You are on page 1of 30

TEORI

MODERNISASI
 Struktural - Fungsionalisme adalah akar
dari teori modernisasi.
 Sosiolog memerlukan suatu “model” atau
perspektif (sudut pandang) yang dapat
“menyederhanakan” suatu masyarakat
untuk keperluan analisis
 Masyarakat pada hakekatnya adalah
merupakan suatu system yaitu suatu
satuan yang terdiri dari bagian-bagian
(sub system) yang saling terkait dan
memiliki saling ketergantungan
fungsional.
 Semua subsistem itu saling berhubungan
secara fungsional bukan demi
kepentingannya sendiri tetapi demi
keberlangsungan hidup dari system
Sebagai suatu system maka masyarakat
memiliki sifat-sifat sbb:

 Semua unsur didalam sistem sosial pasti memiliki


fungsi, bila tidak unsur itu pasti akan hilang
dengan sendirinya atau ditolak oleh sistem.
 Tugas sosiologi adalah menjelaskan keterikatan
atau hubungan fungsional antara suatu gejala
atau suatu unsur di masyarakat dengan unsur
lainnya
 Dengan analisis sistemik ini sosiologi akan dapat
menunjukkan apa yang akan terjadi (dampak) di
masyarakat bila suatu gejala dihapuskan.
Misalnya sejauhmana menghilangkan pelacuran
akan menyebabkan bertambahnya
pengangguran, meningkatnya angka perkosaan,
pelacuran terselubung dsb.
 Ini bukan berarti mencari pembenaran dari gejala
itu, tetapi mengidentifikasi sejauhmana gejala itu
terkait “secara fungsional” dengan berbagai
 Hubungan antar subsistem di masyarakat
menciptakan keteraturan sosial (social order)
yang sangat kuat, sehingga perubahan di dalam
suatu system selalu bersifat evolusioner (tidak
revolusioner), karena perlu mengalami proses
adaptasi dan penyesuaian secara sistemik.
 Proses perkembangan suatu system – seperti
halnya pada system biologis - akan mengikuti
pola yang sama (unilinear), yaitu berkembang
dari fungsi-fungsi yang sederhana menjadi
kompleks (terjadi proses diferensiasi structural).
 Pada dasarnya suatu sistem sosial selalu
berusaha mempertahankan stabilitas. Gejolak
didalam sistem sosial (social disorder)
memang bisa saja terjadi, tetapi system akan
beradaptasi untuk menciptakan suatu
keseimbangan baru (equilibrium).
 Kalau kerja suatu system biologis
dikoordinasikan oleh suatu system syaraf, maka
suatu sistem sosial selalu diikat oleh
kesepakatan nilai/norma (consensus).
 Pendekatan ini dikritik karena cenderung
mengutamakan kepentingan system dan
mengabaikan kepentingan subsistem (sampai
pada individu-individu dalam masyarakat).
 Pendekatan ini terlalu bersifat “pro kemapanan”,
anti revolusi, anti konflik, sehingga cenderung
menguntungkan golongan yang berkuasa.

Perspektif Fungsionalisme yang berjaya pada


dekade 50-an inilah yang memberikan insiprasi
bagi munculnya aliran pembangunan yang
disebut sebagai “aliran modernisasi”.
Teori-teori yang berkiblat pada aliran
modernisasi.
Sebagai aliran pemikiran yang berakar pada perspektif fungsionalisme, maka
aliran modernisasi memiliki ciri-ciri dasar antara lain:” Sumber perubahan
adalah dari dalam atau dari budaya masyarakat itu sendiri (internal
resources) bukan ditentukan unsur luar.”

David Mc Clelland: “Teori Motivasi Berprestasi”


 Berusaha mendapat jawaban mengapa beberapa bangsa menunjukkan suatu
prestasi yang tinggi (Inggris, Negara-negara Eropa Barat dsb.), sedang
bangsa lain menunjukkan prestasi yang rendah dalam banyak hal.
 Dalam penelitiannya dia menemukan bahwa bangsa yang berprestasi
memiliki “need for achievement” (n-ach) yang tinggi, sementara bangsa
lain ada yang lebih mengutamakan “need for power” (suka bertarung
untuk memperoleh kekuasaan), misalnya suku-suku di Afrika yang selalu
berperang antar sesamanya. Ada juga bangsa yang menonjol dalam “need
for affiliation” yaitu lebih mengutamakan pertemanan dan kebersamaan
 Mc Clelland ingin menemukan factor apa yang membuat bangsa Inggris
menjadi bangsa yang paling suka bertualang dan banyak berprestasi
sehingga dapat mengusasi dunia serta menguasai lautan (Britannia rules
the waves!).

