You are on page 1of 10

ANALISA KERUSAKAN DAN SISA UMUR TUBE FURNACE 019 F 102 DI PT.

PERTAMINA (PERSERO) REFINERY UNIT IV CILACAP


Hendrato
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta, Telp./Fax (0271)632112

RINGKASAN
Analisa ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerusakan yang terjadi pada tube furnace 019 F 102. Dari hasil analisa menunjukkan bahwa kerusakan Tube Furnace 019 F 102 berupa internal tube corrosion akibat Senyawa-senyawa korosif (sulfur, ion klorida, dan asam naphthenat), external tube corrosion akibat sulphuric acid, pembentukan lapisan coke pada dinding tube akibat senyawa CaCl2 dan CaSO4, dan pemuaian material tube akibat temperatur tinggi (overheating). Analisa juga dilakukan pada perhitungan percepatan korosi dan sisa umur tube furnace 019 F 102. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa semua cell tube furnace 019 F 102 berada pada level waspada, karena angka percepatan korosinya > 0,1 mm/years dan diprediksikan sisa umur tube furnace 019 F 102 berkisar antara 16,86% 29,85% dari umur design (design life time) sebesar 60 tahun. PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam industri pengolahan migas banyak digunakan pipa untuk membantu proses produksinya, sebagai contoh : pipa atau tube pada furnace, pada boiler atau steam injection. Pada instalasi ini tube merupakan komponen yang vital karena tube tersebut digunakan sebagai alat untuk mengalirkan fluida yang panas ke sistem-sistem yang membutuhkan, dimana suhu operasi sekitar 454 540 C sesuai dengan suhu operasi dan jenis material yang digunakan, dan jam operasi yang mencapai 100.000 jam operasi (API Recommended 530). Dalam pengoprasiannya tube furnace akan mengalami proses pengotoran dan kerusakan, sehingga kemampuannya akan menurun. Maka dari itu perlu adanya sistem pemeliharaan atau maintenance dan penanggulangan kerusakan yang tepat. Hal ini dikarenakan furnace merupakan unit yang vital pada kilang minyak. Apabila furnace mengalami kegagalan maka akan terjadi kegagalan pada semua sistem kilang minyak. Permasalahan korosif tidak bisa lepas dari tube ini mengingat suhu operasi yang tinggi, fluida yang mengalir juga dapat mengakibatkan adanya deposit. Karena produk industri migas pada umunya sangatlah korosif diperlukan pengawasan dan kontrol material secara periodik dalam hal eksploitasi dan proses distribusinya untuk menjamin mutu dalam penggunaannya. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam laporan kerja praktek ini adalah : 1. Bagaimana mekanisme kerusakan yang terjadi pada tube furnace 019 F 102. 2. Apa penyebab kerusakan yang terjadi pada tube furnace 019 F 102.

3. Berapa percepatan korosi dan sisa umur tube


furnace 019 F 102. Batasan Masalah Agar permasalahan yang dibahas tidak menyimpang dari lingkup permasalahan, maka dalam hal ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut : 1. Membahas jenis-jenis kerusakan tube furnace 019 F 102 akibat proses pengotoran dan korosi. 2. Membahas analisa penyebab kerusakan tube furnace 019 F 102. 3. Membahas solusi pencegahan dan perbaikan kerusakan tube furnace 019 F 102. 4. Membahas perhitungan percepatan korosi dan sisa umur tube furnace 019 F 102 dengan Standards API (American Petrolium Institute) Recommended Practice 530. 5. Membahas analisa hasil perhitungan percepatan korosi dan sisa umur tube furnace 019 F 102. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam pelaksanaan kerja praktek ini adalah sebagai berikut : 1. Metode Observasi Metode ini dilakukan dengan mengamati dan mempelajari secara langsung di lokasi kerja praktek mengenai objek kerja praktek yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran serta data secara akurat. 2. Metode Wawancara Metode ini dilakukan dalam bentuk tanya jawab dengan narasumber, baik pembimbing kerja praktek maupun staf lapangan yang kompeten dalam bidang tersebut. 3. Studi Literatur Metode ini dilakukan dengan mempelajari literatur berupa jurnal perusahaan, petunjuk kerja

alat dari data sheet, diagram alir, buku-buku perpustakaan baik dari perusahaan maupun dari kampus. 4. Konsultasi Metode ini dilakukan dalam bentuk kepada pembimbing lapangan dan sumber lain untuk mendapatkan pengarahan dan bimbingan. DASAR TEORI Dasar Teori Furnace Furnace atau fire heater merupakan peralatan dalam proses pengolahan minyak, dimana terdiri dari bangunan metal, dan bagian didalamnya dilapisi batu tanah api yang akan melindungi metal dan supportsupport furnace dari radiasi panas dan akan mamantulkan ke tube-tube furnace. Ruangan didalam furnace ini disebut fire box atau combustion chamber yaitu merupakan tempat terjadinya proses pembakaran bahan bakar dengan udara dari burner. Panas dari hasil pembakaran bahan bakar tersebut dipindahkan kepada tube secara radiasi, konduksi, dan konveksi untuk memanasi fluida dalam tube.

