You are on page 1of 31

RISET REKAYASA ALAT DAUR ULANG LIMBAH CAIR HASIL PENGOLAHAN RUMPUT LAUT : Alkaly Treated Cottonii (ATC)

ABSTRAK Industri pengolahan alkali treated cottonii (ATC) menghasilkan volume limbah cair yang sangat besar, namun penanganan terhadap limbah oleh industri ATC di Indonesia hingga kini masih menjadi permasalahan. Sehingga penelitian mengenai teknik penanganan limbah cair dari produksi ATC diperlukan. Penelitian rekayasa alat pengolahan limbah cair hasil pengolahan rumput laut (Alkaly Treated Cottonii) telah dilakukan dalam tiga tahap penelitian yaitu : penelitian penggunaan tawas dalam koagulasi limbah cair, pengembangan model alat pengolahan limbah cair, dan proses daur ulang limbah cair dan pemanfaatan limbah hasil olahan pada produksi ATC. Penambahan tawas terbaik dalam koagulasi limbah cair hasil pengolahan ATC yaitu sebesar 0,2% dengan penurunan nilai TDS sebesar 12,61%, dan pH optimum aktifitas tawas yaitu pada pH awal limbah 8,2 dengan nilai TDS dan TSS masing-masing sebesar 6975 ppm dan 1139,6 ppm. Penambahan tawas juga menurunkan nilai pH dan alkalinitas limbah cair. Desain dan pengembangan alat pengolahan limbah cair telah dilakukan dengan prinsip metode koagulasi dan filtrasi. Proses koagulasi dilakukan dalam tanki koagulasi dengan penambahan tawas sebesar 0,1 - 0,25% dan flokulan blok 20 ppm, sedagkan filtrasi dilakukan dengan penyaringan melalui filter zeolit-arang aktif dan membrane selulosa asetat. Alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut mampu menurunkan jumlah total padatan terlarut (TDS), total padatan anorganik terlarut (TADS) dan Biological Oxygen Demand (BOD) limbah cair hingga 56,60 %, 32,29%, dan 60,66%. Namun kemampuan alat filtrasi menggunakan kolom zeolit-arang aktif menurun seiring dengan banyaknya daur ulang yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisa didapatkan juga bahwa alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut mampu menurunkan nilai pH, kekeruhan, bau, dan warna limbah cair. Hasil analisa mutu air setelah dilakukan pengolahan menunjukkan bahwa sampai dengan daur ulang limbah ke-5 berdasarkan jumlah padatan terlarutya (TDS) air olahan termasuk dalam kategori limbah dengan kategori tingkat sedang yaitu antara 2000 - 5000 ppm, sedangkan nilai dissolved oxygen (DO) dan BOD air hasil olahan masih memenuhi persyaratan baku mutu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian (DO > 3 ppm dan BOD < 5ppm). Berdasarkan analisa didapakan bahwa penggunaan air olahan terhadap mutu ATC hingga lima kali proses daur ulang secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Parameter utama yaitu kekuatan gel ATC yang diproduksi menggunakan air olahan tidak berbeda nyata dengan kontrol dan berada dalam standar yang ditentukan yaitu lebih besar dari 500 g/cm2.

Key Word: Liquid waste, treatment, alkali treated cottonii (ATC)

31

1. PENDAHULUAN Industri pengolahan rumput laut sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material kini mulai bergeser menjadi produk semi-jadi yang memiliki nilai tambah tinggi. Salah satu industri yang paling berkembang dengan bloomingnya budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii di Indonesia adalah industri pengolahan alkali treated cottonii (ATC), yaitu suatu produk semijadi yang berasal dari proses ekstraksi rumput laut alga coklat yang umumnya digunakan sebagai bahan pembentuk gel (gelling agents), penstabil, pengatur keseimbangan sehingga banyak digunakan dalam industri pangan maupun non pangan. Disisi lain, dengan berkembangnya industri pengolahan rumput laut menyebabkan terciptanya suatu permasalahan baru, yaitu dengan adanya sisa hasil olahan berupa volume limbah yang sangat besar. Pada proses produksi ATC, perbandingan limbah yang dihasilkan mencapai 1 : 40 (w/v) antara bahan baku dengan limbah cair yang dihasilkan. Hal ini menimbulkan masalah yang serius terhadap pencemaran lingkungan, karena karakteristik limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan ATC memiliki alkalinitas yang tinggi dengan pH berkisar antara 12 13, memiliki kandungan organik tinggi dan memiliki warna kecoklatan, sehingga pembuangan limbah ke lingkungan tanpa proses penanganan yang baik akan mengancam keberlangsungan ekosistem yang berada disekitarnya. Namun hingga saat ini belum ada suatu penanganan atau sistem pengolahan khusus untuk menangani limbah cair hasil pengolahan ATC tersebut, karenanya penelitian mengenai teknik penanganan dan pembuatan alat untuk mengolah limbah cair pengolahan ATC sangat diperlukan. Untuk menjamin terpeliharanya sumber daya air dari pembuangan limbah industri, pemerintah dalam hal ini Menteri Negara KLH telah menetapkan baku mutu limbah cair bagi kegiatan yang sudah beroperasi yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara KLH Nomor: Kep-03/KLH/ II/1991. Agar dapat memenuhi baku mutu, limbah cair harus diolah dan pengolahan limbah tersebut memerlukan biaya investasi dan biaya operasi yang tidak sedikit. Maka pengolahan limbah cair harus dilakukan secara cermat dan terpadu di dalam proses produksi dan setelah proses produksi agar pengendalian berlangsung dengan efektif dan efisien Penelitian daur ulang limbah cair pengolahan ATC ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang sama tahun 2005, namun pada penelitian ini dilakukan

32

perbaikan dan penyempurnaan terhadap alat daur ulang limbah cair dan proses pengolahan limbah cair terdahulu serta dilakukan scaling-up terhadap alat daur ulang limbah cair. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain alat pengolahan limbah dan mengolah limbah cair hasil pengolahan ATC agar dapat memenuhi standar baku mutu limbah yang aman bagi lingkungan dan atau dapat dimanfaatkan kembali untuk pengolahan ATC pada proses selanjutnya, sehingga diharapkan akan akan terbentuk suatu industri ATC dengan zero waste system. Pengolahan limbah dalam penelitian ini dilakukan dengan prinsip dasar metode koagulasi dan filtrasi, dengan bahan koagulan yang digunakan yaitu tawas (Al2(SO4)3) sedangkan filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter zeolit-arang aktif dan membran selulosa asetat. Tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah penyimpanannya. Jumlah pemakaian tawas tergantung kepada turbidity (kekeruhan) air baku. Semakin tinggi turbidity air baku maka semakin besar jumlah tawas yang dibutuhkan. Koagulasi adalah proses pembubuhan bahan kimia kedalam air yang berupa padatan tersuspensi misalnya zat warna organik, lumpur halus, bakteri dan lain-lain dapat menggumpal dan dapat mengendap. Pada umumnya koagulan yang digunakan merupakan penambah kation untuk menetralisasi muatan partikel yang menyebabkan terjadinya gaya Van der Waals, sehingga partikel-partikel koloid terflokulasi. Apabila terjadi adsorpsi kation yang berlebih dapat menyebabkan deflokulasi atau restabilisasi koloid kembali, karena adanya gaya tolak menolak antara muatan positif partikel, maka secara teoritis flokulan terbaik adalah flokulan yang mengandung komponen nonionik (Said, 1999). Penggunaan zeolit alam sebagai adsorben untuk adsorpsi padatan terlarut dalam limbah cair telah banyak dilakukan, karena selain telah memenuhi syarat sebagai Adsorben yang baik juga harganya murah dan mudah didapat (Amri et. al., 2004). Zeolit alam merupakan senyawa alumino silikat terhidrasi, dengan unsur utama yang terdiri dari kation alkali dan alkali tanah. Senyawa ini berstruktur tiga dimensi dan mempunyai poriyang dapat diisi oleh molekul air. Mineral zeolit yang paling umum dijumpai adalah klinoptirotit, yang mempunyai rumus kimia (Na3K3)(Al6Si30O72).24H2O. Ion Na+ dan K+ merupakan kation yang dapat dipertukarkan, sedangkan atom Al dan Si merupakan struktur kation dan oksigen yang akan membentuk struktur tetrahedron pada zeolit. Molekul-molekul air yang terdapat dalam zeolit merupakan molekul yang mudah lepas. Zeolit terdapat di beberapa daerah di

