You are on page 1of 48

BAB I APAKAH ETIKA ITU? 1.Penjernihan Istilah 1.

1 Etika dan Moral Pengertian etimologis

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethos yang berarti adat kebiasaan, cara berpikir, akhlak, sikap, watak, dan cara bertindak. Sedangkan Moral berasal dari kata bahasa latin Mos atau mores (jamak) yang berarti adat kebiasaan, Jadi secara etimologis etika dan moral memiliki pengertian yang tidak terlalu berbeda. 1) Pengertian Leksikal (KBBI, 1998) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. 2) 3) kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat. Mengikuti pengertian leksikal di atas K. Bertens menggarisbawahi: 1) etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai, norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam Lakunya. Etika dalam konteks ini dianggap sebagai nilai 2). 3). Etika dapat disebut juga sebagai kode etik Ilmu tentang yang baik dan yang buruk 1.2 Amoral dan Immoral Dua kata yang mirip, namun memiliki arti yang sangat berbeda. Amoral = netral dari sudut moral, atau tidak mempunyai relevansi etis, sesuatu yang tidak ada hubungan dengan masalah moral. mengatur tingkah

Immoral = bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.

1.3 Etika dan Etiket Persamaan: Perbedaan: Etiket menyangkut cara bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Etiket dalam konteks ini berkaitan dengan kebiasaan, sedangkan etika menyangkut refleksi rasional apakah suatu tindakan boleh atau tidak boleh dilakukan. Boleh atau tidak boleh dalam konteks etika adalah menyangkut dua hal yakni cara dan juga tujuan suatu perbuatan. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan etika tetap berlaku, dengan atau tanpa kehadiran orang lain. Dalam konteks etika misalnya kita tidak pernah boleh mengambil barang yang bukan hak kita, walaupun barang itu tidak kita ketahui pemiliknya. Etiket bersifat relatif sedangkan etika lebih bersifat umum, universal. Persoalan mengenai hak atas hidup misalnya tidak tergantung pada budaya apapun, melainkan pada manusia itu sendiri sebagai sumber dan subyek etis. Etiket lebih menekankan penampilan lahiriah, sedangkan etika lebih pada penampilan batiniah, terutama mengenai motivasi suatu perbutan dilakukan. 2. Etika Sebagai Cabang Filsafat 2.1 Moralitas : Ciri Khas Manusia Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus, artinya binatangyang ditambah suatu perbedaan yang khas, yaitu: rasio, bakat untuk menggunakanbahasa, kesanggupan untuk tertawa, untuk membuat alat, bahkan memiliki kesadaranmoral.Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan padamakhluk di bawah tingkat manusiawi.
2

Sama-sama berkaitan dengan perilaku manusia Sama-sama mengatur perilaku manusia secara normatif

2.2 Etika : Ilmu Tentang Moralitas 2.2.1 Etika Deskriptif Etika Deskriptif Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas , mis: adatkebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan/ tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individutertentudalam kebudayaan atau subkultur yang terdapat dalam suatu periodesejarah, karena etika deskriptif hanya melukiskan, tidak member penilaian. Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis. 2.2.2 Etika Normatif Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapatdipertanggungjawabkan dan dapat dipergunakan dalam praktek hidup. Tidak bersifat netral, tapi menilai perilaku manusia; mis: menerima atau menolak perilaku tertentu. Penilaian didasarkan pada norma-norma tertentu .Disebut etika preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan tetapimenentukan benar tidaknya anggapan moral; argumentasi perlu; alasan benar atausalah; Argumentasi bertumpu pada norma/prinsip tidak dapat ditawar-tawar.Etika Umum: apa itu moral, hak, kewajiban, norma dsb.Etika Khusus: prinsip etis di wilayah perilaku khusus. Berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini. Etika Normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek.

2.2.3 Metaetika Tidak membahas moralitas secara langsung melainkan ucapan-ucapan kitadibidang moralitas. Seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi dari perilaku etis, bahasa etis. Yang dipersoalkan adalah: apakah ucapan normatif dapat diturunkandari ucapan faktual; apakah dari dua premis deskriptif dapat diturunkan ucapanpreskriptif. Awalan meta (dari bahasa Yunani) mempunyai arti "melebihi," "melampaui". Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas (Bertens, 1993:19). Metaetika, seperti dikatakan Bertens, seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf "bahasa etis" atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral. Karena itu, persoalan yang menyangkut metaetika adalah persoalan yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadilan, hakikat ketidakadilan, bahkan hakikat kebaikan dan keburukan, kerapkali tidak bisa dijawab secara memuaskan. Kerumitan metaetika yang pada dasarnya meneliti soal gaya bahasa dalam ungkapan etis ini juga disinggung C.A. van Peursen. Adakah yang dipentingkan dalam bahasa etis itu pengetahuan semata-mata (misalnya: "perbuatan itu jahat")? Dalam kaitan ini Peursen melihat, ada filsuf-filsuf, seperti Max Scheler, yang memang berpendapat bahwa manusia mengenal nilai-nilai etis. Tetapi bukankah dalam pengetahuan tentang nilai-nilai etis manusia justru mengatasi tahap pengetahuan belaka. Bukankah ucapan "perbuatan itu jahat", mengungkapkan suatu sikap? Jadi, bukan informasi semata-mata. Menurut Peursen, pendirian ini juga dianut oleh sementara filsuf analistis. Lewat analisa serupa itu juga dapat dipergoki kesalahan-kesalahan dalam penalaran. Demikian G.E. Moore pernah menganalisa penalaran naturalistis yang ingin mengembalikan putusan etis-normatif dijadikan konstatasi belaka mengenai fakta. Misalnya ucapan "ini tidak boleh" (etis-normatif) diasalkan dari ucapan "ini tidak boleh karena pengalaman mengajarkan, bahwa perbuatan itu merugikan" (Peursen, 1991:229). Memang salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah apa yang disebut Bertens the is/ought question -- ini dalam penjelasan Bertens adalah judul sebuah buku terkenal yang mengumpulkan pelbagai karangan tentang tema ini: W.D Hudson (ed.), The is/Ought Question (1969). Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan normatif dapat
4

diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif). Dengan menggunakan peristilahan logika dapat ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, kesimpulannya pasti preskriptif. Itu tidak menjadi masalah. Mengenai hal ini Bertens memberi contoh: - Setiap manusia harus menghormati orang tuanya (premis preskriptif). - Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif). - Jadi, lelaki itu harus saya hormati (kesimpulan preskriptif). Tapi soalnya ialah apakah dua premis deskriptif pernah dapat membuahkan kesimpulan preskriptif. Kini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga (Bertens, 1993:21).

3. Hakikat Etika Filosofis Kita tidak dapat melepaskan diri dari menilai. Etika sebagai ilmu memilikikecenderungan yang sama. Etika mulai, bila kita merefleksikan pendapat-pendapatspontan kita. Karena refleksi dilakukan dengan kritis, metodis, sistematis dandilakukan dari sudut noma-norma maka disebut ilmu. Ia bukan pengetahuan empirisyang berhenti pada penyelidikan fakta-fakta. Ia bicara apa yang baik dan buruk.

BAB II : UNTUK APA BERETIKA 1.Etika : Ilmu yang Mencari Orientasi Salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi. Sebelum dapat melakukan sesuatu kita harus mencari orientasi dahulu. KIta harus tahu dimana kita berada, ke arah mana mau bergerak untuk mencapai tujuan kita. Filsafat manusia mengatakan bahwa manusia itu makhluk yang tahu dan mau, artinya kemauan mengandaikan pengetahuan. KIta bertindak berdasarkan pengertian-pengertian dimana diri berada, situasi, kemapuann, dan pelbagai hal agar tindakan dapat terlaksana.Etika diapndang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab petanyaan fundamental Bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Tujuannya adalah agar kita hidup tidak ikut-ikutan saja dan mengerti mengapa kita harus bersikap ini-itu.

Etika mulai dari kehidupan harian kita. Persentuhan indera kita dengan lingkungan di luar kita, dilakukan sekaligus dengan suatu penilaian moral. Kita melihat dengan menilai, mendengar dengan menilai, mencium dengan menilai, menyentuh dengan menilai, mencecap dengan memilai. Kita selalu sudah menilai dalam menyerap informasi lewat berita, tulisan, gambar, suara serta sentuhan. Penilaian kita tersebut menyangkut penilaian baik dan buruk. Itulah modal untuk penyelidikan etis. Penilaian yang sering kita lakukan, tidak jarang berbeda dengan orang lain. Siapakah yang lebih benar ? Pada tahap ini, diperlukan pertimbangan dan refleksi yang lebih mendalam. Kita merasakan adanya kebutuhan untuk refleksi pada saat terjadi perbedaan pendapat etis tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Di situlah etika mulai dilihat fungsinya sebagai ilmu. Etika adalah refleksi kritis-metodis-sistematis tentang tingkah laku manusia sejauh berkaitan dengan norma dari sudut baik dan buruknya manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, ia disebut sebagai ilmu. Akantetapi, etika juga disebut sebagai filsafat. Sebagai filsafat, etika tidak membatasi diri sebagai ilmu yang empiris, yang berjalan dengan gejala konkret. Etika juga melampaui yang konkret, untuk bertanya ada apa di balik gejala konkret tersebut. Ia bertanya apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ia bertanya apakah suatu perbuatan dapat dibenarkan atau tidak. Sebagai filsafat, etika adalah filsafat yang membatasi diri pada pertanyaan apa itu moral? dan pertanyaan apa yang harus dilakukan oleh manusia?. Oleh karena itu, etika sering disebut sebagai filsafat praktis. Praktis karena langsung berhubungan dengan perilaku manusia. Praktis di sini bukan berarti etika adalah
6

buku siap pakai. Bidangnya bukan teknis melainkan reflektif. Etika menganalisis tema seperti : hati nurani, kebebasan, tanggungjawab, nilai, norma, kewajiban, keutamaan, dll. Etika bergerak di bidang intelektual, tetapi objeknya langsung berkaitan dengan praktek hidup kita. 2. Etika dan Ajaran Moral Yang dimaksud ajaran moral adalah wejangan2, khotbah2, kumpulanperaturan dan ketatapan tentang bagaimana manusia harus hidup bertindak agar menjadi manusia baik. Sumber ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang. Etika merupakan pemikran kritis dan mendasar tentang ajaran2 dan pandangan2 moral (sebuah ilmu). Yang mengatakan bagaimana harus hidup adalah ajaran moral sedangkan etika mau mengerti mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu, bagaimana kita dapat mengambil sikap terhadap ajaran moral tsb. Etika tidak berwenang menetapkan boleh/tidak. Etika berusaha untuk mengerti Mengapa? 3. Apa Gunanya Etika 4 alasan mengapa perlu etika: 1. Masyarakat yg smakain plural, juga dalam bidang moralitas. Dengan semakin beragamnya orang2 yg kita jumpai semakain beragam pula pandanagan moral yang kita jumpai. Kita berhadapan pada pertanyan Mana yg kita ikuti? Untuk mencapai pendirian dalampergolakan pandangan2 moral iirefleksi kritis etika dipelukan. 2. Masa transformasi masyarakat dalam gelombang modernisasi. Dampak dari hal tersebut adalah Rasionalism, materialism, nasionalism, sekularism, pluralism religius, konsumerism, dll yangmengubah budaya dan lingkungan kita. Nilai-nilai budaya tradisional ditantang oleh hal-hal di atas. Etika membantu kita untuk tidak kehilangan orientasi sehingga dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh berubah dengan demikian dapat mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. 3. Proses perubahan sosial memunculkan pelbagai tawaran ideologi. Etika membantu untuk bersikap kritis dan objektif dalam ketika berhadapan dengan ideologi-ideologi yang ditawarkan. 4. Etika diperlukan kaum agama untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, sekaligus berpartisipasi dalam semua dimensi perubahan dalam masyarakat. 4.Etika dan Agama
7