Hasil penelitian Mc Clelland: Anak Inggris
ternyata memperoleh penanaman nilai
bertualang dari dongeng-dongeng ibunya. Nilai-
nilai keberanian bertualang, mencari sesuatu
yang baru, berani menanggung resiko telah
membuat bangsa ini menjadi bangsa yang
memiliki “kewiraswastaan” (entrepreneurship)
tinggi.
 Mc Clelland percaya bahwa nilai-nilai ini
merupakan semacam “virus mental”. Virus ini
ternyata dapat ditularkan pada orang lain melalui
suatu pelatihan dan melalui cerita-cerita
petualangan pada anak-anak.
 Jadi, inti dari teori Mc Clelland adalah:
modernisasi merupakan masalah system nilai
kewiraswastaan, nilai ini memang banyak
terdapat pada masyarakat Barat yang maju,
tetapi menurut teori dapat pula disebarkan pada
bangsa–bangsa lain, maka yang paling penting
dalam pembangunan adalah menanamkan nilai-
Tokoh lain adalah Alex Inkeles (1969,
1983), dalam teorinya:”Manusia
Modern”
 Ia mendefinisikan kondisi modern

sebagai suatu bentuk peradaban


manusia yang berkembang sekitar
abad 19 sampai sekarang di
beberapa negara atau bangsa
tertentu (terutama Eropa dan
Amerika).
 Manusia modern menurut Inkeles

memiliki beberapa ciri pokok yang


 Sikap membuka diri pada hal-hal yang baru.
 Tidak terikat (bebas) terhadap ikatan institusi
maupun penguasa tradisional.
 Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan
 Menghargai ketepatan waktu
 Melakukan segala sesuatu secara terencana

 Institusi yang paling efektif mengembangkan


nilai-nilai modern menurut Inkeles adalah
institusi sekolah dan industri.
 proses modernisasi adalah proses homogenisasi budaya dunia.
(“Eropanisasi atau Amerikanisasi”). Masyaralat Dunia
Ketiga hanya mencontoh (akulturasi) atau melakukan
“cultural borrowing” (westernisasi).
 Para tokoh teori modernisasi sering menarik suatu
dikotomi antara kebudayaan yang terbelakang (budaya
masyarakat Dunia Ketiga) dengan kebudayaan maju (Dunia
Barat).
 Talcott Parsons mengajukan suatu teori bahwa di masyarakat
dunia terdapat kebudayaan tradisional dan kebudayaan
modern. Ciri dari masing-masing budaya tersebut adalah sbb:
 Masyarakat Tradisional bersifat “partikularistik” artinya
memperlakukan orang-orang tertentu (misalnya kerabat)
dengan kriteria khusus. Kebudayaan modern sebaliknya
bersifat “universalistik” yaitu menggunakan kriteria yang
sama (universal) untuk setiap orang (tidak pandang bulu).
 Orang tradisional selalu mengandalkan pada “status” yang
didapat berdasar keturunan (askriptif) sementara orang
modern lebih mengandalkan pada status yang diperolehnya
sendiri (achievement oriented).
 Orang tradisional cenderung melibatkan perasaan
(afeksi) sehingga keputusan yang dibuat sering
tidak obyektif. Sebaliknya orang modern
cenderung bersikap “affective neutral” yaitu tidak
melibatkan perasaan sehingga bersikap lebih lugas.
 Orang tradisional cenderung bersikap mencampur-
adukan semua urusan (diffused) misalnya urusan
dinas atau bisnis dengan urusan pribadi. Orang
modern sebaliknya menggunakan prinsip
“specificity” yaitu membedakan secara spesifik
setiap urusan (misalnya “business is bussines”).
 Orang tradisional lebih mementingkan
kelompoknya daripada dirinya sendiri (collective
orientation), orang modern mendahulukan
kepentingan pribadi, baru kepentingan kelompok
(self orientation).
 Parsons mengatakan bahwa proses modernisasi
bersifat maju kedepan (progresif), yaitu membawa
orang tradisional menjadi modern, intinya adalah
menjadi lebih rasional. Karena itu tradisi yang tidak
modern perlu ditransformasikan menjadi modern.
Proses transformasi ini tidak bisa berlangsung secara
revolusioner
 Tidak berarti bahwa semua masyarakat maju tidak
memiliki sikap tradisional. Disamping itu beberapa
sikap tradisional sering juga bersifat positif,
tergantung dari konteks dan proporsinya.
Proses Modernisasi sebagai proses bertahap
dan membutuhkan waktu panjang
ditunjukkan pula oleh W.W. Rostow dalam
teorinya “The Stages of Growth”
Pertumbuhan ekonomi menurut Rostow
akan selalu mengikuti tahapan sbb:
 Masyarakat tradisional

 Prakondisi Tinggal landas

 Tahap Tinggal landas

 Kematangan Pertumbuhan

 Masyarakat konsumsi massa yang tinggi.

