You are on page 1of 16

OKULTISME DAN AGAMA SUKU[1]

Stanley R. Rambitan[2] Pendahuluan Kehidupan masyarakat saat ini, baik di Indonesia maupun global, diwarnai oleh banyaknya paham dan praktek keagamaan. Di Indonesia, agama-agama yang ada itu terdiri dari beberapa corak, yaitu: Pertama, agama-agama umum dan konvensional, seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen; kedua, agama (dan budaya-adat) yang masih dianut dan dipraktekkan di dalam masyarakatsuku tertentu, seperti Parmalim (Batak), Kaharingan (Dayak), Marapu (Sumba) dan Kejawen (Jawa); ketiga, agama atau gerakan-gerakan keagamaan yang menekankan spiritualitas atau keagamaan oribadi (atau agama diri, the religion of the Self), atau kelompok yang digolongkan ke dalam gerakan zaman baru (New Age Movement), seperti (yang di Indonesia) Brahma Kumaris, Anand Ashram, dan kelompok-kelompok Yoga; keempat, aliran keagamaan yang berakar pada agama suku/ asli Indonesia dan agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, yaitu aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan (seperti Pangestu, Sumarah, Sapta Dharma dan Subud); kelima, aliran keagamaan yang dianggap sesat oleh mayoritas penganut agamanya, seperti yang muncul dari dalam Islam misalnya Kerajaan Eden (Lia Eden) dan Satrio Piningit Wedang Buwono; sedangkan yang muncul dari dalam agama Kristen seperti Children of God dan Satanic Church. Dari dalam umat agama atau aliran keagamaan di atas, beredar paham dan praktek yang berdasarkan kepercayaan kepada adanyaalam supranatural atau alam lain yang tidak tampak dengan mata, serta adanya mahluk-mahluk supranatural (atau mahluk halus) yang memiliki kekuatan atau kesaktian, atau juga adanya mahluk asing yang berasal dari alam semesta lain. Di dalam alam ini terdapat baik oknum atau sosok kuat dan sakti atau sosok satanik, dan energi atau kekuatan yang tidak kelihatan namun dapat berpengaruh (baik atau buruk) kepada manusia dan yang dimanfaatkan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk itu, misalnya sosok atau mahluk halus seperti hantu atau setan, roh atau arwah, jin, tuyul, mayat hidup (Zombie), benda-benda yang dipercayai memiliki kesaktian, atau benda-benda yang menjadi tempat berdiam mahluk halus. Paham dan praktek kepercayaan inilah yang saat ini disebut sebagai Okultisme. Pembahasan yang lebih lengkap tentang Okultisme akan diberikan di bagian selanjutnya. Okultisme: Arti, Keberadaan dan Perkembangannya Kata Indonesia Okultisme dibentuk dari kata Inggris Occultism dan Perancis Occultisme, yang berasal dari kata Latin Occultus, artinya yang tersembunyi, yang tidak kelihatan, rahasia atau misteri;juga berarti yang di luar atau melampaui alam atau natur, karena itu ia di sebut juga yang supra-natural. Dari pengertian asal katanya itu, Okultisme lalu didefinisikan sebagai paham atau kepercayaan terhadap alam supranatural, atau yang misterius, rahasia atau yang gaib, dengan berbagai sosok gaib dan misterius, yang diikuti oleh berbagai ritual atau ritus dengan tujuan tertentu. Bahwa di balik kenyataan hidup yang kelihatan ini, ada dunia atau oknum atau hal-hal yang tidak kelihatan, tetapi yang dapat mempengaruhi hidup manusia yang nyata; dan bahwa hal-hal misterius itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Kata okultisme diduga dipergunakan untuk pertama kali oleh seorang Perancis, yaitu Eliphas Levi (1810-1875) dengan istilahoccultisme. Kemudian seorang Inggris, yaitu A.P. Sinnet (1881) menggunakan

istilah occultism. (Kata Indonesia okultisme tampaknya berasal dari kata Inggris tersebut). Setelah pengunaan di Perancis dan Inggris itu, istilah Okultisme mulai banyak digunakan. Tahun 1940-an mulai menjadi topik yang marak dibicarakan dan tahun 1951, kata itu dimasukkan sebagai salah satu kata dalam Encylopedia of Religion and Ethics. Di dalam masyarakat Barat, khususnya Eropah, yang dipengaruhi oleh rasionalisme dan ilmu pengetahuan, khususnya setelah masa renaisans dan kebangkitan, Okultisme dikembangkan lebih ke arah sebuah ilmu atau menjadi ilmu dan seni. Karena itu, di tempat munculnya pembahasan yang serius dan sistematis tentang Okultisme, atau di Eropah, pada masa-masa awal, yaitu mulai sekitar akhir tahun 1600-an, Okultisme diakui dan dikelompokkan sebagai ilmu dan seni. Ketika itu Okultisme dibahas di dalam bidang Esoterisme (serupa ilmu kebatinan), yaitu paham atau ajaran dan ilmu tentang hal-hal yang tersembunyi atau rahasia atau misterius di dalam alam ini. Hal-hal itu hanya dapat dipahami oleh orang tertentu atau yang memiliki pengetahuan khusus. Misalnya, astrologi-horoskop dan al-kimia (seperti membuat logam biasa menjadi emas). Namun tahun 1700-an, Okultisme tidak lagi diakui sebagai ilmu oleh para ilmuan di Perancis. Ini dipengaruhi oleh rasionalisme absolut dan ilmu pengetahuan yang mulai berjaya ketika itu. Okultisme kemudian terpinggirkan dan mengalami kemandekan sebagai ilmu dan seni, dan apalagi Okultisme sebagai unsur/agama. Sebagai agama, Okultisme, sebagaimana juga agama Kristen, tidak sanggup menjawab tantangan rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Okultisme baru muncul lagi sebagai ilmu, seni dan agama ketika masa revolusi industri di Eropah abad 18/19. Ternyata rasio dan ilmu pengetahuan dan agama institusional, dalam hal ini, Kristen, tidak dapat menjawab berbagai kebutuhan spiritual/batin manusia. Kemajuan industri dan kemakmuran hidup tidak memberikan kepuasan batin kepada manusia; kebutuhan batin ini yang kemudian diusahakan dipenuhi melalui paham-paham dan usaha-usaha pencarian, penemuan dan penyatuan dengan hal-hal atau sosok-sosok yang bersifat gaib/supranatural atau yang rahasia atau misterius. Dengan begitu, di Eropah, Okultisme, baik sebagai ilmu, seni dan agama, kemudian tumbuh dan berkembang lagi sampai saat ini. Namun, Okultisme di Eropah saat ini lebih berkaraktek agama atau seni pengolah batin atau spiritualitas untuk kesempurnaan diri. Karena itu, bentuk Okultisme seperti Yoga sangat digemari. Di dalam masyarakat barat yang lain, yaitu Amerika, khususnya Amerika Utara (USA dan Kanada), Okultisme muncul dan berkembang pesat di saat yang Eropah terpinggirkan, yaitu mulai sekitar tahun 1700-an. Namun Okultisme di Amerika itu berkembang ke arah yang lebih bersifat keagamaan; belum menjadi paham yang dikembangkan sebagai seni dan ilmu. Di Amerika, Okultisme lebih menonjolkan spiritisme dan terutama satanisme atau demonisme. Hal ini karena pengaruh agama Kristen (yang kemudian diwarnai juga oleh aliran-aliran pentakostal, injili dan kharismatik) dengan ajaran-ajarannya yang menonjolkan tentang roh (kudus dan jahat/iblis) dan penekanan pada ajaran anti-demonik, anti setan dan anti roh jahat. Nanti di jaman modern, Okultisme di Amerika berkembang juga ke arah ilmu, yaitu usaha mencari dan menemukan serta memahami adanya alam dan mahluk-mahluk misterius yang mendiami tempat atau barang tertentu atau yang berasal dari dunia lain seperti UFO. jadi, Okultisme di Amerika memiliki dua corak, yaitu ilmu-seni dan agama. Di dunia Timur atau pada masyarakat yang menekankan agama, paham dan praktek Okultisme seperti di atas menjadi lebih menonjol sebagai sebuah realitas dan aktifitas keagamaan. Unsur-unsur Okultisme yang dominan atau yang umumnya dipraktekkan adalah unsur-unsur agama. Ada kelompok yang mempercayai UFO, namun jumlahnya sangat kecil. Memang, Okultisme sebagai seni-ilmu tampaknya mulai mengalami perkembangan, khususnya dengan tersebarnya ajaran-ajaran filsafat-agama dari India.