sehingga tube pecah dan menyebabkan kebakaran. Oleh sebab itu diperlukan ketelitian dalam hal teknologi design, inspection maupun testing sewaktu furnace difabrikasi. Furnace harus dapat memberikan panas yang sebanyak-banyaknya pada fluida yang dipanaskan, maka diusahakan pembakaran yang sempurna. Panas yang hilang melalui dinding furnace ditekan seminimal mungkin, dan panas yang hilang melalui stack juga ditekan seminimal mungkin dengan cara mengatur posisi buka tutup stack damper sesuai dengan persen toleransi yang dikehendaki. Karena hal ini erat hubungannya dengan effisiensi pada furnace itu sendiri. Dasar Teori Korosi Definisi dari korosi adalah perusakan atau penurunan mutu dari material akibat bereaksi dengan lingkungan (MARS G. FONTANA,1987), dalam hal ini adalah interaksi secara kimiawi. Sedangkan penurunan mutu yang diakibatkan interaksi secara fisik bukan disebut korosi, namun biasa dikenal sebagai erosi dan keausan. Contoh korosi antara lain: karat besi dan paduannya pada temperatur kamar, kerak baja pada temperatur tinggi, noda pada perak, dan lain sebagainya. Menurut jenis reaksinya korosi dibagi menjadi dua yaitu korosi kimia atau biasa disebut korosi kering (Dry Corrosion) dan korosi elektrokimia biasa disebut koros basah (Aqueous Corrosion). Korosi kimia atau korosi kering atau korosi temperature tinggi dalah proses korosi yang terjadi melalui reaksi kimia secara murni yang terjadi tanpa adanya elektrolit atau bisa dikatakan tidak melibatkan air dengan segala bentuknya. Korosi kimia biasanya terjadi pada kondisi temperatur tinggi atau dalam keadaan kering yang melibatkan logam (M) dengan oksigen, nitrogen, sulfida. Proses oksidasinya adalah sebagai berikut : M M 2+ 2e O2+ 2e O2 M +O2 MO

Gambar 1. Furnace dan komponenya Keterangan gambar :


1. Access Door 2. Arch 3. Breaching 4. Bridgewall 5. Burner 6. Casing 7. Convection Section 8. Corbel 9. Cross Over 10. Tube 11. Extended Surface 12. Return Bend 13. Header Box 14. Radiant Section 15. Shield Section 16. Observation Door 17. Tube Suport 18. Refractory Lining 19. Tube Sheet 20. Pier 21. Stack/Duct 22. Platfrom

Dalam operasinya, furnace mempunyai resiko tinggi karena menangani hal yang mudah terbakar didalam coil, apabila terjadi kondisi yang tidak normal misalnya terjadi kenaikan temperatur

Gambar 2. Mekanisme Pertumbuhan Oksida

Pertumbuhan Oksida : 1. Awal proses oksida adalah pembentukan oksida dimana terjadi penarikan oksigen ke permukaan logam. 2. Reaksi antara oksigen dengan logam. 3. Oksidasi terbentuk di permukaan logam 4. Proses berikutnya adalah pertumbuhan oksida yang telah terbentuk. Metode Perhitungan Sisa Umur Tube Metode perhitungan yang di gunakan PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap mengacu pada persamaan-persamaan yang ada pada API (American Petrolium Institute) Recommended Practice 530 Calculation Of Heater Tube Thickness In Petrolium Refineries. Metode perhitungan ini digunakan untuk mengevaluasi kondisi tube furnace yang mengalami korosi dan penurunan ketebalan dinding. Data kalkulasi yang dihitung adalah Stress Thickness, Corrosion Rate, dan Remaining Life Time. Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagaai berikut : 1. Stress Thickness (mm)

Dimana : RLT = Remaining Life Time (Years) to = Thickness Awal = Stress Thickness (mm) (mm)

ANALISA KERUSAKAN DAN SISA UMUR TUBE FURNACE 019 F 102 DI PT. PERTAMINA (PERSERO) REFINERY UNIT IV CILACAP Kerusakan Bagian Dalam Tube Furnace 019 F 102 Kerusakan yang terjadi pada bagian dalam tube, biasanya berupa korosi tube bagian dalam (internal tube corrosion) dan kerak (scale/coke). a. Korosi Erosi (Corrosion Erosion)

Pr Do 2r Pr

(I API 530)

Dimana :

= Stress Thickness
Pr = Design Pressure

(mm) (Mpa)

Gambar 3. Corrosion Erosion b. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)

Do = Outside Diameter (mm)

r = Allowable Stress

(mm)

2. Corrosion Rate (CR), (mm / Years)

CR

to ta X

(II API 530) Gambar 4. Pitting Corrosion

Dimana : CR = Corrosion Rate to = Thickness Awal ta = Thickness Akhir X = Life Time (mm/Years) (mm) (mm) (Years)

c. Korosi Retak Cracking)

