You are on page 1of 23

mengenai : Peradilan Agama

Disusun oleh : Hendriawan Rahman.Arifin Rifqi.Rais Rizky.M.Nashir

PENGERTIAN PERADILAN AGAMA


Peradilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut. Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pada tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989 tersebut. Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970.

Dasar Kedudukan Pengadilan Agama UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan :

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 UU Peradilan Agama tersebut menyatakan : 1) a) b) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Pengadilan Tinggi Agama

2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. a. Azas-azas Hukum Acara Peradilan Agama

1) Azas Personalitas Keislaman Arti azas personalitas keislaman adalah orang yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Asal personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, bukan ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum perdata, tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat khusus sepanjang bidang hukum tertentu. Dalam azas personalitas keislaman yang melekat pada UU Peradilan Agama tersebut, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi azas dimaksud : a) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.

b) Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan ekonomi syariah. c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam, sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami isteri adalah hukum Barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, azas personalitas keislaman mereka ditiadakan oleh landasan hubungan hukum yang mendasari perkawinan. Oleh karena itu, sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tidak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tapi jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. 2) Azas Wajib Mendamaikan Terutama dalam Perkara Perceraian

Azas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan islah (fa aslihu baina akhwaikum). Sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, pasti harus ada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan. Tidak mungkin kedua pihak sama-sama dimenangkan atau sama-sama dikalahkan. Seadil-adilnya putusan yang dijatuhkan Hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah. Bagaimanapun zalimnya putusan yang dijatuhkan, akan dianggap dan dirasa adil oleh pihak yang menang. Lain halnya dengan perdamaian, hasil perdamaian yang tulus berdasar kesadaran bersama dari pihak yang bersengketa, terbebas dari kualifikasi menang dan kalah. Mereka samasama menang dan sama-sama kalah. Sehingga kedua belah pihak pulih dalam suasana rukun dan persaudaraan, tidak dibebani dendan kesumat yang berkepanjangan. Usaha perdamaian dalam sengketa perceraian menurut Pasal 82 UU Peradilan Agama, harus dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan. Berdasakan Pasal 130 HIR, Majelis Hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara sebelum memulai pemeriksaan perkara. Untuk mengimplementasikan pasal ini, para pihak diwajibkan menempuh proses mediasi di luar sidang yang teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. Dalam perkara perceraian (tentang status), jika mediasi berhasil dan para pihak telah damai, maka pihak penggugat atau pemohon harus mencabut perkaranya. Dalam perkara sengketa harta benda, jika mediasi berhasil dan para pihak mencapai perdamaian, maka dibuatlah akta dading dan Majelis menjatuhkan putusan perdamaian. Dengan dicapai perdamaian antara suami isteri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja dapat diselamatkan, tetapi sekaligus dapat diselamatkan

kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak-anak secara normal. Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami isteri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan sengketa perceraian, merupakan kegiatan yang terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain. 3) Azas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, diatur pada Pasal 57 ayat 3 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksud dari pengertian azas ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Prosedur dan proses hukum acara perdata dalam RV sangat berbelit-belit dengan ssitem dag vaarding atau schriijtelijke procedur dan sistem procureur (procureur stelling) atau verplichte rechtbijstand dengan berbagai bentuk putusan sela atau interlocuter vonnis. Tanpa bantuan advokat atau pengacara, tidak mungkin seorang dapat membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya. Semua proses pemeriksaan mesti secara tertulis. Lain halnya dengan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR atau R.BG. Prosedur dan prosesnya sangat sederhana dengan sistem langsung secara lisan atau mondelinge procedur dan onmiddlelijkeheid Van procedure di persidangan. Tahap pemeriksaan pembuktian tidak memerlukan bentuk-bentuk putusan sela. Kesederhanaan ini yang dipertahankan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Demikian pula hukum acara mufakat dalam fiqih Islam. Penerapan azas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran dan keadilan. Semua harus tepat menurut hukum (due to law). 4) Azas Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Pemeriksaan Perkara Perceraian

Pasal 59 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 berbunyi :

a) Sidang pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum, kecuali apabila undangundang menentukan lain dan jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara persidangan, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. b) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal demi hukum. c) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