2 masalah dalam bidang agama yang membutruhkan etika dalam pemecahannya: 1. Interpetasi: Masalah tidak terletak pada wahyu/sabda tetapi pada manusia yang menangkap maksud dari wahyu tsb. Manusia secara hakiki terbatas dalam pengetahuan. Oleh karena interpretasi manusia tidaklah 100% tepat. 2. Metode-metode etika diperlukan selain untuk menemukan pesan wahyu sebenarnya juga mempertanyakan kembali pandangan2 moral agama. 3. Masalah-masalah moral baru yang tidak terdapat dalam wahyu: dengan menggunakan akal budi dan daya fikirnya yang juga merupakan ciptan Tuhan , etika membantu Agama untuk mengambil sikap terhadap masalah-masalah tersebut. 5.Metode Etika Secara umum ada beberapa aliran metode etika yang terkenal, yaitu: 1. Hedonisme, motif, sikap, atau tindakan yang diambil adalah berdasarkan kesenangan atau kenikmatan diri. 2. Egoisme, motif,sikap, dan tindakan yang diambil adalah berdasarkan hasil yang menguntungkan dirinya sendiri. 3. Teleology, motif, pertimbangan dan tindakan yang diambil adalah diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai. 4. Utilitarian, salah satu metode etika teleologis yang berdasarkan kalkulasi hasil sedemikian rupa sehingga yang paling bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. 5. Kontrak social, motif, pertimbangan, atau tindakan etis yang berdasarkan pada kalkulasi untuk mencapai keadilan atau fairness. 6. Alturisme, motif, pertimbangan atau tindakan etis yang diambil adalah dengan tujuan mendahulukan kepentingan orang lain. Apa arti kata moral Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma2 moral adalah tolok ukur untuk menetukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu. Norma umum ada 3 macam:
8

1. Norma sopan santun: Sikap lahiriah manusia. Sikap lahiriah dapat mengungkapkan sikap hati o.k.i mempunyai kualitas moral. Sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral. 2. Norma Hukum : Norma2 yang dituntut denga tegas oleh masyarakat karena diangap perlu demi keslamatan dan kesejahteraan umum.Hukum tidak untuk mengukur baikburuknya manusia melainkan untuk menjamin ketertiban umum. 3. Norma2 moral : tolok2 ukur yg dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. {enilaian tidak dilihat dari salah satu segi, melaikan sebagai manusia.

BAB III : PANDANGAN PANDANGA ETIKA 1. Etika Menurut Plato

IDEALISME PLATO Inti sari dari filsafat Plato ialah pendapatnya tentang Idea atau tentang dunia Ide. itu adalah ajaran yang tergolong sulit memahaminya, namun cukup menarik apabila kita telaah secara serius. Filsafat tentang dunia Ide (Idea) ini boleh dibilang adalah landasan atau pondasi dalam memahami kaitan-kaitan filsafat Plato untuk selanjutnya. Bermula idea itu di kemukakannya sebagai teori Logika, kemudian meluas menjadi pandangan hidup, menjadidasar umum bagi ilmu, Politik, social juga mencakup pandangan Agama. Plato percaya bahwa ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada yang dapat dikenali lewat panca indra:bunga yang berwarna warni, sekawanan kelinci putih yang cantik, atau beberpa ekor panda yang menggemeskan bila dipandang pada realitas melalui panca indara dan yang lainnya akan mati, berubah, bahkan musanah tetapi Ide tentang bunga, kelinci, dan panda tidak akan akan tetap abadi didunia Ide. Tak ada yang abadi kata Ariel Peterpan, dan yang abadi didunia ini hanyalah Ide tiada yang lain kata plato. Ide bersifat abadi, Ide-Ide dapat masuk kedalam tubuh manusia kemudian keluar kembali setelah manusia mati. Manusia mampu menghadirkan dunia Ide itu, ada dua cara menurut plato untuk mengenal ide tersebut yaitu, pertama Dunia indrawi dapat dikenali dengan panca indra sedngkan yang kedua, dunia Ide dapat di kenal dengan akal budi. Dengan kemampuan manusia menghadirkan Ide maka dunia menjadi berkembang segala pencapayan karya cipta dan peradapan yang telah di persembahkan buat dunia hingga hari ini adalah di awali dari Ide, dan menurut Plato diantara semua Ide yang paling tinggi ialah Ide tentang Tuhan. Pada saat kita berfikir tentang tuhan, seolah-olah ia berada jauh diluar kosmos, namun pada saat yang bersamaan kita merasa tuhan berada begitu dekatnya menyatu dengan hati dan jiwa kita disertai bermacam ragam perasaan yang lain yang sulit dibahasakan atau di tuliskan dengan kata-kata. Bagi Plato Ide bersifat obyektif keberadaan Ide tidak bergantung pada daya fakir manusia, Ide itu mandiri, maksudnya walaupun tidak difikirkan Ide itu telah ada sebelumnya. Bila kita
10

mengenal bangku dengan macam ragamnya dengan indra kita pada hakikatnya bangku itu Cuma satu di dunia ide, tidak banyak

Namun kemandirian Ide itu dapat digabungkan dengan Ide baik dan buruk, manakala kita membahasnya dalam tataran dunia indara,misalnya:

ketika kita menyebut bahwa wanita itu cantik, atau bunga itu jelek maka otomatis terjadi penggabungan dua Ide, yaitu Ide tentang wanita, dan ide cantik.

jadi Ide tentang wanita ataupun bunga pada dunia indra, hakikatnya dalam dunia Ide = ide tentang manusia dan ide tentang bunga.

Sedangkan cantik dan jelek = Ide gabungan (persekutuan). Karena Ide tentang baik dan buruk mutlaq ada pada setiap Ide di dunia Indra dan begitu seterusnya.

ETIKA PLATO

Seperti yang telah di kemukakan di atas, bahwa apabila kita ingin memahami filsafat Plato maka keseluruhan pembahasan filsafatnya bertalian langsung dengan pondasi filsafatnya tentang teori Ide. begitu juga halnya dengan pembahasannya tentang Etika, plato berusaha menerangkan bagaimana yang di sebut Etika yang Ideal itu, atau hakikat ide itu yang selayaknya bagaimana..? itulah kira-kira yang ingin diterangkan oleh Plato. jadi membahas Etika plato tanpa mengaitkannya dongan teori Ide merupakan teori yang tidak lengkap begitu juga pembahasan filsafat Plato yang lain. Menurut plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia, dan manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Barang kali kitapun sepakat dengan pendapat plato tersebut, walaupun kebahagiaan dalam persepsi kita mungkin berbeda-beda. Misalnya ada yang mempersepsikan kebahagiaan itu dengan kebahagiaan memiliki harta, tahta, dan wanita. Atau kebahagiaan berupa kekayaan bathin, keimanan kepadatuhan, atau bahagia bila dapat berbagi dengan sesama, bahagia karena cita-cita terwujud nyata, kebahagiaan memperoleh kemerdekaan bagi bangsa yang terjajah, kebahagiaan berupa pencapayan sukses yang gemilang dan yang lain sebagainya. Namun adalah pendapat yang keliru bila kebahagiaan dan kesenangan itu menurut Plato di upayakan hanya demi pemuasan nafsu selama hidup di dunia nyata (indawi) tetapi menurut plato kebahagiaan dan kesenangan hidup harus di lihat dalam hubungan kedua dunia. Yaitu di samping kebahagiaan Indrawi yang lebih penting lagi adalah kebahagiaan
11

yang hakiki yang berkaitan erat dengan batin yaitu dunia Ide. oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kebahagiaan dalam dunia ide manusia harus senantiasa berbuat halhal yang baik, karena dunia yang sebenarnya menurut plato adalah dunia Ide, jadi segala ide tentang kebaikan dan kebajikan adalah sebagai ide yang tertinggi yang ada di dunia Ide. Saat filsafat plato sampai kepada kesimpulan bahwa kebaikan dan kebajikan adalah sebagai ide tertinggi di dunia ide, kita teringat akan tuhan, tuhan adalah puncak dari segala kebaikan dan kebajikan yang selalu menuntun dan menunjukkan jalan yang lurus dan terbaik bagi kita. Ebit .G Ade pernah mengungkapkan dengan kata-kata yang begitu dalam bila kita renungi kata-katanya: sedang tuhan diatas sana tak pernah menghukum dengan sinar matanya yang lebih tajam dari mata hari untayan kata tersebut menyadarkan kita betapa tuhan menyayangi kita, dan sudah selayaknya kita berbuat kebaikan pada seluruh kehidupan agar kebahagiaan yang kita cita-citakan baik secara lahir maupun batin dapat terpenuhi. Bila di atas telah di tuliskan bahwa dunia yang sebenarnya menurut plato adalah dunia Ide, maka dia melanjutkan bahwa baginya (Plato) dunia realitas (indrawi) hanyalah kenyataan yang ada dalam bayangan atau lebih jelasnya bahwa dunia indrawi ini hanyalah tiruan dari dunia yang menurut plato dunia yang sebenarnya yaitu dunia Ide. manusia sebagai makhluk Etikal hanya sementara berada di dunia indrawi, dan selama manusia berada di dunia Indrawi tersebut menurut Plato manusia selalu rindu untuk naik keatas yaitu dunia Ide. dia rindu kebaikan tertinggi, oleh karena itulah meskipun manusia itu mungkin berbuat yang tidak baik, namun nurani selalu menimbang, nurani akan selalu mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu tidak pantas kita perbuat, dan kita sadari atau tidak nurani kita akan selalu menolaknya . Agar manusia itu siap kembali kedunia ide, maka Selma ia hidup di dunia indrawi ia harus memiliki pengetahuan yang di sempurnakan oleh pengertian yang seluas-luasnya dan yang sedalam-dalamnya, mengupayakan semaksimal mungkin untuk meraih pengetahuan yang benar yang disebut ilmu kebijaksanaan dan berbudi baik (Etika). Penetahuan yang benar itu akan menuntun seseorang itu kepada kebijaksanaan dan berbudi baik dan sampai kepada pengenalan akan Ide-Ide yang merupakan kebenaran yang sejati. Siapa yang mampu menyelami segala sesuatu itu sampai kepada ide tentang kebaikan tertinggi, maka ia akan mencintai maka ia akan mencintai ide itu maka ia akan senantiasa terarah kepada yang baik atau yang bijak itu.
12

Berbuat baik kata Plato akan mendatangkan kesenangan yang tak terlukiskan, mereka itulah yang walaupun berada di dunia Indrawi akan sanggup hidup seolah-olah berada di dunia Ide yang menghadirkan ide-ide tentang bebaikan dan kebajikan di tengah-tengah kehidupan dunia, dan seperti yang telah kita ulas diatas, bahwa predikat pencapayan duo Ide ini hanya dapat di peroleh melalui pengetahuan dan akal budi yang luhur semoga kita sanggup mencapainya dengan ikhtiar lahir batin. Amiin Sang Baik, cinta, dan kebahagiaan Menurut Plato, orang itu baik apabila ia DIKUASAI oleh AKAL BUDI, buruk apabila ia dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Mengapa demikian? Karena selama kita dikuasai oleh nafsu dan emosi, kita dikuasai oleh sesuatu yang di luar kita. Itu berarti, kita tidak teratur, kita ditarik ke sana ke sini, kita menjadi kacau balau. Kita seakan akan terpecah belah, tergantung pada nafsu atau emosi mana yang sedang mengemudikan kita. Kita tidak memilki diri kita, melainkan menjadi objek dorongan dorongan irasional dalam diri kita. Sebaliknya, apabila kita dikuasai oleh akal budi, kita menguasai diri kita sendiri, kita berpusat pada diri kita sendiri, kita menjadi satu. Hidup secara rasional berarti bersatu dengan dirinya sendiri. Orang itu menikmati ketenangan, ia mantap dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, apabila kita menguasai diri sendiri melalui akal budi, kita menikmati tiga hal: ksatuan dengan diri sendiri, ketenangan, dan pemilkan diri yang tenang. Oleh karena itu, apabila kita mau mencapai suatu hidup yang baik, yang tenang, bersatu, terasa berniali, hal pertama yang perlu kita usahakan adalah membebaskan diri dari kekuasaan irasional hawa nafsu dan emosi serta mngarahakan diri menurut akal budi. Karena itu, dari kita dituntut suatu perubahan arah, seperti halnya sang filsuf dalam gua tadi. Daripada hanya terpesona dengan bayang bayang di dinding tembok gua, ia membalikan diri kea rah mulut gua, ia mulai melihat kenyataan yang sebenarnya, ia mulai mengerti. Ia menyadari bahwa realitas lebih nyata daripada bayang bayang patung patung, bahkan daripada patung patung yang dibawa oleh para budak. Ia berangkat kea rah yang baru itu sampai keluar dari gua ke dalam alam bebas, dunia yang sebenarnya. Begitu pula, kita perlu berpaling dari anggapan anggapan dangkal pancaindra dan mencari realitas yang sebenarnya, realitas rohani. Artinya, kita akan mulai berpikir, membentuk konsep konsep, dan melalui konsep konsep itu kita diantar ke luar gua, lambing alami indrawi, ke dalam