Regang

(Stress

Corrosion

3. Remaining Life Time (RLT), (Years)

RLT

ta CR

(III API 530) Gambar 5. Stress Corrosion Cracking 3

d. Korosi Merata (Uniform Corrosion)

b. Terbakar (Burning)

Gambar 6. Uniform Corrosion e. Coke/Scale

Gambar 9. Tube Burning c. Melengkung (Sagging)

Gambar 7. Kerak/Coke Pada Tube

Gambar 10. Tube Sangging d. Membungkuk (Bowing)

Kerusakan Bagian Luar Tube Furnace 019 F 102 Kerusakan yang terjadi pada tube bagian luar, biasanya berupa korosi tube bagian luar (external tube corrosion) dan kerusakan berupa pemuaian material tube akibat temperature tinggi (over heating). Kerusakan-kerusakan tersebut antara lain : a. Korosi Bagian Luar (External Tube Corrosion)

Gambar 11. Tube Bowing e. Membengkak (Bulging)

Gambar 8. External Tube Corrosion

Gambar 12. Tube Bulging Dan Pecah

Analisa Kerusakan Bagian Dalam Tube Furnace 019 F 102 Korosi yang terjadi pada bagian dalam tube furnace 019 F 102 sebagian besar tergolong korosi temperature tinggi (high temperature corrosion), karena tube furnace bekerja pada temperatur tinggi (5420C -6470C/1007,60F-1196,60F) di atas titik kritik air (4000C/7520F), dengan mekanisme yang berbedabeda dan dapat digolongkan menjadi : a. Thining (penipisan) akibat general, localized, dan erosion corrosion. b. Stress corrosion cracking c. High Temperature Hydrogen Attack (HTHA) Salah satu penyebab terjadinya korosi pada tube adalah adanya impurities/ketidakmurnian dalam crude oil. Crude oil impurities ini berasal dari berbagai macam sumber, antara lain : a. Impurities yang memang terkandung dalam crude oil yang diambil dari perut bumi, impurities tersebut terikut akibat proses-proses yang digunakan di exploration sites. b. Impurities yang terikut saat crude oil dalam perjalanan dari site ke refinery (hal ini terutama terjadi jika crude oil dibawa ke refinery dengan menggunakan kapal laut). Senyawa Crude oil impurities yang dapat menjadi penyebab utama korosi pada tube furnace 019 F 102 adalah : 1. Sulfur (S), pada temperature tinggi (T>2040C/4000F) dapat menyebabkan peralatan baja mengalami sulfidasi (high temperature sulfidic corrosion) membentuk lapisan FeS yang tidak protektif dan pada lingkungan akuatik sebagai H2S yang dapat mengkorosi hampir seluruh metal. 2. Ion klorida (Cl-), sebagai asam klorida merupakan senyawa agresif yang dapat menyebabkan korosi hampir seluruh metal (baja, stainless steel) atau sebagai garam klorida yang dapat melarutkan lapisan oksida protektif sehingga terjadi korosi sumuran (pitting/localized corrosion). 3. Asam naphthenat (dinyatakan dalam tan), pada temperatur tinggi (T>2040C/4000F) bersamasama dengan senyawa sulfur dapat menyebabkan korosi setempat pada baja (localized corrosion). Air yang terkandung dalam crude oil juga dapat menjadi penyebab terjadinya korosi, karena air tersebut mengandung garam-garam anorganik. Garam-garam yang paling umum adalah garamgaram klorid, sulfat, dan karbonat dari Na, Mg, dan Ca. Ion klorida akan memproduksi asam yang akan menghasilkan HCl yang dapat menyebabkan korosi terutama yang berasal dari garam-garam klorida (NaCl, MgCl2, dan CaCl2) dengan komposisi masing-masing 75% NaCl, 15%MgCl2, dan 10%CaCl2. Garam-garam klorida tersebut mengalami hidrolisis menjadi HCl dan bila terkondensasi akan menjadi senyawa yang agresif (pH lingkungan dapat

mencapai 4) reaksi dan temperatur hidrolisis untuk masing-masing garam dijelaskan dalam tabel dibawah ini : Tabel 1. Reaksi hidrolisis garam-garam klorida
No 1 2 Reaksi Hidrolisis MgCl2 + 2 H2O Mg(OH)2 + 2 HCl CaCl2 + 2 H2O Ca(OH)2 + 2 HCl Temperatur 2500F (1210C) 400 4500F (204 2320C) >10000F (>5370C)

