You are on page 1of 10

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI

PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah Qowaid Fiqhiyyah Yang diampu oleh Drs. H. Ahmad Ghozali

Pemakalah: Muhammad Saddam Naghfir (082 111 087)

PRODI KONSENTRASI ILMU FALAK JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH IAIN WALISONGO SEMARANG TAHUN 2011
KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-1-

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL PENDAHULUAN Judul ini bermaksud menganalisa dan memberikan pembahasan yang mendalam mengenai kasus ibadah yang berhubungan dengan waktu, yaitu sholat, puasa, zakat, dan haji. Semula penulis hanya ingin memberi judul ibadah sholat dan puasa saja, tetapi setelah penulis amati ternyata ibadah lain juga masih membutuhkan acuan waktu, yaitu peredaran bulan sebagai acuan waktu awal syawal yang berhubungan dengan ibadah zakat. Islam adalah agama universal, namun ada beberapa masalah terkait dengan islam universal yang bisa dipakai dan diterapkan di berbagai tempat dan waktu. Masalah itu misalnya terkait dengan bagaimana ibadah sholat, puasa dan zakat seseorang yang tidak pernah melihat matahari dan bulan dikarenakan tempat yang tidak mengijinkannya untuk melihat kedua benda angkasa itu, padahal dalam hadits nabi disebutkan bahwasannya untuk memulai ibadah sholat, puasa dan zakat (hari raya idul fitri) haruslah melakukan pengamatan terlebih dahulu, baik itu pengamatan terhadap matahari dan pengamatan terhdap bulan (ruyatul hilal). Lalu ketika kaidah penentuan awal waktu sholat dan awal bulan tidak lagi bisa digunakan dengan semestinya apakah jargon islam universal masih bisa kita pertahankan? lalu bagaimana cara muslim di tempat abnormal (susah untuk mengamati matahari dan bulan) untuk melakukan pengamatan sebelum melaksanakan ibadah? Serta landasan kaidah apa yang bisa dijadikan argumen untuk membangun pola pikir penyelesaian maslah ini? Kiranya ketiga hal inilah yang akan penulis sajikan dalam penulisan makalah ini. Semarang, 20 Juni 2011 (Pemakalah)

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-2-

RUMUSAN MASALAH Berdasarkan permasalahan yang pemakalah kemukakan di atas, maka pemakalah kemudian merumuskan persoalan sebagai berikut: 1. Tinjauan umum tentang daerah abnormal 2. Waktu dan Problem ibadah di daerah abnormal 3. Analisis penggunaan Kaidah ushuliyah yang tepat PEMBAHASAN 1. Tinjauan umum tentang daerah abnormal Untuk lebih memperjelas tentang daerah abnormal, perlu rasanya bagi pemakalah untuk memperjelas tentang daerah abnormal agar obyek pembahasan lebih jelas dan mengena. Dalam makalah ini penulis membagi daerah abnormal menjadi dua, yaitu daerah abnormal temporal dan daerah abnormal permanen. 1) Daerah Abnormal Temporal, yaitu daerah yang hanya bisa melihat peredaran matahari dan bulan pada beberapa waktu dalam setahun. 2) Daerah Abnormal Permanen, yaitu daerah yang tidak pernah melihat matahari dan bulan dalam waktu setahun atau bahkan selamanya. Pembagian daerah ini terkait dengan penentuan kelima waktu sholat, yang didasarkan pada peredaran matahari yang mengakibatkan adanya siang dan malam. Misalnya waktu sholat dhuhur ketika matahari tergelincir dari titik zenith pengamat, atau sholat ashar ketika bayang-bayang benda pada sore hari telah melebihi dua kali panjang benda aslinya, dan lain sebagainya. Jadi kriteria daerah abnormal permanen yang penulis maksud disini adalah daerah yang memiliki koordinat tertentu di bumi yang mengakibatkannya tidak bisa melihat matahari dan bulan, hal ini penulis maksudkan bahwa bulan juga berpengaruh dalam penentuan awal bulan ramadhan untuk melaksanakan ibadah puasa. Berdasarkan data astronomis diketahui bahwa nilai deklinasi matahari maksimal sebesar 23.45 dan nilai deklinasi bulan maksimal sebesar 28.5 dihitung dari katulistiwa / equator ke arah utara atau ke
KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-3-