33

Indonesia yang diperkirakan mempunyai cadangan zeolit sangat besar dan berpotensi untuk dikembangkan, yaitu Jawa Barat dan Lampung (www.tekmira.esdm.go.id). 2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian rekayasa alat daur ulang limbah cair pengolahan rumput laut bertujuan untuk : 1. Mendesain dan membuat alat daur ulang limbah cair pengolahan rumput laut (alkali treated cottonii). 2. Uji coba alat limbah cair pengolahan rumput laut untuk mengolah limbah cair hasil pengolahan ATC 3. Mengetahui kualitas air hasil akhir dari pengolahan limbah cair hasil produksi ATC dengan menggunakan alat pengolahan limbah cair. 4. Mengetahui kualitas ATC yang di produksi dengan memanfaatkan air hasil pengolahan limbah cair. 3. BAHAN DAN METODE Riset rekayasa alat daur ulang limbah cair pengolahan rumput laut dilakukan dalam tiga tahap penelitian yaitu : penelitian penggunaan tawas sebagai bahan koagulan, pengembangan model alat pengolahan limbah cair, proses pengolahan limbah cair dan pemanfaatan limbah cair hasil olahan pada proses produksi ATC. 3.1 Penggunaan tawas (Al2(SO4)3) terhadap limbah cair pengolahan ATC Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum penambahan tawas terhadap koagulasi limbah cair hasil pengolahan ATC. Bahan yang digunakan yaitu tawas yang diperoleh dari Toko Kimia Harum Sari Jakarta Pusat, rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang diperoleh dari Sumenep Madura, KOH teknis, HCl, H2SO4 dan air destilata. Sedangkan alat-alat yang digunakan yaitu : baker glass 1 L, pipet, pengaduk, kompor minyak, langseng stainless, drum plastik (130 L), ember 250L, blower/aerator, dan pompa air. Untuk mendapatkan bahan limbah cair maka terlebih dahulu dilakukan proses pembuatan ATC dengan ekstraksi dalam larutan alkali. Lima kilogram rumput laut kering direndam (dicuci) dengan menggunakan blower lalu direndam dalam 30 liter larutan KOH

34

4% masing-masing selama 1 jam. Setelah itu rumput laut diekstrak dalam 30 liter larutan KOH 10 % pada suhu 60 70 C selama 3 jam, kemudian dilakukan proses pencucian (penetralan) dibawah ini. Rumput laut dengan air hingga mencapai pH 9 10, limbah cair hasil pencucian ditampung dalam drum plastik. Proses pembuatan ATC dapat dilihat pada Gambar 37

Perendaman

Perebusan Alkali

Pencucian

Limbah cair

ATC
Gambar 37. Proses Pembuatan Limbah

3.1.1 Penentuan penambahan tawas optimum Sebanyak 1 liter limbah cair hasil pengolahan ATC dituangkan ke dalam baker glass, kemudian ke dalam limbah cair ditambahkan tawas cair 50% (w/v) masing-masing dengan konsentrasi sebesar 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4% dan 0,5% lalu diaduk dengan konstan secara manual selama 10 detik. Kemudian setelah diendapkan selama 15 menit dilakukan analisa terhadap total dissolved solids (TDS), total suspended solids (TSS), pH, dan alkalinitas limbah cair. Penghitungan Total Dissolved Solids (TDS) dilakukan dengan cara menyaring sampel dengan filter kertas biasa, dengan menggunakan cawan porselin cairan yang lolos dikeringkan pada 105 C, kemudian dihitung bobot endapan juga koloid yang tertinggal dalam cawan (Alaerts dan Sumestri, 1984). Sedangkan Total Suspended Solids (TSS), dilakukan dengan cara menyaring limbah cair yang telah diendapkan semalam dengan filter kertas ( pori 10 m), kemudian filter kertas di keringkan dengan oven 105 C selama 2 jam dan dihitung berat endapan yang tersaring dalam filter kertas (Alaerts dan Sumestri, 1984).

35

3.1.2 Penentuan pH optimum Penentuan pH optimum pada penelitian ini dilakukan dengan pengaturan nilai pH awal limbah cair. Ke dalam baker glass dituangkan masing-masing 1 liter limbah cair kemudian dilakukan penambahan asam dengan variasi penambahan H2SO4 dan HCl pekat hingga pH sampel masing-masing mencapai pH 8, 9, 10, 11 dan 12. Kemudian pada tiap sampel ditambahkan tawas cair 50% (w/v) sebesar 0,2% dan dilakukan pengadukan konstan secara manual selama 10 detik dan diendpkan selama 15 menit. Analisa yang dilakukan yaitu total dissolved solids (TDS), total suspended solids (TSS) 3.2 Pengembangan model alat pengolahan limbah cair hasil pengolahan rumput laut Prinsip dasar desain dan pembuatan alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut ini adalah dengan menggunakan teknik koagulasi dan filtrasi, dimana limbah awal di koagulasi dengan menggunakan tawas untuk menurunkan padatan terlarut (TDS) dan partikel organik, menurunkan pH serta menjernihkan limbah cair. Kemudian setelah diendapkan pada proses koagulasi limbah disaring atau difiltrasi melalui filter zeolit-arang aktif dan membran selulosa asetat, hal ini bertujuan untuk mengadsorpsi serta menyaring bahan-bahan terlarut dan partkel organik yang masih tersisa, serta untuk menghilangkan bau limbah cair. Alat-alat yang digunakan dan dibuat dalam rangkaian alat pengolahan limbah cair adalah : tanki penampungan, tanki koagulasi, saringan kasa, filter zeolit, filter selulosa asetat, ember 250 liter, drum plastik, pompa air, blower/aerator, peralatan listrik, selang plastik, dan assesoris pelengkap lainnya. Bahan-bahan yang digunakan pada rangkaian alat pengolahan limbah cair adalah : zeolit alam yang berasal dari Sumedang dengan beberapa ukuran, arang aktif, membran selulosa asetat, papan ketebalan inchi, resin, besi siku, pipa paralon, lem PVC, dan bahan lainnya yang digunakan pada rangkaian alat pengolahan limbah cair. 3.3 Proses pengolahan limbah cair pembuatan ATC dan pemanfaatan kembali air hasil olahan untuk proses produksi ATC Pengolahan limbah cair pembuatan ATC dilakukan dengan menggunakan alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut hasil rancangan kelompok rekayasa alat

