah (musim
dan Sekolah Menengah Pertama. Anak-anak di atas 15 tahun keying), sedang fogging di daerah kasus baru (fokus) dilakukan
ke atas biasanya sudah banyak yang kebal. Vektor dari penya- setiap ada laporan kasus baru dan dilakukan sepanjang tahun.
kit ini yaitu nyamuk Aedes aegypti, nyamuk yang hanya Fogging di daerah sekolah dan sekitarnya dilakukan satu kali
aktif menggigit pada waktu siang hari. Di sekolah berkumpul saja dalam satu tahun dan meliputi semua Taman Kanak-
anak-anak dari pelbagai tempat, terutama pada siang hari, Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan bebera-
yaitu sama dengan waktu aktivitas menggigit tertinggi dari pa Sekolah Menengah Atas, yang ada di Kecamatan Gondo-
nyamuk Aedes aegypti. Jika seandainya ada nyamuk Aedes manan.
aegypti yang infektif, artinya di dalam kelenjar ludahnya Pada permulaan penelitian, di kedua kecamatan terpilih
sudah ada virus dengue, entah virus tersebut didapatkan dari dilakukan survai serologi di antara anak-anak sekolah kelas I
pelajar yang sedang sakit di sekolah ataukah dari orang-orang Sekolah Dasar, untuk mengetahui besarnya penularan (trans-
di sekitar sekolah, dengan sendirinya penyebaran virus dengue misi) virus dengue di daerah tersebut. Sebelum dilakukan tin-
pada seluruh anak sekolah tersebut akan cepat sekali terjadi. dakan, sejumlah 600 anak kelas I Sekolah Dasar dari kedua
Ditambah dengan sifat nyamuk Aedes aegypti yang suka kecamatan (dipilih secara random) diambil spesimen darah dari
menggigit berpindah-pindah (multiple bite). Anak-anak ujung jari dengan menggunakan kertas filter. Selang 2—3 bulan
sekolah biasanya berasal dari pelbagai tempat, sehingga dalam diambil spesimen darah kedua pada anak yang sama dan
waktu yang relatif singkat penularan yang terjadi di sekolah dengan cara yang sama pula. Demikian dilakukan juga survai
akan segera tersebar dibawa pulang kesegenap jurusan. Adanya serologi setelah dilakukan tindakan di kedua kecamatan
nyamuk Aedes aegypti di sekolah-sekolah tidak perlu dibukti- tersebut. Juga sebanyak 600 anak Sekolah Dasar kelas I,
kan lagi, bahkan telah dibuktikan banyak sekolah mempunyai diambil spesimen darah dari ujung jari dengan menggunakan
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti (hasil survey Sub. kertas filter. Pengambilan juga secara random dan selang 2—3
Dit. Arbovirosis, PPM & PLP). Oleh karena itu sekolah di- bulan kemudian dilakukan juga pengambilan spesimen darah
anggap sebagai tempat potensial untuk penyebaran/penularan yang ke-2 pada anak yang sama dan cara yang sama pula.
virus dengue di masyarakat. Survai serologi yang kedua ini dilakukan setelah dilakukan
BAHAN DAN CARA KERJA tindakan fogging di sekolah-sekolah di kecamatan Gondoma-
Daerah yang dipakai pada penelitian ini adalah Daerah nan, yaitu pada bulan September/Oktober 1985 untuk yang
Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kodya Yogya, yaitu di pertama dan bulan Januari/Pebruari 1986 untuk yang ke-
Kecamatan Kraton (untuk daerah yang hanya di fogging dua.
tempat terjadinya kasus baru, sekolah tidak di fogging) dan Spesimen darah yang telah terkumpul dikirim ke Puslit
Kecamatan Gondomanan (daerah yang hanya di fogging Penyakit Menular di Jakarta dan kemudian diperiksa kadar
sekolahnya). Di tempat yang tidak di fogging sekolahnya, zat kebalnya terhadap dengue dengan uji Hemaglutinasi
pembrantasan tetap diadakan menurut program yang ada, Inhibisi (HI) dengan menggunakan antigen Dengue 2 sebanyak
yaitu fogging untuk daerah kasus baru (fokus) dan kegiatan 4—8 unit. Uji Hemaglutinasi Inhibisi dilakukan bersama-
penunjang yang lain, misalnya Pembersihan Sarang Nyamuk sama antara spesimen darah pertama dengan spesimen darah
(PSN). Sedang untuk daerah yang hanya sekolahnya saja kedua untuk mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi
yang di fogging daerah terjadinya kasus baru (fokus) tidak waktu melakukan uji tersebut. Dari hasil uji HI tersebut di-
di fogging. Di sini juga kegiatan penunjang seperti PSN tetap tentukan angka penularan (infection rate) sebelum dan sete-
dilakukan. lah fogging dilakukan di kedua kecamatan tersebut. Dari uji
Fogging untuk kedua kecamatan dilakukan dengan me- tersebut juga dapat ditentukan besarnya transmisi virus de-
makai mesin fogging (swing fog), dengan menggunakan bahan ngue sebelum dan setelah diadakan tindakan. Dengan sendiri-
kimia malathion 4% dalam pelarut solar. Fogging dilakukan nya untuk kecamatan Kraton hasilnya tidak memberikan
dua siklus dengan radius 100 meter dari rumah penderita banyak informasi karena besarnya tindakan di sini ditentu-
(fokus), atau dari sekolah. Jarak antara kedua siklus adalah kan oleh banyaknya kasus baru yang terjadi.
7-10 hari. Fogging dilakukan pada pagi hari antara jam 6.00— Semua kegiatan di lapangan ini dilakukan oleh petugas
10.00 atau sore hari antara jam 3.00—6.00.Waktu pelaksana- kesehatan PPM & PLP Kodya Yogya, dengan supervisi dari
an fogging tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kecepat- Puslit Penyakit Menular di Jakarta. Survai kepadatan nyamuk
an angin dan suhu udara rendah. Aedes aegypti dan Aedes albopictus juga dilakukan dengan
Abatisasi di kedua kecamatan juga dilakukan berdasar- cara single larva method. Kegiatan ini juga dilakukan oleh
petugas kesehatan PPM & PLP Kodya Yogya. Tabel 2. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dari Januari 1985
Kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi dan datang s/d Juni 1986 Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton,
di rumah-rumah sakit di Yogya seperti RS Pugerah, RS. PKU Kodya, Jogya 1985/1986.
Muhamadiah, RS. Bethesda, RS. Panti Rapih dan RS. Dr.
No. Kecamatan Jan s/d Jul Agst. Sept. Okt. Nov. Des.
Sardjito dicatat dan dianalisa, mana yang datang/berasal
1985
dari kedua kecarnatan tersebut. Pengamatan dan pencatatan
kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi di kedua ke- 1. Gondomanan 22 2 2 4
camatan diteruskan sampai 11 bulan (dari Agustus 1985 s/d 2. Kraton 24 10 1 4 1
Juni 1986). Hal ini dilakukan untuk mengetahui dampak
atau basil dari fogging di sekolah-sekolah yang hanya dilaku- TOTAL 46 12 3 8 1
kan setahun sekali itu. Hasil ini kemudian dibandingkan
No. Kecamatan Jan. Feb. Mrt. Aprl. Mei Jun. TTL
dengan kecamatan yang tidak di fogging sekolahnya tetapi
1986
hanya pada tempat-tempat adanya kasus baru saja (fokus)
dan sekitarnya radius 100 meter. Di sin fogging dilakukan 1. Gondomanan 2 1 - - - 1 35
sepanjang tahun manakala ada kasus baru (fokus).
2. Kraton 4 1 2 2 - - 50
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari Kecamatan Gondomanan sebanyak 23 sekolah : 5 Seko- TOTAL 6 2 2 2 - 1 85
lah Taman Kanak-Kanak, 13 Sekolah Dasar, 3 Sekolah Me-
nengah Pertama dan 2 Sekolah Menengah Atas telah di fogging disusul pengambilan kedua dengan jarak waktu 2—3 bulan
sebanyak 2 siklus dengan malathion. Demikian juga rumah- dilakukan pada bulan Februari/Maret 1985 dan Juni/Juli
rumah di sekitar sekolah tersebut dengan jarak radius 100 1985. Sedang pengambilan yang kedua dilakukan setelah
meter dari sekolah. (Lihat Tabel I) ' fogging di sekolah, yaitu bulan Oktober 1985 disusul peng-
Dari Kecamatan Kraton, di mana penanggulangan di- ambilan kedua (2—3 bulan kemudian) yaitu bulan Januari/
lakukan sesuai dengan program yang ada, yaitu penyemprotan Februari 1986.
malathion tiap ada kasus baru. Selama periode Januari 1985 Dari Kecamatan Gondomanan pada periode pertama
s/d Juli 1986 dilakukan penyemprotan fokus sebanyak 50 (Februari 1985 dan Juni - Jitli 1985) dapat terkumpul 302
dengan perincian : 26 kasus terjadi antara Agustus 1985 s/d pasang spesimen darah (label 3), sedang dari Kecamatan
Juni 1986, dan 24 kasus antara Januari 1985 s/d Juli 1985. Kraton untuk periode pengumpulan yang sama dapat ter-
Semua penyemprotan dilakukan dengan swing fog sebanyak kumpul 323 pasang spesimen darah (Tabel 4). Untuk periode
dua siklus, termasuk rumah-rumah di sekitar fokus dengan kedua (Oktober 85 dan Januari 1986) untuk Kecamatan
radius 100 meter. Gondomanan dapat dikumpulkan sebanyak 322 pasang
Tabel I. Data tentang luas daerah, jumlah penduduk dan jumlah spesimen dan dari Kecamatan Kraton terkumpul 300 pasang
sekolah di Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton, Kodya spesimen (label 5 dan Tabel 6). Spesimen darah tersebut
Yogya 1985. diambil dari 14 SD di Kecamatan Kraton dan 13 SD di Ke-
No. Uraian Kec. Gondomanan Kec. Kraton camatan Gondomanan.
1. Luas daerah 113 ha 137 ha Hasil uji hemaglutinasi inhibisi menunjukkan, untuk
2. Jumlah penduduk 22.797 jiwa 27.282 jiwa Kecamatan Gondomanan didapatkan angka infeksi sebesar
3. Jumlah sekolah 91,4% pada survai bulan Februari/Maret 1985, dan 97,0%
− TK 5 5 untuk bulan Juni/Juli 1985 (label 3). Kecamatan Kraton
− SD 13 14 angka infeksi menunjukkan angka sebesar 92,6% untuk bulan
− SMP 3 2 Februari/Maret 1985 dan 98,5% untuk bulan Juni/Juli 1985.
(label 4). Pada pembacaan ini titer hemaglutinasi inhibisi
Di Kecamatan Gondomanan, dalam periode yang sama, yaitu (HI) sebesar 20 atau lebih dinyatakan positif.
dari Januari 1985 s/d Juni 1986 diketemukan 35 kasus; de- Kalau kita lihat sekarang besarnya transmisi (perbedaan
ngan perincian 13 kasus terjadi antara bulan Agustus 1985 titer HI darah pertama dan kedua sebesar empat kali atau
s/d Juni 1986 (12 bulan), dan 22 kasus antara bulan Januari lebih) di kedua kecamatan, terlihat bahwa di Kecamatan
1985 s/d Juli 1985 (7 bulan) (Lihat Tabel 2). Gondomanan besarnya transmisi adalah 5,6% sedang di Ke-
Nampak jelas setelah adanya fogging di tempat potensial camatan Kraton adalah 5,9%. Survai berikut yang dilakukan
di Kecamatan Gondomanan, kasus Demam Berdarah Dengue setelah fogging, yaitu pada bulan Agustus 1985, di tempat
menurun. potensial di Kecamatan Gondomanan, terlihat bahwa untuk
Survai serologi untuk menentukan besarnya infeksi dan Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Kraton terjadi ke-
transmisi virus dengue dilakukan dikedua Kecamatan tersebut. naikan angka infeksi yaitu untuk Kecamatan Gondomanan
Survai ini dilakukan dua kali, di mana tiap kali kelompok pada bulan Oktober 1985 (survai kedua pengambilan per-
anak Sekolah Dasar Kelas I diambil darahnya dua kali dengan tama) sebesar 99,4% menjadi 99,7% (survai kedua pengambil-
waktu antara 2—3 bulan. Pengambilan darah ini yang pertama an kedua, bulan Januari 1986), sedang untuk Kecamatan
Tabel 3. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dari Kecamatan Dengue yang baru, yaitu di rumah penderita dan rumah di-
Gondomanan dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI), terhadap
virus dengue, 1985—1986
sekitarnya dengan radius 100 meter, kepadatan Aedes aegypti
tidak menunjukkan banyak penurunan. Hanya pada bulan
Agustus kepadatan nyamuk Aedes aegypti tampak rendah atau
terendah dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Ini mungkin disebabkan karena pada bulan tersebut adalah
bulan yang terkering sehingga dengan sendirinya kepadatan
nyamuk Aedes aegypti juga yang terendah. Terlihat juga
bahwa kepadatan nyamuk Aedes aegypti di daerah ini memang
relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kepadatan di Ke-
camatan Gondomanan.

Tabel 5. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dan Kecamatan


Gondomanan dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Periode II,
terhadap virus dengue 1985—1986.

Tabel 4. Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dan Kecamatan


Kraton dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI), terhadap virus dengue
1985 — 1986.

Tabel 6.Jumlah spesimen yang dapat dikumpulkan dari Kecamatan


Kraton dan hasil uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Periode II, terhadap
virus dengue 1985 — 1986.

Kraton didapatkan kenaikan angka infeksi dan 97% menjadi


99,3%. Tetapi angka transmisi di Kecamatan Gondomanan
terlihat menurun, yaitu menjadi 3,4% dibandingkan dengan
angka transmisi di Kecamatan Kraton yang malah naik men-
jadi 7,6% (Tabel 5 dan Tabel 6). Jadi di sini terlihat, sebelum
bulan Agustus 1985, dikedua kecamatan tersebut keadaan-
nya hampir sama yaitu untuk besarnya angka infeksi dan
transmisi tetapi kemudian di Kecamatan Gondomanan angka
transmisi menurun sedang di Kecamatan Kraton angka trans-
misi justru naik. Ternyata disini penanggulangan Demam Berdarah Dengue
Hasil survai nyamuk yang dilakukan selama 8 bulan, yaitu dengan jalan penyemprotan malathion hanya pada tempat
mulai bulan April 1985 s/d Desemben 1985 dikedua kecamat- tempat yang potensial, dalam hal mi sekolah dapat menurun-
an dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Di Kecamatan kan besarnya transmisi virus dengue di daerah tersebut.
Gondomanan, di mana fogging dilakukan terhadap seluruh Sebagai kriteria evaluasi kalau hanya didasarkan atas jumlah
sekolah yang ada di wilayah tersebut, adanya penurunan ke- kasus yang terjadi di daerah tersebut memang kurang tepat,
padatan nyamuk Aedes aegypti yaitu pada bulan September, mengingat kasus yang terjadi dapat berasal dan luar daerah
Oktober 1985 yang kemudian naik lagi pada bulan-bulan tersebut ditambah dengan kenyataan, infeksi virus dengue
berikutnya (tabel 8). Di Kecamatan Kraton, dimana fogging tidak selalu bermanifestasi sebagai Demam Berdarah Dengue
hanya ilakukan pada waktu ada kasus Demam Berdarah yang berat yang harus dirawat, tetapi mungkin hanya bersifat

10
ringan saja. masuk beaya operasional. Jadi cukup mahal juga, padahal
Mengingat alasan dilakukannya cara penanggulangan ini itu baru satu Kecamatan yang sedang besarnya. Tetapi kalau
adalah keterbatasan beaya, marilah kita lihat berapa besar kita bandingkan dengan cara penanggulangan fokus, dalam
beaya dengan cara ini. Pada cara ini untuk Kecamatan dengan hal ini Kecamatan Kraton, pada periode Agustus 1985 s/d
luas '113 ha (Lihat Tabel I), yaitu Kecamatan Gondomanan Juni 1986 terdapat 26 kasus berarti 26 kali penanggulangan
harus disemprot 23 sekolah beserta rumah-rumah di sekitar fokus. Terlihat bahwa cara penanggulangan fokus masih
sekolah radius 100 meter, jadi meliputi area seluas 92 ha sedikit lebih mahal. Ini belum termasuk kalau terjadi ke
naikan jumlah kasus, dengan sendirinya cara penanggulang-
Tabel 7. Hasil survai Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kecamatan
Gondomanan Kodya Jogya, 1985. an fokus akan meningkat sesuai dengan jumlah kasus yang
terjadi, sedang cara menyemprot pada tempat potensial akan
No. Kecamatan Gondomanan Rk. Ledokrat-
tetap.
makam A.ae. A.alb A.ae. A.alb. A.ae. A.a Dengan makin terbatasnya dana yang tersedia untuk pe-
CI% 81% HI% LR nanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue tahun 1987
ini, peran serta masyarakat dalam turut melakukan atau
1. 15/4–1985 7.14 0 14 0 13 0 0 membantu melakukan penanggulangan penyakit ini sangat
2. 15/5–1985 9.36 0 19 0 18 0 0
3. 11/6–1985 10.36 0 20 0 17 0 0
diharapkan. Masyarakat secara sendiri-sendiri atau bersama-
4. 10/7–1985 8.04 1 16 2 17 0 0 sama dapat melakukan pembasmian sarang nyamuk (PSN)
5. 13/8–1985 8.04 0 7 0 11 0 0 dilingkungan mereka masing-masing. Menguras bak mandi,
6. 11/9–1985 9,44 0 9 0 10 0 0 mengganti air di tempayan, vas bunga, mengubur kaleng-
7. 9/10–1985 9.14 0,5 11 1 11 0 0 kaleng bekas, ban-ban bekas, bahkan kalau mungkin me-
8. 23/11–1985 9.71 0 12 0 12 0 0 nyemprot rumahnya secara teratur dengan racun nyamuk
yang dijual di toko dan lain-lain. Dan dengan menggunakan
CI Container index BI = Breateau index HI = House cara berpikir yang sama pada penanggulangan Demam Ber-
LR A.ae. Landing Rate index
darah Dengue pada tetnpat potensial, kegiatan peran serta
A.alb Aedes aegypti
Aedes albopictus masyarakat ini dapat dititikberatkan pada sekolah-sekolah.
Tabel 8.
Hasil survai Aedes agypti dan Aedes albopictus di Kecamatan Kraton, Kodya KESIMPULAN
Jogya, 1985. Cara penanggulangan Demam Berdarah Dengue dengan jalan
penyemprotan malathion hanya pada tempat potensial,
CI% BI% HI% LR yaitu sekolah-sekolah dapat menurunkan transmisi virus
A.ae. A.alb. A.ae. A.alb. A.ae. A.alb. A.ae. A.alb.
dengue di daerah tersebut dan sekaligus akan menurunkan
1. 10/4–1985 6.42 0 14 0 14 0 0 jumlah kasus yang terjadi.
2. 8/5–1985 9 1 18 2 18 0 0
v. 10/6–1985 9.6 0 20 2 18 0 0 KEPUSTAKAAN
4. 15/7–1985 5.5 0 12 0 12 0 0
5. 10/8–1985 2.4 0 4 0 4 0 0 1. Anon. Technical Guides for Diagnosis Treatment, Surveillance,
6. 12/9–1985 5.7 0 10 0 10 0 0 Prevention and Control of Dengue Hemorrhagic Fever, WHO,
Geneva, 1980.
7. 12/10–1985 6.6 0 14 0 14 0 0
2. Clarke DH and Casals J. Techniques for Heamagglutination and
8. 9/11–1985 5,8 0,9 12 2 14 0 0 Heamagglutination Inhibition with Arthropod-borne viruses. Ama-
rican Journal of Tropical Medicine and Hygiene 1980; 561.
CI = Container index BI = Breateau index HI = House 3. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal P3M. Petunjuk
LR = Landing Rate index Pelaksanaan Penanggulangan Fokus Demam Berdarah, 1981.
A.ae = Aedes aegypti 4. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal P3M. Petunjuk
A.alb = Aedes albopictus Penanggulangan Wabah Demam Berdarah, 1981.

Ucapan terima kasih


(satu sekolah dengan radius 100 meter = 4 ha). Berarti di- Ditujukan kepada Bapak Kepala Kantor Wilauyah Departemen Ke-
butuhkan 92 liter malathion pekat (dua siklus), ditambah sehatan Daerah Istimewa .1ogyakarta dan seluruh staffnya, khusus-
dengan 2000 liter solar sebagai pengencer. Belum termasuk nya Dr Harundriyo DTMH, yang telah membantu terlaksananya
bensin untuk mesin swing fog sendiri dan juga belum ter- penelitian ini sehingga dapat berhasil dengan baik.

11
Infeksi "Japanese Encephalitis"
pada Babi di Cengkareng, Jakarta,
dan Peranannya dalam Penularan
ke Manusia
Sahat Ompusunggu
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK pun virus JE belum pernah diisolasi dari manusia di Indonesia,


Di Cengkareng, Jakarta, terdapat peternakan babi. Dari namun penemuan-penemuan tersebut menyebabkan adanya
penelitian-penelitian terdahulu, diduga, kasus-kasus Japanese dugaan, infeksi JE ke manusia bersumber dari babi dengan
Encephalitis (JE) pada manusia di Jakarta. bersumber dari perantaraan nyamuk-nyamuk tersebut.
lokasi tersebut. Laporan dari berbagai negara menyebutkan bahwa reservoir
Suatu penelitian untuk mengetahui keadaan infeksi JE pada utama (amplifier) JE adalah babi. Berhubung di Cengkareng,
babi di lokasi tersebut telah dilakukan pada tahun 1984. DI-. Jakarta, terdapat peternakan babi dengan populasi lebih dari
harapkan, dari hasil penelitian ini dapat diperkirakan ke- 10.000 ekor, ada dugaan bahwa penyebaran virus JE bersum-
mungkinan penyebarannya ke penduduk di sekitarnya. Se- ber dari peternakan itu. Penelitian ini bertujuan untuk menge-
banyak 250 ekor babi berumur 2—12 bulan dipilih secara tahui keadaan infeksi pada babi, antara lain menyangkut besar-
acak sederhana dan infeksi JE ditentukan dengan cara men- nya angka infeksi dan hubungannya dengan umur, titer anti-
deteksi antibodi dengan uji Haemagglutination Inhibition (HI). bodi dan besarnya insidensi (infeksi baru). Dengan keterangan
Babi berumur 2 bulan dan lahir di lokasi itu, diamati secara itu, dapat diperkirakan kemungkinan besarnya penularan ke
prospektif. manusia di sekitarnya dan selanjutnya dapat dipakai sebagai
Dari hasil penelitian ini didapatkan besarnya angka infeksi pertimbangan bagaimana cara penanggulangannya.
pada babi masih relatif rendah (53,6%). Ada korelasi linier
antara umur dengan proporsi infeksi pada babi. Babi berumur
rendah lebih potensial sebagai sumber infeksi dibanding babi BAHAN DAN CARA
berumur lebih tua. Dengan didapatkannya kasus-kasus baru Penelitian ini dilakukan di peternakan babi di Cengkareng,
JE pada babi, menunjukkan, di lokasi itu terjadi proses pe- Jakarta. Babi dipilih langsung secara acak di peternakan, lalu
nularan yang aktif. Kemungkinan penularan ke manusia di- umur dan asal babi dicatat berdasarkan catatan pemilik pe-
bahas. ternakan. Umur babi yang dipilih berkisar antara 2 bulan
PENDAHULUAN (saat disapih) dan 1 tahun (saat dipotong), dengan pertim-
Penyakit Japanese Encephalitis (JE) adalah radang otak bangan, pada waktu mulai disapih, anak babi tidak lagi mem-
yang disebabkan oleh virus JE. Virus ini adalah anggota peroleh antibodi maternal dari induknya. Dari setiap babi yang
Arbovirus kelompok B (flavivirus). Penyakit ini telah me- dipilih, diambil daralinya sebanyak 2,5 ml dari vena auricularis
nyebar di banyak negara, mulai dari Asia Selatan dan Teng- externa atau vena tarsea recurrentis untuk diperiksa secara HI
gara sampai di Asia Timur dan Siberia. (Haemagglutination Inhibition). Besarnya sampel adalah 250
Dugaan tentang munculnya penyakit ini di Indonesia telah ekor dan pengambilan darah hanya satu kali.
dilaporkan pada tahun 19711. Kemudian dalam penelitian- Terhadap sebagian babi yang berumur 2 bulan dan dilahir-
penelitian selanjutnya, virus JE berhasil diisolasi dari babi di kan di peternakan tersebut, dilakukan pengulangan pengambil-
Cengkareng, Jakarta2 dan dari nyamuk Culex tritaeniorhyn- an darah sampai tiga kali (sehingga togal menjadi empat kali)
chus3, C. gelidus, C. fuscocephalus4 dan C. vishnuis di Jakarta dengan interval setiap pengambilan selama satu bulan. Tujuan-
dan sekitarnya. nya adalah untuk mengetahui besarnya insidensi (infeksi baru)
Secara serologis telah pula ditemukan infeksi JE pada anak- dan untuk memastikan bahwa infeksi baru tersebut terjadi di
anak di dua Rumah Sakit di Jakarta sebesar 25,4%6. Meski- lokasi penelitian, atau bukan merupakan infeksi impor. Besar

12
sampel babi yang diperiksa ulang ini adalah 50 ekor, propor-
sional dengan populasinya (populasi babi berumur 2 bulan
kira-kira seperempat dari populasi seluruh babi).
Cara pemeriksaan HI sesuai dengan Clarke and Casals7.
HASIL PENELITIAN
Distribusi babi yang diperiksa menurut umur dan asalnya
dapat dilihat pada tabel 1. Asal seluruh babi hanya dari dua
kota, yaitu Jakarta dan Solo, dengan sebagian besar berasal
dari Jakarta (87,6%) dan hanya sebagian kecil yang berasal dari
Solo (12,4%). Sebagian besar babi tersebut (48,4%) berumur
11-12 bulan dan sebagian kecil (7,2%) berumur 9-10 bulan.
Tabel 1. Distribusi babi sampel menurut umur dan asal di Cengkareng,
Jakarta, 1984.

Besarnya infeksi JE pada babi adalah 53,6% (134/250).


Distribusi babi yang positif JE tersebut menurut umur dapat Gambar 1. Diagram tebar dan garis regresi linier antara umur dengar
dilihat pada tabel 2. Dengan analisa korelasi dan regresi linier, proporsi babi yang positif JE.
ternyata ada korelasi linier antara umur dengan proporsi
infeksi JE (r = 0,99; P < 0,05). Persamaan garis regresi linier- Tabel 3. Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi HI di
Cengkareng, Jakarta, 1984.
nya adalah: Y = 5,22X + 13,54. Gambar diagram tebar dan
garis regresi liniernya dapat dilihat pada gambar 1. Titer antibodi Jumlah %
10 28 20,9
Tabel 2. Babi yang positif JE menurut umur di Cengkareng, Jakarta,
1984. 20 16 11,9
40 28 20,9
80 21 15,7
160 18 13,4
320 9 6,7
640 14 10,5
Jumlah 134 100

Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi dapat


dilihat pada tabel 3 dan gambar 2. Jumlah paling tinggi adalah
babi yang bertiter 10 dan 40 (masing-masing 20,9%) dan
jumlah paling rendah pada titer 320 (6,7%).
Distribusi babi yang positif JE tersebut menurut umur dan
titer antibodi dapat dilihat pada tabel 4. Hasil analisa menun-
jukkan bahwa ada hubungan antara umur babi dengan titer
antobodi HI (P < 0,05). Namun bila umur babi tersebut di-
hubungkan dengan rata-rata titer geometrik antibodi HI
(tabel 5), analisa dengan korelasi linier menunjukkan bahwa
tidak ada korelasi linier antara keduanya (r = -0,86; P > 0,05).
Sebanyak 50 ekor babi berumur dua bulan dan dilahirkan
di Jakarta, diperiksa ulang setiap bulan sampai positif untuk
mengetahui besarnya insidensi (infeksi baru). Jumlah babi
yang diperiksa ulang dan besarnya insidensi setiap bulan se
lama pengamatan dapat dilihat pada tabel 6. Besarnya insidensi Gambar 2. Distribusi babi yang positif menurut titer antibodi HI
setiap bulan berkisar antara 18,5-30,3%. di Cengkareng, Jakarta, 1984.
Tabel 4. Distribusi babi yang positif JE menurut umur dan antibodi Tabel 7. Besarnya infeksi JE pada babi di beberapa lokasi di Indonesia.
HI di Cengkareng, Jakarta, 1984. Jumlah Umur Positif JE No.
Asal
Jumlah tiap kelompok umur (bulan) sampel (bulan) (%) pustaka
Titer
antibodi Jumiah Surabaya 15 ?• 100 3
2-3 4-5 9-10 11-12 Jawa Barat 102 6-12 94 7
HI
64 13-24 97
10 14 5 0 9 28 JawaTengah 156 6-12 88
20 0 1 1 14 16 79 13-24 92
40 1 3 3 21 28 Bali 88 12 64 5
80 1 1 4 15 21 132 12 80
160 1 2 1 14 18 Solo 206 6 90,7 6
320 1 1 0 7 9 Pontianak 210 6 100
640 0 2 2 10 14 Jakarta 250 2-12 53,6 Penulis
Jumlah 18 15 11 90 134
* ? = tidak diketahui
Tabel 5. Rata-rata titer geometrik antibodi HI terhadap JE menurut
umur di Cengkareng, Jakarta, 1984. Bahwa umur babi mempengaruhi besarnya angka infeksi
juga terbukti dalam penelitian (tabel 2 dan gambar 1) di mana
Rata-rata titer geometrik
Umur (bulan) antibodi HI Jumlah babi hubungan tersebut merupakan korelasi linier. Hasil penelitian
di Serawak juga menunjukkan, infection rate JE akan me-
2-3 17 18 ningkat dengan meningkatnya umur babi12.
4 -5 50 15 Untuk mengetahui apakah babi yang positif JE tersebut
9-10 91 11 dapat sebagai penular, dapat dilihat dari titer antibodinya.
11-12 70 121 Dari 134 ekor babi yang positif JE, 20,9% di antaranya ber-
titer 10 (tabel 3 dan gambar 2). Babi yang memiliki titer anti-
Tabel 6. Jumlah babi yang mendapat infeksi baru JE selama Maret – bodi yang rendah ini menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi
Mei 1984 di Cengkareng, Jakarta. belum lama beriangsung, atau dengan perkataan lain, babi
Jumiah Yang tersebut potensial sebagai penular atau sumber infeksi. Ter-
Pemeriksaan kedua positif nyata titer antibodi tersebut dipengaruhi oleh faktor umur
Waktu diperiksa
pertama Jumlah % babi, terbukti dari adanya hubungan antara umur babi dengan
negatif titer antibodi (tabel 4), walaupun hubungan tersebut bukan
18,5 merupakan korelasi linier bila umur babi itu dihubungkan
Maret 1984 27 5
April 1984 33 10 30,3 dengan rata-rata titer antibodi (tabel 5). Ini menunjukkan,
Mei1984 21 5 23,8
babi yang berumur muda lebih potensial sebagai sumber
infeksi daripada yang berumur lebih tua. Bahwa hubungan
tersebut bukan merupakan korelasi linier, di samping disebab-
PEMBAHASAN kan oleh besar sampel yang tidak sama, kemungkinan juga
Besarnya infeksi JE pada babi dalam penelitian ini adalah bisa sebagai petunjuk bahwa perjalanan infeksi di daerah itu
53,6% (tabel 2). Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian memang demikian. Artinya, titer antibodi akan meningkat
lainnya yang pernah dilakukan di Indonesia (tabel 7), angka sesuai dengan peningkatan umur, hanya sampai dengan umur
infeksi dalam penelitian ini relatif lebih rendah. Perbedaan 9-10 bulan dan pada umur di atas 10 bulan titer antibodi itu
ini kemungkinan disebabkan oleh faktor umur babi. Sampel dengan perlahan-lahan akan menurun.
babi dalam penelitian di Surabaya8 diambil dari abatoir se- Pengamatan selama tiga bulan menunjukkan adanya kejadi-
tempat, jadi umur babi diduga di atas 6 bulan. Demikian juga an infeksi baru (insidensi) setiap bulan di tempat tersebut,
dengan penelitian di Jawa Barat dan Jawa Tengah9, ' sampel yang besarnya antara 18,5-30,3% (tabel 6). Ini merupakan
babinya minimum berumur 6 bulan dan walaupun tidak di- bukti, di lokasi penelitian terjadi penularan yang aktif dari
analisa secara statistik, ternyata angka infeksi pada umur babi yang viremik ke vektor (Culex) dan seterusnya dari
13-24 bulan adalah lebih tinggi dari pada angka infeksi pada vektor yang transmisif ke babi kembali. Dalam penelitian-
umur 6-12 bulan. Dalam penelitian yang dilaporkan ini, penelitian terdahulu telah ditemukan, vektor JE di Jakarta
hampir separuh (44,4%) sampel babi berumur di bawah 6 dan sekitarnya adalah Culex tritaeniorhynchus, C. gelidus,
bulan (tabel 1). Angka infeksi yang tinggi pada babi berumur C. fuscocephalus dan C. vishnui. Kenyataan di Thailand me-
di bawah 12 bulan di Bali10 dan pada babi berumur di bawah nunjukkan, sebelum vektor yang mengandung virus JE me-
6 bulan di Solo dan Pontianak11 , diduga disebabkan oleh nyerbu manusia, lebih dahulu terjadi penyebaran virus JE di
faktor nyamuk (vektor). Sebagai suatu penyakit yang ditular- antara babi-vektor-babi-vektor. Setelah populasi vektor ini
kan dengan perantaraan nyamuk, maka faktor nyamuk yang sedemikian banyaknya, barulah terjadi penggigitan vektor ke
menyangkut kepadatan, infection rate dan kesenangan meng- penduduk dan selanjutnya terjadi penyebaran virus JE ke
gigit nyamuk pada hospes, juga akan mempengaruhi angka penduduk. Ditemukannya infeksi baru JE pada babi di pe-
infeksi pada hospes vertebratanya. Namun untuk mengetahui ternakan di Cengkareng merupakan bukti bahwa penyebaran
sampai seberapa besar pengaruh faktor nyamuk tersebut masih virus JE di antara babi-vektor-babi telah terjadi. Persoalan
diperlukan penelitian lebih lanjut. selanjutnya adalah, apakah keempat spesies Culex tersebut
senang menggigit manusia di sekitarnya? . Untuk mengetahui Media oleh Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI No 2
Ed 1. Jakarta: Puslit Bio Medis, Badan Litbangkes, Depkes RI,
hal itu diperlukan penelitian lebih lanjut. Bila tanda-tanda 1981; hal 24—36.
kesenangan menggigit nyamuk-nyamuk itu pada manusia me- 7. Clarke, Delphine H and Jordi Casale. Techniques for Haemagglutination
nunjukkan peningkatan, disarankan agar memulai penelitian and Haemagglutination-Inhibition with Arthropod-borne
cara-cara pemberantasannya, misalnya vaksinasi pada babi dan Viruses. Amer J Trop Med. 1958; 7: 561—573.
8. Hotta, Susumu. Arboviral Sero-Epidemiology of Indonesia. Viral
pemberantasan pada vektor atau vaksinasi pada manusia go- Diseases in the Southeast Pasific Area and Africa Rep Ser, No 3.
longan umur yang peka (anak-anak). Tokyo: International Medical Foundation of Japan, March 1973.
pp 3—16.
KESIMPULAN 9. Koesharjono C et al. Serological Survey of Pigs from a Sloughter-
Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan se- house in Jakarta, Indonesia. Bul Penelit Kes. 1973; 1: 8—18.
bagai berikut : 10. Imran L dan SUharyono W. Penelitian Penyakit Japanese Encepha-
• Besarnya infeksi JE pada babi masih relatif rendah (53,6%). litis (JE) pada Anak-anak di Denpasar, Bali. Dalam Kumpulan
Hasil Penelitian Bio Medis, oieh Puslit Bio Medis, Badan Litbang-
• Ada korelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi JE kes, Depkes RI No 3, ed 1. Jakarta: Puslit Bio Medis, Badan Lit-
pada babi. bangkes, Depkes RI. 1982/1983, hal 80-95.
• Babi berumur rendah lebih potensial sebagai sumber infeksi 11. ---- Faktor nyamuk Culex dan Babi dalam Penyebaran Virus
Japanese Encephalitis (JE) di Pontianak dan Solo. Bul Penelit
(kepada babi maupun manusia). Kes. 1986; 14: 8—15.
• Di lokasi itu terdapat proses penularan yang aktif. 12. Pant CP. Vectors of Japanese Encephalitis and Their Bionomics in
Countries other than India. Paper on WHO Inter-regional Meeting
on Japanese Encephalitis. New Delhi, 19—24 March 1979.
13. Yamada, Takeshi et al. Studies on an Epidemic of Japanese
KEPUSTAKAAN
En c e p h a l i t i s i n t h e N o rth ern R e g i o n o f Th a i l a n d i n 1 9 6 9
1. Kho LK et al. Japanese B Encephalitis di Jakarta (laporan se- and 1970. Viral Diseases in the Southeast Pacific Area and Africa
mentara). Maj Kes Indonesia. 1971; 21: 435—448. Rep Ser. No. 3. Tokyo: International Medical Foundation of
2. ---- Isolation of Japanese Encephalitis Virus from Mosquitoes Japan, March 1973, p 37.
near Bogor, West Java, Indonesia. J Med EntomoL 1975; 12:
573-574.
3. Van Peenen PFD et al. First Isolation of Japanese Encephalitis
Ucapan terima kasih
Virus from Java, Indonesia. J Military Med. 1974; : 821—823.
4. ----Japanese Encephalitis Virus from Pigs and Mosquitoes in
Jakarta, Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 1975; 69: Terima kasih banyak kami ucapkan kepada Bapak Dr. Iskak Koiman,
477—479. Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular etas pemberian izin sehingga
5. Atmosoedjono, Soeroto. Vectors of Dengue Hemorrhagic Fever, penelitian ini dapat terlaksana. Juga kepada Bapak Drh. Suharyono
Japanese B Encephalitis, Malaria and Filariasis. Unpublished paper. W., MPH dan Bapak Dr. lmran Lubis, CPH yang telah memberikan
Jakarta: US Namru-2, t.th. bantuan fasilitas, terima kasih ba..vak kami sampaikan. Kepada semua
6. Imran L dkk. Penelitian Penyakit Japanese Encephalitis (JE) pada staf Virologi, Pusat Penelitian Penyakit Menular yang telah ikut mem-
Anak-anak di Jakarta. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Bio bantu pemeriksaan spesimen, ucapan yang sama kami ucapkan.
Epidemiologi Demam Tifoid di
Suatu Daerah Pedesaan di Paseh,
Jawa Barat
Cyrus H. Simanjuntak*, Stephen L. Hoffman**, Narain H. Punjabi**, David C. Edman**,
M.A. Hasibuan*, Wibisono Sumarno***, Iskak Koiman*
*) Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
**) NAMRU — 2, Jakarta. ***) Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Daerah Bandung.

ABSTRAK di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Ratna dkk3 ,


Telah dilakukan penelitian epidemiologi pada penduduk pada survei rumah tangga 1980, demam tifoid menyebabkan
di daerah pedesaan Paseh, yang berpenduduk sebesar 62.636 kematian sebesar 3,3% dari seluruh kematian di Indonesia.
orang. Selama 3 bulan telah dilakukan pemeriksaan intensif, Demam tifoid umumnya menyerang anak yang lebih
yakni pengambilan darah yang dilanjutkan dengan pembiakan besar dan dewasa muda. Selain itu gejala yang terberat ter-
secara bakteriologis; pemeriksaan klinis; dan pengajuan kwes- dapat pada usia dewasa muda (32% penderita yang dirawat
tioner pada setiap penderita demam yang di Puskesmas/Pem- di R.S. Middleton di Singapura adalah pada usia 5 — 34
bantu Puskesmas Poliklinik R.S.U. dan Swasta serta Praktek tahun)4 .
Dokter di Kecamatan Paseh. Hal yang sama juga dilakukan Suatu studi prospektif di suatu daerah berpenduduk
ditempat-tempat seperti disebutkan di atas di daerah ber- 60.000 orang di Jawa Barat mengungkapkan, demam tifoid
dekatan di sekitar Kecamatan tersebut bagi penderita demam merupakan penyebab ketiga dari kematian. Suatu data tidak
yang berasal dari Kecamatan Paseh. resmis memberi petunjuk, di Jakarta sendiri pada tahun 1981
Berdasarkan hasil pemeriksaan intensif tersebut di atas insidensi demam tifoid diperkirakan sebesar 100.000 pertahun.
selama 3 bulan, yang kemudian dikonversikan ke dalam satu Akan tetapi semua data-data di atas adalah berdasarkan
tahun, diperoleh data, angka kesakitan S. typhi paling sedikit diagnosa klinik, tanpa ditunjang oleh pemeriksaan laboratori-
154 per 105 penduduk selama setahun. Angka ini sebesar urn berupa isolasi dari kuman Salmonella dari penderita de-
44,7 untuk S. paratyphi A dan 12,8 untuk Salmonella Group mam tifoid. Adalah menjadi tujuan penelitian ini untuk mem-
B. Sembilan puluh dua persen penyakit ini terdapat pada buktikan dan menentukan insidensi sebenarnya penyakit
anak di atas 3 tahun dan dewasa muda (di bawah 30 tahun) ini di salah satu kecamatan di Jawa Barat, suatu daerah yang
Jumlah penderita laki-laki hampir sama dengan penderita semi rural, yang diperkirakan dapat memberi gambaran akan
perempuan dan kebanyakan terdapat pada anak-anak sekolah. besarnya insidensi penyakit ini di Indonesia.
Penderita yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit biasa-
nya adalah anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, BAHAN DAN CARA
sedang anak-anak yang lebih kecil sebagian besar cukup ber-
obat jalan saja. Deskripsi daerah penelitian :
Daerah penelitian ialah suatu kecamatan yang bersifat semi-
PENDAHULUAN rural yang merupakan dataran rendah, di mana penduduk-
Demam tifoid merupakan problem kesehatan di masyara- nya sebagian besar adalah petani sawah. Jurnlah penduduk
kat.di negara yang sedang berkembang. Demikian juga di In- berdasarkan sensus 1980 adalah 62.636 orang. Terdapat 1
donesia, terutama di daerah perkotaan, penyakit ini masih buah Puskesmas dan 5 buah Pembantu Puskesmas yang mela-
menimbulkan berbagai masalah 1,2. yani seluruh penduduk dari 12 Desa di Kecamatan tersebut.
Walaupun penyakit ini tidak termasuk dalam 10 pe- Selain itu, terdapat sebuah rumah sakit yang melayani Keca-
nyakit penting sebagai penyakit dengan morbiditas tertinggi matan tersebut dan kecamatan yang berdekatan.