Penerapan azas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara peerceraian. Mengenai pengecualian ini, Pasal 59 ayat (1) sendiri sudah membuka kemungkinan untuk itu dalam rumusan : Kecuali apabila Undang-undang menentukan lain. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan lex specialis drogat lex generalis. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Keadaan inilah yang diatur dalam Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama tersebut jo Pasal 17 UU Nomor 33 PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal ini menyampingkan ketentuan azas umum yang diatur Pasal 59 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004 yang berbunyi : Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pelanggaran atas Pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Sebab nilai yang terkandung dalam ketentuan itu menyangkut azas ketertiban umum atau orde publik, oleh karena itu dia mutlak bersifat imperatif. Satu-satunya cara yang dapat dibenarkan hukum untuk pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses pemeriksaan jawab-menjawab, pemeriksaan pembuktian jangkauan ketentuan pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, tidak meliputi pengucapan putusan. Apabila sudah tiba saat proses pemeriksaan sidang pada tahap pengucapan putusan kembali ditegakkan azas persidangan terbuka yang tercantum dalam Pasal 81 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi : Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. b. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah Hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah :[1] 1) Pembacaan Gugatan

Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat 3 kemungkinan dari Penggugat/ Pemohon : a) b) c) 2) Mencabut gugatan Mengubah gugatan Mempertahankan gugatan Jawaban Tergugat

Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan dari pihak Tergugat, yaitu : a) b) c) d) e) f) 3) Eksepsi/ tangkisan Mengaku bulat-bulat Mungkir mutlak Mengaku dengan klausula Referte Rekonpensi (gugat balik) Replik (dari Penggugat)

Dalam tahap ini Penggugat mungkin mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya atau mungkin Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat. 4) Duplik Tergugat

Setelah menyampaikan repliknya, kemudian Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini, mungkin Tergugat bersikap seperti Penggugat dalam replik tersebut. 5) Pembuktian

Pada tahap ini baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa saksi-saksi maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh Hakim. Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata, yaitu : a) Alat bukti surat

b) c) d) e) f) 6)

Alat bukti saksi Alat bukti persangkaaan Alat bukti pengakuan Alat bukti sumpah Alat bukti pemeriksaan setempat Kesimpulan para Pihak

Pada tahap ini, baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing. 7) Putusan Hakim

Pada tahap ini, Hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum mengenai perkara tersebut disertai dengan alasan-alasan dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan Hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu. Putusan dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri sengketa ada 2 macam : a) b) Putusan akhir (eind vonnis) Putusan sela (tussen vonis)

c. Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut : 1) Bidang Perkawinan Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah : a) b) Permohonan dispensasi umur kawin Permohonan izin kawin

c) d) e)

Permohonan penetapan wali adhol Permohonan penetapan perwalian Permohonan penetapan asal-usul anak

2) Bidang Perceraian a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan. (1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)). (2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)). b) Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1)) c) Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak. d) Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1)) e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006. f) Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990). 3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam a) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam.

b) Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. c) Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama. d) Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR. 4) Sengketa Milik Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. d. Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Perceraian dan Hak-hak Anak Pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata umum dan ketentuan khusus yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 serta Kompilasi Hukum Islam, dapat diringkas sebagai berikut:[2] 1) Cerai Talak

a) Cerai talak dijatuhkan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya. b) Cerai talak yang dijatuhkan oleh suami yang telah riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. c) Prosedur pengajuan permohonan dan proses pemeriksaan cerai talak agar dipedomani Pasal 66 s/d Pasal 72 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. d) Gugatan penguasaan anak dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak.

e) Selama proses pemeriksaan cerai talak sebelum sidang pembuktian, isteri dapat mengajukan rekonvensi mengenai pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mutah dan harta bersama. f) Selama proses pemeriksaan cerai talak, suami dalam permohonannya dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga isteri dalam gugatan rekonvensinya dapat mengajukan permohonan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. g) Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk isterinya, sepanjang isterinya tidak terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mufah (ex pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam). h) Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar pertimbangan menetapkan nafkah anak, mutah, nafkah madhiyah dan nafkah iddah. i) Agar memenuhi azas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan, penetapan mutah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalkan rumah atau tanah atau benda lainnya. j) Dalam hal Termohon tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Pemohon. k) Untuk keseragaman, amar putusan cerai talak berbunyi :