Sebagai seni dan ilmu/pengetahuan, Okultisme dapat disebut sebagai bidang atau unsur kehidupan yang berdiri sendiri. Ia dengan begitu memiliki kebebasan untuk hidup dan mengekspresikan keberadaan/kehidupannya dengan tujuan memberi manfaat kepadapenganutnya. Sebagai seni Okultisme dipahami sebagai seni batiniah, di dalam hati manusia. Dan ia membangkitkan dan memberi inspirasi kepeda batin manusia. Sebagai Ilmu, ia memberi pengetahuan dan mendorong kehidupan eksternal manusia. Di sini Okultisme menolong orang untuk menyempurnakan hidup batin maupun lahir. Saat ini, Okultisme digolongkan sebagai paham keagamaan dan juga ilmu-seni yang meliputi banyak bidang, seperti mistik, astrologi, misteri, magi/magisme/sihir/tenung, kekuatan-kekuatan penyembuhan, tahyul, penyembahan leluhur, mitologi, satanisme-demonisme, spiritisme, kepercayaan kepada Alien/UFO dan bahkan kelompok-kelompok spiritualitasatau sekte-sekte atau kult. Okultisme, Manusia dan Agama Secara psikologis, manusia mengandung unsur yang misterius, yaitu jiwa (atau roh menurut teologi) yang menghidupkan. Juga yang masih dianggap misterius (walaupun sudah dapat dijelaskan dengan ilmu sosial dan kejiwaan) adalah hal-hal yang tidak kelihatan di alam ini tetapi yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian atau terutama keadaan atau nasib hidup. Karena unsur yang misterius inlah maka manusia umumnya dekat dengan atau memiliki kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang miterius, baik seseorang itu memiliki agama/kepercayaan (sebagai sebuah sistem) atau tidak. Hal-hal yang misterius ini mendapatkan konsep atau formatnya melalui pemikiran, refleksi dan kesimpulankesimpulan yang dibuat oleh manusia. Misalnya kemudian manusia menyimpulkan bahwa ada kekuatan (ilahiah kalau dalam agama) yang menyebabkan gunung meletus, atau banjir bandang, atau topan tornado. Bahwa ada mahluk yang tidak kelihatan yang sedang menunggui mata air atau sebuah pohon yang besar. Bahwa seseorang meninggal karena arwahnya meninggalkan tubuhnya dan pada saat tertentu arwah orang yang telah meninggal itu bergentayangan dan akan mengajak saudaranya untuk ikut pergi. Terhadap pemahaman atau kepercayaan-kepercayaan ini, orang lalu melakukan ritus dengan tujuannya sendiri-sendiri. Umumnya kepercayaan dan ritualseperti itu diungkapkan dan atau ditemukan di dalam ajaran-ajaran dan praktek agama. Dari ajaran dan praktek yang dijalankan penganutnya, Okultisme tampak memiliki unsur-unsur utama yang juga ada di dalam agama yang sudah melembaga atau agama institusional seperti Hindu, Buddha, yahudi, Islam dan Kristen, serta agama-agama suku, yaituajaran tentang alam dan sosok supranatural, kekuatan-kekuatan (spiritisme dan satanisme) yang tidak kelihatan dan ritus-ritus yang dilakukan dalam rangka kepercayaannya itu. Karena itu, ia dapat disebut juga sebagai agama. Melihat kesamaan unsurunsur yang merupakan ajaran-ajaran agama, maka Okultisme dapat juga disebut sebagai unsur pembentuk atau bagian dari agama. Okultisme berbeda dari agama institusional secara umum karena ada unsur-unsur utama di dalam agama yang tidak diajarkan di dalam Okultisme, seperti tentang Tuhan-Allah, Surga dan Neraka, Kitab Suci dan umat serta aturan yang tertata sebagai sebuah lembaga. Namun karena statusnya sebagai agama ataua bagian dari agama, Okultisme tidak dapat dipisahkan dari agama. Di bawah ini akan diperlihatkan unsur dan ajaran agama-agama umumnya yang sama dengan ajaran Okultisme. 1. Dinamisme, kepercayaan tentang adanya kekuatan atau kekuasaan atau kesaktian pada segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, yaitu pada manusia, hewan maupun benda. Kekuatan ini di dalam agama-agama suku disebut juga dengan mana atau kesaktian. Lalu dipahami bahwa mana terutama ada di dalam benda-benda yang dikeramatkan atau yang dianggap memiliki kesaktian. Kekuatan ini melebihi kekuatan alamiah atau natural. Jadi ia merupakan kekuatan supernatural. Mana tidak

berpribadi sehingga tidak dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuan sendiri. Harus ada pihak lain yang menggerakan dan memanfaatkan kekuatan itu. Mana atau kekuatan ini dapat menyebabkan hal baik atau buruk pada manusia. Karena itu, kekuatan ini menimbulkan rasa takut, heran, takjub atau rasa hikmat pada manusia. Benda atau hewan atau manusia yang dianggap memiliki mana selalu diperhatikan atau diistimewakan.Terhadap kekuatan-kekuatan ini manusia berusaha untuk menguasai atau menjinakkannya dengan berbagai cara dan penangkal. Penangkal itu diperoleh melalui upacara-upacara/ritus. 2. Animisme, kepercayaan kepada adanya kekuatan yang berpribadi di dalam dunia ini atau pada sesuatu atau benda. Sesuatu itu adalah subjek, jadi ia dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Di dalam agama, sosok ini ditunjuk kepada Sang Ilahi, Tuhan atau Dewa-dewi, atau mahluk-mahluk halus lainnya seperti Malaikat, Jin dan tuyul; dalam agama suku umumnya, sesuatu yang berjiwa ini biasanya ditunjuk kepada hewan (misalnyanya ular, burung, kerbau dan buaya), atau benda-benda yang dapat bergerak dan melakukan sesuatu (misalnya gunung, pohon, air, api, angin, halilintar dan hujan). Mahluk atau benad-benda ini dipercayai memiliki jiwa dan kehendak karena itu mereka dapat berbuat hal-hal yang baik dan bermanfaat tapi juga yang buruk dan merugikan. 3. Spiritisme, kepercayaan kepada roh, arwah orang yang sudah meninggal. Roh ini bisa berasal dari orang yang baru meninggal atau yang sudah lama meninggal, atau roh leluhur. Arwah ini dapat mendatangi manusia dan dapat melakukan sesuatu, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Terhadap arwah yang dapat berbuat jahat, manusia harus memiliki penangkal yang mencegah roh atau arwah itu mendekat atau melakukan hal buruk. Untuk menjalin hubungan baik dengan arwah ini, orang melakukan upacara dan memberikan berbagai persembahan atau sesajen. Juga orang dapat memanggil arwah tertentu dengan cara melakukan upacara/ritus mendatangkan arwah, seperti jailangkung. 4. Demonisme atau Satanisme, yaitu kepercayaan pada adanya mahluk halus (yang disebut hantu atau setan, atau juga iblis). Mahluk halus ini dapat dilihat oleh manusia atau pun tidak dapat dilihat. Manusia yang dapat melihat mahluk ini adalah yang memiliki kelebihan khusus. Atau, demon ini, dengan kemauannya sendiri dapat menampakan diri pada orang-orang tertentu, dan dapat melakukan sesuatu yang buruk pada manusia. Demon biasanya dipercayai sebagai sosok yang menakutkan dan jahat. Karena itu, biasanya orang merasa takut kepadanya; atau sosok itu dipakai untuk menakutnakuti orang (biasanya anak kecil). Hantu atau setan ini berbeda dengan Iblis. Iblis lebih menunjuk kepada kekuatan atau kuasa jahat yang menggerakkan atau menguasai keadaan atau seseorang. Iblis muncul dalam perkataan dan perbuatan buruk atau jahat dari seseorang atau hewan yang dikuasainya (seperti ular dalam cerita Alkitab/Kejadian). Sedangkan setan atau hantu tampak dalam penampilannya sebagai mahluk aneh, buruk dan menakutkan, atau dalam bentuk atau penjelmaan dari seseorang yang sudah meninggal. 5. Totemisme; totem adalah benda, terutama bagian dari hewan, seperti kepala, tanduk atau bulunya, atau patung orang-orangan, yang dipercayai sebagai perwujudan dari nenek moyang atau leluhur orang atau suku yang bersangkutan. Totem ini dipercayai memiliki kekuatan atau kesaktian karena ia adalah atau berisi roh nenek moyang yang menjadi pelindung mereka. Ada totem perseorangan dan totem kelompok/suku. Totem perorangan biasanya selalu dibawa atau berada bersama-sama dengan orang yang bersangkutan. Misalnya, orang yang bersangkutan selalu membawa tongkat dengan ujung atasnya berbentuk kepala ular atau tanduk hewan. Atau, seseorang dapat menjadi bagian dari nenek moyang itu dengan menggunakan benda-benda yang disembah sebagai totem dan bersikap sebagaimana nenek