36

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi kelautan dan Perikanan tahun 2006. Limbah cair yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair hasil pengolahan ATC. Untuk mendapatkan limbah cair, terlebih dahulu rumput laut yang berasal dari Sumenep dicuci/direndam dan diberi aerasi selama 1 jam untuk menghilangkan garam-garam yang menempel pada rumput laut. Limbah pencucian awal ini dikumpulkan secara terpisah. Setelah rumput laut diekstraksi dengan larutan KOH 10% pada suhu 60 70 C, rumput laut di cuci hingga pH berkisar 9 10. Pada proses pencucian setelah ekstraksi, pencucian ATC pertama (pencucian 1) dilakukan dengan air jernih atau air hasil daur ulang dengan perbandingan 1 : 10 (w/v) untuk menurunkan alkalinitas serta kepekatan konsentrasi limbah, dan air pencucian ini disimpan untuk digunakan kembali untuk perendaman atau pencucian awal pada proses pembuatan ATC selanjutnya. Sedangkan air cucian selanjutnya (pencucian 2) dikumpulkan lalu disatukan dengan limbah pencucian awal untuk dilakukan proses daur ulang. Jumlah air cucian yang diperoleh dari 10 kg rumput laut kering adalah sebanyak 500 lt. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yaitu : tawas (Al2(SO4)3) yang diperoleh dari Toko Kimia Harum Sari-Jakarta Pusat, zeolit, flokulan blok, dan bahan kimia yang digunakan untuk analisa di laboratorium.

Limbah cair/ liquid waste Tangki penampungan/ collecting tank Tangki koagulasi/ coagulation tank Filter zeolit dan arang aktif/ zeolit column and activated carbon tawas (alum), Floculan block

Membran selulosa asetat/ Acetate cellulose membran Air jernih/ clean water

37

Gambar 38. Proses Pengolahan Limbah Cair Pembuatan ATC

Limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian awal dan pencucian setelah ekstraksi (pencucian 2) di tampung dalam tanki penampung kemudian dialirkan ke dalam tanki koagulasi. Proses koagulasi dilakukan dengan menambahkan tawas sebesar 0,1 0,25 % hingga pH limbah turun menjadi 6 7,5 sambil dilakukan pengadukan cepat 55 rpm selama 10 menit, kemudian dilakukan pengadukan lambat 20 rpm selama 5 menit dan diendapkan selama 20 menit. Setelah mengendap ditambahkan flokulan blok sebesar 20 ppm dan dilakukan pengadukan 55 rpm slama 5 menit setelah itu diendapkan semalam. cairan yang jernih dialirkan kedalam tangki penampung dengan mengunakan pompa, kemudian dialirkan secara gravitasi ke dalam filter zeolit dan arang aktif dengan kecepatan alir 6 liter/menit. Air yang tersaring ditampung pada tanki penampung dan dialirkan ke filter selulosa asetat berukuran berturut-turut 10 m, 5 m, dan 1 m, kemudian ditampung pada tanki penampungan. Selanjutnya air hasil olahan digunakan kembali untuk mencuci rumput laut setelah proses ekstraksi. Proses pengolahan limbah dilakukan sebanyak 5 kali dengan ulangan sebanyak dua kali. Analisis yang dilakukan terhadap limbah cair meliputi : Uji padatan terlarut/Total Dissolved Solids (TDS), partikel terlarut anorganik (Total Anorganic Dissolved Solids /TADS), alkalinitas, kandungan besi, kandungan mangan dan kandungan senyawa organik. Uji total padatan terlarut (TDS) dilakukan dengan cara menyaring sampel dengan kertas saring, dan cairan yang lolos dikeringkan menggunakan cawan porselin pada suhu 105 C. Setelah itu dihitung berat endapan serta koloid yang tertinggal dalam cawan (Alaerts dan Santika, 1984). Sedangkan uji padatan terlarut anorganik merupakan lanjutan dari analisa TDS, namun cawan akhir diabukan dengan furnace pada suhu 650C (Alaerts dan Santika, 1984). Uji Total Suspended Solids (TSS), dilakukan dengan cara menyaring limbah cair yang telah diendapkan semalam dengan kertas saring ( pori 10 m), kemudian kertas saring di keringkan dengan oven 105 C selama 2 jam dan berat endapan yang tersaring dalam filter kertas dihitung (Alaerts dan Santika, 1984).

38

Eucheuma cottonii

Perendaman dengan alkali/ Soaking in alkaline Pencucian (rumput laut kering : air = 1 : 10) Washing (dry seaweed : water = 1:10)

Limbah cair/ Liquid waste

Proses daur ulang/ Recycling process

Ekstraksi dengan KOH 10% (rumput laut kering : larutan = 1 : 6)/ Alkaline extraction (dry seaweed :KOH solution = 1:6)

Pencucican ke-1 (rumput laut kering : air = 1 : 10)/ washing(dry seaweed : water = 1:10)

Pencucican ke-2 (rumput laut kering : air = 1 : 50)/ washing(dry seaweed : water = 1:50) Pengeringan/ drying

ATC

Gambar 39. Alur proses penelitian

Air jernih hasil olahan ditampung dalam bak-bak penampungan, kemudian dimanfaatkan kembali untuk proses pencucian pada pembuatan ATC selanjutnya, proses pengolahan limbah cair serta pembuatan ATC pada penelitian ini dilakukan hingga 5 kali daur ulang. Analisa kualitas ATC yang dihasilkan meliputi : kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, water gel dan viskositas. a. Kadar air (AOAC., 1970) Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama sepuluh menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan

39

disebarkan dalam cawan. Cawan beserta isinya ditempatkan didalam oven yang bersuhu 105oC selama 5 jam. Cawan beserta isinya kemudian dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali selanjutnya dikeringkan dalam oven sampai bobotnya tetap.
kehilangan bobot(g) x100 % bobot contoh(g)

Kadar air =

b. Analisa Kadar Abu (AOAC, 1984) Siapkan cawan pengabuan yang terbuat dari porselin, kemudian dibakar dalam tanur pengabuan (muffle furnace) dengan suhu 550C. Cawan didinginkan dalam desikator. Cawan selanjutnya ditimbang. Sebanyak 2 gram contoh ditimbang dan dibakar dalam tanur pengabuan. Pembakaran dilakukan selama 3 jam hingga contoh berwarna abu-abu. Kadar abu (%) = berat contoh ( g ) 100 %
berat abu ( g )

c. Kadar abu tak Larut Asam Pindahkan abu yang diperoleh secara kuantitatif ke dalam enlemeyer 250 ml dan tambahkan 25 ml larutan HCL 10 %,kemudian panaskan sampai mendidih dan tunggu mendidih selama 5 menit Saring larutan diatas melalui kertas saring tidak berabu kemudian bilas abu yang tertahan dengan aquades sampai pH 6-7 Pasahkan kertas saring tidak berabu kedalam cawan abu dan abukan dalam pengabuan