Memberi izin kepada Pemohon (nama .. bin ...) untuk menjatuhkan talak satu raji terhadap Termohon (nama binti ) di depan sidang Pengadilan Agama . l) Untuk menghindari terjadinya talak bidi, Pengadilan Agama sebaiknya menunda sidang ikrar talak, apabila si isteri dalam keadaan haid kecuali bila isteri rela dijatuhi talak. m) Untuk keseragaman amar putusan cerai talak yang diajukan oleh suami yang riddah (keluar dari agama Islam) sebagaimana tersebut dalam huruf b) di atas berbunyi : Menjatuhkan talak satu bain shughra Pemohon (nama .. bin ...) terhadap Termohon (nama binti ). 2) Cerai Gugat

a) Cerai gugat diajukan oleh isteri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. b) Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani Pasal 73 s/d Pasal 86 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975. c) Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah isteri, mufah, nafkah iddah dan harta bersama. d) Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama. e) Dalam perkara cerai gugat, isteri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975. f) Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang isterinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz (ex Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). g) Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami yang jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata per bulan, untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiah, nafkah iddah dan nafkah anak. h) Cerai gugat atas alasan taklik talak harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara gugat cerai atas alasan taklik talak, agar selaras dengan format laporan perkara. i) Dalam hal Tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus dengan verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat. j) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat, kecuali cerai gugat atas alasan taklik talak dan khuluk berbunyi : Menjatuhkan talak satu bain shughra Tergugat (nama .. bin ) terhadap Penggugat (nama .. binti ). k) Amar putusan cerai gugat atas dasar alasan pelanggaran taklik talak berbunyi : Menetapkan jatuh talak satu khuli Tergugat (nama . bin .) terhadap Penggugat (nama . binti .) dengan iwadh sebesar Rp. (Tulis dengan huruf). 3) Talak Khuluk

a) Talak khuluk ialah gugatan dari isteri untuk bercerai dari suaminya. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat.

b)

Untuk keseragaman, amar putusan talak khuluk berbunyi :

Menjatuhkan talak satu khuli Tergugat (nama .. bin ) terhadap Penggugat (nama .. binti ) dengan iwadh uang sebesar Rp. .. ( tulis dengan huruf), dan atau dengan iwadh berupa rumah atau benda lainnya. 4) Syiqaq

a) Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar alasan cekcok terus menerus ex Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditambah Pasal 116 KHI, Pengadilan Agama harus memedomi Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dilakukan pembuktian saksi kemudian didengar keterangan keluarga atau orang dekat suami isteri. Keterangan keluarga atau orang dekat dari suami dan isteri bila difungsikan sebagai bukti, harus disumpah. b) Gugatan atas alasan syiqaq harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara syiqaq, bukan perubahan dari gugat cerai atas dasar cekcok terus menerus yang kemudian dijadikan perkara syiqaq. c) Pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar syiqaq harus berpedoman pada Pasal 76 UU Peradilan Agama yaitu memeriksa saksi-saksi dari keluarga atau orang-orang dekat dengan suami isteri, setelah itu Pengadilan Agama mengangkat keluarga suami atau isteri atau orang lain sebagai hakam. Hakam melakukan musyawarah, hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama sebagai dasar putusan. d) Hasil musyawarah hakam dapat dijadikan bukti awal oleh Majelis Hakim di dalam menjatuhkan putusan. e) Untuk keseragaman, amar putusan cerai dengan alasan syiqaq berbunyi :

Menjatuhkan talak satu bain shughra Tergugat (nama .. bin ) terhadap Penggugat (nama .. binti ). 5) Lian

a) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan isteri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina. b) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak yang diajukan suami atas dasar alasan isteri berzina, dapat dilakukan berdasar hukum acara sebagaimana tersebut dalam huruf a di atas atau dengan cara lian (ex Pasal 87 88 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009).

c) Proses pemeriksaan cerai talak dengan lian setelah Pemohon dan Termohon melakukan jawab menjawab, dilakukan proses pembuktian. Bila tidak diketemukan alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR jo Passal 284 RBg selain bukti sumpah, Pengadilan Agama menanyakan suami apakah akan melakukan sumpah lian. Apabila suami menghendaki untuk mengucapkan sumpah lian, maka Pengadilan Agama memerintahkan suami mengucapkan sumpah lian sebanyak empat kali yang berbunyi : Demi Allah saya bersumpah bahwa isteri saya telah berbuat zina dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : Saya siap menerima laknat Allah bila saya berdusta setelah suami disumpah, Pengadilan Agama menanyakan kepada isteri apakah ia bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), bila isteri bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), Pengadilan Agama memerintahkan isteri untuk mengucapkan sumpah sebanyak empat kali yang berbunyi : Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina, dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : Saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta. d) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat atas dasar alasan zina berbunyi :