16
Cara pengumpulan sampel : tinggi terdapat pada anak umur 10-15 tahun dan 77% dari
Sampel dikumpulkan dari setiap penderita demam yang da- penderita S. typhi terdapat pada umur 3-20 tahun (Grafik I).
tang di sarana kesehatan yang ada di Kecamatan yang diteliti Penderita S. typhi yang memerlukan perawatan dan yang
yang berasal dari Kecamatan tersebut, yaitu Puskesmas, Pem- berobat jalan adalah 1 banding 6. Sedang mereka yang memer-
bantu Puskesmas dan rumah sakit (Poliklinik dan Ruangan). lukan perawatan ada tendensi terdapat pergeseran kepada
Selain itu, data dikumpulkan juga dari Balai Pengobatan atau umur yang lebih tua, artinya penderita anak-anak yang lebih
Praktek Dokter yang berada di Kecamatan tersebut. Data- tua dan dewasa muda mempunyai tendensi untuk dirawat.
data juga dikumpulkan dari Puskesmas, Sarana Kesehatan Tabel 1. Angka Kesakitan (Kasus 100.000 Penduduk/Tahun) Demam
Swasta (Balai Pengobatan dan Praktek Dokter) yang. berada Tifoid per Desa yang Diinterpolasikan dari 3 Nilai ke dalam
di sekitar Kecamatan yang diteliti yang mungkin dikunjungi 1 Tahun di Kecamatan Paseh, Jawa Barat.
oleh penderita yang berasal dari Kecamatan yang diteliti.
Pengolahan data dilakukan hanya terhadap mereka yang Jumlah Salmonel-
berasal dari Kecamatan Paseh, yaitu Kecamatan yang di- No. Desa S. S. paratyphi A
Penduduk Group B
teliti. Yang dimaksud dengan penderita demam, yang merupa-
kan sampel sasaran, ialah mereka yang menderita demam 1. Cipaku 7,268 880,4 55,0 0,0
selama 3 hari atau lebih yang datang ke sarana Kesehatan 2. Cipedes/
tersebut di atas. Sampel juga diambil dari mereka yang men- Tanglci mek 10,538 417,5 38,0 38,0
l
3. Loa 5,194 308,4 77,0 0,0
derita demarn kurang dari 3 hari, bila oleh sesuatu sebab ke-
4. Cigentur/Ka-
padanya harus diberikan antibiotika. rang tunggal 5,518 217,5 0,0 0,0
5. Cijagra/Me-
Pengambilan sampel : karpawitan 7,523 53,2 0,0 0,0
Sampel yang diambil ialah berupa Data Klinis dan anamnestis, 6. Drawati 5,028 159,1 0,0 0,0
dan diikuti pengambilan darah vena. Dari setiap orang diambil 7. Sindang Sari 5,127 390,1 0,0 0,0
5 ml darah dan langsung dimasukkan dalam 45 ml ox gall 8. Sukamantri 7,979 100,3 0,0 0,0
10 %. Darah ox gall yang diambil dari seluruh sarana kesehat- 9. Sukamanah 8,461 567,3 141,8 0,0
an tersebut di atas setiap hari kerja, pada hari yang sama di-
Jumlah 62,636 357,6 44,7 12,8
kumpulkan di rumah sakit dalam inkubator 37°C, hingga saat
pengirimannya 2x seminggu ke Jakarta untuk isolasi dan iden- Tabel 2. Angka Kesakitan Berdasar Umur ("Age Specific Morbidity
tifikasi. Isolasi dan identifikasi dilakukan dengan cara kon- Rate") S. Typhi yang Diinterpolasikan dari 3 Bulan ke
vensional6 . dalam Satu Tahun di Daerah Semi Rural, Paseh, Jawa Barat.

Kasus S. typhi seisms 3 bulan Angka Kesa-


Lama mengumpulkan data : Golongan Jumlah Berobat kitan 100.000
Lama mengumpulkan data secara intensif dilakukan selama Umur Penduduk Rawat jalan Jumlah pen/tahun.
tiga bulan, yang hasilnya diinterpolasikan ke dalam satu ta-
hun. 0 - 4.551 0 3 3 263,3
3 - 4.521 0 7 7 619,3
5 - 9.327 0 14 14 600,4
HASIL 10 - 7.559 1 12 13 687,9
Selama 3 bulan intensive study telah berhasil diperiksa 15 - 5.858 3 6 9 614,5
1072 orang penduduk Paseh yang menderita demam yang 20 - 9.900 3 5 9 363,6
datang di sarana kesehatan di Paseh dan sekitarnya, darimana 30 - 7.577 1 0 1 52,8
berhasil diisolasi 56 S. typhi, 7 S. paratyphi A dan 2 Salmonel - 40 - 5.805 0 0 0 0,0
la Group B. 50 - 4.117 0 0 0 0,0
Tabel 1 memperlihatkan angka kesakitan demam tifoid 60 - 3.421 0 0 0 0,0
per Desa di Kecamatan Paseh. Tampak bahwa angka kesakit-
an S. typhi S. paratyphi A dan Salmonella Group B berturut- Jumlah 62.636 8 43 56 353,6
turut adalah sebesar 357,6; 44,7 dan 12,8 per 10s penduduk
Penderita S. paratyphi A (7 kasus) dan Salmonella Group
selama setahun. Juga kelihatan bahwa angka kesakitan- dalam
B. (2 kasus) tak satu pun yang dirawat, cukup berobat jalan
masing-masing desa tidak sama, dan ternyata di desa yang ter-
saja.
padat, yaitu Cipaku memperlihatkan angka yang lebih tinggi.
Berdasarkan profesinya, penderita terbanyak adalah anak
Ternyata S. typhi jauh lebih tinggi dari S. paratyphi A atau sekolah, lalu menyusul golongan anak prasekolah dan Ibu-ibu
Salmonella Group B (Ratio berturut-turut 28 : 3, 5 : 1). Se- rumah tangga (tabel 3).
lain itu, tampak bahwa penderita demam tifoid laki-laki (48%) Berdasarkan kuesioner yang diajukan, 64% penderita
tidak berbeda bermakna dengan penderita perempuan (52%). demam tifoid datang ke sarana kesehatan setelah 3 - 5 hari
Angka kesakitan berdasar umur (Age specific morbidity demam. Duapuluh empat persen dari mereka itu datang se-
Rate) dari S. typhi (tabel 2) memperlihatkan, morbiditas ter- telah 6 had sakit atau lebih. Alasan mereka terlambat datang

17
Grafik I. Angka Kesakitan Berdasarkan Umur ("Age Specific Morbidity rate) terhadap kuman penyebab demam tifoid. Oleh karena
Rate") Penderita S. Typhi di Paseh, Jawa Barat. itu angka morbiditas sebenarnya di lapangan diperkirakan
lebih tinggi daripada 357,6 per 105 penduduk pertahun.
Angka ini akan lebih tinggi lagi bila sampel yang diambil itu
adalah sumsum tulang, karena daya isolasi terhadap S. typhi
hampir 100% bila yang diperiksa itu sumsum tulang, sedang
darah ox-gall hanya memberi daya isolasi sebesar 60—70%9.
Penelitian di Kompleks Pertamina Plaju, di mana fasilitas
laboratorium bakteriologi sangat baik memberi angka mor-
biditas jauh lebih besar (670 per 105 penduduk pertahun).
Dari kedua angka di atas, yang tentu saja belum merupakan
angka morbiditas untuk seluruh Indonesia, tapi kedua angka
tersebut paling sedikit memberi gambaran pada kita bahwa
morbiditas demam tifoid di masyarakat ternyata cukup tinggi
di Indonsia, jika dibandingkan dengan negara - negara lain.
Vulnerable Group penderita tersebut ternyata adalah
di sekitar umur 3—20 tahun, dengan puncaknya pada umur
Tabel 3. Kasus Demam Tifoid Berdasarkan Profesi (Pekerjaan), Paseh, 10—15 tahun. Hal ini mungkin disebabkan berbagai faktor,
Jawa Barat.
antara lain bahwa golongan umur tersebut sering jajan makan-
Salmonella an di luar rumah.
No. Pekerjaan S. typhi S.paratyphi A Group B
Juga diperkirakan, golongan ini mulai kehilangan daya
% % %
imunitas yang diperolehnya dari ibunya, yang kemudian
1. Pelajar 61,7 14,3 0 dengan bertambahnya umur, ekspos alami mengembalikan
2. Anak (Prasekolah) 25,5 85,7 100,0 daya imunitasnya, sehingga morbiditas pada umur dewasa
3. Ibu Rumah 6,3 0 0 yang lebih tua menjadi turun.
4. Buruh 2,1 0 0
5. Guru 2,1 0 0
6. Petani 2,1 0 0 KEPUSTAKAAN
7. Dagang 0 0 0
8. Pegawai/ABRI 0 0 0 1. Budiyono M, Soewandoyo E dan Juwono R. Typhus abdominalis
dengan Penyakit Perdarahan Usus yang Massif. Maj. Kedokteran
Indonesia 1986; 36 (4): 179—83.
Jumlah 100 100 100 2. Iskandar Z. Typhus abdominalis di R.S. Persahabatan, Jakarta.
Naskah Lengkap Kopandi HI, Bandung, 1975.
3. Ratna L. Budiarso, Putrali J dan Muchtaruddin. Survei Kesehatan
ialah obati sendiri dulu, berobat dulu ke mantri atau dukun Rumah tangga 1980. Penyunting Badan Penelitian dan Pengem-
atau tak ada biaya. bangan Kesehatan' Dep.Kes. R.I, 1975.
4. Goh KT. Epidemiological Surveillance of Communicable Diseases
in Singapore Ed. SEAMIC, Tokyo 1983, 56—88.
PEMBAHASAN 5. Panjabi NH, Hoffman SL, Rockill RC, Muchtar A, Sutomo A dan
Angka morbiditas S. typhi (357,6 per 10s penduduk Sukri N. Isolasi S. typhi dan S. paratyphi dari penderita-penderita
pertahun merupakan angka yang cukup tinggi jika dibanding- demam enterik. Pengalaman mengenai effektifitas pembiakan aspira-
si sumsum tulang, kultur darah tunggal dan usapan rektal: Mikro-
kan dengan di negara-negara lain. Angka ini hampir 3 x lebih biologi di Indonesia Proseeding Kongres Nasional Mikrobiologi III,
besar dari angka morbiditas (44—50 per 10 5 anak-anak sekolah Jakarta, 26—28 November 1981; hal 50—53.
pertahun) di Alexandria Mesir 7, dan 2—3 kali lebih besar 6. Edwards PR dan Ewing WH. Identification of Enterrobacterceae.
Terbitan III Burgers Publishing Company Minneapolis Minnesota
dari angka morbiditas (141,7—210,9 per 10 5 penduduk) di 55415;1972.
a
Santiago Chili . 7. Wandan MH, Serie C, Cerisier Y, Sallam S and Germanier R. A con-
Mengingat bahwa indentifikasi dan isolasi dilakukan tidak trolled field trial of live Salmonella typhi strain Ty 21 a oral vaccine
against Typhoid: Three year results. J Inf Dis 1982; 145: 292-5.
di tempat penelitian, melainkan darah-ox gal yang diambil 8. Levine MM, Black RE, Ferrecio C, Clements ML, Lanata C, Rooney
di lapangan dari penderita demam dikumpulkan sementara J and Germanier R. The efficacy of attenuated Salmonella typhi
di rumah sakit di daerah penelitian dan pengiriman ke Ja- oral vaccine strain Ty 21 a evaluated in controlled field trials De-
velopment of Vaccines and Drugs against Diarrhe. Eds Jan Holmgren
karta dilakukan hanya 2 x seminggu. Mekanisme pemeriksa- ALf Linberg Roland Millby. 11th Nobel conference, Stockholm
an ini diperkirakan akan menurunkan daya isolasi (isolation 1985;90—101.

18
Uji Coba Vaksin Oral Ty 21 A
Salmonella Typhi di Kompleks
Pertamina, Plaju
Cyrus H.Simanjuntak*, Fred P. Paleologo**, Narain H.Punjabi**, Soeprawoto***,
RuwidoDarmowigoto****, Ratna L. Budiarso*, David .Edman**
*) Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta
**) NAMR U — 2, Jakarta ***) Biro Kesehatan Pertamina, Jakarta ****) Kesehatan Pertamina, Plaju/Palembang

ABSTRAK luruh kematian di Indonsia.


Vaksin-parenteral Salmonella typhi yang dimatikan, yang Hingga sekarang vaksin yang dipergunakan untuk demam
selama ini dipakai untuk pencegahan penyakit demam tifoid, tifoid ialah vaksin parenteral, yang merupakan seluruh sel
selain mempunyai daya proteksi yang sedang (40—80)%, Salmonella typhi yang dimatikan dengan aseton atau yang
juga mempunyai gejala samping yang sangat mengganggu. dipanasi dengan phenol sebagai bahan pengawet. Vaksin pa-
Dengan ditemukannya vaksin-oral yang diperkirakan cukup renteral ini memberi daya perlindungan yang bervariasi di
poten yang terdiri dari strain Ty 21 a S. typhi yang dilemah- berbagai negara. Uji coba lapangan di dua tempat, yaitu
kan oleh Germanier, timbul suatu harapan yang menggembira- Polandia dan Jugoslavia4,5 memberi perlindungan sebesar
kan untuk mencegah penyakit ini, di mana dalam uji coba di 51—86%, dan di pulau Tonga6 memberi perlindungan yang
masyarakat di Mesir mempunyai daya lindung sebesar 96%. kira-kira sama besarnya. Vaksin ini, yang diberikan secara
Sehubungan dengan itu, dalam rangka uji coba di masyara- parenteral menimbulkan gejala samping berupa demam dan
kat, telah dilakukan pemberian vaksin-oral Ty 21 a S. typhi badan lesu secara sistemik, dan rasa sakit, indurasi dan ke-
kepada penduduk yang terdiri dari karyawan Pertamina dan merahan di tempat suntikan (lokal).
keluarganya di Plaju, untuk menilai daya lindungnya secara Walaupun daya lindungnya cukup besar, akan tetapi timbul-
double blind controlled trial. Telah divaksinasi sebanyak nya gejala samping yang sangat tidak menyenangkan, maka
22.001 orang penduduk, di mana 20.543 orang mendapat 3 pemakaian vaksin ini akhir-akhir ini kurang popular, bahkan
dosis, 927 orang dengan 2 dosis dan 531 orang dengan 1 dosis. pemakaiannya di Indonsia secara nasional tidak dianjurkan.
Dari jumlah tersebut, 11.025 orang mendapat vaksin dalam Oleh Germanier dan Fuhrer7, telah ditemukan suatu vaksin
bentuk kapsul enterik berlapis, di mana vaksin sebenarnya oral yang cukup poten, yang berasal dari strain S. typhi yang
dan plasebo dalam jumlah berimbang (5526 dan/atau 5499); dilemahkan, Ty 21 a. Vaksin oral ini, pada studi pendahuluan
dan 10.476 orang mendapat vaksin dalam bentuk bubuk yang terhadap sukarelawan di Amerika Utara, memberi perlindung-
diencerkan dengan buffer sitrat (liquid formulation) di mana an yang sangat bermakna tanpa adanya gejala sampingan se-
vaksin sebenarnya dan plasebo juga dalam jumlah yang ber- perti yang terdapat pada vaksin parenteral (kuman yang di-
imbang (5508 dan/atau 5468). matikan)8 .
Follow-up ada tidaknya S. typhi dilakukan selama 3 tahun Selain itu, uji coba di lapangan di Alexandria, Mesir oleh
di dalam masyarakat yang divaksinasi. Walaupun demikian, Wandan dkk9, vaksin oral yang baru ditemukan itu memberi
dalam waktu 4 bulan setelah vaksinasi, telah terlihat adanya daya pērlindungan sebesar 95% untuk masa paling sedikit 3
penurunan penderita S. typhi, di mana dari 25 kasus pada tahun. Menyusul uji coba di Mesir, oleh Levine dkk10, telah
bulan Oktober 1986 menjadi 13 dan 17 kasus secara berturut- pula dilakukan uji coba di lapangan di Santiago, Chili. Hasil-
turut pada bulan Nopember dan Desember 1986 di daerah nya sungguh di luar dugaan, karena memberi daya perlindung-
vaksinasi. an yang berbeda dengan uji coba di Mesir. Uji coba di Chili
memberi perlindungan hanya sebesar 54 — 62%.
PENDAHULUAN Apa yang menyebabkan perbedaan ini sulit untuk dijawab.
Yang jelas ialah :
1. Formula yang dipergunakan di Mesir tak dapat diulangi
Demam tifoid hingga saat ini masih merupakan problem
lagi, karena menurut Germanier penemunya strain tersebut
kesehatan masyarakat di negara yang sedang berkembang.
tak dapat diproduksi lagi.
Demikian juga di Indonesia, terutama di kota-kota besar,
2. Vaksin yang dipakai di Mesir berupa kapsul gelatin yang di-
penyakit ini masih menimbulkan berbagai masalah''2. Walau-
telan 10 menit sesudah mengunyah tablet Natriumbikar-
pun penyakit ini tidak termasuk dalam 10 penyakit penting
bonāt untuk menetralisir asam lambung. Pemberian cara ini
sebagai penyakit dengan morbiditas tertinggi di Indonesia
menyebabkan pemakaiannya secara masal kurang praktis.
pada survai rumah tangga tahun 19803, akan tetapi demam
3. Vaksin yang dipakai di Chili berupa kapsul enterik berlapis
tifoid merupakan penyebab kematian sebesar 3,3% dari se-

19
sehingga sangat praktis untuk penggunaan massal. HASIL
4. Group kontrol pada uji coba di Mesir ternyata mempunyai Telah berhasil divaksinasi• 22.001 orang Karyawan Perta-
insidensi yang sangat rendah (44—50 per 105), dan jauh di mina Plaju dan Keluarganya, di man 20.543 orang berhasil
bawah insidensi di daerah endemis pada umumnya, sehingga mendapat 3 dosis, 927 orang dengan 2 dosis dan 531 orang
sulit untuk diterapkan di daerah dengan endemis sedang dengan 1 dosis saja (tabel 1). Tabel 2 memperlihatkan jumlah
dan berat yang daya infeksinya cukup besar. vaksinee yang mendapat vaksin berbentuk kapsul dan bubuk.
Berhubung karena hal-hal yang disebutkan di atas, dilaku- Beberapa anak terutama anak balita yang dengan acak ke-
kanlah uji coba lapangan di masyarakat di Kompleks Pertami- betulan mendapat vaksin dalam bentuk kapsul tak dapat
na Plaju, yang insidensinya 12 — 14 kali lebih besar dari Mesir menelannya dan terpaksa diganti dengan vaksin bentuk bubuk
secara acak. Sebaliknya orang dewasa banyak yang tak mampu
dan 3 — 5 kali lebih besar dari Chili.
minum vaksin yang bubuk dan muntah, terpaksa diganti
BAHAN DAN CARA dengan vaksin kapsul. Ada 78 orang (0,35%) dari 22.001 orang
Vaksin yang dipakai merupakan galactose epimerase (Gal E) yang divaksinasi mengalami penggantian jenis vaksin yang di-
yaitu suatu mutant S. typhi Ty 21 a yang dibuat dalam 2 ben- berikan (tabel 3). Sedang yang langsung gagal menelan/me-
tuk, yaitu bentuk kapsul enterik berlapis dan bentuk bubuk minum vaksin dari seluruhnya ada 11 (0,05%) orang.
(sachet). Tiap kapsul atau tiap bungkus bubuk berisi 1 — 3 x Tak ada ditemukan gejala samping yang berarti selama
109 kuman Ty 21 a S. typhi. vaksinasi; hanya ditemukan ada 2 orang anak yang menderita
Plasebo kapsul dan Plasebo bubuk terdiri dari 109 kuman urtikaria.
Lactobacillus acidophylus yang sudah dimatikan. Vaksin Selama 4 bulan setelah vaksinasi, tampak penurunan yang
plasebo bubuk, diencerkan dulu dengan buffer sitrat sebelum cukup berarti (Tabel 4) kasus S. typhi dan juga S. paratyphi A
diminum. Seperti biasanya vaksin oral, cold chain dari vaksin dari penduduk yang telah divaksinasi, walaupun hasil daya
selalu harus dijaga di bawah 8°C. proteksi dari vaksin bard dapat ditetapkan setelah kode vaksin
dibuka, 2 tahun setelah vaksinasi.
Untuk menghindari air yang diklorinasi, air yang dipakai
pada waktu meminum atau mengencerkan vaksin, ialah aqua. PEMBAHASAN
Vaksin parenteral demam tifoid seperti vaksin Typa atau
Target vaksinasi Chotypa, sebenarnya sudah memberi daya perlindungan yang
Yang menjadi sasaran vaksinasi ialah Karyawan Pertamina cukup lumayan4'5'6 , akan tetapi vaksin ini memberi gejala
dan keluarganya yang berumur 3—44 tahun. Mereka dibagi sampingan yang sangat mengganggu. Selain itu, pemberian
dalam 4 kelompok sama besar secara acak, masing-masing ke- vaksinnya memerlukan persiapan dan peralatan suntik serta
lompok akan mendapat vaksin kapsul, vaksin bubuk, Plasebo harus diberikan oleh tenaga medis atau paramedis. Vaksin
kapsul dan Plasebo bubuk secara seimbang. Masing-masing oral dari sel S. typhi yang dimatikan. telah pula dicoba diper-
kelompok disebut dengan kode A, D, C dan E. gunakan. Akan tetapi walaupun vaksin ini tidak memberi
Dosis vaksin gejala samping, vaksin ini tidak dapat dipergunakan karena
Setiap orang, dewasa atau anak-anak akan mendapat 3 tidak memberi daya perlindungan yang memadaill : Oleh ka-
dosis vaksin dengan selang waktu satu minggu. rena itu vaksin oral hidup yang dilemahkan dari strain Ty 21 a
Kode vaksin penemuan Prof. Germanier almarhum7, merupakan jalan ke-
Oleh karena vaksin terdiri dari vaksin sebenarnya dan luar sebagai usaha untuk memberantas penyakit demam
plasebo, maka untuk kapsul diberi kode A dan D dan untuk tifoid melalui imunisasi.
bubuk diberi kode C dan E, sedang kunci mana yang vaksin Hasil uji coba lapangan di Mesir yang memberi daya per-
dan mana yang plasebo dipegang oleh WHO. Setelah 2 tahun lindungan yang meyakinkan9 sangat menggembirakan. Sayang,
selain tidak layak dipakai secara besar-besaran di masyarakat,
follow up, kunci ini baru dapat dibuka. Masing-masing ke-
vaksin ini tidak dapat diproduksi secara besar-besaran pula
lompok vaksinee diberikan vaksin (sebenarnya atau plasebo)
(Germanier, hubungan pribadi). Uji coba di lapangan di
dengan kode yang sesuai.
Santiago . Chili, yang mempergunakan vaksin dalam bentuk
Pemberian vaksin kapsūi enterik berlapis memberi basil yang berbeda dengan
Vaksin diberikan langsung ditelan/diminum di tempat di Mesir, walaupun kandungan kuman per dosis kira-kira sama,
vaksinasi. Suatu pemberian vaksin dianggap gagal apabila, yakni 1—8 x 109 di Mesir dan 1—5 x 109 di Chili.
vaksinee tidak dapat menelan kapsul atau gagal meminum Walaupun penilaian daya lindung dari vaksin ini baru dapat
paling sedikit h dari bubuk yang sudah diencerkan dengan ditetapkan setelah analisa data dari 2 tahun follow up, pen-
buffer atau memuntahkan vaksin dalam waktu 20 menit se- derita demam tifoid di daerah vaksinasi, setelah vaksinasi,
telah vaksinasi. akan tetapi grafik 1 telah memperlihatkan adanya penurunan
Bila ada yang gagal meminumkan vaksin kapsul, dicoba S. typhi yang berarti, 4 bulan setelah vaksinasi. Hal ini me-
menggantinya dengan vaksin bubuk yang kode vaksinnya rupakan suatu petunjuk adanya daya perlindungan dari vaksin
diundi secara acak. Demikian juga halnya bila ada yang gagal ini di daerah dengan insidensi S. typhi yang cukup tinggi.
dengan vaksin bubuk penggantian dilakukan secara acak Pada tahun 1985 insidensi S. typhi di Kompleks Pertamina
dengan vaksin kapsul pengganti. Penggantian vaksin hanya Plaju adalah 670 per 10s penduduk, yang berarti 12—14 kali
berlaku pada kesempatan dosis pertama dan orang yang vaksin- lebih tinggi dari di Mesir (44—50/10s) dan 3—5 kali lebih
nya diganti akan mendapat vaksin pengganti tersebut hingga tinggi dari di Chili (141,9—210,9 per 105).
3 kali vaksinasi. Uji coba di Chili memperlihatkan bahwa dosis 3 kali telah

20
Tabel 1. Penduduk Pertamina, Plaju yang divaksinasi oral dengan Ty 21 A S. typhi, Tahun 1986.
Jenis / Golongan Vaksin Jumlah
A D C E
Dosis
Vaksin Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % lumlah %

1 115 2,08 124 2,25 128 2,32 164 3,00 531 2,40
2 202 3,66 253 4,60 234 2,25 238 4,35 927 4,20
3 5.209 94,26 5.122 93,15 5.146 93,43 5.066 92,65 20.543 93,40

Jumlah 5.526 100,0 5.499 100,0 5.508 100,0 5.468 100,0 22.001 100,0

Kasus demam tifoid (S.typhi dan S.paratyphi A) di kompleks Pertamina


Tabel 2. Penduduk Pertamina Plaju, yang mendapat Vaksin Oral dalam Plaju
Bentuk Kapsul atau Bubuk 1982 s/d 1984

Dosis Kapsul enteric berlapis Bubuk


Vaksin A D Jumlah C E Jumlah

1 115 124 239 128 164 292


2 202 253 455 234 238 472
3 5.209 5.122 10.331 5.146 5.066 10.212

5.526 5.499 11.025 5.508 5.468 10.976

Tabel 3. Vaksin yang diganti dari Jenis yang Satu ke Jenis lainnya, Pertamina
Plaju, 1986
Vaksin Vaksin pengganti
A D C E Jumlah
yang

A — — 10 14 24
1982 1983 1984 1985 1986
D — — 8 22 30 Æ TAHUN
C 2 5 — — 7
2. Budiyono M, Soewandojo E dan Juwono R. Typhus abdominalis
F. 8 9 — — 17 dengan penyulit Pendarahan Usus yang Massif. Maj Kedoktr Indon
1986; 36 (4): 179—83.
Jumlah 10 14 18 36 78 3. Ratna L. Budiarso, Putrali J dan Muchtaruddin. Survai Kesehatan
Rumah Tangga 1980. Penyunting: Badan Penelitian dan Pengem-
Tabel 4. Pemeriksaan Darah yang Positif terhadap Salmonella dari bangan Kesehatan Dep.Kes. R.I. 1985.
Kasus-kasus Demam yang berobat ke R.S. Pertamina Plaju, 22 4. Hejfec LB, Salmin LV, Lejtman MZ, Kuzminova ML, Vasileva AV
September — 31 Desember 1986 Lev ina LA , B e ncianov a TG , Pav l o b a E A a n d A n t o n o v a A A .
A controlled field trial and laboratory study of live •typhoid
Jumlah Positif untuk vaccine in the USSR. Bull WHO 1966; 34: 321—9.
Bulan Dipe- Salmonella 5. Yugoslav Typhoid commission. A controlled field trial of the
riksa S. typhi (%) S. paratyphi A (%) Group C effectiveness of aceton-dried and inactivated and heat-phenol-
inactivated typhoid vaccines in Jugoslavia. Bull WHO 1964; 30:
623—30.
22-31 Sept. 1986 71 9 (12,6) 13 (18,3) 0 6. Tapa S and Cvjetanovic B. Controlled field trial on the effective-
Oct. 1986 203 23 (11,3) 6 (2,9) 1 ness of one and two doses of acetone-inactivated and dried ty-
Nov. 1986 227 17 ( 7,5) 4 ( 1,7) 0 phoid vaccine. Bull WHO 1972; 52: 75—80.
Des. 1986 272 18 ( 6,6) 4 ( 1,5) 0 7. Germanier R and Furer E. Isolation and Characterization of
Gal E mutant Ty 21 a of Salmonella typhi: A candidate strain
Total 773 67 ( 8,6) 27 ( 3,5) 1 fo r a live, o ral typho id v accine. J Inf Dis 1975 ; 131 : 553 —8 .
8. Gilman RH, Hornick RB, Woodward WE, Du Pont HL, Snyder
MJ, Levine MM and Libonati JP. Immunity in typhoid fever
cukup untuk memberi perlindungan untuk paling sedikit evaluation of Ty 21 a, an epimeraseless mutant of S. typhi as a
selama 33 bulan. Selain itu, jarak 2 hari antara pemberian dosis live oral vaccine. J Inf Dis 1977; 136: 717—23.
9. W a n d a n M H , S e r i e C , C e ris ie r Y , Sai la m S a nd Ge r man ie r R
memberi perlindungan yang sama dengan jarak 21 hari antara A controlled field trial of live Salmonella typhi strain Ty 21 a
dosis. Selain itu ditemukan pula adanya kros-proteksi sebesar oral vaccine against Typhoid; Three year results. J Inf Dis 1982;
39% dari 2 dosis Ty 21 a terhadap S. parathypi B. Sedang- 145: 292—5.
10. Levine MM, Black RE, Ferrecio C, Clements ML, Lanata C,
kan dalam uji coba di Plaju terlihat adanya tanda-tanda adanya Rooney J and Germanier R. The effecacy of attenuated Salmo-
kros-proteksi terhadap S. paratyphi A. nella typhi oral vaccine strain Ty 21 a evaluated in controlled
field trials Development of Vaccines and Drugs against Diarrhea
11th Nobel conference, Stockholm 1985 pages: 90—101. Eds Jan
KEPUSTAKAAN Holmgren Alf Lindberg Roland Millby.
11. Chuttani CS, Prakash K, Vergese A, Sharma U, Shingha P, Ghosh
1. Iskandar Z. Typhus abdominalis di R.S. Persahabatan, Jakarta. Ray B dan Agarwal A. Controlled field trial of oral killed typhoid-
Naskah lengkap KOPADMI III, Bandung, 1975. vaccine in India. Inf J Epidemiol 1972; 1: 39—43.

21
Reaksi Kekebalan Anak-anak Sekolah Dasar
terhadap Toksoid Difteri 2 LF
Dyah W Isbagio, Muljati Prijanto, Eko Suprijanto
Rini Pangastuti
Pu sat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK tertinggi terutaina didapatkan pada anak-anak berumur di


Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba vaksin bawah satu tahun' ,2 • Untuk mencegahnya, dalam PPI imu-
difteri yang lebih murni (vaksin Td 4 Lf/ml) untuk mengetahui nisasi terhadap penyakit difteri dilaksanakan dengan pem-
tanggap kebal dari vaksin tersebut bila dibandingkan dengan berian vaksinasi DPT kepada bayi berumur 3—14 bulan paling
vaksin lama (vaksin DT 40 Lf/ml). Sebagai kelompok kontrol sedikit dua kali, kecuali pada daerah wabah polio diberikan
dipergunakan vaksin tetanus (TT). 3 dosis2. WHO menyarankan pemberian booster pada anak
Penelitian dilakukan pada 545 siswa Sekolah Dasar di Ka- usia masuk sekolah, kurang lebih pada umur 5 tahun3 .
bupaten Bekasi, berusia antara 7—8 tahun. Vaksinasi sebanyak Menurut data yang didapat dari laporan rumah-sakit me-
2 dosis @ 0.5 cc diberikan secara intra-muskuler dengan selang ngenai jumlah penderita menurut golongan umur, menunjuk-
waktu 4—6 minggu. Pengambilan darah vena sebanyak 1 cc di- kan, kurang lebih 50% dari penderita-penderita difteri yang
lakukan sebelum dan 2—3 bulan sesudah vaksinasi, kemudian dirawat terdiri dari kelompok anak usia sekolah. Berdasarkan
diukur kadar antitoksin terhadap difteri dengan teknik PHA. hal tersebut, dalam Pelita IV ini, vaksinasi DT sebagai booster
Hasil penelitian menunjukkan, kadar antitoksin difteri juga diberikan kepada anak usia sekolah' .
pada 253 siswa yang menerima vaksin Td meningkat dari Toksoid difteri yang digunakan sekarang yaitu 40 Lf/ml
0.0159 HAU/ml menjadi 0.3827 HAU/ml, dengan sero-kon- (vaksin DT, dengan kemurnian 1000 Lf/mg N), bila diguna-
versi sebesar 96.3%. Sedangkan kadar antitoksin difteri pada kan untuk pencegahan pada anak-anak umur lebih dari tujuh
233 siswa yang menerima vaksin DT meningkat dari 0.0113 tahun ternyata banyak memberikan reaksi samping karena
HAU/ml menjadi 0.456 HAU/ml, dengan sero-konversi se- kurang murninya antigen3 -7. Sehingga pemberian imunisasi
besar 95%. tersebut akan dapat menimbulkan hambatan operasionil
Analisa statistik menunjukkan, reaksi kekebalan siswa dalaam PPI. Trinca JC, 19757 bahkan menganjurkan tak usah
terhadap toksoid difteri yang lebih murni (vaksin Td) tidak diberikan pada orang dewasa dan anak di atas tujuh tahun.
berbeda reaksinya dengan toksoid difteri yang lama (vaksin Walaupun demikian telah diadakan percobaan-percobaan
DT). Dengan didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam untuk mengurangi efek samping tersebut, tanpa mengganggu
kemampuan menimbulkan tanggap kebalnya antara vaksin potensinya, yaitu dengan cara pemurnian baik pada saat
DT dan Td, maka vaksin yang barn tadi dapat dipergunakan pembuatan toksinnya atau pada waktu pembuatan toksoid-
untuk menggantikan vaksin yang lama. nya3,5,6.
Pada proses pemurnian antigen tadi, kadang-kadang dapat
PENDAHULUAN mengurangi pula sifat antigenisitasnya, yang mungkin di-
Penyakit difteri adalah penyakit akut pada tonsil, faring sebabkan dnegan hilangnya sejumlah substansi yang mem-
dan hidung, kadang-kadang pada selaput lendir dan kulit, punyai efek ajuvan3. Kosdarminta A3 telah melakukan per-
dengan kuman penyebab penyakit adalah Corynebacterium cobaan yang berhubungan dengan pembuatan toksoid yang
diphtheriae. Penyakit ini masih inerupakan masalah pada dapat digunakan untuk orang dewasa dengan cara purifikasi
anak-anak sampai umur 14 tahun. Case fatality rate yang toksin difteri untuk mengurangi efek samping, tetapi dapat

22
meningkatkan atau tanpa merubah imunogenisitasnya. WHO lakukan berupa rekasi lokal pada tempat suntikan (eritema,
menunjukkan kebaikan dan kekurangan dari pemurnian toksin indurasi, sakit, nekrosis) dan reaksi umum (panas, pusing,
dan setelah toksin ditoksoiding. Tetapi Relyveld EH dkk kejang), dapat dilaporkan pada dokter puskesmas setempat,
(1979) menganjurkan bahwa detoksifikasi dari toksin murni untuk dapat dilakukan pengobatan seperlunya.
lebih baik dari pada toksin yang belum murni. Banyak cara Spesimen berupa sediaan darah vena sebanyak 1 cc yang
telah dilakukan, tetapi yang berhasil baik untuk persiapan diambil pada saat imunisasi pertama dan 2—3 bulan setelah
pembuatan vaksin untuk orang dewasa adalah metode dari imunisasi yang ke II. Sediaan darah ditaruh dalam rabung
Relyveld EH & Raynaud (1954) dan Relyveld (1977) 3 . steril, disimpan dalam cool-box, dibawa ke PusLit Penyakit
Kosdarminta A3 masih melakukan beberapa perubahan, Menular di Jakarta. Pemisahan serumnya dilakukan dengan
yaitu pada pembuatan toksoid tahap terakhir purifikasi secara pemutaran tabung 3000 rpm selama 5 menit. Serum disimpan
kristalissai diganti dengan proses presipitasi yang berulang- pada suhu -20°C sampai waktu pemeriksaan. Sera yang di-
ulang dan detoksifikasi. Ajuvan yang dipakai adalah formalin simpan pada suhu -20°C ini masih dapat diukur titer anti-
dan aluminium fosfat sebagai pengganti glutaraldehida dan toksinnya terhadap difteri sampai 4 tahun lamanya walau-
kalsium fosfat. kemudian diperoleh vaksin murni, vaksin Td pun telah mengalami proses cair-beku sebanyak 5—10x tanpa
4 Lf/ml, dengan kemurnian 3000 Lf/mg N, yang telah diuji penurunan titernya8.
pada hewan percobaan dan memberikan reaksi kekebalan Cara pemeriksaan sera terhadap difteri dilakukan dengan
yang baik. Tetapi dengan Lf yang rendah ini apakah sudah cara hemaglutinasi pasif menurut Kameyama9. Titer 0.01
cukup dapat memberikan perlindungan pada anak? Hal ini HAU/ml sera dianggap sebagai batas minimal kadar zat anti
belum cukup dapat dipergunakan dalam PPI. protektif. Penghitungan titer antitoksin dari masing-masing
Karena itu akan dilakukan suatu penelitian apakah dengan kelompok dilakukan secara geometric-mean.
Lf yang rendah dn kemurnian yang tinggi, dapatkah dihasil- Analisa data dilakukan dengan menghitung nilai sero-
kan reaksi kekebalan yang baik dengan efek samping yang konversi dari masing-masing kelompok sebelum dan sesudah
kurang, sehingga dapat menunjang PPl dalam hal penggunaan imunisasi.
vaksin yang poten dan aman.
HASIL
BAHAN DAN CARA KERJA
Potensi dan sterilitas dari vaksin yang digunakan dalam pe-
Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada 3 Pusat nelitian ini memenuhi persyaratan, dengan besar potensi
Kesehatan Masyarakat : Tambun, Perumnas II dan Karang- untuk masing-masing vaksin Td, DT dan TT adalah 101.92
kitri, Kabupaten Bekasi. Dipilihnya daerah tersebut dengan IU/ml, 112.28 IU/ml dan 125 IU/ml.
pertimbangan, daerah ini telah mengikuti PPI, infeksi difteri Sampai akhir penelitian dilakukan, jumlah siswa yang
nya rendah, anak-anak belum pernah mendapat booster dapat dievaluasi hasilnya sebanyak 545 dengan perincian
toksoid DT, kesediaan daerah setempat, tersedianya staf yang 233 siswa untuk kelompok 1, 253 siswa untuk kelompok II
memadai dan partisipasi masyarakat yang baik. dan 59 siswa untuk kelompok III.
Seribu seratus delapan puluh tujuh siswya kelas 1 Sekolah Status kekebalan terhadap difteri pada siswa SD umur 7-8
Dasar yang tersebar pada 22 Sekolah Dasar dilibatkan dalam tahun dapat dilihat pada tabel 1. Kira-kira 53.7% dari ke-
penelitian ini. Siswa tadi dibagi dalam 3 kelompok, masing- lompok kelola telah mempunyai titer yang. protektif yang
masing kelompok menerima : tidak berbeda nyata untuk tiap kelompok (p > 0.5). Kadar
antitoksin difteri pada 253 siswa yang menerima vaksin Td
Kelompok I II III
Jumlah anak 555 510 122 Tabel 1. Status kekebalan terhadap Difteri pads Siswa SD Umur 7-8
Tahun di Bekasi Sebelum Uji Coba Vaksin Difteri, 1985
Toksoid Td DT TT
Tiap ml toksoid isi: kadar antitoksin difteri
kelompok jumlah
— Toksoid tetanus 15 Lf 15 Lf 15 Lf
vaksinasi sampel 30,01 HAU/ml*) % rata-rata geometrik**
— Toksoid difteri 4 Lf 40 Lf —
DT 233 132 56,7 0.0113 (0,0089—
Aluminium fosfat mg
3 3 mg 3 mg 0,0145)
— Thiomersal 0.1 0.1 mg 0.1 mg dT 253 145 57,3 0,0159 (0,0092—
0,0276)
Vaksin sebelum dipergunakan diperiksa dulu potensi dan TT 59 29 49,2 0,0099 (0,0059—
0,0165)
sterilitasnya.
Vaksinasi diberikan 2x dengan selang waktu 4—6 minggu, total 545 306 56,1
0.5 cc setiap dosisnya, secara intra-muskuler. Penyimpanan p>0,5
vaksin pada suhu 4—8°C dan kurang dari 8°C pada waktu
transportasi dan selama vaksinasi dilakukan. Keluhan efek *) batas proteksi klinis.
samping yang terjadi pada hari ke I — 3 setelah vaksinasi di- **) batas konfidensi 0,95, HAU/mi.