moyang itu di dalam hidupnya pada masa lampau. Atau juga, seseorang itu menjadi perwujudan dari nenek moyangnya dengan berperan sebagai nenek moyangnya dalam peristiwa-peristiwa tertentu, seperti di dalam upacara-upacara keagamaan. Orang yang bersangkutan biasanya menggunakan bagian tubuh hewan, terutama kepala, tanduk atau bulu hewan itu, pada kepala atau bagian tubuh orang tersebut, dan lalu memerankan prilaku sebagai nenek moyang itu. Sedangkan, totem suku biasanya diletakkan di pintu-pintu rumah atau gerbang pemukiman suku itu. Benda-benda atau hewan yang biasanya dijadikan totem dalam kebanyakan suku adalah ular, buaya, kera, bison, rusa, kerbau, sapi, burung, dsb. 6. Fetisisme, paham tentang benda-benda tertentu (yang diramu dan dibungkus bersama-sama) yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Biasanya ini dipergunakan untuk perlindungan atau untuk memberi kekuatan sehingga orang yang memilikinya dapat terhindar dari ancaman bahaya atau selalu beruntung di dalam usaha, cita-cita atau keinginannya. 7. Magisme, yaitu kepercayaan kepada ilmu atau kekutan gaib atau dunia magi atau sihir; bahwa ada kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain. Biasanya orang yang dapat memanfaatkan kekuatan itu adalah mereka yang memiliki kesaktian seperti dukun. Magisme ini dipraktikan misalnya dalam santet, pelet, susuk dan penyembuhan dengan tenaga atau benda magis. 8. Mistisisme, yaitu kepercayaan atau paham bahwa manusia dapat menjadi satu atau melebur dengan sosok atau kekuatan gaib atau ilahiah. Paham ini kemudian memiliki dan mengajarkan cara tersendiri untuk mencapai penyatuan itu atau untuk mendapatkan kekuatan yang ada pada sosok gaib itu, seperti berpuasa, pantang makan makanan tertentu dan dalam periode tertentu, semedi atau bertapa, atau melakukan ritus/ritual khusus. 9. Numerisme dan Simbolisme, yaitu kepercayaan terhadap angka-angka atau simbol-simbol yang memiliki makna atau kekuatan-kesaktian tertentu yang dpat mempengaruhi kehidupan orang yang memiliki atau mempercayainya, misalnya angka 13, 666-6 dan horoskop. 10. Tahyul atau Superstisi, yaitu kepercayaan kepada sesuatu atau benda atau kejadian yang dimiliki atau dialami seseorang, yang menjadi tanda akan terjadinya sesuatu pada orang yang bersangkutan atau pada keluarganya. Kepercayaan atau tahyul ini sering terbentuk atau didasarkan pada peristiwaperistiwa yang terjadi yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang sudah terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tanda yang tidak biasa. Dengan kata lain, ada kepercayaan terhadap terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan efek atau akibat dari persitiwa yang terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tandanya sebelumnya. Karena tahyul didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan secara kebetulan dan dialami oleh orang-tertentu maka kebenarannya tidak dapat dipastikan, atau kebenarnnya tidak berlaku umum. Tahyul adalah kepercayaan misterius. Jadi ia adalah misteri, sama dengan berbagai kepercayaan secara umum dalam agama-agama (agama suku). Yang menonjol dalam tahyul adalah kepercayaan yang menyebabkan ketakutan atau kekuatiran yang tidak wajar atau tidak rasional terahadap kejadian buruk yang mungkin terjadi tapi yang masih misterius atau belum pasti. Jadi tahyul dipercayai secara umum tetapi yang tidak dapat dibuktikan. Tahyul tidak mengenal pencetusnya. Kepercayaan atau tahyul ini tersebar atau diwariskan secara turun temurun oleh orang perorang lalu oleh masyarakat, dan menjadi kepercayaan umum. Condoth-contoh tahyul: Angka 13, kejatuhan cicak di kepala, atau di depan