13

alam yang sebenarnya, alam rohani. Kita mulai melihat dan mengarahkan hidup kita kepada kebenaran yang sesungguhnya, pada idea idea. Dapat dikatakan bahwa kita seakan akan bertobat: dari paham paham yang dangkal dan kacau, tanda kita dikuasai oleh indra dan nafsu, kita berpaling kepada TATANAN REALITAS YANG SEBENARNYA, pada idea idea. Dalam kerangkan pandangan Plato:dari yang badani ke yang jiwani, dari yang jasmani ke rohani, dari alam indrawi yang terus berubah ubah kea lam idea idea yang tetap abadi. Bagi Plato orang yang mengikuti akal budi adalah orang yang berorientasi kepada realitas yang sebenarnya. Akal budi adalah kemampuan untuk melihat dan mengerti. Orang berakal budi dikuasai oleh pengertian yang tepat. Pengertian tepat itu tercermin pada keteraturan dalam jiwa kita. Melalui akal budi, kita menyesuaika diri dengan KESELARASAN ALAM SEMESTA, denga alam idea idea. Dengan deikian, batin kita sendiri juga semaki tertata dan selaras. Kita mampu untuk menentukan prioritas antara pelbagai dorongan dan kegiatan, membedakan antara keinginan yang perlu dan yang tidak perlu. Akal budi adalah pandangan tentang tatanan yang tepat. Dikuasai oleh akal budi berarti ditata oleh intuisi tatanan itu. Kita sendiri menjadi tertata. Kita terkait dengan tatanan lebih luas di dalamnya kita berada. Hal itu akan dengan sendirinya mempengaruhi cara kita hdup di dunia ini. Apabila kita dikuasai oleh akal budi, tindaka kita juga berubah dan menjadi terarah. Apabila kita sudah terarah kepada tatanan alam idea, kita ikut dalam keterarahan alam idea sendiri. Seperti alam indrawi terarah kepada alam idea idea, begitu pula alam idea idea terarah kepada IDEA YANG TERTINGGI. Idea tertinggi itu adalah idea SANG BAIK. Ide atertinggi itu dalam perumpamaan tentang gua adalah matahari. Bahwa kita dapat melihat kebaika dan keindahan alam nyata di luar gua adalah karena alam itu disinari oleh matahari. Karena itu, sang fisfuf tidak akan berhenti pada pemandangan alam itu; ia akan mengangkat kepala dan menjadi sadar akan matahari sebagi sumber segala yang baik. Begitu pula, dalam berorientasi kepada alam idea, kita tertarik kepada idea tertinggi, pada Sang Baik. Sang Baik adalah dasar segala galanya. Segala galanya menuju kepadanya, tertarik olehnya. Manusia yang baik pada dasarnya adalah manusia yang seluruhnya terarah kepada Sang Baik. Segala kebaikan yang ditemukan di dunia merupakan cerminan kebaikan yang dasariah itu. Hidup manusia akan semakin bernilai bila ia seluruhnya terarah kepada nilai dasar, Sang Baik. Sang Baik itu oleh Plato kadang kadang juga disebut Yang Ilahi. Karena
14

itu, manusia menurut Plato akan mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada Yang Ilahi. Kita dapat bertanya, apa yang menarik manusia untuk ke luar dari gua dan mencari kebenaran dan akhirnya Sang Baik sendiri? Menurut Plato, kekuatan itu adalah CINTA. Sang Baik, justru karena ia baik, adalah apa yang paling dicintai dan dirindui oleh idea idea. Kita memang selau tertarik oleh sesuatau yang baik, misalnya oleh makanan yang baik, oleah ceramah yang baik, oleh orang yang baik. Idea Sang Baik dengan sendirinya adalah dasar segala cinta, adalah apa yang berada di akar segala cinta. Segala apa yang ada, langsung atau tidak langsung menuju Idea Sang Baik, justru karena kebaikannya. Sang Baik dengan sendirinya menarik diri kita seluruhnya. Makin kita medekatinya, makin kita tertarik. Menurut Plato, cinta yang paling rendah pun, cinta seksual yang khas bagi segenap organisme indrawi, masih merupakan pancaran daya tarik Sang Baik itu. Dalam segenap gerak cinta, daya tarik Sang Baik itu masih terasa. Di belakag nafsu yang paling jasani masih ada jejak cinta rohani yang mau merenggut kita dari kedangkalan dan kekacauan ke dalam cahaya Sang Baik senddiri. Plato menyebut cinta itu eros. EROS adalah kekuatan universal dalam alam. Seperti segala kebaikan turun dari Sang Baik alam idea sampai kea lam indrawi, begitu pula sebaliknya manusia dapat naik dari cinta jasamani, lewat cinta rohani sampai pada tujuan segala cinta yang sekaligus asal usul segala keterkaitan, Sang Baik. Dengan naik dari cinta jasmani ke cinta yang semakin rohani, eros dapat mencapai idea Sang Baik. Karena itu, dalam kesanggupan memandang Sang Baik, cinta dan kebaikan menyatu. Selain itu, karena cinta adalah yang paling membahagiakan. Karena itu, puncak hidup yang etis dalam paham Plato merupakan kesatuan total antara kebaikan (atau nilai) objektif, cinta, dan kebahagiaan . sangatlah menarik bahwa Plato dengan demikian tidak membutuhkan paham kewajiban untuk menggerakan manusia agar mau hidup dengan baik. Sejak Kant, tetapi juga menurut perspektif pelbagai etika religious, kita telah membiasakan diri untuk memahami hidup yang baik sebagai hal kewajiban: kita hidup dengan baik dan rasional karena hal itu wajib. Namun, pada Plato tidak perlu orang seakan akan diahruskan untuk hidup secara rasional dan tidak menurut hawa nafsu. Yang penting adalah orang menjadi lebih peka terhadap tarikan hasrat lebih mendalam dalam hatinya agar ia mengarahkan diri ke arah tarikan itu. Selain itu, ia semakin aka merasakan keibdahan dan kebaikan hidup yang rasional sebagai sesuatu yang semakin membahagiakan. Hidup yang rasional dan etis membawa rasionalitasnya dalam dirinya sendiri, seperti orang yang mau
15

dibiasakan pindah dari kebiasaa makan makanan kasar ke makanan yang lebih halus dan canggih. Ia tidak perlu diwajibkan, melainkan cukup diajak untuk mencicipi apa yang sebenarnya lebih enak sehingga lama kelamaan lidahnya akan tertarik dengan sendirinya kepada gaya makan yang lebih canggih. Begitu pula, orang tidak perlu diwajibkan mengrahkan diri kepada Sang Baik dengan sendirinya menarik kita sebagai sesuatu yang semakin ingin kita capai, semakin ingin kita dekati Cinta terhadap yang abadi sekaligus akan membahagiakan. Semakin kita brhasil melepaskan diri dari keterkaitan pada dunia jasmani indrawi, semakin kita aka bahagia. Filsuf adalah orang yang paling bahagia karena ia sampai pada Sang Baik. Semakin manusia mengangkat pandangannya ke alam abadi, semakin bahagia ia. Dapat dikatakan bahwa eros adalah nilai subjektif dan idea idea adalah nilai nilai objektif. Dalam eros kita mengalami yang baik, kita bahagia, sedangkan idea idea secara objektif mewujudkan yang bernilai. Karena itu, manusia mencapai puncak kebahagiaan apabila nilai subjektif, eros, menyatu dengan nilai objektif yang baik objektif adalah kebahagiaan yang sempurna. Dalam cinta kepada Sang Baik kewajiban da kebahagiaan menyatu dan manusia mengalami keterpenuhan total. Dalam bahasa religius: manusia mencapai kepenuhan kebahagiaanya apabila ia menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi. Justru orang yang mengejar yang baiklah yang baik. Dengan kata lain, kebahagiaan yang sebenarnya hanya mungkin bagi orang yang memiliki KEUTAMAAN KEUTAMAAN. Karena itu, orang yang mau bahagia di satu pihak mengarahkan diri kepada yang baik, menjadi filsuf yang mencintai kebijaksanaan; di lain pihak, ia melakukan kewajibannya dalam dalam kehidupa sehari hari. Untuk itu, ia menimba kekuatan dari cintanya kepada yang abadi. Keterarahan kepada Sang Baik tercermin dala keteraturan jiwanya. Keutamaan adalah tatanan dan keselarasan dalam jiwa itu. Plato membedakan empat keutamaan paling utama, yaitu kebijaksanaan, keberanian, sikap tahu diri, dan keadilan sebagai keutamaan yang mengimbangkan keutamaan keutamaan lai serta mempersatukanya. Orang yang mengusahakan keempat keutamaan keutamaan itu juga menciptakan kondisi agar rohnya dapat diangkatnya kea lam rohani. Dengan demikian, ia dapat mencapai suatu hidup yang utuh da bernilai. Kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata indrawi.

16

Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu ilmu khusus. Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang baik itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Baik itu sedikit pun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan manusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri. Pembagian filsafat ke dalam FILSAFAT TEORITIS dan PRAKTIS berdasarkan ajaran Aristoteles tetang metode berpikir. Kata teoritis berasal dari kata Yunani theoria, yang berarti memandang, mengkontemplasikan. Theoria atau filsafat merupakan ilmu yang memandang, mencoba memahami dan merefleksikan asal usul, ketertaruan dan hukum, serta perkembangan dari segalaapa yang ada. Adapun filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia. Filsafat praktis sebenarnya sama dengan etika dan filsafat politik. Perbedaannya hanya bahwa kalau filsafat politik memusatkan perhatiannya pada tatanan komunitas dan negara, etika lebih mempertanyakan bagaimana kehidupan individual harus diwujudkan. Namun, dua ilmu itu dipisahkan dengan tajam. Keduanya tidak mencari pengertian teoritis, melainkan mau menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bertindak supaya ia mencapai tujuannya.Pendasaran etika sebagai bidang penelitian tersendiri adalah karya Aristoteles. Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia yang mengidentifikasikan dan mengutarakan status teoritis ilmu baru itu serta membahas metode yang sesuai dengan cirri khasnya. Oleh karena itu, Aristoteles dianggap sebagai filsuf moral pertama dalam arti yang sebenarnya. Ia adalah pendiri etika sebagai ilmu ata cabang filsafat tersendiri.Ada tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika: yang pertama adalah Ethika Eudemia, yang kedua Ethika Nikomacheia, dan yang ketiga politike. Etika Eudemia tidak banyak mendapat perhatian karena dianggap belum merupakan ungkapan pikiran matang Aristoteles dan juga karena kurang jelas apakah ditulis oleh Aristoteles sendiri. Adapun buku Politike merupakan perpanjangan Etika Nikomacheia yang lebih memfokus pada masalah kenegaraan. Dalam pemikiran Aristoteles, etika dan ilmu politik memang erat hubungannya. Oleh karena itu, uraian berikut ini berdasarkan Etika Nikomacheia, tetapi juga memperhatikan Politike seperlunya.