 Teori Rostow ini amat populer pada tahun


60 -70an dan dianggap sebagai suatu
patokan untuk mengukur perkembangan
suatu bangsa. Rezim Orba juga menganut
teori ini sehingga Soeharto menyusun
Dampak aliran Modernisasi.
Selama bertahun-tahun berbagai teori yang
berada dibawah payung aliran pemikiran
Modernisasi telah dijadikan pedoman bagi
proses pembangunan terutama di dunia
Ketiga. Paradigma ini telah menghasilkan
implikasi terhadap kebijakan Pembangunan
di Dunia sebagai berikut:

 Nilai-nilai modern harus dijadikan pedoman


bersama seluruh bangsa di dunia karena
nilai ini dianggap mampu menghasilkan
peradaban yang di cita-citakan umat
manusia.
 Eropa dan AS harus dijadikan pedoman
dalam proses modernisasi dan
pembangunan, jadi Dunia Ketiga harus
belajar dan bekerjasama (bukan berkonflik)
dengan negara-negara “Barat” (yang nota
bene adalah blok Kapitalis-Kolonialis).
 Ideologi komunisme dan sosialisme dianggap
berbahaya, anti modernisasi dan tidak sesuai
dengan logika pembangunan, karena itu harus
dilawan atau dihindari.
 Hal ini amat sejalan dengan tujuan politis Negara-
negara Barat yang “dikomandani” oleh Amerika
Serikat untuk memenangkan pengaruh dalam
“Perang Dingin” melawan blok “Timur” yang
dipimpin Uni Soviet.
 Dengan demikian teori modernisasi bukan hanya
berbobot ilmiah, tetapi juga bisa digunakan
sebagai pembenaran ideologis dan politis bagi
Negara blok Barat.
 Tradisi masyarakat di Dunia Ketiga dianggap
menghambat pembangunan dan harus digantikan
oleh nilai-nilai modernisasi yang lebih rasional.
 Akan tetapi penanaman nilai modern ternyata
tidak mudah (terutama dalam proses
pembangunan ekonomi yang tidak
memberdayakan), sehingga masyarakat Dunia
Ketiga hanya mampu melakukan peniruan-
peniruan yang dangkal (cultural borrowing)
terhadap unsur budaya Barat (proses westernisasi)
bukan penanaman nilai modern yang sebenarnya.
Keadaan ini telah banyak mencerabut akar budaya
 Negara-negara Dunia Ketiga terseret
kedalam model pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan dan mengabaikan
potensi tradisi lokal yang positif.
 Dominasi Barat dalam segala bidang menjadi
suatu bentuk penjajahan baru terutama dalam
bidang budaya dan ekonomi (neo
kolonialisme dan imperialisme).
Kritik terhadap Aliran Modernisasi.
Teori-teori Modernisasi yang amat populer sekitar
th 50 sampai 70 an, akhirnya menuai kritik yang
cukup banyak dan mendasar antara lain:
 Menurut teori ini, melalui proses modernisasi
masyarakat Dunia Ketiga akan berkembang dari
keterbelakangan menuju kondisi seperti yang ada
dalam masyarakat modern. Hal ini dikatakan
sebagai “ahistoris” (tidak sesuai dengan sejarah)
karena secara historis masyarakat Barat tidak
pernah mengalami situasi “terjajah” seperti yang
yang dialami oleh masyarakat Dunia Ketiga.
 Jadi teori ini tidak berpijak pada landasan empiris
(sejarah masyarakat Dunia Pertama berbeda
dengan sejarah masyarakat Barat).
 “Kerusakan Budaya” yang dialami oleh
masyarakat post-colonial justru dihasilkan oleh
penjajahan, ini menyebabkan mereka sulit untuk
mengadopsi nilai-nilai modern yang amat rasional
seperti yang dimiliki oleh masyarakat Barat.
 Nilai-nilai modern yang amat rasional ternyata dapat juga
menciptakan kondisi ”dehumanisasi”. Industri yang terlalu
padat teknologi telah memaksa buruh bekerja dengan
menyesuaikan diri terhadap irama kerja mesin (misalnya
dalam sistem ban berjalan).
 Karl Marx mengatakan bahwa dalam situasi yang seperti itu
buruh mengalami alienasi (keterasingan), suatu keadaan
dimana manusia kehilangan kontrol (tidak mengenal) produksi
yang dihasilkannya sendiri. Bahkan mereka juga kehilangan
kesadaran tentang hakekat kemanusiaannya (menjadi sekedar
alat produksi bukan manusia yang berkarya).
 Aliran modernisasi menekankan pentingnya nilai-nilai cultural
(endogenous factor) sebagai penentu kemajuan suatu bangsa
sementara itu faktor struktural (seperti peraturan, kebijakan
terutama yang berlaku pada masa penjajahan) tidak dianggap
sebagai factor yang menghambat.
 Dengan kata lain, penindasan dan ketidak adilan yang
disebabkan oleh pihak luar (exogeneous factor) justru tidak
dipermasalahkan.
Teori Dependensia.
Teori Dependensia muncul sebagai kritik dan
alternatif dari teori Modernisasi.
Pendekatan ini berakar dari sudut pandang yang
berlawanan
dengan fungsionalisme yaitu perspektif konflik.
Perspektif
Ini memiliki ciri pemikiran sebagai berikut:

 Setiap individu pada dasarnya memiliki


“individual self interests” yaitu kepentingan
atau kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat
“survive” di masyarakat. Menurut Karl Marx
kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan
materi, sementara Max Weber melihat ada tiga
kebutuhan dasar yaitu : materi, kekuasaan dan
status sosial. Semua orang memperebutkan
 Di dalam perebutan itu suatu pihak (individu
maupun kelompok) akan menang dan yang lain
terkalahkan. Kelompok yang menang akan
berusaha mempertahankan, memantapkana dan
melestarikan posisinya dengan menciptakan
system dominasi. Namun pihak yang kalah
akan selalu berusaha melepaskan diri dari
dominasi tersebut.
 Terbentuknya stratifikasi atau pelapisan sosial
di setiap masyarakat dipandang oleh perspektif
fungsionalis sebagai sesuatu yang “fungsional”
(perlu) untuk memberikan penghargaan yang
lebih tinggi pada seseorang atau kelompok yang
memiliki kemampuan yang lebih tinggi sehingga
mau menjalankan fungsi yang “penting tetapi
berat” di dalam masyarakat (stratifikasi sebagai
reward system).
 Sedangkan bagi perspektif konflik stratifikasi
sosial adalah sumber ketidak adilan dan
merupakan alat eksploitasi bagi kelompok yang
kuat terhadap yang lemah, karena orang yang
Berbasis pada perspektif ini, aliran
dependensia berpandangan bahwa
aliran modernisasi tidak akan dapat
mensejahterakan masysarakat Dunia
Ketiga karena aliran ini
mempertahankan statusquo
kelompok yang berkuasa (yaitu
Negara maju yang kapitalistik dan
imperialis). Inti pokok aliran ini
adalah:
 Masyarakat di dunia ini pada
awalnya terdiri dari masyarakat yang
maju (developed) yang ditandai
dengan kemampuan teknologi yang
canggih dan peradaban yang tinggi
dan kompleks. Kelompok kedua
 Andre Gunder Franks mengatakan
bahwa keadaan “undeveloped” baru
menjadi “underdeveloped” ketika
masyarakat itu kontak dengan negara
maju (developed) dan terjadi penjajahan
dan ketergantungan.
 Dalam kondisi “undeveloped” suatu
masyarakat masih memiliki kemandirian
dan kebebasan untuk berkreasi (selama
350 tahun dalam penjajahan Belanda,
orang Jawa mengalami kemandekan
bahkan degradasi budaya). Clifford
Geertz mengamati terjadinya “involusi
pertanian” yaitu system pertanian
yang mampu menampung penambahan
tenaga kerja yang ada tetapi
“penambahan produktivitasnya”
semakin menurun.
 Jadi selama penjajahan terjadilah
proses “underdevelopment”
dalam masyarakat Jawa. inilah
yang disebut oleh Gunder Franks
sebagai “development of
underdevelopment”
(1969).Masyarakat Jawa misalnya
mengembangkan system budaya
yang dapat membantu mereka
menghadapi penderitaan dan
penindasan oleh penjajah dengan
“rasa bahagia”. Kebudayaan ini
 Gunder Frank menyebutkan negara
maju sebagai negara “Center” (pusat
aktivitas pasar dunia). Negara terjajah
sebagai negara “periphery” (pinggiran)
atau satelit, yaitu negara yang
walaupun terlibat (dalam penyediaan
bahan mentah), namun tidak ikut
langsung dalam perdagangan dunia.
 Melalui kolonisasi, negara “center”
menugaskan Negara jajahan untuk
menanam komoditi pertanian yang laku
dipasar dunia. Negara penjajah yang
melakukan perdagangan,
 Industri pengolah bahan dasar juga
hanya tersedia di Negara maju sehingga
negara terjajah hanya menerima
barang jadi.
 Sistem perdagangan yang tidak
 Perkembangan aliran Dependensia telah
menggeser popularitas aliran modernisasi,
keadaan ini memaksa pendukung aliran
modernisasi untuk mengkoreksi diri,