seseorang, sikap/membunyikan suara jika melewati tempat khusus/keramat, telinga mendengung, mata berkedip, rambut alis jatuh, larangan memotong atau menggunting kuku pada malam hari, gadis tidak boleh duduk di depan pintu, orang tidak boleh berjalan/berdiri/duduk di bawah tangga, bersin satu kali ketika akan memulai perjalanan, bersin yang harus disambut dengan kata-kata tertentu (Inggris: blessed you), larangan mengencingi kotoran hewan dan manusia, memanggil orang pada malam hari di luar rumah dengan berteriak, larangan membunuh / menabrak kucing, kucing hitam, larangan membunuh ular, suara anjing mengaum pada siang/malam hari,serta, mimpi, firasat dan tanda-tanda. 11. Partisipasi, kepercayaan kepada kemampuan seseorang untuk mengambil bagian atau berpartisipasi dalam kehidupan seseorang yang lain di waktu yang sama sekalipun mereka berdua berada pada tempat yang berbeda. Potensi partisipasi ini dapat terjadi atau dialami oleh dua orang yang memiliki hubungan personal/pribadi yang dekat sekali; jadi dua orang itu memiliki ikatan baik batin maupun material/fisik. Misalnya antara suami dan istri, antara ayah dan anak, dll. Ketika partisipasi ini terjadi, seseorang ini dapat merasakan perasaan atau mengalami kejadian seperti yang dialami oleh orang yang menjadi partnernya berpartisipasi. Misalnya, seorang ayah yang tiba-tiba merasa sakit/badan karena anaknya yang ada di rumah jatuh sakit; atau seorang suami yang merasakan sakit perut ketika istrinya sedang menstruasi; atau suami yang mengidam atau sangat ingin makan sesuatu yang aneh ketika istrinya sedang mengandung. Di dalam masyarakat Indonesia, bentuk-bentuk Okultisme yang paling sering dipraktekkan adalah : pertama, kepercayaan kepada adanya mahluk-mahluk satanik (satanisme), seperti iblis, setan atau hantu, pocong, dan mahluk jadi-jadian; terutama setan yang merasuki manusia atau menjelma sebagai hewan atau mahluk lain, dan spiritisme atau kepercayaan kepada adanya arwah atau roh orang yang sudah meninggal yang menampakkan diri atau merasuki manusia; dan kedua, dunia perdukunan yang di dalamnya terdapat praktek-praktek seperti penyembuhan oleh kekuatan gaib, sihir, santet, pelet atau tenung; ketiga, ramalan berdasarkan astrologi atau horoskop; dan keempat, kepercayaan kepada adanya mahluk lain selain yang ada di bumi. Mahluk ini disebut UFO, yang dipercayai berasal dari planet atau galaxi lain. Keberadaan (paham-ajaran dan praktek) Okultisme, dalam hal ini yang mengajarkan alam gaib atau kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatannya, serta ajaran tentang hal yang misterius lainnya (seperti kesaktian pada benda-benda tertentu dan UFO) dapat dilihat pada ajaran dan aktivitas-aktivitas perkumpulanya, pada berbagai literatur (yang bersifat fiksi) dan dalam acara-acara di televisi di Indonesia (seperti acara Dunia Lain, Alam Gaib, Cakrawala, dan Memburu Hantu) dan film-film Indonesia (antara lain Nyi Blorong, Sundal Bolong, Dukun Beranak, Ratu Pantai Selatan, Jenglot Pantai Selatan, Suster Ngesot, Pocong Ngesot, Terowongan Qasablanca, Rumah Hantu, Dedemit Gunung Kidul dan 13 Cara Memanggil Setan) dan film Barat (seperti Ghost, Exorcism, The Last Exorcism, Harry Potter, The Legion, Zombie Land, After Life, The Grave Dancer, Contamination dan After Life). Okultisme dan Gereja di Indonesia Di dalam wacana keagamaan, khususnya dalam teologi Kristen, isu tentang Okultisme mendapat perhatian yang sangat besar. Dimulai pada akhir tahun 1940-an dan khususnya pada awal tahun 1950an, pembicaraan mengenai topik ini muncul di berbagai tulisan. Mead dalam tulisannya tahun 1951 menyebut istilah Okultisme sebagai penemuan baru. Dan menurutnya, istilah itu masih tidak ditemukan di dalam banyak kamus pada saat itu. Tahun 1970-an memperlihatkan giatnya kalangan Kristen,

khususnya di Amerika, dalam menaggapi Okultisme. Saat ini, banyak buku yang ditulis tentang Okultisme, khususnya dari kelompok pentakostal dan kharismatik. Sampai tahun-tahun terakhir, di kalangan Kristen dunia, khususnya yang memiliki hubungan dengan aliran-aliran gereja pentakostal dan kharismatik di Amerika, termasuk yang di Indonesia, isu tentang Okultisme mendapat perhatian yang serius. Di pihak lain, gereja-gereja yang beraliran tradisional (khususnya anggota PGI), topik ini tidak diberi perhatian yang berarti. Di dalam pemikiran keagamaan, khususnya Kristen, Okultisme berasal dari yang jahat yang bertentangan dengan Tuhan yang disembah. Okultisme dinilai sebagai paham dan paktek hidup yang salah. Bahwa unsur-unsur Okultisme, misalnya setan/hantu yang mengganggu atau menyengsarakan manusia harus dihadapi, diusir, dikalahkan dan dibinasakan, seperti Yesus mengusir roh jahat dari seorang perempuan. Okultisme kini merupakan kelanjutan dari Okultisme di zaman Yesus, di mana Yesus mencontohkan sikap yang anti-okultisme dan sosok-sosok gaib seperti roh jahat dan iblis. Karena itu, di dalam praktek banyak kalangan Kristen, baik di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di kalangan aliran pentakostal, injili dan kharismatik, soal pengusiran setan (exorcism) dari tubuh manusia atau benda tertentu atau juga penyembuhan ilahi dengan mengusir roh jahat merupakan hal yang penting dan dilakukan di dalam ibadah-ibadah. Kesimpulan Dari pemaparan di atas jelas bahwa Okultisme adalah sebuah realitas baik keagamaan dan juga seniilmu yang ada, beraktifitas dan berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat. Ajaran-ajaran dan prakteknya yang memberi jawaban atau pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual/rohani dan bahkan lahiriah/material bagi orang-orang tertentu. Karena itu, bagi kalangan itu, Okultisme adalah agama, jalan hidup yang benar menuju pemenuhan kebutuhan dan kesempurnaan hidup. Umumnya agamaagama universal menentang atau menolak Okultisme. Namun, keadaan zaman saat ini di mana terjadi pertentangan antara ilmu dan agama dan kemakmuran karena industri dan kemajuan ekonomi tidak memberi jawab kepada kebutuhan spiritual-batin dan lahiriah manusia, maka Okultisme masih akan tetap ada dan diikuti oleh banyak kalangan. Sekian. /SRR-April2011 Daftar Bacaan: Buku dan Artikel: 1. Durkheim, E., The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1965. 2. Dhavamony, M., Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995. 3. Dister, Nico Sy., Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989. 4. Evans-Protchard, E.E., Theories of Primitive Religion. Oxford: OUP, 1975. 5. Faivre, Antoine, Occultism dalam Eliade, M. (ed), The Encyclopedia of Religion. (11). New York: Macmillan Publishing Co., 1987.

6. Hadiwijono, H., Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977. 7. Hadikusumah, H.Hilman, Antropologi Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. 8. Hawkins, Craig, Seluk-Beluk Sihir: Tenung, Santet, Mantra, Ramalan, Jampi-Jampi, Pelet. (Trj). Yogyakarta: (PBMR) Andi, 2004. 9. Honig, A.G., Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959. 10. Hoover, David W., How To respond to The Occult. St.louis: Concordia Publishing House, 1977. 11. Hopes, Michael, Ilmu: Magic and Divination amongst the Benuaq and Tunjung Dayak. Jakarta: Puspa Swara, 1997. 12. James, E.O., The Beginnings of Religion. Westport-Connecticut: 1975. 13. Kartoatmodjo, Soesanto, Parapsikologi Sebuah Tinjauan. Jakarta: Haji Masagung, 1987. 14. Kelompok Minat Rural Mission, Pedukunan. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Kader GKJ/GKI, 1982. 15. Koch, Kurt E., Occult ABC. Germany: Literature Mission Aglasterhausen Inc., 1978. 16. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1971. 17. Lehrich, Christopher I., The Occult Mind: Magic in The Theory and Practice. Ithaca and London: Cornell University Press, 2007. 18. Mead, G.R.S., Occultism dalam Hastings, J. (ed), Encyclopaedia of Religion and Ethichs. (IX). New York: Charles Schribners Son, 1951. 19. Min, Suh Sung, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo, 2001. 20. Paranormal: Kenyataan dan Gejala Kehidupan. (Saduran dari bukuWaarheid en Lungen Bij Paranormale Verschijn Selen oleh Willem Hogendoorn). Semarang: Dahara Prize, 1991. 21. Passantino, Bob and Gretchen, Satanism. Grand Rapids-Michigan: Zondervan Publishing House, 1995. 22. Pasi, Marco, Occultism dalam von Stuckrad, Kocku (ed), The Brill Dictionary of Religion. (III). Leiden: E.J. Brill, 2007. 23. Sadhu, Mouni, Ways to Self-Realization. A Modern Evaluation of Occultism and Spiritual Paths. Holliwood-California: Wilshire Book Company, 1975.