17

2. Etika Menurut Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokohpemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwamanusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengankontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justruharus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akalbudi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan. Berangkat dari pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kita akan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral. Teleologis. Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis.Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibattindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dustaadalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.1 Sebaliknya, teleologismenyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibatatau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik. Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampakatau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dansalah jika mencegah kebahagiaan.2 Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etikaAristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampakbagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.3 Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakandalam etika Aristoteles.4 Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah padapencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan.5 Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya? Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknyakita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaanadalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmatdi sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan olehsesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagiadalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.6 Pengertian yang hampirsenada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure)dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit(pain) dan tidak adanya kesenangan.7 Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasihmanusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah
18

persatuan diridengan Tuhan.8 Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untukmenahan dorongan nafsu (self sufficiency) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukumalam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilahJawa-- menerima ing pandum. Menerima apa yang menjadi bagiannya.9 Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusiaterdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khususpada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusiayang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidakada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas danaktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yangmelibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia danmasyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada YangMaha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalamkehidupan masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi dir untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupanmasyarakat disisi yang lain.10 Ini sama yang dirumuskan Erich Fromm, bahwa kebahagiaan tidakterletak atas apa yang kita miliki (having) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (being).Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau mimpi-mimpi menjadi kenyataan.11 Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuanlari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam,kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untukmengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna. Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan.Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asaskeutamaan. Hanya aktivitas yang disertaikeutamaan yang dapat membuat manusia bahagia.Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil,12 dalam jangka waktu yangpanjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah. Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan. Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandanganAristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yangmengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat,kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusiaadalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi danruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan aktivitas yangspesifik baginya, yaitu mengembangkan pemikiran dan spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaanadalah memandang kebanaran.13

19

Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alamIdea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhanidari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukanpula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani danduniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif)mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalamkehidupan nyata, riil.14 Mengapa harus aktif? Menurut Aristoteles, manusia menjadi bahagia bukan dengan carapasif menikmati sesuatu, atau bahwa segala yang diinginkan tersedia, melainkan dengan caraaktif. Dengan bertindak ia menjadi nyata. Hanya dengan perbuatan manusia menyatakan diri, iamenjadi riel. Sesuatu yang hidup bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melaluihidup yang aktif. Manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan potensi-potensidirinya.Selain itu, aktualisasi aktif dalam merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut harus dilakukan menurut aturan keutamaan.15 Hanya aktivitas yang disertaikeutamaan (aret) yang membuat manusia menjadi bahagia. Dan yang penting, tindakanmaksimal atas potensi-potensi diri tersebut tidak terjadi secara sporadis atau berkala, tetapiterjadi dalam jangka waktu yang lama. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah, langgeng.16 Dengan demikian jelas bahwa kebahagiaan yang dalam etika Aristoteles digunakansebagai tolok ukur baik buruknya sebuah tindakan terletak pada kemampuan yang bersangkutandalam mengaktualisasikan potensi-potensi khas dirinya. Semakin seseorang mampumengaktualisasikan potensi khasnya, yang tentu disertai keutamaan, maka semakin dinilaibaiklah tindakannya, karena itu berarti semakin mengarah kepada kebahagiaan. Keutamaan. Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkanmanusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem yang berlawanan.17 Sebagaicontoh, dalam belanja, pengeluaran terlalu banyak disebut boros, terlalu hemat disebut kikir.Diantara dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros juga tidak kikiryang disebut murah hati. Yang perlu dicatat, bagi Aristoteles, keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan yangsungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap tetap dalam menempuh jalantengah tersebut. Bukan sekedar terjadi dalam beberapa kasus. Juga bahwa jalan tengah tidakdapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Artinya, apa yang dimaksud jalantengah ini sangat subjektif, bukan objektif. Jika subjektif, bagaimana keutamaan bisa tentukan? Adakah norma-norma untuk itu?Menurut Aristoteles, rasio menetapkan pertengahan (keutamaan) tersebut dan harusmenentukannya sebagaimana orang yang bijakasana dalam bidang praktis menentukankeutamaan. Aristoteles menganggap bahwa keutamaan bukan persoalan theori, tapi praktek.Seorang sarjana yang mengerti theori moral belum tentu bisa berlaku sesuai keutamaan moral,
20

tapi orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis (phronesis) mampu menentukan masalah ini, berdasarkan pertimbangan konkrit.18 Phronesis (Kebijaksanaan Praktis). Aristoteles --sebagaimana yang disinggung-- memisahkan praxis dari theori, meskimenggunakan keduanya dalam menggapai kebahagiaan. Menurut Aristoteles, theori diarahkanpadarealitas yang tidak berubah (idea),sedang praxis bergerak dalam alam manusia yangberubah yang mana manusia sendiri mempunyaikebebasan untuk memilih mana yang diambil.Nah, kemampuan bertindak tepat berdasarkan pertimbangan baik dan buruk ketika menghadapipilihan-pilihan inilah yang disebut phronesis (kebijaksanaan praktis).19 Orang yang mempunyaiphronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat. Menurut Aristoteles, phonesis tidak bisa diajarkan sebagaimana juga etika tidak bisadiajarkan, tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.20 Phronesis tumbuh danberkembangan dari pengalaman dan kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorangbertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yangtepat; sama dengan orang yang semakin melatih jiwanya akan semakian peka perasaannya. Tanggapan. Konsep etika Aristoteles ini, dimana aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di duniaIdea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorongmanusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalamkehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilahsumbangan utama etika Aristoteles. Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini,sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itusendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.21 Persoalan baik dan buruk harus dilihat padahakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut kehendak,22 bukan padatujuannya. Selain itu, Aristoteles tidak menyediakan tolok ukur bagi nilai moral. Bagaimana kita bisatahu bahwa itu tindakan etis dan tidak etis? Aristoteles memang menyatakan tentang adanyaphronesis (kebijaksanaan atau pengertian yang tepat) dalam memilih tindakan. Akan tetapi,bagaimana kita tahu bahwa tindakan yang kita lakukan tersebut tepat atau tidak? Semuatergantung kebiasaan yang dilakukan. Relatif sekali. Terakhir, dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusiasendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles,transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan. Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,23meski sama-sama menyatakan kebahagiaansebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampumentranfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan-tindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justrutersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan. Artinya lagi,
21

persoalan transenden ikutmemainkan peran, tatapi tidak sampai mnghancurkan apalagi menghilangkan kepribadianmanusia sendiri sebagaimana dalam Stoa ataupun Aquinas. 3. Etika Menurut Stoa Pendirinya adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato yang terkenal.Setelah keluar ia mendirikan sekolah sendiri yang disebut Stoa. Nama itu diambil dari ruangan sekolahnya yang penuh ukiran Ruang, dalam bahasa Grik ialah Stoa. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana; hidup sesuai dengan alam.Ajarannya tidak jauh beda dengan Epikuros yang terdiri dari tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.Pertama, logika. Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang kebenaran. Dalam hal ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain dari yang telah diketahui pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan itu kena, yaitu memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam. Sehingga orang yang memandang itu terpaksa membanarkan dan menerima isinya.Apabila kita memandang sesuatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai ingatan. Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Kaum Stoa bertentangan pendapatnya dengan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles pengertian itu mempunyai realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang idea. Pengertian umum, seperti perkumpulan, kampung, binatang dan lain sebagainya adalah suatu realita, benar adanya. Sedangkan menurut kaum Stoa, pengetian umum itu tidak ada realitanya, semuanya itu adalah cetakan pikiran yang subjektif untuk mudah menggolongkan barang-barang yang nyata. Hanya barang-barang yang kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Seperti orang laki-laki, orang perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat kaum Stoa ini disebut dalam filsafat pendapat
22

nominalisme, sebagai lawan dari realisme.Kedua, fisika. Fisika kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi juga meliputi teologi. Zeno sebagai pendiri Stoa, menyamakan Tuhan dengan dasar pembangun. Dasar pembangun ialah api yang membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu menyebar ke seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang membangun menurut sesuatu tujuan. Semua yang ada tak lain dari api dunia itu atau Tuhan dalam berbagai macam bentuk.Menurut mereka dunia ini akan kiamat dan terjadi lagi berganti-ganti. Pada akhirnya Tuhan menarik semuanya kembali padanya, oleh karena itu pada kebakaran dunia yang hebat, itu semuanya menjadi api. Dari api Tuhan itu, terjadi kembali dunia baru yang sampai kepada bagiannya yang sekecil-kecilnya serupa dengan dunia yang kiamat dahulu.Ketiga, etik. Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan dan memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah memperoleh harta yang terbesar nilainya, yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.

4. Etika menurut Augustinus

23

Dasar Etika Agustinus Dasar etika Agustinus adalah etika yang menekankan pentingnya kehendak bebas dan anugerah Allah sebagai dasar perbuatan etis manusia. Menurut Agustinus, Allah mengetahui segala hal sebelum manusia bertindak. Namun, hal itu bukan berarti segala sesuatu telah terjadi menurut takdirnya (takdir merupakan bentuk penolakan dari kamauan kehendak bebas). Allah memang berkuasa, namun Allah tetap memperbolehkan manusia untuk berkehendak. Manusia tetap mempunyai kuasa untuk berkehendak bebas sama seperti Tuhan yang juga mempunyai kuasa dan kehendak. Agustinus menyebutkan dua buah kehendak, yaitu kehendak bebas Allah dan kehendak bebas manusia. Perbedaannya, kehendak manusia seringkali digunakan dengan cara yang salah, seperti melontarkan kata-kata kotor, kelancangan, dan fitnah. Tidak ada kejahatan di luar keinginan. Allah sang pencipta menciptakan semuanya dengan baik. Agustinus menolak segala bentuk teologi dualisme metafisik. Allah sendiri yang menjadi sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik. Menurut Agustinus, halhal yang jahat bukan diciptakan Allah. Menurut Agustinus kejahatan ditemukan dalam keinginan ciptaan yang memiliki akal budi. Dalam melakukan kejahatan setiap orang dibebaskan dari keadilan dan menjadi hamba dosa. Namun, tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari dosa dengan melakukan hal-hal yang baik. Seseorang hanya dapat dibebaskan dan lepas dari yang jahat hanya melalui anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, perbuatan baik yang mereka lakukan tidak ada artinya. Allah sendiri yang bekerja dalam diri manusia. Allah yang memberi kesadaran kepada kita mengapa kita harus berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Pandangan Agustinus mengenai kehendak bebas dan anugerah ini dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya. Pada masa mudanya ia telah melukai hati ibunya dan hidup bersama dengan seorang perempuan yang tidak pernah dinikahinya. Ia merasa berkali-kali jatuh ke dalam dosa. Ia baru merasakan bebas dari hal-hal yang jahat setelah ia menerima anugerah Allah melalui pertobatannya.