arah selatan. Setiap hari matahari dan bulan mempunyai orbit lintasan yang berbedabeda kadangkala pas di atas khatulistiwa bumi, kadang kadang di sebelah utara katulistiwa bumi, dan kadang pula di sebelah selatan khatulistiwa bumi. Hal ini dikarenakan obyek pembahasan makalah ini adalah ibadah secara umum, bukan hanya sholat saja, maka pemakalah menjadikan patokan deklinasi bulan maksimal sebagai acuan penentuan koordinat daerah yang penulis anggap abnormal. Berdasarkan perhitungan astronomis, suatu benda angkasa semisal planet atau bintang tidak akan pernah terbit bagi pengamat yang berada pada lintang yang lebih kecil dari Adapun kriteria bintang / benda angkasa yang tidak pernah terbit menurut buku Textbook on Spherical Astronomy, menyatakan kondisi bintang yang tidak pernah terbit adalah ketika nilai deklinasi bintang tersebut lebih besar dari nilai colatitudes (90latitude = 90-)1 dengan aturan bahwa nilai lintang = mutlak. Jadi jika lintang bulan maksimal sebesar 28.5, maka daerah yang tidak pernah melihat bulan adalah daerah yang memenuhi kriteria: Deklinasi maksimal bulan > colatitudes Deklinasi maksimal bulan > (90-lintang tempat) 90 lintang tempat < deklinasi maksimal bulan Lintang tempat > 90 deklinasi maksimal bulan Lintang tempat > 90 28.5 Lintang tempat > 61.5 Jadi daerah abnormal permanen adalah daerah yang memiliki lintang tempat lebih besar dari 61.5 LU untuk daerah di sebelah utara katulistiwa bumi, dan daerah yang memiliki lintang tempat lebih besar dari -61.5 LS untuk daerah di sebelah selatan katulistiwa bumi2.

Rumus ini hanya berlaku bagi pengamat yang berada pada lintang selatan, sedangkan untuk pengamat yang berada di lintang utara, maka rumusnya adalah deklinasi lebih kecil dari (-colatitude). 2 Kriteria ini berdasarkan pada perhitungan dalam ranah teoritis, dimungkinkan ada perbedaan dengan kenyataan di lapangan, karena adanya factor lain semisal refraksi.
KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-4-

2. Waktu Dan Problem Ibadah Di Daerah Abnormal Di Daerah Abnormal Berdasarkan penjelasan penulis di atas, maka waktu yang berjalan di daerah abnormal tentu berbeda dengan waktu yang dialami oleh kita (muslim Indonesia) ataupun waktu yang dialami oleh masyarakat arab yang berada di daerah dekat khatulistiwa Adapun aturannya berdasarkan astronomis adalah sebagai berikut: Untuk daerah di selatan katulistiwa, semakin kecil nilai deklinasi matahari (negatif), maka semakin lama waktu siang (waktu matahari berada di atas ufuk) dibandingkan dengan waktu malam (waktu matahari di atas ufuk), begitu juga sebaliknya, Semakin besar nilai deklinasi matahari maka semakin pendek waktu siang disbanding dengan panjang waktu malam. Hal yang sama juga berlaku untuk daerah utara katulistiwa. Untuk daerah abnormal temporal, yang berada di daerah selatan katulistiwa akan mengalami siang yang lebih lama ketika deklinasi mataharinya semakin kecil (negatif) dibanding panjang malamnya. Dan akan mengalami siang yang lebih pendek ketika deklinasi matahari semakin membesar (positif) disbanding panjang malam. Bahkan pada lintang tertentu, pada suatu periode waktu tertentu matahari tidak akan pernah tenggelam (siang seharian) atau malam yang tidak kunjung reda (malam seharian). Hal yang sama juga berlaku sebaliknya pada daerah abnormal di daerah utara katulistiwa bumi. Saat matahari masih bisa terlihat (terbit dan terbenam), maka penentuan waktu lima sholat pun menjadi mungkin, namun yang perlu diperhatikan bahwa panjang siang terus berubah dari hari ke hari, jadi panjang siang tidak konstan 12 jam, bisa kurang hingga 0 jam ataupun lebih hingga 24 jam, tergantung dari deklinasi pada hari tertentu. Maka kemudian muncul persoalan mengenai penentuan awal waktu sholat, dan lama waktu siang untuk orang berpuasa. Sedangkan daerah abnormal permanen, yang berada di daerah utara bumi atau selatan bumi, yang notabenenya tidak pernah mengalami siang hari (matahari tidak pernah terlihat terbit),