NaCl + H2O NaOH + HCl

Jika gas HCl bercampur dengan air maka akan menjadi senyawa yang sangat korosif, yang akan menyerang baja paduan atau logam lain. Dengan kehadiran H2S maka akan terjadi reaksi yang berulang. 2 HCl + Fe H2 (g) + FeCl2 FeCl2 + H2S FeS(s) + 2 HCl Parameter yang berpengaruh terhadap kerawanan korosi akibat asam naphthenat adalah : 1. Temperatur Korosi yang disebabkan oleh asam naphthenat hanya berlangsung dalam fasa cair, dan berada pada selang 204-3990C (400-7500F). Semakin tinggi temperatur operasi, maka laju korosi akan semakin tinggi, tetapi pada temperatur yang lebih tinggi dari pada titik kritik air (400-7500F), asam naphtenat terdekomposisi atau berubah fasa menjadi fasa uap, sehingga tingkat kerawananya akan menurun. 2. Kandungan sulfur Semakin tinggi kandungan sulfur, laju sufidasi akan meningkat, dan pada temperatur >2040C (4000F), lapisan sulfida tidak cukup protektif untuk melindungi logam induk (base metal). Keberadaan asam naphthenat akan merusak lapisan protektif yang terbentuk dari reaksi sulfidasi, sehingga menyebabkan laju sulfidasi dan korosi asam naphthenat meningkat dalam area terbatas (localized corrosion). 3. Laju aliran (velocity) Semakin tinggi laju aliran fluida, maka korosi asam naphthenat akan semakin parah. Tube furnace 019 F 102 terbuat dari baja paduan, beroperasi pada temperatur tinggi (5420C 6470C/1007,60F-1196,60F), dan beroperasi pada tekanan 380 Psi. Material, temperatur, dan tekanan operasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya korosi dengan mekanisme high temperature hydrogen attack (HTHA) pada tube furnace 019 F 102. Hal ini dikarenakan kondisi batas terjadinya high temperature hydrogen attack (HTHA) adalah : Material terbuat dari baja paduan/low alloy steel

Suhu operasi > 4000F (2040C) Tekana operasi > 80 psi (5,62 kg/cm2) Ada H2 dalam aliran proses Kerusakan bagian dalam tube furnace 019 F 102 berikutnya adalah terbentuknya coke. Istilah coke/scale dipergunakan secara luas untuk deposit keras yang terbentuk pada peralatan yang beroperasi pada temperatur tinggi. Dalam operasi produksi minyak bumi sering ditemui mineral coke seperti CaSO4, FeCO3, CaCO3, dan MgSO4. Coke CaCO3 paling sering ditemui pada operasi produksi minyak bumi. Akibat dari pembentukan coke pada operasi produksi minyak bumi adalah berkurangnya produktivitas peralatan akibat tersumbatnya aliran. Penyebab terbentuknya deposit coke/scale adalah terdapatnya senyawa-senyawa dengan jumlah yang melebihi kelarutannya pada keadaan kesetimbangan. Faktor utama yang berpengaruh besar pada kelarutan senyawa-senyawa pembentuk coke ini adalah kondisi fisik (tekanan, temperatur, konsentrasi ion-ion lain dan gas terlarut). Coke yang terbentuk pada tube furnace 019 F 102 adalah coke dengan spesifikasi sebagai berikut : Bentuk fisik : Padat dan coklat Penambahan HCL 15% : Larut tanpa ada gelembung gas, larutan menunjukkan adanya SO4 dengan CaCl2 Komposisi : CaCl2 dan CaSO4, yang berwarna coklat adalah besi oksida yang merupakan produk korosi atau pengendapan yang disebabkan oleh oksigen. Reaksi kimia : CaCl2 + Na2S04 CaSO4 + 2 NaCl Analisa Kerusakan Bagian Luar Tube Furnace 019 F 102 Korosi bagian luar tube furnace 019 F 102 dikarenakan tube bekerja pada temperature tinggi (5420C-6470C/1007,60F-1196,60F) di atas temperatur rancangan (4950C/9230F) dan dialiri gas hasil pembakaran yang mengandung sulfur 0,15%. Kondisi tersebut memiliki resiko korosi temperatur tinggi akibat sulfidasi. Kandungan senyawa sulphur yang sangat tinggi dan proses pembakaran yang menyerap uap air dari sekeliling (hydroscopic), dapat menyebabkan terbentuknya senyawa sulphuric acid. Senyawa tersebut dapat menyebabkan korosi pada tube bila terjadi kontak langsung. Kerusakan ini umumnya terjadi bila suhu permukaan tube tinggi dan sering terjadi pada convection section. Pada dasarnya kerusakan bagian luar tube furnace 019 F 102 yang berupa sagging, bowing, dan bulging disebabkan oleh pemuaian material tube. Setiap material tube akan mengalami pemuaian apabila tube tersebut menerima panas. Dan setiap material tube mempunyai daya muai (tingkat elastisitas) yang berbeda-beda tergantung dari komposisi materialnya. Apabila terjadi pemuaian (tube expansion) melebihi daya muai material tube,