Kadar abu tak larut asam (%) = berat contoh ( g ) 100 %

berat abu ( g )

d. Kekuatan Gel

40

Alat yang digunakan untuk pengukuran ini adalah Texture analyzer type TA TX plus yang berada di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. ATC ditimbang sebanyak 7.5 gram dan dilarutkan dalam 500 mL akuades dimasak pada suhu > 90 C hingga larut sempurna ditambah KCL 0,2 % . Larutan tersebut dituang ke dalam pipa paralon dan disimpan pada suhu ruang semalam. Gel yang terbentuk diletakkan pada move base plate sehingga pressure sensing rod dapat menyentuh permukaan gel ditengah-tengah dan alat mulai dioperasikan. Kekuatan gel tercatat secara otomatis dengan menggunakan menggunakan program baseline integrator. e. Kadar Sulfat (Jackson and Candles, 1978 dalam Suryaningrum dan Bagus, 2000) Larutan agarosa dipanaskan 0.01 % (w/v) dipanaskan hingga larut dipanaskan hngga larut semua, kemudian ditambah dengan 0.5 g BaCl2 per 100 ml dan didiamkan selama semalam. 1.375 g (NH4)2SO4 dilarutkan menjadi 100 ml sehingga diperoleh larutan 1 % sulfat. Dari larutan ini dibuat standar sulfat dengan konsentrasi 20,40,60,80,100,120 mikro gram /mililiter sulfat. Ke dalam tabung percobaan dipipetkan 3.3 ml larutan contoh ditambah dengan 3,6 ml larutan TCA 8 % (b/v) kemudian ditambah larutan agarosa sebanyak 1.8 ml. Larutan kemudian dikocok dan didiamkan selama 35 menit. Setelah 35 menit larutan dikocok kembali dan dibaca dengan densitas pada panjang gelombang 500 nm dengan spektrofotometer. Absorbansi dari masing-masing contoh kemudian ditentukan konsentrasi sulfat dalam contoh dengan kurva standar

41

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penggunaan tawas (Al2(SO4)3) terhadap proses koagulasi limbah cair pengolahan ATC Penambahan tawas optimum Pemilihan tawas sebagai koagulan dalam penelitian ini berdasarkan pada penggunaan tawas sebagai bahan koagulan yang umum digunakan dalam pengolahan limbah dan penjernihan air, selain itu tawas juga cukup ekonomis dan mudah didapatkan. Penggunaan tawas bertujuan untuk mengikat padatan terlarut baik senyawa organik maupun anorganik dengan pembentukan endapan sehingga proses pemindahan bahan terlarut dalam badan limbah cair mudah dilakukan. Menurut Eckenfelder (1986), koagulasi adalah proses kimia yang digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid. Partikelpartikel koloid ini tidak dapat mengendap sendiri dan sulit ditangani oleh perlakuan fisik. Melalui proses koagulasi, kekokohan partikel koloid ditiadakan sehingga terbentuk flokflok lembut yang kemudian dapat disatukan melalui proses flokulasi. Penggoyahan partikel koloid ini akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral. Penetralan muatan partikel oleh koagulan hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi yang cukup kuat untuk mengadakan gaya tarik menarik antar partikel koloid. Berdasarkan analisa perlakuan penambahan tawas terhadap proses kogulasi limbah cair didapatkan bahwa perlakuan terbaik yaitu pada penambahan tawas sebesar 0,2%. Hal ini dapat dilihat pada gambar 40 dan 41.

12000

Total Dissolved Solids (mg/L)

11500 11000 10500 10000 9500 9000

11500 10750 10350 10050 10850 10900

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

Alum Dosages (%)

42

Gambar 40. Pengaruh penambahan konsentrasi tawas terhadap TDS limbah cair

Total Suspended Solids (mg/L)

3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 56 394 438.3 1334.7 1575.4

2420

0.6

Alum Dos age s (%)

Gambar 41. Pengaruh penambahan konsentrasi tawas terhadap TSS limbah cair

Nilai total padatan terlarut (TDS) menurun hingga penambahan tawas 0,2%, dan penambahan lebih dari itu menyebabkan peningkatan padatan terlarut. Hal ini disebabkan oleh kelebihan ion-ion Al3+ hasil hidrolisis tawas sehingga menyebabkan meningkatnya nilai padatan terlarut limbah. Penambahan tawas juga mampu menurunkan nilai pH dan alkalinitas limbah cair. Hal ini disebabkan dengan pembentukan asam sulfat, dimana senyawa SO42- hasil hidrolisis tawas dalam larutan berikatan dengan H+ dan menghasilkan H2SO4. Penurunan nilai pH dan alkalinitas tawas setelah penambahan konsentrasi tawas dapat dilihat pada Gambar 42 dan 43.

13.5 13.1 13 pH 13.1 13.1 13

12.9

12.8

12.5

12 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 alum dos ages (% )

Gambar 42. Pengaruh penambahan konsentrasi tawas terhadap pH limbah cair

43

Alkalinity (% KOH)

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

0.44

0.42

0.4

0.38

0.36

0.34

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

Alum D osages (% )

Gambar 43. Pengaruh penambahan konsentrasi tawas terhadap alkalinitas limbah cair

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa penurunan nilai pH dan alkalinitas limbah cair hasil pengolahan ATC seiring dengan peningkatan penambahan konsentrasi tawas yang digunakan. Pada percobaan lama waktu pengendapan pada proses koagulasi diperoleh hasil pengamatan bahwa, lama pengendapan setelah 30 menit dan pengendapan lebih dari 30 menit tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap padatan terlarut limbah cair. Namun demikian pada aplikasi penerapan pengolahan limbah cair, pengendapan terbentuk sempurna dengan mengendapkan limbah cair yang telah diberi tawas selama semalam, karena proses koagulasi yang tidak sempurna oleh telalu cepatnya waktu pengendapan akan menyebabkan filter zeolit cepat jenuh karena tertutup oleh endapan Al(OH)3 yang sebelumnya belum terbentuk saat proses koagulasi. pH optimum Menurut Migo et al., (1993), koagulasi yang efektif terjadi pada selang pH tertentu. Penggunaan koagulan logam seperti aluminium dan garam-garam besi secara umum dapat mendekolorisasi limbah cair yang mengandung bahan-bahan berwarna seperti pigmen. Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan pada partikel tersuspensi dan koloid. Flokulasi adalah aglomerasi dari partikel yang terdestabilisasi dan koloid menjadi partikel terendapkan.

44

Berdasaran analisa perlakuan pengaturan pH awal limbah awal cair didapatkan hasil sebagaimana diterangkan pada Gambar 44 dan 45 di bawah ini.

