You are on page 1of 25

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas.1 Penyakit ini bisa timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai.2 Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma pada anakanak, di negara maju ataupun berkembang. Satu dari sebelas anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai riwayat asma pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali. Hal ini dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu modernisasi dan urbanisasi, misalnya menurunnya pemberian ASI ekslusif dan pemukiman yang makin padat.3 Asma memberikan dampak negatif bagi kehidupan penderitanya. Telah terjadi perubahan pada patogenesis asma, dahulu diyakini sebagai suatu proses yang disebabkan karena bronkospasme dan diobati dengan obat bronkodilator.2 Dewasa ini, asma diketahui sebagai keadaan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik. Sehingga obat anti inflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan. Asma pada masa kanak-kanak sebenarnya dapat dikendalikan, walaupun tidak semuanya dapat disembuhkan. Pada kenyataannya, sebagian besar asma masih under- diagnosed dan under-treated. Sebaliknya di beberapa negara maju, asma ringan sering diberi pengobatan yang berlebihan. Pada anak dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti. Bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri.3 Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute Amerika yang bekerjasama dengan World Health Organization (WHO). Untuk anakanak, Global Initiative for Asthma (GINA) tidak dapat sepenuhnya diterapkan, sehingga Pediatric Asthma Consensus Group dalam pertemuan pada bulan Maret 1995 mengeluarkan Konsensus Internasional III Penanggulangan Asma Anak (selanjutnya disebut Konsensus Internasional) yang dipublikasikan pada tahun 1998. Selain Global Initiative for Asthma (GINA)

dan Konsensus Internasional, banyak negara yang mempunyai konsensus nasional di negara masing-masing, misal Indonesia sudah ada Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Konsensus Nasional Asma Anak menjadi acuan dalam tatalaksana asma anak di Indonesia, maka istilah konsensus diganti menjadi pedoman.3

PEMBAHASAN
Definisi Definisi yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karateristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (noktural) musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.4 Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiper reaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Konsensus Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma.1 Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA), kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada penderita atau keluarganya. Untuk menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma.5

Epidemiologi Asma diderita kurang lebih oleh tiga ratus juta penduduk dunia. Prevalensi penderita asma meningkat, terutama pada anak. Setiap tahun, WHO memperkirakan sekitar lima belas juta

penderita mengalami penurunan kualitas hidupnya, dan dua ratus lima puluh ribu penderita asma meninggal. Lima ratus ribu pasien dirawat karena asma dengan usia delapan belas tahun atau lebih muda, dengan perkiraan biaya 6,2 miliar. Setiap tahunnya, 1,81 juta anak usia delapan belas tahun atau lebih muda membutuhkan perawatan Unit Gawat Darurat. Antara anak remaja usia lima hingga tujuh belas tahun, diperkiran menjadikan hari tidak ikut sekolah selama sepuluh juta hari. Angka kesakitan dan kematian akibat asma pada anak dalam dua dekade ini meningkat.7

Etiologi dan Faktor Risiko Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Faktor genetik (a) Hiperreaktivitas (b) Atopi/Alergi bronkus (c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik (d) Jenis Kelamin (e) Ras/Etnik 2.Faktor lingkungan (a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,alternaria/jamur) (b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari) (c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,makanan laut, susu sapi, telur) (d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,beta-blocker dll) (e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll) (f) Ekspresi emosi berlebih (g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif (h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan (i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu (j) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate. Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:1,6 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok. Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian 2 agonist. Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aero alergen seperti bulu binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aero allergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen ditempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut : 4


Hiperaktivitas bronkus Faktor Genetik Obstruksi

Sensitisasi Faktor Lingkungan

Inflamasi

Gejala Asma

Pemicu (inducer)

Pemacu (enhancer)

Pencetus (Trigger)

Patofisiologi 1. Obstruksi saluran respiratori Perubahan fungsional yang terjadi pada asma adalah terjadinya obstruksi saluran respirasi yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversibel, ini berdasarkan gejala batuk, sesak, mengi yang timbul pada asma, serta reaksi berlebihan saluran nafas terhadap bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respirasi oleh mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini juga berperan dalam menimbulkan persepsi sesak melalui saraf aferen. Ketika saraf aferen terangsang, misal pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia, maka akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar, dan terdapat kemungkinan terburuk adalah dimana adanya gangguan fungsi pada reseptor aferen yang menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan merasakan adanya penyempitan saluran nafas, ini terjadi pada kasus asma kronis berat.3 Semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respirasi yang mempengaruhi struktur trakeobronkial, maksimal hingga bronkus kecil dengan diameter 25 mm. Resistensi saluran nafas mengalami peningkatan dan laju ekspirasi maksimal menurun, yang mempengaruhi volume paru secara keseluruhan. Penyempitan saluran nafas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume residu. Mekanisme adaptasi yang timbul dari penyempitan saluran pernafasan adalah bernafas dengan hiperventilasi dimana usaha ini dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal secara mekanik mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal.

Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal nafas.

Gambar 1. Bronkus normal dan Bronkus Asmatik

2. Hipereaktivitas saluran respiratori Mekanisme yang menjelaskan timbulnya reaktivitas yang berlebihan sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas, inflamasi pada dinding saluran nafas, terutama pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos. Stimulus yang lain seperti olahraga, udara dingin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas, stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut saraf dan sel lain untuk mengeluarkan mediatornya.3 3. Otot polos saluran respiratori Peningkatan kontraktilitas otot pada asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dapat menigkatkan respon otot polos untuk berkontraksi. Ini membuktikan adanya hubungan antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran nafas secara in vitro. 4. Hipersekresi mucus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodelling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronik. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab yang persisten pada serangan asma berat yang tidak

mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator. Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme yang berperan terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia, dan mekanisme patofisologi yang berperan terhadap terjadinya sekresi sel granulasi. Mediator yang dikeluarkan sel goblet, yang mengalami metaplasi dan hiperplasi merupakan bagian dari inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, seperti asap rokok, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik. Degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti leukotrien, histamin, produk netrofil non protein.3 5. Keterbatasan aliran udara ireversibel Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel. 6. Eksaserbasi Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.3

7. Asma nokturnal Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila pasien asma tidur dalam posisi supine. 8. Abnormalitas gas darah Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat ringannya hipoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2)sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati.3

Patogenesis Inflamasi Akut dan Kronis Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis. Pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. -Reaksi Fase Awal/Cepat (Early Phase Reaction) ; Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivitas sel-sel yang sensitive terhadap allergen IgE spesifik, terutama sela mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosine, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskular. -Reaksi Fase Lambat ; Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal.meliputi pengerahan dan aktivitas dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivitas oleh

antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam 2-4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivitas sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.(3 ) Reaksi fase lambat dipikirkan merupakan system model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons fase lambat dan berlangsungnya pajanan alergen, aktivitas sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang pelepasan sel leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.(3 ) Airway Remodeling Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injury dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodelling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposisi jaringan penyambung dengan diikuti oleh

restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi selsel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraseluler, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.(8 ) Perubahan struktur yang terjadi : 1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas 2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus 3. Penebalan membran reticular basal 4. Pembuluh darah meningkat 5. Matriks ekstraseluler fungsinya meningkat 6. Perubahan struktur parenkim 7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gejala Klinis Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas dan rasa berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).(6) Gejala asma yang khas biasanya berupa batuk episodik dan wheezing disertai rasa tertekan di dada dan kesulitan bernafas, terutama pada malam hari. Batuk biasanya kering namun dapat produktif dengan sputum yang kental dan lengket. Adakalanya batuk merupakan gejala satu-satunya. Gambaran klinik ini akibat dari penyempitan saluran pernafasan yang mengakibatkan obstruksi aliran udara.(9) Penyempitan saluran nafas terjadi akibat proses peradangan, melalui 3 hal : Kontraksi otot polos bronkus yang eksesif Penebalan dinding saluran bronchus Sekresi berlebihan di dalam lumen

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:(7) 1. Timbul secara episodik dan/atau kronik, 2.Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), 3. Musiman, 4. Faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, 5. Reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, 6.Adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada

pasien/keluarganya, 7. Sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Diagnosis dan klasifikasi Beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah anak dengan mengi pada tahun pertama kehidupan, ternyata hanya sejumlah kecil yang mengalami asma pada masa anak. Salah satu penelitian yang dilakukan TCRS (Tucson Children Respiratorys Study) menghasilkan bahwa terdapat 3 fenotip mengi yang terjadi pada masa anak, yaitu 1. transient early wheezing ; kebanyakan pada anak yang mengalami mengi pada 3 tahun pertama kehidupan, mengi tidak sering, timbul sesekali, dan tidak timbul lagi pada usia 6 tahun . jenis ini tidak mempunyai riwayat keluarga asma, dermatitis atopi, peningkatan kadar IgE yang lebih. Faktor risiko kasus ini adalah penurunan fungsi paru sebelum terkena penyakit infeksi saluran nafas bawah, ibu merokok selama kehamilan, dan ibu usia muda. Wheezing berulang berhubungan dengan penyakit saluran nafas akut oleh virus. 2. wheezing of late onset ; tidak pernah mengalami penyakits saluran nafas bawah yang disertai mengi, tetapi, pada usia 6 tahun timbul mengi. Ditemukan dengan ibu asma, anak laki-laki, dan adanya rinitis pada tahun pertama kehidupan. 3. persistent wheezing ; paling sedikit satu kali terkena penyakit saluran pernafasan bawah dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi selalu muncul sampai usia 6 tahun. Ibu dengan asma, IgE tinggi. Kurang lebih 60 % anak menunjukkan atopi pada usia 6 tahun, dan 40 % non-atopi.

Klasifikasi menurut Global Initiative for Asthma (3) 1. Intermiten Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan(FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atauFEV1<20%) 2. Persisten ringan Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat menggangguaktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1 20-30%). 3. Persisten sedang Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-2 kerja pendek setiap hari (FEV1 6080% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%). 4. Persisten berat Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi (FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%).

Klasifikasi derajat asma anak secara arbiteri PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit
Parameter klinis Kebutuhan obat, dan faal paru 1. Frekuensi serangan 2. Lama serangan < 1 minggu 1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi 3. Intensitas serangan 4. 5. Diantara serangan TIdur dan aktivitas 6. Pemeriksaan fisik Tanpa gejala Tidak terganggu < 3x/ minggu Normal, tidak ditemukan Sering ada gejala Sering terganggu >3 x/ minggu Mungkin terganggu Tidak pernah normal Gejala siang dan malam Sangat terganggu Ringan Sedang Berat 3-4 x/ 1 tahun 1x/ bulan 1/ bulan Asma Episodik Jarang (asma ringan) Asma Episodik Sering (asma sedang) Asma persisten (asma berat)

diluar serangan 7. Obat pengendali

kelainan Tidak perlu

(ditemukan kelainan) Perlu, nonsteroid/steroid inhalasi dosis 100-200 g Perlu, steroid inhalasi dosis 400 g / hari PEF/FEV1 <60 %

8.

Uji faal paru (di luar serangan)*

PEF /FEV1 >80 %

PEF/FEV1 60-80 %

9.

Variabilitas faal paru (bila ada serangan)*

20%

30 %

50%

*Jika fasilitas tersedia

Anamnesis Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.(11)

Pemeriksaan fisik Pada PNAA 2004, dinyatakan bahwa mengi yanng berulang dan atau batuk kronik berulang merupakan titik awal menuju diagnosis. Kemungkinan asma diperlukan pada anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi, sesak dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Dengan demikian, jika terdapat keraguan dalam mendiagnosis asma ringan pada seorang anak dapat dilakukan tes dengan olahraga (berlari cepat dalam 6 menit).(9) Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Padaserangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi

nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11) Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(11)

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan fungsi paru, terdiri dari : Pengukuran sederhana ; peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi(APE), pulse oxymetry, spirometri. Pengukuran kompleks ; muscle strength testing, volume paru absolut, kapasitas difusi.Uji fungsi paru yang biasa dilakukan adalah volume paru, fungsi jalan nafas, pertukaran gas. Pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai parameter pertukaran gas, tetapi pulse oxymetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah manuver ekspirasi paksa secara maksimal yang dapar dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan menggunakan spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi(APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma, menilai derajar beratnya asma,dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. Pada pedoman nasional asma anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan : Variabilitas PEF atau FEV1 15% Kenaikan PEF atau FEV1 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator Penurunan PEF atau FEV1 20% setelah provokasi bronkus

Penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama 2 minggu. 2. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respon saluran nafas terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. 3. Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif Dapat dilakukan dengan cara memeriksa sputum, dan dengan pengukuran kadar NO ekshalasi. Tetapi, pemeriksaan ini tidak spesifik. 4. Penilaian status alergi Dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dapat membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan untuk : Menentukan apakah anak atopi Mengarahkan manipulasi lingkungan Memprediksi prognosis anak dengan mengi

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal(11). Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan(11)

Klasifikasi asma menurut derajat serangan Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Sesak (breathless) Ringan Berjalan Bayi : Sedang Berbicara Bayi : Berat Istirahat Bayi : Ancaman henti napas