maka material tube tersebut akan mengalami kerusakan (creep) sebelum waktunya (life time tube). Beberapa potensi kerusakan (creep) yang terlihat pada tube furnace 019 F 102 adalah : a. Tube terbakar (burning) b. Tube melengkung (sagging) c. Tube membungkuk (bowing) d. Tube membengkak (bulging) Sebagian besar kerusakan/creep yang terjadi pada bagian luar tube furnace 019 F 102 dikarenakan tube bekerja pada temperature tinggi (5420C-6470C/ 1007,60F-1196,60F) di atas temperature rancangan (4950C/9230F) sehingga terjadi overheating. Overheating pada tube furnace 019 F 102 dapat terjadi pada kondisi-kondisi sebagai berikut: a. Flame Impigement/Jilatan Api Ke Permukaan Tube Flame impigement yang bersifat terus menerus pada tube akan mengakibatkan terjadinya panas yang berlebihan pada daerah tube tersebut. Hal ini berdampak terhadap melemahnya struktur metal yang selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya tube burning, sagging, dan bowing. b. Tube Plugging/Penyumbatan Tube Apabila terjadi tube plugging akibat terbentuknya coke, maka dapat terjadi hambatan aliran fluida di dalam tube yang dapat berakibat penyerapan panas oleh fluida berkurang, sehingga terjadi overheating pada tube tersebut. Adanya tube plugging dapat ditandai dengan terjadinya kenaikan pressure drop, dan secara visual dapat terlihat permukaan luar tube yang memerah atau belang merah-hitam, yang menandakan tidak ada aliran (panas yang di supply oleh burner hanya diserap oleh tube dan tidak diserap oleh reaksi). Tube plugging dapat terjadi karena pressure drop tube pada saat loading terlalu tinggi atau karena senyawa CaCl2 + Na2S04 CaSO4 + 2 NaCl yang menyebabkan terbentuknya coke pada dinding tube yang secara akumulatif akan mengakibatkan terhambatnya aliran fluida. Tube plugging juga ditandai dengan kenaikan pressure drop tube yang selanjutnya akan mengakibatkan overheating/hotspot pada tube. Pada waktu dipanaskan, tube akan memuai dan akan kembali ke kondisi seperti semula setelah didinginkan (tergantung pada elastisitas dari material tube). Jika terjadi overheating maka saat operasi normal tube akan mengalami pemuaian ke samping atau membengkak (bulging) dan akibatnya coke akan mengisi volume tube sebesar muai penambahan keliling tube tersebut. Saat shutdown, seharusnya pemuaian tidak terjadi lagi dan kondisi tube yang memuai akan kembali normal, namun karena tube sudah terisi dengan coke, maka proses tersebut tidak terjadi. Proses tersebut terjadi berulang-ulang hingga akhirnya tube tidak mampu lagi menahan pemuaian dan akhirnya pecah dan mengakibatkan kebakaran furnace.

Solusi Kerusakan Bagian Dalam Tube Furnace 019 F 102 Dengan dasar pengetahuan tentang elektrokimia proses korosi. Kita dapat menjelaskan mekanisme dari korosi dan dapat melakukan usahausaha untuk pencegahan terbentuknya korosi. Banyak cara sudah ditemukan untuk pencegahan terjadinya korosi diantaranya adalah dengan cara proteksi katodik, coating, dan penggunaan chemical inhibitor. 1. Proteksi Katiodik Untuk mencegah terjadinya proses korosi atau setidak-tidaknya untuk memperlambat proses korosi tersebut, maka dipasanglah suatu anoda buatan di luar logam yang akan diproteksi. Daerah anoda adalah suatu bagian logam yang kehilangan elektron. Ion positifnya meninggalkan logam tersebut dan masuk ke dalam larutan yang ada sehingga logam tersebut berkarat. Terlihat disini karena perbedaan potensial maka arus elektron akan mengalir dari anoda yang dipasang dan akan menahan melawan arus electron dari logam yang didekatnya, sehingga logam tersebut berubah menjadi daerah katoda. Inilah yang disebut Cathodic Protection. Dalam hal diatas elektron disuplai kepada logam yang diproteksi oleh anoda buatan sehingga elektron yang hilang dari daerah anoda tersebut selalu diganti, sehingga akan mengurangi proses korosi dari logam yang diproteksi. Anoda buatan tersebut ditanam dalam suatu elektrolit yang sama (dalam hal ini tanah lembab) dengan logam (dalam hal ini pipa) yang akan diprotekasi dan antara dan pipa dihubungkan dengan kabel yang sesuai agar proses listrik diantara anoda dan pipa tersebut dapat mengalir terus menerus. 2. Coating Cara ini sering dilakukan dengan melapisi logam (coating) dengan suatu bahan agar logam tersebut terhindar dari korosi. 3. Pemakaian Bahan-Bahan Kimia (Chemical Inhibitor) Untuk memperlambat reaksi korosi digunakan bahan kimia yang disebut inhibitor corrosion yang bekerja dengan cara membentuk lapisan pelindung pada permukaan metal. Lapisan molekul pertama yang tebentuk mempunyai ikatan yang sangat kuat yang disebut chemis option. Corrosion inhibitor umumnya berbentuk fluid atau cairan yang diinjeksikan pada production line. Karena inhibitor tersebut merupakan masalah yang penting dalam menangani kororsi maka perlu dilakukan pemilihan inhibitor yang sesuai dengan kondisinya. Material corrosion inhibitor terbagi 2, yaitu : 1. Organik Inhibitor Inhibitor yang diperoleh dari hewan dan tumbuhan yang mengandung unsure karbon