23
meningkat dari 0.0159 HAU/ml menjadi 0.3827 HAU/ml, Efektivitas dari vaksinasi difteri dapat dievaluasi dengan
dengan sero-konversi sebesar 96.3%. Sedangkan kadar anti- mengukur tanggap kebal (titer antitoksin) dan proteksi klinis
toksin difteri pada 233 siswa yang menerima vaksin DT me- ferhadap penyakit yang bersangkutan. Titer antitoksin dari
ningkat dari 0.0113 HAU/ml menjadi 0.4561 HAU/ml, dengan difteri mempunyai korelasi yang baik dengan nilai proteksi
sero-konversi sebesar 95%. Analisa statistik menunjukkan klinisnya. Walaupun titer protektif minimal masih menjadi
reaksi kekebalan siswa terhadap toksoid difteri yang lebih perdebatan para ahli, tetapi kebanyakan penulis menyatakan
murni (vaksin Td) tidāk berbeda reaksinya dengan toksoid bahwa titernya bervariasi antara 0.01—0.1 HAU/ml sera11,
difteri yang lama (vaksin DT), lihat tabel 1, 2, 3. sedang Trinca JC7 menyatakan 0.01 HAU/ml, juga pada pe-
nelitian ini.
Tabel 2. Status Kekebalan terhadap Difteri pada Siswa SD Umur 7-8
Tabun di Bekasi Setelah Pemberian Dua Dosis Vaksin Difteri. Tabel 4. Pengaruh Infeksi Alami Terhadap Perubahan Status Kekebal-
an Difteri pada Siswa SD umur 7-8 Tabun di Bekasi, 1985.
Kadar antitoksin difteri
kelompok jumlah
vaksinasi unripe! >0,01 HAU/ml*) % rata-rata geometrik
DT 233 220 94,4 0,4561
(0,3535—0,5885)
dT 253 239 94,5 0,3827
(0,3080—0,4754)
TT 59 32 54,2 0,0362
(0,0195—0,0682)

total 545 491 90,1

p <0,001
*) bows proteksi klinis Banyak macam teknik laboratorium yang dapat diguna-
**) batas konfdensi 0,95, HA U/mL
kan untuk mengukur titer antitoksin di dalam sera, antara
lain dengan netralisasi toksin, PHA, RIA, ELISA dan Tissue
Tabel 3. Perbandingan 'Sero-Conversion Rate' akibat pemberian Vak- culture. Walaupun cara netralisasi toksin adalah yang terbaik,
sin DT dan dT sebanyak 2 Dosis pada Siswa SD. karena mahal dan memakan waktu, tes PHA banyak dipakai.
Tes PHA ini mempunyai korelasi yang baik dengan tes netra-
kelompok jumlah*) kadar antitoksin**) prosentase
lisasi toksin, kecuali bila titer antitoksinnya rendah1l
vaksinasi sampel > 0,01 HAU/ml
Dengan anggapan bahwa titer 0.01 HAU/ml atau lebih
DT 101 96 95,0 dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit difteri,
dT 108 104 96,3 basil pemeriksaan menunjukkan, pada semua kelompok
siswa telah memiliki titer antitoksin > 0.01 HAU/ml sebelum
p <0,001 imunisasi dilakukan (M=53.7%). Hal ini dapat disebabkan
*) anak memiliki kadar antitoksin < 0 , 0 1 HAU/ml karena anak pernah mendapat vaksinasi. lni merupakan
sebelum vaksinasi suatu indikasi yang baik dari dampak imunisasi yang memang
**) diukur setelah vaksinasi. sudah dilakukan sejak tahun 1976 atau karena adanya infeksi
Infeksi difteri secara alamiah tnemang terjadi selama pe- alam, hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan
nelitian ini dilakukan, tetapi tidak berperan nyata terhadap oleh Tjokrohusada H dkk, 1976, bahwa anak yang berumur
hasil penelitian. Hal ini terlihat dengan tidak adanya perbeda- 5—14 tahun, 65.1% di ant-aranya menunjukkan tes Schick
an bermakna antara jumlah siswa yang memiliki antitoksin yang negatif, yang berarti telah mendapatkan infeksi kuman
difteri pada 59 siswa dalam kelompok kontrol sebelum difteri. Dengan melihat titer rata-rata dari siswa sekitar M=
(49.2%) dan sesudah penelitian (54.2%), lihat tabel 1, 2. 0.0123 HAU/ml, maka siswa memang belum pernah men-
Efek sampingan yang berupa reaksi lokal (bengkak dan dapat booster dan adanya infeksi alam tidak berperan nyata
rasa sakit ditempat suntikan) dan reaksi umum (kenaikan selama penelitian dilakukan, jadi penelitian cukup bermakna
suhu badan) terjadi pada 38 siswa dari 1187 siswa yang me- dilakukan.
nerima vaksinasi vaksin Td, DT atau TT (3.2%). Status kekebalan setelah diimunisasi pada kelompok I
(yang divaksinasi vaksin Td) 94.5% dan kelompok II (yang
PEMBAHASAN divaksinasi vaksin DT) 94.4%. Sedang bila yang diikutsertakan
Keberhasilan PPI antara lain dipengaruhi oleh besarnya hanya siswa-siswa yang bertiter negatif, status kekebalan yang
cakupan, sero-konversi dan mutu vaksinnya. Program dikata- diperoleh karena pemberian 2x booster tidak jauh berbeda
kan berhasil bila cakupannya lebih dari 80% dengan nilai yaitu pada kelompok I (divaksinasi vaksin Td) 96.3% dan pada
konversi lebih dari 90%. Imunsasi dasar terhadap difteri kelompok II (divaksinasi vaksin DT) 95%. Jadi perlindungan
cakupannya baru sekitar 40%10 dengan nilai konversi sebesar yang diberikan cukup tinggi, karena pada setiap kelompok
62.4%9. siswa yang tidak menunjukkan kenaikan titer sangat rendah

24
yaitu 3.7% dan 5% (M=4.3%), yang ternyata memang mereka dan 869 pada sebelum dan 2 bulan setelah bolster kedua di-
non-responder, yaitu 9 siswa dari 209 siswa. Besarnya titer berikan, masing-masing 0.7 dan 0.92 HAU/ml menjadi 8.45
antitoksin rata-rata cukup tinggi, yaitu sebesar 0.3827-0.4561 dan 5.35 HAU/ml de' ngan RT 2.37 dan 2.23 HAU/ml.
HAU/ml. Melihat ketiga penelitian yang dilakukan pada bayi-bayi
Poterisi vaksin Td, DT dan TT yang dipakai dalam pene- dan anak-anak di Jepang oleh Someya dkk tadi, dapat di-
litian ini masing-masing sebesar 101.92, 112.28 dan 125 IU/ simpulkan bahwa potensi vaksin tidak mencerminkan besar-
ml, dengan kandungan toksoid difteri masing-masing sebesar nya titer antitoksin, aluminium fosfat berperan dalam pe-,
4,40 dan 0 Lf/ml. Kandungan toksoid tetanus, aluminium meliharaan kadarnya di dalam darah, besarnya kandungan
fosfat dan thiomersal masing-masing sebesar 15 Lf, 3 mg dan toksoid berperan dalam produksi antitoksin setelah booster
0.1 mg setiap ml vaksin. Tanggap kebal terhadap difteri dan booster dengan dosis satu kali 3 Lf (kode 869) cukup ber-
yang didapat pada penelitian ini tidak berbeda nyata, dan bila manfaat bila dilihat RT pada anak-anak yang pernah mendapat
Residual Titre (RT) dinyatakan dalam persamaan RT = / imunisasi dasar langkap.
titer pre-vaksinasi x titer post-vaksinasi, maka RT dari vaksi- Penelitian Goud BN dkk, 198012 pada 85 siswa Sekolah'
nasi Td, DT dan TT masing-masing sebesar 0.08, 0.07 dan Dasar di India berumur antara 5—15 tahun yang belum pernah
0.01 HAU/ml. Walaupun kenaikan titer sesudah vaksinasi mendapat imunisasi dasar dengan vaksin DPT/DT dengan me-
yang kedua diberikan pada vaksinasi dengan vaksin DT 40x lakukan penyaringannya dengan tes PHA. Vaksinasi diberikan
besarnya bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi diberi- dengan vaksin DT satu dosis 0.5 cc secara intra-muskuler
kan, dan pada vaksinasi dengan vaksin Td hanya 24x, kenaik- dengan komposisi toksoid tetanus 10 Lf/ml, toksoid difteri
an titer ini merupakan indikasi cukupna kekuatan antigenitas 30 Lf/ml, aluminium fosfat 3 mg/ml dan merthiolat 0.01%,
dari toksoid difteri yang terkandung pada kedua macam tanggap kebal yang diukur 4 minggu setelah vaksinasi diberikan
vaksin tadi. terjadi pada lebih dari 80% anak-anak tadi, tetapi 2 tahun ke-
Pada penelitian yang dilakukan oleh Someya dkk, 19816 mudian akan turun dengan cepatnya. Goud BN dkk menyata-
pada bayi-bayi di Jepang dengan pemberian imunisasi dasar kan, pemberian booster 2 dosis dengan interval yang layak
dengan vaksin DT 2 dosis @ 0.5 cc secara intra-muskuler, perlu diberikan pada anak-anak yang belum pernah mendapat
dengan selang waktu 4 minggu dan booster diberikan se- vaksinasi DPT/DT. Kurang dari 30% anak-anak yang belum
tahun kemudian dengan vaksin DT 0.5 cc satu dosis secara mendapat booster yang mempunyai titer protektif, karena
intra-muskuler. Kode vaksin yang digunakan dalam penelitian itu imunisasi dasar dengan DPT 3 dosis dirasakan perlu.
ini 171, 271, 371 dan 471 yang mempunyai komposisi potensi Trinca JC, 1975' yang melakukan penelitian pada 35 orang
masing-masing 65, 36, 70 dan 45 lU/ml. Kandungan toksiod berumur rata-rata 49 tahun di Australia, dengan pemberian
difteri 40. 20, 40 dan 20 Lf/ml, kandungan toksoid tetanus booster vaksin DT satu dosis 0.5 cc secara intra-muskuler,
masing-masing 5 Lf/ml dengan kadar aluminium fosfat 0.2, dengan komposisi toksoid difteri dan tetanus masing-masing
0.2, 0.5 dan 0.5 mg/ml. Tanggap kebal yang ditimbulkan 4 4 dan 10 Lf/ml, kandungan aluminium fosfat 3 mg/ml dan
minggu setelah imunisasi kedua diberikan masing-masing thiomersal 0.01%. Pengambilan darah yang dilakukan pada
0.18, 0.26, 0.24 dan 028 HAU/ml sera. Setahun setelah sebelum dan 3 minggu setelah booster diberikan, kenaikan
imunisasi kedua titer menjadi 0.04, 0.04, 0.07 dan 0.11 HAU/ titer terjadi pada 26 dari 35 orang (74.3%) dengan nilai geme-
ml. Pemeriksaan titer antitoksin yang dilakukan 4 minggu se- trik rata-rata dari 0.03 menjadi 0.8 HAU/ml (RT=5.16 HAU/
telah booster diberikan masing-rnasing 7.4, 4.36, 9.83 dan ml). Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian Trinca JC
8.77 HAU/ml dengan RT sebesar 0.55, 0.44, 0.85 dan 0.87 ini, bahwa satu dosis booster vaksin DT 2 Lf pada individu
HAU/ml. Walaupun tidak berbeda nyata, kemampuan dalam yang pernah mendapat imunisasi-difteri, sudah cukup tanggap
pembentukan antitoksin pada kode 371 dan 471 adalah yang kebalnya. Bahkan Edsall dkk, 1954 dan Levine dkk, 19617,
terbesar, karena kandungan aluminium fosfatnya besar. mengatakan bahwa dengan dosis 1 Lf pun sudah cukup sebagai
Someya dkk, 19816 mengamati pula pemberian booster imunisasi dasar maupun booster. Karena itu, imunisasi dasar
plain vaksin DT satu dosis, 0.5 cc secara sub-kutan pada se dengan vaksin DT 2 Lf setiap dosisnya sangat tepat diberikan
kelompok anak Jepang yang berumur antara 5—6 tahun sebagai imunisasi dasar, baik pada orang dewasa maupun pada
dengan riwayat telah mendapat imunisasi dasar dengan 3 anak-anak di atas 6 tahun7.
dosis DPT sewaktu bayi. Kode toksoid 669, 769 dan 869 Walaupun Doughty & Minty, 1975 dan Trinca JC, 1975
dengan komposisi kandungan toksoid difteri masing-masing mengatakan bahwa toksoid difteri 2 Lf sudah cukup dapat
60, 20 dan 6' Lf/ml, toksoid tetanus 30, 10 dan 3 Lf/ml. menimbulkan respons sekunder pada individu yang pernah
Potensi vaksin 19, 7 dan 2 IU/mI. Tanggap kebal sebelum mendapat imunisasi dasar sebelumnya4, tetapi Feery BJ dkk,
dan 2 bulan setelah imunisasi diberikan meningkat dari 0.6, 19814 meragukan reaksinya pada individu yang belum pernah,
0.19 dan 0.14 HAU/ml menjadi 12.5, 4.88 dan 3.27 HAU/ mendapat imunisasi, atau pernah diimunisasi tetapi tak leng-
ml dengan RT 2.75, 0.97 dan 0.69 HAU/ml. Sedang tanggap kap, atau pernah mendapat infeksi alam tetapi lemah.reaksi-
kebal yang ditimbulkan pada anak dengan riwayat telah men- nya. Penelitiannya dilakukan pada 554 siswa Sekolah Dasar
dapat imunisasi dasar DPT 3 dosis, dengan pemberian booster di Sydney, Australia, berusia sekitar 12 tahun. 59 dari 554
2 dosis @ 0.5 cc secara sub-kutan dengan vaksin DT kode 769 siswa (10.5%) memberikan hasil tes Schick +, kemudian di-

25
beri vaksinasi dengan 3 dosis vaksin DT/D dengan komposisi 1/121 (0.8%) menunjukkan reaksi lokal setelah pemberian
toksoid difteri dan tetanus masing-masing 4 Lf/ml dan 10 Lf/ vaksin DT. Pada pemeriksaan sera ternyata bahwa titer dari
ml, kandungan aluminium fosfat 3 mg/ml dan 0.01% thio- antitoksin tetanus 40 HAU/ml, sedang titer antitoksin difteri
mersal sebagai pengawet. Pengambilan darah dilakukan 5 kali, hanya 2.56 HAU/ml. Ini berarti, dia menderita Arthus type
yaitu sebelum tes Schick, 2 minggu setelah tes Schick dan antigen antibody reaction, yang mana banyak diakibatkan
pada 2—3 minggu setelah masing-masing suntikan. Vaksinasi karena adanya interaksi antara level antitoksin yang tinggi
kedua diberikan 4—6 minggu setelah vaksinasi pertama dan yang bersirkulasi di dalam darah yaitu komponen dari te-
vaksinasi ketiga diberikan setahun setelah vaksinasi kedua. tanus. White dkk, 1973, menyatakan bahwa reduksi dari
Sebelas siswa yang berhasil dievaluasi lengkap dari 59 siswa toksoid tetanus dapat menurunkan kasus efek samping tidak
dengan tes Schick +, menunjukkan pola titer sebagai berikut: saja pada waktu imunisasi dasar, tetapi juga pada pemberian
titer negatif pada 11 siswa tadi, 3 siswa titernya menjadi booster, sedang aluminium tidak menyebabkan terjadinya
positif setelah dilakukan tes Schick, akibat reaksi booster efek samping.
terhadap Schick (titer 0.01—0.04 HAU/ml), setelah imunisasi Efek samping yang berupa reaksi lokal (bengkak dan rasa
pertama menjadi 0.64 HAU/ml. Sedang seorang setelah imuni- sakit di tempat suntikan) dan reaksi umum (kenaikan suhu
sasi pertama menjadi 0.08 HAU/ml. Tujuh siswa lainnya titer- badan) terjadi pada 38 siswa dari 1187 siswa yang menerima
nya tetap negatif setelah imunisasi pertama diberikan, yang vaksinasi vaksin Td, DT dan TT (3.2%). Mengingat bahwa
berarti mereka belum pernah mendapat imunisasi/infeksi selama penelitian dilakukan cold-chain nya baik, vaksinator
alam. Pada suntikan yang kedua titernya menjadi 0.02—0.64 cukup terampil, vaksinasi dilakukan secara intra-muskuler
HAU/ml. Sedang pada suntikan ketiga pada siswa yang pernah (kasus efek samping biasanya banyak dijumpai pada penyun-
mendapat imunisasi atau belum pernah, titernya naik menjadi tikan secara sub-kutan) dan pengaruh efek samping ini dapat
0.32—2.56 HAU/ml. Dari penelitian Feery BJ dkk ini dapat terjadi pada siswa yang menerima vaksinasi dengan vaksin Td,
ditarik kesimpulan, satu dosis vaksin DT/D cukup mampu DT dan TT dan kadungan toksoid tetanus semua sama, yaitu
tanggap kebalnya pada individu yang pernah mendapat imu- 15 Lf/ml untuk setiap jenis vaksin yang dipakai dalam peneliti-
nisasi/infeksi alam, sedang 3 dosis DT/D 2 Lf diperlukan untuk an ini, maka mungkinkah toksoid tetanus sebagai penyebab-
individu yang belum pernah mendapat imunisasi difteri untuk nya? Karena itu perlukah dilakukan pemurnian toksoid
mencapai titer antitoksin yang cukup memuaskan dan dapat tetanus dan pengurangan jumlahnya di dalam vaksin ter-
bertahan lama. sebut, perlu penelitian yang lebih spesifik lagi.
Walaupun penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi,
tetapi dapat menimbulkan efek samping4-7. Efek samping ini KESIMPULAN DAN SARAN
dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab atau oleh agen Walaupun menurut Someya dkk bahwa pemberian booster
nya sendiri5'6. Efek samping dapat terjadi pada vaksinasi satu dosis 3 Lf cukup dapat memberikan perlindungan pada
dengan vaksin hidup atau mati. Pada vaksin mati reaksinya individu yang pernah mendapat imunisasi dasar lengkap,
dapat disebabkan karena bahan toksik dari organisme itu bahkan Doughty & Minty, Trinca JC dan Feery BJ dkk me-
sendiri yang berupa kenaikan suhu badan, badan meriang dan nyatakan cukup satu dosis 2 Lf, tetapi Feery BJ dkk me-
rasa sakit pada daerah suntikan. Sedang reaksi alergi yang ter- ngatakan, pada individu yang belum pernah mendapat imu-
jadi dapat karena pemberian imunisasi yang berulang, terutama nisasi dasar, sebaiknya diberikan 3 dosis, karena pada pene-
pada pemberian toksoid difteri dan tetanus, dapat meningkat- litian yang dilakukan oelh Goud BN dkk dengan pemberian
kan beratnya reaksi lokal yang mungkin disebabkan oleh booster satu kali 15 Lf, 2 tahun kemudian titer akan turun
karena susunan dari medium misalnya telor atau antibiotik, dengan cepatnya. Menurut Henderson13 , pemberian 2 dosis
dan antigen bakteri sendiri yang tak mempunyai sifat protek- vaksinasi dengan toksoid difteri akan memberikan kekebalan
tif atau pada toksoid tetanus, molekul toksoidnya sendiri pada 80% penerima vaksin dan suntikan yang ketiga akan
adalah alergen yang poten yang dapat menyebabkan neuro- menaikkan level protection mungkin 90% atau lebih.
paralisis, bahkan kematian karenanya pernah dilaporkan 5 . Berdasarkan bahwa PPI di Indonesia sudah dilaksanakan
Walaupun toksoid di duga tidak toksik, tetapi dapat ber- sejak tahun 1976 dengan cakupan vaksinasi difteri hanya
ubah menjadi toksik. Efek toksik yang merugikan dapat 40%10, dan menurut Prijanto M dkk9 bahwa sero-konversinya
terjadi terutama bila toksoid tersebut disimpan pada suhu kurang dari 80% (hanya 62.4%), maka pemberian imunisasi
lebih dari 20°C. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk booster satu kali kurang memadai. Mengingat bahwa infeksi
daerah yang beriklim tropis.Walaupun reversi ini dapat dicegah alamnya cukup tinggi yaitu sekitar 65.1%14 sedāng dalam pe-
dengan pemberian asam amino seperti lysine selama proses nelitian ini didapat 53.7% terutama disebabkan karena infeksi
detoksifikasi dilakukan, tetapi asam amino ini dapat meng- difteri kulit pada daerah tropis dan pada negara yang sedang
ganggu imunogenisitasnya5. berkembangrl dan pemberian booster 3 dosis cukup merepot-
Reaksi samping/alergi tetap saja masih dapat terjadi pada kan dalam segi operasionilnya. Dengan melihat basil dari
toksoid yang telah diniurnikan3'5. Reaksi ini mungkin dapat penelitian ini, untuk mencapai basil yang maksimal dalam PPI
dikurangi dengan mengurangi jumlah dan dosis booster5,6. di Indonesia, imunisasi booster 2 dosis @ 0.5 cc dengan kan-
Pada penelitian yang dilakukan oleh Feery BJ dkk, 1981 4 dungan toksoid 2 Lf sudah cukup memadai. Sedang untuk

26
mendapat gambaran yang lengkap mengenai perlindungannya Imunisasi dan Pengembangannya dalam Repelita IV (sebagai lapor-
an kepada Bapak Presiden RI, tanggal 3 Nopember 1984), Umpan
terhadap penyakit difteri, penelitian ini masih perlu dilanjut- balik EPI—D, Penyakit-penyakit Pengembangan Program Imu-
kan dengan melakukan pengamatan penyakit pada siswa-siswa nisasi, No. 47/Tahun ke 4, 1984; 1—8.
yang telah diimunisasi tadi. 11. Halsey NA, CA de Quadros. A bibliographic review, Recent
Advances in Immunization, Scientific Publication, No. 451, Pan
Perlu juga diadakan pengamatan lebih lanjut mengenai Am Hlth Org, Wid Hlth Org Washington DC, 1983; 30—51.
efek samping yang dapat ditimbulkan oleh vaksin baru tadi, 12. Goud BN et at Immunization status of school children, Indian
atau sudah pantaskah disediakan fragmen toksin bakteri Pedeiatrics, Vol XVII—August, 1980; 667—673.
untuk mendapatkan hasil imunisasi yang poten dan aman. 13. Henderson DA. Special article, Design of immunization program-
mes in developing countries, Paed Indon. 1972; 12 : 409—426.
14. Tjokrohusada H, M Sidik and Sugiri. The result of Schick test
KEPUSTAKAAN among children in Bandung, Paed Indon, 1976; 16 : 509—516.
15. Dep Kes RI. Vaksin, Symposium on Immunization Ministry of
1. Dep Kes RI, Dir Jen P2M. Epidemiological surveillance, Penyakit- Health & WHO —UNICEF—ICC—USAID, 1979;11—13.
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, hasil pengamatan
1971—1983, dipersiapkan untuk perencanaan Pelita IV, 1982,
15—17. Ucapan terima kasih
2. Dep Kes RI, Dir Ep dan Im, Dir Jen P2M & PLP. Kumpulan ma- Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Iskak Koiman,
kalah survelans epidemiologi dan pedoman pelaksanaan surveilans
Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular atas terlaksananya penelitian
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, SE 6,
1984; 89—117. ini.
3. Koesdarminta A. Purification of Diphtheria toxoid for adult use, Ucapan terima kasih, kami tujukan pula kepada Dr. Rustandi MPH,
Perum Bio Farma, Bandung, 19 ; 1—8. Kepala Dinas Kanwil Dep Kes Prop. Jawa Barat, Dr. Dadi Argadiredja
4. Feery BJ et al. Diphtheria immunization in adolescents and MPH dari Dinas Kesehatan DT I, Bandung, Dr. H. AS Ahmad, Kepala
adults with reduced doses of adsorbed diphtheria toxoid, The Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Imam Basuki SH Kepala Seksi
Med Jour of Australia, February 7, 1981; 128—130. Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, beserta seluruh staf.
5. Murata R. Lecture. Some consideration on the production and Dt. Emma Kepala Puskesmas Perumnas II Bekasi beserta staf, Kepala
control of bacterial vaccine with reference to benefit and risk, Puskesmas Karangkitri beserta staf Dr. Sri S Lukman Kepala Puskesmas
1977;1—10. Tambun beserta staf, atas bantuannya selama penelitian berlangsung.
6 . Someya S et al. Studies on the adequate composition of diphtheria Ucapan terima kasih, kami ucapkan pula kepada Pem Prop DT I
and tetanus toxoids with reference to the amounts of toxoid and Jawa Barat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Cabang Dinas
a lu mi n iu m a d j uv an t, Jap an J Med S c i Biol, 198 1; 34 : 21 —35 . Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bekasi, Kepala Sekolah Dasar
7. Trinca JC. Combined diphtheria — tetanus immunization of adults beserta guru UKS SD di Kecamatan Perumnas II, Karangkitri dan
The Med Jour of Australia October 4, 1975; 543 - 5 4 6 . Tambun atas bantuannya selama penelitian ini berlangsung.
8. Kriz B, B Burianova Vysoka and Z Roth. The influence of re- Terima kasih pula kami ucapkan kepada DR. A. Koesdarminta dari
peated freezing and thawing on the titre of diphtheria antitoxin in
Perurrt Bio Farma, Bandung atas pen yediaan vaksin untuk penelitian
human sera, Jour of Biol Stand, 1976; 4 : 25—28.
9. Prijanto M dkk. Antitoksin dipteri pada bayi setelah diimunisasi ini.
dengan vaksin DPT dan DT, Kumpulan makalah Kongres Nasional Akhirnya ucapan terima kasih, disampaikan pula kepada Dr. Guno
Mikrobiologi ke III, Jakarta 26—28 Nopember, Perhimpunan Wiseso MPH, Kepala Sub Dit Imunisasi, Dir Jen P2M & PLP, Jakarta,
Mikrobiologi Indonesia, 1981; 212—215. dan kepada seluruh tehnisi dari Pusat Penelitian Penyakit Menular,
10. Dep Kes RI, Dir Ep dan Kar, Di Jen P3M. Edisi Khusus, Program Jakarta atas kerja samanya selama ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 45, 1987 27 27


Mikobakteria Atipikal pada Penderita TBC
di Padang, Semarang dan Surabaya
Misnadiarly
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
1. Gambaran histopatologi mikobakteriasis sepintas lalu
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui spesies miko- hampir sama dengan gambaran tuberkulosis.
bakteria atipik yang ditemukan pada penderita tbc atau ter- 2. Pada mulanya gejala klinis mikobakteriasis paru timbul
sangka tbc di Padang, Semarang dan Surabaya. Penting di- perlahan-lahan dan samar-samar, tidak memberikan
ketahui, karena golongan (group) atipikal tertentu diduga gambaran klinik yang nyata.
berpengaruh pada - beberapa penyakit di masyarakat seperti 3. Pemeriksaan radiologik pada umumnya tidak memberikan
tbc, diabetes, asma dan lain-lain. gambaran yang khas untuk mikobakteriasis paru.
Penelitian dilakukan pada penderita tbc atau tersangka Dilaporkan bahwa pemeriksaan klinik, radiologik, histopato-
dengan BTA (+) dari ke 3 daerah tersebut di atas dengan logik, belum cukup untuk mendiagnosis dan membedakan
pembiakan sputum, lalu mengidentifikasi kuman yang tumbuh penyebab dari mikobakteriasis paru dan Mycobacterium
secara biokimia untuk menentukan spesies mikobakteria tuberculosis; untuk keperluan ini diperlukan pemeriksaan
yang ditemukan. bakteriologi dengan identifikasi yang lengkap.
Hasil penelitian adalah, dari 162 spesimen yang dikumpul- Runyon 1959(2) membagi mikobakteria atipik ke dalam
kan dari Padang ditemukan 13 atipik (dari group I dan IV), 4 golongan (group) yaitu group I — photochromogen, group
dan dari 125 spesimen dari Semarang diketemukan 30 atipik II — scotochromogen, group III — non photochromogen dan
(group I, II, III dan IV), serta 36 atipik dari ke 4 grup di- group IV — rapid growers.
ketemukan pula dari 303 spesimen yang berasal dari Surabaya. Pembagian pendahuluan ini sangat menolong untuk me-
Atipikal yang ditemukan itu ialahterdiri dari spesies nuntun kita pada pembagian spesiesnya, dan pembagian atipik-
M simiae 34,17%, M. fortuitum 17,72%, M. kansasii 11,39%, M.
al ke dalam spesies menjadi lebih mudah dengan ditemukan-
phlei 10,12%, M. gastri 8,86%, M. chelonei 6,33%, M.
nya reaksi biokimia dari berbagai spesies genus mikobakteria(3).
scrofulaceum 5,06%, M avium 2,54%, M smegmatis 2,54%,
Mikobakteria tahan asam (BTA) yang disebut atipikal, se-
m. flavescens 1,26%.
karang terdiri dari beberapa spesies yang dapat diterima
PENDAHULUAN berbagai pihak.
Sejak tahun 1953 banyak laporan yang menyatakan Perbedaan geografik dapat menyebabkan perbedaan dalam
bahwa Mikobakteria atipik dapat menyebabkan penyakit distribusi dari golongan atipikal mikobakteria(3'4) . Di samping
menahun pada manusia menyerupai Mikobakterium tuberkulo- itu atipik golongan non chromogen dan scotochromogen
sis, dan hal ini dapat diyakini oleh para ahli setelah mereka seringkali didapatkan sebagai penyerta pada penyakit tuber-
dapat memisahkan mikobakteria atipik dari dahak (sputum), kulosis, bronkhitis, asma, diabetes dan lain-lain yang merupa-
bilgsan bronkhus, cairan pleura dan lain-lain(1 ). Penulis kan penyakit masyarakat.
juga menyebut, mikobakteriasis paru ialah penyakit paru Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui atipikal pada
yang disebabkan oleh mikobakterium selain Mikobakterium penderita TBC atau tersangka TB —paru di Padang, Semarang
tuberkulosis, yang disebut "mikobakterium atipik". Penyakit dan Surabaya, karena mengenal atipik berikut distribusinya
ini mempunyai gambaran sebagai berikut : diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan pe-

28
nyakit-penyakit tersebut di atas, dengan harapan dapat pula Tabel 2. Kuman TBC dan Atipikal yang ditemukan pada Spesimen dari
Penderita BTA (+)
diketahui faktor penyebabnya (etiologi). Untuk dapat, me
nunjang tujuan di atas, pemeriksaan bakteriologi dengan iden- Janis kuman jumlah kasus positip
tifikasi yang lengkap diperlukan, yang pada penelitian ini
dapat ditampilkan cara pemeriksaan yang dimaksud, dengan TBC raja 47
penderita TBC —paru atau tersangka di 3 daerah geografik
TBC + Atipikal 35
yang berbeda sebagai sasaran obyek penelitian.
BAHAN DAN CARA KERJA Atipikal raja 44
Spesimen yang berupa dahak penderita tbc ataupun ter-
sangka dengan bta (+) dikumpulkan oleh petugas Puskesmas Tabel 3. Contoh Kasus TBC dan M. Atipikal yang ditemukan Berasosiasi
daerah Padang, Semarang dan Surabaya untuk dikirim ke Ja- ada 1 Orang Penderia
karta dengan jalur titipan kilat.
Sesampainya spesimen di tempat, dilakukan registrasi,
lalu dilakukan pembuatan smer bta dan dilanjutkan dengan
pemrosesan dahak (sputum) untuk dibiakkan. Sputum diolah
dengan menggunakan NaOH 4% dan Trisodium phosphate
(TSP) 10%, dan untuk pembiakan digunakan medium Kudoh
serta Lowenstein—Jensen (L — J), dan diinkubasikan pada
300 c, 37c, sehingga didapatkan 6 macam perlakuan untuk
masing-masing sputum, yaitu sebagai berikut : (NAOH, Ku-
doh, 30° c), (NAOH, L — J 301 c), (NAOH, L — J, 37° c),
(TSP, Kudoh, 370 c), (TSP, L — J, 300 c), (TSP, L — J, 37° c).
Setiap biakan yang tumbuh, dicatat, warna, struktur dan
waktu mulai tumbuh, kemudian dilakukan pewarnaan BTA
terhadap koloni yang dari masing-masing pembenihan. Untuk
setiap yang positip, dilanjutkan dengan tes biokimia dan
pertumbuhan pada media tertentu untuk menentukan spesies
mikobaktaria yang tumbuh tersebut. Tabel 4. Spesimen Kuman Atipikal yang diketemukan dari Spesimen BTA
(+), dikelompokkan Sesuai dengan Runyon's Classificati
HASIL DAN DISKUSI
Dari 590 spesimen yang dikumpulkan dad 3 daerah pe- Group
Runyon Spesies Padang Semarang Surabaya Jumlah
nelitian, 126 spesimen (22,3%) berhasil tumbuh, dari Padang
tumbuh 21 spesimen dengan 13 (+) atipik, dari Semarang dan
I 1. M. simiae 3 10 14 27
Surabaya masing-masing tumbuh 49 dan 56 spesimen dengan
Photo– 2. M. ulcerans – – – –
(+) atipik 30 dan 36. Dari hasil biakan diketemukan, 47 chromogen 3. M. kansasii 2 3 4 9
spesimen di antaranya mengandung kuman tbc saja, sedangkan
kuman atipikal diketemukan pada 79 spesimen. Di antara –
II 1. M. scrofulaceum 2 2 4
yang 79 spesimen ini yang mengandung atipikal saja 44 spesi- Scoto- 2. M. szulgai – – – –
men, dan yang merupakan campuran/asosiasi atipikal — tbc chromogen 3. M. gordonae – – – –
4. M. aquae – – – –
35 spesimen.
5. M. flavescens – – 1 1
Group I dan III diketemukan berturut-turut sebesar
43,33% dan 6,67% dari Semarang, dan 50,00% dan 19,45% III 1. M. avium – – 2 2
Tabel 1. Spesimen dari Penderita dengan BTA (+) Yang dikumpulkan dari Non, Photo- 2. M. gastri – 2 5 7
3 Daerah Penelitian chromogen 3. M. intracellulare – – – –
4. M. xenopi – – – –
jumlah jumlah jumlah jumlah 5. M. terse – – – –
Lokasi spesimen spesimen atipikal tbc
diterima yang tumbuh (+) (+) 1. M. chelonei – 3 2 5
IV 2. M. phlei 2 2 4 8
Padang (Sum bar) 162 21 13 8 Rapid 3. M. fortuitum 4 8 2 14
growers 4. M. smegmatis 2 – – 2
Semarang 125 49 30 19 5. M. vaccae – – – –
6. M. rhodochrous – – – –
Surabaya 303 56 36 20 7. M. marinum – – – –

590 126 79 47 jumlah 13 30 36 79

29
dari Surabaya; sedangkan di Padang ditemukan group I sebesar Tabel 6. Persentase Atipikal Mikobakteria yang ditemukan dari Seluruh
Pemeriksaan
38,47%. Group IV ditemukan di Padang, Semarang, Surabaya
masing-masing sebesar 61,53%, 43,33% dan 19,45%. Group II Jenis/spesies %
dan III, tidak ditemukan di Padang. Di Semarang dan Surabaya Atipik
ditemukan group II sebesar 6,67% dan 19,45%. Menurut
Joost, dan kawan-kawan(5) group I dan III dapat menyebab- 1. M. simiae 34,17
2. M. fortuitum 17,72
kan radang paru-paru yang tak dapat dibedakan dengan
3. M. kansasii 11,39
tuberkulosis. Yang paling sering menimbulkan penyakit pada 4. M. phlei 10,12
paru manusia juga, group I dan IIII1I. Sedangkan group IV 5. M. gastri 8,86
sering ditemukan pada sputum penderita radang paru-paru(5). 6. M. chelonei 6,33
Dengan demikian, identifikasi atipik penting untuk dapat 7. M. scrofula ceum 5,06
mengetahui penyakit paru kronis (menahun) yang mirip 8, M. avium 2,54
9. M. smegmatis 2,54
tuberkulosis itu sebetulnya disebabkan oleh mikobakteria
10. M. flavescens 1,26
spesies manakah, guna pemberian pengobatan yang sesuai
penyakit yang sesungguhnya. Tabel 7. Penyakit-penyakit yang Sering disertai Atipikal
Di lain pihak yang juga penting adalah group II dan III.
Menurut Albert, dan kawan-kawan 1958, seringkali berasosiasi Janis / nama Photo Non Scoto
sebagai penyerta pada penyakit tbc, diabetes, asma, hingga chromogen chromogen chromogen
timbul dugaan ke 2 group ini dapat berpengaruh pada penya-
Pulmonary emphysema 1 42 3
kit-penyakit tersebut di atas. Sejauh mana pengaruhnya, di-
perlukan penelitian lebih lanjut. Tuberculosis 0 14 4
Atipikal yang ditemukan pada penelitian ini ialah : Asthma 0 7 1
M. simiae 34,17%, M. fortuitum 17,72%, M. kansasii 11,39%, Bronchitis 0 6 0
M phlei 10,2%, M. gastri 8,86%, M chelonei 6,33%, M. scro- Bronchiectasis 0 3 0
fulaceum 5,06%, M. avium 2,54%, M smegmatis 2,54% dan
Subtotal gastric 1 2 0
M. flavescens 1,26%. resection
Di antara ke 4 golongan, golongan I dan III yang paling
Bronchogenic 0 2
sering menimbulkan penyakit pada paru-paru manusia(1) ; ada carcinoma
0
persesuaian pula dengan yang disebut oleh Joost, dkk(5).
Pada penelitian ini hal yang hampir sama, di mana M. simiae Silicosis 0 2 1
(golongan I) menempati urutan persentase terbanyak di- Rhematoid spondylitis 0 2 0
temukan, hanya golongan III ditemukan sedikit. Dari seluruh Diabetes 0 2 1
hasil pemeriksaan ini dari yang terbanyak, banyak, sedang, Duodenal ulcer 0 2 1
kurang, berturut-turut adalah 36, 29, 9 dan 5 atipik dari group
Sarcoidosis 0 1 0
I, IV, III, dan II. Group IV yang menempati posisi kedua
(banyak), punya pendekatan dengan pernyataanl5l; di mana
group ini sering ditemukan pada penderita radang paru-paru. yang mempunyai kedudukan geografik yang berbeda untuk
Di Indonesia, penelitian atipikal bukanlah yang pertama- melihat distribusi golongan untuk daerah geografik yang juga
kalinya dilakukan. Beberapa peneliti tgrdahulu yang telah me- berbeda.
neliti atipik adalah Tan Thian Hok, dkk, Hendarwan, dkk Atipik dapat ditemukan pada air, tanah, hewan, dan
(1968), Sujudi, dkk (1961), Adhi Djuanda (1969), Cyrus, pada manusia (pada tbc paru; tbc di luar paru-paru, seperti
dkk (1983). Mereka meneliti dalam aspek yang berbeda dan tbc kulit, tbc tulang, tbe kelenjar getah bening / limfadenitis
dilakukan di Jakarta. Pada penelitian ini penyelidikan telah tuberkulosa). M. atipik ini ditemukan pula berasosiasi dengan
ditingkatkan dalam berbagai segi, seperti teknik laboratorium, asma, bronkhitis, diabetes, dan lain-lain penyakit seperti telah
juga telah diperluas ke daerah Padang, Semarang, dan Surabaya disebut pada tabel tercantum.
Hasil penelitian ini tidak dapat dibandingkan secara mu-
Tabel 5. Persentase Group Kuman Atipikal dari 3 Daerah Penelitian. tlak dengan hasil penelitian lain di Indonesia; karena sasaran
Golongan/ Padang Semarang Surabay
penelitian maupun metodologinya tidak persis sama, di mana
Group Runyon (Sumbar (Sumber) a telah ada pengembangan di berbagai segi, hingga atipikal
) yang ditemukan lebih banyak. Ini sesuai menurut (1), hasil
1 38,47 43,33 50,00 pencatatan kekerapan Mikobakteriasis paru pada tiap Rumah
II 0 6,67 8,33 Sakit tidak sama, tergantung cara identifikasi. Di lain pihak
III 0 6,67 19,45 juga pernah disebut bahwa spesies mikobakteria yang di-
IV 61,53 43,33 22,22
temukan tumbuh, dipengaruhi oleh cara pembiakan kuman
Jumlah 100 % 100 % 100 %
dan peralatan yang digunakan, di mana kuman tersebut dibiak.
Diharapkan pengembangan teknologi baru studi takso-

30
nomi yang lebih definitif (khusus, khas) untuk mikobakteria dalam upaya pengembangan penelitian untuk upaya peningkat-
atau bioteknologi, akan sangat membantu identifikasi spesies an pelayanan kesehatan, menunjang program tbc, dan lain-lain
dan pemecahan permasalahan penyakit-penyakit yang cukup penyakit yang berhubungan dengan M. atipik, lingkungan, se-
banyak, yang ada kaitannya dengan atipik seperti tersebut cara bertahap dan menyeluruh (dalam cakupan yang lebih
di atas. Di samping itu, penemuan peralatan diagnostik - elek- luas) di sektor kesehatan.
troteknik canggih akan sangat menunjang tujuan di atas.
KEPUSTAKAAN
KESIMPULAN
• Dengan pengembangan teknik pembiakan dan identifikasi 1. Amirullah, R. Mikobakteriasis paru. Cermin dunia kedokteran
1981, 34 : 26—29.
ditemukan spesies maupun jumlah atipik yang lebih banyak di-
2. Runyon, Anonymous Mycobacterium in pulmonary disease. Ann
bandingkan dengan penelitian terdahulu. Intern Med 1960; 53 : 273 — 285.
• Ditemukan asosiasi M. atipik dan M. tuberkulosis pada satu 3. Cyrus HS dkk. Mycobacterium tuberculosis dan frekwensi myco-
penderita dengan jumlah kasus sebanyak 35 penderita. bacterium atipikal di Jakarta dan hubungannya dengan vaksinasi
• Ditemukan adanya perbedaan distribusi gol atipikal miko- BCG. Kumpulan naskah ilmiah, pertemuan mikrobiologi dan para-.
sitologi kedokteran Indonesia ke dua Surabaya 1983; 18 — 20
bakteria, sesuai penelitian di luar negeri. Sept, 141 — 152.
• Perlu peningkatan teknologi untuk studi taksonomi yang 4. Tuberculosis prevention trial, Trial of BCG vaccines in south India
lebih definitif, yang memakai pendekatan anatomi, kemotak- for tuberculosis prevention; first report. Bull WHO, 1979; 50 :
sonomi daripada sel-sel kuman mikobakteria (struktur dalam/ 819 — 827.
luar sel, secara kimia), modern dan canggih. 5. Van Joost dkk. The occurence in Netherlands of infections caused
by atypical mycobacteria (personal communication).
6. Rosihan Anwar. MKI, 1986; 36 : 356 — 363.
SARAN-SARAN 7. Albert G dkk. Chronic pulmonary disease due to atypical myco-
Kerjasama dengan berbagai ahli perlu lebih ditingkatkan bacterial infection. Amer Resp Dis 1958; 8 c : 88 — 99.

31
Pengukuran Kadar Sekret IgA dengan Cara
ELISA untuk Membantu Menegakkan
Diagnosis Penyakit Pertusis
Muljati Prijanto, Eko Suprijanto, Dyah W. Isbagio
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan R I , Jakarta

ABSTRAK an dan angka kesakitan yang berat, tetapi infeksi masih akan
Kadar IgA terhadap pertusis dapat digunakan sebagai indi- sering ditemūi.
kator adanya infeksi, sehingga pengukuran kadar IgA dilaku- Pada penyakit pertusis, masa inkubasi adalah 1—2 minggu
kan untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit pertusis, dan tidak lebih dari 3 minggu. Gejala penyakit dapat dibagi
guna mendapatkan cara pemeriksaan yang lebih cepat, mudah dalam 3 fase, yaitu : 1) Fase kataral, terjadi pada minggu
dan sensitif dari cara yang sekarang digunakan. pertama yang berupa gejala ringan seperti panas, batuk dan
Kelompok studi sebanyak 211 orang anak-anak yang terdiri pilek. Pengambilan spesimen untuk isolasi kuman yang terbaik
dari 135 orang tersangka penderita pertusis dari 2 Rumah adalah pada fase ini. 2)"Fase paroksismal, yaitu pada minggu
Sakit di Jakarta, 3 Puskesmas di Kodya Bandung, 46 orang ke 4—6. Pada fase ini timbul gejala khas yaitu batuk beruntun
dari daerah tersangka ada kejadian luar biasa (KLB) Pertusis sehingga bisa terjadi sianosis dan biasanya diakhiri dengan
dan 30 orang adalah kelompok kelola. Pemeriksaan IgA di- muntah dan adanya suara "whoop". Gejala "whoop" ini
lakukan dengan cara ELISA. jarang diketemukan pada bayi yang berumur di bawah 3 bulan.
Hasil positif pengukuran sekret IgA pada tersangka pen- 3) Fase konvalesensi pada minggu ke 9—10 (selama 2—3 ming-
derita pertusis bila dibandingkan dengan basil isolasi kuman gu). Pada fase ini gejala mulai menurun. Pembentukan zat
berbeda nyata, yaitu 62,1% berbanding 3,5% pada penderita anti sejalan dengan perjalanan penyakit, digambarkan oleh
Finger2 (Lihat Gambar 1).
yang berobat ke Rumah Sakit, dan 29,3% berbanding 3,8%
Isolasi kuman pertusis memerlukan waktu 4—5 hari untuk
pada penderita yang datang ke Puskesmas. Pemeriksaan mem-
pertumbuhan kumannya, maka untuk membantu menegakkan
berikan basil baik bila dilakukan mulai hari ke 7—14 setelah
diagnosis penyakit ini ingin dicari suatu cara pemeriksaan yang
gejala penyakit timbul. Hasil positif kadar IgA dalam darah
lebih cepat, mudah dan sensitif dari cara yang digunakan
pada tersangka penderita pertusis di daerah KLB berbeda
sekarang. Selama zat anti IgM dan IgA terutama terbentuk
nyata bila dibandingkan dengan basil pemeriksaan mikro-
pada fase akut dan konvalesensi dari penyakit menular, peng-
aglutinasi dan isolasi kuman, yaitu 54,35% berbanding 36,96%
ukurannya dapat digunakan untuk diagnosis cepat secara
dan 0%.
serologis, tanpa memerlukan pengambilan sera secara ber-
Cara pengukuran kadar IgA dalam sekret atau darah dapat
pasangan (dari 2 fase penyakit3).
digunakan untuk membantu diagnosis pertusis, baik di rumah-
Seperti diketahui, jaringan mukosa dari mamalia tersusun
sakit ataupun untuk konfirmasi adanya KLB pertusis.
dari sel-sel epitelial di permukaan dan berhubungan dengan
PENDAHULUAN keadaan luar, di antaranya di daerah saluran pernafasan,
Penyakit pertusis merupakan penyakit infeksi saluran per- kelenjar ludah dan lain-lain. Di sini mikro organisme patogen
nafasan atas yang dapat dicegah dengan imunisasi. Angka ke- dan agen toksik sering mengadakan kontak pertama dengan
matian bayi per seribu kelahiran hidup akibat penyakit yang hospes dan secara potensial menyebabkan penyakit sistemik
dapat dicegah dengan imunisasi pada tahun 1983 adalah atau lokal. Bermacam-macam mekanisme termasuk di dalam-
37,94%, di antaranya 5,1% akibat penyakit pertusis'. Diagnosis nya untuk mencegah invasi atau kerusakan yang disebabkan
penyakit pertusis didasarkan pada gejala klinis yang khas oleh bakteri patogen dan toksin. Mekanisme bisa imun dan
dan kadang-kadang disertai isolasi kuman. Digunakannya bukan imun.
vaksin secara luas akan diikuti oleh penurunan angka kemati- Suatu hal penting mengenai perlindungan imunologis pada

32
lama dalam serum.
Berdasarkan pemikiran di atas, timbul pertanyaan: apakah
kadar IgA dalam sekresi saluran pernafasan dan serum dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit
pertusis? mengingat bahwa sekret atau darah lebih mudah
dikelola dari pada kuman.
ELISA (Enzym linked-immunosorbent assay) merupakan
suatu cara yang cepat, mudah dan mempunyai sensitivitas
10—100 kali lebih tinggi dari cara klasiks. Cara ini untuk
mendeterminasi isotvpe dan kadar zat antis. Dengan demikian
ELISA dapat pula untuk membedakan antara imun respon
akibat infeksi alam dan akibat pemberian imunisasi. Salah satu
kelebihan teknik ini adalah kemampuannya untuk mengukur
kuantitas zat anti secara terpisah dari klas imunoglobulin yang
berbeda. Dasar dari teknik ini ialah penggunaan antigen atau
Fig. 1. Schematic course of the antibody production to B. pertussis zat anti yang menempel pada permukaan karier yang tidak
during whooping cough. larut, yang kemudian digunakan untuk menangkap antigen
Gambar diambil dari : atau zat anti yang relevan di dalam larutan yang diPeriksa6.
Finger H. Serological diagnosis of whooping cough. Development in Komplek ini dideteksi dengan memakai enzym yang dilabel
Biological Standardization 1984. Halaman : 334. dengan antigen atau zat anti. Penguraian dari substrat enzym
permukaan mukosa adalah predominasi IgA dalam cairan diukur secara fotometrik yang setara dengan konsentrasi
sekresi yang menutupi seluruh permukaan mukosa, seperti antigen atau zat anti di dalam larutan yang diperiksa.
ludah, air mata, getah usus, dan lain sebagainya. Dalam cairan Tujuan penelitian ini ialah mencari cara pemeriksaan yang
sekresi, kadar IgA jauh lebih tinggi daripada IgG maupun dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
IgM. Sebagai contoh, air ludah dan getah usus mengandung penyakit pertusis secara lebih cepat, mudah dan sensitif dari
IgA masing-masing sebesar 12 dan 30 mg%, sedangkan IgG cara yang digunakan sekarang yang dapat digunakan di Rumah
yang terkandung di dalamnya masing-masing 0,03 dan 10 mg%. Sakit atau untuk konfirmasi kejadian luar biasa pertusis.
Kandungan IgA yang tinggi dalam getah mukosa ini agaknya
memiliki peranan biologis yang penting, mengingat hal se- BAHAN DAN CARA
macam ini dijumpai pada seluruh anggauta mamalia. Fungsi Penelitian ini dilakukan di 2 Rumah Sakit di Jakarta yaitu
potensial dari sIgA termasuk mencegah pelekatan bakteri, RSUP Ciptomangunkusumo dan RS Karantina, masing-masing
toksin, netralisasi virus, mencegah antigen up-take oleh sel terletak di wilayah Jakarta Pusat dan Utara, 3 Puskesmas di
epitel dan mungkin pengaturan serta sekresi mukosa. Kodya Bandung dan di daerah tersangka terjadi kejadian luar
biasa (KLB) pertusis. Rumah sakit tersebut dipilih berdasar-
Molekul IgA dalam getah mukosa berbeda dengan molekul
kan jumlah tersangka penderita pertusis yang berobat ke RS
IgA dalam serum. IgA dalam serum berupa monomer 7S,
tersebut cukup banyak, sedangkan pemilihan Puskesmas di
sedangkan dalam cairan sekresi (sIgA) berupa dimer 10S (300
Bandung karena pada waktu yang bersamaan sedang dilakukan
kilodalton) yang dilengkapi dengan rantai-J (15 kilodalton) penelitian tentang pertusis.
dan komponen sekretori (KS) seberat 70 kilodalton. Rantai-J Jumlah sampel 211 orang tersangka penderita pertusis yang
adalah glikoprotein yang disintesis oleh sel plasma dan ber- terdiri dari 135 orang dari Rumah Sakit dan Puskesmas, 46
fungsi untuk menggabungkan 2 molekul IgA monomer 7S orang dari daerah KLB dan 30 orang adalah kelompok kelola.
menjadi 1 molekul sIgA dimer IOS. Penggabungan terjadi se- Kelompok studi terdiri dari anak-anak yang dirujuk ke RS
saat sebelum terjadi sekresi sIgA oleh sel plasma. Rantai-J atau berobat ke Puskesmas dengan diagnosa klinis penyakit
terikat secara kovalen pada gugusan sistein kedua dari ujung pertusis, sedangkan dari daerah KLB selain tersangka penderita
rantai alfa (a) molekul IgA. Komponen sekretori disintesis juga orang kontak. Setiap anak menggunakan kartu individu
oleh sel epitel lapisan mukosa. Oleh gugusan disulfida, kom- yang berisi data anak dan penyakit. Diagnosis dilakukan oleh
ponen ini digabungkan baik secara kovalen maupun bukan dokter setempat dan pengambilan spesimen dilakukan oleh
kovalen dengan molekul sIgA dimer 10S ketika molekul ini perawat Rumah Sakit atau tenaga yang telah dilatih.
sedang diangkut secara aktif menuju ke permukaan mukosa. Spesimen berupa hapus nasofaring untuk pemeriksaan
Gugusan KS ini berperan untuk memperkuat struktur dimer, sekret IgA dan isolasi kuman. Pada kelompok kelola dilakukan
sehingga tahan terhadap enzim proteolitik yang banyak ter- perlakuan yang sama.
dapat dalam getah mukosa, seperti tripsin, kemotripsin dan Cara isolasi kuman
papain. Molekul sIgA juga dikenal tahan terhadap denaturasi Dilakukan dengan menanam hapus nasofaring pada media
oleh senyawa asam propionat dan urea. Kerentanan terhadap charcoal darah. Pada hari ke-4 atau ke-5 dilakukan pemindah-
proteolisis ini menyebabkan kadar IgA dalam getah mukosa an kuman tersangka pada media serupa. Setelah dapat di-
jauh melebihi kadar molekul zat anti lainnya4. Hampir semua isolasi, dilakukan identifikasi dengan cara aglutinasi. Untuk
studi menunjukkan, pembentukan zat anti mulai setelah tim- spesimen yang diambil di Bandung dilakukan di Balai
bulnya gejala klinis. Kadar IgA dalam serum lebih rendah bila Laboratorium Kesehatan (BLK), Bandung dan diidentifikasi di
dibandingkan dengan kadar dalam sekret, tetapi berada lebih Jakarta.