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-5-

maka penentuan sholat lima waktu pun menjadi mustahil jika mengacu pada kaidah yang berhubungan dengan matahari, begitu juga dengan panjang waktu orang berpuasa, yang mengacu pada waktu yang didasarkan pada gerak semu matahari, ibadah lain juga akan terpengaruh misalnya bagaimana menentukan awal bulan ramadhan, syawal dan dhulhijjah (untuk kepentingan ibadah puasa, zakat dan haji) yang memerlukan untuk melihat bulan pada saat awal bulan, meskipun di sana sepanjang tahun adalah malam, sementara sepanjang tahun itu pula mereka tidak bisa melihat bulan terbit, sehingga mustahil untuk melaksanakan kegiatan ruyatul hilal bagi mereka, sebagai metode penentuan awal bulan hijriyah. Termasuk daerah abnormal adalah daerah Kutub, Kutub utara dan selatan. Beberapa info yang perlu diketahui tentang kutub utara dan selatan3 Kutub selatan berupa daratan (benua Antartika) dan kutub utara berupa Samudera (samudera Arktik) Binatang yang hidup di daerah antartika adalah penguin, dan binatang yang idup di daerah arktik adalah beruang kutub. Suhu di kutub selatan lebih dingin daripada di kutub utara Kutub Selatan pada musim dingin mempunyai suhu -65C dan pada musim panas sebesar -25C. Kutub Utara pada musim dingin mempunyai suhu -43 s/d -26C dan pada musim panas sebesar 0C. Hal yang perlu diketahui adalah air membeku pada suhu 0 Celcius, dan kenyataan di daerah kutub adalah, air akan cepat membeku, jadi untuk minum air saja harus memanaskan es terlebih dahulu, baru kemudian dapat diminum, jika tidak maka akan kembali membeku dan menjadi es. Kemudian bagaimana dengan wudhu, sebagai syarat sah ibadah sholat, hal ini tentunya akan sangat meyusahakan bagi seseorang yang hidup di daerah kutub, karena dia harus terlebih dahulu memanaskan es agar bisa menjadi cair dan harus segera mempergunakannya untuk wudhu, sebelum kembali membeku. Begitu juga dengan kewajiban mandi junub untuk
3

Diperoleh dari www.wikipedia.com/en


KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-6-

menghilangkan hadats besar, tentunya akan mengalami kendala dan masyaqqoh yang sangat besar.

3. Analisis Penggunaan Kaidah Ushuliyah Yang Tepat Islam yang notabenenya turun di daerah arab yang terkenal sebagai daerah padang pasir, di mana matahari tak pernah lepas dari mereka, menggunakan peredaran semu matahari sebagai acuan untuk mengerjakan ibadah sholat wajib lima waktu, di mana kelima waktu dalam sehari ditentukan oleh adanya matahari, misal sholat dhuhur ketika matahari tergelincir dari titik zenith pengamat, atau sholat ashar ketika bayang-bayang benda pada sore hari telah melebihi dua kali panjang benda aslinya, dan lain sebagainya. Adapula ibadah yang menggunakan acuan bulan, yang juga didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran matahari mengelilingi bumi. Hal ini jelas, bahwasannya awal bulan bisa ditentukan jika peredaran bulan mengelilingi bumi. Maka Ketika kedua benda angkasa (matahari dan bulan) kemudian tidak lagi bisa dijadikan patokan penentuan waktu, antara siang dan malam, awal dan akhir bulan, maka yang harus dilakukan adalah sebuah ijtihad untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam ijtihad mutlak diperlukan dasar penentuan ijtihad yang kemudia disebu dengan kaidah ushuliyyah, berkaitan dengan masalah ini, maka pemakalah menggunakan beberapa kaidah berikut penjelasannya: 1. Kaidah pertama