dalam senyawanya. Material dasar dari organik inhibitor antara lain: Turunan asam lemak alifatik, yaitu: monoamine, diamine, amida, asetat, oleat, senyawa-senyawa amfoter. 2. Inorganik Inhibitor Inhibitor yang diperoleh dari mineral-mineral yang tidak mengandung unsure karbon dalam senyawanya. Material dasar dari inorganik inhibitor antara lain : kromat, nitrit, silikat, dan pospat. Pada dasarnya proses perengkahan minyak berat akan menghasilkan produk sampingan berupa coke. Coke/scale adalah deposit keras yang terbentuk pada peralatan yang beroperasi pada temperatur tinggi. Dalam industri pengolahan minyak terbentuknya coke tidak dapat dihindari atau dicegah namun dapat dilakukan pembersihan secara berkala agar tube dapat berfungsi sebagai mana mestinya (perpindahan panas dari ke fluida tidak terganggu). Adapun metode pembersihan coke adalah sebagai berikut : 1. Dengan sirkulasi minyak residu yang bertemperatur kurang lebih 100C setelah itu coil diinjeksi dengan MP steam, residu terdorong dan keluar dari bagian dalam tube. Pembersihan ini dilakukan sebelum plug-plug tube dibuka, dan cara ini hanya efektif untuk endapan lunak yang dapat dilarutkan dengan residu. 2. Dengan mechanical cleaning, cara ini dilakukan apabila scale atau coke yang telah mengeras. Alat yang digunakan pada mechanincal cleaning adalah cutter turbine yang berputar didalam tube dan membersihkan coke yang menempel pada permukaan tube.

Gambar 13. Cone Cutter 3. Pembersihan dapat juga dilakukan dengan cara steam air decocking (SAD). SAD adalah suatu proses pembersihan coke dengan cara membakar karbon (coke) yang berada didalam tube dapur unit visbreaker, mengalirkan steam panas, menginjeksi udara bertekanan serta dimonitor (dikontrol) secara ketat agar tidak terjadi pembakaran berlebih (temperature run away) sehingga diharapkan coke yang terbakar dibagian dinding dalam tube dapat terkelupas keluar dari outlet tube dengan bantuan tekanan steam dan udara bertekanan. 7

Solusi Kerusakan Bagian Luar Tube Furnace 019 F 102 Kerusakan pada bagian luar tube furnace 019 F 102 pada dasarnya dapat dicegah dengan melakukan pembersihan tube secara berkala pada coke yang terbentuk, agar coke tidak menimbulkan overheating yang akhirnya menyebabkan tube mengalami plugging, dan bulging. Pengaturan arah api burner harus benar agar tidak terjadi flame impigement/jilatan api ke permukaan tube. Flame impigement yang bersifat terus menerus akan mengakibatkan terjadinya overheating, yang selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya tube burning, sagging, dan bowing. Jika telah terjadi burning, saggng, bowing, maupun bulging, maka tube furnace harus segera diperbaiki/diganti. Prosedur penggantian/perbaikan tube furnace yang diterapkan oleh PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap adalah sebagai berikut : 1. Pengelasan Prosedur pengelasan harus mengacu pada WPS (welding procedure specification) yang telah ditetepkan oleh bagian ENG-MA PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap. 2. Pemeriksaan Hasil Las Pemeriksaan hasil las dilaksanakan oleh bagian inspeksi PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap. Cara pemeriksaan ada dua yaitu : NDT (Non Destructif Test) adalah hasil pemeriksaan las dengan tidak merusak benda kerja, contoh ; visual, penetration test, radiography dan Lain-lain. DT (Destructif Test) adalah pemeriksaan hasil lasan dengan cara merusak contoh bending test, tensile strength (untuk tube furnace cara ini tidak dilakukan). 3. PWHT (post weld heat treatment) PWHT adalah perlakuan panas pada logam atau salah satu proses treatment setelah pengelasan dengan cara memanaskan pada suhu tertentu (heating rate) sesuai suhu WPS (kenaikan suhu 200C/jam). Setelah mencapai suhu 705-760C, ditahan (holding time) selama 2 jam kemudian setiap jam-nya diturunkan (cooling rate) dengan suhu 200C sampai pada suhu dibawah 300C Heater dimatikan/distop dan dibiarkan sampai ambient temperature. Bila suhu sudah mencapai 70C isolasi bisa di buka.

Perhitungan Sisa Umur Tube Furnace 019 F 102 Data pengukuran ketebalan (thickness) pada dinding tube furnace dapat di gunakan untuk memprediksi sisa umur dari tube yang beroperasi pada suhu tinggi, terutama pada unit pengolahan migas. Dalam perhitungan sisa umur tube PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap mengacu pada API (American Petrolium Institute) Recommended Practice 530. Langkah awal adalah mengukur ketebalan actual tube dengan menggunakan Ultrasonic Test (UT). Dari pengukuran menggunakan didapat data actual thickness meliputi 4 cell tube (cell A, cell B, cell C, cell D) dan setiap cell terdapat 26 buah tube. Metode perhitungan yang digunakan oleh PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap adalah dengan mengambil data actual thickness terkecil pada tiap cell untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Stress Thickness, Corrosion Rate, Remaining Life Time. Tabel 2. Actual Thickness
Cell A B C D Tube Number 26 26 25 25 Actual Thickness (mm) 00 900 1800 2700 7,3 7,0 6,7 9,6 7,9 6,7 6,7 6,9 6,8 7,8 6,7 7,2 Minimum Thickness 6,7 7,9 6,7 6,7