33
Cara pengambilan sekret
Usap nasofaring (lidi kapas) dimasukkan ke dalam tabung positif.
berisi larutan buffer-phospat (BP) sebanyak 0,5 ml, disimpan HASIL
dalam suhu dingin dan dibawa ke Laboratorium Pus Lit Pe- Hasil pengukuran kadar 1gA spesifik terhadap kuman per-
nyakit Menular. Selanjutnya sekret yang melekat pada kapas tusis dalam saliva 26 orang anak sehat dan 28 orang anak ter-
dicampurkan dalam larutan BP, sehingga lidi kapas benar-benar sangka penderita pertusis disajikan pada gambar 2. Kadar IgA
bersih dari sekret, dan dibuang. Cairan yang berisi sekret di- bervariasi dan mencapai batas tertinggi 0,210 (OD450). Kadar
simpan pada suhu -70°C sampai tes dilakukan. IgA lebih besar dari 0,06 dipilih sebagai kriteria indikator
Pemeriksaan kadar IgA spesifik infeksi, karena sebagian besar (22 dari 28) anak sehat me-
Dengan menggunakan cara Enzyme-Linked Immunosor- miliki kadar IgA lebih kecil atau sama dengan 0,06. Dengan
bent Assay (ELISA).
menggunakan kriteria ini, 6 dari 28 anak sehat telah terinfeksi
Pembuatan antigen kuman pertusis sebelum penelitian dilakukan, dan 15 dari 26
Untuk pertusis Antigen dibuat dari kuman Bordetella per-
anak tersangka pertusis dinyatakan sebagai penderita pertusis.
tussis strain Budi yang mengandung faktor 1, 2, 3, 4, yang
diisolasi dari Bandung oleh Perum Biofarma. Kuman yang
berumur 48 jam dicuci dan dilarutkan kembali dalam suspensi
buffer karbonat 10 ml. Kuman kemudian dipecah selnya
(sonicated) pada 180 W, 30 detik. Suspensi kuman kemudian
diputar pada 15.000 rpm selama 30 menit. Cairan bening ber-
warna kuning dikumpulkan, dan kadar proteinnya diukur.
Antigen mengandung 5 ug protein/ml, disimpan dalam jumlah
0,5 ml/tabung pada suhu -20°C sampai waktunya digunakan
dalam tes.
Conyugate
Peroxidase-labeled anti-human IgA produksi dari Miles
Scientific USA. Untuk conyugate ini titer 1:400 diketahui
dapat memberikan positif dan negatif kontrol secara optimal.
Cara kerja
Sumur-sumur dari mikroplat polisteren dengan permukaan
datar (Dynatech Laboratories Inc) disensitasi dengan menam-
bah 200 ul antigen yang dilarutkan dalam buffer karbonat
PH 9,6 selama semalam pada suhu 4°C. Plat selanjutnya dicuci
dengan larutan buffer-phosphate (BP) (PH 7,4) yang mengan-
dung 0,05% Tween 20, dikocok pada rotator 180 rpm selama
3 menit dan pencucian diulang 3 kali. Sampel yang berupa
sekret diencerkan 2 kali dalam larutan BP mengandung 0,05%
Tween 20 dan 1% Bovine serum albumin (BSA), dimasukkan
ke dalam sumur-sebanyak 200 ul dan plat didiamkan pada
suhu kamar selama 2 jam. Plat kemudian dicuci. Larutan
peroksidase-labeled anti-human IgA dengan titer 1:400 ditam- Gambar 2. Hubungan Antara Diagnosa Klinis dan Laboratoris dengan
bahkan ke dalam masing-masing sumur. Setelah 2,5 jam ber- Kadar IgA Spesifik dalam Saliva Anak Tersangka
Penderita Pertusis maupun Anak Sehat
ada pada suhu kamar kemudian dicuci. Selanjutnya ditambah-
kan 200 ul substrat enzim (5-amino-salicyclic acid buatan Kriteria kadar IgA > 0,06 sebagai indikator infeksi ke-
Aldrich Chemical Co Inc, USA) dan ditambah 0,05% H2 O2. mudian dipergunakan untuk melakukan konfirmasi terhadap
29 orang tersangka pertusis dari Poliklinik Anak dan 106 orang
Plat diletakkan pada suhu kamar selama 1 jam dan selanjut- anak tersangka pertusis dari Puskesmas. Hasil konfirmasi ini
nya reaksi enzim dihentikan dengan menambahkan 50 ul 3 M dibandingkan dengan hasil isolasi kuman pertusis dari pen-
Na (OH). Hasil dibaca pada spektrophotometer pada 450 nm. derita yang sama (Tabel 1). Terlihat bahwa konfirmasi dengan
Negatif sampel dan kontrol berwarna bening/merah muda cara ELISA mendapatkan hasil 36,3%, secara bermakna lebih
sedangkan positif memberi warna coklat bervariasi dari merah. tinggi dari hasil isolasi kuman yang hanya 3,7%. Namun de-
Kontrol positif digunakan serum penderita pertusis, sedangkan mikian, terlihat bahwa hasil konfirmasi dengan cara ELISA
kontrol negatif digunakan serum anak sehat. untuk penderita di Rumah Sakit lebih besar dari pada di
Puskesmas.
Pemeriksaan zat anti terhadap pertusis Hasil konfirmasi tersangka penderita pertusis dari daerah
Dengan cara mikroaglutinasi'. Antigen dibuat dari kuman KLB dengan cara ELISA, dibandingkan dengan cara mikro-
B. pertussis strain 18—323 mengandung 1010 organisme/ml. aglutinasi dan isolasi kuman dapat dilihat pada tabel 2. Ter-
Kontrol positif menggunakan anti B. pertussis strain Tohama. lihat cara ELISA memberikan hasil positif pada 25 dari 46
Titer 1/10 dianggap sebagai batas minimal kadar zat anti orang anak (54,35%) tersangka pertusis. Angka. ini secara ber-

34
makna lebih tinggi dari basil pemeriksaan dengan cara mikro- 5 hari. Saat isolasi kuman yang terbaik hanya bila dilakukan
aglutinasi (36,96%) dan isolasi kuman (0%). Perbedaan ini pada fase kataral, dan menurun nyata pada akhir minggu ke 3
terutama karma terdapat 8 orang dengan IgA positif tetapi dari gejala penyakit. Bila penderita telah mendapat pengobatan
memiliki titer aglutinin yang sangat rendah atau negatif. dengan antibiotik lebih dari 2 hari, hasilnya pun akan negatif.
Dengan menggunakan kriteria infeksi di atas, diketahui Selain itu, adanya kontaminasi pada waktu pengambilan
bahwa pertusis menyerang anak umur 8 bulan sampai 6 ta- kuman juga merupakan faktor yang menyebabkan kurang
hun. Sebaran kasus dihubungkan dengan status imunisasi berhasilnya cara ini.
DPT dapat dilihat pada tabel 3. Jumlah penderita dengan sIgA terhadap pertusis positif
Tabel 1. Hasil Konfirmasi Kasus Tersangka Pertusis dengan Cara yang berasal dari Rumah Sakit lebih besar bila dibandingkan
ELISA dan Cara Isolasi Kaman dengan penderita yang berasal dari Puskesmas. Ini disebabkan
basil konfirmasi
fungsi Rumah Sakit sebagai tempat rujukan, sehingga pen
derita yang datang berobat telah menderita sakit lama, bahkan
jumlah IgA positip
asal
kasus dalam saliva isolat positip ada yang telah berobat berulang-ulang. Dalam keadaan ini
kasus
kadar IgA nya sudah tinggi. Sebaliknya penderita yang datang
n % n %
berobat ke Puskesmas baru menderita sakit beberapa hari saja
Rumah sakit 29 18 62,1 1 3,5 memang bukan pertusis atau kalau betul menderita pertusis
Puskesmas 106 31 29,3 4 3,8 gejala klinis yang khas belum nampak dan kadar IgA nya
belum terbentuk. Demikian pula dengan banyaknya penderita
Total 135 49 36,3 5 3,7 yang memiliki sIgA positif tetapi kulturnya negatif yang ber-
asal dari Rumah Sakit, hal ini disebabkan karena penderita
p <0,01
datang berobat pada fase lanjut dan kebanyakan telah men-
Tabel 2. Hasil Konfirmasi Kasus Tersangka Pertusis*) dengan Cara dapat pengobatan dengan antibiotik.
ELISA don Cara Mikroaglutinasi Penelitian Goodmans menunjukkan, dari 348 sampel cair-
an ludah ditemukan sIgA positif pada 8 orang penderita
IgA spesifik
aglutinin dengan basil kultur positif dan 40 orang penderita dengan hasil
total
dalam darah positip negatip kultur negatif. Waktu rata-rata antara mulai timbulnya gejala
penyakit dengan pengambilan spesimen pada penderita dengan
positip 17 8 25 kultur positif dan sIgA negatif adalah 10 hari, sedangkan pada
negatip 0 21 21 penderita dengan kultur positif, sIgA positif adalah 15 hari dan
penderita dengan kultur negatif, sIgA positif adalah 36 hari.
total 17 29 46 Hasil sIgA pertusis dari 46 spesimen dihubungkan dengan per-
p <0,1 jalanan penyakit setiap minggunya adalah sebagai berikut :
13 spesimen yang dikumpulkan pada minggu pertama 1 adalah
*) diperoleh dari daerah KLB, hasil isolasi kuman negatip. positif (7,7%). Selanjutnya spesimen positif jumlahnya me-
Tabel 3. Distribusi Anak Pendcrita Pertusis Menurut Golongan Umur
ningkat menjadi 41,7% pada minggu ke 2, 54,6% pada minggu
dan Status Vaksinasi DPT 3x. ke 3 dan 100% pada minggu ke 4 sampai minggu ke 12
Penelitian Goodman juga menunjukkan, sIgA pertusis dihasil-
Golongan Umur I Penderita pertusis kan selama terjadi infeksi alam dan biasanya nampak pada
(Tabun) Vaksinasi DPT sekresi nasofaring pada minggu ke 2 atau ke 3 dari perjalanan
Jumlah penyakit. Menurut pengamatannya sIgA ini akan berada di
3X
dalam darah 3 bulan lamanya setelah gejala timbul dan me-
0—1 8 —
-2 13 1
nurun kadarnya pada tingkat yang rendah kira-kira sebelum
-3 7 —
6 bulan.
-4 10 4 Pada penelitian ini, penderita yang datang ke Rumah Sakit
-5 3 — sebagian besar dengan gejala yang khas dan telah menderita
-6 16 2 sakit selama 1—4 minggu. Penderita yang berobat ke Puskes-
mas lama sakitnya berkisar antara 2—14 hari. Keterangan yang
Total 57 7 diberikan oleh orang tua penderita tentang lama sakitnya
banyak yang tidak sesuai dengan anamnesis, (lebih pendek dari
waktu sakit yang sebenarnya) sehingga untuk ini waktu lama-
PEMBAHASAN nya sakit tidak dapat dikelompokkan secara tepat. Pada 8
Hasil penelitian ini menunjukkan, diagnosa pertusis dengan orang anak yang berobat ke Puskesmas dengan gejala sakit
pengukuran kadar sIgA hasilnya berbeda nyata bila dibanding- 7-1 4 hari, semua diketemukan memiliki kadar IgA positif
kan dengan cara isolasi kuman, yaitu 36,3% berbanding 3,7%. tetapi pada 23 orang anak lain dengan sIgA positif kebanyak-
Hal ini membuktikan bahwa cara pengukuran kadar sIgA lebih an telah menderita sakit kurang dari 7 hari. Jadi pada peneliti-
sensitif daripada cara isolasi kuman. Kelebihan cara ini ialah an ini sIgA mulai diketemukan positif rata-rata setelah hari
karena IgA berada lebih lama dalam tubuh penderita diban- ke 7 sejak gejala penyakit timbul, sehingga pemeriksaan ini
dingkan dengan kuman. Selain itu cara ini memerlukan waktu dapat digunakan di Rumah Sakit. Pada penelitian Goodman
2 hari, sedangkan untuk isolasi kuman memerlukan waktu pengambilan sekret dilakukan dengan menggunakan kateter

35
(sekret disedot), sedangkan pada penelitian ini digunakan lidi pun penderita telah sembuh. Dengan demikian, berarti cara ini
kapas untuk pengambilan sekret. dapat digunakan untuk tujuan tersebut.
Penelitian Viljanen3 terhadap 198 orang berumur antara Pada penelitian ini umur penderita pertusis berkisar antara
3 bulan sampai lebih dari 20 tahun dengan gejala klinis pertu- 8 bulan sampai 6 tahun. Pada umumnya penderita belum men-
sis, melakukan pemeriksaan kadar IgA dan IgM dalam sera dapat imunisasi dan berumur di atas 4 tahun. Bagi yang pernah
dengan cara ELISA dan membandingkannya dengan cara mendapat imunisasi, zat anti yang dimilikinya telah menurun
isolasi kuman. Pengambilan spesimen dilakukan beberapa hari sangat rendah waktu terkena infeksi dan belum pernah men-
sampai beberapa minggu setelah gejala timbul. Hasilnya me- dapat imunisasi ulangan.
nunjukkan, isolasi kuman positif ditemukan pada 29 orang
(15%) yang terdiri dari 41% anak-anak di bawah umur 3 bulan KESIMPULAN
dan 7—13% anak-anak di atas umur 3 bulan. Diketemukan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pula hasil positif pada 2 orang tua dari 2 orang bayi positif. • Pengukuran kadar IgA baik dari sekret maupun dari sera
Hasil pemeriIaan ELISA pada 198 sera menunjukkan, 53 dengan cara ELISA dapat dilakukan lebih cepat, mudah dan
orang (27%) memiliki kadar IgA positif dan 61 orang (31%) sensitif bila dibandingkan dengan cara isolasi kutnan.
memiliki kadar IgM positif. Bila pemeriksaan IgA dan IgM • Waktu yang terbaik untuk pengambilan spesimen adalah
dilakukan bersama-sama maka 71 orang (36%) memiliki kadar mulai hari ke 7—14 setelah timbulnya gejala penyakit, se-
IgA dan IgM positif. Frekuensi ELISA positif terendah ter- hingga cara ini dapat digunakan untuk membantu menegakkan
dapat pada penderita berumur kurang dari 3 bulan sebanyak diagnosis penyakit pertusis baik di Rumah Sakit maupun di
20%, sedangkan frekuensi tertinggi terdapat pada umur 10—20 lapangan untuk konfirmasi adanya KLB pertusis.
tahun sebanyak 64% dan pada lain kelompok umur sebesar
29—44%. Hasil pemeriksaan ELISA pada anak dengan kultur
positif sebanyak 29 orang menunjukkan, 13 orang (45%) me- KEPUSTAKAAN
miliki kadar IgM positif dan 10 orang (34%) memiliki kadar
IgA positif. Bila pemeriksaan IgA dan IgM dilakukan bersama- 1. Dirjen .P2M & PLP,..P-regakm_imunisasi dan pengembangannya dalam
repelita IV 1984. Umpan balikZ'EPI-D, 47; tahun ke IV; 1 - 8 .
an, terdapat 14 orang (48%) memiliki kadar IgA dan IgM. 2. Finger H, Wirsing von Koenig CH. Serological diagnosis of whooping
Penderita dengan basil isolasi kuman dan IgA positif sebanyak cough. D velopment in Biological Standardization. Proc of the Int
3 dari 12 orang (25%) terdapat pada anak-anak berumur di symposiuhi on Pertussis. 1984; 331-335.
bawah 3 bulan, sedangkan frekuensi tertinggi yaitu enam dari 3. Viljanen MK, Ruuskanen 0, Granberg G, Salmi TT. Serological
Diagnosistof Pertussis : IgM, IgA and IgG Antibodies Against Bor-
7 orang (86%) terdapat pada kelompok umur antara 3 bulan detella pertussis measured by Enzyme-Linked Immunosorbent
sampai 2 tahun. Tomasi4 menyatakan, sIgA mendekati tingkat Assay (ELIS ). Scand J infect Dis, 1982; 14: 117-122.
kadar orang dewasa sebelum umur 6 bulan, tetapi IgA dalam 4. Mc Nabb PC, Tomasi TB. Host defence ane'ehanism at mucosal
surfaces. Ann Rev Microbiol, 1981; 35: 477-496.
sera tidak mencapai tingkat kadar orang dewasa sampai umur 5. Goodman IE, Worth AJ, Jackson FL. Enzym-Linked Immunosor-
5—15 tahun. bent Assay for detection of Pertussis Immunoglobulin A in Naso-
Hasil pemeriksaan kadar IgA dalam darah yang dilakukan pharyngeal secretions as an indicator of recent infection. Your Clin
pada tersangka penderita pertusis dan orang kontak di daerah Microbiol, Feb, 1981; 286-292.
KLB, dibandingkan dengan hasil isolasi kuman dan pemerik- 6. Voller A, Bidwell DE, Bartlett A. Enzyme Immuno assays in diagnos-
tic medicine. Theory and practice. Bull WHO, 1976; 53: 55-65.
saan mikroaglutinasi menunjukkan, IgA positif ditemukan 7. Manclark C, Meade BD. Serological response to Bordetella pertussis.
pada 25 dari 46 orang (54,35%) yang diperiksa, sedangkan Manual of clinical Immunology, 2nd Edit. Am Soc Microbiol,
basil mikroaglutinasi positif terdapat pada 17 dari 45 orang Washington D.C. 1980. 496-499.
8. Nagel J, Poot-Scholtens EJ. Serum IgA antibody to Bordetella Per-
(36,96%). Hasil isolasi kuman seluruhnya negatif. Hal ini tussis as an indicator of infection. Your med Microbiol, 1983; 16:
karena ketika pengambilan kuman penderita telah mendapat 417 -426.
pengobatan dengan antibiotik, penderita sudah berada pada
fase lanjut dan pada beberapa spesimen terdapat kontaminasi
Ucapan terinurkasih
karena pengambilan dilakukan di tempat kejadian luar biasa
Terimakasih kami sampaikan kepada Dr. Iskak Koiman Kepala Pu sat
(KLB). Penelitian Penyakit Menular atas segala petunjuk dan saran-sarannya.
Pemeriksaan mikroaglutinasi memberikan hasil yang lebih Terimakasih kami ucapkan kepada Dr. Corry Matondang dan Dr.
rendah, karena pemeriksaan ini tidak spesifik. Pada pemeriksa- Ferdy Panusunan Harahap beserta staf dari Bagian Anak RS Cipto-
an ini terukur pula kadar zat anti yang terbentuk akibat pem- mangunkusumo, Dr. Sri Pandam beserta staf dari Bagian Anak RS. Ka-
rantina, atas segala bantuannya dalam melakukan diagnosa klinis dan
berian imunisasi. Sedangkan IgA hanya terbentuk karena pengambilan spesimen.
infeksi kuman8. Terimakasih kami sampaikan pula kepada Dr. Karyadi, Kepala Sub
Pengukuran IgA dalam sekret atau darah memberikan hasil Dit Pengamatan Penyakit, Dir Jen P2M dan PLP, beserta staf atas kerja
yang sama baiknya, bahkan untuk konfirmasi KLB pertusis samanya dalam pengambilan spesimen di daerah, dan juga kepada
saudara Siti Mariani S. yang telah membantu melaksanakan pemeriksa--
cara ini dengan menggunakan sera dapat membuktikan bahwa an ELISA serta semua teknisi yang telah membantu kelancaran peneliti-
anak yang hasilnya positif baru terkena infeksi pertusis, walau- an ini.

36
Pembentukan Antitoksin
pada Wanita Usia Subur Setelah
Pemberian Toksoid Serap Tetanus
Eko Suprijanto, Muljati Prijanto, Dyah Widianingrum
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan R.I, Jakarta,

PENDAHULUAN
ABSTRAK
Pengaruh selang waktu vaksinasi dasar tetanus terhadap Pemberantasan tetanus neonatorum dilakukan dengan mem-
pembentukan antitoksin pada ibu hamil, lamanya kekebalan berikan vaksinasi tetanus pada ibu hamil sebanyak 2 dosis
setelah vaksinasi tetanus, dan pembentukan antitoksin setelah dengan selang waktu 2 bulan. Diharapkan ibu hamil mampu
vaksinasi ulang diteliti pada tahun 1982—1985 dengan me- mewariskiin kekebalan tetanus pada bayi yang dilahirkannyal .
libatkan 403 wanita usia subur (WUS) di Yogyakarta. Peng- Vaksinasi dasar (2 dosis) diberikan pada umur kehamilan
ukuran kadar antitoksin dilakukan dengan cara hemaglutinasi 4—5 bulan dan vaksinasi ulang (1 dosis) diberikan pada ke-
pasif. hamilan berikutnya atau pada 3 tahun setelah vaksinasi
Hasil penelitian menunjtykkan bahwa selang waktu 1 atau 2 dasar.
bulan dalam vaksinasi tetanus pada ibu hamil tidak mem- Pelaksanaan vaksinasi tetanus bagi ibu hamil di masyarakat
pengaruhi pembentukan antitoksin pada tubuh ibu. Tetapi, dihadapkan pada berbagai persoalan. Pertama, vaksinasi
vaksinasi tetanus dengan Akan waktu 2 bulan mampu merang- dasar seringkali baru dapat diberikan setelah kehamilan ber-
sang pembentukan antitoksin maternal yang lebih tinggi umur 6—7 bulan, sehingga selang waktu antar dosis selama 2
(0,501 HAU/ml)daripada selang waktu 1 bulan (0,219 HAU/ bulan tidak lagi dapat ditaati. Diperkirakan selang waktu
ml). Oleh karenanya, vaksinasi tetanus pada ibu hamil disaran- antara dosis kurang dari 2 bulan akan menurunkan status ke-
kan untuk diberikan dengan selang waktu 2 bulan. kebalan pada bayinya, seperti telah dilaporkan di luar negeri2.
Status kekebalan terhadap tetanus menurun secara linier Kedua, lamanya perlindungan setelah pemberian vaksinasi
(r = -0,9867) dari 100% menjadi 31,3%, diukur pada masa dasar tetanus pada ibu hamil masih belum diketahui secara
pasca-vaksinasi antara 0—7 tahun. Dari kenyataan ini dapat di- pasti, sehingga derajat kebutuhan dan saat optimum bagi
sarankan agar pemberian vaksinasi ulang tetanus pada WUS pemberian vaksinasi ulang belum dapat ditentukan dengan
dapat diberikan sedini mungkin, yaitu pada 1 atau 2 tahun baik.
setelah pemberian vaksinasi dasar ketika hamil. Ketiga, karakteristik pembentukan antitoksin setelah vak-
Pemberian vaksinasi ulang tetanus dapat meningkatkan sinasi ulang masih belum diketahui, sehingga kemampuan
kadar antitoksin dari sekitar 0,006—0,03 HAU/ml pada saat vaksinasi ulang untuk mengembalikan kekebalan yang telah
sebelum vaksinasi menjadi sekitar 4 — 11 HAU/ml pada saat hilang masih belum dapat ditentukan. Pengetahuan mengenai
setelah vaksinasi . Kenaikan kadar antitoksin setelah vaksinasi karekteristik pembentukan antitoksin setelah vaksinasi ulang
ulang ditentukan oleh kadar antitoksin sebelum vaksinasi juga akan merupakan masukan yang penting dalam menentu-
ulang (r = -0,9286). Vaksinasi ulang banyak menimbulkan kan saat optimum bagi vaksinasi ulang.
reaksi inflamasi lokal pada WUS. Penggunaan toksoid yang Penelitian ini dirancang untuk mēngetahui pembentukan
lebih murni diperkirakan akan dapat menurunkan frekuensi antitoksin tetanus pada ibu hamil setelah pemberian vaksinasi
akibat samping tersebut. dasar dengan selang waktu antara dosis yang berbeda-beda,
Dari data di atas, diusulkan agar vaksinasi dasar tetanus untuk menentukan prosedur vaksinasi dasar yang terbaik'
bagi ibu hamil di Indonesia dapat terdiri atas 3 dosis toksoid. apabila vaksinasi tetanus terpaksa diberikan pada umur ke-

37
hamilan 6—7 bulan. Lebih lanjut lagi, dipelajari pula pem- Tabel 1. Pengaruh Selang Waktu Vaksinasi Dasar Tetanus dan Selang
bentukan antitoksin setelah pemberian vaksinasi ulang dan Waktu antara Vaksinasi dengan Kelahiran terhadap Pemben-
penurunan kadar antitoksin sejalan dengan waktu untuk tukan Antitoksin Tetanus pads Wanita Usia Subur di Yog-
yakarta, 1986.
mengetahui saat optimum bagi pemberian vaksinasi ulang
tetanus. umur kehamil- selang waktu selang waktu n rata-rata geome-
an seat vaksi- vaksinasi vaksinasi-Ice- triks) kadar anti
nasi lahiran toksin (HAU/ml)
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian dilakukan pada wanita usia subur (WUS, 20 -39 5 bln 2 bln 2 bln 17 0,450
(0,232—0,846)
tahun) di Yogyakarta, melibatkan 403 orang, pada tahun 1982
dan 1985. Pengukuran kadar antitoksin dilakukan dengan cara 6 bln 2 bln 1 bln 15 0,337
hemaglutinasi pasif menurut cara Kondo3. Pengaruh selang (0,178—0,621)
waktu antar dosis dalam vaksinasi dasar tetanus terhadap 1 bln 2 bln 10 0,350
pembentukan antitoksin dipelajari secara prospektip pada (0,160—0, 735)
56 ibu hamil. Tujuh belas ibu dengan umur kehamilan 5 7 bln 1 bln 1 bln 14 0,223
bulan menerima 2 dosis vaksin dengan selang waktu 2 bulan, (0,108—0,436)
15 ibu dengan kehamilan umur 6 bulan menerima vaksinasi
dengan selang waktu 2 bulan, 10 ibu dengan kehamilan 6
*1 diukur pada saat melithirkan, batas konfidensi 0,95.
bulan menerima vaksinasi dengan selang waktu 1 bulan, 14
ibu dengan kehamilan 7 bulan menerima vaksinasi dengan Gambar 1. Pengaruh Selang Waktu Vaksinasi Dasar Tetanus patha
selang waktu 1 bulan. Pengambilan darah vena (2 ml) dilaku- ibu Hamil terhadap Penurunan Kadar Antitoksin Mater-
kan sebelum dan sesudah vaksinasi dan pada saat melahir- nal dalam Sirkulasi Darah Bayinya, 1983.
kan. Untuk melacak pewarisan antitoksin kepada para bayi
juga dilakukan pengukuran antitoksin dalam darah tali pusat
dan dari darah ujung jari bayi umur 3 bulan.
Untuk menentukan saat optimum bagi pemberian vaksi-
nasi ulang telah dilakukan penelitian retrospektip untuk me-
ngetahui kadar antitoksin yang menurun sejalan dengan waktu.
Penelitian ini melibatkan 358 orang ibu yang pernah menerima
2 dosis vaksin tetanus pada kurun waktu antara 1978—1983,
dan belum pernah menerima vaksinasi ulang. Pengambilan
darah vena sebanyak 2 ml dilakukan pada tahun 1982 dan
1985.
Pembentukan antitoksin setelah pemberian vaksinasi ulang
sebanyak 10 Lf dipelajari secara prospektip pada 358 orang
ibu yang telah menerima vaksinasi dasar antara 1978—1983.
satu dosis vaksin diberikan secara intramuskular. Pengambil-
an darah dilakukan sebelum dan pada 2 bulan sesudah vaksi-
nasi sebanyak 2 ml.

HASIL
Hasil pengukuran antibodi menunjukkan bahwa interval
1 atau 2 bulan tidak memberikan perbedaan bermakna ter-
hadap pembentukan antitoksin pada tubuh ibu. Semua ibu pemberian vaksinasi dasar ternyata menurun secara linier
ternyata terlindungi dari serangan tetanus (tabel 1). Namun sejalan dengan masa pasca-vaksinasi (gambar 2). Konsekuensi
demikian, interval 2 bulan memiliki manfaat dari segi lain yang dari penurunan kadar antitoksin ini adalah penurunan status
justru lebih penting, Interval 2 bulan mengakibatkan pewaris- kekebalan para ibu terhadap tetanus. Terlihat bahwa status
an antitoksin maternal yang lebih tinggi kepada bayinya. kekebalan para ibu terhadap tetanus secara linier juga menurun
Rasio kadar antitoksin antara tali pusat dan darah ibu men- sejalan dengan waktu (gambar 3).
capai 1,11 pada interval 2 bulan dan 0,61 pada interval 1 Pembentukan antitoksin setelah pemberian ulang me-
bulan. Diukur pada usia 3 bulan, kadar antitoksin pada bayi ningkat sampai batas maksimum kemampuan tubuh manusia
dengan interval 2 bulan ternyata sedikit lebih tinggi dari pada untuk membentuk antitoksin.. Kadar antitoksin setelah vaksi-
interval 1 bulan, meskipun perbedaan ini juga tidak bermakna. nasi ulang ternyata tidak berhubungan dengan kadar anti-
(gambar 1). toksin yang telah ada sebelum vaksinasi ulang (gambar 4).
Kadar antitoksin dalam tubuh ibu yang diperoleh setelah Namun demikian, rasio kenaikan kadar antitoksin sesudah

38
Gambar 2. Korelasi antara Masa pasca-Vaksinasi Tetanus dengan Gambar 4. Pembentukan Antitoksin Tetanus pada Wanita Usia Subur
Penurunan Kadar Antitoksin Tetanus pada Wanita Usia Subur, 1986. setelah Pemberian Vaksinasi Ulang Tetanus, 1986.

Gambar 3. Korelasi antara masa Pasca-Vaksinasi Tetanus dengan Pe-


nurunan Status Kekebalan*) Wanita Usia Subur terhadap
Tetanus, 1986.

Gambar 5. Korelasi antara Kadar Antjtoksin Sebelum Vaksinasi Ulang


dengan Kenaikan Kadar Antitoksin setelah Vaksinasi Ulang

vaksinasi antara ternyata ditentukan oleh kadar antitoksin


sebelurn vaksinasi ulang. Terdapat korelasi yang bermakna
antara kedua kadar antitoksin tersebut (gambar 5).

PEMBAHASAN peranan yang penting dalam penentuan tinggi-rendahnya


kadar antitoksin maternal dalam tubuh bayinya, selain faktor
Telah banyak dilaporkan di luar negeri bahwa interval interval antara saat vaksinasi terakhir dengan saat kelahir-
antar dosis dalam upaya vaksinasi dasar tetanus pada ibu an4. Oleh karenanya, Ditjen PPM—PLP menempuh prosedur
hamil untuk pemberantasan tetanus neonatorum memegang vaksinasi dengan interval 2 bulan dan dosis pertama diberikan

39
pada usia kehamilan 5 bulan paling lambat. Namun demikian, secara perlahan dalam waktu lama 6,7 . Namun demikian,
oleh adanya berbagai hambatan dilapangan, banyak ibu hamil hal yang sama juga pernah dilaporkan terjadi di Amerika8.
baru dapat diberi vaksinasi dasar tetanus setelah usia kehamil- Agaknya memang struktur genetis wanita Indonesia tidak
annya lebih dari 5 bulan, sehingga interval antar dosis maupun mengijinkan sirkulasi antitoksin bertahan cukup lama.
interval saat vaksinasi dan saat kelahiran tidak dapat ditaati. Dalam kaitan dengan program KB di atas, ternyata setelah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interval 1 atau 2 3 tahun hanya tinggal 66,7% wanita yang masih memiliki
butan untuk antar dosis maupun antara saat vaksinasi dengan kekebalan terhadap tetanus. Mengingat tetanus neonatorum
swat kelahiran tidak memberikanpengaruhyangbermakna ter- bertanggung-jawab atas 43,1% kematian neonatal di Indonsia,
hadap pembentukan antitoksin pada tubuh ibu. Dengan demi- sebaiknya vaksinasi ulang tetap hams diberikan bagi para ibu
kian, bagi ibu dengan usia kehamilan 7 bulan tetap dapat di- hamil. Pemberian vaksinasi ulang tersebut sebaiknya diberikan
berikan vaksinasi dasar tetanus dengan interval 1 bulan. Bagi sedini mungkin, yaitu pada 1 atau 2 tahun setelah vaksinasi
ibu dengan usia kehamilan 6 bulan, vaksinasi dapat diberikan dasar.
dengan interval 2 bulan daripada 1 bulan. Pertimbangan ini di- Pemberian vaksinasi ulang pada 1 atau 2 tahun setelah vaksi-
dorong oleh kenyataan bahwa interval vaksinasi 2 bulan nasi dasar akan dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian
memberikan kesempatan yang lebih panjang bagi ibu untuk besar ibu masih memiliki kekebalan terhadap tetanus (kadar
mewariskan antitoksinnya kepada sang bayi (tabel 2). Ke- antitoksin lebih dari 0,01 HAU/ml). Untuk mengetahui pe-
ngaruh antitoksin terhadap pembentukan antitoksin setelah
Tabel 2. Pengaruh Selang Waktu Vaksinasi Dasar Tetanus pada Ibu
Hamil terhadap Kadar Antitoksin Maternal yang . diwarisi vaksinasi ulang telah dilakukan penelitian prospektip di muka.
oleh bayi saat dilahirkan, 1983. Terlihat bahwa pembentukan vaksinasi ulang mencapai batas
selang waktu n rata-rata geo- rata-rata geo- rasio rata-rata geome- maksimum produksi antitoksin oleh tubuh manusia. Namun
vaksinasi metrik kadar metrik kadar trik kadar antitoksin demikian, kenaikan kadar antitoksin terlihat ditentukan oleh
antitoksin da- antitoksin da- dalam tali pusat/darah kadar antitoksin sebelum vaksinasi ulang, tetapi toh masih
lam darah ibu lam tali pusat ibu
(HAU/ml) bayi (HAU/
terjadi kenaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ml) vaksinasi ulang yang diberikan pada 1 atau 2 tahun setelah
vaksinasi dasar masih tetap memberikan kenaikan kadar
1 bln 6 0,358 0,219 0,61 antiktoksin yang bermakna.
2 bln 11 0,467 0,501 1,11
KESIMPULAN
Hasil pengukuran antitoksin yang dilakukan setelah vaksi-
untungan lain, antitoksin maternal pada bayi dengan interval nasi dasar tetanus pada ibu hamil menunjukkan, vaksinasi
2 bulan bertahan lebih lama dalam sirkulasi darah bayi, se- dasar dengan interval 1 atau 2 bulan tidak memberikan per-
hingga dapat dipergunakan oleh bayi untuk melindungi dirinya bedaan bermakna dalam hal pembentukan antitoksin pada
terhadap tetanus sampai saatnya mereka memperoleh vaksinasi tubuh ibu. Namun demikian, vaksinasi.dasar dengan interval
DTP. Memang dilaporkan bahwa kehadiran antitoksin se- 2 bulan memberikan kadar antitoksin yang lebih tinggi dalam
belum vaksinasi dapat menghabat pembentukan antitoksin sirkulasi darah bayi, lagi pula kadar antitoksin maternal-nya
sesudah vaksinasi (gambar 5), tetapi mengingat kadar toksoid lebih lama bertaham dalam tubuh bayi.
dalam vaksin DTP cukup tinggi, hambatan semacam ini tidak Kekebalan tetanus yang diperoleh karena vaksinasi dasar
begitu dikhawatirkan. Bagi ibu dengan usia kehamilan 8 bulan, dengan cepat menurun sejalan dengan waktu. Pembentukan
vaksinasi dasar tetanus sebaiknya diberikan dengan interval
antitoksin setelah vaksinasi ulang ditentukan oleh kadar anti-
2 bulan 5.
toksin' sebelumnya. Namun kadar antitoksin ini dapat men-
Pengenalan tentang lamanya kekebalan tetanus yang di-
capai batas maksimum kemampuan produksi tubuh manusia.
peroleh para ibu setelah vaksinasi dasar tetanus ketika hamil
penting bagi perumusan program vaksinasi tetanus. Dengan
SARAN
terlaksananya program KB, rata-rata ibu di Indonesia akan
melahirkan setiap 3 tahun sekali. Apabila kekebalan tetanus Untuk menanggulangi tetanus neonatorum, sebaiknya
dapat dipertahankan untuk waktu 3 tahun saja, tentu akan vaksinasi dasar tetanus dapat terdiri atas 3 dosis vaksin. Dua
sangat rnembantu pelaksanaan program vaksinasi tetanus di dosis di antaranya diberikan pada saat terjadi kehamilan per-
Indonesia. tama, dan satu lagi diberikan pada saat 1 atau 2 tahun ke-
Kekebalan terhadap tetanus ternyata menurun secara tinier mudian.
sejalan dengan waktu, yaitu dari 100% menjadi 31,3% diukur Interval antara dosis pertama dan kedua sedapat mungkin
pada 0—7 tahun setelah vaksinasi. Jika dibandingkan dengan harus diberikan pada 2 bulan. Apabila hal ini tidak dapat di-
hasil penelitian di luar negeri, hal ini cukup mengejutkan lakukan, interval I bulan juga dapat dipilih dan hasilnya tidak
karena kekebalan terhadap tetanus biasanya terjadi penurunan akan jauh berbeda.
(bersambuing ke halaman 43)

40
Kadar Zat Antipoliomielitik dalam
Air Susu Ibu di Jakarta dan
Pengaruhnya terhadap Vaksinasi Polio
Gendrowahyuhono* , Corry Matondang** , SavitriSiregar** ,
Ferdy P. Harahap** , Mulyono Adi* , Eko Raharjo*
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
** Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK nesia dipertanyakan 19gi setelah adanya berita di surat kabar


ASI (Air Susu Ibu) yang mengandung zat antipoliomie- yang menanyakan apakah anak yang divaksinasi polio di
litik dapat mempengaruhi efektifitas daripada vaksinasi polio benarkan untuk diberikan air susu ibu (ASI) sesaat setelah
dengan OPV (Oral Polio Vaksin). Penelitian ini dilakukan di anak mendapat OPV. Beberapa pendapat dari beberapa litera-
Jakarta, dengan tujuan untuk menilai kadar zat antipoliomie- tur dikemukakan, antara lain bahwa anak dianjurkan untuk
litik di dalam ASI secara berkala, dan menilai tanggap kebal tidak diberi ASI 2 jam sebelum dan 2 jam sesudah mendapat
(immune respons) anak umur 3-4 bulan yang diberi ASI sesaat vaksinasi polio. Oleh Robert J Karren' dikatakan, di dalam
sebelum dan sesudah mendapat dua kali OPV. Pemeriksaan ASI terdapat zat penghambat (antipoliomyelitic agent) yang
sera dan ASI dilakukan dengan uji netralisasi terhadap virus dapat menetralisir efek dari virus polio di dalam traktus intes-
polio pada biakan sel ginjal kera. tinum anak, kecuali apabila si ibu hanya mempunyai titer
Hasil pemeriksaan ASI menunjukkan, pada masa laktasi antibodi di dalam serumnya kurang dari 1 : 16. Pendapat lain2
minggu I (colostrum) semua ibu mempunyai zat antipolio- mengatakan, tidak ada hubungan antara titer antibodi di dalam
mielitik dalam ASI-nya terhadap .salah satu tipe virus polio. serum ibu dengan zat penghambat tersebut di dalam ASI,
Kadar zar tersebut menurun dengan betambahnya masa lak- dan zat penghambat tersebut hanya berada dalam ASI sampai
tasi, sehingga pada masa laktasi bulan IV, 74,4% ibu tidak pada bulan ke-12 saja (post partum). Di Indonesia, belum
mempunyai zat antipoliomielitik sama sekali (triple negatif) pernah dilakukan penelitian khusus mengenai hal tersebut di
dan pada masa laktasi bulan V hanya 2,3% ibu yang masih atas, demikian juga pengaruh ASI terhadap efektivitas vaksi-
mempunyai zat antipoliomielitik terhadap virus polio tipe 2 nasi polio dengan OPV. Penelitian yang_ pernah dilakukan
dan 3, sedangkan terhadap virus polio tipe 1 adalah 0%. oleh Puslit. $io Medis (sekarang Puslit. Penyakit Menular)
Tanggap kebal anak, yang diberi ASI sesaat sebelum dan se- dan PN Bio Farma Bandung3 -6 mengenai efektivitas vaksinasi
sudah mendapat OPV dua kali, terhadap masing-masing tipe polio, secara tidak langsung juga memperbolehkan si ibu untuk
virus polio adalah tipe 1:97,1%, tipe 2:100%, dan tipe 3:62.8%. memberikan ASI sesaat setelah anak divaksinasi. Akan tetapi
Kesimpulan, kadar zat antipoliomielitik dalam ASI ibu- berapa anak yang diberi ASI dan bagaimana tanggap kebal
ibu di Jakarta sangat rendah setelah masa laktasi bulan IV, (immune response) anak yang diberi ASI tersebut tidak ada
dan bahwa tanggap kebal anal( umur 3-4 bulan yang diberi datanya. Oleh karena itu untuk mendapatkan jawaban yang
ASI sesaat sebelum dan sesudah vaksinasi OPV terhadap ma- tepat mengenai masalah tersebut di atas, dirasa perlu untuk
sing-masing tipe virus vaksin cukup tinggi. Ini berarti, anak melakukan suatu penelitian khusus di Indonsia (Jakarta)
yang divaksinasi dengan OPV pada umur lebih dari 3 bulan untuk mengetahui apakah ASI dari ibu-ibu di Indonesia juga
dapat diberikan ASI sesaat sebelum dan sesudah divaksinasi. mempunyai zat antipoliomielitik, dan apakah titernya cukup
untuk menetralisir virus vaksin polio. Disamping itu juga
PENDAHULUAN sampai berapa lama zat antipoliomielitik masih berada dalam
Masalah penggunaan oral polio vaksin (OPV) dalam rangka ASI.
pelaksanaan pengembangan program immuniasi polio di Indo- Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menilai