Menjatuhkan talak satu bain shughra Tergugat (nama .. bin ) terhadap Penggugat (nama .. binti ). e) Amar putusan cerai talak dengan alasan lian berbunyi :

Menjatuhkan talak satu bain kubra Pemohon (nama .. bin ) terhadap Termohon (nama .. binti ). Demikian juga prosedur penyelesaian perkara hak-hak anak harus berdasarkan ketentuanketentuan hukum acara perdata umum dan ketentuan khusus yang terdapat di dalam Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut : 1) Perkara Asal-usul Anak a) Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab lian. b) Di samping, pengingkaran anak sah dapat pula dilakukan perbuatan hukum sebaliknya, yaitu pengakuan anak dimana seseorang dapat mengakui seorang anak sebagai anaknya yang sah. c) Pengadilan Agama dalam proses penyangkalan dan pengakuan anak, harus mempedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Suami mengajukan gugatan penyangkalan anak kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana pihak Tergugat bertempat tinggal.

(2) Proses pemeriksaan perkara penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah dapat dilakukan dengan cara proses lian. (3) Proses lian dimaksud dalam angka (2) dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut : (a) Jika anak lahir sebelum masa 180 hari sejak hari perkawinan dilangsungkan, kecuali anak tersebut hasil hubungan suami isteri sebelum dilakukan perkawinan. (b) Jika suami dapat membuktikan bahwa anak yang berusia 180 hari atau lebih yang dikandung isterinya, atau anak yang dilahirkan bukan anaknya yang sah, karena dia dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan hubungan biologis dengan isterinya. (4) Gugatan penyangkalan anak yang tidak dilakukan dengan acara lian, dilakukan dengan pembuktian biasa. (5) Gugatan penyangkalan anak diajukan selambat-lambatnya 2 bulan setelah anak dilahirkan, jika Penggugat bertempat tinggal dalam daerah dimana anak dilahirkan atau selambat-lambatnya 2 bulan sejak diketahui kelahiran anak tersebut dalam hal Penggugat berada di luar daerah dimana anak tersebut dilahirkan atau dalam hal kelahiran anak tersebut disembunyikan. (6) Pengakuan anak dapat diajukan secara voluntair dan dapat juga diajukan secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana anak atau wali anak bertempat tinggal. (7) Permohonan pengakuan anak yang tidak di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, bersifat volunter. (8) Permohonan pengakuan yang berada di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, bersifat kontensius. (9) Permohonan dan gugatan pengakuan anak selambat-lambatnya diajukan 6 bulan sejak anak tersebut ditemukan. (10) Amar putusan penyangkalan anak berbunyi :

Menyatakan anak bernama .. umur/ lahir bertempat tinggal di .. bukan anak sah dari Penggugat. (11) Amat permohonan pengakuan anak secara voluntair berbunyi :

Menetapkan anak bernama .. umur/ lahir bertempat tinggal di .. adalah anak sah dari Pemohon nama bin/ binti ... (12) Amar putusan gugatan pengakuan anak secara kontensius berbunyi :

(a) Menetapkan anak bernama umur/ lahir bertempat tinggal di .. adalah anak sah Penggugat nama bin/ binti ... (b) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat. (13) Pengadilan Agama paling lambat satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap mengirimkan salinan putusan tersebut kepada kantor Catatan Sipil dalam daerah dimana anak tersebut bertempat tinggal untuk didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan untuk anak itu. 2) Perkara Pemeliharaan Anak (Hadlonah) a) Nafkah anak merupakan kewajiban ayah, dalam keadaan ayah tidak mampu, ibu berkewajiban untuk memberi nafkah anak. Oleh karena nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu, maka nafkah lampau anak tidak dapat dituntut oleh isteri sebagai hutang suami. Tegasnya tidak ada nafkah madhiyah untuk anak. b) Pemeliharaan anak pada dasarnya untuk kepentingan anak, baik untuk pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agamanya. Oleh karenanya, ibu lebih layak dan lebih berhak untuk memelihara anak di bawah usia 12 tahun. c) Pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun dapat dialihkan pada ayahnya, bila ibu dianggap tidak cakap, mengabaikan atau mempunyai perilaku buruk yang akan menghambat pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agama si anak. d) Pengalihan pemeliharaan anak tersebut dalam huruf c di atas, harus didasarkan atas putusan Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan orang tua jika anak tersebut oleh Pengadilan Agama telah ditetapkan di bawah asuhan isteri. e) Pencabutan kekuasaan orang tua dapat diajukan oleh orang tua yang lain, anak, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung dan pejabat yang berwenang (jaksa). f) Untuk keseragaman, amar putusan permohonan pemeliharaan anak berbunyi :

Menetapkan anak bernama .. bin, binti umur tahun/ tanggal lahir .. berada di bawah hadhanah. g) Dalam hal hadhanah dimintakan pencabutan ke Pengadilan Agama, maka amarnya berbunyi : (1) Mencabut hak hadhanah dari Termohon (nama binti .). (2) Menetapkan anak bernama bin/ binti . berada di bawah hadhanah Pemohon (nama . bin/ binti .).