Perhitungan Corrosion Rate Dan Remaining Life Time Tube Cell A Diketahui : Standard Code : API RP 530 Furnace Number : 019-F-102-A Material/size/sch : A200 T9/4/120 Outsite Diameter (Do) : 4,5 (Inch) 114,2979 (mm) Rupture Design Pressure (Pr) : 380 (Psi) Tube Thickness ( ), (to) : 11,125 (mm) 0,438 (Inch) Thickness Now (ta) : 6,7 (mm) 0,26378 (Inch) Design Metal Temperature (Td): 923 (oF) Rupture Allowable Strees ( r) : 12500 (Psi) Life Time (X) : 28 (Years) Persamaan yang Digunakan: 1. Stress Thickness (mm)

Pr Do 2r Pr

(I API 530)

(380) 4,5 2 12500 380

Gambar 14. Grafik Pelaksanaan PWHT

1710 25380 = 0.067375887 Inch


= 8

= 1,711347518 mm
2. Corrosion Rate (CR), (mm / Years) :

Practice 581 (Risk-Based Inspection Technology). Grade/level standar percepatan korosi yang diterapkan oleh PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap dapat dilihat pada tebel di bawah ini : Tabel 4. Standard Corrosion Rate Corrosion Rates Grade < 0,1 mm/years Aman Carbon Steel 0,1 0,2 mm/years Waspada A 200 T9 0,2 0,3 mm/years Bahaya Material Dari perhitungan percepatan korosi yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan level percepatan korosi yang terjadi pada setiap cell tube. Level percepatan korosi tiap cell tube furnace 019 F 102 dapat dilihat tabel dibawah ini : Tabel 5. Hasil Perhitungan Corrosion Rate Cell Tube Corrosion Rates Grade Cell A 0,158035714 mm/years Waspada Cell B 0,115178571 mm/years Waspada Cell C 0,158035714 mm/years Waspada Cell D 0,158035714 mm/years Waspada Pada tabel diatas terlihat bahwa percepatan korosi (Corrosion Rate) semua cell tube furnace 019 F 102 melebihi angka 0,1 mm/years. Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semua cell tube furnace 019 F 102 berada pada level waspada, Dari data hasil perhitungan sisa umur harus dikalikan dengan standard safety yang ditetapkan oleh PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap sebesar 1/3 dari hasil perhitungan. Data hasil perhitungan sisa umur dan umur design tube furnace 019 F 102 adalah sebagai berikut : Tabel 6. Hasil Perhitungan Remaining Life Time Remaining Standard Prediksi Cell Life Time Safety Sisa Umur Cell A 31,57 years x 1/3 10.52 years Cell B 53,73 years x 1/3 17,91 years Cell C 30,36 years x 1/3 10,12 years Cell D 32,77 years x 1/3 10,92 years Design Life Time (DLT), (Years) : Tube thickness : 11,125 mm Stress thickness : 1,711347518 Corrosion allowable : 0,160 mm/years

CR

to ta X

( II API 530 )

11,125mm 6,7 mm 28 years

= 0,006221879 Inch/years = 0.158035714 mm/years


3. Remaining Life Time (RLT), (Years) :

RLT

ta CR

( III API 530 )

6,7 mm 1,711347518 mm 0,158035714 mm / years

= 31,57 years
Perhitungan dilakukan pada semua cell tube furnace 019 F 102 dengan metode perhitungan yang sama seperti metode perhitungan di atas. Hasil perhitungan Stress Thickness, Corrosion Rate, Remaining Life Time pada semua cell tube furnace 019 F 102 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3. Hasil Perhitungan Stress Corrosion Remaining Thickness Rate Life Time 1,711347518 0.158035714 31,57 mm mm/years years 0.115178571 1,711347518 53,73 mm/years mm years 0.158035714 1,901497242 30,36 mm/years mm years 0.158035714 1,521197794 32,77 mm/years mm years

Cell Tube A B C D

Analisa Perhitungan Sisa Umur Tube Furnace 019 F 102 Data pengukuran pengurangan ketebalan (thickness) pada dinding tube dapat di gunakan untuk menghitung percepatan korosi (corrosion rate) dan memprediksi sisa umur (remaining life time) tube yang beroperasi pada suhu tinggi. Untuk menganalisa percepatan korosi dan memprediksi sisa umur tube furnace 019 F 102, PT. Pertamina (Persero) RU. IV Cilacap mengacu pada standar API Recommended

RLT

ta CR

( API 530 )