41
kadar zat antipoliomielitik yang terkandung dalam ASI secara menunjukkan, tidak ada ibu yang tidak mempunyai zat anti-
berkala, dan menilai sero konversi antibodi terhadap polio- poliomielitik dalam kolostrumnya (ASI minggu I) seperti ter-
mielitis setelah pemberian OPV dua kali pada anak yang di- lihat pada tabel 1 (triple negatif 0%), dan ibu-ibu yang mem-
beri ASI sesaat sebelum dan sesudah vaksinasi. Dengan di- punyai zat antipoliomielitik terhadap ketiga tipe virus polio
ketahuinya zat antipoliomielitik di dalam ASI dan lamanya (triple positif) adalah 72%. Prosentase zat antipoliomielitik
zat tersebut berada dalam ASI, akan dapat membantu meme- dalam ASI menurun sesuai dengan meningkatnya masa lak-
cahkan masalah boleh tidaknya anak diberi ASI sesaat se- tasi. Pada bulan III, 56% dari ibu sudah tidak lagi mempunyai
belum dan sesudah vaksinasi polio, ataukah hanya anak zat antipoliomielitik terhadap ketiga tipe virus polio, dan pada
dengan umur tertentu saja yang boleh diberi ASI. bulan V maka zat antipoliomielitik dalam ASI terhadap ketiga
tipe virus polio hanya 2,3%. Tanggap kebal anak setelah men-
BAHAN DAN CARA dapat OPV dua kali dapat dilihat dari seroconversion ratenya
Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok ibu yang terhadap masing-masing tipe virus polio sebagai berikut: tipe
anaknya mendapat imunisasi dasar polio OPV dua kali mulai 1 = 97,1%, tipe 2 = 100%, dan tipe 3 = 62,8% (tabel 2).
umur 3 bulan dengan interval 4 - 6 minggu. Jumlah sampel
sebesar 50 ibu dan 50 anak. Anak diberi ASI sesaat sebelum Tabel 2. Tanggap kebal tipe spesifik anak umur 3 -4 bulan setelah
dan sesudah divaksinasi. mendapat 2 kali vaksinasi OPV, dan mendapat ASI sesaat
Pengambilan ASI dan pemeriksaan kadar zat antipoliomielitik sebelum dan sesudah divaksinasi
yang terkandung dalam ASI dilakukan pada masa laktasi: Tipe virus Jumlah sero-negatif Jumlah sero-positif Conversion Rate
a. minggu I (kolostrum) e. bulan III polio. sebelum vaksinasi sesudah vaksinasi (%)
b. minggu II f. bulan IV Tipe 1 35 34 97,1
c. bulan I g. bulan V Tipe 2 35 35 100
d. bulan II Tipe 3 35 22 62,8

Sampel darah anak untuk pemeriksaan antibodi terhadap


poliomielitis diambil dua kali, yaitu pada waktu sebelum pem-
berian OPV (pra OPV) dan 4 - 6 minggu setelah pemberian PEMBAHASAN
OPV II (pasca OPV II). Melihat hasil dari pemeriksaan ASI secara berkala, ter-
Pemeriksaan serum dan ASI dilakukan dengan uji netralisasi nyata bahwa setelah masa laktasi bulan V hanya seorang ibu
terhadap virus polio tipe 1, 2 dan 3, pada biakan sel ginjal dari 43 ibu (2,3%) yang masih mempunyai zat antipoliomelitik
kera, dengan cara seperti yang pernah dilakukan di Pusat dalam ASlnya. Hasil ini ternyata tidak sesuai dengan yang di-
Penelitian Penyakit Menular3,4,5 katakan oleh A.B. Sabin2, bahwa ASI masih mengandung zat
antipoliomielitik sampai pada masa laktasi bulan III, sehingga
HASIL beliau menganjurkan untuk tidak memberikan ASI 2 jam se-
Dari hasil pengambilan spesimen ASI, sejumlah 50 spe- belum dan 2 jam sesudah anak divaksinasi dengan OPV karena
simen dapat dikumpulkan sampai pada masa laktasi bulan III, kemungkinannya zat tersebut menetralisir virus vaksin di
sedangkan pada bulan IV dan bulan V ada 7 ibu yang gagal di- dalam usus anak sehingga menghambat pembentukan zat anti-
ambil ASInya karena mereka pindah alamat tanpa diketahui. bodinya.
Dari hasil pengambilan serum. (darah), 40 spesimen dapat di- Dari hasil pemeriksaan serum anak yang diberi OPV dan
evaluasi. Hasil pemeriksaan ASI yang diambil secara berkala ASI sesaat sebelum dan sesudah divaksinasi, temyata, sero-
conversion rate-nya terhadap masing- masing tipe virus polio
Tabel 1. Hasil pemeriksaan zat antipoliomielitik dalam ASI, menurut masa laktasi dengan
uji netralisasi terhadap virus polio tinggi (390%), dan hasil ini tidak berbeda denga hasil peneliti-
tipe 1, 2 dan 3. an yang sama mengenai tanggap kebal anak terhadap vaksinasi
polio dengan OPV yang pernah dilakukan di Kebayoran Baru
Jakarta3, di Jambi4 , Lampungs dan di Bandung4. Jika melihat
hasil seroconversion rate tersebut di atas, nampaknya tidak ada
pengaruh dari zat antipoliomielitik dalam ASI yang diberikan
sesaat sebelum dan sesudah pemberian OPV. Hal ini kemung-
kinan disebabkan karena zat antipoliomielitik sudah tidak ada
dalam ASI atau titernya sangat rendah sehingga tidak mampu
menetralisir virus vaksin di dalam usus anak. Berdasarkan
hasil dari penelitian dapat disimpulkan, anak yang ber-
umur lebih dari 3 bulan dapat diberikan ASI sesaat sebelum
dan sesudah divaksinasi dengan OPV, karena pada saat tersebut
zat antipoliomielitik tidak ada dalam ASI atau kalaupun ada
titernya sangat rendah sehingga tidak mampu untuk menetra-
lisir virus vaksin dalam usus anak.

42
KESIMPULAN vaisin polio di Jakarta. Bull. Penelitian Kesehatan, 1982.
4. Gendrowahyuhono. Penelitian Evaluasi program immunisasi polio
• Bahwa pada masa laktasi minggu I (kolostrum) semua ibu di Indonesia : Efektivitas vaksinasi di Jambi. Laporan akhir Hasil
mempunyai ASI yang mengandung zat antipoliomielitik. Penelitian Pusat Penelitian Penyakit Menular, 1983.
• Bahwa. kadar zat antipoliomielitik tersebut menurun dengan 5. Gendrowahyuhono. Penelitian Vaksinasi polio 2 kali dosis dan
bertambahnya masa laktasi dan hampir menghilang setelah 3 kali dosis pada anak-anak umur 3 - 24 bulan di Lampung. Laporan
akhir Penelitian Pusat Penelitian Penyakit Menular, 1985.
masa laktasi bulan I V . 6. Hasil Trial immunisasi polio di lima Kecamatan di Kodya Bandung
• Bahwa pemberian vaksinasi OPV pada anak y a n g berumur (Survey sero-virologi) pada bayi sehat golongan umur 3 - 14 bulan,
lebih 3 bulan dapat diberikan ASI sesaat sebelum dan se- pada tahun 1978 - 1979. Kerja sama antara : Dir. Jen. P3M, Dinas
Kesehatan Jawa Barat dan P.N. Bio Farma, September 1981.
sudah divaksinasi.

KEPUSTAKAAN
Ucapan Terima Kasih
1. Robert J Warren MD, Cs. The Relationship of Maternal antibody, Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Iskak Koiman Kepala
Breast Feding and Age to the Susceptibility of Newborn infants to Pusat Penelitian Penyakit Menular, atas segala bimbingan dan petunjuk
infection with Attenuated Polio viruses. Pediatrics, July 1964. yang diberikan selama penelitian sehingga dapat berhasil dengan baik.
2. Albert B Sabin MD, Cs. Antipoliomyelitic Activity of Human and Demikian juga penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
Bovine Colostrum and Milk. Pediatrics, 1982. teknisi yang telah membantu dalam pengambilan dan pemeriksaan
3. Gendrowahyuhojo dkk Tanggap kebal anak terhadap 2 dosis spesimen.

(Sambungan dari halaman 40)

KEPUSTAKAAN Path Microbiol Scand 1966; 67 : 380-192.


7. Hardegree MD, Barile MF, Pitman M, et aL Immunization againts
1. Galazka A. Tetanus toxoid: nature and action. Meeting on Pre- neonatal tetanus in New Guinea: 2. Duration of primary anti-
vention of neonatal tetanus, Lahore, 1982. toxin responses to adjuvant tetanus toxoids and comparisons of
2. Jones TS. The use of tetanus toxoids for the prevention of neo- booster responses to adjuvant and plain toxoids. Bull WHO 1970;
natal tetanus in developing countries. PAHO Sri Publ 1983; 451: 43 : 439-451.
52-64.
8. Edsaall G. Tetanus toxoid and antitoxin. N Y State J Med 1963; 63 :
3. Kondo S, Kameyama S, Yashuda S et al. Clinical application of the
passive haemagglutination test for titration of tetanus antitoxin. 2967—2973.
Jap J Med Sri Biol 1977; 30 : 119—124. 9. Budiarso LR. Sebab Kematian Anak Balita dan Bayi : Survei Ke-
4. Dillon H & Menon PS. Active immunization of women in preg- sehatan Rumah Tangga 1980. Bulet Penelit Kesehat 1983; 11(1):1-4.
nancy with two injections of adsorbed tetanus toxoid for pre-
vention of tetanus neonatorum in Punjab — India, Inddian J Med
Assoc 1975; 63 : 583—589. Ucapan terima kasih
5. Leach CN, Zia SH, Ka-ti Lim. An attempt to immunize newborn Terima kasih disampaikan kepada Dinas Kesehatan Prop DIY dan
infants to tetanus neonatorum through the administration of teta- masyarakat Yogyakarta yang telah sudi dilibatkan dalam penelitian
nus toxoid to pregnant mothers. Am J Hyg 1936; 24 : 439—445. ini. Terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan dan staf Badan
6. Scheibel I, Bentzon MW, Christensen PE, et al. Duration of immu- Litbang Kesehatan yang secara langsung dan tak langsung telah ikut
nity to diphtheria and tetanus after active immunization. Acta memperlancar penelitian ini.

43
Pengembangan Antibodi
Monoklonal untuk Filaria
Liliana Kurniawan*, Indah Yuning Prapti*, F.
Partono**, Hastini* dan Sarwintyas**
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
** Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK Pada masa prepaten, infeksi asimtomatik menahun dengan


Diagnosis pasti filariasis didasarkan atas ditemukannya gejala lanjut seperti elefantiasis, keadaan infeksi dengan hanya
mikrofilaria pada darah tepi malam hari. Pada masa prepaten, satu jenis kelamin cacing dewasa atau mikrofilaremia yang
infeksi menahun dan infeksi karena satu jenis kelamin cacing rendah; mikrofilaria tidak ditemukan di peredaran darah' .
dewasa, cara diagnosis ini tidak dapat diterapkan. Deteksi Dalam keadaan tersebut, pengambilan darah tepi tidak dapat
antibodi kurang spesifik serta sulit untuk membedakan infeksi dipakai untuk mendukung diagnosis filariasis. Selain itu,
dan masa pengobatan. Deteksi antigen yang beredar dalam pengambilan darah tepi secara teknis merupakan hambatan
peredaran darah dengan menggunakan antibodi monoklonal karena harus dilakukan pada waktu tertentu dan kurang di-
diperkirakan akan dapat dipakai sebagai imunodiagnosis yang sukai penderita. Dipikirkan kemungkinan menemukan antigen
lebih spesifik pada filariasis. di dalam cairan tubuh lain misalnya air seni, yang mungkin
Dalam rangka pengembangan antibodi monoklonal ter- lebih mudah dilaksanakan di lapangan.
hadap filaria, dilakukan imunisasi pada Balb/c yang menggunakan Pendekatan imunodiagnosis dengan cara deteksi anti-
L3 (larva-3) dan cacing dewasa B.malayi, dilanjutkan fusi bodi ternyata kurang spesifik dan tidak dapat dipakai untuk
sel limfosit dari limpa Balb/c tersebut dengan sel mieloma SP2. membedakan infeksi paten dan keadaan pascapengobatan.
Dari 40 fusi dengan sumur biakan sejumlah 6729, berhasil Tidak jelas pula pembedaan antara penduduk mikrofilaremik
diperoleh 656 (9,7%) sumur biakan sel hibrid. Dari 656 sumur dan amikrofilaremik serta hubungan yang tak jelas dengan
tersebut 24 (3,8%) menunjukkan reaksi positif terhadap L3 derajat mikrofilaremia. Antibodi terhadap filariasis ini dapat
pada ELISA. Pada biakan sumur yang menunjukkan reaksi ditemukan pada pasca pengobatan untuk jangka waktu yang
positif dengan ELISA dilakukan kloning dengan cara limiting lama2.
dilution, sehingga didapat 11 sumur biakan yang bereaksi Circulating antigen adalah metabolit yang dikeluarkan
positif. Rekloning dilakukan pada sumur biakan yang me- oleh parasit hidup yang dapat ditemukan di peredaran darah
nunjukkan harga ELISA tinggi dan kemudian berhasil diper- atau dalam cairan tubuh lain, misalnya pada air seni3.
oleh hibrida yang bersifat monoklon. Penggunaan poliklonal antibodi menunjukkan reaksi si-
Usaha untuk menghasilkan produksi antibodi monoklonal lang dengan cacing nematoda lain. Antibodi monoklonal
di dalam Balb/c (cairan ascites) sedang dikerjakan. GIB—13 telah digunakan untuk deteksi circulating antigen
pada filariasis bancrofti dengan menggunakan immunoradio-
PENDAHULUAN metric assay 4 . Ditunjukkan adanya hubungan yang kuat
Filariasis merupakan penyakit yang disebarkan oleh nya- antara ditemukannya circulating antigen tersebut dengan
muk, tērsebar di berbagai daerah di Indonesia. Penyakit fi- mikrofilaremia. Dengan menggunakan AA—3—44 monok-
lariasis merupakan penyakit menahun, yang dapat juga meng- lonal antibodi yang dikembangkan dari surface antigen B.
akibatkan cacat tubuh. Diagnosis pasti atas penyakit ini di- malayi, dapat ditiinjukkan adanya antigen di dalam air seni,
tegakkan melalui pemeriksaan darah tepi yang diambil pada tetapi yang tidak menunjukkan hubungan dengan derajat
waktu malam hari. mikrofilaremia. Pendekatan imunodiagnosis dengan cara

44
deteksi antigen ini diharapkan dapat menentukan adanya Kloning
prepaten infeksi yang mana cacing dewasa sudah berkembang Sumur biakan sel hibrid yang pada tes supernatan menunjuk
dalam tubuh penderita tetapi mikrofilaria tidak dapat di- kan tes ELISA positip sebanyak 2x, diteruskan pemeliharaan
temukan. Pendekatan cara ini memerlukan antibodi monok- menjadi biakan monoklon dengan menggunakan cara limiting
lonal yang sifatnya spesifik terhadap suatu komponen antigen dilution sebanyak 2x. Selanjutnya biakan monoklon tersebut
dari cacing filaria. dipelihara di dalam culture flask untuk produksi antibodi
Pengembangan teknik hibridoma untuk menghasilkan monoklonal.
antibodi monoklonal telah dilakukan dengan menggunakan Telah dilakukan imunisasi 40 tikus Balb/c dengan dosis 20-
antigen Larva—3 (L3) dan cacing dewasa dengan hasil biakan 100 ug/ml dengan cara ip/subkutan dan intra vena (lihat tabel
monoklonal yang positip terhadap L3 dengan menggunakan 2). Selanjutnya dilakukan fusi 32 tikus karena 6 tikus mati dan
teknik ELISA. Diharapkan antibodi monoklonal yang dihasil- 2 tikus hilang. Sel hibrid dites dengan ELISA paling sedikit
kan dapat dipakai untuk imunodiagnosis filariasis. 2x. Sel hibrid yang menunjukkan reaksi antibodi spesifik
dilakukan kloning dengan cara limiting dilution.
BAHAN DAN CARA KERJA
Antigen HASIL
Larva — 3 (L3) : Nyamuk digigitkan pada gerbil yang meng- ELISA
andung mikrofilarja B. malayi. Setelah beberapa hari, L3 Tes ini digunakan untuk deteksi antibodi pada Balb/c selama
dapat ditemukan pada nyamuk, dipisahkan dan disimpan dan setelah imunisasi serta untuk deteksi antibodi pada su-
dalam media RPMI 1640 pada -20°C. pernatan biakan sel hibrid. Konsentrasi antigen L3 yang di-
Cacing dewasa : Didapat dari gerbil yang terinfeksi dengan B. pakai adalah 4 ug/ml denganpengenceran sera 1 : 100 dan
malayi. Setelah dikeluarkan dari gerbil, disimpan dalam conjugate 1 : 1000. Supernatan sel hibrid dites dalam keadaan
RPMI 1640 pada suhu -20°C. tidak diencerkan. Nilai ELISA ditentukan dengan extinction
L3 maupun cacing dewasa B. malayi diekstraksi dengan cara value melalui bacaan dengan ELISA reader. Standardisasi baca-
sonikasi. Kadar protein antigen diukur dengan cara Biorad. an dilakukan dengan menentukan angka 0,800 untuk IgG
positip sera Balb/c. Sel hibrid yang menentukan harga ELISA
Imunisasi
0,200 atau lebih diteruskan untuk kloning.
L3 atau cacing dewasa dengan jumlah protein 20—100 ug/ml
disuntikkan pada inbred Balb/c usia 4—6 minggu. Imunisasi Imunisasi
dilakukan 4 kali : 3 kali secara intraperitoneal dengan selang Dari berbagai jadual imunisasi dan route penyuntikan yang di-
waktu 1 minggu dan intra vena dilaksanakan dalam jangka laksanakan, diperoleh reaksi antibodi (IgG) terhadap L3 yang
waktu 1 minggu setelah penyuntikan intraperitoneal terakhir. terbaik didapatkan pada cara intraperitoneal sebanyak 2x
(selang satu minggu antara 2 suntikan), disusul suntikan intra
Sel mieloma vena 1 minggu setelah suntikan intraperitoneal terakhir. Hasil
Sel mieloma dari Balb/c (SP—2) dibiakkan dalam media yang dicapai ini diperoleh dengan menggunakan dosis 20,
DMEM selama kurang lebih 2 minggu sebelum dipakai untuk 50 atau 100 ug per suntikan baik untuk L3 maupun cacing
fusi dengan sel limfosit dari limpa. dewasa (CD). Penyuntikan intraperitoneal pertama dilakukan
Sel limfosit dengan menggunakan Complete Freund Adjuvant (CFA)
3 hari setelah imunisasi intravena, limpa Balb/c dikeluarkan disusul campuran dengan Incomplete Freund Adjuvant (IFA)
secara steril, dibersihkan dan dipecah-pecah sehingga sel liln- pada intraperitoneal kedua dan ketiga (Tabel 1).
fosit lepas ke dalam media pencuci.
Tabel 1. IgG respons terhadap L3 (ELISA) pada imunisasi dengan L3
Fusi atau cuing dewasa B.malayi.
Sel mieloma dan sel limfosit dicuci 3 kali dengan DMEM;
kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan Antigen I(ip) I (sc/ip) II Op) III Op) IV (iv) ELISA
(IgG)
1000 rpm. Fusi dilakukan dengan menggunakan polietilengli- )

kol (PEG) dengan perbandingan jumlah sel mieloma dan sel L3 20 — 20 20 20 0,822
limfosit 1: 1. Sel hibrid dibiakkan dalam culture plate dengan L3 50 — 50 50 50 0,790
L3 100 — 100 100 100 0,800
jumlah se13 x 106 /ml dalam inkubator CO2. L3 100 — 100 50 20 0,497
L3 — 100 100 50 50 0,688
ELISA L3 — 100 100 20 20 0,395
4 ug/ml L3 dipakai sebagai antigen pada ELISA untuk de- Cacing 100 — 100 50 20 0,539
teksi antibodi spesifik dalam serum Balb/c dan supernatan Dewasa
Cacing 50 — 50 20 20 0,257
sel hibrid. Sera diencerkan 1 : 100 sedangkan supernatan Dewasa
1 : 1. Goat anti mouse conjugate diencerkan dengan pengen-
ceran 1: 1000.

45
Tabel 2. Persentase sumur biakan yang menghasilkan sel hibrida dan dosis 20ug — 100ug adalah cara yang cepat dan praktis.
sel hibrida yang menunjukkan reaksi terhadap ekstrak L3
dan cacing dewasa B.malayi pada ELISA. Hasil pembiakan sel hibrid sejumlah 9.7% adalah berbeda
Seri # sumur # sumur %sumur % % Cloning I II dengan hasil peneliti di luar negeri yang mampu menghasilkan
biakan sel sel Elisa Elisa #=% Ketr. sel hibrid sebanyak 60—80%s. Hal ini mungkin sekali disebab-
hibrid hibrid
kan antara lain karena teknis fusi yang belum optimal. Di-
1 864 128 14.8 5 3.9 2=0.41% 11=3.3% mati ketahui adanya banyak faktor yang mempengaruhi hasil
2 576 9 1.6 – – – – mati
3 864 118 13.6 12 10.1 - – mati
fusi dengan menggunakan PEG (polietilenglikol) seperti pH,
4 432 127 29.4 – – – – mati konsentrasi PEG, berat molekul PEG, lamanya kontak dengan
5 300 94 31.3 – – – – mati
6 234 24 10.2 – – – – mati
PEG pada waktu fusi dan beberapa hal lainnya. Faktor-faktor
7 312 53 16.9 – – – – mati lain yang berperan adalah ketrampilan dan pengalaman pe-
8 235 48 24.4 6 12.5 1=0.16 – mati neliti, sarana penunjang seperti inkubator CO2, laminar flow
9 233 8 3.4 – – – – mati
10 134 1 0.7 – – – – mati yang terjamin sterilitasnya, media yang disiapkan dengan
11 233 1 0.4 1 100 1=0.34 – mati saksama, sarana penyimpanan sel hibrid sangat mempengaruhi
12 154 '– – – – – – mati
13 384 11 2.9 – – – – mati hasil keseluruhan dari pengembangan teknik hibridoma ini.
14 453 7 1.5 – – – – mati
15 486 18 3.7 – – – – mati
16 480 9 1.9 – – – – mati
KESIMPULAN DAN SARAN
17 355 – – – – – – mati Pengembangan teknik hibridoma telah dilaksanakan, dan
Total : 6729 656 9.7% 24 3.8 4=0.6
menunjukkan, bahwa dengan cara yang ada, teknik ini dapat
11=3.3
dikembangkan di Indonesia. Beberapa hal masih perlu diting-
katkan untuk mendapatkan hasi! yang optimal. Usaha se-
Hasil Fusi lanjutnya adalah menumbuhkan sel hibrid sebagai sel tumor
Telah dilakukan 40 fusi dengan 6729 sumur biakan. Sel hibrid in vitro sehingga jumlah antibodi monoklonal yang dihasilkan
tumbuh pada 656 (9.7%) sumur biakan. Reaksi ELISA terha- dapat lebih banyak. Karakterisasi antibodi monoklonal perlu
dap L3 terlihat pada 24 (3,8%) dari 656 sumur biakan sel dilaksanakan sehingga diketahui sifat-sifatnya dan kemung-
hibrid. Hasil yang rendah ini umumnya disebabkan oleh kinan kegunaannya.
kontaminasi jamur. Kloning dergan cara limiting dilution
KEPUSTAKAAN
dilakukan pada sumur biakan yang menunjukkan ELISA 1. Ottensen EA. Immunological aspects of lymphatic filariasis and
positif. Biakan 1 sel pada 332 sumur biakan menghasilkan onchocerciasis in man. Transactions of The Royal Society of
11 sumur biakan ELISA positif. Biakan dari 1 sel ii di- Tropical Medicine and Hygiene, 1984; 78 (supplement).
pelihara dan supernatan sebagai antibodi monoklonal disim- 2. Piessens WF, Ratiwayanto S, Piessens WP, Tuti S, Mcgreevy PB,
Darwis F, Palmieri JR, Koiman I and Dennis DT. Effect of treat-
pan. Diusahakan antibodi monoklonal ini dapat diproduksi ment with diethylearbamazine on immune responses to filarial
pada tikus sebagai sel tumor, sehingga dapat dihasilkan anti- antigens in patients infected with Brugia malayi. Acta Tropica
bodi monoklonal dalam jumlah yang banyak. 1981; 38 : 227 — 234.
3. Lutch C, Cesbron JY. Dessaint JP, and Capron A. Circulating and
urinary antigen in lymphatic filariasis: detection of parasite
antigen in asymptomatic patients, and differences in antibody
PEMBAHASAN
isotypes complexes with the antigen between symptomatic and
Imunisasi denganL3 atau cacing dewasa B.malayi menunjuk- asymptomatic subjects.
kan, penyuntikan I intra peritoneal (ip), disusul 2 x suntikan 4. Forsyth KP, Spark R, Kazura J, Brown GV, Peters P, Heywood P,
i.p. dengan interval 1 minggu dan suntikan intra vena 1 minggu Dissanayake S, and Mitchell GF. A monoclonal antibody-based
immunoradiometric assay for detection of circulating antigen
setelah suntikan intraperitoneal terakhir, menghasilkan reaksi in bancroftian filariasis. The Journal of Immunology, 1 3 4 : No. 2,
antibodi spesifik untuk kelas IgG yang cukup tinggi (extincti- February 1985.
on value ELISA terhadap L3 = 0,727). Pada suntikan I dengan 5. Fazelas de St. Groth S, and Scheidegger D. Journal of Immu-
cara subkutan dan i.p., dihasilkan ELISA = 0.541. Dari pe- nological Methods, 1980; 25 : 1—21
nilaian hasil reaksi antibodi, dengan dosis yang berbeda, yaitu
Ucapan Terima Kasih
20, 50 dan 100 ug untuk tiap suntikan tidak memberikan per-
bedaan yang menyolok. Dianjurkan imunisasi L3 atau cacing 1. Kepada Prof Dr. A.A. Loedin dan Dr. Iskak Koiman yang telah
memberikan fasilitas dilakukannya penelitian ini.
dewasa dilakukan dengan cara 3x intraperitoneal dilanjutkan 2. Dr. E. Franke dan Dra. Hilda Hadiputranto yang telah membantu
1 x intra vena dengan interval 1 minggu dengan menggunakan kelancaran teknik hibridoma.

46
"Enzyme Linked Imunnotransblotting Test"
pada Transmigran di Daerah Endemis
Filariasis malayi di Pulau Buton
Basundari Sri Utami*, Liliana Kurniawan*,
WF Piessens*, Hastini*, Robert Widjaja*
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Departement of Tropical Public Health, Harvard School of
Public Health, Boston Massachusetts 02115, U.S.A.

ABSTRAK kronis ini biasanya amikrofilaremik.


Deteksi anti bodi humoral penyakit filariasis telah banyak Penelitian di bidang imunologi dari filariasis limfatik me-
dilakukan dengan berbagai tes, akan tetapi pada umumnya nunjukkan hasil, kelompok penduduk yang amikrofilaremik
belum dapat menggambarkan komponen antigen yang bereaksi mempunyai respon humoral dan seluler yang lebih baik dari-
terhadap antibodi tersebut. Dengan cara penguraian protein pada kelompok penduduk yang mikrofilaremik' ,2. Dengan
dengan menggunakan agar poliakrilamida yang kemudian di- teknik imunofluoresen antibodi tes telah ditunjukkan bahwa
pindahkan ke atas kertas nitroselulose, maka dimungkinkan di dalam serum dari kelompok penduduk yang amikrofilare-
untuk mengetahui komponen antigen tersebut sesuai dengan mik ini terdapat anti sheath antibodi terhadap cacing miro
berat molekulnya. filaria dari kelas Ig G dan Ig M3. Peneliti lain secara in vitro
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana telah menunjukkan bahwa antibodi kelas IgG yang terdapat
perbedaan gambaran umum respon dari penduduk yang dalam serum kelompok amikrofilaremik dapat merangsang
berasal dari daerah non endemis setelah tinggal di daerah en- sel-sel mononuklear untuk menempel pada tubuh cacing mi-
demis filariasis selama lebih dari 5 tahun, 3 tahun dan 2 tahun; krofilaria, sehingga cacing rnikrofilaria dikelilingi oleh' sel-sel
terhadap macam-macam protein antigen dari mikrofilaria mononuklear dan akhirnya mati. Peristiwa ini oleh para
B. malayi. peneliti disebut ADCC (Antibody Dependent Cell Citotoxyci-
Telah diperiksa 69 serum dari penduduk transmigran ty) 4,5 . Dapat disimpulkan, di dalam serum kelompok pen-
yang tinggal di daerah endemis filariasis malayi di P. Buton. duduk amikrofilaremik terdapat antibodi yang bersifat pro-
Pemeriksaan dilakukan dengan cara ELISA dan Imunoblot- tektif, yang mampu melindungi terhadap penularan cacing
ting. Dari hasil pemeriksaan ditemukan komponen-komponen filaria meskipun mereka tinggal di daerah yang endemis.
protein antigen dari ekstrak mikrofilaria malayi yang kemung- Dari kenyataan di atas, timbul pertanyaan, apakah sebenar-
kinan berperan dalam respon imun. Komponen tersebut adalah nya yang terjadi sehingga terdapat perbedaan kelompok yang
berat molekul 75 kd, 70 kd dan 25 kd. mampu melindungi diri terhadap penularan? Diduga ada pro-
tein tertentu dari tubuh cacing filaria yang mampu merangsang
PENDAHULUAN sistem imunitas sehingga terbentuk antibodi yang bersifat
Penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis dapat protektif. Dengan adanya penduduk yang masuk ke daerah
dikelompokkan menjadi dua kelompok; yaitu kelompok pen- endemik dari daerah non endemik (transmigran), maka dapat
duduk yang amikrofilaremik dapat disertai dengan gejala dipelajari respon imun filariasis sejak seseorang pertamakali
klinis seperti : limfangitis, limfadenitis; jurga dapat tidak di- ke daerah .endemis dan terpapar dengan penyakit filaria,
sertai dengan gejala klinis sama sekali. Kelompok yang kedua sampai timbul gejala klinis.
adalah penduduk yang mikrofilaremik yang dapat disertai Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
dengan gejala atau tidak disertai dengan gejala klinis. Di- perbedaan respon imun dari penduduk yang berasal dari
samping kedua kelompok tersebut di atas ada kelompok pen- daerah non endemis setelah tinggal selama lebih dari 5 tahun,
duduk dengan gejala klinis elefantiasis, di mana dalam fase 3 tahun dan 2 tahun di daerah endemis filariasis. Disamping

47
itu, dipelajari respon antibodi dari penduduk amikrofilaremik peratur 37° C. Dicuci 3 x 5 menit dengan PBS tween. Sub-
dan mikrofilaremik terhadap macam-macam protein menurut strat ditambahkan dan dibaca pada ELISA reader setelah di-
berat molekul dari antigen mikrofilaria B. malayi. Penduduk tunggu 30 menit. Sebagai pasien kontrol dilakukan hal yang
yang tetap amikrofilaremik di daerah endemik diperkirakan sama terhadap 17 orang asal Sukabumi Jawa Barat. Tes ELISA
akan menunjukkan adanya antibodi yang bersifat protektif dianggap positif apabila titernya menunjukkan 0,163 atau
yang dirangsang oleh komponen antigen tertentu dari mikro- lebih.
filaria. Pemeriksaan dilakukan dengan renggunakan teknik Tes antibodi secara kualitatif
ELISA dan EITB (Enzyme Linked Immuno Transbloting), Deteksi antibodi terhadap cacing mikrofilaria secara
dengan menggunakan antigen ekstrak dari cacing mikrofilaria. kualitatif dilakukan dengan teknik EITB dari Harry Towbin
BAHAN DAN CARA dan Victor Tsang6,7 , terhadap 69 serum transmigran.
Populasi sampel Tes transbloting dilakukan dalam 3 fase :
Telah dikumpulkan serum dari 69 orang transmigran fase I : penguraian ekstrak antigen mikrofilaria secara elek-
asal P. Bali. Sera tersebut berasal dari penduduk mikrofilare- troforesis pada agar poliakrilamide.
mik dan amikrofilaremik yang tinggal di 3 desa di P. Buton. fase II : pemindahan protein yang telah terurai ke atas
18 orang telah tinggal selama 2 tahun di desa Wakalambe kertas nitroselulose secara elektroforesis.
dengan mikrofilaria rate 0,65%, 22 orang telah tinggal selama fase III : kertas nitroselulose yang telah mengandung anti-
3 tahun di desa Wanajati dengan mikrofilaria rate 3,11%; gen di potong-potong menurut jalur antigen, di tes
29 orang telah tinggal selama lebih dari 5 tahun di desa Nka- dengan teknik ELISA.
ring-N karing dengan mikrofilaria rate 5,1% (Tabel I) . Kertas diinkubasi dengan serum selama 90 menit pada tern-
Tabel I : Populasi penduduk transmigran asal P. Bali yang diambil peratur kamar sambil digoyangkan (pengenceran serum 1 . 200);
sebagai sampel penelitian. dicuci dengan PBS tween 4 x 20 menit dengan digoyangkan.
Nkaring- Konyugasi dilakukan dengan menggunakan conjugate Peroxi-
Wanajati Wakalambe
Nkaring dase anti human IgG (produksi MILLES SCIENTIFIC) dengan
pengenceran 1 : 1000, inkubasi selama 60 menit dalam tern-
Mikrofilaria rate 5,1% 2,11% 0,65%
Mikrofilaremik (12) 8 1 3 peratur kamar. Setelah dicuci dengan PBS tween 4 x 20 menit
Amikrofilaremik (57) 21 21 15 ditambahkan substrat 3' 3' diamino benzidine. Bila tes positif
akan timbul pita-pita berwarna cokat pada kertas nitroselulo-
se. Berdasarkan berat molekul standar (produksi BIO RAD)
Antigen berat molekul pita-pita tersebut ditentukan.
Larutan ekstrak dari mikrofilaria B. malayi yang dibiak-
kan pada Gerbil, dipakai sebagai antigen. Cacing mikrofilaria Hasil dan Pembahasan
digerus dengan menggunakan tissue grinding, kemudian di- Pemeriksaan IgG secara kuantitatif menunjukkan, pen-
sonikasi selama 3 x 3 detik; mikrofilaria yang telah hancur duduk (transmigran) dari desa Wakalambe menunjukkan har-
disuspensikan dengan PBS ph. 7,2 disentrifugasi dengan ke- ga rata-rata tertinggi (0,553) dibandingkan desa Wanajati
cepatan 10.000 RPM selama 5 menit. Endapan di buang dan dan Nkaring-Nkaring yang masing-masing menunjukkan harga
supernatannya dikumpulkan. Pengukuran kadar protein dari 0,328 dan 0,275; meskipun transmigran desa Wakalambe me-
larutan ekstrak dilakukan dengan menggunakan Spektrofoto- rupakan transmigran yang lebih baru di bandingkan transmi-
meter dengan panjang gelombang 280. Antigen disiapkan dalam gran dari Wanajati dan Nkaring-Nkaring. Sedangkan harga
konsentrasi 800 Ug/ml untuk tes ELISA, 1000 Ug per ml un- rata-rata IgG transmigran Wanajati dibandingkan dengan
tuk tes transbloting. Antigen disimpan dalam aliquot pada transmigran Nkaring-Nkaring, tidak menunjukkan perbedaan yang
4°C. nyata (tabel II). Meskipun transmigran dari Wakalambe baru
tinggal'selama 2 tahun di daerah endemis, tetapi di dalam
Tes antibodi secara kuantitatif
serum mereka telah ada antibodi IgG dengan harga rata-rata
Untuk mendeteksi antibodi terhadap cacing mikrofilaria
yang sama dengan harga rata-rata penduduk ash Wakalambe
secara kuantitatif, telah dilakukan tes ELISA terhadap 69sera.
(0,513). Telah di survai dan ditemukan nyamuk a. barbiros-
Antigen yang dipakai adalah ekstrak dari cacing mikrofilaria;
tris di desa Wakalambe. Jadi kemungkinan hal ini disebabkan
dengan menggunakan conjugate alkaline phosphatase anti
karena transmigran tinggal di lokasi yang letaknya di tengah-
human IgG (produksi MILLES- YEDA LTD.) 2 Ug antigen
tengah penduduk asli Wakalambe yang mempunyai mikro-
dalam 50 U1 ekstrak ditempelkan pada mikro ELISA plate.
Setelah di 'bloking dengan 0,5% BSA dalam PBS ph. 7,2; 50 Tabel II : Harga rata-rata anti mikrofilaria IgG dari penduduk Wana-
UI serum dengan pengenceran 1 : 1000 ditambahkan dan jati, Nkaring-Nkaring, dan Wakalambe di P. Buton, Sulawesi
Tenggara.
diinkubasi dalam 37° C selama 1 jam. Pencucian dilakukan
3 x 5 menit dengat PBS tween. Conjugate anti human IgG Wanajati Nkaring-Nkaring Wakalambe
(produksi MILLES YEDA LTD.) ditambahkan dengan pe-
0,328 ±0,3 0,275 ±0,3 0,553 ±0,3
ngenceran 1 : 1000 dan diinkubasi selama 1 jam dalam tern-

48
filaria rate 24%. Lain halnya dengan desa Wonco yang mem- mempunyai anti mikrofilaria IgG terhadap berat molekul an-
punyai mikrofilaria rate 8,51% terletak lebih kurang 3 km dari tara 20 kd sampai 70 kd. Sedang penduduk dengan gejala
desa Wanajati. Jadi transmigran dari Wakalambe mendapat elefantiasis mempunyai anti mikrofilaria IgG terhadap berat
pemaparan yang lebih intensif dari transmigran dari Wana- molekul antara 80 kd sampai 160 kd8. Hal ini mirip dengan
jati dan Nkaring-Nkaring. penelitian ini bahwa penduduk mikrofilaremik mempunyai
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari gambaran anti mikrofilaria IgG terhadap antigen dengan berat molekul
respon antibodi dari penduduk (transmigran) terhadap macam- rendah antara 15 kd sampai 75 kd, kecuali 2 orang dari desa
macam protein antigen dari cacing mikrofilaria. Enam puluh Wakalambe dan Wanajati. Pada makalahnya Rabia menerang-
sembilan sera yang telah dites dengan cara ELISA juga di- kan, dengan kemampuan mengenal antigen yang lebih sedikit
lakukan tes imunobloting untuk mengetahui kualitas antibodi dari penduduk mikrofilaremik kemungkinan ada hubungan-
nya dengan kurang mampunya respon imun baik yang ber-
yang terdapat dalam sera tersebut. Duapuluh sembilan dari
sifat seluler maupun humoral seperti yang dituliskan oleh
empatpuluh empat sera yang positif pada ELISA menunjuk-
Piessens dan kawan-kawan'. Sulit menerangkan mengapa 2
kan basil positif pada tes imunobloting; 15 sera yang lain me- orang yang mikrofilaremik dari Wakalambe dan Wanajati
nunjukkan basil negatif (tabel III). Ini mungkin karena 15 sera mempunyai IgG terhadap protein berat molekul 25 kd sampai
ini mempunyai titer antibodi IgG yang belum cukup untuk 165 kd. Alasan yang dapat dikemukakan di sini ialah terlalu
menangkap macam-macam protein mikrofilaria pada tes sedikitnya jumlah sampel mikrofilaremik dengan tes bloting
imunobloting, mengingat sensitifitas dari tes ELISA yang positif (6 orang), sehingga sulit untuk diambil kesimpulan.
tinggi. Ini terlihat dari 29 sera yang positif pada tes imuno- Hasil lain pada penelitian ini; penduduk Wanajati yang
bloting tersebut mempunyai harga rata-rata IgG yang lebih amikrofilaremik mempunyai antibodi dengan berat molekul
tinggi (0,655) dibandingkan dengan harga rata-rata IgG dari dari 15 kd sampai 80 kd; berlainan dengan penduduk amikro-
15 sera yang negatif pada tes imunobloting (0,257). (tabel filaremik Nkaring-Nkaring dan Wakalambe, mereka mem-
III). punyai antibodi yang mampu mengenal antigen dengan jarak
yang lebih luas, dari berat molekul 13 kd sampai 165 kd.
Tabel III. Hasil pemeriksaan serum transmigran asal P. Bali dengan Menurut pendapat penulis hal ini terjadi karena penduduk
teknik Imunobloting dan ELISA.
Nkaring-Nkaring telah tinggal selama lebih dari 5 tahun, dan
penduduk Wakalambe tinggal di daerah yang mempunyai
kepadatan mikrofilaria tinggi, sehingga mereka telah cukup
mendapatkan pemaparan mikrofilaria untuk terbentuk anti-
bodi yang lebih luas dibandingkan dengan pendudukWanajati.
Pada histogram I terlihat hasil pemeriksaan 29 sera dari
penduduk yang positif pada tes ELISA dan imunobloting;
Gambar I menunjukkan, transmigran dari Wanajati yang 17 dari mereka mempunyai antibodi IgG terhadap komponen
mikrofilaremik mempunyai antibodi terhadap protein mikrofi- protein cacing mikrofilaria dengan berat molekul antara
laria dengan berat molekul 58 kd, 65 kd, 95 kd, 140 kd. 79 kilodalton sampai 70 kilodalton, dan 69 kilodalton sampai
Sedangkan transmigran dari Nkaring-Nkaring 2 yang mikro- 60 kilodalton; 12 orang mempunyai antibodi terhadap berat
filaremik mempunyai antibodi terhadap protein antigen de- molekul antara 30 sampai 21 kilodalton.
ngan berat molekul 65 kd, 60 kd, 25 kd dan 15 kd. 2 orang Histogram II adalah basil imunobloting dari 25 orang pen-
transmigran dari Wakalambe yang mikrofilaremik mempu- duduk amikrofilaremik. 24 dari 25 orang mempunyai anti-
nyai antibodi terhadap protein antigen dengan berat molekul bodi IgG terhadap berat molekul 79 — 70 kd, 22 dari 25
orang mempunyai antibodi IgG terhadap berat molekul 69 — 60 kd
75 kd, 70 kd, 42 kd, 38 kd, 30 kd dan 21 kd. Sedang 1 orang
dan 22 dari 25 orang mempunyai antibodi terhadap berat
lainnya mempunyai antibodi terhadap berat molekul antara
molekul 30 — 21 kd. Apabila dilihat lebih lanjut pada dua
25 kd sampai 165 kd. histogram tersebut, ternyata bahwa berat molekul yang me-
Gambaran antibodi dari transmigran yang amikrofilare- nonjol adalah 75 kd, 70 kd, 65 kd, 60 kd dan 25 kd (gambar
mik terlihat pada gambar II; 8 orang transmigran dari Wana- III).
jati yang telah tinggal selama 3 tahun, mempunyai antibodi Causal dan kawan-kawan melakukan penelitian dengan
terhadap protein antigen dari cacing B. malayi dengan berat cara memproduksi antibodi monoklonal pada mencit dengan
molekul dari 15 kd sampai 80 kd. Sedang 6 orang transmi- cara menyuntikkan mikrofilaria hidup lewat intraperitoneal.
gran dari Nkaring-Nkaring yang telah tinggal selama lebih Antibodi yang terbentuk ternyata mampu menurunkan mikro-
dari 5 tahun, juga 11 orang transmigran dari Wakalambe yang filaremia pada gerbil setelah disuntikkan ke gerbil yang mikro-
barn tinggal selama 2 tahun mempunyai gambaran antibodi filaremik, antibodi ini ternyata mampu mengenal protein
yang mirip, yaitu mereka mempunyai antibodi terhadap pro- mikrofilaria dengan berat molekul 75 dan 70 kd pada tes
tein dengan berat molekul dari 15 kd sampai 165 kd. Rabia transbloting.9 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Hussain melakukan hal yang mirip dengan penelitian ini ter- Kazura, antibodi monoklonal yang mampu menurunkan
hadap penduduk India yang tinggal di daerah endemis Filaria jumlah mikrofilaria dalam darah mencit adalah antibodi ter-
bancrofti. Ia menyatakan, penduduk yang mikrofilaremik hadap antigen dengan berat molekul 25 kd. Perbedaan ini