Total Suspended Solids (ppm)

1200 1000 800 600 400 200 0 12.4 11.2 10.1 pH 19.7 297.4 912.4

1139.6 985.4

9.0

8.2

Gambar 44. Pengaruh pH awal limbah cair terhadap nilai padatan tersuspensi
Total Dissolved Solids (ppm) 10000 9000 8000 7000 6000 12.4 11.2 10.1 pH 9 8.2 9525 8850 7950

7700 6975

Gambar 45. Pengaruh pH awal limbah cair terhadap nilai padatan terlarut (TDS)

Reaksi yang terjadi pada penambahan tawas adalah sebagai berikut :

air akan mengalami : selanjutnya :

selain itu akan dihasilkan asam :

45

Dengan demikian dengan semakin banyak dosis tawas yang digunakan maka pH limbah cair akan semakin turun, karena dihasilkan asam sulfat sehingga perlu dicarikan dosis tawas yang efektif. Berdasarkan data di atas (gambar 44 dan 45 ), diketahui bahwa pH optimum aktifitas tawas dalam proses koagulasi limbah cair yaitu pada pH awal limbah 8,2 , yaitu dengan tingginya nilai padatan tersuspensi atau endapan yang terbentuk dan rendahnya nilai padatan terlarut dalam badan limbah cair. 4.2 Pengembangan model alat pengolahan limbah cair hasil pengolahan rumput laut Selama penelitian, dilakukan proses modifikasi, perbaikan alat dan sistem pengolahan daur ulang limbah cair. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan atau memperbaiki sistem pengolahan limbah cair hasil pengolahan rumput laut agar proses yang dilakukan efisien dan dapat menghasilkan air hasil olahan yang aman sesuai dengan standar yang ditentukan. Peralatan utama yang didesain dan dipergunakan adalah : tanki penampungan, tanki koagulasi, saringan kasa, filter zeolit, filter selulosa asetat, ember 250 liter, drum plastik, pompa air, blower/aerator, dan assesoris pelengkap lainnya

Gambar 46. Tanki penampung

Tanki penampungan awal (Gambar 46) terbuat dari bahan fiber, berfungsi untuk menampung limbah cair pengolahan rumput laut sebelum dilakukan penyaringan lanjutan selain itu tanki ini juga berfungsi untuk mengendapkan padatan, dan kotoran yang ukurannya lebih besar. Sedangkan tanki penampungan setelah proses koagulasi merupakan jenis tanki yang sama namun tanki ini dilengkapi dengan kran pengaturan kecepatan alir

46

dan pada bagian dasar dipasang unit penyaring (muslum clotch). Masing-masing tanki ini mempunyai kapasitas tampung 1000 lt.

Gambar 47. Filter zeolit - arang aktif

Filter zeolit terbuat dari papan kayu yang dilapisi dengan resin agar tahan terhadap air atau limbah yang ditampungnya. Filter zeolit memiliki panjang = 240 cm, lebar = 120 cm, dan tinggi = 42 cm, filter didesain membentuk kolom-kolom (12 kolom) yang sama volumenya untuk menyaring limbah cair dan mengikat padatan terlarut dengan aliran limbah cair bergerak bergantian melalui atas pada satu kolom kemudian melalui bawah untuk kolom selanjutnya, dan bergantian seterusnya. Filter ini dilengkapi dengan backwashing system yang didesain dari pipa PVC berdiameter 1 inchi yang telah dilubangi dan dihubungkan dengan blower untuk mengeluarkan udara (aerasi), sistem backwash ini digunakan untuk membersihkan zeolit yang telah jenuh oleh partikel-partikel yang menempel pada permukaan dengan mengalirkan air dan mencucinya dengan melakukan aerasi dari dasar filter.

Gambar 48. Ilustrasi aliran air pada filter zeolit aliran limbah cair

Filter zeolit diisi dengan zeolit alam yang berasal dari Tasikmalaya-Jawa Barat dengan berbagai jenis ukuran, yaitu ukuran diameter 6 cm, 2 cm, 1 cm, 0,5 cm, dan 0,3

47

cm. Masing-masing ukuran secara berurutan menempati dua kolom dari ukuran terbesar hingga terkecil. Pada sisa kolom terakhir diisikan dengan arang aktif yang berguna untuk menghilangkan bau dan partikel-partikel organik yang belum tersaring sebelumnya.

Gambar 49. Unit filter selulosa asetat

Spesifikasi unit filter selulosa : 1. Tabung filter selulosa berjumlah 6 unit 2. Pompa air digerakan dengan tenaga listrik 200 watt 3. Instalasi pipa diameter 1 inchi. 4. Kecepatan alir tergantung jenis filter yang digunakan. Jenis filter yang digunakan adalah filter selulosa asetat dengan variasi ukuran: 10, 5, 1 mikron.

Gambar 50. Tanki koagulasi

48

Tanki koagulasi dan pengendapan (clarifier) merupakan bak penampung air yang dilengkapi dengan motor pengaduk. Kapasitas tanki 250 l dengan berbahan dasar plastik, dilengkapi dengan motor pengaduk 3 phase dengan daya 370 watts dan speed regulator yang digerakan dengan tenaga listrik 750 watts sehingga pengadukan dapat diatur 0 - 1400 rpm. Pengaduk terbuat dari bahan stainless steel dengan panjang tungkai 120 cm, dan untuk pengadukan, bagian dasar dilengkapi dengan tiga daun/plat stainless steel dengan luas permukaan 300 cm2 (p = 30 cm , l = 10 cm). Tanki koagulasi berfungsi dalam proses koagulasi limbah cair dengan penambahan tawas dan flokulan blok untuk mengendapkan padatan terlarut dan partikel-partikel organik limbah cair, proses koagulasi menggunakan tawas juga menjernihkan dan menetralkan pH imbah cair. Pembuatan tanki koagulasi merupakan penyempurnaan dari proses koagulasi sebelumnya. Pada awal uji coba alat pengolahan limbah cair, koagulasi menggunakan tawas cair dilakukan dengan memanfaatan aliran air pada kolom kosong filter zeolit, penambahan tawas cair 50% (w/v) dilakukan dengan menggunakan alat feeder tawas (Gambar 51)

Gambar 51. Alat feeder tawas cair

Alat feeder tawas cair merupakan penampung tawas cair yang dilengkapi dengan keran dan pipa penyalur tawas cair pada bagian bawah penampung. keran berfungsi sebagai pengatur debit tawas cair yang ditambahkan dalam proses koagulasi sehingga dapat disesuaikan antara debit limbah yang mengalir dengan tawas yang ditambahkan. Namun pada pengujian alat daur ulang dilakukan perubahan pada sistem penambahan tawas cair, dimana sebelumnya dilakukan dengan metode titrasi tawas cair 49

pada aliran limbah cair, namun metode tersebut menghasilkan flok koagulasi yang mengapung di atas permukaan air sehingga akan menghambat titrasi selanjutnya karena semakin banyak flok yang mengapung sehingga menyebabkan terhalangnya tawas cair yang akan ditambahkan ke aliran limbah. Oleh karena itu sistem penambahan tawas cair diubah, dimana penambahan (feeder) tawas cair dilakukan bersamaan saat aliran awal limbah cair dipompakan ke dalam kolom pengendapan (settling tank). Sehingga aliran yang bersifat turbulen saat memasuki tanki pengendapan juga digunakan pula untuk proses koagulasi dengan tawas.

sebelum

setelah

Gambar 52. Metode penambahan tawas cair setelah dilakukan perubahan

Metode penambahan tawas bersamaan dengan aliran limbah juga mengalami kendala, dimana debit tawas sulit dikendalikan karena aliran limbah cair yang begitu deras. Sehingga pada akhirnya didesain suatu alat untuk mengkoagulasi limbah cair dengan menggunakan clarifier yaitu menggunaan tanki koagulasi (Gambar 53).