24. Samudera, Andreas (Bersama Team Revival), Barang-Barang Tumpas. Bandung; Revival Total Ministry, 1998. 25. Schimmel, Annemarie, The Mistery of Numbers. Misteri Angka-angka dalam Berbagai Peradaban Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi dan Kristen. (Trj). Bandung: Pustaka Hidayah, 2006. 26. Smart, Ninian, The Religious Experience of Mankind. New York: 1984. 27. Subagya, R., Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan-Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981. 28. Subagya, R., Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977.

http://stanleyrambitan.blogspot.com/2011/07/okultisme-dan-agama-suku.html

PERAN NILAI-NILAI SENI DAN BUDAYA-KEAGAMAAN BAGI PERTUMBUHAN GEREJA[1] Stanley R. Rambitan, M.Phil.

Pengantar Agama Kristen, dengan Yesus dan murid-murid-Nya sebagai pelopor, muncul di daerah dan masyarakat Palestina-Israel. Kemudian, ia dikembangkan atau berkembang juga di dalam masyarakat YunaniRomawi yang secara kuat dipengaruhi oleh budaya hellenis (alam pikiran Yunani). Sebelum datang ke Indonesia, agama Kristen hellenis itu sudah melalui masyarakat dan budaya Romawi-Eropah. Tentu, sedikit banyak unsu-unsur dan nilai-nilai seni dan budaya keagamaan masyarakat tersebut ada dan atau bahkan mewarnai agama Kristen sampai ia masuk ke Indonesia dan hingga sekarang ini. Unsur dan nilai seni dan budaya ini tentu memiliki peran penting dalam pembentukan karakter komunitas dan pahampaham dan praktek keagamaan Kristen. Nilai-nilai warisan ini dalam pemahaman dan prakteknya berhadapan dan berbaur dengan berbagai unsur dan nilai seni dan budaya lokal (Indonesia) di mana agama Kristen itu berada. Di dalam kenyataan, nilai-nilai warisan itu tidak selalu cocok dengan kebudayaan lokal ini. Judul tulisan ini membedakan antara seni dan budaya. Dalam pengertian hurufiah, seni menunjuk kepada kecakapan mencipta dan hasil cipta manusia yang indah yang dapat dinikmati dengan mengesankan, seperti karya musik, sastra, lukisan, ukir-ukiran dan tata boga. Budaya dipahami sebagai pikiran, akal budi, pola pikir, kebiasaan atau adat istiadat. Dalam pemahaman penulis, budaya yang dimaksudkan dalam judul itu lebih menyangkut adat-istiadat. Namun pembahasan di bawah akan memperlihatkan unsur-unsur budaya yang lain yaitu pola pikir dan corak pandangan manusia. Bukan tempatnya di sini untuk membahas bagaimana perpaduan berbagai unsur dan nilai budaya warisan Kekristenan dan lokal itu dan hasil-hasilnya. Di bawah ini akan disajikan unsur-unsur atau nilainilai seni dan budaya keagamaan Kristen warisan, yang berasal dari daerah dan masyarakat dari mana

kekristenan itu pernah ada dan dikembangkan, dan diperhadapkan dengan unsur-unsur dan nilai-nilai keagamaan lokal. Secara khusus, akan diperlihatkan bagaimana itu berada dan dipergunakan, dan apakah ia berguna atau tidak bagi pertumbuhan gereja atau bagi pertumbuhan iman (kepribadian, intlektualitas, sikap dan prilaku) warga gereja.[2]

Hubungan antara Seni, Budaya dan Agama Arti hurufiah dari kata seni adalah kemampuan mencipta sesuatu yang indah. Di sini unsur perasaan atau emosi sangat menonjol. Makna hurufiah dari kata budaya adalah pikiran dan pola pikir yang menghasilkan sesuatu yang menjadi kebiasaan atau adat-istiadat. Di sini, unsur rasio lebih menonjol. Walaupun ada perbedaan sisi yang menonjol, kedua unsur ini (seni dan budaya) tidak dapat terpisahkan. Hasil dari seni mengandung di dalamnya peran budaya, dan hasil budaya mengandung di dalamnya nilai seni (misalnya orang mengatakan: seni berpikir, seni berpidato, seni berdiskusi atau berdialog)). Namun secara umum, budaya dipahami memiliki cakupan lebih luas atau melampaui seni. Karena itu, dikatakan bahwa seni adalah bagian dari budaya. Jika berbicara tentang budaya sebagai pikiran, akal budi dan kebiasaan, maka budaya itulah yang menghasilkan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian. Kesenian adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan seni dan hasil-hasil karyanya seperti tersebut di atas. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang menyangkut budaya, yaitu seluruh keberadaan kehidupan manusia di suatu tempat yang merupakan hasil karya manusia dan yang mereka hidupi dan ungkapkan. Hal-hal yang merupakan penampakan dari kebudayaan itu seperti adat istiadat, pola pikir, filsafat hidup, ilmu pengetahuan, seni atau kesenian dan agama. Agama didefinisikan sebagai sebuah sistem ajaran dan praktek hidup yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan terhadap adanya mahluk dan alam ilahi atau supranatural yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang jauh melebihi manusia. Agama, apa pun dan di mana pun itu, mengandung aspekaspek utama yang universal, yaitu spiritualitas, kerokhanian dan kebathinan, yang dipahami sebagai unsur-unsur dari rasa dan pikiran beragama/keberagamaan (the sense of being religious). Agama ini muncul dari dalam masyarakat, di tempat dan waktu tertentu. Berdasarkan hasil studi keagamaan, dipahami bahwa di samping rasa beragama dengan unsur-unsur universal tersebut, ide-ide, pemahaman dan praktek keagamaan merupakan hasil dari pengolahan perasaan dan pikiran manusia. Jadi agama dalam penampakkannya merupakan hasil karya manusia (yang di dalam dirinya mengandung rasa beragama, seni dan budaya). Di sini, seni dan budaya berperan juga di dalam pembentukan agama itu. Sebagai hasil juga dari seni dan budaya, agama menjadi unsur atau bagian dari kebudayaan. Tentu ada unsur-unsur pada agama yang mejadi ciri khas dari kebudayaan. Unsur kebudayaan lokal itu tentu relevan atau cocok bagi masyarakat di situ, tapi belum tentu itu cocok untuk masyarakat di tempat lain yang memiliki kebudayaan yang lain. Ketidak-cocokan tentu dapat menimbulkan persoalan, baik sosialkultural maupun dogmatis-teologis. Unsur-unsur Seni dan Budaya dalam Agama Dikatakan di atas bahwa agama sebagai sebuah sistem terbentuk dari unsur utama keagamaan atau rasa dan pikiran beragama (yaitu spiritualitas, kerokhanian atau kebathinan), dan unsur-unsur kebudayaan (seni dan budaya). Rasa dan pikiran keagamaan itu terungkap dalam pengakuan iman bahwa ada mahluk dan dunia lain yang tidak kelihatan dan yang memiliki kekuatan yang lebih dari pada manusia.