49
Gambar III.

oleh Kazura diterangkan bahwa, dalam membuat antibodi


monoklonal Causal menggunakan mikrofilaria hidup, sedang
Kazura menggunakan ekstrak dari mikrofilaria1°. Jadi ke-
mungkinan antibodi terhadap berat molekul 75 dan 70 kd ber-
asal dari bagian luar tubuh cacing, dan antibodi terhadap berat
molekul 25 kd berasal dari bagian dalam tubuh cacing. Dan
antibodi terhadap berat molekul 75, 70 dan 25 kd ini ke-
mungkinan bersifat protektif.
Dissanayake dan kawan-kawan, telah mencoba untuk men-
deteksi antigen W. bancrofti yang bersirkulasi di dalam serum
darah penduduk Sri Lanka dan Papua New Guinea, dengan
menggunakan antibodi monoklonal yang dibuat dari Oncho-
cerccr gibsoni . Ternyata antibodi tersebut dapat mendeteksi
antigen mikrofilaria terhadap penduduk yang mikrofilaremik
dan amikrofilaremik. Setelah dilakukan tes imunobloting,
ternyata antibodi monoklonal ini bereaksi terhadap berat
molekul 67 dan 52 kd11 . Pada basil penelitian ini ternyata juga
terdapat antibodi IgG yang bereaksi dengan berat molekul
65 dan 60 kd. Apakah komponen protein ini hanya terdapat
pada cacing B. malavi atau terdapat juga pada species yang lain
sehingga dapat menyebabkan reaksi silang pada tes.
KESIMPULAN
Histogram I.: Hasil pemeriksaan 29 sera penduduk transmigran yang positif Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan; di dalam sera
pada tes ELISA dan Imunobloting. penduduk amikrofilaremik ternyata mempunyai antibodi IgG
terhadap protein mikrofilaria dalam jarak yang lebih luas,

50
Kalimantan, Borneo. A J Trop Med Hyg 1980; 29 (4): 553 — 562.
4. Ratiwayanto S, McGrevy MM, Tuti S. Protective Immunity to
Infections with Subperiodic B. malayi microfilariae in Man.
(Unpublished)
5. Piessens WF, Beldekas M. DEC Enhances Antibody Mediated
Cellular Adherences to B. malayi microfilariae. Nature 1979;
282 (5471): 845 — 847.
6. Towbin H, Staehelin T, Gordon J. Electrophoretic Transfer
of Protein from Polyacrylamide Gels to Nitrocellulose Sheets: Pro-
cedure and some Applications. Proc Natl Acad Sci USA 1979;
76 (9): 4350 — 4354.
7. Victor Tsang CW, Jose Paralta M, Ray Simaon A. Enzyme Linked
Immuno-electro transfer blott techniques (EITB) for studying the
specigities of antigens and antibodies separated by gel electro-
phoresis. Meth Enz 1983; 92: 377 — 391.
8. Hussain R, Ittesen EA. IgE Responses in Human filariasis III
Specifities of IgE and IgG Antibodies Compared by Immunoblot
anal••sis. J Immunol 1985; 135: 1415 — 1420.
9. Cau '1 M, Wadee A, Lamontagne L, Piessens WF. A Monoclonal
Antibody to Surface antigens on microfilaria of B. malayi Reduces
microfilaremia in jirds. A J Trop Med Hyg 1984; 33: 420 — 424.
10. Kazura JW, Cicirelo H, Forsyth K. Differential recognition of a
protective filarial antigen by antibodies from human with Ban-
croftian filariasis. J Clin Invest 1986; 77: 1985 — 1992.
11. Dissanayake S, Forsyth K, Ismail MM, Mitchell CF. Detection of
Circulating antigen in Bancroftian filariasis by using a monoclonal
antibody. A J Trop Med Hyg 1984; 33 (6): 1130 — 1140.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. A.A. Loedin,
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; dr. Iskak
Koiman, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, yang telah mem-
bantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Sulawesi Tenggara dan Kepala Kantor P2M
dan PLP dan staf di Sulawesi Tenggara, yang telah membantu terse-
lenggarakannya penelitian ini, juga kepada teman-teman staf Immuno-
logi Pusat Penelitaan Penyakit Menular, saya ucapkan terimakasih se-
Histogram II.: Hasil pemeriksaan 25 sera penduduk transmigran yang besar-besarnya, yang telah membantu selama penelitian dan dalam
amikrofilaremik dan 6 yang mikrofilaremik. pengumpulan sampel yang dipakai untuk penelitian ini.

yaitu dari 165 — 15 kd, dibandingkan dengan sera penduduk


mikrofilaremik. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan
lebih rendahnya kemampuan respon seluler dan humoral dari
penduduk mikrofilaremik. Ada kecenderungan, mayoritas
penduduk amikrofilaremik mempunyai antibodi terhadap
protein mikrofilaria dengan berat molekul 75, 70, 25 kd. Pada
mencit dan gerbil antibodi ini telah terbukti dapat menurun-
kan mikrofilaremia dalam darah. Apakah pada manusia anti-
bodi ini akan mempunyai akibat yang sama terhadap mikro-
filaria? Apabila antibodi terhadap komponen protein ini dapat
diisolasi, kemudian dites dengan cara invitro menggunakan sel
mononuklear, seperti yang dilakukan oleh McGreevy dan
kawan-kawan4, kemungkinan akan dapat menjawab pertanya-
an ini.
KEPUSTAKAAN
1. Piessens WF, McGreevy PB, Piessens PW. Immune Responses In
Human Infection with Brugia malayi : Specific Cellular Unres-
ponsiveness to Filarial Antigens. J Clin Invest 1980; 65 : 172 --
179.
2. Ottesen EA, Weller PF, Heck K. Specific Cellular Unresponsive-
ness In Human Filariasis. Immunol 1977; 33: 413 — 421.
3. McGreevy PB, Ratiwayanto S, Tuti S, McGreevy MM, Dennis DT.
Brugia malayi Relationship between antigen-sheath antibodies
and amicrofilaria in Natives Living in an Endemic Area of South

51
Penggunaan Klon DNA untuk
Mendekteksi Larva Infektif Brugia
malayi pada Nyamuk
Syahrial Harun*, Betty K.L. Sim**,
Willy F. Piessens** dan Liliana Kurniawan*
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Department of Tropical Public Health, Harvard School of
Public Health, Boston, Massachusetts, U.S.A.

ABSTRAK selain memerlukan waktu dan tenaga yang banyak juga tidak
Cara biasa dalam menentukan vektor filariasis banyak me- dapat membedakan larva Brugia malayi dengan Bnigia pa-
merlukan waktu dan tenaga. Selain itu tidak dapat membeda- hangi. Kedua jenis filaria ini sering dijumpai bersama-sama
kan Brugia malayi dengan Brugia pahangi jika filaria ini ter- di suatu daerah2's. Klon DNA pBm 15 yang digunakan sebagai
dapat bersamaan di suatu daerah. Perkembangan bioteknologi/ probe untuk mendeteksi larva infektif Brugia malayi menun-
DNA rekombinan telah berhasil mendapatkan klon DNA jukkan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi6. Klon ini
pBm 15 yang dapat digunakan sebagai probe yang spesifik telah dicoba di laboratorium untuk mendeteksi larva infektif
untuk mendeteksi Brugia malayi dengan kepekaan yang tinggi, dari nyamuk. Larva infektif dipisahkan dari nyamuk dan di-
dapat mendeteksi (hibridisasi) sampai 300 pikogram ekstrak lakukan hibridisasi dengan pBm 15 yang dilabel dengan radio-
DNA mikrofilaria atau satu larva infektif Brugia malayi. isotop32P. Metode ini jika digunakan di lapangan sangat sulit,
Telah dilakukan penelitian pendahuluan penggunaan klon karena nyamuk terlebih dahulu harus dibedah untuk me-
DNA pBm 15 untuk mendeteksi larva infektif Brugia malayi misahkan larva dari tubuh nyamuk. Cara praktis yang diharap-
pada nyamuk (vektor). Cara praktis pemakaian klon ini agar kan mudah dilakukan di lapangan adalah dengan membuat
dapat dipakai di lapangan adalah dengan membuat sediaan preparat nyamuk langsung pada kertas nitroselulosa. Namun
nyamuk langsung pada kertas nitroselulosa. Ternyata cara ini ternyata cara ini menimbulkan non-specific binding yang di-
menimbulkan masalah, yaitu terjadinya non-specific binding, sebabkan oleh komponen tubuh nyamuk.
sehingga didapat hasil yang keliru (false positive). Untuk meng- Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perlaku-
atasi masalah ini dicoba suatu perlakuan enzimatik terhadap an enzimatik (proteinase dan kitinase) dapat menghilangkan
sediaan nyamuk sebelum hibridisasi. Perlakuan proteinase non-specific binding yang terjadi jika probe pBm 15 digunakan
150 ug/ml dan dilanjutkan dengan kitinase 100 ug/ml dapat untuk mendeteksi larva infektif Brugia malayi secara langsung
mengatasi masalah non-specific binding ini tanpa mempenga- dari nyamuk. Penelitian dilakukan di Department of Tropical
ruhi kepekaan tes. Public Health, Harvard School of Public Health, Boston, U.S.A.

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA KERJA


Filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di
berbagai dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonsia filariasis Membuat sediaan nyamuk pads kertas nitroselulosa
pada manusia disebabkan oleh Brugia malayi, Wuchereria Nyamuk Aedes togoi setelah 14 hari diinfeksi dengan
bancrofti dan Brugia timoril . Di samping itu ditemukan juga Brugia malayi, difiksir (squash) di atas kertas nitroselulosa
filaria pada binatang, seperti Brugia pahangi yang terdapat (Biorad Laboratory). Pada setiap lembar sediaan difiksir juga
pada kucing dan kera. Brugia malayi selain terdapat pada nyamuk yang tidak infektif serta ekstrak DNA Brugia malayi
manusia juga ditemukan pada kucing dan kera. Vektor Brugia masing-masing sebagai kontrol negatif dan kontrol positif.
malayi telah banyak diketahui, akan tetapi vektor Brugia Sediaan dikeringkan selama 30 menit dan dilisis serta denatu-
pahangi sampai saat ini belum ada laporan2,3,4. rasi dengan 0,5 M NaOH. Kemudian dinetralisasi dengan 1 M
Untuk mengetahui vektor filariasis biasanya dilakukan Tris-HC1 pH 7,4 dan 1,5 M NaCl + 0,5 M Tris-HC1 pH 7,4.
dengan membedah nyamuk satu demi satu dan dilihat ada Selanjutnya dikeringkan dan dimasukkan ke dalam inkubator
atau tidak larva dengan mikroskop stereoskopik. Cara ini 70°C selama 90 menit.

52
Perlakuan enzimatik
Sediaan nyamuk dibagi atas empat kelompok. Setiap ke-
lompok terdiri dari lima sediaan kertas nitroselulosa, di mana
setiap kertas terdapat 10 nyamuk infektif dan 10 nyamuk
tidak infektif. Kelompok I tidak diberi perlakuan enzimatik, :. - . .z.. -------------
kelompok II diberi perlakuan proteinase 150 ug/ml, kelompok
III dengan kitinase 100 ug/ml dan kelompok IV dengan pro-
teinase 150 ug/ml dilanjutkan dengan kitinase 100 ug/ml.
Sebelumnya telah dicoba berbagai konsentrasi enzim dan ter-
nyata proteinase 150 ug/ml serta kitinase 100 ug/ml merupa-
kan konsentrasi yang optimal.
Hibridisasi
Tes hibridisasi dilakukan menurut Sim et a16. Sediaan
nyamuk pada kertas nitroselulosa diprehibridisasi selama 2
jam pada temperatur 42°C dalam cairan prehibridisasi yang Gam bar 2 : Larva infektif Brugia malayi yang dipisahkan dari
nyamuk dan difiksir pads kertas nitroselulosa. Hibridi-
terdiri dari 0,02% ficoll, 0,02% BSA, 0,02% polivinilpirolidon, sasi dengan probe pBm 15 dan diautoradiografi selama
5 X SSC, 100 ug/ml salmon sperm DNA, 50% formamide dan 18 jam. A = 4 larva; B = 3 larva; C = 21arva; D = 1 larva
0,1% SDS. Kemudian dilakukan hibridisasi selama 16 jam an E= PBS.
pada temperatur 42°C dengan Mon DNA pBm 15 yang dilabel
Larva infektif Brugia malayi yang difiksir pada kertas nitro-
dengan radioisotop 32P. Kemudian dicuci tiga kali 30 menit selulosa. Sensitivitās probe ini terhadap larva infektif me-
pada temperatur 50°C dengan 0,1 X SSC, 0,5% SDS. Setelah mungkinkan terdeteksinya larva pada nyamuk, karena biasa-
kering dilakukan evaluasi dengan autoradiografi pada film sinar nya pada nyamuk terdapat lebih dari satu larva infektif.
X (XAR-5 Kodak). Bercak hitam pada film sinar X ditafsirkan Sediaan nyamuk yang langsung difiksir pada kertas nitro-
terjadi hibridisasi atau sediaan positip Bn4gia malaya. selulosa' dan dilakukan hibridisasi dengan klon DNA pBm 15
HASIL DAN PEMBAHASAN memperlihatkan bercak hitam pada film sinar X baik terhadap
Untuk melihat spesifisitas dan kepekaan probe DNA pBm nyamuk infektif maupun nyamuk yang tidak infektif (gambar
15, dibuat sediaan ekstrak DNA mikrofilaria Brugia malayi, 3). Terjadinya bercak hitam pada nyamuk yang tidak infektif
Bnigia pahangi, Wuchereria bancrofti dalam berbagai konsen- disebabkan terjadinya non-specific binding yang ditimbulkan
trasi (50 nanogram — 0,25 nanogram). Pada gambar 1 terlihat oleh komponen tubuh nyamuk maupun oleh bloodmeal6.
Menurut Shah et ala, non-specific binding dapat dihilangkan
dengan ditergent atau perlakuan enzim.

Gam bar 3 Nyamuk infektif Brugia malayi tanpa perlakuan enzimatik


Gambar 1 : Ekstrak DNA mikrofilaria dalam berbagai konsentrasi langsung dihibridisasi dengan probe pBm 15, Autoradiogafi
dihibridisasi dengan probe pBm 15. Autoradiografi selama 18 jam. Barb D adalah nyamuk tidak infektif,
selama 18 jam, satu screen. A & B Brugia- malayi, memperlihatkan "non-specific binding".
C= Bridge pahangi, D = Wuchereria bancrofti
bahwa Bn4gia malayi dapat terdeteksi (hibridisasi) sampai 0,5 Penggunaan enzim proteinase dan kitinase dalam berbagai
nanogram atau 500 pikogram. Menurut Sim et a16 dengan kosentrasi memperlihatkan, proteinase 150 ug/ml dan kitinase
menggunakan probe pBm 15 dapat terdeteksi sampai 300 100 ug/ml memberikan basil yang optimal. Pada gambar 4
pikogram dan ini kurang dari satu mikrofilaria, karena dari terlihat basil pemberian proteinase 150 ug/ml terhadap sediaan
satu mikrofilaria dapat diekstraksi sampai 700 pikogram DNA. nyamuk sebelum hibridisasi dilakukan. Non-specific binding
Dengan ekstrak DNA Brugia pahangi dan Wuchererits bancrofti sudah dapat dihilangkan walau masih terdapat sedikit bercak
tidak terjadi hibridisasi walau pada konsentrasi 50 nanogram. hitam. Gambar 5 pemberian kitinase 100 ug/ml dapat mengu-
Dengan filaria lain baik filaria binatang maupun filaria manusia rangi non-specific binding. Jika nyamuk yang difiksir mengan-
yang lain juga tidak terjadi hibridisasi silang'. dung darah (blood fed), perlakuan kitinase tidak berhasil
Gambar 2 memperlihatkan basil hibridisasi terhadap satu menghilangkan non-specific binding. Perlakuan proteinase

53
nyamuk tidak infektif dapat terhibridisasi dengan baik.
Gambar 8 mempenlihatkan hasil hibridisasi jika tubuh
nyamuk dipisah-pisahkan atas toraks tambah kepala dan
abdomen. Ternyata hibridisasi lebih jelas. terjadi pada bagian
toraks tambah kepala, sedang bagian abdomen memberikan
gambaran yang lebih lemah. Hal ini dapat dimengerti, karena
larva infektif filaria lebih banyak terdapat pada bagian kepala
dan toraks dan ada beberapa yang bermigrasi ke bagian lain
tubuh nyamuk9.

Gambar 4 : Nyamuk infektif Brugia malayi dengan perlakuan pro-


teinase K 150 ug/ml dihibridisasi dengan probe pBm 15,;
autoradiografi 18 jam. Bads D lajur 1–5 nyamuk tidak
infektif dan lajur 6 ekstrak DNA Brugia malayi. Masih
terlihat adanya "non-specific binding" pads lajur 5
baris D.

Gambar 7 : Nyamuk infektif Brugia malayi dipisah bagian abdomen


dengan bagian toraks dan kepala diberi perlakuan pro-
teinase K 150 ug/ml dan kitinase 100 ug/ml, hibnidisasi
dengan probe pBm 15, autoradiografi 18 jam. A & C =
toraks dan kepala; B & D = abdomen.

Gambar 5 : Nyamuk infektif Brugia malayi (baris A) dan tidak


infektif (baris B) dengan perlakuan kitinase 100 ug/ml,
hibridisasi dengan probe pBm 15, autoradiografi 18
jam. Masih terlihat "non-specific binding" pada baris
B lajur 2.
150 ug/ml dan dilanjutkan dengan kitinase 100 ug/ml mem-
berikan hasil yang memuaskan baik pada nyamuk yang tidak
mengandung darah maupun yang mengandung darah (gam-
bar 6).
Untuk melihat pengaruh penggunaan enzim pada sediaan
nyamuk terhadap sensitivitas probe, dilakukan dengan mem-
buat sediaan larva infektif bersama-sama dengan nyamuk
tidak infektif dan kemudian diberi perlakuan enzim. Pada
gambar 7 terlihat bahwa dua larva infektif Brugia malayi yang Gambar 8 : Dua larva infektif Brugia malayi difiksir dengan nyamuk
dipisahkan dari nyamuk infektif dan difiksasi bersama dengan tidak infektif bersamaan. Diberi perlakuan proteinase
K 150 ug/ml dan kitinase 100 ug/ml, hibridisasi dengan
probe pBm 15, autoradiografi 18 jam.

KESIMPULAN
• Klon DNA pBm 15 sangat spesifik terhadap Brugia malayi
dan mempunyai kepekaan yang sangat tinggi, dapat mendetek-
si (hibridisasi) sampai 500 pikogram ekstrak DNA mikrofilania
dan satu larva infektif Brugia malayi.
• Jika probe ini digunakan untuk mendeteksi larva infektif
Brugia malayi langsung dan nyamuk, harus dihilangkan non
specific binding yang disebabkan komponen tubuh nyamuk
Gambar 6 : Nyamuk infektif Brugia malayi (bads A) dan tidak dengan perlakuan enzim supaya tidak terjadi hasil yang keliru
infektif (baris B) dengan perlakuan proteinase K 150 ug/ (false positive). Penggunaan proteinase 150 ug/ml dilanjutkan
ml dan kitinase 100 ug/ml, hibridisasi dengan probe
pBm 15 dan autoradiografr 18 jam. Sudah tidak ter- dengan kitinase 100 ug/ml. dapat menghilangkan masalah ter-
lihat adanya "non-specific binding" (baris B). sebut.

54
Peranserta Masyarakat dalam
Pemberantasan Malaria di Robek,
Nusa Tenggara Timur
Emiliana Tjitra*, Allan Lewis**, A. Soeroto***
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Direktorat Jendral P2M. PLP
***Naval Medical Research Unit — 2, Jakarta

ABSTRAK nularan adalah baik, walaupun yang mengikuti penyuluhan


Selama satu tahun sejak Oktober 1984 — Oktober 1985 kesehatan masih jauh dari yang diharapkan.
telah dilakukan penelitian Peran Serta Masyarakat dalam Jadi Peran Serta Masyarakat dalam Program Kontrol
Program Kontrol Malaria di Robek, Kabupaten Manggarai, Malaria berhasil menurunkan insidensi dan populasi vektor
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Adapun penelitian tersebut penyakit malaria karena masyarakat berperan aktif dan terlibat
bertujuan menurunkan insidensi penyakit malaria, populasi langsung sehingga kegiatan ini dapat dikembangkan dan di-
vektor malaria dengan mengurangi sumber penularan dan jadikan contoh untuk daerah lain.
memperbaiki kesehatan lingkungan, dan mengevaluasi peran
serta masyarakat dalam Program Kontrol Malaria. PENDAHULUAN
Selain Robek sebagai daerah penelitian, juga Sante, Piso Sejak dahulu, penyakit malaria merupakan masalah ke-
sebagai daerah kontrol dan keduanya merupakan daerah pe- sehatan terpenting di Nusa Tenggara Timur, karena merupakan
sisir pantai. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan dimonitor salah satu penyakit utama bagi anak-anak dan salah satu pe-
ialah: survei malariometrik (pemeriksaan parasitologis, status nyebab kematian: bagi bayi-bayi. Sedangkan Program Kontrol
gizi, hematokrit dari semua anak-anak di bawah usia 10 Malaria yang selama ini dilaksanakan di beberapa daerah
tahun), penyemprotan DDT oleh penduduk setempat, penyu- tampaknya kurang memuaskan hasilnya dalam menurunkan
luhan kesehatan, penelitian entomologi, penemuan kasus insidensi. Oleh sebab itu, sesuai dengan tujuan Operasi Nusa
secara aktif dan pasif serta pengurangan sumber penularan. Sehat - Gerakān Nusa Sehat yang dicanangkan oleh Pemda
Temyata didapat penurunan Slide Positive Rate yang Nusa Tenggara Timur, yaitu mencapai kesehatan yang lebih baik
bermakna (p < 0,01) di Robek, yaitu dari 15,5%menjadi 2,1% melalui peran serta masyarakat, maka dilakukan peneliti-
dan penurunan Man Biting Rate di kedua daerah tersebut. an Peran Serta Masyarakat dalam Program Kontrol Malaria
Penurunan Man Biting Rate di Sante/Piso besar kemungkinan di Robek. Penelitian ini dilakukan pada Oktober 1984 — Ok-
nya bukan berarti penurunan populasi vektor, tetapi disebab- tober 1985, di Robek, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa
kan karena adanya komponen.zoofilik dan di Robek berarti Tengara Timur karena sebelumnya telah dilakukan penelitian
penurunan populasi vektor. Anopheles subpictus merupakan malaria oleh NAMRU sehingga memudahkan untuk mendapat
vektor utama yang diketemukan di kedua daerah tersebut. sensus, insidensi malaria dan tenaga atau penduduk setempat
Juga di Robek ditemukan perbaikan nilai hematokrit yang yang terlatih membuat sediaan darah, hematokrit, survei
bermakna (p < 0,01), yaitu dui 79,5% yang mempunyai entomologi dan sistem pencatatan yang baik.
nilai hematokrit > 32 menjadi 90,7%. Demikian pula didapat Robek merupakan daerah pesisir pantai, di mana banyak
perbaikan status gizi yang bermakna (p < 0,01) di Robek ditemui sumber dan tempat pembiakan vektor yaitu lagun-
yaitu dari 22,4% yang mempunyai gizi buruk menjadi 13%. lagun dan tempat genangan air lainnya. Selama ini masyarakat •
Sedangkan cakupan penyemprotan DDT berhasil 100% dan pe- Robek tidak pernah ambil bagian dalam Program Kontrol
ran serta masyarakat dalam mencari dan berobat kasus panas Malaria dan tidak ada Program Penyuluhan tentang pencegah-
yang mungkin malaria, serta dalam mengurangi sumber pe an dan kontrol malaria. Distribusi penduduk Robek dapat di-

55
lihat pada tabel 1. oleh staf kesehatan :
Sante/Piso terpilih sebagai daerah kontrol dalam peneliti- • Survei malariometrik
an ini juga merupakan daerah pesisir pantai, 7 km dari Survei ini termasuk pemeriksaan sediaan darah tipis dan tebal,
Robek, di mana tidak pernah mendapat pengalaman Program status gizi dengan cara mengukur tinggi badan dan berat ba-
Kontrol Malaria. Disrtribusi penduduk Sante/Piso dapat dilihat dan, dan pemeriksaan hematokrit dari semua anak-anak di
pada tabel 1. bawah usia 10 tahun.
Tabel 1 : Distribusi penduduk berdasarkan golongan umur dan daerah. • Data Entomologi diambil dari beberapa tempat di daerah
tersebut. Dua kali sebulan dilakukan dan dicatat hasil dari
DAERAH GOLONGAN UMUR (TAHUN) JUMLAH Man Biting Rate (data-data lain akan dibahas dalam Peng-
<1 1—4 5—9 10— amatan Entomologi pada Penelitian Peran Serta Masyarakat
dalam Program Kontrol Malaria di Robek).
• Penyemprotan DDTdinilai dari target cakupan dan kuali-
Robek 58 169 244 757 1228
tas penyemprotan.
Sante/Piso 31 83 86 336 536 • Kegiatan peran serta masyarakat dinilai dari jumlah pe-
Total 89 252 330 1093 1764 ngunjung pertemuan atau penyuluhan dan jumlah penduduk
yang turut kegiatan mengurangi sumber penularan.
• Penemuan kasus dinilai sesuai dengan jumlah penunjung
Dari Peran Serta Māsyarakat diharapkan masyarakat pada Pos Kesehatan (Balai Kesehatan) untuk mendapat peng-
mengerti dan bertanggungjawab atas Program Kontrol Malaria, obatan panas yang diduga malaria.
juga terlibat langsung dalam segala kegiatan pencegahan.
Jadi penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran HASIL
serta masyarakat dalam Program Kontrol Malaria untuk : Dengan kombinasi penyemprotan DDTdan kontrol vektor
1. menurunkan insidensi penyakit malaria. terlihat penurunan bermakna (p < 0,01) dari Slide Positive
2. menurunkan populasi vektor malaria dengan mengurangi Rate di Robek, sedangkan di Sante/Piso tidak bermakna,
sumber penularan dan memperbaiki kesehatan lingkungan. p > 0,05 (tabel 2).
Tabel 2 : Hasil pemeriksaan darah anak-anak <10 tahun yang positif
BAHAN DAN CARA malaria berdasarkan waktu dan daerah.
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
Robek adalah sebagai berikut : DAERAH JUMLAH POSITIF MALARIA/JUMLAH
• Penyemprotan. PEMERIKSAAN P
Dilakukan oleh penduduk setempat yang dilatih oleh staf Oktober 1984 Oktober 1985
Program Kontrol Malaria. Team ini bertanggung jawab untuk
desanya masing-masing dengan perhitungan waktu, pencakup- Robek 63/349 (15,5%) 7/340 (2,1%) <0,01
an dan kualitas penyemprotan yang baik. Sante/Piso 13/145 ( 9,0%) 7/153 (4,6%) >0, 05
• Penyuluhan masyarakat
Dilakukan bersama-sama aparat pemerintahan desa, PKK, staf Tampak pula kenaikan nilai hematokrit dari anak-anak di
Program Kontrol Malaria dan staf kesehatan lainnya. Mereka Robek yang nyata (p < 0,01) dibandingkan dengan anak-anak di
diberikan materi penyebab, cara penularan, pencegahan dan Sante/Piso; p > 0,05 (tabel 3).
pengobatan malaria. Pada penyuluhan ini ditekankan penemu-
an kasus dini, pengobatan yang cepat dan kebersihan lingkung- Tabel 3 : Hasil Pemeriksaan hematokrit anak-anak < 10 tahun
an.
• Penemuan kasus secara aktif dan pasif DAERAH JUMLAH ANAK-ANAK YANG MEM-
Dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama PKK dan masya- PUNYAI NILAI HT>32/JUMLAH YANG P
DIPERIKSA
rakat lainnya, di mana semua kasus panas yang ditemukan
diberi pengobatan sebagai Malaria dengan klorokuin. Pada Oktober 1984 Oktober 1985
kesempatan ini penderita panas diberi pengertian bahwa peng-
obatan tersebut panting untuk dirinya sendiri dan melindungi Robek 237/298 (79,5%) 270/298 (90,7%) <0.01
tetangganya. Sante/Piso 134/151 (89,0%) 138/151 (91,0%) >0,05
• Pengurangan sumber penularan
Anggota masyarakat diharuskan menimbun atau mengalirkan
lagun, menggunakan larvisid dengan tepat dan memperbaiki Sedangkan status gizi dikedua daerah tersebut secara
umum ada peningkatan walaupun di Sante/Piso tidak ber-
kesehatan lingkungannya.
makna (p < 0,05) sedangkan di Robek bermakna, p < 0,01
Sedangkan daerah Sante/Piso hanya dilakukan Program Kon- (tabel 4).
trol Malaria yang umum oleh staf dari kesehatan. Dari penelitian Entomologi ditemukan penurunan Man
Disamping itu, ada beberapa kegiatan yang dimonitor Biting Rate di kedua daerah tersebut (grafik 1) dan Anopheles

56
subpictus adalah jenis- vektor utama yang ditemukan untuk dapat dilihat pada Bar-diagram 1.
daerah tersebut.
Bar-diagram 1 : Kunjungan penderita panas untuk mendapat pengoba-
Tabel 4 : Hasil Pemeriksaan status gizi berdasarkan Tinggi Badan–Be- tan malaria
rat Badan dari anak-anak < 10 tahun.

Peran Serta Masyarakat juga dapat di lihat dari kemauan


masyarakat untuk datang mendengarkan penyuluhan dan ter-
jun langsung dalam kegiatan mengalirkan, menimbun lagun
atau menggunakan larvisid serta membersihkan lingkungan
sekitar rumah dan desa. Kegiatan ini dapat dilihat pada Bar
diagram 2, dimana peran serta masyarakat dalam kegiatan
penyuluhan kesehatan tidak tampak pada bulan November
dan Desember 1984 serta Mei, Juni, Juli dan Oktober 1985.
Sedangkan pada bulan April 1985, Kegiatan mengurangi sumber
penularan tidak dilakukan.

PEMBAHASAN
Setelah dievaluasi selama satu tahun, ternyata Parasite
Rate malaria di Robek menurun secara bermakna. Juga di-
Peran Serta Masyarakat dapat dilihat dari jumlah kunjung- dapat perbaikan nilai hematokrit dan status gizi yang ber-
an untuk mendapat pengobatan panas yang kemungkinan di- makna yang mungkin disebabkan menurunnya insidensi mala-
sebabkan oleh malaria. Penderita-penderita panas tersebut ria. Sedangkan didaerah Sante/Piso, penurunan Parasite Rate,
tidak diperiksa darahnya untuk memastikan diagnosanya. perbaikan nilai hematokrit dan status gizi tidak bermakna
Ternyata jumlah total kunjungan setahun 1155 (x = 96,3 (P > 0,05). Hal ini membuktikan betapa pentingnya peranan
tiap bulan) yaitu 7,8% dari jumlah penduduk Robek (1228 masyarakat dalam memutuskan dan mengurangi transmisi
orang) setiap bulan. Kunjungan penderita panas setiap bulan malaria untuk diri mereka sendiri.

57
Bar-diagram 2 : Jumlah masyarakat yangberperan serta dalam beberapa Program Kontrol Malaria, atau suatu peningkatan kesadar-
kegiatan Program Kontrol Malaria.
an dan staf Program Kontrol Malaria tersebut.
Dengan cukup banyaknya kasus panas yang ditemukan,
sedangkan insidensi malaria dan Man Biting Rate menurun,
berarti bukan transmisi yang meningkat. Kasus panas tersebut
mungkin merupakan kasus relaps atau penyakit lain. Kesadar-
an untuk mencari pengobatan bila panas perlu dipertahankan.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan mengikuti pe-
nyuluhan kesehatan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini mungkin disebabkan pada waktu tersebut bersamaan
dengan musim kebun (Oktober — Desember) atau musim pa-
nen (April Juli), di mana biasanya mereka tinggal di kebun
yang jauh dan desanya. Dapat juga disebabkan karena teknik
penyuluhan yang tidak tepat sehingga tidak dapat menarik
perhatian masyarakat. Sedangkan keterlibatan langsung da-
lam mengurangi sumber penularan patut dihargai. Hampir
tak pernah absen mereka melakukannya. Jadi dengan me-
ngetahui kondisi Entomologi, masyarakat dapat mengurangi
sumber vektor.

KESIMPULAN DAN SARAN


Peran Serta Masyarakat dalam Program Kontrol Malaria
di Robek berhasil menurunkan insidensi malaria, populasi
vektor, dan banyak masyarakat yang terlibat dan berperan
aktif dalam Program tersebut. Dengan keterlibatan langsung
masyarakat, macyarakat menjadi sadar akan tanggung-jawab-
nya untuk kepentingannya sendiri, sehingga apa yang di-
harapkan dari Operasi Nusa Sehat — Gerakan Nusa Sehat
menjadi kenyataan, yaitu mencapai kesehatan yang lebih baik
melalui peran serta.
Semoga kegiatan ini dapat dikembangkan dan dijadikan
contoh untuk daerah-daerah lain dengan memperhatikan
Dalam penelitian Entomologi, Anopheles subpictus me- kelemahan-kelemahan terdahulu seperti memperbaiki teknik
rupakan vektor utama yang diketemukan dan Man Biting Rate penyuluhan. Untuk Robek sendiri kegiatan ini hams diperhati-
di kedua daerah tersebut menurun, walaupun daerah Sante/ kan terus, dibina, dengan mengurangi sedikit demi sedikit
Piso tak disertai kegiatan pengurangan sumber penularan. campur tangan Kesehatan sehingga Program tersebut adalah
Ternyata hal ini sebabkan karena lingkungan Entomologi milik, oleh dan untuk mereka sendiri.
di Robek dan Sante/Piso berbeda. Di Robek penurunan
Man Biting Rate disertai penurunan insidensi yang bermakna, RINGKASAN
tidak terdapat komponen zoofilik. Menurut Rao, Anopheles
subpictus akan menggigit manusia dalam jumlah besar bila Telah dilakukan penelitian Peran Serta Masyarakat dalam
tidak terdapat komponen zoofilik, sehingga penurunan Man Program Kontrol Malaria di Robek, Nusa Tenggara Timur,
Biting Rate berhubungan dengan penurunan populasi vektor. pada bulan Oktdber 1984 — Oktober 1985.
Sedangkan Sante!Piso mempunyai komponen zoofihik (kerbau Dari penelitian tersebut terlihat penurunan bermakna
dan ternak lain), merupakan daerah persawahan, penurunan (p < 0,01) Slide Positive Rate dari anak-anak di bawah usia
Man Biting Ratenya tidak disertai penurunan insidensi yang 10 tahun dari 15,5% menjadi 2,1% di Robek, dan penurunan
bermakna. Menurut Wepster JB dan kawan-kawan, Anopheles Man Biting Rate di kedua daerah tersebut. Penurunan Man
subpictus tidak mengutamakan darali manusia sehingga pe- Biting Rate di daerah Sante/Piso karena adanya komponen
nurunan Man Biting Rate besar kemungkinannya bukan ber- zoofilik, sehingga penurunan Man Biting Rate di Sante/Piso
arti penurunan populasi vektor. besar kemungkinannya bukan berarti penurunan populasi
Pencakupan penyemprotan di kedua daerah yang ber- vektor, sedangkan di Robek penurunan Man Biting Rate ber-
hasil 100% merupakan suatu gejala yang baik dan patut di- arti penurunan populasi vektor. Anopheles subpictus merupa-
perhatikan, karena hasil Program Kontrol Malaria sebelumnya kan vektor utama yang diketemukan di kedua daerah tersebut.
umumnya kurang dan 100%. Hal mi mungkin disebabkan Terlihat pula perbaikan nilai hematokrit yang bermakna
rasa bersaing antara team penduduk setempat dengan staf (p < 0,01) dari 79,5% menjadi 90,7% yang mempunyai nilai

58
hematokrit > 32, dan perbaikan status gizi yaitu dari 27,4% ed. New York : Harper and Row Publisher, 1970 : 198 — 211.
menjadi 13% yang mempunyai gizi buruk di Robek. Di Sante/ 2. Rao Ramachandra T. The Anophelines of India, New Delhi : Indian
Council of Medical Research, 1981 : 418.
Piso perbaikan nilai hematokrit dan status gizinya tidak ber- 3. Soeroto A dkk, Pengamatan Entomologi pada Penelitian Peran
makna (p > 0,05). Sedangkan cakupan penyemprotan DDT Serta Masyarakat dalam Program Kontrol Malaria (akan diterbit-
di kedua daerah tersebut berhasil 100%. Peran Sella Masya- kan).
4. Wepster JB and Swellngrebel NH. The Anopheline mosquitoes of
rakat terlihat baik dalam mencari dan berobat kasus panas the Indo — Australian region, Amsterdam : JH de Bussy, 1953 :
yang mungkin disebabkan malaria. Juga terlihat baik dalam 417.
kegiatan mengurangi sumber penularan, walaupun peserta
penyuluhan masih jauh dari yang diharapkan.
Jadi penelitian ini berhasil menurunkan insidensi dan
populasi vektor penyakit malaria dengan peran serta masya- Ucapan Terima Kasih
rakat. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Kanwil/Dinkes Propinsi
NTT, Dinkes Kabupaten Manggarai, Puskesmas Reo dan Aparat
Pemerintahan Daerah setempat serta masyarakatnya atas keberhasilan-
KEPUSTAKAAN
nya dan diijinkannya publikasi penelitian m i.
Juga kepada USAID yang membantu pembiayaan penelitian ini.
1. Ipsen J and Feigl P, Bancroft's introduction to biostatistics, 2nd

KEPUSTAKAAN probe cloned in Escherichia coli for identification of Brugia malayi.


Mol and Biochem Parasitol, 1986 •,19: 1—7.
1. Arbain Joesoef and John H Cross. Distribution and prevalence of cases of 7. Betty Kim Lee Sim, Mak JW, Cheong Weng Hui et aL Identification
microfilariae in Indonesia. Southeast Asian Trop Med of Brugia malayi in Vector with a species specific DNA probe.
Pub Hlth, 1978;9 : 480—488. Am J Trop Med Hyg, 1986, 35 (3): 559—564.
2. Lim Boo List, Kumiawan Liliana, Sudomo, M dan Arbain Joesoef. & Shah JS, Wirth DF, Piessens WF. Characterization of ribosomal
Status of Brugian Filariasis Research In Indonesia and Future DNA clone of Brugia malayi Mol Biochem Parasitol, 1986; 19:
Studies. Bull Penelit Kesehatan, 1985,13 (2): 31—55. 8—13.
3. Sudomo M, Abu Hanafiah, Mak JW and Lill BL. A Study malayan 9. Cheong Weng Hui. Vectors of Filariasis in Malaysia. In: Mak JW ed.
filariasis in Lubuk Mumpo and Datar Lebar villages in Lais regency, Bulletin No. 19. Institute for Medical Research, Malaysia,,1983;
North Bengkulu, Sumatera. Indonesia Southeast Asian J Trop Med Pub pp 94-99.
Hlth, 1 9 8 2 4 3 1 584—589.
4. Suzuki, Sudomo M, Bang YH and Lim Boo Liat. Studies on malayan
filariasis in Bengkulu (Sumatera) Indonesia with special reference Ucapan Terima Kasih
to vector confirmation. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth, Terimakasih kami ucapkan kepada Dyann F. Wirth Ph.D Kepala
1981;12: 47—54. Laboratorium Molecular Biology, Department of Tropical Public Health,
5. Yen PKF, Zaman V and Mak JW. Identification of some comon Harvard School of Public Health yang telah members banyak
infective filarial larvae in Malaysia. J Helminthol, 1982,;56: 69—80. petunjuk. Kepada Izaskun Petralanda M.Sc bagian Entomology DTPH,
6. Betty Kim Lee Sim, Willy F Piessens and Dyann F Wirth. A DNA Harvard School of Public Health yang telah menyediakan nyamuk.