Gambar 53. Penyaring kasa

50

Saringan kasa didesain untuk menyaring endapan yang ikut bersama cairan jernih setelah proses koagulasi, saringan terbuat dari bahan kain kasa dengan ukuran 80 mesh dengan panjang alat 80 cm dan lebar 30 cm. Setelah melalui proses perbaikan, modifikasi dan juga uji coba alat, maka rangkaian akhir alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut adalah sebagai berikut (Gambar 54)
3

5 1 2

Ket :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Tanki penampung limbah cair / liquid waste collecting tank (1000 l) Tanki koagulasi / coagulation tank (180 l) Tanki penampung / collecting tank (1000 l) Filter zeolit arang aktif / zeolit activated carbon filter ( Bak penampung / collecting tank (120 l) Filter selulosa asetat / cellulose acetate filter (10 m , 5 m , 1 m ) Tanki penampungan air bersih / treated water collecting tank (180 l)

Gambar 54. Alat pengolah limbah cair pengolahan rumput laut

4.3 Proses pengolahan limbah cair pembuatan ATC dan pemanfaatan kembali air hasil olahan untuk proses produksi ATC Limbah hasil pengolahan karaginan memiliki ciri alkalinitas yang tinggi, berwarna kecoklatan, memiliki padatan terlarut yang tinggi dan bersifat koloid yang disebabkan oleh banyaknya senyawa organik, serta ion-ion dari senyawa KOH (alkali) serta pengotor lainnya. Kandungan senyawa organik dan partikel terlarut terutama berasal dari komponen polisakarida, Sedangkan senyawa protein yang membentuk larutan yang bersifat koloid sehingga sukar untuk dipisahkan. Limbah cair dengan kekeruhan yang disebabkan oleh partikel koloid tidak dapat dijernihkan tanpa perlakuan khusus. Proses pengendapan dan penyaringan pada penelitian ini merupakan perlakuan awal untuk mengurangi jumlah padatan terlarut limbah cair. Sedangkan proses koagulasi

51

dan flokulasi merupakan penanganan primer yang bertujuan mengurangi padatan terlarut, serta menurunkan kandungan bahan organik dan penetralan pH, sehingga air yang telah di daur ulang dapat digunakan kembali untuk pencucian pada proses selanjutnya.

4.3.1 Kualitas air hasil olahan selama proses daur ulang limbah c air Hasil analisa padatan terlarut (TDS) dan padatan terlarut anorganik (TADS) limbah cair pengolahan ATC selama proses daur ulang yaitu sebagai berikut : Tabel 1. Total padatan terlarut (ppm) dan total padatan terlarut anorganik (ppm) pada proses daur ulang
Total Padatan Terlarut / Total Dissolved Solids (ppm) Proses
limbah awal / initial waste setelah koagulasi/ after coagulation setelah melewati filter zeolit-arang aktif, filter selulosa asetat/ after running through zeolite-activated carbon column, and cellulose acetate filter Pengolahan ke 1/ Process 1 Pengolahan ke-2/ Process 2 Pengolahan ke-3/ Process 3 Pengolahan ke-4/ Process 4 Pengolahan ke-5/ Process 5 Pengolahan ke-6/ Process 6

3975 2824

3600 2575

3625 2550

3800 2775

3200 2975

3250 2925

1725

2500

2450

2475

2550

2750

Total Padatan Anorganik Terlarut / Total Anorganic Dissolved Solids (ppm)


limbah awal / initial waste setelah koagulasi / after coagulation setelah melewati filter zeolit-arang aktif, filter selulosa asetat/ after running through zeolite-activated carbon column, and cellulose acetate filter

2400

2675

2400

2975

2350

2150

2725

2550

2425

2475

2550

2400

1625

2075

2025

2050

2025

2175

Penurunan nilai total padatan terlarut limbah cair pada proses pengendapan dan penyaringan pada filter zeolit dan proses koagulasi disertai dengan penurunan jumlah partikel terlarut anorganik, Hal ini menunjukkan kemampuan daya adsorbsi zeolit dalam mengikat garam-garam dan ion-ion terlarut dalam limbah cair. Ion-ion yang terlarut pada

52

proses pembuatan ATC antara lain berasal dari perebusan KOH dan juga garam-garam atau mineral yang terkandung dari rumput laut dan pengotornya. Selama proses berlangsung kemampuan reaksi mangan zeolit semakin lama makin berkurang dan akhirnya menjadi jenuh sehingga harus diganti atau diaktivasi kembali. Lama pakai dari mangan zeolit tergantung dari kualitas bahan baku dan jumlah air yang disaring (Said, 1999). Nilai padatan terlarut dan padatan terlarut anorganik dari air hasil olahan selama proses daur ulang berkisar antara 1725 - 2750 mg/l dan 1625 - 2175 mg/l. Nilai padatan terlarut tersebut menunjukkan bahwa air limbah hasil olahan termasuk dalm kategori limbah sedang. Tabel 2. Hasil analisa kualitas air selama proses daur ulang limbah cair
NO PARAMETER FISIKA suhu kekeruhan warna daya hantar listrik KIMIA pH Alkalinitas total Kesadahan kalsium magnesium besi mangan ammonium nitrit angka permanganat klorida sulfat mg/l CaCO3 mg/l CaCO3 mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l SATUAN L0 awal 1 2 3 4 C NTU Pt-Co mh/cm 29.3 63 175 6229 L0 akhir 29.3 4.2 10 2088 L1 akhir 29.3 1.9 5 2626 L2 akhir 29.3 3.2 10 2851 L3 akhir 29.6 3.1 8 3019 HASIL ANALISA L4 akhir L5 akhir 29.6 3.9 6 3069 29.6 3.5 6 3029

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

12.3 3540 172.5 97.6 75.9 0.15 ttd 0.8 0.01 39.6 533 78

7.1 1239 230.5 80.6 149.9 ttd ttd 0.3 0.065 2.9 205 12.8

6.8 1416 402.5 186.7 215.8 0.01 ttd 0.15 0.07 2.2 361 15.1

7.5 498.1 344.75 183.2 211.5 0.05 ttd 0.25 0.07 2.4 385 19.6

6.3 2277 736.45 221.85 515.6 0.05 ttd 0.15 0.065 8.4 504 12

6.7 2070 719.5 159.5 560 0.1 ttd 0.25 0.07 8.1 496 10

6.5 1863 698.5 140.65 557.85 0.08 ttd 0.25 0.07 7.65 491 10

Ket :

L0 awal L0 akhir L1 akhir L2 akhir L3 akhir L4 akhir L5 akhir

: Limbah awal : Limbah akhir pada pengolahan awal : Limbah akhir pada pengolahan ke-1 : Limbah akhir pada pengolahan ke-2 : Limbah akhir pada pengolahan ke-3 : Limbah akhir pada pengolahan ke-4 : Limbah akhir pada pengolahan ke-5

Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan okigen biologis adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang diutuhkan oleh

53

bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air (Alaerts, G. dan Santika, S., 1984). Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain system-sistem pengolahan biologis bagi ar yang tercemar. Penguraian zat organis adalah peristiwa alamiah, kalau suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Selama proses inkubasi pada penentuan BOD, sama sekali tidak ada pasokan oksigen, baik dari proses difusi mupu proses fotosintesis karena botol BOD ditutupi dengan plastic berwarna hitam dan disimpan dalam suhu ruang tanpa pemberian cahaya (Effendi, 1984). Tabel 3. Hasil analisa Dissolved Oxygen dan Biological Oxygen Demand
Sampel SO awal SO akhir S1 akhir S2 akhir S3 akhir S4 akhir S5 akhir Dissolved oxygen (DO) (ppm) 7.24 4.47 5.04 5.08 6.85 6.15 6.87 Biological oxygen demand (BOD) (ppm) 6.1 2.4 2.52 1.99 2.86 2.98 3.05