Ia adalah mahluk supra-natural yang mendiami dunia supranatural tapi yang kekuasaannya menyangkut dunia natural ini. Oknum atau kekuatan lain ini dipercayai ada. Tidak dapat tidak, Ia ada dan manusia tidak dapat tidak mengakuiNya.[3] Dalam Agama-agama umumnya, oknum ini mewujud dalam berbagai penampilan. Umumnya, pada agama-agama primitif, Ia dipahami berwujud pada kekuatan-kekuatan alam.[4] Di dalam agama-agama besa, oknum itu dikenal sebagai dewa/dewi, Allah atau Tuhan. Kepercayaan atau iman atau penghayatan kepada mahluk supra-natural (Tuhan) ini lalu mendorong manusia berkarya dan menghasilkan baik konsep-konsep tentang Tuhan, dunia, manusia, dsb, yang beredar secara lisan dan tulisan, dan menghasilkan bentuk ibadah kepadaNya. Dalam hal-hal tertentu konsep dan praktek itu menggunakan unsur atau hasil karya seni dan budaya. Unsur-unsur seni keagamaan yang dimaksud di sini antara lain: - tulisan-tulisan prosa, sajak-puisi, hikmat dan wejangan - mantra atau doa dengan kata-kata yang sudah tersusun (yang dipakai dalam liturgi) yang berfungsi untuk menyembah, memuja dan memohon kepada Tuhan - ungkapan pujian atau sembahan dalam bentuk tulisan dan nyanyian (seperti Mazmur dan lagu-lagu yang diiringi musik) - benda-benda yang merupakan simbol sesuatu, seperti patung dalam bentuk mahluk khusus, manusia dan hewan), salib, gambar-gambar tokoh dalam agama, gambar yang bermakna khusus, seperti ikan, bintang, api, obor, dsb; - benda-benda magis, yang dianggap memiliki kekuatan magis yang biasanya dihubungkan dengan oknum ilahi atau tokoh supernatural atau manusia yang memiliki kekuatan supernatural) - busana keagamaan yang menandakan identitas, status, jabatan atau pekerjaan dalam komunitas agama itu. Unsur-unsur budaya dalam agama umumnya berhubungan dengan pikiran, pola pikir, kebiasaan atau adat-istiadat. Pikiran religius tampak dalam pola pikir yang menjadi dasar ajaran-ajaran teologis dogmatis yang menjadi ciri-ciri umum agama, seperti: - Mitos/mitologis, yang mempercayai dan mengakui bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada karena ada penyebabnya atau ada yang menciptakannya, dan itu terjadi pada awal kehidupan dunia ini. Mitos atau mite menjadi rujukan terhadap segala sesuatu yang ada, baik materi (dunia dan segala isinya) maupun nilai-nilai moral-etis dan aturan-aturan atau hukum.[5] - Dinamisme dan animisme, yang mempercayai bahwa di dalam benda atau mahluk tertentu ada kekuatan, baik yang tidak berpribadi maupun yang berpribadi - Theisme (pantheisme, politheisme dan monotheisme), atau kepercayaan kepada ilahilah atau penguasa-penguasa jagat raya yang memiliki kekuatan jauh melebihi manusia. Tokoh-tokoh ilahiah ini disembah, dipuja dan ditakuti karena mereka dapat memberi berkat atau kutuk. - Spiritisme dan eksorsisme, paham tentang adanya mahluk dan dunia roh, khususnya dalam hal ini roh-roh atau arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal yang dapat mempengaruhi manusia; juga adanya teori dan cara menguasai atau mengusirnya. - Magisme, bahwa ada kekuatan-kekuatan di dalam benda atau mahluk tertentu yang dapat dimanfaatkan, baik untuk kebaikan (magi putih) maupun untuk kejahatan (magi hitam). Ini khususnya tampak pada praktek perdukunan.[6]

Ciri-ciri khusus yang merupakan hasil budaya tertentu yang terus menerus dipakai karena dianggap sebagai bagian dari ajaran agama antara lain: - Formalisme, yang mengutamakan bentuk atau format agama yang ditampakkan oleh bentuk-bentuk ajaran dan upacara yang formal dan baku. Formalisme mengakibatkan eksklusifisme dan rasa superior. - Legalisme, yang memahami bahwa agama mengandung kapasitas-kapasitas dan kewibawaan hukum; atau agama menjadi hukum, sehingga apa yang diajarkan atau diatur oleh agama merupakan keharusan. - Paternalisme, paham yang menganggap laki-laki atau sang bapak memiliki peran yang utama, melebihi pihak lain (wanita, ibu dan anak-anak) - Diskriminasi gender, yang mengutamakan kaum lelaki sebagai pihak yang melebihi drajat dan kemampuan lebih tinggi dari pada wanita. - Moralisme sosial, yang menekankan nilai-nilai moral yang dianut masyarakat di tempat di mana agama atau budaya itu muncul (seperti konsep monogami, poligami, boleh dan tidak boleh cerai). - Paham theodisi, yang memahami bahwa orang yang menderita pasti sedang dihukum oleh Tuhan; bahwa penderitaan yang dialaminya adalah bentuk penghukuman Tuhan karena dosanya (yang lalu ditentang oleh kasus Ayub). - Ritualisme, paham yang mementingkan upacara-upacara keagamaan yang dipahami sebagai simbol dari peristiwa penting bagi manusia, dan tata caranya (seperti Baptisan, Perjamuan Kudus, Perkawinan, Pelantikan Jabatan keagamaan, Selamatan, dsb); dan bahwa mengambil bagian dalam upacara itu bisa membawa berkat atau kutuk. - Seremonialisme, atau pengutamaan pada perayaan keagamaan, yang dipahami sebagai peringatan terhadap peristiwa penting dalam kehidupan manusia secara umum atau umat agama itu secara khusus (seperti Natal, Paskah, Maulid Nabi Muhammad, Idul Adha, Galungan, Kuningan, Nyepi, dsb.) Unsur-unsur Seni dan Budaya Keagamaan dalam Agama Kristen Dari beberapa paham yang menjadi ciri-ciri utama agama seperti yang disebutkan di atas, ada yang merupakan pokok-pokok ajaran utama dalam agama Kristen. Itu tertulis di dalam Alkitab, yang dipahami melalui berbagai penafsiran yang dibuat, diwarisi, dipegang dan dipelihara terus menerus. Hal-hal itu adalah kepercayaan kepada mitos penciptaan, adanya mahluk dan dunia supra natural, yaitu Tuhan, malaikat dan mahluk rohani lainya, surga, kepercayaan kepada nabi atau konsep kenabian, serta nilai-nilai spiritual, moral dan etis yang diajarkan atau dikehendaki. Di dalam kehidupan umat Kristen atau gereja saat ini, masih dapat ditemukan unsur-unsur budaya khas agama kuno. Spiritisme ditemukan pada paham jemaat yang menganggap bahwa roh leluhur atau orang yang sudah meninggal masih ada atau bergentayangan dan bahkan dapat merasuki manusia. Memang, kebanyakan umat menunjuk spirit yang masih bergentayangan itu adalah roh setan atau iblis. Magisme ditemukan pada anggota jemaat yang memahami bahwa benda-benda kristiani tertentu mengandung kekuatan magis, seperti gambar Yesus dan maria, salib, Alkitab, air baptisan dan roti dan anggur Perjamuan Kudus. Formalisme ditemukan pada paham jemaat yang mengutamakan bentuk atau formula ajaran dan praktek agama Kristen, misalnya, formula-formula pengakuan iman dan liturgi serta unsur-unsurnya yang sudah baku, keharusan orang Kristen berdoa, beribadah, pergi ke gereja; juga pendeta harus menggunakan pakaian khusus; orang Kristen harus mengucapkan kata-kata alkitabiah, dsb. Legalisme ditemukan pada warga gereja yang menganggap bahwa ritus-ritus dan perbuatanperbuatan tertentu yang diatur dalam Alkitab adalah keharusan, seperti memberikan persembahan korban, persepuluhan, sunat, wajib mengikuti ibadah, wajib berdoa, wajib dibaptis dan harus diselam, mengikuti Perjamuan Kudus, harus sudah dibaptis dewasa atau sudah sidi. Theodisi masih mewarnai