24

Dua Kota Allah Konsepsi kehendak bebas dan anugerah Allah ini menjadi dasar bagi etika sosial Agustinus. Konsepsi ini diekspresikan dalam bentuk yang matang dalam karyanya The City of God (Kota Allah). Karya ini ditulis sebagai sebuah apologet dari Agustinus karena orang-orang Kristen dianggap membawa kehancuran bagi Roma. Dalam buku ini, ia mengkritik ketidakadilan dan kebejatan moral orang-orang Roma yang belum Kristen. Menurutnya kecintaan terhadap materi hanya merupakan ilusi. Agustinus membedakan kota Allah dan kota dunia. Kota Allah berdasarkan cinta kepada Allah dan berujung pada kekekalan. Kota dunia berdasarkan kepada cinta diri serta barangbarang yang dapat hancur dan berujung pada kebinasaan. Menurut Agustinus, cinta yang paling bawah adalah cinta yang diarahkan kepada barang-barang yang dapat hancur. Tingkatan selanjutnya adalah cinta kepada diri sendiri dan sesamanya. Tingkatan yang terluhur adalah cinta kepada Allah. Dalam cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada Allah, manusia menemukan pedoman bagi tindakannya. Itulah sebabnya, Agustinus berkata, "Dilige et quod vis fac" (cintailah dan lakukan apa saja yang kamu kehendaki). Damai dan Keadilan Menurut Agustinus, kedamaian adalah tujuan universal seluruh umat manusia. Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kedamaian adalah tujuan dari perang, karena hakikat dasar dari kemenangan dalam perang adalah membawa manusia ke dalam kemuliaan dan kedamaian. Namun, hal itu hanya merupakan bentuk pencarian kedamaian bagi diri sendiri atau kelompok tertentu saja. Menurut Agustinus, yang merupakan norma moral bukanlah kedamaian seperti di atas, melainkan kedamaian yang dihubungkan dengan keadilan. Kedamaian yang seperti ini hanya berasal dari Allah. Keadilan yang terdapat dalam diri manusia bersumber dari Allah. Namun, Agustinus bukanlah orang yang pasivis (anti perang). Ia mengatakan bahwa perang diperbolehkan hanya sebagai jalan terakhir. Perang diperbolehkan ketika bertahan terhadap serangan lawan dan melawan bidaah. Motivasi dalam berperang itu pun harus berlandaskan cinta kasih, belas kasih dan ketenangan. Agustinus mengatakan bahwa perang boleh dilakukan atas otoritas seorang raja berdasarkan kepentingan rakyat.. Perang baginya

25

merupakan suatu pengecualian dalam hal moral karena pembenaran dari perang tersebut hanya terdapat dari sang penyerang bukan dari yang diserang. Seksualitas Manusia Pengajaran Agustinus tentang seksualitas dipengaruhi pengalaman hidupnya. Menurut Agustinus, manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya. Agustinus sendiri telah merasakan bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertobat. Ia tidak mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bermoral. Namun ia mengutuk hubungan seksual untuk tujuan apapun selain prokreasi. Ia menolak hubungan seksual di luar masa subur. Menuruti nafsu seksual dianggap sebagai pemberontakan terhadap Allah. Pandangan Agustinus terhadap Kekayaan Menurut Agustinus, kekayaan bukanlah kejahatan.Kekayaan juga merupakan ciptaan Allah yang baik adanya.Namun, manusia -dengan kehendaknya- menyalahgunakan kekayaan tersebut.Beberapa orang bahkan ada yang menyembah Allah hanya untuk mendapatkan kekayaan. Padahal seharusnya kekayaan itu yang dipergunakan untuk memuliakan Allah. 5 . Thomas Aquinas Thomas Aquinas adalah seorang filsuf dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan. Pemikiran Aquinas yang terkenal adalah merumuskan etikadan doktrin gereja. Pemikiran yang berasal dari ajaran Agustinus dan filsafat Aristoteles yang sangat berpengaruh dalam pemikiran di Eropa pada saat itu. Pemikiran yang membangun harmonia antara agama dan akal dengan menunjukan bahwa ajaran agama tidak bertentangan dengan filsafat.[2] Salah satu pemikiran Thomas Aquinas adalah tentang hukum moral. Hukum menurut Thomas Aquinas berkaitan dengan kodrat manusiaThomas Aquinas pemandang manusia sebagai manusia bebas atau mahluk yang bebas mengerahkan dirinya sendiri.Akan tetapi, di dalam realitas bermasyarakat manusia berhadapan dengan peraturan. Manusia hidup dengan bebas tetapi dibatasi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Thomas Aquinas tindakan yang mengerakkan manusia kepada tujuan akhir berkaitan dengan kegiatan manusiawi bukan dengan kegiatan manusia. Perintah moral yang
26

paling dasar adalah melakukan yang baik, menghindari yang jahat. Hukum moral memerlukan suatu wahana untuk mewujudkan bentuk kongkrit. Wahana itu disebut hukum manusia seperti undang-undang, konstitusi atau hukum-hukum positif lainnya yang dapat membantu manusia dan masyarakat mewujudkan nilai-nilai moral misalnya bertindak baik, jujur, dan adil. Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan.Karya Thomas Aquinas yang terkenal adalah Summa Theologiae (1273). Buku ini merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen.Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII. Thomas Aquinas juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso dAquino). Kehidupan Thomas Aquinas Aquinas dilahirkan di Roccasecca dekat Napoli, Italia. dalam keluarga bangsawan Aquino. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan ibunya bernama Countess Teodora Carracciolo. Kedua orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino agar dibina untuk menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples. Di sana ia belajar mengenai kesenian dan filsafat (1239-1244). Selama di sana, ia mulai tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, karena tekadnya pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan. Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245 -1248). Di sinilah ia berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteleskepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 - 1252. Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris. Thomas ditugaskan untuk memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa

27

kota di Italia, seperti diAnagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya.Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris untuk tiga tahun karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah Dominikan di Naples. Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323

Kastil Monte San Giovanni Campano Ajaran Thomas Aquinas

Santo Thomas Aquinas

28

St. Thomas Aquinas, by Fra Angelico, O.P. Doktor Gereja Lahir c. 1225, Aquino, Kerajaan Sisilia Wafat 7 Maret 1274, Fossanuova Abbey, Kerajaan Sisilia Dihormati di Gereja Katolik Roma Komuni Anglikan Dikanonisasikan 1323, Avignon, Perancis olehPaus Yohanes XXII Tempat ziarahutama Hari peringatan Church of the Jacobins,Toulouse, Perancis 28 Januari (baru), 7 Maret (lama) Atribut The Summa Theologica, a model church, the Sun Pelindung All Catholic educational institutions Allah Thomas mengajarkan Allah dalam pandangannya yang mencerminkan pengaruh filsafat Aristoteles: sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens).

Allah adalah "zat yang tertinggi", yang memunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak.

29

Manusia dan dunia Dunia dan hidup manusia menurut Thomas terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakanakal.Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat

Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Dosa Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja.Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus. Sakramen Mengenai sakramen, ia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting adalah Ekaristi(sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen. Dengan menerima sakramen, orang mulai berjalan menuju kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menjadikan ia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak bisa berbuat apa-apa yang baik tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah. Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak dapat berbuat salah dalam ajarannyaPaus memiliki kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia". Salah satu filsuf Kristen yang mengkritik pemikiran Thomas Aquinas adalah Gordon H. Clark.Bukunya "God's Hammer" halaman 67 sampai 71 berisi kritikan beliau terhadap Thomas. Terjemahan bebas saya

30

Dalam sejarah pemikiran Kristen, antithesis antara iman dan akal budi (reason) telah didekati dengan berbagai metode. Perdebatan antara sesama Kristen dan antara Kristen dengan kaum sekuler kadang-kadang mengakibatkan kebingungan karena istilah yang dipakai tidak selalu didefinisikan dengan jelas. Bukan hanya Agustinus dan Kant memiliki pandangan yang berbeda tentang natur iman, namun istilah akal budi (reason) sendiri mengandung arti yang bermacam-macam. Setelah memberikan gambaran singkat tentang latar belakang historis, penulis berharap menghindari kebingungan seperti itu dengan mengemukakan definisi akal budi (reason) yang mungkin membantu pembelaan terhadap wahyu sebagai sesuatu yang rasional Upaya Skolastik Abad Pertengahan Dalam gambaran historis singkat ini, metode untuk menghubungkan iman dan rasio yang pertama dibahas adalah filsafat Thomistik Gereja Roma Katolik. Selain persetujuan (assent) pribadi orang percaya, dalam system ini iman artinya informasi yang diwahyukan yang ada dalam Alkitab, tradisi, dan suara hidup dari gereja Roma. Akal budi artinya informasi yang dapat diperoleh melalui pengamatan inderawi terhadap alam dan diinterpretasi intelek. Rasionalis abad ketujuhbelas membedakan akal budi (reason) dengan sensasi [inderawi], Thomas membedakan akal budi (reason) dan wahyu. Kebenaran akal budi adalah kebenaran yang dapat diperoleh melalui kemampuan indera dan intelek alamiah manusia tanpa bantuan anugerah supranatural. Definisi iman dan akal budi ini mengakibatkan wahyu hanya tidak masuk akal (unreasonable) secara verbal; wahyu tidak dapat disebut tidak masuk akal atau irasional dalam pengertian yang merendahkan. Kadang-kadang kita curiga kaum sekuler menggunakan verbalisme untuk memberikan kesan yang menakutkan. Thomisme memang menekankan ketiadaan kompatibilitas antara iman dan akal budi, namun ketiadaan kompatibilitas itu bersifat psikologis semata. Kalau Alkitab mewahyukan bahwa Allah ada dan kita percaya Alkitab, maka kita memiliki kebenaran iman. Namun demikian, menurut Thomisme adalah memungkinkan untuk mendemonstrasikan keberadaan Allah melalui pengamatan terhadap alam. Aristoteles berhasil melakukannya. Namun, kalau seseorang telah secara rasional mendemonstrasikan proposisi ini, orang itu tidak lagi percaya, dia tidak lagi menerima proposisi itu berdasarkan otoritas; dia mengetahui proposisi itu. Secara psikologis tidak mungkin pada saat yang sama percaya dan mengetahui satu proposisi. Seorang guru mungkin memberitahu siswanya bahwa segitiga memiliki 180o dan sang siswa percaya perkataan sang guru; namun setelah si siswa mempelajari buktinya, maka dia tidak lagi menerima teorema berdasarkan kata-kata guru. Si
31

siswa sudah mengetahui sendiri. Tidak semua proposisi wahyu dapat didemonstrasikan dengan filsafat rasional; tetapi ada kebenaran-kebenaran yang dapat didemonstrasikan yang juga telah diwahyukan kepada manusia, karena Allah tahu bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan intelektual seperti Aristotle; karena itu Allah mewahyukan beberapa kebenaran itu, walaupun dapat didemonstrasikan, demi kebanyakan umat manusia. Muatan (content) wahyu yang tidak dapat didemonstrasikan (seperti doktrin Trinitas dan sakramen), walaupun berada di luar jangkauan akal budi seperti definisi di atas, tidaklah irasional atau nonsensical. Kaum Muhammadean (Islam) Abad Pertengahan dan kaum humanis modern dapat saja mengklaim bahwa doktrin Trinitas tidak rasional, namun akal budi cukup mampu untuk mendemonstrasikan bahwa keberatan yang dikemukakan keliru/salah (fallacious). Kebenaran iman yang lebih tinggi tidak bertentangan dengan kesimpulan akal budi manapun; sebaliknya doktrin wahyu melengkapi apa yang tidak dapat dicapai oleh akal budi. Kedua rangkaian kebenaran ini, atau lebih tepatnya kebenaran yang diperoleh dari dua metode berbeda ini saling melengkapi. Bukannya menjadi penghalang bagi akal budi, iman berfungsi memberi peringatan kepada seorang pemikir bahwa dia melakukan kesalahan. Kita tidak boleh memandang seorang percaya sebagai seorang yang harus dibebaskan dari penjara imannya; iman hanya membatasi dari kesalahan. Dengan demikian iman dan akal budi serasi satu dengan yang lain. Hanya satu kritik yang akan penulis kemukakan tentang sistem ini, tetapi kritik ini dipandang sangat penting oleh kaum Thomist dan penentangnya. Kalau argumune kosmologis bagi keberadaan Allah merupakan kesalahan logika, maka Thomisme dan pandangannya tentang hubungan antara iman dan akal budi tidak dapat dipertahankan . Kesulitan yang dialami argumen kosmologis adalah ketidakmemadaian wahyu umum seperti dibahas sebelumnya. Kalau diasumsikan bahwa semua pengetahuan (knowledge) dimulai dengan pengalaman inderawi dan karena itu pada saat orang memandang alam tanpa pengetahuan tentang Allah, maka segala kemalangan (calamities) manusia dan keterbatasan serta perubahan di alam semesta seberapapun luasnya galaksi-galaksi yang ada menghalangi kesimpulan tentang satu pribadi Allah yang Mahakuasa dan juga Baik. Terhadap keberatan-keberatan ini, yang dikemukakan dengan tajam oleh David Hume, dapat ditambahkan kritik khusus formulasi Aristotelian Thomas Aquinas. Tiga keberatan akan dikemukakan. Pertama, Thomisme tidak dapat bertahan tanpa konsep potentialitas (potentiality) dan aktualitas (actuality), namun Aristotle tidak pernah berhasil
32