Adanya oksigen terlarut dalam air adalah sangat penting untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme lainnya. Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah banyak tergantung kepada cukup tidaknya kadar oksigen terlarut. Tabel diatas menunjukkan bahwa alat pengolahan limbah cair mampu menurunkan nilai BOD dari limbah pengolahan ATC. Nilai BOD dan DO dari air olahan yang dihasilkan hinggalima kali proses daur ulang menunjukkan bahwa mutu air olahan termasuk kedalam mutu air yang diperbolehkan untuk keperluan perikanann dan pertanian, yaitu DO > 3 ppm dan BOD < 20 ppm. Tabel 4 . Analisa pH, kekeruhan, warna dan bau limbah cair selama proses daur ulang
Parameter
Limbah Awal initial waste Limbah akhir proses pengolahan ke-1 Limbah akhir proses pengolahan ke-2 Limbah akhir Limbah akhir proses pengolahan proses pengolahan ke-3 ke-4 Limbah akhir proses pengolahan ke-5 Limbah akhir proses pengolahan ke-6

54

pH Kekeruhan Warna Bau

12.3 63 175 2 (berbau)

7.1 4.2 10 0 (tidak berbau)

6.8 1.9 5 0 (tidak berbau)

7.5 3.2 10 0 (tidak berbau)

6.3 3.1 8 0 (tidak berbau)

6.7 3.9 6 0 (tidak berbau)

6.5 3.5 6 0 (tidak berbau)

Penurunan kandungan organik pada limbah selain terjadi pada tahap koagulasi dan filtrasi melalui zeolit dan arang aktif. Filter karbon aktif berfungsi menghilangkan polutan organik, bau, dan rasa yang kurang sedap. Proses reaksinya adalah berdasarkan adsorpsi fisika-kimia. Selain itu, filter karbon aktif juga berfungsi sebagai penyaring kotorankotoran yang belum tersaring pada proses sebelumnya. Dari data di atas diketahui bahwa alat pengolahan limbah mampu mereduksi tingkat kekeruhan, warna serta bau dari limbah cair yang dihasilkan. Faktor penyebab ketiga parameter tersebut adalah padatan dan senyawa-senyawa tersuspensi dan terlarut dalam limbah cair baik organik maupun anorganik. Penanganan dengan koagulasi dan penyaringan mampu mereduksi padatan terlarut dan tersuspensi dalam limbah cair sehingga menurunkan tingkat kekeruhan, warna serta bau dari limbah cair. pH akhir yang dihasilkan berkisar pada kisaran normal yaitu 6,3 - 7,5. Penurunan pH terjadi pada penambahan tawas, dimana hidrolisa Al2(SO4)3 dalam air membentuk endadpan Al(OH)3 dengan mengikat ion OH- dari badan air, sehingga air kelebihan ion-ion H+ yang menyebabkan penurunan nilai pH. 4.3.2 Kualitas produk ATC Analisa kualitas ATC dengan menggunakan air limbahan olahan yang dilakukan yaitu : kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, viskositas, water gel, gel strength, dan kadar sulfat. Berdasarkan hasil analisa didapatkan hasil seperti pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 5. Hasil analisa mutu alkali treated cottonii selama proses daur ulang No Jenis Analisa Kontrol D1 D2 D3 D4 1 Kadar air (%) 9.07 12.09 9.34 8.29 12.33 2 Kadar Abu (%) 16.87 13.98 16.16 16.9 16.04 9 3 K. abu tak larut asam (%) 0.04 0.07 0.16 0.05 0.04 4 Viskositas, 1.5% (Cps) 125 130 200 165 140 5 Water gel, 1.5% (Cps) 229 148 167.5 155. 112 5 55

D5 15.88 15.25 0.09 190 140

6 Gel strength, 1.5% (g/cm2) 806 811 888 851 1147 7 Kadar sulfat 3.28 3.78 3.87 3.72 3.85 Ket : Dn (n = 1,2,3,4,5) = pencucian dengan air daur ulang limbah ke-n 1. Kadar Air

775 3.90

Hasil analisa kadar air menunjukan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada produk daur ulang 5 yaitu 15.88 kadar air terendah terdapat pada produk daur ulang 3 yaitu 8.29 % Secara umum kadar air yang dihasilkan masih di dalam standar ini menunjukkan bahwa perlakuan tidak memiliki pengaruh pada kadar air
15.88 12.09 9.07 9.34 8.29 12.33

16 kadar air (%) 12 8 4 0 D0

D1

D2

D3

D4

D5

ATC

Gambar 55. Pengaruh kadar air ATC dengan menggunakan air hasil olahan

Kadar air yang dipengaruhi oleh pengeringan yang dilakukan dalam proses pembuatan ATC yaitu dengan penjemuran. Pengeringan dengan cara ini memiliki kelemahan diantaranya sangat tergantung pada suhu, kelembaban udara dan kecepatan udara tidak dapat diatur sehingga pengeringan tidak seragam dan memerlukan waktu yang lama. Kelembaban udara menentukan sampai kadar air berapa bahan dapat dikeringkan. Suatu bahan memiliki keseimbangan kelembaban nisbi masing-masing, yaitu kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan kadar air karena pindah ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfir. Pada kelembaban nisbi udara lebih kecil dari keseimbangan kelebaban nisbi, suatu bahan dapat dikeringkan lagi, tetapi pada kelembaban nisbi yang lebih tinggi dari keseimbangan, suatu bahan malahan akan menarik uap air dari udara (Muchtadi,1997) 2. Kadar Abu Kadar abu menunjukan kandungan mineral total yang terdapat didalam suatu bahan. Kadar abu yang semakin besar berarti semakin banyak mineral yang dikandung suatu bahan. Abu diperoleh dengan cara mengabukan selulosa kering dalam tanur pada

56

suhu sekitar 600 oC sampai diperoleh abu yang berwarna keputih-putihan. Pada gambar dapat diketahui bahwa kadar abu tertinggi pada kontrol yaitu 16.87 % dan terendah pada pada produk daur ulang pertama yaitu 13.98 %

kadar abu (%)

20 15 10 5 0

16.87

13.98

16.16 16.99 16.04

15.25

D0

D1

D2

D3

D4

D5

ATC

Gambar 56. Pengaruh kadar abu ATC dengan menggunakan air hasil olahan

3. Kadar Abu Tak Larut Asam


kadar ATA (%) 0.2 0.16 0.07 0.09 0.05 0.04 D2 D3 D4 D5

0.1 0.04 0 D0

D1

ATC

Gambar 57. Pengaruh kadar abu tak larut asamATC dengan menggunakan air hasil olahan

Dari hasil analisa tampak bahwa kadar abu ATC yang dihasilkan dengan menggunakan air olahan hingga lima kali proses daur ulang yaitu berkisar antara 0.04 - 0.16 %. 4. Kadar Sulfat Hasil analisa kandungan sulfat menunjukan bahwa tidak ada perbedaaan yang signifikan terhadap kandungan sulfat ATC dengan menggunakan air olahan (Gambar 58).
4 kadar sulfat (%)
3.28 3.78 3.87 3.72 3.85 3.9

D0

D1

D2

D3

D4

D5

ATC

57

Gambar 58. Pengaruh kadar sulfat ATC dengan menggunakan air hasil olahan

Kadar sulfat ATC yang dihasilkan dengan menggunakan air olahan hingga lima kali proses daur ulang yaitu berkisar 3,28 - 3,9 %. Peningkatan kadar sulfat ini diduga karena air pencucian yang digunakan dengan air olahan memiliki kandungan sulfat yang meningkat dengan adanya penambahan senyawa sulfat saat proses koagulasi. 5. Gel Strength dan water gel
1147 888 851 806 811 775