59
Tes Resistensi Secara In Vitro
Plasmodium falciparum terhadap Obat
yang Mengandung Sulfadoksin
Harijani A. Marwoto*, Sekartuti E*, P. Arbani**,
dan Sahat Ompusunggu*
*Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Sub-Direktorat Pemberantasan Malaria, Direktorat Jenderal PPMPLP

ABSTRAK menilai kepekaan dari P. falciparum terhadap P—S tersebut


Dalam rangka menunjang Program Pemberantasan Malaria, perlu dikembangkan. Beberapa peneliti telah melakukan pe-
terutama untuk menanggulangi malaria falciparum yang resis- nelitian serupa di laboratorium maupun di lapangan2,3,4.
ten terhadap klorokuin, telah dilakukan penelitian sensitifitas Tetapi sampai saat ini belum ada metoda standar untuk me-
dari P. falciparum terhadap pirimetamin dan terhadap piri- nilai kepekaan secara in-vitro terhadap kombinasi P—S ter-
metamin/sulfadoksin secara in-vivo dan in-vitro. sebut.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 1983—1985, di 7 pro- Dalam rangka menunjang program pemberantasan malaria,
pinsi yaitu : di Jawa Tengah, Lampung, Sabang, Nias, Riau, terutama yang resisten terhadap klorokuin, telah dilakukan
Mamuju dan Flores. Tes secara in-vitro dilakukan dengan penelitian-penelitian secara in-vivo maupun in-vitro terhadap
menggunakan teknik mikro dan menggunakan media RPMI obat-obat anti malaria yaitu pirimetamin, Fansidar/P—S, dan
1640 yang mengandung PABA sebanyak 25 ug/1 dan asam meflokuin. Penelitian ini dilakukan dengan kerja-sama antara
folat sebanyak 10 ug/l. Perbandingan kepekatan pirimetamin Puslit Penyakit Menular dengan Sub.Dit. Malaria, Dit.Jen.
dan sulfadoksin adalah 1 : 320, sedangkan kepekatan piri- PPMPLP.
metamin yang dipakai adalah : 0,001 — 0,003 — 0,01 — 0,03 — Dalam makalah ini akan dilaporkan mengenai penelitian
0,1 — 0,3 dan 1,0 umol/l. Suatu strain P. falciparum dikatakan secara in-vitro dari P. falciparum terhadap pirimetamin dan
"resisten" bila pertumbuhannya tidak terhambat pada ke- kombinasi pirimetamin—sulfadoksin di 7 daerah endemis
pekatan pirimetamin sebesar 0,03 umol/1 atau lebih. malaria di mana diketemukan P. falciparum yang resisten
Hasilnya menunjukkan, 81,5% dari spesimen yang menun- terhadap klorokuin, yaitu : di Batang—Jepara (Jawa Tengah),
jukkan resisten secara in-vitro terhadap pirimetamin juga ber- Lampung, Nias, Sabang, Riau, Mamuju (Sulawesi Selatan) dan
asal dari penderita yang menunjukkan resisten secara in-vivo, Flores.
tetapi hanya 11,5% dari yang resisten terhadap pirimetamin/ BAHAN DAN CARA
sulfadoksin secara in-vitro juga resisten terhadap Fansidar
secara in vivo. Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan Pemilihan penderita
bahwa tes sensitifitas secara in-vitro terhadap pirimetamin Pemeriksaan darah dilakukan di daerah-daerah di mana
akan dapat memberikan gambaran tes in-vivo, tetapi hal ter- malaria dilaporkan tinggi dalam 3 bulan terakhir (laporan
Dinas Kesehatan setempat). Pemeriksaan terutama dilakukan
sebut tidak dapat diterapkan untuk tes terhadap pirimetamin/
sulfadoksin. pada penderita dengan keluhan demam pada satu minggu
terakhir. Penderita yang diikutsertakan dalam tes kepekaan ini
PENDAHULUAN harus memenuhi syarat sebagai berikut: umur lebih dari 2
Kombinasi pirimetamin (P) dan sulfadoksin (S) merupakan tahun, hanya mengandung P. falciparum dalam darahnya
kombinasi obat anti malaria yang dipergunakan untuk meng- (bukan infeksi campuran), jumlah parasit asexual 500—lebih
atasi fnfeksi malaria falciparum yang telah resisten terhadap per ml darah, kondisi umum tidak terlalu jelek, dan tidak
klorokuin. Akhir-akhir ini telah diketemukan adanya kasus- minum obat anti malaria dalam satu minggu terakhir (tes
kasus resisten P. falciparum terhadap Fansidar yang merupa- urin secara Dill Glazko untuk mendeteksi 4-aminokuinolin,
kan oSat anti malaria kombinasi pirimetamin—sulfadoksin dan Lignin tes untuk preparat sulfa). Bila keadaan penderita
(P—S) di beberapa negaral. Oleh karena itu, metoda untuk memburuk, penderita diobati dengan obat lain dan dikeluar-

60
kan dari tes. Begitu juga bila penderita muntah dalam 24 jam HASIL
pertama setelah minum obat. Dalam tabel (1) terlihat hasil tes secara in-vitro terhadap P.
Penyiapan "”tes-plate” Dari 253 tes yang dilakukan, hanya 103 (40,7%) yang berhasil,
Obat pirimetamin dan sulfadoksin didapatkan dari PT dan 95 di antaranya ternyata resisten (92,2%). Sedangkan hasil
ROCHE INDONESIA, dalam bentuk bubuk. Pelarutan dan tes terhadap kombinasi P-S terlihat dalam tabel (2). 77,8% di
pengenceran dilakukan dengan menggunakan aseton dan meta- antara 99 kasus yang berhasil dalam tes, menunjukkan adanya
nol dengan perbandingan 1 : 1. Setelah didapatkan kepekatan resistensi.
obat yang dikehendaki, obat tersebut dimasukkan ke dalam Tabel (1) : Hasil tes secara in-vitro dari P. falciparum terhadap piri-
lubang test-plate dan kemudian dimasukkan ke dalam desika- metamin
tor. Setelah kering, ditutup dengan parafilm yang sudah steril Lokasi Berhasil di-tes Sensitif Resisten
(menggunakan sinar ultra violet). Plate yang dipakai adalah
flat bottomed well 'dengan lubang-lubang yang berdiameter Batang 22 / 56 * 1 21( 95,5)
6,5 mm. Jepara 22 / 33 1 21( 95,5)
Kepekatan obat yang dipakai dalam penelitian ini adalah Lampung 3/ 5 0 3(100,0)
sebagai berikut : Sabang 19 / 37 3 16( 84,2)
Riau 12 / 55 1 11( 91,7)
P :0,00 0,001 0,003 0,01 0,03 0,1 0,3 1,00
P-S : 0,00 0,001 0,003 0,01 0,03 0,1 0,3 1,00 Nias 6 / 19 2 4( 66,7)
Mamuju 18 / 43 0 18(100,0)
0,00 0,320 0,960 3,20 9,60 32,0 96,0 320,0
A B C D E F G H Flores 1/ 5 0 1(100,0)

(Ratio : P - S yang dipakai di sini adalah 1 : 320). 103/253 (40,7) 8 (7,8) 95( 92,2)

* jumlah yang berhasil di-tes/jumlah semua yang di-tes


Media
** jumlah yang resisten (%)
Media kultur yang dipakai adalah RPMI 1640 yang tidak
mengandung PABA dan tidak mengandung asam folat. Pe- Tabel (2) : Hasil tes secara in-vitro dari P. falciparum terhadap kom-
nyediaan media adalah sebagai berikut : 1,040 g RPMI 1640 + binasi PS
0,6 g HEPES buffer + PABA 25 ug + 10 ug asam folat + genta- Lokasi Berhasil Sensitif Resisten
mycine 4 ug + aquabidest 1.000 ml. Sebelum dipakai di la-
pangan, ditambahkan NaOH 5% sebanyak 4,2 ml. Batang 23/ 57 1 22 ( 95,7)
Jepara 15/ 32 3 12 ( 80,0)
Tes in-vitro Lampung 3/ 5 0 3 (100,0)
Masing-masing lubalag dari plate yang telah diisi obat Sabang 21/ 37 7 14 ( 66,6)
dengan berbagai konsentrasi, ditambahkan 50 ul media yang Riau 15/ 55 3 12 ( 80,0)
Nias 2/ 7 0 2 (100,0)
mengandung 5 ul darah penderita. Kemudian plate dimasuk-
Mamuju 19/ 43 8 11 ( 57,9)
kan ke dalam candle jar incubator dengan temperatur 37,0°-
38,5°C selama 30 jam. Setelah masa inkubasi ini selesai, dari 99/241 (41,1) 22(22,22) 77 ( 77,8)
masing-masing lubang dibuat ulasan darah tebal pada kaca
benda, dibiarkan dalam temperatur kamar sampai kering, Hubungan antara tes terhadap P dan terhadap P-S terlihat
kemudian dicat dengan Giemsa dengan cara standar. Tes di- dalam tabel (3). Dengan tes "chi-square" didapatkan adanya
nyatakan berhasil, bila di dalam lubang kontrol (A) diketemu- hubungan antara kedua macam tes tersebut (0,01 < P <
kan 20 atau lebih sizon normal. 0,001).
Penilaian resistensi adalah sebagai berikut : suatu strain di- Tabel (4) dan (5) menunjukkan hubungan antara tes secara
katakan resisten bila masih diketemukan sizon normal dalam in-vitro dan secara in-vivo. Dalam tes ini tidak diketemukan
lubang dengan kepekatan P sebesar 0,03 umol/l atau lebih cukup kasus sensitif baik terhadap P maupun terhadap P-S
(lubang E, F, G, H). Begitu juga dengan resistensi terhadap secara in-vitro. Tetapi terlihat dengan jelas bahwa kasus yang
kombinasi P-S, batasnya adalah lubang E, mengingat bahwa resisten terhadap P secara in-vitro, 92,2% di antaranya ter-
penambahan S akan menaikkan potensi P3 , sehingga bila P nyata juga resisten terhadap P secara in-vivo. Tetapi pada
sendiri dengan kepekatan 0,03 umol/l dapat menghambat
Tabel (3) : Hubungan antara basil tes secara in-vitro terhadap P dan
pertumbuhan, maka pasti juga akan terhambat pada lubang terhadap PS
dengan kepekatan P sebesar 0,03 umol + S sebesar 9,6 umol
per liter. Kombinasi PS
resisten sensitif tota
Tes in vivo l
Tes ini dilakukan secara paralel dengan cara in-vitro. Obat resisten 54 12 66
yang dipakai adalah Fansidar (Roche), dengan dosis 3 tablet P:
untuk orang dewasa, diberikan secara single dose. Sedangkan sensitif 2 4 6
untuk pirimetamin, diberikan dengan dosis 1,5 mg per kg berat Total 56 * 16 72
badan.

61
kasus-kasus yang resisten terhadap kombinasi P—S, hanya kannya S dengan konsentrasi yang tinggi pula untuk dapat
11,5% yang menunjukkan resistensi terhadap Fansidar, se- menghambat pertumbuhan secara in-vitro yang minimum,
dangkan 88,5% masih tersembuhkan dengan Fansidar. meskipun secara in-vivo strain yang dipakai menunjukkan
sensitifitas yang tinggi terhadap S. Dalam penelitian ini juga
Tabel (4) : Hubungan antara hasil tes secara in-vitro dengan in-vivo diketemukan, konsentrasi PABA minimum untuk dapat me-
terhadap P nunjang pertumbuhan dan pembelahan asexual adalah 0,025
in-vivo
ug/l. Dalam tulisan ini juga disebutkan bahwa dengan konsen-
trasi PABA 41X, dibutuhkan S sebanyak 32X untuk dapat
resisten sensitif total
menghambat pertumbuhan 50%.
resisten 9 2 11
in-vitro: Resistensi
scnsitif 0 0 0 P. Nguyen Dinh & D. Payne (1980) telah melakukan pe-
nelitian sensitifitas P. falciparum terhadap P secara in-vitro.
Total 9 2 11 Dari hasil penelitian mereka menemukan, strain yang sensitif
Tabel (5) : Hubungan antara hasil tes secara in-vitro dengan in-vivo terhadap P secara in-vivo akan terhambat pertumbuhannya
terhadap kombinasi PS dalam konsentrasi P sebesar 0,03 umol/1 secara in-vitro.
Sedangkan G.M. Eastham & K.H. Rieckmann (1983) telah
in-vivo melakukan penelitian sensitifitas P. falciparum terhadap P dan
resisten sensitif total S dan kombinasi P—S dengan menggunakan media RPMI
resisten 6 46 52
1640 ditambah human sera. Dalam penelitian ini strain yang
sensitif terhadap P akan terhambat pertumbuhannya pada
in-vitro: konsentrasi P sebesar 0,08 umol/1 dan S sebesar 100 umol/l.
sensitif 0 18 18
Dengan pertimbangan sebagai berikut
Total 6 64 70 1) strain yang sensitif terhadap P secara in-vivo akan terham-
bat pertumbuhannya secara in-vitro pada konsentrasi P
sebesar 0,03 umol/l.
2) penambahan S pada P akan menimbulkan efek sinergistik,
PEMBAHASAN sehingga penambahan S ini akan menyebabkan konsentrasi
Media P yang dibutuhkan untuk dapat menghambat pertumbuhan
Seperti telah diketahui, efek P dan S pada parasit adalah akan menjadi < 0,03 umol/l.
pada pembentukan dihydrofolic acid dan tetrahydrofolic acid 3) G.M. Eastham & K.H. Rieckmann dalam penelitiannya
dalam proses sintesa thymine dan purines , gambar (1). C.R. menggunakan ,media yang mengandung PABA sebesar
Brockelman & P. Tan-Arya (1982) telah melakukan penelitian 1,025 ug/1 (3), karena mengandung RPMI 1640 + human
tentang penggunaan p-aminobenzoic acid (PABA) dalam media sera, sehingga dibutuhkan S dengan konsentrasi yang lebih
yang dipakai untuk tes sensitifitas P. falciparum terhadap besar dari seharusnya, untuk dapat menghambat pertum-
sulfadoksin S. Dalam penelitian ini diketemukan, penggunaan buhan.
PABA dengan konsentrasi tinggi (RPMI 1640 + human sera Oleh karena itu, dalam penulisan ini batas minimal yang di-
mengandung PABA 1,025 ug/1) akan menyebabkan dibutuh- pakai untuk penentuan resistensi secara in-vitro adalah : ter-
hadap P adalah 0,03 umol/1 atau lebih (lubang E, F, G, H),
sedangkan untuk kombinasi P—S adalah juga lubang E yang
mengandung P sebesar 0,03 umol/l dan S sebesar 9,6 umol/1.
Penentuan lubang E sebagai batas minimum untuk resistensi
untuk P—S cukup "aman", dalam arti bahwa strain yang masih
menunjukkan pertumbuhan pada lubang E, F, G, dan H adalah
"benar-benar resisten", hal ini ditunjang oleh penemuan
P. Nguyen Dinh dkk. (1985), yang telah melakukan penelitian
di laboratorium maupun lapangan. Mereka menemukan, strain
yang sensitif secara in-vivo terhadap P—S, akan terhambat
dalam konsentrasi P sebesar 0,001 umol/1 ditambah S sebesar
0,1 umol/l, jadi jauh lebih kecil dari konsentrasi obat dalam
lubang E.
Dari tabel (1), (2) dan (3) dapat disimpulkan, secara in-
vitro, resistensi P—S sangat dipengaruhi oleh resistensi ter-
hadap P (75% dari kasus yang resisten terhadap P juga resisten
terhadap P—S), dan juga dari tes secara statistik menunjang
hal ini. Tetapi untuk mengetahui hubungan antara hasil tes
secara in-vitro dan in-vivo, karena tidak didapatkan cukup
kasus yang sensitif terhadap obat-obat tersebut, tes statistik
tidak dapat dilakukan. Hal itu terjadi karena penelitian di-

62
lakukan di daerah endemis malaria di mana pemberian piri- diterapkan untuk kombinasi PS, di mana hasil gambaran tes
metamin bukan tidak mungkin, sedangkan pemberian piri- in-vivo sangat berbeda dengan gambaran tes in-vitro.
metamin mudah menimbulkan resistensi.
Reaksi suatu strain terhadap obat secara in-vitro pada KEPUSTAKAAN
umumnya sangat dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas strain
tersebut terhadap obat yang bersangkutan. Tetapi tidak de- 1. UNDP/World Bank/WHO Update. Development of mefloquine as an
mikian bila hal tersebut terjadi di dalam tubuh manusia, antimalarial drug. Bull WHO 1983; 61 (2): 169-178.
karena secara in-vivo selain obat itu sendiri, ada beberapa 2. Nguyen-Dinh P & Payne D. Pyri methamine sensitivity in Plasmo-
dium falciparum : determination in-vitro by a modified 48-hour
faktor lain yang ikut berperan, seperti daya serap obat oleh test. Bull WHO, 1980; 58 (6): 909-912.
individu yang berbeda-beda, adanya respons immunologi dan 3. Eastham GM & Rieckmann HH. The activity of pyrimethamine and
sebagainya. Hal ini terlihat dalam tabel (4), di mana diketemu- sulphadoxine against Plasmodium falciparum determined by in-vitro
kan adanya 2 kasus yang resisten terhadap P secara in-vitro microtechnique. Trans Roy Soc Trop Med Hyg, 77 no. 1, 1983;
91-93.
ternyata masih dapat tersembuhkan secara in-vivo. 4. Brockelman CR & Tan-Arya P. Plasmodium falciparum in con-
Pada penggunaan Fansidar yang' merupakan kombinasi tinuous culture : a new medium for the in-vitro test for sulpha-
dari PS, selain kemungkinan adanya peran dari faktor immuno- doxine sensitivity. Bull WHO, 1982; 60 (3): 423-426.
logi dalam hal "membunuh" parasitnya, efek Fansidar mung- 5. F. Hoffmann-La Roche & co Limited Company, Basle, Switzerland.
Basic documentation on Fansidar Tablets. 1981.
kin juga dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor sebagai ber- 6. Nguyen-Dinh P, Payne D, Teklehaimanot A, Zevallos-Ipensa A, Day,
ikut : strain yang resisten terhadap P membutuhkan PABA Duverseau YT. Development of an in-vitro microtēst for determin-
lebih besar dari strain yang sensitif, kedua strain yang resisten ing the susceptibility of Plasmodium falciparum to suphadoxine-
tersebut akan memproduksi ensim dihydrifolate reductase pyrimethamine laboratory investigations and field studies in Port-au-
Prince, Haiti. Bull WHO, 1985; 63 (3): 5 8 5 - 5 9 2 .
yang mempunyai afinitas terhadap dihydrofolic acid rendah3,
sehingga strain ini akan lebih sensitif terhadap S daripada Ucapan terimakasih
strain yang sensitif. Oleh karena itu jumlah kasus yang resisten Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Iskak Koiman
terhadap PS secara in-vitro tetapi masih dapat tersembuhkan yang telah membimbing dan membantu sehingga penelitian ini dapat
dengan Fansidar menjadi tinggi (tabel 5). dilaksanakan. Selain itu kami juga berterimakasih kepada staf dan
tehnisi Dina Kesehatan Daerah, Sub-Dit. Malaria Dit.Jen. PPMPLP,
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : hasil tes secara dan tehnisi Kelompok Penelitian Parasit Pusat Penelitian Penyakit
in-vitro terhadap P dapat memberikan gambaran yang tidak Menular, atas bantuannya dalam melakukan pemeriksaan parasitologis
jauh dengan hasil tes secara in-vivo, tetapi hal ini tidak dapat di lapangan maupun di laboratorium.

63
Penelitian Parasit Usus pada
Sayuran di Jakarta
Rita Marleta Dewi, Harijani A.M, Maevel Renny
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK Menurut ,Kepala Kantor Wilayah Kesehatan Jakarta, saat


Telah dilakukan suatu penelitian parasitologis untuk ini penduduk yang dapat menikmati penyediaan air bersih
mengetahui keinungkinan kontaminasi cacing usus pada kurang dari 50% dan oleh karenanya penduduk banyak yang
sayuran yang ditanam oleh penduduk (tidak resmi) bebera- memakai sumber air apa saja, apakah itu berupa sumur-sumur
pa daerah di Jakarta. Penelitian dilakukan di beberapa tempat dangkal yang sekedar digali untuk mendapatkan air tanpa
penanaman dengan cara memeriksa tanaman sayur, tanah memperhatikan kemungkinan pencemaran sumur tersebut
tempat sayuran ditanam dan sumber air yang dipakai. Peneliti- dari sekitarnya. Apalagi di daerah di mana pada musim hujan
an juga dilakukan pada sayuran yang telah dijual di beberapa sering dilanda banjir, pencemaran tersebut tidak dapat di-
pasar tertentu. hindari lagi. Kadang-kadang mereka juga memakai air sungai
Pemeriksaan parasitologis memakai metode pencucian, untuk keperluan sehari-hari, termasuk untuk membuang ko-
sentrifugasi dan pengapungan. Hasilnya menunjukan, semua toran, karena mereka tidak mempunyai jamban.
spesimen dari 5 daerah penanaman ternyata positif telur-
Karena sulitnya mencari pekerjaan, penduduk-penduduk
telur cacing/larva.
Kelihatannya sumber kontaminasi terutama adalah "liar" tersebut banyak yang mencoba bercocok-tanam sayuran
air yang dipakai untuk mencuci dan menyiram sayuran, di mana saja di sekitar tempat tinggalnya yang berupa gubuk-
serta tanah di mana sayuran ditanam. Petani tidak mem- gubuk di tepi sungai, sekitar jalan kereta api, atau di tempat-
punyai jamban dan dipikirkan bahwa hal inilah yang me- tempat terbuka yang belum dipakai. Biasanya yang ditanam
rupakan faktor penyebab pencemaran air maupun tanah ialah sayuran yang mudah tumbuh, cepat dapat dipanen dan
di atas. banyak dimakan setiap hari, seperti bayam, kangkung, slada,
Parasit yang diketemukan adalah telur: Ascaris lumbri- caysin dsb.
coides, Trichuris trichiura, cacing tambang, larva Strongy- Prevalensi cacing usus di beberapa tempat di Indonesia
loides stercoralis, larva Rhabditidae dan Cercaria . dapat mencapai 80%1. Cacing usus ini terdiri dari Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang, Strongy-
PENDAHULUAN loides stercoralis, Oxyuris vermicularis. Pada umumnya cacing-
Dengan meningkatnya urbanisasi, penduduk DKI Jakarta cacing tersebut ditularkan melalui makanan/minuman atau me-
yang sudah padat menjadi semakin padat lagi, dan dengan lalui kulit. Dalam daur hidupnya cacing-cacing tersebut me-
sendirinya kehidupan menjadi lebih sulit; sulit mencari tempat merlukan tanah untuk menjadi infektif. Oleh karena itu, pen-
tinggal, sulit mencari mata-pencaharian, sehingga sebagai aki- cemaran tanah oleh tinja penderita cacing usus akan menjadi
batnya banyak diketemukan kelompok-kelompok atau keluar- sumber penularan cacing tersebut.
gayang membangun gubuk-gubuk di mana saja dan timbullah Mengingat banyaknya penanaman sayuran oleh pendu.
pemukiman-pemukiman "liar". Selain itu, penyediaan fasilitas duk "liar" di atas, maka dilakukan penelitian untuk me-
untuk dapat terciptanya lingkungan yang sehat menjadi makin ngetahui seberapa besar pencemaran sayuran (yang mereka
terbatas.

64
tanam) oleh cacing usus, terutama sayuran yang dimakan an 1.500 rpm. Perlakukan selanjutnya sama seperti pada
mentah sebagai lalap, dan bagaimana jalannya pencemaran pemeriksaan sayuran.
sampai kepada konsumen. Hal ini mengingat bahwa dengan • Pemeriksaan air.
dijualnya sayuran tersebut di pasar-pasar akan menyebabkan Air sebanyak 45 ml disentrifugasi selama 5 menit dengan
penyebaran infeksi menjadi makin luas. kecepatan 1.500 rpm. Perlakuan selanjutnya sama seperti
Penelitian ini dilakukan di tempat-tempat penanaman di atas.
sayuran "liar", pada sayuran sebelum dan sesudah dicuci
untuk dijual, pada tanah di mana sayuran tersebut ditanam, HASIL
pada air penyiraman dan pencucian, dan juga di tempat-
Kebun A
tempat di mana sayuran tersebut dijual (pada pasar-pasar
Dari pemilik kebun didapatkan keterangan sebagai berikut:
tertentu). Dalam tulisan ini akan dilaporkan mengenai hasil
sumber air ada dua macam, yaitu : kolam untuk menyiram
penelitian pendahuluan, yang telah dilakukan di 5 kebun
tanah dan kolam untuk mencuci sayuran sebelum dijual.
sayur yang terletak di Kelurahan Kapuk (tanah milik Per-
Kolam penyiraman relatif lebih keruh dibandingkan dengan
tanian), sepanjang sungai Cengkareng Drain, Taman Pemakam-
kolam pencuci. Selain itu, di suatu sisi dari kolam pencuci
an Umum IX (Kelurahan Kapuk Muara) dan di daerah Cempa-
diketemukan jamban, di mana di sekitarnya dipasang anya-
ka Putih Barat.
man bambu supaya kotoran tidak tersebar ke seluruh kolam.
BAHAN DAN CARA Penyiraman sayuran dilakukan 1 hari 2 kali, dan setiap kali
Pertama-tama dilakukan wawancara dengan pemilik ke- habis hujan disiram kembali supaya daun-daunnya tidak
bun sayur mengenai : cara menanam, pemupukan (pupuk terkotori oleh tanah di bawahnya. Pemilik kebun tidak ting-
kandang, pupuk kimia), penggunaan pestisida, cara menyi- gal di sekitar kebun.
ram dan mencuci sayuran sebelum dijual dipasar, ada tidaknya Kebun B
jamban, sumber air, pasar di mana sayuran tersebut dijual dsb. Kebun ini serupa dengan kebun A, di mana air penyiram/
Pemeriksaan parasitologis dilakukan pada: sayuran se- pencuci sayuran berasal dari kolam (sumur dangkal yang
belum dan sesudah dicuci untuk dijual, tanah tempat sayuran sekedar digali supaya keluar airnya). Bedanya di sin adalah,
ditanam serta air penyiram dan air pencuci. Pemeriksaan ini pemilik kebun tinggal di tengah kebun dan mempunyai anak-
dilakukan seteliti mungkin dengan cara sebagai berikut : anak kecil. Jamban diketemukan agak jauh dari rumah (ter-
• Pemeriksaan sayuran. pencil). Penyiraman dilakukan 1 hari 3 kali dengan meng-
Dari setiap tempat penanaman diambil 3 pohon untuk gunakan air kolam/sumur di atas, begitu juga dengan pen-
setiap jenis sayuran (slada panjang, slada bulat dan caysin) cucian sayuran sebelum dijual, juga menggunakan air yang
atau 3 ikat untuk bayam, kangkuhg, daun kacang atau ke- sama.
mangi. Tanaman ini dipotong-potong dan direndam dalam Kebun C. D dan E
larutan NAOH 0,2% dalam corong yang didasarnya dipasang Ketiga kebun ini sejenis, terletak di tepi sungai, sumber
kantong plastik. Larutan perendam sebanyak I liter. Peren- air untuk menyiram maupun untuk mencuci sayuran adalah
daman dilakukan selama 30 menit, kemudian potongan- air sungai tersebut. Pemilik tinggal di sekitar kebun sayur
potongan sayuran dikeluarkan setelah sebelumnya digoyang- tersebut. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari.
goyangkan untuk "mencucinya". Air rendaman dibiarkan Pemupukan dilakukan umumnya menggunakan pupuk
mengendap selama 1 jam, kemudian larutan yang ada dalam kandang dan pupuk kimia, kecuali kebun E yang hanya meng-
kantong plastik sebanyak 10—15 ml beserta endapannya gunakan pupuk kimia.
disentrifugasi dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5 menit. Hasil pemeriksaan parasitologis dari sayuran sebelum
Endapan yang terjadi sebagian diperiksa secara langsung dan sesudah dicuci, air penyiram dan pencuci sayuran, tanah
dengan menggunakan larutan Lugol 2%. Larutan supernatan di mana sayuran ditanam, terlihat dalam tabel (1), (2), (3),
dibuang sedangkan endapannya ditambah dengan larutan (4) dan (5).
gasam jenuh dengan BJ 1,2 sebanyak 100 ml dalam gelas Di kebun A, telur/larva cacing diketemukan pada sayur-
ukur, dicampur rata dan didiamkan selama 30 menit. Ke- an sebelum maupun sesudah dicuci, kecuali pada tanaman
mudian diambil 10 ml dari larutan bagian atas, disaring meng- slada panjang hanya diketemukan pada tanaman sesudah
gunakan kertas saring dengan pori-pori 5 mikron. Kertas dicuci, sedangkan pada slada bulat hanya diketemukan pada
saring tersebut diletakan di atas gelas benda, ditetesi dengan tanaman sebelum dicuci. Pada air penyiraman diketemukan
larutan Lugol 2% dan diperksa di mikroskop. positif dengan telur Ascaris spp. dan Trichuris spp., tetapi
• Pemeriksaan tanah. pada air pencuci tidak diketemukan adanya telur/larva para-
Dalam tabung yang berdasar kerucut dimasukkan akuades- sit. Pada tanah juga diketemukan adanya telur Ascaris spp.
tilata sebanyak 45 ml, kemudian dimasukkan tanah dan di- Di kebun B, telur/larva parasit hanya diketemukan pada
aduk, dibiarkan mengendap (jumlah endapan tanah sebanyak daun kacang sebelum dicuci (larva Rhabditis spp.) dan pada
5 ml). Kemudian disetrifugasi selama 5 menit dengan kecepat- tanah di mana sayuran ditanam (telur Ascari spp. dan Trichu-

65
Tabel (1) : Hasil pemeriksaan parasitologis dari kebun (A). Tabel (3) : Hasil pemeriksaan parasitologis dari kebun (C).
telor telor telor larva larva telor telor telor larva larva
bahan Trichu- c.tam- Rhabdi- Strongy- c.tam- Rhabdi- Strongy-
Asca- bahan Asca- . Trichu-
ris ris bang tidae bides ris ris bang tidae bides

slada panjang : bayam :


– sebelum dicuci – – – – – – sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci + – – – – – sesudah dicuci – – – – –
slada bulat : caysim :
– sebelum dicuci + – – – + – sebelum dicuci – – – + –
– sesudah dicuci – – – – – – sesudah dicuci + – – – –
caysim :
kaftan :
– sebelum dicuci + – – + – – sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci – – – + – – sesudah dicuci – + – – –
kemangi :
kangkung rawa :
– sebelum dicuci + – – + – – sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci + – – + – – sesudah dicuci – – – – –
air penyiram + + – – – kangkung darat :
air pencuci – – – – – – sebelum dicuci + + – – –
tanah + – – – – – sesudah dicuci + + – – –
air penyiram/
Tabel (2) : Hasil pemeriksaan parasitologis dari kebun (B). air pencuci – + + – –
telor telor telor larva larva tanah + + – + –
bahan
Asca- Trichu: c.tam- Rhabdi- Strongy-
ris ris bang tidae bides
Tabel (4) : Hasilpemeriksaan parasitologis dari kebun (D).
slada panjang : telor telor telor larval
larva
– sebelum dicuci – – – – – bahan Asca- Trichu- c.tam- Rhabdi- Strongf
– sesudah dicuci – – – – – ris ris bang loidaf
tidae
slada bulat :
– sebelum dicuci – – – – – slada panjang :
– sesudah dicuci – – – – – – sebelum dicuci – – – – –
– sebelum dicuci – – – + –
kangkung rawa :
kangkung darat :
– sebelum dicuci – – – – – – sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci – – – – – – sesudah dicuci – – – + –
kacang panjang : caysim :
– sebelum dicuci – – – + – – sebelum dicuci – – – + –
– sesudah dicuci – – – – – – sesudah dicuci – – + + –
bayam : tanah – – + + –
– sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci – – – – – Tabel (5) : Hasil pemeriksaan parasitologist clan kebun (E).
air penyiram/ – – – – –
air pencuci telor telor telor larva larva
bahan Asca- Trichu- c.tam- Rhabdi- Strongy-
tanah + + – – –
ris ris bang tidae loides

slada panjang :
ris s p p . ) – sebelum dicuci + – – –
Di kebun C, parasit diketemukan pada sayuran sesudah – sesudah dicuci – – – – –
dicuci sedangkan pada sayuran sebelum dicuci tidak dikete- slada bulat :
mukan parasit kecuali pada tanaman kangkung darat, di – sebelum dicuci + – – – –
mana parasit diketemukan pada tanaman sebelum maupun – sesudah dicuci + + – – –
sesudah dicuci. Pada air penyiram maupun pencuci, dikete- kangkung:
mukan parasit, begitu juga dengan tanah di mana sayuran – sebelum dicuci – – – – –
– sesudah dicuci + – – –
tersebut ditanam diketemukan telur/larva parasit. Sedangkan –
caysim :
pāda tanaman kangkung rawa sama sekali tidak diketemukan – sebelum dicuci – – – –
parasit. Parasit yang diketemukan di sin adalah telur Ascaris – sesudah dicuci

– – – – –
snp., telur Trichuris spp., telur cacing tambang dan larva tanah : – – – – –
Rhabditidae.

66
Di kebun D, parasit yang diketemukan pada sayuran KESIMPULAN
dan tanah hanya telur cacing tambang dan larva Rhabditidae • Peran utama pencemaran adalah "air", baik sebagai pe-
saja. Pada slada panjang dan kangkung darat parasit hanya nyiram maupun sebagai pencuci sebelum dijual.
diketemukan pada tanaman sesudah dicuci. • Meskipun sudah tersedia jamban, tetapi jika anak-anak
Sebaliknva dengan yang diketemukan pada kebun E, di
masih membuang kotoran di sembarang tempat, maka tanah
mana parasit yang diketemukan hanya telur Ascaris dan Tri-
churis. Parasit diketemukan pada slada panjang sebelum di- akan menjadi sumber pencemaran, meskipun sumber air
cuci, Dada slada bulat sebelum dan sesudah dicuci, dan pada sudah bersih.
kanakung sesudah dicuci. Pada caysin dan tanah tidak dikete- • Di daerah Jakarta di mana air bersih baru dapat dinik-
mukan parasit. mati oleh kurang dari 50% penduduk dan baru ± 40% yang
mempunyai jamban, keadaan lingkungan yang kurang sehat
tidak dapat dihindari2. Oleh karena itu yang penting adalah
PEMBAHASAN bagaimana hidup sehat dalam lingkungan yang kurang sehat
Air penyiram sayuran di kebun A adalah air kolam yang tersebut; dalam hal infeksi cacing usus adalah bagaimana
"kelihatannya" lebih keruh, sedangkan untuk mencuci dipakai menghindari infeksi cacing usus tersebut. Hal ini dengan
air kolam yang lebih "bersih"', di mana di satu sisinya di- mudah dapat dilakukan dengan memasak sayuran sebelum
ketemukan adanya jamban. Sehingga diduga di daerah ini
dimakan. Tetapi dengan adanya kebiasaan makan sayuran
pencemaran dapat terjadi justru dari kolam pencuci yang air-
nya menurut yang punya lebih bersih. Tetapi dari hasil pe- mentah, maka pencucian sayuran dengan cermat sangat
meriksaan parasitologis ternyata bahwa air pencuci negatif penting (pencucian dilakukan jangka panjang pencegahan
(—), dan air penyiram positif (+). Parasit juga diketemukan dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih yang cukup
pada sayuran sebelum maupun sesudah dicuci, dan juga dari dan pendidikan kesehatan masyarakat.
tanah di mana sayuran tersebut ditanam. Dari kenyataan Dari hasil penelitian J. Gunawan Wangsadipural , pada
di atas, terlihat bahwa tanaman sebelum dicuci pun telah ter- bayam diketemukan Toxocara dan Rhabditidae, sedangkan
cemar parasit, berarti tanaman tersebut tercemar dari tanah dari slada diketemukan Rhabditidae, cacing tambang dan
di bawahnya dan atau dari air penyiramnya. Mengingat bahwa Strongyloides. Penelitian ini dilakukan di 5 wilayah Jakarta
pemilik kebun telah memakai jamban dan tidak ada anak dengan memeriksa sayuran yang dijual di pasar-pasar. Dari
kecil di sekitarnya sehingga pembuangan kotoran tidak di- penelitian ini juga terbukti, sayuran yang dijual di pasar-
sembarang tempat, dapat diduga bahwa pencemaran terjadi pasar, tidak bebas parasit, sehingga masih dapat menjadi
dari air penyiram dan ada kemungkinan bahwa pemilik me- sumber penularan.
nyiram sayuran dengan memakai air kolam pencuci di mana
juga dipakai sebagai jamban. KEPUSTAKAAN
Di kebun B, di mana kolam/sumur tidak dipakai sebagai
tempat untuk membuang kotoran, pencemaran tidak dikete-
mukan pada sayuran, kecuali pada daun kacang panjang di- 1. Wangsadipura JG. Parasit-parasit beberapa macam sayuran dari pasar-
p a s a r d i J a k ar t a . S e mi n a r P a r a sito logi Nasio n al II , 24 —27
ketemukan larva Rhabditidae. Tetapi telah diketahui bahwa Juni 1981 di Jakarta.
Rhabditidae tidak selalu menjadi parasit pada manusia, se- 2. Cucilah sayuran, tak perlu resah terhadan cacing gelang. Suatu
hingga dengan diketemukannya larva dari cacing tersebut ulasan dalam harian KOMPAS, 2 Oktober 1986.
tidak berarti bahwa tanaman tersebut tercemar dari kotoran
yang berasal dari manusia. Di daerah ini parasit hanya dike-
temukan pada tanah. Pencemaran ini dapat terjadi dari kotor- Ucapan Terima Kasih
an yang dibuang sembarangan, dan hal ini dapat terjadi meng- Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Iskak
ingat bahwa di sekitarnya banyak anak kecil. Meskipun dari Koiman yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan sehingga
penelitian -ini dapat dilakukan. Juga kepada Bapak Drs. Poernomo,
hasil pemeriksaan parasitologis pada sayuran dan air negatif yang telah membantu dalam melakukan penelitian ini.
(—), tetapi mengingat bahwa tanah di man sayuran tersebut . Kepada staf kelompok Penelitian Parasitologi, Pus/it Penyakit Menular,
ditanam positif (+), maka hal ini menunjukkan bahwa pen- yang telah membatu dalam melakukan pemeriksaan di lapangan mau-
cemaran sayuran dari tanah di bawahnya dapat terjadi. pun di laboratorium.

67
Pemeriksaan Serologi pada Kasus-kasus
Tersangka Kongenital Rubela di Jakarta
Tahun 1986
Drs. Djoko Yuwono
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK tahun 19803, sangat disayangkan pada waktu itu belum dapat
Selama tahun 1986 telah dilakukan pemeriksaan Serologi dilakukan konfirmasi laboratorium, akan tetapi gejala klinis
terhadap kasus-kasus tersangka kongenital rubella dengan telah memperlihatkan jelas ' adanya dugaan infeksi rubella
maksud untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit kongenital. Untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit
tersebut. Untuk keperluan tersebut, sebanyak 21 (duapuluh kongenital rubella dari bagian anak RS. Cipto Mangunkusumo,
satu) serum terdiri dari 7 serum bayi, 4 serum anak dan 10 Jakarta selama tahun 1986, telah dilakukan pemeriksaan
serum ibu yang diduga terkena infeksi virus rubella telah di- serologi kasus-kasus tersangka kongenital rubella yakni me-
periksa adanya zat anti rubella di dalam serum. Untuk me- liputi pemeriksaan zat anti rubella dan kadar imunoglobulin M
ngetahui adanya infeksi barn oleh virus rubella, telah dilaku- untuk membuktikan adanya infeksi baru virus rubella.
kan pemeriksaan kadar IgM terhadap rubella di dalam serum Maksud penulisan makalah ini ialah ingin mengutarakan
bayi. Pemeriksaan zat anti rubella di dalam serum dilakukan suatu analisa serologik dari kasus kongenital rubella yang
dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi, sedangkan untuk me- hasilnya dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan guna
ngetahui adanya IgM dilakukan dengan teknik ELISA. membantu menegakkan diagnosa penyakit tersebut.
Hasil pemeriksaan serologi memperlihatkan, di antara 7
serum bayi, ternyata 5 serum positif terkena infeksi rubella, BAHAN DAN CARA
sedangkan dari 4 serum anak ternyata 1 serum masih me-
miliki IgM. Hasil pemeriksaan zat anti rubella di dalam serum Sampel berupa darah vena yang dikoleksi dari ibu dan bayi
ibu ternyata semua serum memiliki kadar zat anti rubella. penderita tersangka kongenital rubella yang berasal dari
Kesimpulan, penyakit kongenital rubella sudah saatnya Bagian Anak RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang datang
mendapatkan penanganan secara khusus. untuk melakukan konfirmasi serologi ke Laboratorium Viro-
logi, Pusat Penelitian Penyakit Menular. Diagnosa Minis di-
PENDAHULUAN lakukan oleh dokter anak di Bagian Anak RS. Cipto Mangun-
Penyakit Kongenital Rubella (Campak Jerman) adalah kusūmo. Pemeriksaan serologi dilakukan terhadap bayi dan
penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus rubella pada ibu ibu yang melahirkannya, akan tetapi pemeriksaan dilakukan
yang sedang hamil muda (trimester pertama). Walaupun juga pada anak-anak yang diduga merupakan penderita konge-
infeksi virus rubella itu tidak menyebabkan gejala yang jelas nital rubella, maksudnya untuk menentukan tindakan se-
(asimtomatik) pada ibu hamil, akan tetapi akibatnya pada lanjutnya bagi terapi penderita. Spesimen yang berupa darah
bayi yang dikandung sangat berbahaya, antara lain bayi akan dibawa ke Laboratorium Virologi, Pusat Penelitian Penyakit
lahir dengan menderita cacat bawaan (congenital malforma- Menular, untuk kemudian dipisahkan serumnya dengan
tion), misalnya cacat penglihatan, pendengaran, kelainan sentrifugasi pada 2000 rpm selama 10 menit. Serum dipisah-
jantung dan kelainan ekstremitas tubuh. Lundstrom, 1962, kan dalam vial steril dan disimpan pada suhu -20°C sampai
memperlihatkan bahwa cacat bawaan yang disebabkan oleh dilakukan pemeriksaan serologi.
infeksi rubella pada ibu hamil bulan pertama, ke dua, ke tiga
Pemeriksaan antibodi terhadap rubella.
dan ke empat, masing-masing sebesar 35%, 25%, 9% dan
4%1. Pemeriksaan antibodi terhadap rubella dilakukan dengan
Penyakit kongenital rubella pertama kali dilaporkan di Uji Hambatan Hemaglutinasi, modifikasi Stewart et al 19674.
Indonesia terjadi di Surabaya tahun 19702 dan di Semarang Antigen yang dipakai adalah antigen rubella, strain M-33, di-

68
peroleh dari N.I.H. Tokyo, Jepang, dengan konsentrasi 2 HA rubella pada waktu hamil muda, ternyata, satu orang memang
unit antigen. Pengenceran serum dimulai dari konsentrasi 1:8, terkena infeksi virus rubella sedang lainnya ternyata tidak
yang didapat dengan cara melakukan proses dengan larutan serodiagnostik.
25% kaolin dalam larutan garam Borat, pH. 9,0, selama 1 jam Tabel-1 memperlihatkan penderita kongenital rubella yang
pada suhu 37°C. Adsorpsi dengan darah angsa 50%, untuk dapat diperiksa serologic terhadap virus rubella, diagnosa
menghilangkan non spesifik inhibitor. Untuk menghitung titer klinik berdasarkan diagnosa oleh dokter ahli anak di RS. Dr.
anti rubella, pengenceran dilanjutkan secara kelipatan dua Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
sampai mencapai 1:512, kemudian pada setiap pengenceran
Tabel-1. Penderita tersangka kongenital rubella yang diperiksa serologi
serum ditambahkan antigen rubella yang telah diketahui titer- di Puslit. Penyakit Menular dan diagnosa klinik yang di-
nya. Reaksi antigen-antibodi dilakukan pada suhu kamar se- tegakkan oleh dokter ahli di Bagian Anak, RS. Cipto Mangun-
lama 1 jam, atau pada temperatur 4°C selama semalam. Ada- kusumo, Jakarta tahun 1986
nya antibodi dalam serum dapat diketahui dengan adanya
No. Nama Umur/Seks Anak ke Diagnosa Asal
hambatan aglutinasi darah angsa, sebagai indikator, oleh virus
rubella. Darah angsa yang dipakai sebagai indikator konsen- 1. TD 21/2bl/L pertama Tersangka CRS Cirebon
trasinya 0,24% dalam larutan Veronal Borat Saline pH. 7,4. katarak
2. NAF 4 bl/P pertama Tersangka CRS Jakarta
Pembacaan hasil uji dilakukan 10 menit kemudian setelah
inkubasi pada suhu 4°C selama 1 jam. 3. ELZ 4 bl/P pertama Tersangka CRS Kupang
katarak
Pemeriksaan kadar IgM terhadap rubella.
4. IS 3 bl/L — Tersangka CRS Jakarta
Untuk mengetahui adanya infeksi baru (recent infection) buta
virus rubella pada bayi ketika bayi masih dalam kandungan, 5. ZR 6 bl/L — Tersangka CRS Jakarta
perlu dilakukan pemeriksaan kadar IgM terhadap rubella. katarak
Pemeriksaan dilakukan dengan teknik ELISA (Enzyme Linked 6. AM 6 bl/P pertama Tersangka CRS Jakarta
hidrosefalus
Immunosorbent Assay), dengan menggunakan RUBAZYME M
7. DV 4 bl/P pertama Tersangka CRS Jakarta
kit, produksi Abbott Lab. Co. Prinsip dari teknik ELISA ada- katarak
lah reaksi antara antigen dan antibodi rubella, sedangkan 8. HD 4 th/L — Tersangka CRS Jakarta
adanya IgM rubella dapat diketahui dengan menambahkan
9. JN 3 th/P pertama Tersangka CRS Jakarta
antihuman IgM terhadap rubella yang telah ditandai dengan
enzim peroksidase. Reaksi selanjutnya adalah reaksi enzim dan 10. AY 3 th/L — Tersangka CRS Jakarta
substrat. Apabila terdapat IgM dalam serum, akan terbentuk
ikatan solid fase kompleks yang akan bereaksi dengan substrat, 11. GL 3 th/L — Tersangka CRS Jakarta
yang dapat diketahui dengan adanya perubahan warna dari
transparan menjadi kuning coklat. Reaksi antigen dan antibodi Tabel-2 memperlihatkan hubungan titer zat anti rubella
dilakukan dalam penangas air pada suhu 45°C, sedangkan pada bayi dan anak terhadap ibu yang nielahirkan serta kadar
reaksi enzim dan substrat pada suhu kamar. Pembacaan hasil IgM rubella di dalam serum untuk membuktikan adanya infeksi
uji dilakukan dengan spektrofotometer (Spekta-10) dengan baru (recent infection) virus rubella.
OD pada 492 nm, yang akan memberikan Rubazyme M
Tabel-2. Hubungan titer antibodi terhadap virus rubella pada bayi/
indeks antara 1,01 sampai 2,0 bagi serum yang positif IgM. anak dengan ibunya tersangka penderita kongenital rubella
Adanya rematoid faktor dapat diabaikan dengan adanya dan kadar IgM rubella dalam serum penderita.-(Spesimen dari
reagensia tertentu di dalam pelarut yang terdapat di dalam kit. bagian anak RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, th. 1986).