3) Perkara Perwalian Anak a) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali yang ditunjuk dengan wasiat oleh orang tua, sebelum orang tua si anak tersebut meninggal, baik secara tertulis atau lisan yang disaksikan oleh dua orang saksi atau wali yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama karena kekuasaan kedua orang tua dicabut. b) Dalam hal wali melalaikan kewajibannya terhadap anak, atau berkelakuan buruk sekali atau tidak cakap, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung, pejabat/ kejaksaan dapat mengajukan pencabutan kekuasaan wali secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana wali melaksanakan kekuasaan wali. c) Gugatan pencabutan wali dapat digabung dengan permohonan penetapan wali pengganti serta gugatan ganti rugi terhadap wali yang dalam melaksanakan kekuasaan wali menyebabkan kerugian terhadap harta benda anak di bawah perwalian (ex Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). d) Amar putusan pencabutan wali berbunyi :

(1) Mencabut hak perwalian atas anak nama bin/ binti . umur/ lahir . dari Tergugat (nama bin/ binti ). (2) Menetapkan anak bernama bin/ binti . umur/ lahir . di bawah perwalian (nama . bin/ binti .). (3) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp. .. ( tulis dengan huruf). Kumulasi dan Rekonpensi Perkara Hak-hak Anak dalam Perkara Perceraian.

e. Komulasi dan Rekonpensi 1) Kumulasi

Kumulasi artinya pengumpulan. Pengumpulan dapat terjadi apabila ada lebih dari seorang Penggugat melawan seorang Tergugat atau seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat, disebut kumulasi subjektif. Bisa juga terjadi pengumpulan beberapa gugatan tidak dibolehkan dalam 3 hal, yaitu : a) Kalau untuk suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus seperti gugatan perceraian sedangkan tuntutan lain harus diperiksa menurut acara biasa (seperti gugatan tentang harta).

b) Apabila Hakim tidak berwenang untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lainnya. c) Tuntutan tentang Bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam suatu gugatan. Penggabungan perkara dapat dilakukan apabila ada koneksitas diantara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya, perlu dilihat dari sudut kenyataan atau fakta dan bila digabungkan akan mempermudah jalannya acara pemeriksaan serta dengan menghindari putusan yang saling berlawanan, menghemat tenaga, biaya dan waktu. a) Berdasarkan Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 78 UU Peradilan Agama, Kumulasi obyektif dalam praktek Pengadilan Agama dapat terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan sekaligus dengan tuntutan nafkah selama ditinggal, nafkah anak, pemeliharaan anak dan nafkah iddah. Obyek gugatan tersebut dapat dituntut sekaligus bersamaan dengan perkara gugatan cerai, karena hal ini akan memudahkan proses berperkara, menghemat waktu dan tenaga serta biaya. Obyek gugatan dalam perkara tersebut termasuk dalam kompetisi absolut Peradilan Agama dan dapat diperiksa sekaligus dalam acara khusus. 2) Rekonpensi Yang dimaksud dengan gugatan Rekonpensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat asli sebagai Penggugat Rekonpensi kepada Penggugat asli sebagai Tergugat Rekonpensi, dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka pasal 132 HIR dan Pasal 157 RBg membutuhkan gugat Rekonpensi kecuali dalam tiga hal : a) Penggugat dalam kualitas yang berbeda. Rekonpensi tidak boleh diajukan kepada Penggugat dalam kualitas yang berbeda. b) Pengadilan yang memeriksa Konpensi tidak berwenang memeriksa gugatan Rekonpensi. c) Dalam perkara mengenai pelaksanaan putusan Rekonpensi tidak pula dibenarkan mengenai pelaksanaan putusan Hakim, karena bukan lagi menyangkut penetapan hak, perkaranya sudah diputus hanya tinggal pelaksanaan hak, sebagaimana telah ditetapkan oleh hakim. Adanya lembaga gugat Rekonpensi ini bertujuan sebagai berikut : a) b) c) Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan. Mempermudah prosedur. Menghindarkan putusan yang saling bertentangan.

d) e) f)

Menetralisir tuntutan Konpensi. Menyederhanakan pemeriksaan. Menghemat biaya.