11,125mm 1,711347518 mm 0,160mm / years


= 60 years

Dari data tersebut diprediksikan sisa umur (Remaining Life Time) tube furnace 019 F 102 berkisar antara 16,86% 29,85% dari umur design (design Life Time) tube furnace 019 F 102 sebesar 60 tahun. Dari data diatas terlihat bahwa terjadi perbedaan angka prediksi sisa umur pada cell A, B, C, dan D, tube furnace 019 F 102. Hal ini diakibatkan kondisi operasional tiap tube berbedabeda (suhu, tekanan, kerusakan, tingkat percepatan korosi). Faktor penyebab besarnya pengurangan sisa umur (Remaining Life Time) pada material tube furnace 019 F 102 yang beroperasi pada suhu tinggi (5420C -6470C/1007,60F-1196,60F) adalah: a. Adanya Frekuensi shut down unit yang berlebihan pada furnace 019 F 102. Frekuensi shut down unit yang berlebihan akan menyebabkan terjadi penurunan temperatur yang mendadak pada tube (penurunan temperatur normal shut down adalah 50oC/jam, sedangkan jika emergency shut down bisa mencapai 100oC/jam). Dengan penurunan temperatur secara mendadak akan berpengaruh terhadap struktur material tube tersebut. Semakin tinggi frekuensi shut down unit, semakin besar juga terjadinya creep pada struktur material tersebut sehingga semakin pendek remaining life time tube tersebut. b. Kontrol suhu pada tube furnace 019 F 102 yang kurang akurat, bila alat pengontrol suhu kurang akurat, artinya didalam furnace terjadi suhu tidak seragam, dan hal ini tergantung dari design furnace yang ada, disamping itu thermocouple yang ada pada furnace tidak selalu tepat mewakili suhu yang terbaca pada control room atau yang dialami pada pipa/tube, maka dapat terjadi overheating pada titik-titik atau lokasi tertentu dari pipa/tube yang ada pada furnace. Overheating ini mempercepat terjadinya pemuaian material tube yang akan menimbulkan sagging, bowing, bulging, serta menimbulkan oksidasi dan serangan korosi suhu tinggi (intergranular high temperature corrosion). c. Pengaruh lingkungan pada tube furnace 019 F 102 yang sangat korosif dapat memperpendek umur tube, biasanya ini terjadi karena pengaruh suhu tinggi, sehingga mempercepat terjadinya korosi yang disebabkan unsur-unsur seperti Cl (chlor), H (hydrogen), O (oksigen), dan S (sulfur). KESIMPULAN Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kerusakan bagian dalam tube furnace 019 F 102 berupa korosi tube bagian dalam (internal tube corrosion) yang disebabkan oleh Senyawasenyawa korosif (Sulfur, Ion karbida, dan Asam naphthenat) dan pembentukan lapisan kerak

coke/scale pada dinding tube yang disebabkan oleh senyawa CaCl2 dan CaSO4. 2. Kerusakan bagian luar tube furnace 019 F 102 berupa korosi tube bagian luar (external tube corrosion) disebabkan oleh sulphuric acid yang berasal dari gas hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur dan kerusakan berupa pemuaian material tube akibat temperatur tinggi (overheating). 3. Dari hasil perhitungan percepatan korosi (corrosion rate) dapat disimpulkan bahwa semua cell tube furnace 019 F 102 berada pada level waspada, karena angka percepatan korosinya > 0,1 mm/years. 4. Dari hasil perhitungan sisa umur dapat diprediksikan sisa umur (Remaining Life Time) tube furnace 019 F 102 berkisar antara 16,86% 29,85% dari umur design (design Life Time) sebesar 60 tahun. SARAN 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penyebab dan solusi pencegahan kegagalan tube furnace 019 F 102. 2. Operator furnace 019 F 102 harus selalu memonitor (mengatur) kondisi operasi flame patter furnace supaya api burner tidak kontak langsung dengan tube serta selalu mengamati temperatur tube skin furnace agar tidak melebihi batasan maksimum temperatur yang ditentukan. DAFTAR PUSTAKA Castaldini, C , etall. 1984. Disposal of Hazardous Wastes in Industrial Boilers and Furnaces. D Reed, Robert. 1973. Furnace Operation Second Edition. Houston : Gulf Publishing Company. Hariadi, Muchson. 1993. Kondisi Penyebab Kerusakan Peralatan Kilang. Jakarta : Dinas Jasa Teknik/Div.Teknik.Pertamina Direktorat Pengolahan Indonesia Flour Engineers INC. 1982. Pertamina Plant Manual C IV, Cilacap Refinery Expansion Project, Cilacap Java. Martyn Noel, Henry. 1959. Petroleum Refinery Manual. New york : Reinhold Publishing Corporation. Fontana, Mars G. 1967. Corrosion EngiNEERING, 3rd edition new York: Mc Graw-Hill Book Company. API Recommended Practice 530. Northwest, Calculation Of Heater Tube Thickness In Petrolium Refineries, Washington D.C. : American Petroliun Institute, 2004. API Recommended Practice 581 Second Edition, Risk-Based Inspection Technology , Washington D.C. : American Petroliun Institute, September 2008 Annual book of ASTM standard. Volume A 199/A 2013 04 philadelphia : ASTM, 2002.

10

You might also like