pemahaman kebanyakan warga gereja, bahwa penderitaan atau musibah yang dialami disebabkan oleh penghukuman Tuhan karena dosa. Paternalisme dan diskriminasi gender juga ditemukan di dalam praktek warga gereja di banyak tempat. Demikian juga dengan ritualisme yang masih sangat diutamakan di dalam kehidupan gereja. Pelaksanaan ibadah minggu, Perjamuan Kudus dan batisan, serta ibadah-ibadah khusus seperti perkawinan dan kematian, masih sangat diutamakan dan yang diatur sebaik dan setepat mungkin. Tata cara yang dipergunakan biasanya sudah baku dan tidak diperkenankan untuk diubah. Sangat dihindari kekeliruan. Kesalahan dianggap akan merusak makna ritus itu dan Tuhan tidak berkenan terhadapnya sehingga dapat mengakibatkan bencana atau penghukuman Tuhan. Hal ini tampak pada reaksi keras orang jika ada kesalahan dalam pelaksanaan ibadah. Pelaku kesalahan, termasuk pendeta akan ditegur dan dalam doa diungkapkan permohonan ampun kepada Tuhan. Tidak semua unsur seni dan budaya yang ditampilkan gereja di atas hanya berasal dari budaya di mana agama Kristen itu muncul atau dikembangkan, yaitu Timur Tengah dan Eropah. Ada unsur-unsur yang memang sudah ada juga di dalam budaya atau agama masyarakat Indonesia. Spiritisme, magisme, paham theodisi, paternalisme, diskriminasi gender, ritualisme, pementingan pada perayaan keagamaan, dan pengutamaan pada busana keagamaan ternyata sudah ada di dalam budaya atau agama-agama yang ada di Indonesia. Apalagi, pengaruh budaya atau pemikiran modern saat ini sedikit banyak menyerupai atau bahkan sama dengan warisan budaya lama itu. Ini disebabkan oleh baik pertimbangan sosial-psikologis dan keagamaan maupun rasional-tehnis-kepantasan. Adanya paham spiritisme dan magisme di dalam kehidupan umat Kristen memang berakar pada ceritacerita yang ada di dalam Alkitab. Namun kebangkitannya semakin didorong oleh kecenderungan keberagamaan masyarakat di Indonesia (juga di Barat) saat ini yang menunjukkan adanya kebangkitan spiritisme dan magisme.[7] Alasan-alasan sosial psikologis keagamaan, antara lain, masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan moral, yang dihadapi, kejenuhan pada formalisme agama dan ketidakberdayaan institusi agama dalam penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan, menjadi pendorong kebangkitan dan semakin beredarnya spiritisme dan magisme (termasuk juga kebangkitan peran para normal) di dalam masyarakat dan juga gereja. Demikian juga dengan penggunaan busana dan asesorisnya yang di tempat-tempat tertentu dijadikan ciri khas bagi pejabat gereja dengan fungsi yang khusus atau para petugas dalam ibadah. Ini adalah penampilan estretis baik seni dan budaya yang diberi makna religius. Gejala ini tidak hanya ada di dalam agama Kristen tapi juga di dalam agama-agama lain. Dalam lingkungan Kristen, umumnya busana keagamaan dipergunakan karena diwarisi sebagai unsur tradisional, seperti pakaian seragam untuk para suster dan biarawan/biarawati, pakaian jabatan untuk pastor dalam gereja Katholik, toga bagi pendeta gereja Protestan, pakaian jabatan bagi pimpinan gereja Bala Keselamatan, dsb. Ada juga busana seperti toga atau pelengkap busana seperti stola untuk anggota majelis dan petugas ibadah, yang dipergunakan dengan alasan kepantasan atau alasan tehnis (supaya seragama dan dapat dengan mudah dikenali). Namun ini, di banyak tempat sudah menjadi budaya yang telh diberi makna teologis dan bahkan dibakukan. Jika demikian, hal atau sikap yang berbeda dari yang baku itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan atau sebuah kesalahan. Di samping itu, penggunaan benda-benda estetis, baik busana maupun benda-benda asesoris, yang dianggap ciri khas suatu agama, saat ini telah menjadi kegemaran bagi banyak orang. Di dalam agama Kristen, benda berbentuk salib adalah yang paling populer. Tanda atau benda salib sebenarnya merupakan warisan dari sejarah gereja, yang secara tradisional memiliki makna teologis. Salib melambangkan penderitaan dan pengorbanan Kristus. Pemakaian benda salib menunjukan bahwa umat

atau orang yang bersangkutan turut menanggung penderitaan sebagai engikut Kristus. Ia harus rela berkorban, atau rela menderita, yang ditunjukkan dengan pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih bagi Tuhan dan jemaatnya. Karena itu, secara tradisional, orang-orang yang memakai benda salib, khususnya sebagai buah kalung, adalah para biarawan/biarawati atau para penginjil dan pemimpin/pelayan gereja.Ia merupakan karya seni dan budaya yang memiliki makna baik sosialkultural mapun telogis (dan bahkan di tempat-tepat tertentu ia memiliki makna politis dan ekonomis). Namun dalam kenyataannya saat ini, banyak orang menggunakan salib itu dengan lebih mengutamakan makna sosial-kulturalnya. Dari segi sosial-kultural, pemakaian salib baik di gedung gereja, rumah dan pada tubuh, menunjukkan identitas (kristiani). Orang yang menggunakannya tentu ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia adalah orang Kristen. Nilai seni dari salib itu diperlihatkan, khususnya apabila dipakai sebagai asesoris tubuh, oleh kesukaan dan kebanggaan yang ada pada diri si pemakai. Di sini, salib dipakai lebih sebagai identitas dan asesoris, tidak dalam pengertian theologis. Jadi telah ada pergeseran makna dan fungsinya.

Menyikapi Unsur dan Nilai Seni dan Budaya bagi Pembangunan Gereja Di dalam pemahaman dan praktek keagamaan Kristen, seperti yang dibahas di atas, ada unsur-unsur seni dan budaya. Kebanyakan merupakan warisan tradisional dari paham yang berasal dari Alkitab dan yang dalam banyak hal memiliki kemiripan dengan unsur-unsur seni dan budaya lokal Indonesia. Ada juga unsur-unsur yang merupakan hasil pengembangan dari umat yang ada sekarang yang disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural yang kontekstual. Ada unsur-unsur yang telah dibakukan dan itu merupakan unsur-unsur prinsipil teologis seperti pemahaman tentang Tuhan, karyanya di dalam Yesus Kristus dan ajaran-ajaran spiritual-moral-etis. Namun, ada unsur-unsur seni dan budaya yang tidak bermakna teologis prinsipil, atau tidak substansial dan tidak universal. Ia berlaku khusus pada budaya dan masyarakat tertentu. Hal ini adalah bentukbentuk atau penampilan-penampilan luaran dan tehnis, seperti formalisme, legalisme, ritualisme, ceremonialisme dan estetika (dalam hal busana dan asesoris). Ia tidak prinsipil dan dan tidak berlaku di mana-mana karena tidak semua orang menerima dan menerapkan hal yang sama menyangkut itu. Hal ini bukan saja karena perbedaan konteks tetapi juga bisa lebih-lebih karena perbedaan penafsiran dan pemahaman. Unsur subjektifitas dalam hal-hal seperti itu sangat kuat. Ini ditunjukan oleh pemahaman dan praktek mengenai hal-hal tertentu yang berbeda antara yang seseorang atau satu kelompok dengan seorang atau kelompok lain. Perbedaan dapat menimbulkan pertentangan dan konflik. Untuk mengatasi hal ini maka tentu umat Kristen perlu memahami betul unsur-unsur seni dan budaya yang ada atau mempengaruhi ajaran dan praktek agamanya. Umat Kristen atau gereja perlu mampu memisahkan antara unsur-unsur seni dan budaya serta nilai-nilai sosial yang sifatnya kontekstual, yang berlaku di masyarakat di sana, yang diwarisi secara tradisional melalui Alkitab dan penafsiran-penafsirannya, dan unsur-unsur teologisdogmatis yang merupakan pokok-pokok utama ajaran agama yang merupakan substansi agama dan yang berlaku universal. Unsur-unsur seperti upacara-upacara atau ibadah, sekalipun itu dikatakan sebagai sakramen, perayaan-perayaan, dan tata caranya, nilai-nilai sosial-kultural (seperti paternalisme dan diskriminasi gender) dan pemakaian benda-benda keagamaan, merupakan unsur-unsur kebudayaan. Itu merupakan hasil karya dan simbol-simbol yang dipahami dalam masyarakat dan budaya tertentu. Unsuunsur seperti ini tidak harus dibakukan, apalagi dimutlakkan, dan diperlakukan sebagai sesuatu yang wajib bagi semua orang. Apalagi, agama Kristen bukan agama legalistik. Dan lagi, apabila, pembakuan dan pemutlakan unsur-unsur seni dan budaya itu mengakibatkan persoalan atau pertentangan, atau