Menangis keras -Tangis pendek Tidakmau dan lemah -Kesulitan menetek/makan Posisi Bisa berbaring Duduk bertopang lengan Kalimat Penggal kalimat Kata-kata Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan Tidak ada Tidak ada Ada Nyata Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar akhir ekspirasi ekspirasi stetoskop inspirasi Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok torakoabdominal Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal / hilang retraksi ditambah ditambah napas interkostal retraksi cuping hidung suprasternal Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia menit < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun Frekuensi nadi Normal Takikardi <60 < 50 < 40 < 30 Takikardi Dradikardi Frekuensi napas normal per Lebih suka duduk makan/minum

Bicara Kesadaran Sianosis Wheezing

Penggunaan otot bantu respiratorik Retraksi

Frekuensi napas

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia menit 2-12 bulan 1-2 tahun 6-8 tahun Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis) PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator SaO2 % PaO2 >95% 91-95% Normal >60 mmHg (biasanya tidak perlu diperiksa) <45 mmHg <45 mmHg 90% <60 mmHg >60% >80% 40-60% 60-80% <40% <60%, respon<2 jam Tidak ada (< 10 mmHg) Ada (10-20 mmHg) Ada (>20mmHg) < 160 < 120 < 110 Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik Frekuensi nadi normal per

PaCO2

>45 mmHg

Penatalaksanaan Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang timbul. Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan. Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain:

a. Agonis 2-Adrenergik Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi. Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan menghambat kerja sel mast. 2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Efek samping yang dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia. b. Metilxantin Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin). Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi konvulsi. c. Kortikosteroid Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon -reseptor. Kortikosteroid dapat diberikan secara inhalasi ataupun oral. Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk. Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot pengontrol lain daripada menaikkan dosis. Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi. d. Kromolin Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin diberikan

secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi. e. Obat lain Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2-agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2-agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien). Penanganan Serangan Asma GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.

Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Manifestasi klinis serangan asma adalah episode akut dari batuk, nafas pendek, mengi dan sesak nafas. National Asthma Education & Prevention Program (NAEPP) menganjurkan langsung menggunakan inhalasi agonis 2-agonis kerja singkat sebanyak 3x setiap 20 menit atau 3x dalam 1 jam. Jika respon baik dengan berkurang gejalanya; perbaikan ini stabil dalam 4 jam; dan PEF >80% prediksi/ nilai terbaik, pengobatan diteruskan dengan agonis 2 inhalasi setiap 2-4 jam untuk 24-48 jam. Sedangkan jika respon buruk, berikan kortikosteroid oral (prednison 1-2 mg/kg/hari terbagi 4 dosis) kemudian segera ke dokter.

Penatalaksanaan Serangan Asma di Klinik/ Ruang Gawat Darurat Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan

bagian integral penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat. Penanganan awal anak dengan asma adalah diberikan 2-agonis dengan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan. Jika pada penilaian derajat secara klinis dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi 2- agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Hal ini dikarenakan pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Jika tidak terdapat 2- agonis dapat diberi suntikan epinefrin subkutan dosis 0,01 ml/ kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum 0,3 ml). Dan dipantau stelah 20 menit tidak ada perbaikan, ulang dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin. a. Serangan Ringan Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. b. Serangan Sedang Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial, berikan cairan intravena dan oksigen, lalu pasien diobservasi di Ruang Rawat Sehari dan ditata laksana sebagai serangan sedang.

Di Ruang Rawat Sehari teruskan pemberian oksigen, kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon,prednison, atau triamsinolon. Nebulisasi 2-agonis tetap diberikan ditambah antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral. c. Serangan Berat Jika menurut penilaian awal secara klinis serangannya berat, pengobatan serangan berat dapat langsung diberikan tanpa harus melalui tahapan ringan atau sedang. Pada serangan berat, nebulisasi 2-agonis ditambah antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Obat yang diberikan adalah steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam dan aminofilin intravena. Cara pemberian aminofilin: bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya. sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

Terus pantau tiap 3 jam dan catat vital sign. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Steroid yang dianjurkan adalah prednisone dan prednisolon. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Alur Diagnostik

Penatalaksanaan Tahapan tatalaksana Serangan Asma 1. Tatalaksana diklinik atau di unit gawat darurat 2. Tatalaksana diruang rawat sehari 3. Tatalaksana diruang rawat inap Tata laksana serangan asma pada anak(5)

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membuat pedoman tentang tatacara dan langkah langkah untuk penggunaan obat controller.(4)

You might also like