Hukum harus menyesuaikan dirinya dengan illat yang ada, bila illat hukum itu berubah maka hukum juga harus berubah. Dalam hal ini illatnya adalah penentuan awal waktu sholat, yang didasarkan pada peredaran semu matahari yang mengakibatkan terjadinya siang dan malam. Seiring
KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-7-

perkembangan zaman, kajian astronomis berdasarkan beberapa pengalaman terkait dengan hadits nabi mengenai penentuan awal waktu sholat waktu yang lima telah menghasilkan kesimpulan bahwa untuk menentukan awal sholat lima waktu bisa digunakan perhitungan astronomis tanpa harus melakukan pengamatan langsung pada matahari. Maka hal ini bisa dijadikan alternatif pilihan bagi mereka yang tinggal di daerah abnormal. Adapun alternatif lain adalah menggunakan acuan bintang lain yang memiliki right ascension yang sama dengan right ascension matahari pada hari yang dinginkan, tentu saja dengan deklinasi yang mendekati pada lintang tempat daerah abnormal, sehingga bintang ini bisa dijadikan acuan untuk menentukan awal waktu sholat, jika bintang tepat di meridian langit pengamat, berarti sudah masuk waktu dhuhur, dan sebagainya. 2. Kaidah kedua


Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan, yaitu jika seseorang dalam kesulitan mengenai penentuan awal waktu sholat dan penentuan awal bulan qomariyah, maka bisa mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan ibadah sholat, puasa dan zakat dengan menggunakan acuan penentu waktu lain yang bisa menggantikan kaidah bayang-bayang matahari dan ruyatul hilal. Munculnya jam sebagai alat penentu waktu dan perhitungan astronomis bisa dijadikan alternatif pilihan yang mudah untuk mengetahui kapan waktu dhuhur, subuh, dan lain-lain. 3. Kaidah ketiga


Suatu kebiasaan bisa menjadi hukum. Ini terkait dengan kaidah kedua, adanya kebiasaan bahwa waktu dhuhur itu dimulai pada jam 12.00 misalnya, bisa dijadikan
-8-

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

patokan hukum, untuk menentukan awal waktu dhuhur di daerah lain yang tidak bisa melihat matahari. Adanya kalender juga demikian bisa menjadi alternatif pilihan yang mudah bagi mereka yang kesulitan menentukan awal bulan ramadhan, karena tidak bisa melihat bulan. 4. Kaidah keempat


Keyakinan itu tidak bisa hilang dengan adanya ragu-ragu. Dasar patokan hukum utama adalah keyakinan, bahwa penentuan waktu sholat itu bisa diganti dengan pedoman jam waktu dan perhitungan astronomis, bila kemudian muncul keragu-raguan apakah jam itu sesuai dengan peredaran matahari yang sebenarnya, atau apakah perhitungan astronomis itu benar, maka keyakinan yang tinggi akan akurasi jam waktu dan perhitungan astronomis yang telah dibuktikan kebenarannya, sebagai penentu waktu sholat harus dimenangkan. 5. Kaidah keempat


Melarang menggunakan dhon / perkiraan (kira-kira), karena akan jelas kesalahannya. Jadi penggunaan dhon / perkiraan / prasangka tidak diperbolehkan karena akan jelas salah. Daripada menggunakan perkiraan untuk menentukan awal waktu dhuhur yang kemungkinan salah, maka lebih baik menggunakan acuan jam waktu dan perhitungan astronomis untuk menentukan awal waktu sholat. PENUTUP Demikian makalah ini kami buat, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami tunggu demi kesempurnaan makalah ini. sekian, Wallahu alam bisshowab.

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

-9-

DAFTAR PUSTAKA Smart, William Marshall. Textbook on spherical Astronomy. (London: Cambridge University Press). 1980. Abdullah bin said Muhammad abbadi. Iidhohul qowaid al-fiqhiyyah. (Surabaya: alhidayah). 1410 H.

KAIDAH USHUL FIQH MENGENAI PELAKSANAAN IBADAH DI DAERAH ABNORMAL

- 10 -

You might also like