mendefinisikannya. Sebaliknya dia [Aristotle] mengilustrasikannya dengan perubahan fenomena lalu mendefinisikan perubahan atau gerak (motion) dalam hal aktualitas (actuality) dan potentialitas (potentiality). Untuk memberikan justifikasi terhadap keberatan ini, diperlukan terlalu banyak apparatus teknis yang tidak bisa diakomodasi dalam tulisan ini. Dan kalau pembaca menghendaki, dia tidak perlu memberi penekakan pada keberatan pertama. Kedua, Thomas berargumentasi bahwa kalau kita melacak penyebab gerak (motion), kita tidak dapat meneruskan berjalan mundur tanpa batas. Alasan yang secara eksplisit diberikan dalam Summa Theologica untuk menyangkali hal itu adalah kalau hal itu terjadi maka tidak akan ada Penggerak/Penyebab Pertama (First Mover). Namun alasan yang digunakan sebagai premis ini jugalah yang digunakan sebagai kesimpulan di akhir argumen. Argumen ini dimaksudkan untuk membuktikan keberadaan First Mover, namun First Mover ini diasumsikan dulu sebagai sesuatu yang ada untuk menolak infinite regress (mundur tidak terbatas). Karena itu jelas argumen ini adalah sebuah kekeliruan (fallacy). Alasan ketiga yang akan kita bahas lebih rumit. Namun karena terkait dengan hal yang banyak diperdebatkan saat ini, maka pantas diberikan perhatian lebih. Bagi Thomas Aquinas, ada dua cara mengenal Allah. Pertama melalui teologi negatif. Hal itu tidak akan kita bahas di sini. Kedua melalui metode analogi. Karena Allah adalah pure being, tanpa bagian, yang esensiNya identik dengan keberadaanNya, maka istilah-istilah yang diterapkan pada Allah tidak dapat digunakan tepat dengan cara yang sama dengan pada saat diterapkan pada ciptaan. Kalau dikatakan bahwa seorang manusia bijaksana dan Allah bijaksana, harus diingat bahwa kebijaksanaan manusia adalah kebijaksanaan yang diperoleh/dipelajari, sementara itu Allah tidak pernah belajar. Pikiran manusia tunduk kepada kebenaran; kebenaran adalah pimpinannya. Namun pikiran Allah adalah penyebab kebenaran karena Allah memikirkannya, atau mungkin lebih baik diformulasikan, Allah adalah kebenaran. Karena itu istilah pikiran tidak memiliki arti yang tepat sama pada manusia dan pada Allah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk istilah-istilah di atas, tetapi juga pada gagasan tentang eksistensi. Karena keberadaan Allah adalah esensiNya identitas yang tidak dapat diduplikasikan- maka bahkan kata keberadaan (existence) tidak berlaku sama (univocal) pada Allah dan pada ciptaan. Pada saat yang sama, Thomas tidak mengakui bahwa istilah-istilah itu juga memiliki arti berbeda sama sekali (equivocal). Pada saat dikatakan bahwa playboys lead fast lives, while
33

ascetics fast, kata [fast] dalam kedua anak kalimat itu tidak memiliki arti yang sama. Walaupun huruf-huruf dan pengucapannya sama, kandungan intelektual dalam kedua anak kalimat itu berbeda sama sekali. Thomas memilih jalan tengah antara perbedaan makna (equivocation) dan kesatuan makna ketat (strict univocity) dengan mengatakan bahwa katakata bisa digunakan secara analogis; dan dalam hal Allah dan manusia, predikat yang digunakan diterapkan secara analogis. Jika makna analogis dari bijaksana atau keberadaan memiliki bidang arti yang sama [bagi manusia dan Allah], maka bidang arti ini pasti dapat dikemukakan dengan menggunakan satu istilah yang berlaku untuk keduanya. Istilah ini dapat digunakan untuk Allah dan untuk manusia. Namun Thomas menekankan bahwa tidak ada istilah yang dapat diterapkan demikian. Implikasinya adalah semua sisa kemungkinan makna identik di antara keadaan terhapus. Namun kalau memang demikian adanya, bagaimanasebuah argument argument kosmologis secara formal syah kalau premis menggunakan satu istilah dengan pengertian tertentu dan dalam kesimpulannya menggunakan istilah yang sama dengan arti yang berbeda sama sekali? Premis argument kosmologis berbicara tentang eksistensi penggerak/penyebab (mover) dalam kisaran pengalaman manusia; kesimpulannya terkait dengan keberadaan Penggerak/Penyebab Pertama. Namun, jika istilah ini tidak dapat dipahami dengan pengertian yang sama, maka argument tersebut keliru/salah (fallacious). Karena itu, upaya untuk secara Thomistik menghubungkan iman dan akal budi gagal lebih karena pandangannya tentang akal budi dari pada terhadap iman-; perlu ada upaya lain untuk membela rasionalitas wahyu. 6.David Hume Perasaan Moral Latar belakangHume membuka jalan bagi perkembangan bentuk-bentuk filsafat anti metafisika modern. Hume dapat dianggap sebagai pemikir positivis pertama karena ia menyangkal apa yang melebihi faktisitas murni. Hume seorang scot yang lahir di dekat kota Edinburgh pada tahun 1711. Seperti banyak filsuf pencerahan, hume tidak pernah mengajar di universitas- barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagai profesor. Dia banyak berkeliling di Eropa, terutama Prancis, tempat ia bergaul dengan para ensiklodis dan Rousseau. Kemudian, ia menjadi Sekretaris Muda dalam Departemen Luar Negeri Kerajaan Inggris. Bukunya yang terkenal yaitu A Treatise of Human
34

Nature (1739/40), Enquire concerning human understanding (1748) dan Enquiry concerning the principles of morals (1751). Hume meninggal dunia pada tahun 1776. SkeptisismeHume memulai penelitiannya dengan meneliti pengertian manusia dan menyerang metafisika. Ia mengatakan, metafisika adalah usaha kesombongan manusia yang percuma, karena ingin memahami hal-hal yang tidak dapat di jangkau oleh rasio dan sematamata hanya berdasarkan takhayul dalam masyarakat.

Sama dengan Locke, Hume menolak anggapan rasionalisme yang mengatakan bahwa ada paham/prinsip-prinsip yang kita ketahui murni berasal dari akal budi, dan tidak berhubungan dengan pengalaman. Karena baginya, segala isi kesadaran berasal dari pengalaman inderawi. Hanya ada dua macam pengertian: pertama, Pengalaman inderawi baik dari luar maupun perasaan-perasaan batin, yang disebut: IMPRESSIONS, dan yang kedua, isi hasil asosiasi impresi-impresi itu, yang disebut IDEAS atau GAGASAN. Ideas/ gagasan di dalamnya termasuk prinsip-prinsip ilmu ukur (msl. Hukum Pytagoras), juga pikiran tentang Tuhan. Karena gagasan-gagasan ini semata-mata berdasarkan asosiasi impresi-impresi tersebut maka ia tidak memiliki eksistensi sendiri. Pikiran-pikiran kita tentang Tuhan, tidak menunjukan eksistensi/keberadaan Tuhan. Jumlah sudut dalam segitiga 180 derajat tidak menunjukan eksistensi/keberadaan dari sebuah segitiga tersebut. Ia hanyalah gagasan, tidak nyata, tidak dapat dilihat. Gagasan-gagasan itu menjadi nyata jika di hubungkan dan dikombinasikan dengan data-data empiris (pengalaman).

Bagi Hume, tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada sesuatu yang pasti. Semua kebenaran sifatnya faktual belaka, dalam arti harus berdasarkan pengalaman, harus nyata terlihat dengan panca indera.

Secara objektif tidak ada kepastian sesuatu yang terulang akan terulang kembali. Mis, kita melempar batu keatas PASTI akan jaut kebawah. Apa yang kita sebut hukum alam bukanlah kepastian objektif, melainkan berdasarkan KEPERCAYAAN. Kepercayaan tersebut berdasarkan perasaan KEBIASAAN: kita terbiasa bahwa apa yang dulu terjadi akan terjadi lagi. Sebenarnya TIDAK ADA KEPASTIAN, melainkan hanya kebarangkalian. Bagi Hume tidak ada pengetahuan yang memberikan kepastian, semuanya FAKTUAL. Karena itu ia seorang Skeptisisme.[1]

35

Secara khusus Hume mengkritik dua pengertian paling dasar dari metafisika, yaitu: (1) Pengertian Kausalitas (sebab-akibat) dan (2) Pengertian Substansi (penyangga atau dasar). Cth: kalau sebuah bola bilyar (mis: bola 1) disodokan ke bola bilyar yang lain dan bola yang pertama berhenti, sedangkan bolah yang terkena sodokan (mis: bola 2) meneruskan gerakannya, kita mengatakan bahwa bola 2 bergerak akibat hantaman dari bola 1. Bagi Hume, anggapan itu tidak masuk akal, tidak ada dasar untuk mengatakan demikian. Yang kita amati hanyalah post hoc, bukan propter hoc, hanya bahwa sesudah dua bola itu bersentuhan, maka bola yang terkena sentuhan tersebut bergerak, tetapi bukan karena bola yang pertama. Itu hanya dalam psikis kita, itu hanya ide/gagasan yang bergolak dalam dalam kepala kita, tidak ada data-data empiris berdasarkan panca indera yang dapat menjelaskan peristiwa bola kedua bergerak karena bola pertama, yang ada hanyalah bola pertama bersentuhan dengan bolah kedua. Demikian halnya mengenai substansi. Dengan substansi kita maksudkan sesuatu yang berada pada dirinya sendiri. Yang menjadi dasar dari dirinya. Yang menjadi satu dalam berbagai bentuk, warna, dll. Cth: di dunia ada begitu banyak manusia. Ada yang pintar, bodok, tinggi, pendek, gemuk, kurus, hitam, putih dll. Semuanya berbeda-beda tidak ada yang sama. Walaupun demikian, semua dari mereka tersebut memiliki SATU SUBSTANSI yang sama, yaitu MANUSIA. Demikian halnya dengan warna; ada warna putih, hitam, biru, hijau, merah, kuning, dll. Tidak ada yang sama, tapi semuanya memiliki SATU SUBSTANSI yang sama, yaitu WARNA.

Namun bagi Hume, substansi tersebut hanyalah sebuah gagasan psikologis belaka bukan ontologis.[2] Dalam kenyataan, kita hanya melihat sesuatu yang nyata, yang riil, yang dapat ditangkap oleh panca indera. Kita tidak bisa melihat SUBSTANSI MANUSIA yang kita lihat hanya ada orang yang gemuk, kurus, pintar, bodok, dll dan kita menyebut mereka MANUSIA bukan SUBSTANSI manusia. EtikaSesuai dengan sikapnya yang emiristik, Hume menolak segala sistem etika yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Sesuatu itu bernilai oleh karena kita merasa tertarik kepadanya, dan bukan sebaliknya kita merasa tertarik kepada sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Ingat, NILAI tidak dapat kita lihat dengan panca indera, jadi tidak masuk akal jika kita tertarik pada sesuatu yang tidak terlihat. Yang dapat kita ketahui hanyalah apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman inderawi dan

36

pengalaman perasaan dalam diri kita. Oleh karena itu etika harus di cari dalam diri kita sendiri.

Bagi Hume, tidak ada dasar untuk bicara tentang KEHARUSAN MORAL. Yang kita alami selalu faktual, berupa suatu data dan tidak merupakan suatu keharusan. Kita dapat melihat sesuatu, mendengar, bangga, sedih, ceria, senang, benci, malu, jijik, semuanya itu merupakan fakta, data, pengalaman dan BUKAN keharusan.

Bahwa sesuatu yang harus kita setujui harus kita setujui, sesuatu yang kita benci, yang kita jijik harus kita tolak atau wajib kita hindari, merupakan tambahan yang tidak termuat dalam pengalaman empiris. Jadi, tidak masuk akal bicara tentang kewajiban objektif. Tidak juga masuk akal mempertanyakan norma-norma moral objektif, mana yang wajib di lakukan dan yang tidak wajib dilakukan. Semua ini bagi Hume, tidak memiliki dasar rasional apa pun karena tidak termasuk dalam pengalaman empiris, dan karena itu tidak dapat kita ketahui. Hume juga menolak Etika Normatif.