HASIL Ibu Bayi/anak


Selama tahun 1986 telah terkumpul sebanyak 21 (duapuluh Titer zat anti rubella Titer zat anti rubella
satu) spesimen serum, yang terdiri dari serum bayi sebanyak 7 Umur/ Anti- Umur/ Anti-
serum, 4 (empat) serum anak, dan serum ibu sebanyak 10 No. Nama seks bodi Nama seks bodi
IgM
serum.
1. — — — TD 21Vzbl/L 32 post.
Hasil pemeriksaan zat anti rubella pada bayi ternyata hanya
2. NGT 22th/P 64 NAF 4 bl/P 128 post.
1 serum yang tidak memiliki anti rubella, sedangkan pemerik-
3. HLD 33th/P 16 ELZ 4 bl/P 64 post.
saan IgM pada serum bayi menunjukkan dua serum yang IgM
4. — — — IS 3 bl/L 16 neg.
rubella negatif, hal ini menunjukkan bahwa ke dua bayi ter-
5. EN 28th/P 80 ZR 6 bl/L <8 neg.
sebut memang bukan terkena infeksi rubella. Hasil pemeriksa-
6. NS 30th/P 64 AM 6 bl/P 128 post.
an serum anak menunjukkan, semua serum memiliki zat anti
7. DV 28th/P 256 DVN 4 bl/P 256 post.
rubella, sedangkan pemeriksaan IgM menunjukkan bahwa
8. ISM 21th/P 32 JN 4 th/P 16 ND
hanya satu serum yang hasil IgM rubella positif, hal ini me-
9. ER 21th/P 80 AY 3 th/L 80 ND
rupakan bukti bahwa infeksi virus rubella juga dapat terjadi
10. SR 25th/P 64 HD 4 th/L 32 ND
secara kronis, yang ternyata sampai anak berumur 4 tahun
11. — — — GL 3 th/L 160 post.
kadar IgM rubella masih dapat dideteksi di dalam serum.
12. DCK 28th/P 16/128)* — — — —
Lebih lanjut hasil pemeriksaan 10 serum ibu menunjukkan dan 13. UA 23th/P 16 — — — neg.
menggambarkan adanya titer zat anti rubella dalam darah yang
cukup tinggi. Dua serum ibu yang diduga terkena infeksi virus

69
ND : tidak dilakukan pemeriksaan infeksi virus rubella, apabila dikaitkan dengan besarnya angka
)* : serum akut/konvalsen
post. : 1gM rubella positif
kelahiran bayi di Jakarta sebesar 1,5% tiap tahunnya, maka
neg. : 1gM rubella negatif diperkirakan secara global akan terlahir bayi dengan cacat
bawaan oleh karena infeksi virus rubella sebanyak 15 bayi
Tabel-3. Hubungan antara umur, seks dan urutan kelahiran anak tiap 100.000 kelahiran.
dengan kejadian kongenital rubella (IgM)
Dengan perkiràan tersebut, kiranya penyakit kongenital
rubella sudah perlu mendapat perhatian khusus dan pencegah-
Umur Saks Urutan lahir IgM
an dengan imunisasi rubella pada wanita usia subur yang akan
L P I dst. Positif Negatif menjadi calon ibu yang masth seronegatif atau masih rentan
terhadap infeksi virus rubella perlu mendapat perhatian. Per-hatian
<1 th. 40% 60% 71,5% 28,5% 71,5% 28,5% dapat dilakukan dengan mewajibkan melakukan. Peme-
(3) (4) (5) (2) (5) (2) riksaan serologi rubella pada wanita yang akan menikah atau
akan mengandung, bila ternyata masih rentan terhadap infeksi
3—4 th. 75% 25% 25% 75% 25% 75% virus rubella, maka imunisasi sudah tentu perlu diberikan
(3) (1) (1) (3) (1) (3) untuk mencegah terjadinya kongenital rubella pada bayi yang
akan dilahirkan.
PEMBAHASAN KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan ini memperlihatkan adanya hubungan Dan hasil pemeriksaan serologi ini dapat ditarik kesimpul-
titer anti rubella antara ibu dan bayi, demikian pula titer anti an:
rubella pada ibu dan anak penderita kongenital rubella (Tabel- Pemeriksaan serologi terhadap kasus-kasus tersangka Ko-
2). Hubungan tersebut adalah ditemukannya suatu kecen- ngenital Rubella perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
derungan, bahwa titer zat anti rubella pada bayi lebih tinggi penderita meinang terkena infeksi virus rubella. Pemeriksaan
dari titer zat anti rubella ibunya, sedangkan titer zat anti kadar 1gM terhadap rubella perlu dilakukan apabila dipandang
rubella pada anak ternyata lebih rendah dari titer zat anti penlu untuk melakukan terapi selanjutnya pada penderita,
rubella ibunya. Perkecualian terdapat pada penderita IS dan misalnya untuk melakukan operasi dan lain-lain, gunanya
ZR yang memang ternyata hasil pemeriksaan IgM terhadap untuk mengetahui apakah virus rubella masih terdapat di
rubella negatif. Hasil pemeriksaan IgM pada anak yang diduga dalam tubuh penderita.
pernah terkena kongenital rubella ternyata ada seorang anak
(penderita HD) umur 4 tahun yang masih menunjukkan ada- KEPUSTAKAAN
nya IgM terhadap rubella, hal ini merupakan bukti bahwa
infeksi virus rubella terjadi secara kronis. Secara keseluruhan 1. Lundstrom R. Rubella during pregnancy. A follow up study of
basil pemeriksaan IgM ternyata dapat merupakan bukti yang children born after an epidemic of rubella in Sweden 1951, with
nyata untuk memperkuat diagnosa klinis, di man masih di- additional investigation on prophylaxis and treatment of maternal
temukan adanya infeksi virus rubella dalam tubuh penderita, rubella. Act Pediatr Scand Suppl. 133, 1962;51: p.1—88.
2. Ong Sing King, The Soey Liang, Budiono LH, Doyopranoto M,
hal ini sangat berguna dalam menentukan tindakan selanjutnya Kadi J, Knistanto RK, Tamin B. Presumable Congenital Rubella
terhadap terapi bagi penderita, misalnya melakukan operasi Syndrome, case report. Indonesia Pediatr Ass 1970; 10: 5, p.201—
dan lain-lain. 215.
Hasil pemeriksaan serologi pada kasus-kasus tersangka 3. Sumantri A. dan Suharyono W. Rubella di Indonesia laporan kejadi-
an. Bull Fak Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang 1980.
kongenital rubella yang dilakukan oleh Puslit. Penyakit Me- 4. Stewart CL, Parkman PD, Hopps HE, Douglas RD. Hamilton JP
nular ini merupakan bukti yang nyata bahwa penderita konge- and Meyer HM. Rubella virus Hemaglutination Inhibittion Test.
nital rubella memang benar-benar ada di Indonesia. New Engld Med 1967;276: p.554—557.
Hasil pemeriksaan serologi ini juga memberikan gambaran 5. Suprapti T. Rubella in Bandung. Dalam Mikrobiologi Indonesia.
Kumpulan Makalah Kongres Nasional Mikrobiologi ke Ill, Jakarta
yang sangat berguna untuk memperkirakan berapa besar per- 26—28 Nop. 1981 Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, p. 246—
masalahan penyakit' kongenital rubella di Jakarta, selama 249.
kasus-kasus kongenital rubella masih merupakan suatu indika-
tor yang nyata bagi besarnya permasalahan penyakit kongeni- Ucapan Terima Kasih
tal rubella. Apabila besarnya kasus-kasus kongenital rubella
tersebut dapat diketahui, besarnya prevalensi penyakit akan Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. F. Harahap dan Dr.
H.D. Pusponegoro dan Bagian Anak RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
dapat diperkirakan, se.hingga berapa besar bayi akan terlahir yang telah bersedia mengirimkan spesimen untuk pemeriksaan serologi.
cacat kongenital juga akan dapat diperkirakan. Besarnya kasus Kepada pihak perorangan ataupun instansi lain yang belum sempat
kongenital rubella di Jakarta sebanyak 7 kasus pada bayi dan disebutkan di sini kami ucapkan banyak terimakasih atas segala bantu-
ternyata 5 di antaranya memang benar positif oleh karena annya sehingga terlaksananya penulisan makalah ini.

70
Potensi Vaksin Morbili yang dipakai
Program Imunisasi di Indonesia
Bambang Heriyanto
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK cara imunisasi. Hal ini dapat memungkinkan basil yang diingin-
Penelitian ini telah melihat potensi vaksin morbili yang kan sama dengan bila suatu infeksi alamiah terjadi, dan tanpa
dipergunakan dalam program pengembangan imunisasi morbili pengaruh berat seperti bila terinfeksi dengan penyakit itu
di Indonesia. sendiri6'7 .
Sampel vaksin yang digunakan 100 sampel dari P2M & PLP Di Indonesia sudah sejak tahun 1982 program imunisasi
pusat dan 153 sampel dari daerah (Propinsi, Kabupaten dan morbili dilaksanakan. Adapun tujuan imunisasi sendiri adalah
Puskesmas), pemeriksaan dilakukan dengan menghitung untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian, bilā mung-
titer virus yang terkandung di dalam vaksin tersebut. kin mengeradikasi penyakit tersebut.
Hasil yang didapat, ternyata 98,42% vaksin morbili yang Untuk mengeradikasi penyakit menular yang mikroorgan-
dipergunakan masih memenuhi syarat menurut kriteria WHO ismenya dapat menginfeksi lebih dari satu hospes, atau pun
(titer > 103'°/0,5 ml /dosis). Sehingga dapat dikatakan, dapat hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan
potensi vaksin morbili yang digunakan dalam program imuni- merupakan hal yang mustahil?. Tetapi bila mikroorganisme
sasi di Indonesia sudah baik. tersebut secara total bergantung kepada manusia, maka eradi-
kasi penyakit tersebut dapat dilakukan, sebab kedua virus
PENDAHULUAN tersebut banyak persamaannya antara lain : jika menginfeksi
Morbili merupakan penyakit akut yang mudah sekali me- akan menimbulkan ruam yang khas dan menimbulkan ke-
nular dan sering terjadi komplikasi yang seriusl. Hampir kebalan dalam jangka waktu yang lama. Juga kedua jenis virus
semua anak di bawah 5 tahun di negara berkembang akan ter- ini tidak mempunyai hewan reservoir dan tidak menimbulkan
serang penyakit ini, sedangkan di negara maju biasanya menye- keadaan carrier kronik8.
rang anak usia remaja atau dewasa muda yang tidak terlindung
oleh imunisasi2,3. Dit.Jen. P2M & PLP sudah melaksanakan program imunisasi
Penyakit morbili sebetulnya tidak berakibat fatal apabila morbilisecara massal. Untuk mencapai efektifitas optimum,
menyerang anak-anak yang sehat dan bergizi baik. Tetapi apa- banyak faktor yang harus diperhatikan misal : potensi vaksin
itu sendiri, umur anak yang divaksinasi, luas jangkauan imuni-
bila di negara di mana anak yang menderita kurang gizi sangat
sasi dan lain-lain. Jangkauan imunisasi ditentukan oleh be-
banyak, morbili merupakan penyakit yang berakibat fatal berapa faktor, antara lain : fasilitas vaksin, letak daerah yang
dan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 5 — akan divaksinasi, kemampuan petugas dan lain-lain. Sedang
12%4. umur anak yang divaksinasi tiap negara berbeda-beda, ter-
Anak-anak yang bergizi kurang dan terserang morbili, biasa- gantung keadaan negara tersebut. Untuk potensi vaksin sangat
nya akan diikuti dengan keadaan yang disebut kwashiorkor. dipengaruhi cara pengiriman, penyimpanan, penanganan di
Keadaan ini dapat diterangkan oleh karena meningkatnya ke- lapangan dan jenis vaksin itu sendiri.
butuhan kalori dan protein semasa proses infeksi yang disertai Potensi vaksin morbili yang baik menurut Badan Kesehatan
dengan demam, nafsu makan menurun dan gangguan pada Dunia (WHO) adalah vaksin morbili yang mempunyai potensi
mulut anak yang rnenyebabkan kesulitan menelan. Di sam- 103,0/0,5 ml/dosis.
ping itu terjadi perubahan pada mukosa usus yang menyebab- Program imunisasi morbili telah dilaksanakan oleh Dit.Jen.
kan timbulnya protein losing enteropathy5 . P2M & PLP secara massal di seluruh daerah, di mana untuk
Untuk itu sangat perlu diadakan tindakan pencegahan. sampai di sasaran (Puskesmas) hams mengalami pengiriman
Salah satu tindakan yang dinilai paling efektif adalah dengan melalui rantai yang panjang, yaitu dari PN. Bio Farma dikirim

71
ke P2M & PLP pusat, kemudian ke Propinsi dan ke Kabupaten, 16 nomer batch, dan dari sejumlah tersebut di atas dapat di-
baru kemudian sampai di Puskesmas dan selanjutnya diberikan periksa semuanya.
kepada anak yang berhak menerimanya. Sehingga timbul suatu Temperatur tempat penyimpanan vaksin dari P2M & PLP,
masalah, apakah potensi vaksin morbili yang melalui rantai Propinsi, Kabupaten dan Puskesmas rata-rata bervariasi dari
pengiriman panjang itu tetap dapat dipertahankan sehingga 10°C sampai dengan — 20°C, sehingga dapat dikatakan me-
tetap memenuhi kriteria dari WHO? yaitu titer vaksin di atas menuhi persyaratan untuk menyimpan vaksin tersebut.
atau sama dengan 1o3 /0,5 ml/dosis. Berdasarkan data-data yang diperoleh, dapat dibuat suatu
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat potensi vaksin tabel potensi vaksin morbili, baik yang berasāl dari pusat mau-
morbili yang digunakan dalam program imunisasi di Indonesia pun dari daerah; yang menyatakan, dari 253 sampel vaksin
periode 1983/1984. yang diperiksa, 98,42% memenuhi syarat dari WHO, yaitu
titernya sama dengan atau di atas 103'0/0,5 ml/dosis, sedang-
BAHAN DAN CARA kan yang tidak memenuhi syarat adalah 1,58%.
Sampel vaksin morbili diambil secara acak sederhana dari Potensi Vaksin rata-rata yang berasal dari P2M & PLP pusat
tempat penyimpanan di Puskesmas dari berbagai daerah, juga dari masing-masing nomor batch dapat dilihat pada tabel 1 ,
diambil sampel vaksin dengan nomer batch yang sama dari sedangkan untuk melihat potensi vaksin yang baik dan yang
tingkat Kabupaten, Propinsi dan P2M & PLP pusat. Sampel buruk dari daerah dapat dilihat pada tabel 2. Sehingga dari
vaksin dibawa ke laboratorium virologi Pusat Penelitian data tersebut dapat dihitung : ( tabel 2.)
Penyakit Menular di Jakarta, dengan menggunakan thermos
berisi es untuk diperiksa potensi vaksin tersebut.
Jumlah sampel vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin
yang ada di tiap-tiap daerah (Puskesmas, Kabupaten, dan
Propinsi) kurang lebih 10% dari stock yang ada dari masing-
masing batch. Pengambilan di tingkat kabupaten, propinsi Tabel 1. Hasil pemeriksaan titer rata-rata (TCID50) dari vaksin morbili
dan P2M & PLP pusat disesuaikan dengan nomer batch yang yang berasal dari Pusat menurut nomor batchnya.
ada di Puskesmas.
Titer virus rata rata
Vaksin yang digunakan sebagai sampel adalah vaksin yang No. No. Batch Jumlah
(TCID50 )
digunakan dalam program irnunisasi periode 1983/1984,
dengan ketentuan belum kedaluwarsa pada waktu penelitian 1. 283 A2 103,5 / 0,5 ml. 5
dilakukan, dan vaksin berasal dari PN. Bio Farma. 2. 283 Al 103,7 /0,5 ml. 7
Pengambilan vaksin dari P2M & PLP pusat dilakukan oleh 3. 282 104,0 /0,5 ml. 5
petugas dari Puslit Penyakit Menular, sedang yang dari daerah 4. 282 Al 103,75/0,5 ml. 6
dikerjakan oleh petugas dari P2M & PLP pusat. Pemeriksaan 5. 382 Al 103,75/0,5 ml. 8
vaksin dilakukan di laboratorium Virologi Puslit Penyakit 6. 382 A2 103,75/0,5 ml. 6
Menular, dengam cara titrasi tes pada biakan ginjal kera se- 7. 382 B 103,5 /0,5 ml. 7
perti berikut : 8. 382 B2 103,5 /0,5 ml. 6
Pemeriksaan potensi vaksin ini dilakukan dengan cara meng- 9. 482 A 104,0 /0,5 ml. 5
hitung titer virus tersebut yang terkandung di dalam vaksin 10. 482 Al 103,75/0,5 ml. 8
tersebut. Penghitungan dilakukan dengan menentukan TCID50 11. 482 B2 104,0 /0,5 ml. 7
pada biakan sel VERO secara mikroteknik, yaitu dengan 12. 482 C 103,5 /0,5 ml. 7
menggunakan microplate dengan 96 sumur biakan. Pengencer- 13. 482 D 103,75/0,5 ml. 6
an virus dilakukan dengan melarutkan 0,1 ml. virus ke dalam 14. 581 103,75/0,5 ml. 8
0,9 ml. pelarut virus. Pengenceran dimulai dari 1 : 10 sampai 15. 582 Al 103,75/0,5 ml. 4
dengan 1 : 10.000. 16. 582 A2 104,0 /0,5 ml. 5
Kultur sel Vero yang telah monolayer dalam microplate
diinokulasi dengan virus yang telah diencerkan, dengan mem- JUMLAH SAMPEL = 100
buang medium pertumbuhannya terlebih dahulu sebelum di-
inokulasi dengan virus. Inokulasi 0,1 ml. virus tiap sumur se- PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
banyak 4 sumur setiap pengenceran virus. Inkubasi dilakukan
pada 37°C pada 5% CO2 mkubator selama 7 hari. Pengamatan Dengan melihat basil pemeriksaan, sampel vaksin morbili,
dilakukan dengan memakai rumus Karber. Sebanyak minimum dapat diketahui, vaksin morbili yang digunakan dalam program
irnunisasi di Indonesia pada periode 1983/1984 memenuhi
2 (dua) sampel untuk setiap nomor batch vaksin harus di-
syarat sebagaimana ditetapkan oleh WHO, karena dari vaksin
periksa agar pemeriksaan dianggap sah (valid). yang diperiksa baik dari P2M & PLP pusat maupun dari daerah
HASIL menunjukkan 98,42% potensinya memenuhi syarat, yaitu
titer > 103'0 /0,5 ml./dosis. Walaupun ada sebagian kecil
Sampel vaksin morbili yang dapat dikumpulkan adalah (1,58%) vaksin yang potensinya tidak memenuhi syarat,
sejumlah 253 sampel. Yang berasal dari P2M & PLP pusat yaitu titernya di bawah 103'0 /0,5 ml /dosis, hal ini dapat di-
100 sampel dan 153 berasal dari daerah (Jawa Timur, Jawa ketahui penyebabnya dengan jelas apabila baik dalam per-
Tengah, Jawa Barat, DKI Jaya, Bali, Sumatera Barat, jalanan maupun di dalam penyimpanan dan penanganan di
Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan lapangan temperaturnya selalu dicatat, juga lama penyimpan-
Barat, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat) yang terdiri dari an, cara pengiriman, dan cara kerjal vaksinator selalu dikontrol.

72
Tabel 2. Hasil pengamatan potensi vaksin morbili yang diambil dari tetap berkisar seperti tersebut di atas.
berbagal daerah dalam program PPI, periode 1983/1984.
Dengan demikian berdasarkan penelitian ini dapat disim-
Jumlah vaksin Potensi pulkan, walaupun pengiriman vaksin morbili melalui rantai
No. Nama Propinsi Prop. Kab. Kec. Balk Buruk yang panjang (P2M & PLP, Propinsi, Kabupaten dan Puskes-
mas), tetapi potensi vaksin tersebut tetap dapat dipertahankan
1. Jawa Timur 7 3 26 34 2*
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh WHO. Sehingga
2. Jawa Tengah 8 6 6 19 1**
potensi vaksin morbili yang digunakan dalam program imuni-
3. Jawa Barat 2 2 6 10 0
sasi periode 1983/1984 sudah baik, yaitu potensi dapat di-
4. DKI Jaya 3 3 9 15 0
5. Bali 5 7 8 20 0
pertahankan dengan titer > 103'° /0,5 ml /dosis.
6. Sumatera Barat 2 2 4 8 0 SARAN
7. Sumatera Selatan 1 1 3 5 0
8. Bengkulu 1 2 3 6 0
1. Pemeliharaan alat pendingin di daerah terutama di Puskes-
9. Kalimantan Timut 1 0 5 6 0
mas hendaknya selalu ditingkatkan dan temperatur dicatat
10. Kalimantan Barat 1 4 5 10 0 setiap hari.
11. Sulawesi Utara 2 2 6 9 1*** 2. Waktu pengiriman dan penyimpanan hendaknya temperatur
12. Nusa Tenggara Timur 1 1 5 7 0 dijaga dan dicatat.
3. Agar diperhatikan penanganan vaksin di lapangan.
Jumlah 34 33 86 149 4
KEPUSTAKAAN
Keterangan :
2* = vaksin berasal dart Kecamatan Mojokerto, dengan titer vaksin 1. Krugman S, Ward R and Katz SL. Infectious Disease of Children.
< 1 0 3'°/0,5 ml./dosis.
6th Ed Saint Louis: The CV Mosby Co, 1977 ;p 132.
1** = vaksin berasal dart Kecamatan/Puskesmas Klaten, dengan titer 2. Behrman RE, Vaughan VC and Nelson WE. Nelson Text book of
3,0
vaksin < 1 0 /0,5 ml/dosis. Pediatrics. 12th Ed. Tokyo: WB Saunders Company, Igaku Shoin/
1*** = vaksin berasal dart Kecamatan/Puskesmas Tikala Bane, dengan Saunders. 1983;p 743.
3,0
titer vaksin < 1 0 /0,5 mL/dosis. 3. Steinhoff MC and John TJ. Appropriate Strategy for immuni-
Prop. = Propinsi. Kab. = Kabupaten; Kec. = Kecamatan/Puskesmas. zation of Children in India IV: Measles and its Control, Priority
Number One, Indian J Pediat. 1982,.49: 303—310.
Dalam hal tersebut di atas, dugaan terkuat adalah mungkin 4. Roberton NRC and Barnes MD. Immunization. Up Date, January
vaksin yang potensinya di bawah 103'0 tersebut sudah pernah 15fh, 1979,211—220.
dibawa ke lapangan untuk diberikan kepada anak-anak, tetapi 5. Axton JHM. Measles. A Protein Losing Enteropathy. Brit Med J.
karena •sasaran sudah habis sedang vaksin sudah terlanjur di- 1975„ III: 79—80.
6. Fulginiti V. Immunization In Clinical Practice. 1st Ed Philadel-
oplos, maka vaksin tersebut ditutup lagi dan dikembalikan ke phia, Toronto : JB Lippincott. 1982,,p 11.
tempat penyimpanan semula dicampur dengan vaksin yang 7. Gotoff SP. Childhood immunization. Public Health Currents.
belum pernah dikeluarkan, sehingga potensi akan turun dengan 1969;19:9—12.
cepat. 8. Hopkins DR, Koplan JP and Lane JM. The Case for Global Measles
Dugaan kedua, mungkin vaksin yang potensinya rendah ter- Eradication, Lancet. 1982.'1: 1396 -1398.
9. Fenner. Biological of Animal Viruses (part II) New York-London:
sebut sudah sering dibawa ke lapangan (dikeluarkan dari Academic Press, 1968.
tempat penyimpanan) yang kemudian sētelah tidak jadi di- 10. Kalter SS. Procedur for Routine Laboratory Diagnosis of Virus
gunakan dikembalikan lagi ke tempat penyimpanan semula, and Ricketssial Disease. Southwest Foundation for Research and
Education San Antonio Texas, 1963.
sehingga temperatur tidak tetap dingin dan poterisi turun 11. Kempe, CM. ed : International Converence on Measles Immuni-
dengan drastis. sation. Amer J Dis Child 1962.103 212—228.
Hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan karena pada 12. Kleine S. Potency and Efficacy of Vaccines Proceedings of an
waktu vaksin morbili yang potensinya rendah tersebut akan International Symposium Held at the Manila Hotel, Manila, Phi-
lippines, on February 21—22, 1980.
diperiksa ternyata keadaannya sudah cair dan segel sudah di- 13. Richard FC. Immunisation Survey of Recent Research U.S. De-
buka dari tempatnya. partement of Health And Human Service. Atlanta Georgia: Public
Dari hasil pengamatan waktu pengambilan vaksin dari tem- Health Service, 1983, 30333 : 3 -10,;106.
pat penyimpanan di pusat sampai di Puskesmas, rata-rata 14. Sutejo B. Measles in Indonesia and The Possibility of Prevention
By Active Immunisation. Dept of Child Health,.Medical School
temperaturnya berkisar antara 10°C sampai dengan — 20°C. University of Indonesia, 1980.
Pada temperatur tersebut seharusnya potehsi vaksin morbili
masih dapat dipertahankan, walaupun demikian belum dapat Ucapan Terima Kasih
dipastikan bahwa temperatur tempat penyimpanan vaksin Atas selesainya penelitian dan makalah ini kami mengucapkan
selalu tetap berkisar seperti di atas, sebab di daerah sering ter- banyak terima kasih kepada
jadi hal-hal seperti listrik mati, kulkas penyimpanan vaksin 1. Dit.Jen. P2M & PLP pusat umumnya dan bagian imunisast khusus-
dipakai untuk menyimpan barang-barang yang seharusnya nya yang telah menyediakan vaksin morbili untuk tercapainya penelitian ini.
tidak boleh disimpan bersama vaksin, sehingga akan mem- 2. P2M Propinsi, kabupaten dan Puskesmas yang juga telah banyak
membantu menyediakan vaksin morbili hingga selesainya penelitian
pengaruhi temperatur dan rusaknya vaksin tersebut. Hal ini ini.
kebanyakan ditemukan di Puskesmas, dan sebelum ada pene- 3. Semua instansi dan individu yang belum kami rebut namanya di
litian ini temperatur tidak pernah dicatat sehingga sukar di- sini yang telah memberikan bantuannya pada penelitian dan tulisan
kontrol apakah selama vaksin disimpan di situ temperatur ini.

73
Peranan Primatologi dalam
Mengembangkan Ilmu Kedokteran
dan Biologi
M. Edhie Sulaksono
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan/Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK cintaan terhadap alam/fauna. Sebagai realisasinya untuk me-


Minat manusia terhadap satwa primata (kera) semakin me- numbuhkan rasa cinta fauna tersebut, diciptakanlah suaka
ningkat khususnya di negara maju, dalam hal pemakaian untuk marga satwa, kebun binatang, taman safari dan lain sebagai-
tujuan penelitian dan penggunaan biomedis. Penyajian maka- nya. Di samping fungsinya sebagai tempat rekreasi, bermanfaat
lah ilmiah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pula untuk sarana pendidikan dan penelitian bagi yang ber-
peneliti kedokteran (manusia dan hewan) dan biologi tentang minat. Satwa primata juga sebagai pet animal, companian
peranan primatologi dalam mengembangkan ilmu-ilmunya. animal atau kadang-kadang sebagai simbol status belaka.
Ditinjau dari segi evolusi, satwa primata mempunyai hu- Minat manusia terhadap satwa primata ternyata tidak ber-
bungan philogenetik yang sangat dekat dengan manusia, se- henti di situ, bahkan untuk tujuan konsumsi sebagai pangan.
hingga mempunyai banyak kesamaan, baik dalam bentuk Dari semua sudut pandangan tersebut, yang lebih utama ada-
fisiologi, anatomi maupun tingkah lakunya. Di Laboratorium lah pemakaian satwa primata untuk tujuan penelitian dan
satwa primata merupakan "kunci" dalam mempelajari ber- penggunaan bio medis.
bagai penyakit : poliomielitis, hepatitis B, malaria, kanker, Di antara hewan mamalia, satwa primata merupakan ke-
herpes genital, lepra, AIDS, penyakit metabolik dan juga ber- lompok yang mempunyai banyak kesamaannya/kemiripan-
manfaat bagi penelitian farmasi, toksikologi, fisiologi repro- nya dengan manusia, baik anatomi, fisiologi maupun tingkah
duksi, perilaku dan lain sebagainya. Adapun jenis/spesies satwa lakunya, lebih-lebih orang utan, gorilla dan chimpanse. Ahli
primata yang banyak digunakan di negara maju adalah kera anatomi tertua, GALENUS (tahun 180 seb. Masehi), meng-
Rhesus (Macaca mullata), Chimpanze (Pan sp.), Presbytis sp., gunakan kera untuk mempelajari struktur tubuh manusia.
Marmoset (Callithrix sp.), Baboon (Papio sp.), Macaca fasci- Tentang anatomi ini kesamaan yang menyolok adalah ke-
cularis, Macaca nemestrina. Di Indonesia, kegunaan satwa mampuan gerakan yang begitu baik dari ekstremitas depan,
primata belum seperti di negara maju, namun beberapa insti- kuku yang datar, adanya lima jari pada masing-masing tangan
tusi seperti Perusahaan Umum Bio Farma sudah menggunakan dan kakinya, sepasang glandula mammae, dipunyainya dua
satwa ini untuk pembuatan vaksin dan pembiakan sel; Pusat gigi insisi untuk setiap setengah rahang. Kesamaan lainnya
Penelitian Penyakit Menular menggunakan Macaca fascicularis adalah kromosom orang utan, chimpanse, gorilla maupun
untuk keperluan pembiakan sel dan tes vaksin polio dan pe- kera-kera lainnya seperti kera Macau berjumlah 48; dipunyai-
nelitian filariasis; Institut Pertanian Bogor telah menggunakan nya empat kelompok darah A, B, AB, dan 0 meskipun pada
satwa primata untuk penelitian perilaku dan sitogenetik pri- berbagai spesies t-idak lengkap. Manusia dan kera yang kedua
mata serta penelitian penangkaran Gibbon; Universitas Indo- matanya mengarah ke depan mungkin merupakan mamalia
nesia untuk penelitian Filariasis. Sehubungan dengan me- yang °dapat melihat secara stereoskopis yang dapat melihat
ningkatnya penggunaan satwa primata tersebut di atas, telah ke dalam gambar penglihatannya, di samping itu mungkin
dirintis adanya Pusat Penelitian Satwa Primata di Bogor. pula memiliki kemampuan melihat warna. Kemiripan lainnya
Kesimpulannya, mengingat besarnya peranan yang dapat masih banyak lagi.
diberikan satwa primata dalam pengembangan ilmu penge- Dari berbagai kemiripan antara kera dan manusia, tidak
tahuan/penelitian, maka hal ini dapat merupakan rangsangan jarang satwa ini banyak dipakai sebagai model untuk mem-
bagi pemerintah untuk segera merealisir sarana pengadaan pelajari fungsi hidup manusia dalam kondisi normal maupun
satwa primata tersebut. sakit, tidak terbatas pada fungsi-fungsi fisik, melainkan pula
kemampuan psikologi seperti abstraksi belajar (learning
behaviour), etiologi serta kontrol dan produksi vaksin, untuk
PENDAHULUAN
Minat manusia terhadap satwa primata (kera) dapat dilihat tujuan bio medis lainnya dan kepentingan pendidikan.
dari beberapa sudut pandangan. Primata sebagai bagian fauna
dalam kehidupan alamiah menyebabkan timbulnya gagasan PENGGUNAAN SATWA PRIMATA SECARA UMUM UN-
manusia untuk melestarikan sebagai manifestasi daripada ke- TUK PENTINGAN ILMU KEDOKTERAN DAN BIOLOGI

74
Pada akhir bab pendahuluan disinggung penggunaan satwa Spesies kera yang digunakan adalah Macaca fascicularis, Ma-
primata untuk penelitian biomedis. Di negara maju kegiatan caca mullata (kera Rhesus), Chimpanse (Pan sp.).
ini meningkat sejak akhir perang dunia II dan makin me- • Hepatitis B
ningkat saja hingga kini. Masalah Poliomielitis misalnya, di- Tabun 1981 F.D.A (Food and Drug Administration) Amerika
tangani dengan lebih giat. Oleh karenanya Chimpanse dan Serikat telah memberi lisensi pembuatan vaksin terhadap
kera-kera lainnya banyak dipakai untuk kepentingan ini. Hepatitis B untuk manusia.
Demikian pula terapi malaria, masalah malnutrisi, biologi Spesies kera yang digunakan adalahMacaca mullata dan Chim-
reproduksi, toksikologi dan lain sebagainya. panse.
Adapun penggunaan utama satwa primata dalam penelitian • Malaria
bio medis adalah sebagai berikut : Penyakit ini adalah penyakit parasit(protozoa) yang menyerang
– Penyakit degeneratif menahun kurang lebih 200 juta penduduk dunia khususnya negara-
– Atherosklerosis negara tropis. Usaha pengembangan vaksin sedang dilakukan,
– Mempelajari penyakit menular yaitu dengan membuat vaksin monoklonal anti-bodi terhadap
– Fisiologi reproduksi : fertilitas, kontrol populasi plasmodium yang direaksikan dengan sporozoit dan diuji
– Penyalahgunaan obat respon kekebalannya pada Chimpanse. Di samping Chimpanse,
– Karsinogenesis : viral, kimia Aortus trivirgatus dan Presbytis cristatus (lutung) juga me-
– Malnutrisi dan nutrisi rupakan animal model dari penelitian malaria.
– Metabolisme obat • Kanker yang diindurasi oleh Herpes-virus
– Toleransi terhadap obat dan aditif lingkungan : tingkat ke- Dikembangkan vaksin yang memberikan proteksi pada kera
selamatan umum, teratogenesis, toksisitas embrio terhadap dua macam infeksi herpes. Ditemukan pula adanya
– Farmakologi janin virus penyebab kanker asli asal primata dan dengan model ini
– Kesehatan mental : impact pengalaman antenatal dan neo- diharapkan terungkap bagaimana sel dapat bersifat kanker.
natal pada kemampuan belajar dan tingkah laku setelah Spesies kera yang digunakan adalah kera Squirrel (kera Ameri-
lahir. ka Selatan).
– Fungsi SSP : neurofisiologi, neurofarmakologi, neurologi • Herpes genital
– Pengembangan vaksin Obat anti-virus acyclovir telah diuji kemampuannya pada kera
Cercopithecus aethiops (kera Afrika) dan telah digunakan
PRIMATOLOGI KAITANNYA DENGAN PENGEMBANGAN manusia.
ILMU KEDOKTERAN DAN BIOLOGI • Lepra
Perkembangan ilmu kedokteran dan biologi akhir-akhir ini Kasus lepra spontan telah ditemukan pada sejenis kera, yang
mengalami kemajuan yang pesat. Primatologi merupakan salah dapat diperbanyak pada suatu koloni. Penelitian diarahkan
satu cabang ilmu kehewanan yang mempelajari tentang satwa untuk mengetahui bagaimana penyebarannya dan sistem imun
primata dengan beberapa aspeknya, dapat merupakan bagian tubuh bereaksi dengan bakteri.
yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran dan biologi dalam • AIDS
konteks medical science. AIDS disebabkan oleh virus yang menyerang manusia. Suatu
Primatologi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : penyakit spontan mirip AIDS ditemukan pada kera Rhesus -
1. Kelompok Primatologi Umum, tentang : taksonomi, siste- clan pada Kera Rock Taiwan.
matik dan biologi evolusi; ekologi dan biologi sosial; ana- Banyak penelitian dilakukan mengenai AIDS dan SAIDS.
tomi primata perbandingan; etiologi, tingkah laku sosial Di samping sebagai model untuk AIDS manusia, SAIDS me-
dan tingkah laku primata dalam tangkapan; kesehatan rupakan topik dalam Primate medicine yang cukup penting.
komparatif dan tingkah laku primata dalam tangkapan; • Diabetes
kelainan tingkah laku. Telah ditemukan bentuk penyakit diabetes spontan pada
2. Disiplin khusus dan bidang-bidang penelitian antara lain : Macaw nigra (kera Sulawesi) seperti pada manusia, sehingga
imunologi, virologi-bakteriōlogi, patologi primata, terato- dengan demikiah ada keinginan kuat untuk menggunakan
logi, parasitologi, dinamika populasi, biologi reproduksi Macaca nigjra ini sebagai model untuk mempelajari lebih lanjut
dan birth control, konservasi primata, penyakit kardio- penyakit diabetes.
vaskuler, nutrisi, pediatrik dan obstetrik, kelainan-kelainan • Implantasi gigi
neurologi dan komputer dalam tata laksana. Teknik ini dikembangkan dengan pertolongan kera-kera
Macaca.
PENELITIAN PENYAKIT MANUSIA YANG MENGGUNA- • Virus-virus lambat ("Slow viruses")
KAN SATWA PRIMATA DI AMERIKA SERIKAT ("PRI- Penyakit Kuru di Irian ternyata disebabkan oleh virus lambat
MATE RESEARCH CENTERS") yang terdapat dalam tenunan otak. Demikian pula multiple
Berikut ini adalah gambaran penggunaan sews primata di sklerosis dan penyakit degeneratif sistem syaraf manusia juga
Amerika Serikat di beberapa Pusat Penelitian Primata, dengan disebabkan oleh virus lambat.
hasil yang telah diperoleh ataupun yang darapkan dalam Penelitian tersebut telah dilakukan pada Chimpanse.
waktu dekat. • Perilaku Ibu Anak, "Anxiety" (suatu problem mental-
• Poliomielitis health dengan rasa takut diiringi perubahan faal), Motion
Infeksi eksperimental pada kera dilakukan pertains kali pads sickness, Ketrampilan komunikasi untuk anak-anak terhambat,
tahun 1908. Sejak tahun 1955 dibuat vaksin anti-polio yang Poia-pola tingkah laku pria dan wanita, Efek obat pada tingkah
dapat dinikmati oleh masyarakat. laku sosial adalah bentuk penelitian yang dilakukan pada kera.

75
• Po lu s i udara kembang seperti di negara maju. Namun demikian pengguna-
Penelitian aspek ini juga banyak menggunakan kera. an untuk kegiatan rutin selalu ada, misalnya Perum Bio Farma,
• Air raksa di lingkungan Bandung menggunakan satwa ini untuk pembuatan vaksin
Penelitian yang banyak menitikberatkan perhatian pada efek (anti-polio), pembiakan sel dan pengawasan mutu vaksin, yang
terhadap reproduksi dan tingkah-laku banyak menggunakan jumlahnya kurang lebih 860 ekor per tahun (Hasil Feasibility
satwa primata sebagai modelnya.
• Penelitian yang tergolong dalam penelitian reproduksi, Study konsultan dari WHO/UNICEF/USAID tahun 1984) dan
bedah syaraf, bedah pada fetus, mata dan penyakit metabolik kemungkinan jumlah ini meningkat terus.
lainnya. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pe-
ngembangan Kesehatan menggunakan kera untuk keperluan
SUMBER DAYA DAN KEGUNAAN SATWA PRIMATA pembiakan sel dan juga telah menggunakan kera untuk tes
DI INDONESIA vaksin polio. Untuk kegiatan penelitian telah dilakukan pe-
Indonesia adalah salah satu negara kaya dalam sektor sum- nelitian filariasis dengan menggunakan Presbytis cristata,
ber daya primata baik mengenai keanekaan jenis maupun ke-
adaan populasinya. Tiga puluh jenis satwa primata yang ter- bahkan telah dirintis penelitian intensif filariasis oleh Univer-
masuk dalam lima familia tersebar di Sumatera, Kalimantan, sitas Indonesia.
Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil di seki- Dalam rangka pengembangan penelitian kedokteran dan
tarnya. Di antara tigapuluh jenis kera tersebut, duapuluhdua biologi dengan menggunakan satwa primata di Indonesia,
jenis di antaranya dilindungi oleh Undang-undang Perlindung- telah dirintis adanya Pusat Penelitian Satwa Primata yang ber-
an dah Pelestarian Alam, yang berarti 73% dari total jenis kedudukan di Bogor. Hal ini dimaksudkan di samping sebagai
kera yang ada di Indonesia. Berikut ini adalah daftar jenis penyedia spesies kera yang memenuhi syarat penelitian, juga
satwa primata yang ada di Indonesia beserta penunjukan jenis- lembaga tersebut dapat merupakan wadah komunikasi peneliti
jenis yang sekarang dilindungi Undang-undang.
yang berhubungan dengan kera, sarana pendidikan calon-
Tabel 1. Jenis-jenis satwa primata di Indonesia *) calon pakar primatologi dan manfaat lainnya yang dapat membantu
Nama di dalam mengembangkan ilmu kedokteran dan biologi melalui
No. Familia Genus Spesies Indonesia Keterangan penggunaan satwa primata.
1. Lorisidac Nycticebus N. coucang Kukang Dilindungi
KESIMPULAN
2. Tarsidae Tarsius T. bancanus Singapuar Dilindungi
bangka • Primatologi dalam mengembangkan ilmu kedokteran dan
T. spectrum Singapuar Dilindungi biologi cukup berperan. Dengan potensi sumber daya satwa
Sulawesi primata yang cukup pula dapat merupakan rangsangan peneliti
3. Cercopithe- Presbytis P. aygula Surili Dilindungi kedokteran dan biologi untuk bersama-sama mengembangkan
cidae P. cristata Lutung —
P. femoralis Koka — penelitian di bidangnya, apalagi telah mulai dirintis adanya
P. frontata Lutung Dilindungi Pusat Penelitian Satwa Primata oleh pemerintah.
dahi putih • Seperti di negara lain, ilmu pengetahuan di Indonsia juga
P. melalophos Simpai — bertambah maju, satwa primata akan banyak digunakan untuk
P. potenziani Joja Dilindungi
P. rubicunda Kelasi Dilindungi
penelitian-penelitian di masa mendatang. Untuk mendapatkan
P. thomasi Rungka Dilindungi satwa yang siap pakai untuk percobaan diperlukan perlakuan
Nasalis N. larvatus Bekantan Dilindungi khusus di samping menjamin kelestarian di habitat asalnya.
Simias S. concolor Simakobu Dilindungi Penggunaan satwa primata yang asal pakai dapat menghasilkan
Macaca M. fascicularis Monyet — data yang erratik, sebaliknya bila tersedia satwa yang baik
M. nemestrina Beruk —
M. pagensis Bokoi Dilindungi tidaklah kecil kiranya peranan satwa primata dalam mengem-
M. brunnescens Monyet Dilindungi bangkan ilmu pengetahuan di rumahnya sendiri, Indonesia.
butung
M. maura Dare Dilindungi KEPUSTAKAAN
M. nigra Dihe Dilindungi 1. Anonymous : World Health Organization (W.H.0) Mission to De-
M. tonkeana Digo Dilindungi termine The Feasibility of Establishing a Primate Breeding Program
M. nigrescens — in Indonesia. Report on Visit of W.H.O/Unicef/USAID Mission,
M. ochreata 1983.
M. hecki — 2. Bourne GH. Non-Human Primates and Medical Research. lst.ed.,
4. Hylobatidae Hylobates H. agilis Ungko Dilindungi New York and London: Academic Press, 1973.
H. klossii Bilow Dilindungi 3. Direktorat Pelestarian Alam, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan
'H. lar Serudung Dilindungi dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan, R.I : Pemanfaatan
H. moloch Owa Dilindungi Kera Yang Selaras dengan Azas Kelestarian. Diskusi Panel, Jakarta,
H. muelleri Klampiau Dilindungi 1981.
H. syndactilus Siamang Dilindungi 4. Hafez ESE. Comparative Reproduction of Non-Human Primates.
5. Pingidae Pongo P. pygmaeus Mawas Dilindungi Illinois, U.S.A: Charles C. Thomas Publisher, 1971.
5. Hendrickson U . The Role of Primates in Medical Research. Special
*) Sumber data : CITES, First Report 1980; diterbitkan oleh Direkto- Report Primate News 1984; 1: 21.
rat Pelestarian Alam, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan 6. Mitruka BM, et al. Animal for Medical Research. Model for The
Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan RI, 1981. Study of Human Disease. Sydney, Toronto: A Wiley Medical
Publication, John Wiley and Sons, 1976.
7. Palmieri JR et al. Animal Model of Human Disease. Wuchereria
Adapun kegunaan satwa primata di Indonsia belum ber- bancrofti Injection in The Silvered Leaf Monkey (Presbytis cristata).
AJ Par. 1983; 3: 112.

76

You might also like