You are on page 1of 4

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda (1816-1942) Pada tahun 1816 Kerajaan Belanda berkuasa di Hindia Belanda berdasarkan Konvensi

London yang ditandatanagani pad a tanggal 13 Agustus 1814. Namun, penyerahan kekuasaan baru dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 1816. Isi Konvensi London anatara lain sebagai berikut. a.Semua bekas jajahan Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan kepada Belanda, kecuali Afrika Selatan, Ceylon, dan beberapa tempat di India. b.Akan dibentuk komisi yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal Elout, Buykes, dan Ver der Capellen. c.Pemerintah Belanda mendirikan Nederlandsche Handles Maatschappij, serikat dagang Belanda satu-satunya yang berhak mengekspor hasil bumi yang dihasilkan dari tanam paksa yang mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda dan Eropa. d. Belanda menerima kembali semua jajahannya dari tangan Inggris dan Inggris memperoleh wilayah India dari Belanda. Konvensi ini membawa perubahan bagi kekuasaan Belanda di Indonesia. Berdasarkan isi konvensi, Indonesia kembali dikuasai oleh Belanda. Belanda membuat Komisi Jenderal ntuk menerima penyerahan wilayah Hindia Belanda. Komisi Jenderal ini beranggotakan Van der Capellen,Elout,dan Buykes. Tugas Komisi Jenderal antara lain memperbaiki dan mengurus pemerintahan di Indonesia. A.Sistem Tanam Paksa (STP) Pada tahun 1830 pemerintah Kerajaan Belanda mengirimkan Van den Bosch ke Indonesia sebagai gubernur jenderal. Van den Bosch memiliki tugas pokok mendapatkan dana sebanyak-banyaknya untuk mengisi kas keuangan Negara Belanda uang kosomg. Van den Bosch mengusulkan kebijakan cultuurstelsel (siatem tanam paksa) pada tahun 1830. Kebijakan ini berdasar asumsi bahwa desa di Jawa berutang kepada pemerintah. Utang diukur senilai 40% dari hasil panen desa yang bersangkutan. Kebijakan ini menandai kembalinya system verplichte leveranties yang dijalankan pada masa VOC. Verlichte laveranties artinya kewajiban rakyat unutk menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang ditentukkan. Pada saat itu juga diberlakukan politik pintu terbuka,yaitu pemerintah Belanda membuka kesepatan kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Aturan Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.

Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.

Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.

Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan

Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat

Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda

Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa

Pada tahun 1854 di keluarkan Ragerings Regelment. Salah satu pasalnya berbunyi bahwa gubernur jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan uang akan ditetapkan dengan ordonasi. Kelompokliberal yang berperan sebagai pengusaha dan pemilik modal berada di belakang keluarnya undang-undang tersebut. Tujuannya agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumisebagai hak milik mutlak. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya penjualan tanah dan penyewaan tanah adapt dank as desa tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan. Pelaksanaan STP sarat dengan penyimpangan ketentuan dan penyelewegan jabatan. Penguasa memberlakukan cultuurprocenten, yaitu hadiah persenen bagi para pejabat yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak.Akibatnya, para pejabat semakin menekan penduduk sehingga beban penduduk semakin berat.

Dampak
1.Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dancengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

2.Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya. 3.Dalam bidang ekonomi Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunanperkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari. Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya kerja rodi yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunanpembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedunggedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

TUGAS IPS PERKEMBANGAN KOLONIALISME DI INDONESIA

NAMA KELOMPOK:1. 2. 3. 4.

ANDRI DWI ATMOJO EKA RATNA OKTARANI SOPIYATI WINDI ERISA FITRI

PEMERINTA KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS PENDIDIKAN DAN OLAHRAGA SMP NEGERI 1 SELONG T.H 2011/1012

You might also like