Hume tidak menyangkal manusia sering memberikan penilaian moral, bahwa ia sering merasa berkewajiban: ada yang kita nilai positif, negatif, baik, buruk, menerima dan menolak. Hume membedakan empat kelompok sifat positif: (a) berguna bagi masyarakat: kebaikan hati dan keadilan; (b) yang berguna bagi kita sendiri: kehendak yang kuat, kerajian, sikap hemat, kekuatan badani, kepintaran akal, dan kemampuan rohani lain; (c) yang bagi kita sendiri secara langsung menyenangkan: watak gembira, kebesaran jiwa, watak yang luhur, keberanian, ketenangan, dan kebaikan; (d) yang langsung menyenangkan bagi orang lain: sikap tahu diri, tata karma, kesopanan, humor. Namun menurut Hume, penilaianpenilaian ini tidak dinilai berdasarkan rasio, tetapi semata-mata berdasarkan perasaan. Etika adalah hal PERASAAN MORAL. Unsur bersama sifat-sifat tersebut adalah nikmat dan kegunaan. Sesuatu itu kita nilai baik, apabila memberikan nikmat atau bermanfaat. Jadi, penilaian moral adalah perasaan setuju atau perasaan tidak setuju. Sedangkan dalam hal kegunaan, rasio dapat memainkan perannya. Dengan rasio kita mengetahui apa yang berguna yang membawah perasaan nikmat. Namun, soal apa yang kita anggap berguna kita puji dan kita usahakan, serta apa yang kita anggap tidak berguna kita tolak dan kita kutuk, itu bukan URUSAN RASIO. Rasio tidak dapat mengemudikan tindakan, ia tidak dapat menggerakan apa-apa. Yang dapat menggerakan tindakan semata-mata hanyalah PERASAAN. Perasaan

37

kita tertarik kepada nikmat, maka kita merasa terdorong untuk mengusahakan apa yang nikmat tersebut dan menjauh dari perasaan sakit.

Menurut Hume, kita tidak hanya terdorong untuk mengusahakan apa yang berguna yang membawah nikmat bagi kita, tetapi juga membuat orang lain merasa nikmat dan melindungi dia dari perasaan sakit. Jadi, kita terdorong untuk bersikap baik hati dan merasakan kebaikan hati orang lain. Karena bagi Hume, kita memiliki kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain lewat perasaan simpati. Dan simpati merupakan bakat alami. Dimana secara alami kita adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri dan memiliki ketergantungan dengan orang lain. kita mempunyai perasaan alami yang menjunjung tinggi kesejahteraan kelompok. Bagi Hume, perasaan keadilan adalah sifat buatan, buatan disini maksudnya bukan sifat alami. Melainkan berkembang belakangan dikala manusia berhadapan dengan manusia lainnya dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial (manusia adalah makhluk sosial). Perasaan keadilan dimaksud untuk melindungi hak-hak kita, demi kesejahteraan umum yang kita minati bersama secara alami. Hak-hak tersebut perlu dijaga, dijamin, agar tidak terjadi kekacauan antara sesama makhluk sosial. Oleh karena itu dibuat kesepakatan dan itu dilaksanakan sehingga menjadi KEBIASAAN yang akhirnya secara spontan kita merasa menyetujui keadilan. Bahwa jika kita menikmati perasaan keadilan meskipun dilain pihak menyakitkan perasaan orang lain, Hume mengatakan selain berdasarkan pembiasaan tadi juga berdasarkan kemampuan alami manusia-paralel dengan perasaan simpati spontanmementingkan sesuatu tanpa ada kepentingan di dalamnya, melakukannya tanpa pamrih untuk kepentingan bersama sebagai makhluk sosial. Melakukan tanpa pamri merupakan bakat alami, sebagai implikasi dua ciri yang kita miliki, yaitu simpati spontan yang kita rasakan bagi orang lain dan kebiasaan untuk mengikuti aturan-aturan. Manusia belajar melalui Pembiasaan[3]. Karena itu, ia mengganti perasaan spontan yang ingin mengejar kenikmatan dengan penghormatan yang tinggi terhadap aturan-aturan bersama yang disepakati, sehingga membuat perasaannya betul-betul merasa terlibat dalam keadilan, bahkan merasa berkewajiban untuk menjaganya. Bagi Hume, kebebasan bukanlah kemampuan kehendak untuk menentukan dirinya sendiri. Hume bahkan tidak mengakui adanya kehendak. Baginya, kebebasan adalah kemustahilan

38

dan kebodohan. Karena kebebasan adalah spontanitas. Orang itu bebas apabila tindakannya ditentukan oleh keinginan-keinginannya dan tidak di batasi oleh faktor-faktor dari luar. KesimpulanBagi Hume, metafisika adalah usaha kesombongan manusia yang percuma, karena ingin memahami hal-hal yang tidak dapat di jangkau oleh rasio dan semata-mata hanya berdasarkan takhayul dalam masyarakat, dan merupakan sebuah kebodohan.

Karena sesuatu yang dapat kita ketahui hanyalah apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman inderawi dan pengalaman perasaan dalam diri kita. Oleh karena itu etika harus di cari dalam diri kita sendiri.

7. Immanuel Kant Riwayat Hidup Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigberg, ibu kota Prussia Timur, Jerman (sekarang Kaliningrad, masuk wilayah Russia), daerah yang tidak pernah ditinggalkan Kant seumur hidupnya. Orang tua Kant adalah penganut setia gerakan Pietisme (sebuah gerakan keagamaan dalam Protestanisme Jerman abad ke-18. Pietisme sangat menekankan kesalehan hidup sehari-hari, sikap batin yang baik dan moralitas yang keras. Inti pokok ajarannya adalah hubungan pribadi dan individual dengan Tuhan melalui pembacaan Kitab suci dan pengudusan hidup melalui pelaksanaan kewajiban). Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Friedericianum (sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme). Tahun 1740 (umur 16 tahun) ia belajar filsafat, matematika, ilmu pengetahuan alam dan teologi. Pada tahun 1755 (umur 31 tahun) ia mendapatkan gelar doktor dengan disertasi berjudul Meditationum quarundum de igne succinta delineatio (Uraian Singkat atas Sejumlah Pemikiran tentang Api). Pada bulan Maret tahun 1770 Kan mendapat gelar Profesor logika dan metafisika dengan disertasi De mundi sensibilis atque intenlligibilis forma et principiis (Tentang Bentuk dan Asas-Atas dari Dunia Indrawi dan Dunia Akal Budi). Pada hari Minggu tanggal 12 Februari 1804 pukul 11 siang Kant meninggal dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di serambi sampin gereja induk kota Koningsberg.
39

Karya-karya Kant yang terkenal antara lain:


Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1785) Kritik der praktischen Vernunft (Kritik atas Budi Praktis, 1788) Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya Pertimbangan, 1790) Zum ewigen Frieden (Menuju Perdamaian Abadi, 1795)

Pandangan Etika Kant 1. Kehendak Baik Pertanyaan Inti etika Kant adalah apa yang baik pada dirinya sendiri? Kant menolak pola etika-etika sebelumnya yang berpusat pada pertanyaan tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Menurut Kant, persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa yang membuat manusia menjadi baik. Apa yang baik pada dirinya sendiri? Bagi Kant bukanlah benda atau keadaan di dunia dan bukan juga pelbagai sifat maupun kualitas manusia. Sebab keadaan baik di dunia, misalnya persaudaraan, dapat saja disalahgunakan untuk tujuan jahat, lalu menjadi jahat. Begitu pula halnya kualitas seeorang, misalnya keberanian atau kebesaran hati, yang umumnya dianggap terpuji, dapat saja menjadi jahat apabila melandasi rencana jahat. Maka menurut Kant hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya sendiri, yaitu kehendak baik. Apa itu kehendak baik? Kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Untuk memahami pandangan ini, kita harus memperhatikan 2 hal: 1. Kant membedakan dengan tajam antara bentuk (form) dan materi (materie) tindakan. Tujuan atau akibat yang mau dicapai dengan suatu tindakan adalah materinya. Kehendak baik menurut Kant tidak pernah ditentukan oleh materi atau tujuan tindakan, melainkan oleh bentuknya. Maka kehendak taat pada kewajiban-lah yang menentukan moralitas, bukan tujuan tindakan. 2. Orang yang bertindak menurut bentuk tindakan berarti ia bertindak menurut pertimbangan atau patokan tertentu. Patokan ini oleh Kant disebut Maxime (prinsip subjektif yang menentukan kehendak).Suatu tindakan itu baik dalam arti moral apabila berdasarkan maxime (maksim) yang bersifat moral, dan jahat apabila didasarkan maksim yang tidak bersifat moral. Sebuah maksim yang bersifat moral apabila memuat kemauan untuk menghormati

40

hukum moral. Orang baik adalah orang yang bersedia melakukan (menghendaki) apa yang menjadi kewajibannya. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah kehendak mana yang sesuai dengan kewajiban? Kant menjawab, suatu kehendak sesuai dengan kewajiban apabila berdasarkan pertimbanganpertimbangan (maksim-maksim) yang dapat diuniversalisasikan. Artinya, yang dapat kita kehendaki agar berlaku bukan hanya bagi kita sendiri, melainkan bagi siapa saja. Suatu maksim bersifat moral apabila dapat diuniversalisasikan empiris-inderawi. Paham-paham moral bersifat apriori dan berdasarkan akal budi praktis, yaitu berdasarkan pengertian mengenai baik dan buruk yang mendahului segala pengalaman. Kehendak adalah akal budi praktis, artinya akal budi yang mengarah ke tindakan (praxis). Ada 2 macam akal budi:

Pengada yang murni moral (Tuhan, Malaikat) yang selalu menghendaki apa yang dipahami sebagai wajib (maka Tuhan tidak dapat berdosa).

Akal budi praktis manusia. Kehendak manusia tidak dapat dengan sendirinya mengikuti apa yang wajib karena juga terpengaruh oleh segala macam kecendrungan, nafsu, dan perasaan alami. Maka bagi manusia prinsip-prinsip objektif (yang menentukan apa yang merupakan kewajiban) adalah perintah (Imperatif). Suatu perintah adalah prinsip yang memuat keharusan, akan tetapi tidak memaksa. Manusia tetap bebas, mau mengikuti perintah itu atau tidak.

2. Imperatif Hipotetis dan Imperatis Kategoris Kant membedakan 2 bentuk perintah (Imperatif):

Imperatif Hipotetis, menyuruh melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandaian bahwa kita mau mencapai suatu tujuan tertentu. (misalnya, berhentilah merokok kalau mau menjaga kesehatan).

Imperatif Kategoris, apa yang diperintahkan merupakan kewajiban pada dirinya sendiri, jadi tidak tergantung dari suatu tujuan selanjutnya. Sifat imperatif kategoris adalah formal, artinya hanya merumuskan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh semua tindakan agar mempunyai nilai moral yang baik apa pun tujuan materialnya.