Gugat Rekonvensi dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama adalah bila seorang suami mengajukan perceraian kemudian pada saat diadakan pemeriksaan perkaranya, pihak isteri balik mengajukan gugatan tentang penguasaan anak dan menggugat biaya pemeliharaan serta pendidikan anak mereka (sesuai ketentuan Pasal 66 ayat 5 Undangundang Peradilan Agama), atau dalam kasus dengan posisi sebaliknya, dimana pihak isteri mengajukan gugatan cerai kemudian pada saat mulai diperiksa perkaranya suami balik mengajukan tentang penguasaan anak, menggugat harta bersama dan lain (Pasal 86 ayat 1 Undang-undang).

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalan Undang-Undang No.7 Tahun 1989.Peradilan agama berada dibawah Departemen Agama.Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama dijalankan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 1.Peradilan Agama a.Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan organ kekuasaan kehakiman dalam lingkulan peradilan agama yang berkedudukan di kota atau ibu kota kabupaten.Wilayah hokum Pengadilan Agama meliputi kota atau kabupaten.Susunan Pengadilan Agama terdari atas Pimpinan,Hakim,Panitera,Sekertaris dan Juru Sita.
1. Pimpinan

Pimpinan Pengadilan Agama terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua.Kepaniteraan terdiri atas Panitera,wakil panitera,beberapa orang panitera muda,beberapa orang panitera pengganti dan beberapa orang juru sita. Kepaniteraan
dipimpin oleh seorang panitera.Panitera Pengadilan merangkap sekretaris pengadilan.. Sesuai dengan undang-undang untuk menjadi pimpinan Pengadilan Agama diharuskan mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Agama. Sama seperti halnya pimpinan Pengadilan Agama, pimpinan Pengadilan Tinggi Agama juga terdiri dari seorang Ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya, maka untuk menduduki jabatan ketua haruslah memenuhi persyaratan yang pastinya lebih berat dari pada untuk wakil ketua.

Untuk menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama seseoang harus mempunyai pengalaman setidaknya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama. 2. Hakim Anggota Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama adalah sama. Perbedannya misalnya syarat-syarat untuk menjadi hakim agama haruslah beragama Islam sedangkan hakim Pengadilan Negeri tidak harus beragama Islam. Demikian juga dengan syarat pendidikan yaitu Sarjana Syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Sedangkan untuk persyaratan yang lain sama seperti yang terdapat didalam pasal 14 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 2004. Sedangkan persyaratan untuk menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama dengan Pengadilan Tinggi adalah sama, kecuali untuk pendidikan yang diisyaratkan sarjana syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Persyaratan yang dimaksud dapat kita lihat didalam pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 2004. sedangkan ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan hakim Pengadilan Tinggi Agama tidak berbeda dengan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan Umum. 3. Panitera Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi. 4. Sekretaris Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera. 5. Juru Sita Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun

sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. b.Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas tertentu seperti tersebut pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang : 1) Perkawinan 2) Kewarisan 3) Wasiat 4) Hibah 5) Wakaf 6) Zakat 7) Infaq 8) Shodaqoh 9) Ekonomi Syariah

Wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa,memutuskan,dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam khususnya perkara di bidang perkawinan,kewarisan,wasiat,dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam wakaf dan sedekah.Bidang perkawinan,yaitu hal-hal yang diatur berdasarkan Undang-Undang perkawinan yang berlaku.Adapun kewarisan,yaitu berkaitan dengan siapa-siapa yang menjadi hak waris,penentuan harta peninggalan,penentuan bagian masing-masing ahli waris,dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

2.Pengadilan Tinggi Agama Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Agama yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan,hakim anggota,panitera,dan sekretaris.Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua.Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama dibantu oleh seorang wakil panitera,beberapa orang panitera muda,dan beberapa orang panitera pengganti.Adapun sekretaris Pengadilan Tinggi Agama dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris. Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Sebagaimana telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-perkara: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari'ah. Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding. 2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan administrasi peradilan lainnya. 3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim, Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya. 5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. 6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama. 7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan sebag

Undang-undang mengenai peradilan agama


1. 2. 3. 4. 5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 5pasal 108

You might also like