antara lain mencoba mengidentifikasi nilai
tradisional di Negara eks jajahan yang
memiliki potensi mendorong kemajuan
ekonomi, dengan demikian mereka
menyangkal pandangan lama bahwa
tradisi masyarakat dunia Ketiga tidak
rasional, menghambat pembangunan dan
modernisasi
Kritik terhadap Dependensia :
 Tidak selalu terjadi stagnasi di Dunia III
sebagai akibat dari hubungannya dengan
negara maju. Singapura, Taiwan, Korea adalah
contoh dari negara-negara yang berhasil maju
dan mendekati kondisi masyarakat dunia maju
sehingga dijuluki sebagai “little dragons” atau
“Asian tigers”.
 Konsep dikotomis antara “Center vs
Periphery” juga perlu ditinjau lagi, karena
banyak negara yang kini berada diantara
keduanya (semi-periphery?).
 Circulationism (inequality of exchange) tidak
lagi bersifat mutlak, karena industri kini
tersebar di berbagai negara dunia ketiga.
 Berkembangnya negara kelas menengah telah
merubah pola dependensia sehingga bisa
dipertanyakan:”apakah pendekatan konflik masih
merupakan satu-satunya cara untuk mengejar
ketertinggalan negara Dunia Ketiga terhadap dunia
maju?”. Pendekatam “structural transformation”
melalui konflik bersenjata seperti direkomendasikan
aliran dependensia kini telah digantikan oleh
pendekatan “structural adjustment” yang lebih
mengandalkan perbaikan mekanisme pengaturan
birokrasi yang bersifat damai.
 Dengan berkembangnya variasi perkembangan dunia
Ketiga, maka nampaknya perlu dibuat penggologan
baru dari Negara Dunia Ketiga. Budaya dan perilaku
ekonomi masyarakat Kapitalis dan Pra-Kapitalist
tidak dapat lagi di- dikotomikan secara sederhana,
tetapi harus dipelajari secara kasuistik.
 Melihat kondisi diatas, nampaknya masalah
keberhasilan pembangunan tidak hanya
tergantung dari hambatan structural tetapi pada
derajat tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi
dan perkembangan budaya masyarakat
setempat, misalnya di dalam kondisi structural
yang sama di dunia saat ini, mengapa bangsa
Indonesia tidak dapat maju secepat Malaysia
bahkan Vietnam? Kita perlu menelaah
perkembangan dan kelemahan-kelemahan
yang terkandung dalam budaya masyarakat
kita. Ini berarti aliran Modernisasi belum mati!
Kritik dari kelompok “Culture
Centred”
 Aliran Dependensia yang terlalu menekankan factor
struktural, dan mengutamakan pendekatan
konfrontatif, akhir-akhir ini juga mendapat kritik
tajam dari kelompok ilmuwan asal Amerika Latin
seperti Rangel, Revel, Mendoza, Alvaro, Montaner,
Harrison dsb. yang kembali mempersoalkan
pentingnya faktor-faktor kultural ( “culture centred
“). Mereka mengatakan keterpurukan Amerika Latin
bukan hanya karena imperialisme (misalnya: Fidel
Castro, Che Guevara, Fernando Cardoso, Gustavo
Gutierrez dsb.). Rangel dan pendukungnya
berargumentasi bahwa yang membuat masyarakat
Amerika Latin tidak maju ada “dikepala” mereka
sendiri.
 Telah terjadi “New International Division of
Labor” dimana negara maju menangani
industri bidang informasi dan komunikasi,
sementara negara dunia Ketiga industri
manufaktur. Negara Dunia Ketiga yang
memiliki sumberdaya manusia terdidik dan
memiliki budaya kerja yang “modern” seperti
Taiwan, Korea, Malaysia dan Singapura
mendapat kepercayaan untuk memproduksi
teknologi tinggi dan bebas polusi (microchips,
otomotif, computer dan IT) walaupun dengan
“licence” negara maju (Cardoso menyebutnya
sebagai “dependent development” (Negara itu
mengalami kemajuan secara ekonomi dan
industri tetapi tetap tergantung pada Negara
maju).

You might also like