Apa saja prinsip-prinsip agar suatu perintah bisa berisfat kategoris? 1. Prinsip Hukum Umum (allgemeines Gesetz) Prinsip hukum umum mengatakan: Bertindaklah berdasarkan maksim yang bisa dan
41

sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum. Maksud Kant dengan prinsip hukum umum adalah untuk mengetahui apakah suatu tindakan yang ingin kita lakukan, wajib dijalankan atau tidak, maka kita harus bertanya apakah maksim kita bisa diuniversalisasikan atau tidak. Jika tidak, maka tindakan itu wajib tidak dijalankan. Jika ya, maka tindakan itu wajib kita jalankan. 2. Prinsip Hormat terhadap Pribadi Prinsip ini mengatakan, Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam pribadimu atau di dalam pribadi orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana. Prinsip ini mengatakan 2 hal: Kita tidak boleh menjadikan diri sendiri atau diri orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Semua tujuan lain hanya boleh diusahakan sejauh martabat manusia tetap dijunjung tinggi. Dalam memilih dan menentukan tujuan/mengambil keputusan moral, kita wajib memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari pihak lain. Oleh karena itu, tidak seorangpun boleh diabaikan dan diremehkan. 3. Prinsip Otonomi Prinsip ini mengatakan bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga kehendak akan terwujud sebagai penentu hukum umum. Prinsip ini menegaskan bahwa yang menghendaki dan menjalankan suatu tindakan bukanlah pihak lain, melainkan kita sendiri. Kitalah yang membuat hukum, tanpa ditentukan di luar kehendak kita, misalnya tujuan tertentu, perasaan tertentu, atau bahkan kekuasaan lain di luar diri kita. Kant menyebut prinsip ini sebagai otonomi kehendak (Autonomie des Willens). Kehendak yang otonom adalah kehendak untuk melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkannya sendiri, bukan bertindak tanpa prinsip atau hanya ikut-ikutan orang lain. Kant mengatakan Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus tunduk pada kehendak pihak lain. Kant menyebut prinsip otonomi sebagai prinsip kesusilaan paling tinggi (oberstes Prinzip der Sittlichkeit), karena langsung membawa kita kepada pandangan tentang kebebasan. Kita menaati hukum moral karena hal tersebut
42

merupakan perwujudan kodrat kita sebagai pelaku yang mendasarkan tindakan pada prinsip rasional yang menyakinkan. 3. Kesadaran Moral Kesadaran moral diawali dengan kewajiban yang bersifat mutlak. Kewajiban ini hanya bisa dibebankan kepada manusia oleh Pribadi lain yang juga bersifat mutlak (Tuhan). Dengan bertindak moral dan mengikuti suara hati (praktische Vernunft) berarti manusia mengakui kehadiran Tuhan. Dalam hati manusia menyadari tuntutan Tuhan yang memberi dan menjamin hukum abadi. Bagi Kant, suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia pada kewajibannya. Menurut Kant, kesadaran moral mewajibkan kita untuk mengusahakan kebaikan tertinggi (commum bonum) atau kebahagiaan sempurna. Kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir tersebut, tidak pernah terealisasikan sempurna di dunia karena adanya kejahatan. Agar kebaikan moral manusia bisa membentuk hubungan dengan kebahagiaan sempurna, menurut Kant, kita harus menerima asumsi (postulat) tentang adanya: 1.Kebebasankehendak Hukum moral adalah hukum di mana kita bertindak berdasarkan prinsip yang kita yakini sendiri (otonomi). Berkat kebebasan kehendak inilah kita mampu melakukannya. 2.Keabadianjiwa Manusia sebagai pelaku tindakan moral bisa mencapai kebaikan tertinggi atau kebahagiaan sempurna yang tidak dicapai di dunia. 3.Allah Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa manusia yang bertindak baik demi kewajiban moral akan memperoleh kebahagiaan sempurna. Jika Allah ditolak eksistensinya, maka moralitas tidak memiliki arti, karena nasib orang yang hidupnya baik secara moral akan sama saja dengan nasib orang jahat, sehingga buat apa kita hidup baik? Moralitas bagi Kant adalah masalah keyakinan dan sikap batin, bukan sekedar penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, negara, agama). Ketaatan pada peraturan belum menjamin kualitas moral. 8. John Stuart Mill

43

John Stuart Mill, yang lahir di London, 20 Mei 1806, merupakan salah satu tokoh Utilitarianisme yang terkenal dalam menelurkan konsep kebebasan, yang dituangkan secara komprehensif di dalam bukunya On Liberty. Mill adalah anak dari James Mill dan murid dari seorang utilitarian ternama, Jeremy Bentham. Selain mengarang buku On Liberty, danUtilitarianism, Mill juga mengarang sebuah buku yang berkaitan dengan ekonomi, Principles of Political Economy pada tahun 1848. Buku ini berupaya untuk memahami masalah ekonomi sebagai suatu masalah sosial; masalah tentang bagaimana manusia hidup dan ikut ambil bagian dalam kemakmuran bangsanya, baik dalam proses produksi, perlindungan terhadap produk dalam negeri dan perpesaing antar produk, maupun masalah distribusi melalui instrument uang dan kredit (mikhael dua,2008). Sebelum beranjak ke pemikiran ekonominya, Mill yang dikenal sebagai pembaharu dalam paham utilitarianisme yang cukup banyak menjadi bahan diskusi penting dikalangan filsuf di Eropa. Sedikit pemikiran Mill secara utilitarian murni, dimana Mill melakukan kritikan terhadap utilitarianisme Bentham, Mill menganggap bahwa utilitarianisme juga mengandung unsur keadilan, dimana kebahagiaan tidak diartikan semata milik pribadi, namun untuk semua orang, maka dari sana memunculkan konsepsi moral bahwa utilitarianisme merupakan universalisme etis, bukan egoisme etis nikmat ruhani menurutnya lebih mulia daripada nikmat jasmani,dll. Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas(Mikael dua,2008). Disana Mill sedang mengajak seluruh masyarakat bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan tidaklah cukup dari akumulasi kebahagiaan orang banyak, melainkan unsur kebahagiaan individu pun melekat disana, selain itu akan memunculkan suatu kondisi kepedulian antar sesama dengan dihidupkannya suara hati seseorang. Anekdot tersebut kemudian berimplikasi pada pemikiran utilitarianisme nya di bidang ekonomi yang lebih menitikberatkan pada aktifitas produksi.

44

Dalam hal pemikirannya mengenai ekonomi, Mill dipengaruhi oleh Thomas Robert Malthus, dimana pertumbuhan ekonomi selalu diliputi dengan tekanan jumlah penduduk dengan sumber yang tetap. Mill seorang utilitarian yang mencoba untuk memahami kebahagiaan secara lain, dimana menurutnya kebahagiaan, bukanlah semata bersifat fisik, melainkan lebih luas dari itu, dan Mill pun memperkenalkan sebuah konsep kebahagiaan individu, yang sebelumnya, para filsuf utilitarian kurang menyentuh hal tersebut. Menurut Mill tentunya berbeda terkait kebahagiaan individu dengan kebahagiaan umum. Suara hati menjadi dasar moralitas kaum utilitarian, sehingga akan menimbulkan implikasi didalam kehidupan sehari-hari terkait hubungannya dengan orang lain, dan disanalah eksistensi sebagai makhluk sosial menjadi nyata. Perasaan sosial yang timbul menuntut adanya suatu perhatian terhadap kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Maka, dikemudian hari akan memunculkan konsep kebebasan dan keadilan. Keadilan, akan diawali dengan pengakuan atas eksistensi hak-hak orang lain dan keadilan juga tidak terpisahkan dengan unsur kebebasan manusia. Masyarakat menurut Mill mestilah melindungi kebebasan individu dikarenakan hal tersebut merupakan bagian dari kebahagiaan umum. Universalime etis merupakan konsep utilitariannya yang lebih mengedepankan kepada kebahagiaan orang lain, dimana disanalah moralitas utilitarian dibangun oleh Mill. Prinsip tersebut memang cukup relevan dalam hal aktifitas ekonomi, disamping Mill menerima pasar bebas Adam Smith, namun usaha untuk memperhatikan kebahagiaan orang lain dalam hal persaingan ekonomi pasar, menjadi agenda Mill. Kondisi pasar bebas yang cenderung bersikap egoisme sentris, berusaha ditekan Mill dengan pemberlakuan nilai moralitas bersama, dimana prinsip kebahagiaan harus dirasakan oleh setiap pemain pasar, pelaku usaha, produsen, distribusi, hingga tataran konsumen. Pasar bebas memang cenderung melahirkan kondisi menang-kalah, namun diantara dua belah pihak diharapkan harus tetap mampu menjalin hubungan yang kelak melahirkan kebahagiaan bersama, yang merupakan konsekuensi atas universalisme etis ala John Stuart Mill. Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang bersifat empiris, menjadi bagian dari pemikiran Mill kedepan. Dimana dia menyinggung masalah produksi, yang merupakan bagian dari aktifitas ekonomi, dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat dan keinginan pasar. Menurutnya uang adalah kekuasaan, dan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, manusia membutuhkan kekuasaan. Mill, menganggap kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan dengan pemenuhan kebutuhan fisik semata, melainkan kontinuitas produksi. Didalam Principles-nya dia banyak menyinggung masalah produksi dan buruh yang menjadi tema besar saat itu, dimana dia mencoba menghubungkan konsep universalisme etis dengan kedua hal tersebut, maka
45

disanalah utilitarian Mill bekerja, konsekuensinya dia sedang mengkonstruk suatu pandangan humanitas didalamnya, dimana kondisi buruh dalam proses produksi harus diperhatikan serta pemenuhan kebutuhan umum. Menurut Mill penawaran selalu identik dengan permintaan, dan dia menerapkan pola fikir baru bahwa produksi tidaklah harus ditentukan dengan permintaan pasar, sehingga baginya tidak ada istilah overproduksi yang selama ini dicegah oleh kebanyakan orang. Adapun pendapat Mill lainya bahwa kemakmuran ekonomi tidak ditentukan oleh permintaan dipihak konsumen, serta produksi menurut Mill merupakan sebuah basis yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara pengusaha yang bebas. Mill dalam hal ini sejaan dengan Adam Smith yang hidup lebih awal darinya, dalam hal ini mengenai ide pembagian kerja menurut Smith, namun Mill memasukkkan unsur lain didalamnya yakni peran wanita sebagai kondisi yang memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang riil. Kalau dalam Adam Smith dikenal istilah the right man in the right place, maka Mill menambahnya dengan the right women. Dalam kesempatan tadi, Mill mencoba menambahkan unsur moralitas didalam produksi, namun tidak terhenti disana saja. Mill mencoba untuk memasukkan ini dalam suatu kondisi ekonomi yang stagnan, dimana Mill menemukan alasan terjadinya stagnan tersebut pada buku The Princlpes of Economy and Taxation, milik David Ricardo, seorang pemikir ekonomi, yang cukup berpengaruh. Dalam mengatasi kondisi yang stagnan, menurut Mill mesti digiatkan lagi konsep kebahagiaan umum, dimana mencoba untuk menghindari akibat yang dialami dari stagnasi ekonomi tersebut terhadap semua orang. Menurutnya kegiatan ekonomi pada masa stagnan haruslah difokuskan pada pengentasan kemiskinan dan upaya pencegahan dari ketidakadilan ekonomi. Dalam konsep riil terkait pemikiran ekonominya, Mill mencoba untuk memberi 3 bidang pekerjaan yang dianggapnya ideal, yakni; pertanian, perusahaan, dan bank. Pertanian berkaitan dengan tanah, pemilik tanah, dan pekerja, yang tentunya saling berhubungan. Disana juga memunculkan sebuah penguasaan atas tanah,atau dalam hal ini sistem kepemilikan tanah, yang coba digantikan oleh Mill dengan sistem baru, yakni sistem pertanian yang bernuansa kompetitif. Pada perusahaan, yang mengidealkan perusahaan yang besar, dan penuh dengan persaingan usaha. Selain itu, ada pula bank dimana bank sangat berperan dalam kondisi ekonomi yang stagnan. Dapat pula memainkan peran strategisnya dalam mencairkan modal sekaligus mencegah jatuhnya harga. Sementara fungsi utamanya adalah menghidupkan kembali iklim spekulasi bisnis yang sehat.

46

BAB IV KESIMPULAN Demikialah penjelasan mengenai etika dan perbandingan filasafat etika menurut para tokoh Yunani dan filsafat etika islam. Tulisan ini pada dasarnya mengelaborasi kepada setiap pembaca agar senantiasa mampu memahami etika dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menjungjung tinggi nilai nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan tindakan yang mengarah pada keadialn dan juga memandang kebebasan mitlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan sayariat kolektif. Sudah semestinya etika tidak hanya dimaknai sebagai etika induvidu saja, tetapi uga perlu dibangun dengan denga perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, islam tidak semata diartiakan sebagai ritualisasiibadah dan etika individu semata, tetapi juga sebagai agama yang pentig untuk memperbaiki kehidupan secara lebih luas.

47

48

You might also like