orang tidak dapat mengungkapkan kemansiaannya yang utuh atau kemanusiaannya terusik, maka tentu unsur-unsur seni dan budaya dalam ajaran dan praktek agama harus tidak dipaksakan. Biarkanlah itu berlaku atau dipegang dan diterapkan oleh individu-individu yang menerimanya. Di sini, orang perlu memperhatikan konteks di mana unsur-unsur seni dan budaya itu dikembangkan dan dipergunakan. Pertanyaan yang perlu disampaikan adalah: apakah cocok, sesuai atau tidak; apakah dapat diterima atau tidak; apakah efektif atau bermanfaat bagi usaha memberitakan Kerajaan Allah dan membawa Injil, sukacita dan kedamaian bagi gereja dan masyarakat atau tidak; atau, apakah unsur-unsur itu membuat manusia merasakan dan mengungkapkan kemanusiaannya yang utuh atau tidak. Juga, gereja atau pribadi-pribadi yang mengembangkan dan mengungkapkan unsur-unsur seni itu perlu menyadari bahwa itu adalah unsur seni dan budaya yang berperan memberi bentuk, namun merupakan unsur luaran, tidak substantif dan universal sehingga tidak dapat dipaksakan terhadap orang atau pihak lain. Dalam kehidupan beragama, unsur seni dan budaya lebih banyak menyangkut rasa atau selera yang sangat subjektif. Tentu hal ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai kebenaran. Tidak dapat diingkari bahwa unsur-unsur seni dan budaya yang ada di dalam agama berfungsi memberi bentuk dan warna variatif dan karena itu memperkaya pemahaman dan penghayatan keagamaan umat. Terutama karya dan nilai seni, seperti musik, nyanyian, sastra, lukisan dan ukir-ukiran, memperkaya rasa beragama dan menambah indah agama itu sehingga dinikmati secara lebih mengesankan. Fungsi dan nilai positif unsur seni dan budaya ini dapat tercapai jika mereka dikembangkan dan dimanfaatkan secara tepat dan efektif (dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan di atas). Dengan begitu, gereja dapat berkembang menjadi gereja yang mampu berkarya, menikmati keindahan persekutuannya dan mampu bersaksi kepada dan memberikan sukacita dan damai sejahtera kepada orang lain.

Penutup Agama Kristen yang masuk dan berkembang di Indonesia mengandung di dalamnya unsur-unsur seni dan budaya dari mana agama ini muncul dan dikembangkan, yaitu Timur tengah dan Eropah. Unsur-unsur seni dan budaya seperti nyanyian, cara berdoa, liturgi dan benda-benda khas kristiani, sistem penatalayanan, pikiran dan cara pandang umat tentang agama, gereja, pemimpin agama dan tugas tanggung jawab pekabaran Injil dan metodenya, kebanyakan merupakan warisan yang masih dipertahankan dan diterapkan. Ada unsur-unsur seni, seperti lembaran tulisan ayat-ayat khusus, nyanyian, kaligrafi, benda-benda keagamaan (seperti pakaian khas, salib, rosario, lukisan atau gambar tokoh-tokoh dalam Alkitab), yang dipergunakan dengan tanpa menyebabkan persoalan. Ini memiliki nilai positif yang secara efektif untuk bagi orang-orang tertentu berfungsi memperjelas identitas, dan memperkuat komitmen dan loyalitas iman. Hal ini secara tidak langsung dapat membantu memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan kualitas warga gereja pada aspek spiritual, moral dan etis-nya. Unsur seni tampaknya mudah diterima dan berfungsi atau bernilai positif dan tidak secara serius dipersoalkan. Hal ini karena ia menyangkut lebih kepada rasa atau selera beragama; jadi sangat subjektif. Ia menjadi persoalan individual. Berbeda dengan unsur-unsur budaya yang umumnya dipahami sebagai unsur-unsur yang prinsipil, seperti cara berdoa, tata ibadah, cara membaptis, cara melaksanakan Perjamuan Kudus, rumusan-rumusan ajaran. Budaya keagamaan yang umumnya menyangkut pemahaman-ajaran dan pratek beragama (dan umumnya yang diwarisi) pada kenyataannya lebih rentan terhadap persoalan. Hal ini karena umumnya soal ajaran dan praktek beragama sudah dibakukan atau dianggap baku oleh umat yang bersangkutan. Padahal, hal-hal itu juga tidak lepas dari

unsur subjektifitas, yaitu penafsiran dan hermeneutik yang dipengaruhi oleh konteks hidup penafsir. Oleh karena itu, memang diperlukan kejelian untuk membaca warisan-warisan seni dan budaya di dalam agama, dalam hal ini Kristen, dan mempergunakannya secara relevan di dalam kehidupan umat. Ada yang dapat diterapkan dan tidak menyebabkan persoalan, tapi ada juga yang menimbulkan masalah, baik di dalam rangka hubungan antar anggota gereja sendiri atau dengan denominasi lain, maupun dalam rangka hubungan dengan pihak yang beragama lain. Jika demikian maka unsur-unsur seni dan budaya itu dapat efektif atau bernilai positif bagi pertumbuhan iman jemaat dan masyarakat secara umum. Sekian. srr/Jakarta, Des07 [1] Disampaikan pada acara Konsultasi Seni dan Budaya Keagamaan Kristen yang diselenggarakan oleh BIMAS Kristen Departemen Agama RI, Jumat, 14 Desember 2007, di Wisma PGI Jakarta. [2] Analisis tulisan ini umumnya mempergunakan pendekatan studi agama-agama. [3] Arti YHWH dalam Perjanjian Lama adalah Aku ada yang Aku ada. [4] Dalam agama-agama primitif atau agama suku, oknum atau kekuatan-kekuatan alam ini diberi nama yang kemudian menjadi nama dewa atau dewi, seperti Dewa Syiwa, Wishnu dan Dewi Sri. [5] Cerita penciptaan dalam kitab Kejadian merupakan contohnya; ada juga mitos-mitos di dalam agama atau kebudayaan lain seperti dalam Hinduisme, atau agama suku Batak, Minahasa, Jawa, Toraja, Sumba, dsb. [6] Di dalam gereja, misalnya, ada orang yang menganggap air baptisan, anggur dan roti perjamuan sebagai benda-benda yang sakral dan mengandung kekuatan. [7] Ini ditunjukkan oleh beredarnya program-proram dan sinetron di televisi dan film-film yang bertemakan keagamaan dan horror yang menonjolkan adanya mahluk-mahluk spiritual atau pewujudannya serta praktek-praktek spiritisme.

You might also like