1200 gel strength (g/cm2) 800 400 0

D0

D1

D2

D3

D4

D5

ATC

Gambar 59. Pengaruh gel strength ATC dengan menggunakan air hasil olahan

Dari hasil analisa gel strength tertinggi yaitu pada produk dengan daur ulang keempat yaitu 1147 g/cm2 dan gel strength terendah ada pada produk dengan daur ulang kelima yaitu 775 g/cm2. Dari hasil analisa gel strength yang dihasilkan cukup baik dan tidak terjadi penurunan kualitas gel akibat penggunaan air daur ulang

250 water gel (Cps) 200 150 100 50 0

229 148 167.5 155.5 112 140

D0

D1

D2

D3

D4

D5

ATC

58

Gambar 60. Pengaruh water gel ATC dengan menggunakan air hasil olahan

Dari hasil analisa water gel strength tertinggi ada pada produk kontrol yaitu 261 g/cm2 dan water gel terendah ada pada produk daur ulang keempat yaitu 133 g/cm2 6. Viskositas
200 165 125 130 140 190

viskositas (Cps)

200 150 100 50 0 D0 D1

D2

D3

D4

D5

ATC

Gambar 61. Pengaruh viskositas ATC dengan menggunakan air hasil olahan

Dari hasil analisa viskositas tertinggi ada pada produk dengan daur ulang 2 yaitu 200 CPs dan viskositas terendah ada pada produk dengan daur ulang pertama yaitu 130 CPs. Viskositas dipengaruhi oleh kadar sulfat, dan sesuai dengan kadar sulfat yang terkandung pada sampel yang rendah nilai viskositas pada perlakuan ini rendah. Dari hasil analisa mutu ATC diketahui bahwa, secara keseluruhan mutu ATC yang dihasilkan dengan menggunakan air hasil olahan tidak berpengaruh nyata dengan ATC kontrol, terutama dilihat dari parameter gel strength sebagai parameter terpenting, hingga lima kali proses ATC menggunakan air olahan didapatkan mutu ATC yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol dan masih diatas standar minimum yang diperbolehkan (> 500 gr/cm2). Oleh karena itu hingga proses lima kali daur ulang limbah cair pengolahan ATC dengan menggunakan alat daur ulang limbah cair pengolahan rumput, air olahan yang dihasilkan masih dapat digunakan kembali untuk proses pembuatan ATC selanjutnya.

59

5. KESIMPULAN Penelitian rekayasa alat pengolahan limbah cair hasil pengolahan rumput laut (Alkaly Treated Cottonii) telah dilakukan dalam tiga tahap penelitian yaitu : penelitian penggunaan tawas dalam koagulasi limbah cair, pengembangan model alat pengolahan limbah cair, dan proses daur ulang limbah cair dan pemanfaatan limbah hasil olahan pada produksi ATC. Penambahan tawas terbaik dalam koagulasi limbah cair hasil pengolahan ATC yaitu sebesar 0,2% dengan penurunan nilai TDS sebesar 12,61%, dan pH optimum aktifitas tawas yaitu pada pH awal limbah 8,2 dengan nilai TDS dan TSS masing-masing sebesar 6975 ppm dan 1139,6 ppm. Penambahan tawas juga menurunkan nilai pH dan alkalinitas limbah cair. Desain dan pengembangan alat pengolahan limbah cair telah dilakukan dengan prinsip metode koagulasi dan filtrasi. Proses koagulasi dilakukan dalam tanki koagulasi dengan penambahan tawas sebesar 0,1 - 0,25% dan flokulan blok 20 ppm, sedagkan filtrasi dilakukan dengan penyaringan melalui filter zeolit-arang aktif dan membrane selulosa asetat. Alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut mampu menurunkan jumlah total padatan terlarut (TDS), total padatan anorganik terlarut (TADS) dan Biological Oxygen Demand (BOD) limbah cair hingga 56,60 %, 32,29%, dan 60,66%. Namun kemampuan alat filtrasi menggunakan kolom zeolit-arang aktif menurun seiring dengan banyaknya daur ulang yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisa didapatkan juga bahwa alat pengolahan limbah cair pengolahan rumput laut mampu menurunkan nilai pH, kekeruhan, bau, dan warna limbah cair. Hasil analisa mutu air setelah dilakukan pengolahan menunjukkan bahwa sampai dengan daur ulang limbah ke-5 berdasarkan jumlah padatan terlarutya (TDS) air olahan termasuk dalam kategori limbah dengan kategori tingkat sedang yaitu antara 2000 - 5000 ppm, sedangkan nilai dissolved oxygen (DO) dan BOD air hasil olahan masih memenuhi persyaratan baku mutu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian (DO > 3 ppm dan BOD < 20 ppm). Berdasarkan analisa didapakan bahwa penggunaan air 60

olahan terhadap mutu ATC hingga lima kali proses daur ulang secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh yang nyata, karenanya air olahan yang dihasilkan masih layak untuk digunakan dalam proses pembuatan ATC selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Amri, A., Supranto, Fahrurozi, M. 2004. Kesetimbangan Adsorpsi Opsional Campuran Biner Cd(II) dan Cr(III) dengan Zeolit Alam Terimpregnasi 2Merkaptobenzotiazol. Jurnal Natur Indonesia 6(2) hal 111 - 117. Alaerts, G. dan S.S. Santika., 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya Indonesia. Eckenfelder, W.W. 1986. Industrial WaterPollution. Mc Graw Hill, New York. http://www.tekmira.esdm.go.id/data/Zeolit/ulasan.asp? xdir=Zeolit&commId=33&comm=Zeolit Migo, V.P., M. Matsumura, E.J.D. Rosario dan H. Kataoka. 1993. The effect of pH and Calcium Ions on Destabilization of Melanoidin. J. Of Fermentation Bioengineering 76(I), 29-32. Novita, E. 2001. Optimasi proses Koagulasi Flokulasi pada Limbah Cair yang Mengandung Melanoidin. Jurnal Ilmu dasar. Vol.2 No.1. Hal : 61 - 67 Said, N.I. 1999. Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air. Direktorat Teknologi Lingkungan. Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material, dan Lingkungan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

61

You might also like

  • The Life List
    The Life List
    Document1 page
    The Life List
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • Pengertian Limbah
    Pengertian Limbah
    Document4 pages
    Pengertian Limbah
    ninanaga
    100% (7)
  • Jurnal Uji Anion
    Jurnal Uji Anion
    Document8 pages
    Jurnal Uji Anion
    Idhachancewegthulaliet LuphhpooltoGod Alwaysbehappy
    50% (2)
  • Kafein
    Kafein
    Document2 pages
    Kafein
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • HUJANASAM
    HUJANASAM
    Document8 pages
    HUJANASAM
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • Zat Aditif
    Zat Aditif
    Document26 pages
    Zat Aditif
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • HUJANASAM
    HUJANASAM
    Document8 pages
    HUJANASAM
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • Alkena
    Alkena
    Document2 pages
    Alkena
    Raisa Annisa Bella
    No ratings yet
  • Ca (OH) 2 Msds
    Ca (OH) 2 Msds
    Document11 pages
    Ca (OH) 2 Msds
    Raisa Annisa Bella
    100% (2)